II. 2.1. TINJAUAN PUSTAKA Cabai Rawit Merah Cabai termasuk kedalam jenis tanaman sayuran. Awalnya tanaman sayuran ini dikenal sebagai tanaman perkebunan rakyat, namun sekarang lebih dikenal dengan nama hortikultura (Sunarjono 2006, diacu dalam Siregar 2008). Tanaman jenis ini dapat berbentuk perdu, rumput, semak, atau pohon akar tunggang dengan akar samping yang dangkal serta memiliki banyak cabang pada bagian batangnya. Daunnya panjang, berwarna hijau tua dengan ujung runcing (oblongus acutus). Cabai memilki bunga sempurna dengan benang sari yang saling lepas. Pada umumnya bunga cabai berwarna putih dengan bentuk seperti terompet kecil. Bentuk pertumbuhannya tegak pendek, menjulang, atau menjalar dengan hasil berupa umbi, bunga, buah atau biji. Tanaman ini tersebar ke negaranegara benua Amerika, Eropa, dan Asia termasuk Indonesia. Cabai termasuk kedalam family terong-terongan dan merupakan tanaman semusim berbentuk perdu. Cabai memiliki nama ilmiah Capsicum sp. berasal dari daerah Peru benua Amerika. Menurut Pickersgill (1989) diacu dalam Inti (2000) terdapat lima spesies cabai, yaitu Capsicum annum, Capsicum frutescens, Capsicum chinense, Capsicum bacctum dan Capsicum pubescens. Diantara kelima spesies tersebut yang memiliki potensi ekonomi untuk dikembangkan adalah Capsicum frutescens atau cabai rawit merah. Spesies ini banyak banyak dibudidayakan di Indonesia bersama dengan cabai rawit hijau (Capsicum annum). Keduanya memiliki karakteristik yang serupa teteap tidak sama. Varietas cabai rawit merah yang sering dibudidayakan oleh petani Indonesia adalah varietas cakra putih dengan ciri fisiologis saat muda buahnya berwarna putih kekuningan yang berubah merah cerah saat masak. Sedangkan cakra hijau merupakan varietas cabai rawit merah dimana saat tanaman muda buahnya berwarna hijau dan setelah masak berubah merah (Prajnanta, 2004). Capsicum frutescens atau cabai rawit merah memiliki batang yang berbuku-buku dan bersudut, daunya tidak berbulu, berbentuk bundar telur sampai lonjong. Panjang daunnya berkisar antara 1 - 12 cm. Bunga Capsicum frutescens 8 keluar dari ketiak daun, dengan mahkota bunga berbentuk seperti bintang, berwarna putih, putih kehijauan, atau ungu. Buahnya tegak (pada hibrida merunduk), berbentuk bulat telur atau lonjong. Panjang buah berkisar antara 1 – 3 cm dan lebarnya 0,25 – 1,2 cm. Buahnya muda berwarna hijau tua putih atau putih kehijau-hijauan. Buah tua yang berwarna hijau tua akan berubah warna menjadi hijau kemerah-merahan, lalu menjadi merah. Buah tua yang berwarna putih akan berubah warna menjadi kuning kemerah-merahan, setelah itu berubah warna menjadi merah menyala (jingga). Selain itu, buah tua dapat juga mengalami perubahan warna dari putih kehijau-hijauan menjadi kemerah-merahan, lalu menjadi merah. Capsicum baccatum memiliki batang yang lebih pendek dari Capsicum frutescens. Bunganya memiliki mahkota yang kecil dengan panjang sekitar 1 cm. Buahnya berbentuk telur dengan bagian tengah yang mengembung. Di Indonesia keberadaan Capsicum baccatum belum diketahui. Capsicum chinense memiliki ketinggian sekitar 75 cm. Posisi bunganya tegak, setengah menggantung, atau menggantung. Mahkotanya berwarna kuning kehijau-hijauan. Buahnya tumbuh menggerombol (3-5 buah per gerombol). Tangkai buah agak besar, melengkung, dan bagian antara tangkai buah kelihatan mengerut. Buah tua berwarna jingga (merah menyala). Sama halnya dengan Capsicum baccatum keberadaannya di Indonesia belum diketahui (Setiadi, 1999). Bagian buah dari tanaman cabai rawit merah merupakan bagian yang biasa dikonsumsi oleh manusia. Buah cabai kaya akan kandungan gizi dan vitamin diantaranya kalori, protein, lemak, kabohidarat, kalsium, vitamin A, B1 dan vitamin C. Cabai rawit merah banyak memiliki kandungan yang bermanfaat dan tidak dimiliki oleh cabai jenis lain seperti dapat menyembuhkan sakit tenggorokan, sakit perut, iritasi kulit, dan sekaligus perangsang nafsu makan bagi sebagian orang. Cabai rawit merah segar mengandung 11.050 SI (Skala Indeks) vitamin A, sedangkan cabai rawit kering 1.000 SI. Sementara itu, cabai lainnya hanya 260 SI (cabai hijau segar), 470 SI (cabai merah segar), dan 576 SI (cabai merah kering). Selain itu, cabai mengandung beberapa zat yang merangsang rasa pedas dan rasa panas seperti kapsaisin, minyak atheris dihidrokapsaisin, damar, zat warna kapsantin, karoten, kapsarubin, zeasantin, kriptosantin, lutein, dan 9 mineral tingkat kepedasan yang ada pada cabai rawit merah mencapai 50.000 – 100.000 skala Scoville, yang berarti sangat pedas. Rasa pedas itu berasal dari senyawa kimia Capsaisin (Redaksi Agro Media 2011). Dalam pemanfaatannya juga buah cabai rawit merah dapat digunakan untuk beberapa keperluan antara lain masak-memasak serta sebagai bahan ramuan obat tradisional. Selain itu, buah cabai rawit merah sering dimanfaatkan sebagai pakan bagi burung oceh dan burung hias. Bubuk hasil pengolahan buah cabai rawit merah dapat pula dimanfaatkan sebagai bahan industri makanan dan minuman sebagai pengganti lada dan utuk meningkatkan selera makan dari konsumen7. Umumnya, para petani di Pulai Jawa mengenal tiga musim, yaitu musim labuhan (saat hujan mulai turun), musim marengan (saat hujan akan berakhir), dan musim kemarau. Cabai rawit merah dapat dibudidayakan pada musim marengan dan kemarau. Dalam satu tahun cabai rawit hanya dapat di tanam satu kali tetapi dengan pemanenan setiap minggunya saat musim panen. Cakra putih merupakan varietas yang banyak dibudidayakan oleh petani cabai rawit merah. Pada varietas ini pertumbuhan tanaman sangat kuat dengan membentuk banyak percabangan. Posisi buah tegak ke atas dengan bentuk agak pipih dan rasa sangat pedas. Mampu menghasilkan buah 12 ton per hektarnya dengan rata-rata 300 buah per tanaman, dipanen pada umur 85-90 HST (Hari Setelah Tanam). Cakra putih ini pun tahan terhadap serangan penyakit antraksnosa (Rukmana, 2002). Varietas lainnya yang ada yakni cakra hijau. Varietas cakra hijau ini mampu beradaptasi dengan baik di dataran rendah maupun tinggi. Saat tanaman muda buahnya berwarna hijau dan setelah masak berubah merah. Potensi hasilnya 600 g per tanaman atau 12 ton per hektar. Rasanya pedas, tahan terhadap serangan hama dan penyakit yang biasa menyerang cabai. Panen berlangsung pada umur 80 HST. 7 Widianto A. 2010. Karakteristiik dan manfaat cabai. http://www.scribd.com/ [diakses tanggal 22 Januari 2012] 10 Dari sisi harga jual cabai rawit merah dapat dikatakan lebih unggul dibandingkan dengan cabai besar serta cabai rawit hijau. Hal itu dikarenakan cabai rawit merah lebih disenangi oleh konsumen karena rasanya yang lebih pedas dibandinggkan dua jenis cabai lainnya. 2.2. Budidaya Tanaman Cabai Rawit Merah Secara umum tanaman cabai dapat dengan mudah ditanam dan dibudidayakan baik didataran tinggi maupun di dataran rendah. Namun, pada cabai rawit merah paling cocok tumbuh pada dataran dengan ketinggian 0-500 meter dari permukaan laut. Kondisi tanah secara umum harus subur dengan derajat keasaman (PH) tanah antara 6,0 ‐7,0, suhu yang sedang berkisar antara 15° ‐ 28° C dan kelembaban tanah dengan kandungan air yang tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Pada musim penghujan umumnya tanaman cabai rawit merah rentan akan berbagai macam penyakit terutama penyakit layu akibat tanah yang becek atau kebanyakan air. Bunga tanaman cabai rawit merah akan mudah gugur ketika sedang terkena hujan. Oleh karena itu tanaman cabai rawit merah biasa ditanam pada awal kemarau atau pada akhir musim penghujan. 1. Cara Tanam Tanaman cabai rawit merah dikembangbiakkan dengan biji yang diambil dari buah tua atau yang berwarna merah. Biji tersebut disemaikan terlebih dahulu. Tanah persemaian ini sebaiknya dicampur dengan pupuk kandang supaya bibitnya lekas besar. Biji akan tumbuh setelah empat sampai tujuh hari kemudian. Untuk lahan seluas 1 hektar diperlukan 500 gram biji dengan daya kecambah 75 persen. Sebelum ditanam, tanah yang akan ditanami cabai rawit merah dicangkul dan diberi pupuk kandang. Pupuk kandang ini sebaiknya diletakkan di dalam lubang kecil yang dibuat lurus dengan jarak antar lubang 50-60 cm dan jarak antar baris 60-70 cm, tergantung kepada jenis yang akan ditanam. Setelah bibit berumur 1-1,5 bulan, bibit dipindahkan ke lubang tersedia. Satu bulan setelah tanam, tanaman diberi pupuk buatan. Pupuk tersebut merupakan campuran urea, TSP, dan KCL dengan perbandingan 1: 2: 1 sebanyak 10 gram tiap tanaman. Oleh karena itu, diperlukan 150 kg urea, 300 kg TSP dan 150 kg 11 KCL. Pada tanah tandus, pupuk urea dapat diberikan sampai 200 kg per hektar. Pupuk buatan ini diberikan di sekeliling tanaman sejauh 5 cm dari batangnya. Saat tanaman berumur dua bulan sebaiknya diberi urea susulan 150 kg/ ha. 2. Pemeliharaan Tanaman Pemeliharaan tanaman cabai rawit merah tidak terlalu sulit, dengan cara membersihkan rumput pengganggu, menjaga ketersediaan air, dan memberantas hama serta penyakit. Hama yang sering menyerang tanaman cabai rawit merah ialah lalat buah (Dacus ferrugineus), kutu daun (Myzus persicae), dan tungu merah (Tetranycus sp.). Lalat buah merusak dengan menusuk buah cabai rawit merah hingga berguguran. Pemberantasan hama ini dengan penyemprotan Kelthane 0,1- 0,2%. Penyakit yang sering mengancam tanaman cabai rawit merah adalah penyakit busuk buah. Penyakit ini disebabkan cendawan Collectrichum nigrum. Cendawan Oeidium sp. menyebabkan penyakit gugur daun, sedangkan cendawan Phytophthora capsici penyebab terjadinya penyakit busuk daun. Penyakit busuk daun dan busuk buah tersebut dapat dicegah dengan disemprotkan Dithane M-45 atau Anthracol 0,2%. Penyakit utama yang sering menggagalkan tanaman cabai rawit merah ialah penyakit yang disebabkan virus daun keriting (TMV). Virus TMV ditularkan kutu daun. Virus tersebut merusak daun muda sehingga menjadi keriting atau menggulung dan mengecil. Penyakit ini sampai kini belum dapat diberantas sehingga bila ada tanaman yang terserang lebih baik dicabut dan dibuang agar tidak menular ke tanaman yang lain. 3. Pemanenan Pemungutan buah pertama dapat dilakukan setelah tanaman berumur empat bulan pada dataran rendah dan 6-7 bulan pada dataran tinggi. Tanaman yang baik dapat menghasilkan buah 30- 45 ton buah per hektar atau paling maksimum mencapai 3kg/pohon dengan banyak pohon per hektarnya mencapai 10.000 – 15.000 pohon per hektar. Hasil panen tanaman cabai rawit merah selanjutnya dapat dipasarkan dengan harga rata-rata antara Rp. 7.000,- sampai Rp. 15.000,- per kilogram. Hasil panen 12 cabai rawit merah mempunyai pasaran yang luas, baik dalam atau luar negeri. Dalam bentuk olahan (sambal atau tepung) telah dipasarkan sampai Eropa dan Amerika. Akan tetapi, harga cabai rawit merah sangat tidak stabil. 2.3. Fluktuasi Harga Fluktuasi merupakan sebuah kondisi tidak stabil, bervariasi, dan sulit diperkirakan. Sedangkan harga merupakan nilai yang terbentuk akibat adanya permintaan dan penawaran dalam jumlah tertentu dalam sebuah mekanisme pasar. Fluktuasi harga pertanian merupakan sebuah kondisi harga pada komoditi pertanian yang tidak stabil dan bervariasi sehingga sulit di perkirakan oleh berbagai pihak baik petani, pedagang, maupun pemerintah. Fluktuasi harga pertanian sama-sama memiliki dampak bagi petani maupun pedagang. Namun, petani sering kali menjadi pihak yang merasakan dampak negatif akibat adanya fluktuasi harga pertanian. Hal tersebuut dapat terjadi akibat lemahnya posisi tawar para petani untuk ikut serta dalam mekanisme penentuan harga pasar. Komoditas hortikultura merupakan subsector pertanian yang memiliki fluktuasi harga pertanian paling tinggi8. Harga yang sangat berfluktuatif secara teoritis akan menyulitkan prediksi bisnis bagi para pelaku bisnis. Perhitungan rugi laba maupun manajemen risiko menjadi sebuah ketidakpastian bagi para pelaku agribisnis hortikultura. Spekulan yang berprofesi sebagai pedagang sering kali dianggap sebagai pihak yang diuntungkan akibat adanya perubahan harga tersebut (Ismet,2009). Tetapi dengan syarat harus disertai dengan kemampuan pengelolaan stok dengan baik dan benar. Menurut Irawan (2007), penerimaan dan keuntungan usaha dari hasil kegatan usahataninya menjadi sangat berfluktuasi akibat adanya fluktuasi harga yang tinggi di pasar. Irawan (2007) menambahkan bahwa daya tarik utama bagi pelaku bisnis untuk melakukan investasi dan memperluas usahanya pada sektor pertanian khususnya subsector hortikultura terhambat karena keuntungan yang tidak stabil walaupun nilainya tinggi dalam waktu tertentu. 8 http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/03/03/22066/mentan_fluktuasi_harga_hor tikultura_indonesia_memprihatinkan/#.Tzxyi8X9P44 13 Oleh karena itu, dibutuhkan suatu inovasi teknologi baik teknis maupun social untuk dapat mengatasi permasalahan fluktuasi harga yang terjadi pada komoditas . Teknologi tersebut dapat berupa sebuah sistem yang dapat menjamin stabilitas harga di tingkat petani sebagai produsen utama yang sering kali dirugikan akibat fluktuasi harga. 2.4. Kemitraan Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mitra dapat berarti teman, kawan kerja, pasangan kerja, dan rekan. sedangkan kemitraan dapat berarti perihal hubungan atau jalinan kerjasama sebagai mitra. Kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Sebagai sebuah strategi bisnis, kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan diantara yang menjalin kemitraan dalam menjalankan etika bisnis. Kemitraan juga dapat berarti sebagai sebuah cara untuk melakukan bisnis dimana pemasok dan pelanggan berniaga satu sama lain untuk mencapai tujuan bisnis bersama. Kemitraan dikatakan sebagai sebuah sistem produksi dan pemasaran berskala menengah dimana terjadi pembagian beban risiko produksi dan pemasaran diantara pelaku agribisnis dan petani kecil (Patrick et al 2004). Kemitraan memiliki unsur-unsur yang yang penting dalam pelaksanaannya. Unsur-unsur kemitraan antara lain : (1) Adanya kerjasama suatu usaha antar pengusaha besar dan kecil. (2) Terdapat rasa saling memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan. (3) Adanya pembinaan dan pengembangan dari salah satu pihak kepada pihak yang lainnya. Kemitraan merupakan tuntutan obyektif bagi keberadaan agribisnis karena dalam sebuah sistem agribisnis memiliki tuntutan untuk terintegrasi pada setiap subsistem pembangunnya. Tuntutan itu berlaku karena agribisnis dibangun oleh banyak pelaku usaha dengan tingkat keberagaman yang berbeda-beda. Kemitraan juga diperlukan untuk mendapatkan pasar baru dan menghilangkan permasalahan dalam sistem agribisnis. Secara garis besar kemitraan dibutuhkan oleh masyarakat khususnya petani adalah karena masyarakat desa perlu akan peluang perdagangan dan 14 pemasaran yang baru. Pada proses kemitraan, pihak-pihak ekternal yakni Agroindustry berusaha mengubah pola pikir para petani subsisten untuk dapat menghasilkan produksi yang bernilai tinggi dan berorientasi ekspor. Hal tersebut akan memiliki efek berlipat pada pekonomian pedesaan. Oleh karena itu, mekanisme kemitraan mungkin dapat meningkatkkan kehidupan petani kecil dengan memberi segudang manfaat untuk melawan era liberalisasi ekonomi yang terjadi. Beberapa manfaat kemitraan antara lain adalah dapat mengurangi biaya transaksi yang tinggi akibat dari kegagalan pasar atau kegagalan pemerintah dalam upaya menyediakan sarana dan prasarana input pertanian baik kredit, asurannsi, informasi serta lembaga-lembaga pemasarannya. Dengan berkurangnya biaya transaksi maka laba yang didapatkan oleh pihak produsen akan semakin tinggi. Alur informasi yang lancar juga akan memberikan kemudahan akses pemasaran. Penerapan kemitraan dalam agribisnis dibagi menjadi 2 jenis kemitraan, yakni kemitraan vertikal dan kemitraan horizontal. Kemitraan vertikal biasanya akibat adanya masing-masing kebutuhan antar subsistem dalam sistem agribsnis. Sedangkan kemitraan horizontal biasanya dilakukan didalam satu subsistem yang sama. 2.5. Penelitian Terdahulu 2.5.1. Penelitian Usahatani Penelitian mengenai usahatani cabai rawit yang terkait dengan kemitraan belum pernah dijadikan sebagai topik penelitian di IPB. Adapun berbagai macam penelitian usahatani yakni yang dilakukan pada spesies cabai lainnya seperti cabai merah besar dan cabai keriting. Diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Nurliah (2002), dengan judul Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Cabai Merah Keriting di Desa Sindangmekar, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut. Hasil pennelitian diperoleh bahwa hasil produksi cabai merah keriting petani dalam satu musim tanam untuk luasan satu hektar sebesar 10.714,3 kg, harga jual rata- rata yang terjadi di tingkat petani sebesar Rp. 3.000,00 sehingga total penerimaan sebesar Rp. 32.142.900,00. Biaya tunai terbesar yang 15 dikeluarkan adalah untuk tenaga kerja luar keluarga sebesar Rp. 4.032.480,00 atau sebesar 26,86%. Biaya tunai terbesar kedua adalah pestisida sebesar Rp. 3.375.710,00 atau sebesar 22,49%. Selain biaya tunai, dihitung pula biaya yang diperhitungkan yang terdiri dari tenaga kerja dalam keluarga, penyusutan alat dan sewa tanah. Petani memperoleh pendapatan atas biaya total sebesar Rp. 17.131.413,00 per hektar dengan R/C yang diperoleh sebesar 2,14. Khairina (2006), juga melakukan penelitian mengenai Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Wortel dengan Budidaya Organik (Studi Kasus: Desa Citeko, Kecamatan Cisarua, Bogor), dengan hasil bahwa analisis pendapatan terbesar, baik atas biaya tunai maupun atas biaya total diterima oleh petani wortel organik sebesar Rp.8.577.806,08 per hektar dan Rp.6.715.338,37 per hektar. Besarnya nilai perbandingan R/C petani wortel organik atas biaya total dan biaya tunai adalah 2,28 dan 3,53. Artinya setiap Rp 1,00 biaya yang dikeluarkan oleh petani wortel organik menghasilkan penerimaan sebesar Rp 2,28 untuk biaya total yang dikeluarkan dan Rp 3,53,- untuk biaya tunai yang dikeluarkan. Sedangkan nilai perbandingan R/C atas biaya total dan R/C atas biaya tunai petani wortel konvensional adalah 1,70 dan 2,48. Dari nilai perbandingan R/C atas biaya tunai dan biaya total petani responden wortel organik memiliki nilai perbandingan yang lebih tinggi dibandingkan petani wortel konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani wortel organik lebih menguntungkan dibandingkan usahatani wortel konvensional. Iryanti (2005), melakukan penelitian dengan judul Analisis Usahatani Komoditas Tomat Organik dan Anorganik (Studi Kasus: Desa Batulayang, Kecamatan Cisarua, Bogor). Dari analisis ini diperoleh bahwa sistem usahatani tomat organik yang dilakukan oleh petani di Desa Batulayang secara umum sama dengan sistem usahatani tomat secara konvensional/ anorganik. Perbedaan yang terdapat dalam usahatani tomat secara organik dan anorganik adalah tidak adanya penggunaan pupuk kimia dalam sistem usahatani organik. Rata- rata produksi tomat yang dihasilkan petani organik untuk luasan rata- rata lahan 0,18 ha sebanyak 4.589,24 kg dan untuk 1 ha yaitu sebanyak 25.495,75 kg, sedangkan produksi tomat yang dihasilkan petani anorganik untuk luasan rata- rata lahan 0,15 ha sebanyak 4.515,95 kg dan untuk 1 ha yaitu sebanyak 30.106,33 kg. Hal ini 16 menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kimia dapat mempengaruhi produksi tomat. Namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa petani yang berusahatani tomat secara organik memperoleh pendapatan atas biaya tunai pada luasan lahan 0,18 ha sebesar Rp. 6.280.275,85 sedangkan pada luasan lahan 1 ha pendapatan atas biaya tunai sebesar Rp. 34.890.421,39. Pendapatan atas biaya total yang diperoleh pada luasan lahan 0,18 ha untuk tomat organik sebesar Rp. 5.728.221,46 sedangkan pendapatan total pada luas lahan 1 ha sebesar Rp. 31.823.452,55. Pendapatan atas biaya tunai yang diperoleh dari tomat anorganik untuk lahan 0,15 dan 1 ha masing-masing adalah Rp. 4.083.678,56 dan Rp. 27.224.490,96 sedangkan pendapatan atas biaya total yang diperoleh pada lahan 0,5 dan 1 ha masing-masing adalah Rp. 3.579.549,60 dan Rp. 23.863.631,23. Berdasarkan penelitian terdahulu, maka dapat dilihat bahwa terdapat persamaan dan perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini. Persamaannya adalah sama-sama menganalisis tentang pendapatan yang dihasilkan oleh petani, baik pada komoditas cabai ataupun komoditas lainnya seperti tomat dan wortel. Ada juga yang bertujuan melihat pendapatan usahatani dari organik dan organik sedangkan dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat pendapatan usahatani kemitraan dan non-kemitran. Untuk perbedaanya yaitu lokasi penelitian yang berbeda, komoditi yang berbeda dan responden/ petani yang digunakan juga berbeda, sehingga hasil yang diharapkan juga berbeda dengan penelitian lainnya. 2.5.2. Penelitian Kemitraan Penelitian tentang kemitraan telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu. Achmad (2008) meneliti tentang manfaat kemitraan agribisnis bagi petani (kasus: kemitraan PT Pupuk Kujang dengan kelompok tani Sri Mandiri yang berlokasi di Desa Majalaya, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. PT Pupuk Kujang melakukan kemitraan dengan petani khususnya yang dekat dengan lokasi PT Pupuk Kujang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola kemitraan yang dilakukan perusahaan dengan petani yaitu kemitraan saham. Hasil analisis kuantitatif menggunakan regresi berganda dengan bantuan sofware SPSS 13, menunjukkan bahwa variabel-variabel yang 17 sangat kuat mempengaruhi manfaat kemitraan bagi petani mitra yaitu luas lahan, jarak tempuh rumah ke lahan, sumber informasi yang digunakan, ketersediaan modal kredit, dan proses manajemen kemitraan. Manfaat ekonomi yang diperoleh petani mitra dari pola kemitraan yaitu produktivitas yang lebih tinggi, pendapatan yang lebih tinggi, harga produk yang lebih baik dan meningkatkan teknologi pertanian (pangan) melalui penggunaan pupuk yang merupakan produk perusahaan mitra. Manfaat sosial yang diperoleh petani yaitu keberlanjutan kerjasama antara perusahaan dengan petani, dan juga pola kemitraan yang dilaksanakan berhubungan dengan kelestarian lingkungan. Penelitian mengenai kemitraan yang dilakukan oleh Purnaningsih dan Sugihen (2008) dengan judul “Manfaat Keterlibatan Petani Dalam Pola Kemitraan Agribisnis Sayuran Di Jawa Barat” menyimpulkan bahwa keterlibatan petani dalam pola kemitraan terbukti merupakan salah satu peubah yang berpengaruh terhadap penggunaan teknologi yang lebih baik yang berpengaruh terhadap pendapatan petani dengan memberi manfaat baik secara teknis maupun secara ekonomi. Manfaat ekonomi yang diperoleh petani dari keterlibatannya dalam pola kemitraaan selain pendapatan yang lebih tinggi, adalah harga yang lebih pasti, produktivitas lahan lebih tinggi, penyerapan tenaga kerja dan modal yang lebih tinggi, dan resiko usaha ditanggung bersama. Manfaat teknis yang diperoleh petani dari pola kemitraan adalah penggunaan teknologi yang lebih baik dalam rangka mencapai mutu produk yang lebih baik sesuai harapan konsumen. Manfaat sosial yang diperoleh petani dari pola kemitraan adalah ada kesinambungan kerjasama antara petani dan perusahaan, koperasi maupun pedagang pengumpul, serta pola kemitraan mempunyai kontribusi terhadap kelestarian lingkungan. Keterlibatan petani dalam pola kemitraan berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan petani, di mana pendapatan yang diperoleh dari usahatani kemitraan memberi sumbangan yang sangat signifikan terhadap pengeluaran total. Saptana et al (2009) yang meneliti mengenai “ Strategi Kemitraan Usaha Dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Cabai Merah Di Jawa Tengah” menyimpulkan bahwa salah satu prinsip dasar dari sebuah kemitraan adalah 18 Keterbukaan (tranparancy) diantara pihak-pihak yang bermitra. Keterbukaan tersebut iterutama dalam hal pembagian hak dan kewajiban, penetapan kontrak atau penetapan harga, dan penegakkan kontrak berdasarkan prisisp kesetaraan. Selain itu kemampuan dalam menembus dan memperluas jaringan pasar oleh perusahaan mitra dan kemampuan pendalaman industry pengolahan melalui pengembangan produk juga dapat menjadi manfaat dari sebuah pola kemitraan. Menurut penenlitian Nurdiniyawati (1997) disimpulkan bahwa jalinan hubungan kemitraan membawa banyak manfaat antara lain adanya jaminan pasar, jaminan keberlanjutan, jaminan harga dan keuntungan. Hal tersebut juga tidak berbeda jauh dengan penelitian yang dilakukan Marliana (2008) yang meneliti tentang “Analisis Manfaat Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keputusan Petani Terhadap Pelaksanaan Kemitraan Lettuce Di PT Saung Mirwan”. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa petani yang bermitra akan mendapatkan banyak manfaat diantaranya adalah Manfaat yang dirasakan petani diantaranya yaitu kemudahan dalam pemasaran, harga lebih baik, keuntungan lebih tinggi, bantuan budidaya, serta memiliki ikatan kuat atau jalinan kekeluargaan dengan petani. Manfaat teknis lainnya dengan menjadi mitra yaitu adanya penyediaan bibit, sehingga petani mitra tidak perlu melakukan pembibitan sendiri.pendapatan usahatani yang lebih tinggi dibandingkan petani yang tidak bermitra. Hal itu berdasarkan analisis pendapatan usahatani lettuce yang dilihat dari pendapatan tunai dan non tunai serta R/C rasio. Berdasarkan beberapa contoh penelitian terdahulu diatas terlihat bahwa salah satu manfaat dari kemitraan adalah adanya jaminan harga dan pasar sehingga mampu menjamin penerimaan petani. Oleh karena itu, pendapatan petani tidak akan berfluktuasi akibat harga yang didapat oleh petani bermitra telah tetap. Jaminan keberlanjutan bagi petani juga menjadi sebuah kepastian bagi petani yang bermitra sedangkan yang tidak bermitra sewaktu-waktu bisa tidak mendapat jaminan keberlanjutan. 19