KONSTITUSIONALITAS HUKUMAN MATI DI INDONESIA Nelvitia Purba SH, M.Hum1 Abstrak Hukuman Mati (death penalty) dalam praktek pemidanaan di dunia masih mengundang perdebatan. Sikap pro dan kontra ini masih terus berujung pada persoalan mendasar apakah hukuman mati dipandang dapat mengurangi angka kejahatan ? Hukuman mati dipandang sebagian pihak sebagai upaya perampasan hak hidup seseorang. Hak hidup dinilai bersifat inalienablerights.Bahkan ,dalam kondisi bagaimanapun hak hidup harus tidak bias dikesampingkan (non derogable rights). Bahwa praktek penerapan hukuman mati berlaku di Indonesia. Hal itu terlihat dari beberapa tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati. Ancaman hukuman mati secara eksplisit ditegaskan dalam berbagai materi muatan peraturan perundang-undangan di Indonesia. bahwa hukuman mati sangat dibutuhkan khususnya di Indonesia,teapi harus ditetapkan secara spesifik dan selektif. Spesifik artinya hukuman mati diterapkan untuk kejahatan-kejahatan serius(”heinous”) mencakupi korupsi, pengedar narkoba,teroris,pelanggar HAM yang berat dan pembunuhan berencana. Yang dimaksud dengan selektif adalah bahwa terpidana yang dijatuhi hukuman mati harus yang benar-benar yang telah terbukti dengan sangat meyakinkan di pengadilan (”beyoun reasonable doubt”) bahwa memang dialah sebagai pelakunya. Misalnya terdakwa sendiri secara gamblang mengakui perbuatanya, seluruh alat bukti memang”menyatakan”diri terdakwalah sebagai pelakunya. Bahwa ketentuan Pasal 281 ayat(1) Undangundang Dasar Negara Repoblik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi,”Hak untuk hidup,hak untuk tidak disiksa,hak untuk kemrdekaan pikiran dan hati nurani,hak untuk tidak diperbudak,hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum,dan hak untuk di untut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun:” pada dasarnya bukanlah ketentuan yang melarang sama sekali hukuman mati ditarapkan di indonesia. Bahwa filosofi diberlakukannya ancaman pidana yang berat bagi pelaku tindak pidana narkoba juga dinyatakan dalam penjelasan umum Undang-undang narkotika yang menyatakan perlu memberikan efek psikologis kepada masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana narotika. Kejahatan narkotika merupakan kejahatan dengan exremely grave conseguences, akibat buruk yang dahsyat dan oleh karenanya hukuman mati dapat saja diberikan. Pendahuluan. Hukuman Mati (death penalty) dalam praktek pemidanaan di dunia masih mengundang perdebatan. Sikap pro dan kontra ini masih terus berujung pada persoalan mendasar apakah hukuman mati dipandang dapat mengurangi angka kejahatan ? Hukuman mati dipandang sebagian pihak sebagai upaya perampasan hak hidup seseorang. Hak hidup dinilai bersifat inalienablerights.Bahkan ,dalam kondisi bagaimanapun hak hidup harus tidak bias dikesampingkan (non derogable rights) Bagi sebagian pihak lainnya justru berpandangan bahwa hukuman mati merupakan ultimum remedium ,yakni hukuman puncak yang dapat diterapkan manakala unsure-unsur pemidanaan itu telah terpenuhi .Sekalipun dipandang sebagai hak mendasar,namun Hak Asasi Manusia patut mendapat pembatasan (restriction). Pembatasan itu dibenarkan,manakala hak hidup banyak orang dijadikan sebagai prioritas ketimbang hak hidup personal dari pelaku sekalipun. Dalam konteks Indonesia, hukuman mati masih diadopsi sebagai salah satu hukuman pokok yang dapat dijatuhkan,sekalipun pelaksanaan itu tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Masih dibutuhkan sebuah 1 Dosen Yayasan UMN Al Washliyah Medan kepastian hokum terhadap tindak pidana yang dilakukan seseorang. Maka pertimbangan dan keyakinan hakim menjadi satu hal yang sangat penting untuk menjatuhkan hukuman mati di Indonesia. Tindak kejahatan pada masa sekarang ini mengalami perkembangan yang cukup pesat dan memiliki bentuk yang sangat beragam. Maka untuk menghadapi tersebut dibutuhkan kekuatan hokum yang dapat menanggulangi setiap kejahatan.Suatu hukuman yang dijatuhkan jika hanya tercantum di kertas saja, maka hal itu tidak ada artinya. Kesan dari hukuman itu hanya bersifat formal saja itu tidak ada artinya. Kesan dari hukuman yang hanya bersifat formal saja hamper-hampir tidak ada.Kesan tersebut akan datang dari kekuatan suatu hukuman yang benar-benar diamalkan, apabila suatu ketentuan dilanggar.sudah tentu kemungkinan bahwa masyarakat takut hukuman yang dijatuhkan. Dari segi kriminologi ditemukan pernyataan bahwa yang penting pada hukuman adalah kepastian.Pentingnya kepastian bahwa pengawasan ketat yang dilakukan terhadap ketentuan-ketentuan Undang-undang yang berlaku.Bagi masyarakat kepastian akan pengamalan hukuman juga dapat berdampak pada proses pencegahan timbulnya kejahatan-kejahatan tersebut.Hukuman mati tergolong kepada hukuman pokok yang irrevocable,artinya tidak dapat diperbaiki bila hukuman ini dijatuhkan karena menyangkut nyawa dari manusia .Untuk mencapai sebuah kematangan pola piker akan dibahas “ Konstitusionalitas Hukuman Mati di Indonesia “ Ancaman Hukuman Mati Dalam Berbagai Tindak Pidana Sebagaimana ditegaskan di awal bahwa praktek penerapan hukuman mati berlaku di Indonesia. Hal itu terlihat dari beberapa tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati.Ancaman hukuman mati secara eksplisit ditegaskan dalam berbagai materi muatan peraturan perundang-undangan di Indonesia yakni : 1. Makar (aanslag) Ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal 104 KUHPid yang berbunyi sebagai berikut “ Makar (aanslag) yang dlakukan dengan niat hendak membunuh Presiden atau Wakil Presiden atau dengan maksud hendak merampas kemerdekaannya atau hendak menjadikan mereka itu tiada cakap memerintah, dihukum mati atau Penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun ”. 2.Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Hal ini ditegaskan pada Pasal 340 KUHPid yang berbunyi : “ Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lama dua puluh tahun. 3.Tindak Pidana Korupsi Hal ini ditegaskan pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut : (1) Setiap orang yang secara melawan hokum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara,dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah).dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah),(2) Dalamhal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. 4.Kejahatan Genosida Hal ini diatur dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang berbunyi sebagai berikut : Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a,b.c,d atau e dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima)tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. 5.Kejahatan Kemanusiaan Hal ini diatur dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang berbunyi sebagai berikut : Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a,b,d,e atau j dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. 6.Mobilisasi Anak Dalam Perdagangan Gelap narkotika Hal ini diatur dalam pasal 89 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi :Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi atau distribusi narkotika dan /atau psikotropika, dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Dalam kaitannya dengan prinsip Hak Asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,materi hukuman mati juga disinggung,Bahkan pelaksanaan hukuman mati dibenarkan, kecuali pada anak-anak.Pasal 66 yang berbunyi Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak-anak. Selain itu, pada penjelasan Pasal 9 ayat (1) juga ditegaskan bahwa sekalipun hak hidup adalah hak fundamental bagi manusia, pembatasan melalui penetapan hukuman mati melalui putusan Pengadilan dapat dibenarkan sekalipun dipandang sebagai perampasan hak hidup seseorang.Selengkapnya berbunyi sebagai berikut : ’ Setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luarbiasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan Pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalamhal atau kondisi tersebut masih dapat diizinkan . Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi. Tujuan Pemidanaan di Indonesia Tujuan pemidanaan di Indonesia sebagaimana yang dirumuskan oleh BPHN dalam suatu konsep rencana untuk KHUPid Nasional adalah sebagai berikut : Untuk mencegah dilakukannya perbuatan pidana demi pengayoman negara, masyarakat dan penduduk. Untuk membimbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna.Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh perbuatan pidana Menurut instrumen hak asasi manusia Dalam kedudukannya sebagai pengawal dan penafsir konstitusi (the guardian and interpreter of the constitution), MK berperan penting strategis dalam upaya penghidupan Konstitusi di Indonesia (living constitution in Indonesia). Sejak kelahirannya pada Agustus 2003 lalu, telah banyak putusan yang memberikan kontribusi bagi kekuatan dan kehidupan konstitusi.Salah satu yang dijadikan contoh adalah Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007 tanggal 30 Oktober 2007. Putusan ini menarik karena perdebatan tentang hukuman mati semakin mendekati titik akhir karena Konstitusionalitas hukuman mati semakin dikukuhkan.Sekalipun masih dalam konteks tindak pidana narkotika ,namun demikian putusan ini menjadi alas pemikiran yang lebih genuine tentang kedudukan hukuman mati dan Konstitusionalitasnya di Indonesia. Hukuman mati adalah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan oleh Pengadilan (atau tanpa Pengdilan ) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat dari perbuatannya.Dalam sejarah dikenal beberapa cara pelaksanaan hukuman mati yaitu :dipancung, ditembak mati, digantung, disetrum pada kursi listrik, dan disuntik. Hak atas penghidupan tidak dijamin sebagai hak mutlak.Misalnya menurut konvensi Eropa, pencabutan nyawa tidak bertentangan dengan hak atas penghidupan, apabila pencabutan ini diakibatkan oleh tindakan tertentu yang sudah dietapkan. Konvensi Eropa mensyaratkan hukuman mati dikenakan oleh suatu pengadilan,sesudah memperoleh keyakinan mengenai suatu kejahatan yang karena putusannya ditetapkan oleh Undang-undang. Bahkan ICCPR juga tidak secara mutlak melarang hukuman mati,dimana hanya memberikan batasan hukuman mati diperbolehkan pada ” Kejahatan Yang Berat ” dan hanya boleh dikenakan dengan suatu keputusan final suatu pengadilan yang berwenang sesuai dengan Undangundang.Lebih lanjut ICCPR melarang pengenaan hukuman mati pada orang dibawah usia delapan belas tahun pada saat melakukan kejahatan, dan melarang eksekusi pada wanita hamils.sebangaimana yang dikemukakan dalam butir 4 diata, ICCPR juga tidak melarang keberadaan hukuman mati atau death penalty di suatu negara Sebagaimanan yang dinyatakan dalam artcle 6 ICCPR,yang berbunyi sebangai berikut: 1. Every human being has the inherent right to life.This right shall be Protected by law.No one shall be arbitrarily of his life. 2. In countries which have not abolished the death penalty,sentence of death may be be imposed only for the most serious crimes in accordance whit the law in force at the time of the commission of the crime and not contrary to the to the provisions of the present Covenant and to the Convention on the prevention and punishment of the crime of genocide.Tehis penalty can only be carried out pursuant to a final judgemant rendered by a competent court. 3. When deprivation of life constitutes the crime of genocide, It is understood that nothing in this article shall authorize any State Party to The presnt Covenant to degorate in any way from any obligation assumen Under the provisions of the comvetion on the Prevantion and punshmant of The crime 0f genocide. 4. Anyone sentencet to death shall have the right to Seek pardon or comutation of the sentencet Amnesty,pardon or comutation of death may be granted in all cases. 5. Sentencet of death shall not be impiosed for crimes committedby persons below eighteen years of age small not be carriet out pregnant womem. 6. Nothing in this article shall be invked to delay or to prevent the abolition of capital punishment by any State Party to the present Covenant. Berdasarkan pasa l6 ayat (2) di atas ,The UN Human Rights Committee menetapkan dalam menafsirkan ketentuan dalam ICCPR tersebut, the expression’most serious crime’must be read restrictively to mean that the death penalty should be a quite exceptional measure. Bahwa kejahatan narkotika merupakan “most serious crime” di Indonesia, karena dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akan dapat melemahkan ketahanan dan keamanan nasional. Beberapa Negara yang keras memperlakukan hukuman mati itu antara lain: 1. Pemerintah Repoblik Rakyat China (RRC),adalah negara yang paling keras melakuka perang terhadap tindak pidana narkoba. Hukuman mati bagi pelaku dilakukan setiapsaat secara kolektif.Mereka diarak keliling kota dan dipertontonkan kepada publik,kemudian peroses eksekusi mati dengan ditembak disaksikan masyarakat luas dan disiarkan untuk tujuan memberikan efek jera kepada masyarakat agar tidak melakukan kejahatan serupa.Setiap peluru yang dipergunakan untuk mengeksekusi,harus ditebus oleh keluarga pelaku. 2. Pemerintsh malaysia dan Sigapura,yang negaranya strategis di jalur peredaran narkoba Segitiga Emas dan Bulan Sabit Emas,setiappenggunaan yang kedapatan membawa lebih dari 5 ml gram heroin (sebuah kadar untuk penguna)dijatuhi hukuman mati dengan di gantung atau dihukum cambuk.Walau daftar antrihukuman mati itu panjang,tetapi tidak menyurutkan angka kejahatan trsbt. 3. Pemerintah Thailand,mengeluarkan peraturan antara lain barangsiapa membawa narkoba lebih dari 20 gram meskipun dengan resep dokter atau unuk keprluan medis akan dihukum mati. 4. Pemerintah Jepang juga memberlakukan hukuman mati bagi pelaku PT Narkoba dan mewajibkan para bankir dan akuntan untuk melaorkan jika ada transaksi narkoba 5. Pemerintah Belanda, walau dianggap paling liberal|bebas tehadap peredaran narkoba,pengedaran narkoba dikenai hukuman kerja paksa. Bahwa hukuman mati sangat dibutuhkan khususnya di Indonesia,teapi harus ditetapkan secara spesifik dan selektif.Spesifik artinya hukuman mati diterapkan untuk kejahatan-kejahatan serius(”heinous”) mencakupi korupsi, pengedar narkoba,teroris,pelanggar HAM yang berat dan pembunuhan berencana. Yang dimaksud dengan selektif adalah bahwa terpidana yang dijatuhi hukuman mati harus yang benar-benar yang telah terbukti dengan sangat meyakinkan di pengadilan (”beyoun reasonable doubt”)bahwa memang dialah sebagai pelakunya. Misalnya terdakwa sendiri secara gamblang mengakui perbuatanya, seluruh alat bukti memang”menyatakan”diri terdakwalah sebagai pelakunya. Bahwa ketentuan Pasal 281 ayat(1)Undang-undang Dasar Negara Repoblik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi,”Hak untuk hidup,hak untuk tidak disiksa,hak untuk kemrdekaan pikiran dan hati nurani,hak untuk tidak diperbudak,hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum,dan hak untuk di untut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun:” pada dasarnya bukanlah ketentuan yang melarang sama sekali hukuman mati ditarapkan di indonesia Bahwa dalam memahami ketentuan pasal 281ayat (1) harus pararel dan mencermati ketentuan yang terkandung dalam pasal 28J ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Repoblik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi,”Dalam menjalankan hak dan kebebasanya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demkratis”, Jika hanya membaca pasal 281 ayat (1) saja,maka memang terdapat kesan seolah-olah konstitusi ”melarang hukuman mati”, tetapi bila membaca dan mencermati ketentuan pasal 281 ayat (1) maupun pasal 28J ayat (2),maka dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa,hak untuk hidup,hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,hak untuk tidak diperbudak,hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum,dan hak untuk tidak di tuntut atas dasar hukum yang berlaku surut,adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, tetapi plaksanaan hak tersebut dapat dibatasi dan bahkan dihilangkan plaksanaanya aslkan: a.sesuai dengan undang-undang; b.sesuai dengan pertimbangan moral c.sesuai dengan nilai agama: d.sesuai dengan keamanan dan ketetiban umum Dengan kata lain , ” dikecualikannya ” jaminan hak yang ada dalam Pasal , 281 ayat (1) itu dimungkinkan jika berdasarkan undang- undang , pertimbangan moral, nilai agama , demi keamanan dan ketertiban umum . Yang lebih pening lagi adalah hukuman mati tetap diperlukan karena tindakan dari pelaku sendiri yang tidak lagi memperhaikan aspek kehidupan yang berperkemanusiaan( Sila kedua dari Pancasila ) dan kehidupan yang penuh dengan berkeadilan sosial ( sila kelima dari Pancasila ) . Dengan perkatan lain , sesungguhnya para penjahat tidak pidana narkotika ( pengedar , pemakai dan sindikat internasional narkotika ) yang tertangkap aparat dan kemudian dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan harus dilihat sebagai orang yang membahayakan ” hak hidup Kesimpulan Bahwa filosofi diberlakukannya ancaman pidana yang berat bagi pelaku tindak pidana narkoba juga dinyatakan dalam penjelasan umum Undang-undang narkotika yang menyatakan perlu memberikan efek psikologis kepada masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana narotika .Kejahatan narkotika merupakan kejahatan dengan exremely grave conseguences, akibat buruk yang dahsyat dan oleh karenanya hukuman mati dapat saja diberikan. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari penegakan hukum dan HAM di Indonesia,dengan putusan itu jaminan konstitusi terhadap hak hidup menjadi semakin kokoh .Konstitusionalitas hukuman mati dalam tindak pidana Narkotika menurut Undang-undang narkotika menjadi semakin kuat.Bagaimana apresiasi terhadap putusan ini mampu merealsasikan harapan bangsa bahwa sebagai kejahatan luarbiasa ,maka langkah luarbiasa apa yang kita lakukan untuk mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika dan psikotropika di Indonesia. Daftar Pustaka Adam Chazawi, 2001, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Andi Hamzah, 1993, Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasarkan Teori dan Cipta, Jakarta. Praktek, Rineka Andi Hamzah, 1987, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi, Pradya Paramita, Jakarta. Andi Hamzah, 1985, Pidana Mati Di Masa Lalu, Kini dan Masa Depan, Ghalia, Indonesia. Adhi, (2007), Hukuman Mati di Tengah Perdebatan, http:// pitoyoadhi.wordpress.com/2007/01/03/hukumanmati-pro-atau-kontra/. Diakses pada tanggal, 9 Juli 2009. Bambang Sunggono, (1998), Metodologi Penelitin Hukum, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, Bambang Waluyo, (1996) Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta Sinar Grafika, Gayus Lumbuun, (2008), Hentikan Pidana Mati. http://www2.kompas.com/kompas cetak/0302/28/OPINI/152606.htm. Diakses pada tanggal, 7 Juli 2009 Joko Prakoso, 1987, Masalah Pidana Mati (soal tanya jawab), Bina Aksara, Jakarta. Joko Prakoso, 1984, Masalah Pemberian Pidana Dalam Teori Dan Praktek Peradilan, Bina Aksara, Jakarta. Koeswadji Hadiati Hermien, 1995, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Pembangunan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung. Rangka Lamintangm 1984, Hukum Penentensir Indonesia, Armico, Bandung. Lili Rasjidi, (1999), Hukuman Mati dalam Tinjauan Filsafat, Cetakan Pertama, Bandung, Masyhur Effendi, 1994, Dimensi Dinamika HAM Dalam Hukum Nasional dan Indonesia. Internasional,Ghalia, Mangasa Sidabutar, 1995, Hak Terdakwa Terpidana Penuntut Umum Menempuh Grafindo Persada, Jakarta. Upaya Hukum, Raja Nurwahchi, 1994, Pidana Mati dala Hukum Pidana Islam, Al-Ikhlas, Surabaya. Nurwahchi, 1985, Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Ghalia, Indonesia. Mati di Indonesia, Moleong, 1989, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Karya, Bandung. Pensra, Dalam tesis berjudul, Pidana Mati Ditinjau Dari Sudut Pandang HAM, Posman Hutapea, (2001), Mempersoalkan Pelaksanaan Hukuman Mati, Edisi Kedua, Bandung, Paskalis Pieter, (2007), Hukuman Mati dan Hak Asasi Manusia, Cetakan I, Jakarta, PT. Grafindo Persada Rahmad A. Ghani, (2007), Makna Yuridis Pelaksanaan Hukuman Mati, Semarang, UNDIP Ronny Hanitijo, (1982) Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, Roger Hood, The Death Penalty; A Worldwide perspective (Oxford University Press,(2002 ). www.amnesty.org Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track Implementasiny, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sistem dan SR. Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta. Tibor R. Machan dengan penerjemah Masri Maris, (2006), Kebebasan dan Kebudayaan,Jakarta Yayasan Obor Indonesia Waluyo Bambang, 2000, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta. Yahya AZ, 2007, Problematika Penerapan Pidana Mati dalam Kaitannya dengan (HAM), PUSHAM UII, Yogyakarta. Hak Asasi Manusia Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen. Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentak Tindak Pidana Psikotropika. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Tindak Pidana Narkotika. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2002, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman HAM RI. Putusan Mahkamah Konstusi terhadap Yudicial Review Undang-Undang No. 22 Tentang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar 1945.