BAB II Tinjauan Pustaka_ I11msr

advertisement
4 TINJAUAN PUSTAKA
Potensi Gizi Ikan Lele Dumbo
Menurut Suyanto (2007), ada banyak nama yang ditujukan untuk
menyebut ikan lele dumbo yang disesuaikan dengan daerah masing-masing.
Orang Jawa menyebutnya sebagai iwak lele, orang Sumatera menyebutnya
dengan nama ikan kalang, di Sulawesi disebut ikan keling, di Kalimantan
disebut ikan pintet, di Thailand disebut ikan plamond, di Malaysia disebut ikan
keli. Nama yang dikenal di dunia, sebagai nama perdagangan internasional
biasanya disebut dengan nama catfish atau walking catfish. Berikut dijelaskan
taksonomi ikan lele dumbo. Taksonomi lele dumbo yaitu dari filum Chordata,
kelas Pisces, sub kelas Toleostei, ordo Ostariophsy, sub ordo Siluroidae, family
Claridae, genus Clarias, dan spesies Clarias gariepinus.
Ikan lele dumbo merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang berasal
dari hasil persilangan dari induk pejantan yang berasal dari Afrika dan induk
betina dari Taiwan. Ikan ini masuk ke Indonesia dibawa oleh salah satu
perusahaan perikanan di Indonesia pada tahun 1986 yang pada awalnya
dipasarkan sebagai ikan hias. Namun, pada perkembangannya, ikan lele dumbo
lebih diminati sebagai ikan untuk dikonsumsi (Bachtiar 2006). Ikan lele dumbo
memiliki beberapa keunggulan, diantaranya memiliki tubuh yang lebih besar
serta tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan jenis ikan lele lainnya (Suyanto
2007). Selain itu, daging ikan lele dumbo mengandung protein yang lebih tinggi
dibandingkan dengan lele biasa. Djarijah (2004) mengungkapkan bahwa, ikan
lele dumbo memiliki kandungan protein dan lemak sebesar 17 dan 4.5 per 100
gram daging ikan segar. Departemen Kesehatan RI (1991) menyatakan bahwa
daging ikan lele juga mengandung karoten
sebesar 12.070 mikrogram dan
vitamin A sebanyak 210 IU (Internasional Unit). Kandungan zat gizi tersebut lebh
tinggi dibandingkan dengan jenis ikan lain (Djarijah 2006).
Pemanfaatan ikan lele dumbo tidak hanya sebatas dikonsumsi dengan
cara digoreng. Saat ini telah berkembang pengolahan ikan lele dumbo yang lebih
meningkatkan nilai ekonomisnya, misalnya pembuatan sosis (Ulfa 2006), atau
dilakukan proses penepungan yang kemudian diolah menjadi biskuit (Mervina
2009; Ferazuma 2010). Proses penepungan akan menghasilkan limbah yang
salah satu komponennya berupa minyak ikan lele.
5 Minyak Ikan Air Tawar
Minyak merupakan campuran trigliserida yang berbentuk cair pada suhu
ruangan. Komponen lain yang mungkin terdapat dalam minyak diantaranya
fosfolipid, sterol, vitamin dan zat warna yang larut dalam lemak seperti klorofil
dan karotenoid. Sifat fisik yang paling jelas dari minyak adalah tidak larut dalam
air, hal ini disebabkan oleh adanya asam lemak berantai karbon panjang dan
tidak adanya gugus polar. Viskositas minyak biasanya bertambah dengan
bertambah panjangnya rantai karbon dan berkurang dengan naiknya suhu.
Minyak dan lemak lebih padat dalam keadaan padat daripada dalam keadaan
cair. Berat jenisnya lebih tinggi untuk trigliserida dengan berat molekul rendah
dan trigliserida yang tidak jenuh. Berat jenis menurun dengan bertambahnya
suhu (Buckle et al. 2007). Titik cair minyak tidak tepat karena minyak merupakan
campuran trigliserida. Asam lemak berantai pendek memiliki nilai titik cair yang
lebih rendah dibandingkan dengan asam lemak berantai panjang. Jadi, makin
pendek rantai asam lemak, makin rendah titik cairnya (Potter & Hotchkiss 1995).
Jenis ikan yang biasanya diambil minyaknya adalah ikan yang berasal
dari laut, seperti ikan kod, herring, menhaden, dan salmon. Namun, baru-baru ini
telah dikembangkan penelitian yang mengarah pada pemanfaatan minyak yang
berasal dari minyak ikan air tawar seperti ikan mas, gabus (Kaban & Daniel
2005), lele dumbo (Kaban & Daniel 2005; Novitasari 2008), dan gurami (Kaban &
Daniel 2005; Kholidah 2008). Minyak ikan air tawar dapat dijadikan sebagai
alternatif sumber asam lemak linoleat atau dikenal dengan omega 6 (Kaban &
Daniel 2005). Hasil analisis Kaban & Daniel (2005) menyatakan bahwa etil ester
asam lemak untuk minyak kepala ikan dan jeroan lele dumbo terdiri dari etil
miristat (2.21%), etil palmitoleat (3.25%), etil palmitat (40.26%), etil linoleat
(8.68%), etil oleat (36.21%), dan etil stearat (8.84%). Asam lemak linoleat hasil
analisis Novitasari (2008) kurang dari 5%. Perbedaan kandungan dan komposisi
asam lemak minyak ikan dipengaruhi oleh perbedaan letak geografis, usia, dan
pakan yang dikonsumsi ikan tersebut (Kaban & Daniel 2005).
Asam lemak linoleat merupakan bahan utama dalam pembuatan asam
lemak linoleat terkonjugasi. Asam lemak linoleat terkonjugasi (Conjugated
Linoleic Acid) dapat memberikan manfaat kesehatan seperti mengurangi jumlah
kolesterol dalam darah, mencegah kejadian aterosklerosis (Kritchevsky 2000;
Weiss et al. 2004), mengurangi jaringan lemak adiposa pada bagian perut
6 (Riserus, Berglund, Vessby 2001), mencegah tumor dan kanker (MacDonald
2000; Weiss et al. 2004), mencegah obesitas (Weiss et al. 2004) dan lain-lain.
Minyak yang berasal dari limbah industri biasanya memiliki kualitas yang
rendah. Misalnya minyak yang berasal dari limbah penepungan ikan lemuru
memiliki warna yang cokelat dengan aroma yang menyengat (Montesqrit 2007;
Abdillah 2008). Minyak yang sudah diisolasi dari sumbernya mungkin masih
mengandung bahan-bahan resin, karbohidrat, protein, sterol, fenolat, zat warna,
fosfatida dan asam lemak bebas (Buckle et al. 2007). Oleh karena itu diperlukan
upaya lebih lanjut untuk mendapatkan minyak yang bebas dari kotoran fisik dan
kimia tersebut. Salah satu upaya yang dapat meningkatkan kualitas minyak ikan
adalah dengan proses pemurnian.
Pemurnian Minyak
Teknik pemurnian terdiri dari beberapa tahap, yaitu proses pemisahan
gum (degumming), pemucatan (bleaching), netralisasi, dan deodorisasi (Ketaren
2008). Proses degumming dilakukan jika rendemen minyak masih mengandung
gum (getah), biasanya proses ini dilakukan pada minyak yang berasal dari
tumbuhan seperti minyak kelapa sawit (Setiawan 2009).
Proses degumming
dilakukan dengan cara menambahkan larutan asam fosfat pada suhu 70-900C
(Sahidi 2005). Biasanya proses degumming dilakukan dengan cara dehidratasi
getah dan resin, yaitu dengan memasukkan uap air panas ke dalam minyak
disusul dengan pengaliran air dan selanjutnya disentrifusi untuk memisahkan
bagian lendir dari air. Proses pemisahan gum penting dilakukan sebelum
dilakukan netralisasi karena sabun yang terbentuk dari hasil reaksi antara asam
lemak bebas dengan kaustik soda pada porses netralisasi akan menyerap gum
(getah dan lendir) sehingga menghambat proses pemisahan sabun (soap stock)
dari minyak (Ketaren 2008). Selain itu jika netralisasi dilakukan pada minyak
yang masih mengandung gum maka akan menambah partikel emulsi yang
berupa fosfolipid lesitin dalam minyak yang pada akhirnya akan mengurangi
jumlah trigliserida dalam minyak (Potter & Hotchkiss 1995).
Netralisasi merupakan proses untuk memisahkan asam lemak bebas
dari minyak atau lemak. Pemisahan tersebut dilakukan dengan mereaksikan
asam lemak bebas dengan basa atau pereaksi lainnya sehingga membentuk
sabun. Basa yang biasa digunakan dalam industri adalah kaustik soda karena
harganya yang murah dan lebih efisien. Kaustik soda yang ditambahkan pada
saat netralisasi harus sesuai dengan kandungan asam lemak bebas pada minyak
7 tersebut. Secara teoritis, untuk menetralkan 1 kg asam lemak bebas dalam
minyak (sebagai asam palmitat), dibutuhkan sebanyak 0,142 kg kaustik soda
kristal (Ketaren 2005). Perbedaan tingkat konsentrasi basa akan berpengaruh
sangat nyata terhadap kandungan asam lemak bebas. Semakin banyak jumlah
basa yang ditambahkan, semakin besar jumlah asam lemak bebas yang
tersabunkan sehingga jumlah asam lemak pada minyak akan ikut berkurang
(Abdillah 2008).
Meskipun telah dilakukan degumming dan netralisasi, minyak yang
diperoleh dari tumbuhan maupun hewan terkadang masih memiliki warna yang
tidak diinginkan (Potter & Hotchkiss 1995). Hal tersebut dapat diatasi melalui
proses pemucatan. Pemucatan adalah salah satu tahap pemurnian yang
bertujuan untuk menghilangkan zat warna yang tidak disukai (Ketaren 2008).
Proses pemucatan melibatkan proses pemanasan dengan ditambahkan
adsorben tertentu dan penyaringan. Pemucatan minyak mengggunakan
adsorben umumnya dilakukan dalam ketel yang dilengkapi pipa uap. Minyak
yang akan dipucatkan dipanaskan pada suhu 1050C, selama 1 jam.
Penambahan adsorben dilakukan pada suhu mencapai 70-800C, dan jumlah
adsorben kurang lebih sebanyak 1.0-1.5% dari berat minyak. Selanjutnya minyak
dipisahkan dari adsorben dengan cara penyaringan menggunkan kain tebal atau
pengepresan dengan filter press (Ketaren 2008).
Jenis adsorben yang biasanya digunakan adalah bleaching clay
(bleaching earth), yaitu sejenis tanah liat; arang (bleaching carbon); dan arang
aktif (activated carbon). Keuntungan penggunaan arang aktif sebagai bahan
pemucat minyak adalah karena lebih efektif untuk menyerap warna dibandingkan
dengan bleaching clay, sehingga arang aktif dapat digunakan dalam jumlah kecil.
Arang aktif juga dapat menyerap sebagian aroma yang tidak dikehendaki dan
mengurangi jumlah peroksida sehingga memperbaiki mutu minyak (Ketaren
2008). Namun, Berdasarkan hasil analisis Abdillah (2008) adsorben tidak
memberikan pengaruh yang nyata pada proses pemucatan selama nilai persen
transmisi pemucatan yang menggunakan arang aktif dan bleaching earth
memiliki efektifitas penyerapan yang hampir sama. Jumlah adsorben yang
dibutuhkan untuk menghilangkan warna minyak tergantung dari macam dan tipe
warna dalam minyak dan sampai seberapa jauh warna tersebut akan
dihilangkan.
8 Proses berikutnya dari tahap pemurnian minyak adalah deodorisasi atau
penghilangan aroma. Deodorisasi merupakan proses untuk memisahkan aroma
dan aroma yang berupa komponen volatil yang tidak dikehendaki dari minyak.
Komponen-komponen yang dapat menimbulkan rasa dan aroma dari minyak
antara lain aldehida, keton, dan hidrokarbon. Prinsip dari proses deodorisasi
yaitu distilasi minyak oleh uap dalam keadaan hampa udara. Pada suhu tinggi,
komponen-komponen yang menimbulkan aroma mudah diuapkan, kemudian
melalui aliran uap komponen-komponen tersebut dipisahkan dari minyak, dan
selama proses tersebut asam-asam lemak bebas dan komponen-komponen
odor dihilangkan untuk mendapatkan minyak yang tidak beraroma (Ketaren
2008). Biasanya proses ini menggunakan pemanasan dengan suhu tinggi (1701900C) pada kondisi vacum (Chang (1967) dalam Suparno et al. (1995)). Pada
proses ini diharapkan sisa-sisa aroma yang masih ada pada minyak ikan akan
menguap tetapi minyak ikannya tidak rusak karena teroksidasi. Kondisi
deodorisasi yang dianjurkan oleh Riyadi (2009) adalah pada suhu tidak lebih dari
1400C selama 1 jam, karena mampu mempertahankan karoten hampir 70%
(375.33 mg/kg) serta sekaligus mampu mereduksi odor sampai tingkat intensitas
3.3
(dari nilai intensitas odor 10 untuk NRPO) atau reduksi intensitas odor
sebesar 67%.
Antioksidan
Antioksidan merupakan persenyawaan kimia yang dapat mencegah
kerusakan lemak atau bahan pangan berlemak akibat proses oksidasi. Pada
umumnya antioksidan mengandung struktur inti yang sama, yaitu mengandung
cincin benzene tidak jenuh disertai gugusan hidroksi atau gugusan amino.
Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan reaksi
berantai pada radikal bebas dari lemak teroksidasi, dapat disebabkan oleh empat
macam mekanisme reaksi, yaitu pelepasan hidrogen dari antioksidan, pelepasan
elektron dari antioksidan, addisi lemak dalam cincin aromatik pada antioksidan,
dan pembentukan senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari
antioksidan.
Penambahan antioksidan dalam bahan pangan dapat menghambat
reaksi oksidasi. Dalam industri pangan, oksidasi lemak biasanya disertai dengan
off
flavor
yang
disebabkan
oleh
persenyawaan
aldehida
dan
keton.
Persenyawaan aldehida dan keton ini merupakan hasil pemecahan rantai asam
lemak tidak jenuh. Tidak semua antioksidan dapat digunakan untuk tujuan bahan
9 pangan. Antioksidan yang digunakan harus memenuhi persyaratan tertentu, yaitu
tidak beracun dan tidak mempunyai efek fisiologis, tidak menimbulkan flavor
yang tidak enak, rasa dan warna pada lemak bahan pangan, larut sempurna
dalam minyak atau lemak, efektif dalam jumlah yang relatif kecil dan tidak mahal
serta selalu tersedia. Jenis antioksidan sintetis yang biasa digunakan dalam
bahan pangan diantaranya adalah BHT, BHA, dan TBHQ (Ketaren 2008).
Antioksidan BHT
BHT mempunyai nama kimia 2,6-ditertiary-butyl-p-cresol; 4-methyl-2,6ditertiary-butyl-phenol dengan rumus molekul (C4H9)2CH3C6H2OH, dengan berat
molekul 220. BHT berwarna putih berbentuk kristal atau talk dan tidak beraroma.
BHT mempunyai sifat tidak larut dalam air dan prophylene glycol, tetapi sangat
larut dalam lemak dan etanol. Titik cair BHT adalah 69-720C BHT mempunyai
titik didih yang cukup tinggi yaitu 264-270C sehingga BHT termasuk antioksidan
yang tahan dan stabil pada suhu yang tinggi (Schlotmann 2002).
Senyawa BHT tidak beracun tapi menunjukkan aktifitas sebagai
antioksidan dengan cara men-deaktifasi senyawa radikal (Ketaren 2008). BHT
juga bisa berfungsi sebagai quencher (pemadam) bagi oksigen singlet
(Fukuzawa 1998). Selain memiliki aktifitas yang baik terhadap radikal, BHT juga
cukup tahan terhadap proses pemanasan (Berry 2003). Oleh karena itu, BHT
memiliki potensi yang sangat besar sebagai salah satu alternatif antioksidan
yang digunakan untuk memperluas penggunaan minyak. Antioksidan BHT
merupakan senyawa penangkap radikal yang lebih efektif dibandingkan dengan
β-karoten (Maforimbo 2002). Berdasarkan SNI 01-0222-95 batas maksimal
penggunaan BHT pada makanan adalah 200 ppm atau 0.02%.
Hasil analisis Herawati & Akhlus (2006) menjelaskan bahwa
ketika
minyak sawit RBD yang sudah mengandung 150 ppm β-karoten dan 200 ppm βtokoferol dioksidasi tanpa menggunakan BHT, bilangan peroksidanya meningkat
melebihi nilai 2 (2,26) dalam waktu 240 menit, sedangkan dengan penambahan
BHT dalam waktu yang lama, bilangan peroksidanya baru mencapai nilai 1,58.
Penambahan BHT sebanyak 200 ppm menyebabkan minyak sawit RBD memiliki
ketahanan yang lebih lama terhadap oksidasi oksigen singlet dibandingkan
dengan tanpa penambahan BHT (Herawati & Akhlus 2006). Selain itu, BHT juga
dapat memperpanjang masa simpan bekatul hingga 211 hari dengan
penambahan sebanyak 100 ppm (Scorvia 2001).
10 Stabilitas Minyak
Stabilitas merupakan salah satu faktor yang menentukan mutu dari
minyak. Stabilitas minyak sangat dipengaruhi oleh jenis minyak yang akan
dimurnikan, perlakuan yang diterapkan dalam pemurnian, suhu penyimpanan,
adanya penambahan antioksidan dan tipe pengemas. Kerusakan minyak yang
utama adalah timbulnya aroma dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan.
Molekul-molekul yang mengandung radikal asam lemak tidak jenuh mengalami
oksidasi dan menjadi tengik. Aroma tengik yang tidak sedap disebabkan
pembentukan senyawa-senyawa hasil pemecahan hidroperoksida seperti aldehid
atau keton (Winarno 2007).
Kerusakan oksidasi minyak ikan diawali oleh otooksidasi asam lemak
tidak jenuh dengan terbentuknya radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh
cahaya, panas, peroksida lemak, logam berat, hematin, hemoglobin, mioglobin,
klorofil dan enzim lipooksidase. Radikal-radikal bebas ini kemudian bereaksi
dengan
oksigen
membentuk
senyawa
peroksida
aktif
yang
akhirnya
mempengaruhi sifat-sifat fisik dan kimia dari minyak ikan (Ketaren 2008). Reaksi
otooksidasi dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu inisiasi, propagasi, dan
terminasi (Nawar 1985 dalam Yogaswara 2008).
Asam Linoleat
Asam linoleat (linoleic acid) merupakan asam lemak tidak jenuh
ikatan ganda (Polyunsaturated Fatty Acid) yang esensial untuk
karena itu harus diperoleh dari makanan. Asam
pertumbuhan,
pemeliharaan
kolesterol, menurunkan
transport
membran
sel,
linoleat berperan dalam
pengaturan
tekanan darah, menghambat
lipid, prekursor dalam
sintesis
tubuh oleh
metabolisme
lipogenesis hepatik,
prostaglandin,
membentuk
arakhidonat dan dalam proses reproduksi (Pudjiadi 1997). Defisiensi asam
linoleat dapat menyebabkan dermatitis, kemampuan reproduksi menurun,
gangguan pertumbuhan, degenerasi hati, dan rentan terhadap infeksi (Erasmus,
1996).
Tubuh memerlukan asam linoleat 3-6% dari seluruh kalori yang
dibutuhkan (Erasmus 1996) dan yang direkomendasikan adalah 3 gram per
harinya (Recommended Daily Allowance 2000). Salah satu sumber asam
lemak linoleat adalah kacang kedelai. Berdasarkan hasil penelitian Iskandar
(1997) diperoleh kadar asam linoleat adalah 44,85 g dalam 100 g asam
11 lemak atau sekitar 7,23 g dalam 100 g tempe. Untuk menjaga keseimbangan
kesehatan tubuh maka sebaiknya konsumsi n-6 PUFA dan n-3 PUFA dengan
perbandingan tertentu yaitu antara 7:1 sampai 10:1. Dengan demikian, karena
pada umumnya minyak ikan laut lebih banyak mengandung n-3 PUFA
sedangkan minyak ikan air tawar lebih banyak mengandung n-6 PUFA, maka
dalam mengonsumsi ikan laut maupun ikan air tawar perlu dikombinasikan untuk
mendapatkan keseimbangan antara n-6 PUFA dan n-3 PUFA seperti tersebut.
Berdasarkan penelitian Kaban dan Daniel (2005), kandungan PUFA dari
minyak jeroan/kepala ikan lele dumbo adalah asam linoleat (C18:2) yang
merupakan omega-6 sebesar 8.68 %. Asam linoleat merupakan asam esensial
pembentuk asam lemak tidak jenuh lainnya seperti asam linolenat (C18:3) dan
asam arakhidonat (C20:4) melalui sistem desaturasi (pembentukan ikatan
rangkap) dan pemanjangan rantai atau elongasi (Goldstein 1996). Dengan
kandungan PUFA ikan air tawar diharapkan ikan lele dumbo dapat digunakan
sebagai sumber asam lemak esensial, khususnya untuk masyarakat pedalaman
yang jauh dari laut, dimana kesulitan mendapatkan ikan segar dan bergizi.
Minyak kepala/jeroan ikan lele dumbo dapat dijadikan sebagai sumber PUFA
jenis omega 6, yang merupakan pembentuk asam arakhidonat (20:4) dan jenis
asam lemak omega-6 lainnya, seperti C22:5 (Kaban & Daniel 2005).
Mikroenkapsulasi Minyak Ikan
Heinzelmann et al. (2000) menjelaskan bahwa mikroenkapsulasi adalah
suatu proses pengubahan komponen yang awalnya berbentuk cairan menjadi
bentuk padatan, dimana droplet kecil dari minyak akan diperangkap oleh matrik
kering dari bahan penyalutnya yang biasanya terdiri dari protein dan karbohidrat.
Proses mikroenkapsulasi bertujuan untuk mempermudah dalam penanganan
produk dan aplikasi produk serta memberikan perlindungan terhadap bahan yang
disalut dari pengaruh lingkungan seperti cahaya, udara, dan kelembaban yang
dapat menyebabkan oksidasi dan kerusakan produk (Keogh et al. 2001)
Menurut Gharsallaoui et al. (2007) proses mikroenkapsulasi akan
melindungi minyak dari proses oksidasi karena dapat meminimalisir kontak
antara minyak dengan oksigen. Tujuan khusus dari proses mikroenkapsulasi
minyak ikan adalah melindungi asam lemak esensial dengan cara menghambat
laju oksidasi (Heinzelman et al. 2000: Kolanowski 2004; Sun et al. 2005)
mengubah
minyak
menjadi
bentuk
tepung
(granul)
sehingga
dapat
12 memperpanjang daya simpan (Keogh et al. 2001); dan menyamarkan aroma
amis dari minyak ikan (Keogh et al. 2001).
Produk
hasil
mikroenkapsulasi
akan
dipengaruhi
oleh
teknik
pengeringan dan bahan penyalut yang digunakan. Teknik pengeringan yang
biasa digunakan dalam proses mikroenkapsulasi minyak adalah pengeringan
drum (Montesqrit 2007), pengeringan semprot (Gharsallaoui et al.
2007;
Montesqrit 2007), pengeringan beku (Yogaswara 2008; Velasco 2009), dan barubaru ini dikembangkan teknik spray cooling (Meunier et al. 2007). Teknik
pengeringan disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai serta
efisiensi biaya yang diharapkan. Teknik pengeringan drum merupakan alternatif
yang paling murah, namun hasilnya minyak kurang tersalut dengan baik.
Pengeringan beku merupakan teknik pengeringan yang paling efektif, namun
biaya operasionalnya paling mahal diantara teknik pengeringan lainnya
(Yogaswara 2008). Bahan penyalut yang sering digunakan dalam proses
mikroenkapsulasi adalah gum arab, maltodekstrin, dan natrium kaseinat.
Download