perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 56 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian 1. Lokasi dan Keadaan Masyarakat Kampung Laweyan a. Lokasi Kampung Batik Laweyan Kampung Batik Laweyan merupakan salah satu kampung yang berada di wilayah Kota Surakarta. Wilayah kampung batik Laweyan secara administratif, termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Laweyan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Wilayah kampung Laweyan berada di sebelah barat daya dari pusat pemerintahan Kota Surakarta berjarak kurang lebih sekitar 15 km, adapun batas-batas wilayah Kampung Laweyan adalah sebagai berikut. Sisi sebelah utara Kampung Laweyan berbatasan dengan dengan wilayah Kelurahan Sondakan, Kecamatan Laweyan yang dibatasi oleh jalan Dr. Radjiman sekarang, dahulu jalan ini merupakan jalan yang digunakan sebagai jalur transportasi darat utama bagi masyarakat dan bernama jalan Laweyan. Sisi sebelah selatan wilayah Kampung Laweyan, berbatasan dengan kelurahan Banaran, Kabupaten Sukoharjo. Di wilayah ini terdapat sebuah sungai yaitu sungai Jenes yang juga sekaligus menjadi pembatas antara wilayah Kota Surakarta dengan Kabupaten Sukoharjo. Dahulu masyarakat menyebut sungai ini sebagai Sungai Kabanaran. Pada masa lalu, sungai tersebut merupakan jalur utama transportasi dan perdagangan yang terhubung langsung ke Sungai Bengawan Solo. Bagian barat wilayah Kampung Laweyan berbatasan dengan Kelurahan Pajang, Kabupaten Sukoharjo. Di Kelurahan Pajang inilah terdapat situs Kerajaan Pajang. Sisi sebelah timur Kampung Laweyan berbatasan dengan Kalurahan Bumi, yang masih termasuk kedalam wilayah administratif kecamatan Laweyan, Kota Surakarta. Luas wilayah Kampung Laweyan adalah 24800 m², yang terbagi ke dalam delapan wilayah kampung, yaitu kampung Kwanggan, kampung Sayangan Kulon, commit to user 56 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 57 kampung Sayangan Wetan, kampung Setono, kampung Lor Pasar, kampung Kidul Pasar, kampung Kramat dan kampung Klaseman. Keadaan iklim di Laweyan sama seperti umumnya keadaan iklim daerahdaerah lain di Jawa Tengah, yaitu beriklim Muson. Daerah yang mempunyai iklim tersebut dalam setahun terdapat musim hujan pada bulan Oktober sampai April dan musim kemarau pada bulan Mei sampai bulan September. Curah hujan ratarata 24, 25 mm per bulan dan suhu udara rata -rata 27, 29? C. b. Demografi Masyarakat Laweyan Kelurahan Laweyan secara fisik dapat dilihat dari jumlah kependudukan dan mata pencaharian. Menurut data yang diambil dari kelurahan Laweyan per April 2013, Kelurahan Laweyan memiliki jumlah penduduk sejumlah 2.258 jiwa dengan perincian jumlah penduduk laki- laki berjumlah 1.116 jiwa dan jumlah penduduk perempuan berjumlah 1.142 jiwa Wilayah Kelurahan Laweyan, secara administratif terbagi kedalam 3 Rukun Warga (RW) dan 10 Rukun Tetangga (RT) yang terbagi kedalam 714 kepala keluarga (KK). Secara umum, tingkat pendidikan pada masyarakat Laweyan ratarata terakhir adalah SLTA atau sederajat. Jika dilihat dari segi mata pencaharian masyarakat secara umum , pekerjaan masyarakat di kampung Laweyan rata -rata bekerja sebagai karyawan dan pada sektor wiraswasta , terutama dalam industri batik. Masyarakat Kelurahan Laweyan, mayoritas memeluk Agama Islam, untuk lebih jelasnya dibawah disajikan sebuah tabel mengenai demografi masyarakat Kelurahan Laweyan, Kecamatan Laweyan Surakarta data di ambil per April 2013. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 58 Tabel 4.1. Data Kependudukan Kelurahan Laweyan Per April 2013 BANK DATA-BULAN APRIL 2013 KELURAHAN LAWEYAN KECAMATAN LAWEYAN KOTA SURAKARTA UMUR Kelompok Lk Pr PENDIDIKAN PEKERJAAN AGAMA (umur 5 tahun keatas) (Umur 17 tahun keatas) Islam 0–4 36 32 Tidak /blm Sekolah 239 4–9 85 64 Belum tamat SD 60 10 – 14 70 96 Tidak Tamat SD 15 – 19 87 91 20 – 24 83 25 – 29 85 Belum/tdk bekerja 181 2.078 Kristen 88 Buruh 83 Katholik 92 209 Guru/Dosen 23 Hindu - TamatSD 201 Karyawan 480 Budha - 75 SLTP/Sederajat 280 Mengurus Rmh Tangga 246 Konghucu - 85 SLTA/Sederajat 792 Pelajar/Mahasiswa 208 Lainnya 30 – 39 208 193 Diploma III/SM 133 PNS 33 40 – 49 168 187 Diploma IV/ S1 243 TNI 3 50 – 59 143 143 Starta 2 33 POLRI 1 60 plus 151 Starta 3 1 Pensiunan/Purnawirawan 44 Wiraswasta 284 Lain-lain 173 176 Jumlah Laki- laki 1.116 Perempuan 1.142 Jumlah Total 2.258 Kepala Keluarga 714 Rukun Tetangga Rukun Warga 10 3 Sumber : Data Kelurahan Laweyan Per April 2013 commit to user - perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 59 2. Sejarah Laweyan a. Asal Muasal Nama Laweyan Laweyan masa lalu terkenal sebagai daerah yang menjadi pusat perdagangan lawe yaitu salah satu bahan baku pembuatan tenun. Keberadaan wilayah Laweyan telah ada sejak sebelum berdirinya Kerajaan Mataram Islam. Kampung Laweyan merupakan wilayah yang cukup strategis pada masa keraton Pajang, letak Laweyan yang terletak di antara dua sungai, yaitu sungai Premulung dan sungai Jenes atau sungai Kabanaran sekarang, dimana di sisi sungai Kabanaran tersebut terdapat sebuah bandar, yaitu bandar Kabanaran dan pasar Laweyan. Letak Laweyan yang strategis ini memungkinkan wilayah Laweyan menjadi pusat peradagangan dan penjualan lawe yang cukup ramai pada masa itu. Bandar Sungai Kabanaran yang terletak di tepi sungai Kabanaran memungkinkan para pengusaha atau saudagar di Laweyan lebih cepat memasarkan produknya ke bandar besar Nusupan yang berada di tepi Bengawan Solo. Sungai dan Bandar Kabanaran sebagai cabang dan penghubung jalur menuju sungai Bengawan Solo berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat Laweyan. (Wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat Catatan Lapangan 1, pada lampiran halaman 200 (Selanjutnya, dalam kalimat disingkat menjadi CL 1). Sungai Bengawan Solo merupakan sunga i terbesar yang membelah wilayah Jawa Tengah dan mengalir sampai ke Jawa Timur, sungai Bengawan Solo sejak dahulu telah digunakan masyarakat sebagai jalur transportasi utama sebelum adanya transportasi darat. Dalam hal ini dapat dikaitkan dengan simpulan Soeratman (1989) yang menyatakan bahwa, “bengawan adalah sebuah sungai yang terbesar di Jawa sejak zaman kuno yang mempunyai arti penting sebagi jalur penghubung antara Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk kepentingan ekonomi, militer, politik, sosial” (hlm. 19). Pentingnya sungai Bengawan Solo merupakan bukti bahwa sungai merupakan ja lur transportasi utama kala itu sebelum dibangunnya jalan darat. Sungai pada masa lalu selain digunakan sebagai jalur transportasi masyarakat, commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 60 juga digunakan pula dalam mendistribusikan batik dan kegiatan perdagangan lainnya. Wilayah Laweyan, dilihat dari sisi sejarah merupakan wilayah yang termasuk kedalam status tanah perdikan . Tanah Perdikan adalah sistem pengaturan tanah yang di adopsi dari ajaran hukum India oleh kerajaan-kerajaan di nusantara. Hal tersebut sesuai dengan simpulan Schrieke (1975) menyatakan bahwa pranata daerah bebas yang disebut “perdikan” merupakan suatu kelanjutan dari ajaran hukum India. Para raja Hindu dapat memberikan kebebasan dari beban-beban kerajaan (dharma sima swatantra atau membebaskan), kepada sesuatu desa atau daerah karena sesuatu alasan (Widayati, 2002 : 47). Wilayah Laweyan dijadikan sebagai tanah perdikan, yaitu tanah yang dibebaskan dari segala macam beban kerajaan. Status tanah perdikan mulai diberlakukan sejak era Kerajaan Pajang sampai era Keraton Kasunanan Surakarta. Status wilayah yang dimerdekakan dan sentra produksi dan perdagangan lawe menjadikan Laweyan berkembang pesat dari segi ekonomi, sosial maupun budaya masyarakat Laweyan. Sejarah mencatat bahwa dengan status sebagai sentra perdagangan lawe, sampai sentra industri batik itulah Laweyan menjadi terkena. Bahkan asal mula nama Laweyan sendiri diduga berawal dari sesuatu yang berkaitan dengan usaha masyarakatnya yaitu berdagang lawe (bahan baku pembuatan benang atau tenun), hal ini sejalan dengan pendapat Mlayadipura (l981) yang menyatakan bahwa, “…Asal nama Kampung Laweyan dikatakan berasal dari kata “lawe” atau kapas yang dipintal kemudian diantih (ditenun) menjadi mori gedog (mori yang rupanya masih seperti lawe atau belum diberi pemutih) dan kain baju lurik….” (hlm. 10). Metamorfosis Laweyan sebagai pusat perdagangan lawe menjadi Industri batik cap sendiri terjadi sekitar abad ke XX bersamaan dengan perkembangan industri batik di Surakarta. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 61 b. Kyai Ageng Henis dan Kampung Laweyan Sejarah kawasan Laweyan barulah berarti setelah Kyai Ageng Henis bermukim di desa Laweyan pada sekitar tahun 1546 M, tepatnya di sebelah utara pasar Laweyan. Kyai Ageng Henis adalah putra dari Kyai Ageng Selo, yang menurut silsilah merupakan keturunan raja dari kerajaan Majapahit yaitu Raja Brawijaya V (Mlayadipura, 1981). Laweyan sebagai suatu wilayah sudah berada sejak sebelum keraton Kasunanan Surakarata Hadiningrat berada, yakni pada masa kerajaan Pajang, pada saat itu Kerajaan Pajang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya atau lebih dikenal dengan sebutan Jaka Tingkir pada sekitar tahun 1568. Wilayah Laweyan sejak dahulu sudah terkenal dengan pusat dari perdagangan terutama pusat perdagangan lawe sebagai ba han utama pembuatan kain, letak Laweyan yang sangat strategis pada waktu itu. Keberadaan sungai Jenes sebagai pusat perdagangan serta adanya bandar Kabanaran yang menghubungkan dengan bandar besar yaitu bandar besar Nusupan di sisi Bengawan Solo. Perkembangan Laweyan sebagai suatu kawasan yang terkenal tidak bisa terlepas dari peranan tokoh yang melegenda yaitu Kyai Ageng Henis (Wawancara, Bapak Drs.Susanto M.Hum, 6 Juni 2013). Lebih lanjut lihat Catatan Lapangan 2, pada lampiran halaman 208 (Selanjutnya, dalam kalimat disingkat menjadi CL 2). Kyai Ageng Henis adalah tokoh yang berjasa menyiarkan agama Islam di wilayah Laweyan yang dahulu beragama Hindu. Wilayah kampung Laweyan atau pedukuhan Laweyan awalnya menganut Agama Hindu, yang dipimpin oleh seorang yang bernama Kyai Ageng Beluk, kemudian Kyai Ageng Henis diutus untuk mengislamkan wilayah Laweyan dan mendirikan langgar (Mushola) yang berada di sebelah selatan sungai Jenes. Langgar tersebut sekarang dikenal dengan nama Masijd Laweyan. Kyai Ageng Henis adalah tokoh pemuka agama yang sangat terkenal dan disegani, karena jasanya itu raja kerajaan Demak yang saat itu dipimpin oleh Raden Patah memberikan tanah di kampung Laweyan dan dijadikan sebagai wilayah atau tanah perdikan yang dibebaskan dari segala macam pajak kerajaan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 62 Demak dan keraton Pajang. Kampung Laweyan dahulu merupakan daerah perdikan dari kerajaan Pajang, kerajaan Pajang saat itu di pimpin oleh Sultan Hadiwijaya atau terkenal dengan nama Jaka Tingkir. Kampung Laweyan awalnya merupakan sebuah wilayah yang memeluk Agama Hindu, setelah terjadinya Islamisasi, masyarakat Laweyan kemudian memeluk islam, termasuk Kyai Ageng Beluk sendiri yang memeluk Islam dan wilayah Laweyan, dijadikan sebagai wilayah atau tanah perdikan . Tanah perdikan adalah tanah yang diberikan oleh kerajaan atau raja karena pengabdian seseorang terhadap raja, tanah Laweyan diberikan kepada Kyai Ageng Henis, sebagai balas jasa kepada kepada Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir raja dari kerajaan Pajang waktu itu. Sejak era Kerajaan Demak sampai era Kasunanan tanah Laweyan tetap menjadi tanah perdikan. Tanah pemberian ini kemudian diberi nama Laweyan, karena wilayah ini terkenal dengan komoditas perdagangan atau bahan baku pembuatan lawe yang sangat terkenal dan besar saat itu (wawancara, Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1, pada lampiran halaman 200. Kyai Ageng Henis atau Kyai Ageng Laweyan merupakan tokoh yang melegenda dalam kehidupan masyarakat Laweyan dan tokoh yang berjasa dalam penyiaran agama Islam di wilayah Laweyan, Mlayadipura (1981) mengemukakan, “Kyai Ageng Henis atau Kyai Ageng Laweyan merupakan manggala pinitu waning nagara ” (hlm. 15). Sebutan tersebut merupakan suatu tanda hormat yang ditunjukan sebagai tanda balas jasa atas pengabdian Kyai Ageng Henis kepada Kerajaan Pajang. Kyai Ageng Henis bertempat tinggal disebelah selatan sungai Kabanaran atau Sungai Jenes sekarang, disebuah rumah dinas yang diberikan oleh Kerajaan Pajang, konsep rumah tersebut menggunakan konsep rumah pangeran yaitu dengan salah satu ciri rumah tersebut memiliki 32 saka pengiring , awalnya rumah tersebut merupakan sebuah candi pemujaan umat Hindu masyarakat Laweyan sebelum kedatangan Kyai Ageng Henis. Kyai Ageng Henis menggunakan rumah ini sebagai rumah dinas, setelah wafat dan dimakamkan di pesarean Laweyan yang berada di belakang Masjid commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 63 Laweyan, rumah tempat tinggal Kyai Ageng Henis ditempati oleh cucunya yang bernama Bagus Danang atau Mas Ngabehi Sutowijaya. Sutowijaya atau lebih dikenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar, kemudian pindah ke Mataram tepatnya di Kota Gede , Yogyakarta sekarang dan menjadi raja pertama Dinasti Mataram Islam dengan sebutan Panembahan Senapati yang kemudian menurunkan raja -raja Mataram Islam. (wawancara Ibu Nanik Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200. 3. Kehidupan Masyarakat Laweyan Kampung Laweyan sejak dahulu sudah terkenal sebagai daerah di mana pengusaha. Kampung Laweyan awalnya merupakan kampung penghsil bahan pembuat kain (lawe), kemudian bermetamorfosis menjadi sentra industri batik. Produksi batik di Laweyan mulai berkembang pada abad ke XX bersamaan dengan perkembangan industri batik di Surakarta. Pengusaha batik di Laweyan memasarkan produksinya tidak hanya untuk pasar setempat, tetapi diproduksi untuk pasar yang berskala nasional. Budaya masyarakat Laweyan tidak terlepas dari sejarah dan lokasi serta potensi alam di mana Laweyan terletak. Pekembangan kehidupan masyarakat dan budaya masyarakat Laweyan tidak terlepas dari sejarah dan budaya kerajaan Jawa saat itu, tradisi lisan legenda Kyai Ageng Henis dan Raden Pabelan pada zaman Pajang, Raden Ayu Lembah dan Pelarian Paku Buwana II pada zaman Kartasura berpengaruh terhadap budaya masyarakat Laweyan (Soedarmono, 2006). Legenda dan foklor masyaraka t Laweyan ditambah dengan sejarah Laweyan yang merupakan pusat dari komoditas perdagangan lawe telah membentuk kepribadian dan budaya masyarakat saudagar batik Laweyan yang mempunyai cita-cita, norma, nilai, dan hukum yang berlaku untuk komunitasnya. Kutukan sebagai orang yang hanya mengejar harta semakin mengukuhkan saudagar batik sebagai pedagang atau saudagar kaya yang mandiri. Legenda Laweyan sebagai tanah perdikan . Kyai Ageng Henis, menjadikan wilayah Laweyan bebas pajak dan merdeka dari segala macam beban kerajaan, sehingga commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 64 pada perkembangan selanjutnya masyarakat Laweyan menjadi masyarakat mandiri dalam perekonomian. Laweyan berstatus sebagai tanah perdikan dimulai dari masa kerajaan Pajang abad ke-16 hingga masa Kasunanan Surakarta abad ke-20. Hal ini menunjukkan bahwa daerah Laweyan merupakan satu daerah penting dalam pertumbuhan kebudayaan Jawa selama empat abad. Hal ini berdampak pada keluasan bangunan rumah saudagar batik, rata -rata luas banguan saudagar batik Laweyan sekitar 500 m² lebih. (wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200. Kehidupan masyarakat Jawa, jauh sebelum kedatangan Kolonial Belanda masyarakat Jawa telah mengenal adanya sisitem strtifikasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Secara umum stratifikasi sosial masyarakat Jawa tradisional terbagi kedalam tiga lapisan masyarakat,yaitu Raja, Priyayi, dan Kawula . Kedudukan hiearki tertinggi dalam masyarakat Jawa adalah seorang Raja yang di daulat sebagai penguasa seluruh kerajaan dar i berbagai aspek kehidupan. Masyarakat Laweyan secara sosial tidak dapat dikategorikan sebagai priyayi keraton atau abdi dalem keraton, masyarakat Laweyan adalah pribadi mandiri dan terlepas dari kehidupan keraton yang bebas merdeka. Saudagar Laweyan tidak memiliki kedudukan kultural yang dianggap terhormat dalam masyarakat Jawa yang feodalistis, masyarakat Laweyan dikategorikan sebagai kawula sekelas dengan rakyat biasa, meskipun memiliki kekuatan ekonomi dan kekayaan yang tidak jarang melebihi para bangsawan dan priyayi (Soedarmono, 2006). Masyarakat Laweyan sejak dahulu telah memposisikan diri sebagai kelompok masyarakat yang mandiri, yaitu sebagai kelompok masyarakat pedagang, sehingga masyarakat Laweyan khususnya saudagar batik memilki karakter berbeda dengan para bangsawan dan priyayi keraton. Karakter orang Laweyan berbeda dengan para priyayi keraton, masyarakat Laweyan hanya berfokus pada perdagangan sedangkan para priyayi keraton menjunjung tinggi nilai-nilai feodalisme keraton. Masyarakat Laweyan menganggap status priyayi lebih rendah daripada para saudagar Laweyan, karena priyayi menerapkan prinsip dan gaya hidup yang commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 65 berfoya-foya dan tidak menghargai uang dalam kehidupan. Secara umum masyarakat laweyan memiliki karakter tertutup dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Hal ini yang menyebabkan masyarakat Laweyan termarginalkan dari sistem sosial yang berlaku di keraton dan hanya menempati posisi kawula atau rakyat kebanyakan walaupun kekayaan para saudagar batik Laweyan khususnya melebihi kekayaan para bangsawan keraton (Wawancara bapak Drs.Susanto, M.Hum, 6 Juni 2013). Lebih lanjut lihat CL 2 pada lampiran halaman 208. Kedudukan masyarakat saudagar batik Laweyan yang secara sosial diklasifikasikan sebagai kawula, menjadikan masyarakat Laweyan membentuk kelompok komunitas yang berlaku untuk komunitas sendiri, pengelompokan sosial dalam kehidupan masyarakat Laweyan dibagi kedalam beberapa kelompok sosial. Dalam hal ini Widayati (mengutip simpulan Sarsono dan Suyatno, l985) menyatakan bahwa: Secara umum masyarakat Laweyan dapat dikelompokan kedalam tiga kelompok yaitu kelompok wong saudagar (orang pedagang), wong cilik (orang kebanyakan atau rakyat), wong mutihan (Islam atau alim ulama) dan wong priyayi (bangsawan atau pejabat). Selain itu dikenal pula golongan saudagar atau juragan batik dengan pihak wanita sebagai pemegang peranan penting dalam menjalankan roda perdagangan batik yang biasa disebut dengan istilah mbok mase atau nyah nganten. Sedang untuk suami disebut mas nganten sebagai pelengkap utuhnya keluarga (2000: 42). Kedudukan masyarakat Laweyan yang tidak disejajarkan status sosialnya dengan para priyayi dan bangsawan keraton, walaupun memiliki kekayaan yang melebihi bangsawan kera ton menyebabkan timbulnya masyarakat Laweyan yang bebas merdeka tanpa terikat oleh feodalisme keraton dan cepat berkembang, baik dari segi ekonomi ataupun segi kebudayaan. Oleh karena itu, ketika berkembangnya kebudayaan Indis, masyarakat Laweyan khususnya saudagar batik menajdi pendukung berkembangnya kebudayaan in i, hal ini dilakukan oleh masyarakat saudagar batik pada khusunya sebagai sarana penunjukkan identitas diri dari saudagar Laweyan yang termarginalkan dari sistem budaya feodal keraton. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 66 4. Pola Pemukiman Kawasan Kampung Batik Laweyan Masyarakat dan pemukiman merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, pemukiman suatu masyarakat cenderung berkelompok, karena kodrat manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya mereka menjalani hidupnya secara berkelompok bersama kelompok masyarakat lainnya. Pengelompokan permukiman dapat didasarkan atas kesamaan golongan dalam masyarakat, seperti pengelompokan pemukiman dari lapisan sosial tertentu, pengelompokan pemukiman dari profesi tertentu dan pengelompokan pemukiman atas dasar suku bangsa tertentu (Widayati, 2002). Awal abad ke XX terdapat dua kawasan pemukiman besar di Hindia Belanda , yaitu Pemukiman Belanda di bawah pemerintahan gubernur Belanda, yang mengurus daerah di dalam Benteng dan penduduknya dan pemukiman pribumi yang berada di luar gerbang benteng. Diberlakukannya Politik Etis, yang memperbolehkan pembukaaan perusahaan swasta dan meningkatnya penduduk di pusat kota. Oleh karena itu pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan desentralisasi dengan membentuk kota otonom pertama pada tahun 1905 (Jessup, 1985). Pertambahan penduduk yang cukup cepat dengan kedatangan bangsa Kolonial Belanda , berpengaruh terhadap kota-kota dan pola pemukiman di Pulau Jawa termasuk di Surakarta. Sarana dan prasarana kota lama sudah tidak dapat menampung lagi pertambahan penduduk dan kemajuan jaman. Pola pemukiman yang dibentuk oleh kolonial Belanda ditandai dengan mengambil prototype dari tata kota lama dengan alun-alun sebagai cirinya dan menjadikan alun-alun sebagai pusat kekuasaan administrasi kolonial Belanda dengan membangun benteng. Hal ini sebagai upaya dapat lebih mengontrol kepentingan ekonomi kolonial Belanda (Handinoto & Paulus, 1996). Struktur kota kolonial telah direncanakan dan tumbuh berdasarkan asumsi bahwa suku dan asal etnis merupakan prin sip utama dari organisasi sosial. Sistem pemisahan etnis dikombinasikan dengan kekhususan pemukiman, baik diantara maupun di dalam kelompok etnis. Meskipun ada pemusatan orang-orang berstatus sosial tinggi dan rendah dalam masing-masing kelompok, namun tidak pernah ada commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 67 percampuran menyeluruh antara suku-suku bangsa dan kelas sosial. Karena pemisahan pemukiman menjadi pedoman pokok, orang-orang dari kelompok etnis yang sama tapi berlainan status sosial ekonomi, cenderung tinggal berdekatan. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk meredam konflik antar etnis. Melihat pola pemukiman yang dibentuk oleh Kolonial Belanda, secara umum pemukiman di wilayah Surakarta terbagi kedalam enam kawasan spesifik. Kawasan-kawasan tersebut terletak mengelilingi keraton, karena keraton merupakan titik pusatnya. Hal ini diperkuat dengan pendapat Widayati bahwa, “secara makro wilayah kota Surakarta dapat dibagi ke dalam beberapa satuan ruang spesifik, yaitu Kawasan Pecinan, Kawasan Arab, Kawasan Santri, Kawasan Ningrat, Kawasan Peja galan, dan Kawasan Pengrajin” (2002 : 8). Berikut digambarkan peta kawasan spesifik wilayah Surakarta e f d Keraton sebagai a c Titik Sentral b Gambar 4.1. Peta Letak Kawasan Spesifik Wilayah Surakarta. a. Kawasan Pecinan; b. Kawasan Arab; c. Kawasan Santri; d. Kawasan Ningrat; e. Kawasan Pejagalan; f. Kawasan Pengusaha Batik (Sumber: Widayati, 2002 : 9). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 68 Kawasan Pecinan ada di Kampung Balong, kawasan Arab ada di Pasar Kliwon, Kawasan Santri ada di Kauman, Kawasan Ningrat ada di Jero Beteng, Kawasan Pejagalan di Kampung Pejagalan, Kawasan pengrajin ada di Kampung Laweyan. Pada masa kejayaan keraton Kasunana n Surakarta Hadiningrat, kawasan-kawasan tersebut memiliki kontribusi yang cukup besar dalam perekonomian keraton. Kawasan Laweyan apabila dilihat dari letak kawasan, terletak pada pinggiran kota Surakarta, yang apabila ditinjau dari struktur kotanya merupakan suatu kawasan kantong atau kawasan enclave, kawasan atau enclave secara administratif tidak mungkin akan berkembang dibandingkan dengan kawasan lain yang berada dekat dengan pusat pemerintahan, dan kawasan Laweyan termasuk kedalam pola pemukiman kawasan pengrajin karena masyarakat Laweyan adalah para pengrajin batik, baik batik cap ataupun batik tulis. Pola pemukiman Laweyan terbentuk seperti pola papan catur (gird ). Pola papan catur ditandai dengan sirukluasi jala n dan gang yang membentuk pola kotak-kotak seperti papan catur. Sirkulasi jalan yang berada di kampung Laweyan sendiri di bagi kedalam tiga pola atau sirkulasi jalan, yaitu jalan utama, jalan pemukiman dan jalan gang. Pola penataan ruang kawasan Laweyan, ditinjau dari sisi tata ruang kawasan, dipengaruhi oleh keterikatan hubungan antara pekerja dan pemilik batik. Sisi jalan utama merupakan perumahan para saudagar batik, sedangkan kawasan belakang merupakan kawasa n perumahan pekerja batik. Tatanan ini memberikan kemudahan bagi pebatik untuk bekerja sambil menangani tugas rumah tangga. (Wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1, pada lampiran halaman 200. Jalan utama, yaitu jalan yang mele wati kawasan tersebut dan menghubungkan antar kota yang berada di antara kawasan tersebut. Jalan tersebut mempunyai lebar jalan kira-kira 15 meter (jalan Dr.Radjiman sekarang) . Jalan lingkungan, yaitu jalan yang menghubungkan antar sub kawasan atau wilayah di Laweyan, mempunyai lebar kurang lebih 6 meter. Jalan kecil (gang), yaitu jalan yang berada di antara rumah penduduk yang mempunyai lebar sekitar 2,3 meter. Rumah yang berada di Laweyan dikelilingi tembok tinggi dan mempunyai regol commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 69 (pintu masuk ke halaman) yang besar dan kokoh, pada umumnya gang tersebut berada di antara tembok-tembokg (beteng) batas kapling rumah para saudagar batik yang mempunyai ketinggian kurang lebih sekitar 6 meter (Observasi Lapangan, 21 Mei 2013). Gambar 4. 2. Salah Satu Bentuk Sirkulasi Jala n Gang yang Terdapat di Kawasan Kampung Batik Laweyan. (Dokumentasi Pribadi, 21 Mei 2013) . Kehidupan suatu masyarakat tidak dapat dipisahkan dari tempat tinggal atau pemukiman. Biasanya pemukiman masyarakat cenderung berkelompok, karena pada dasarnya manusia dalam masyarakat menjalani kehidupan secara berkelompok. Pemukiman dalam suatu masyarakat pada dasarnya terbagi kedalam dua pola pengelompokan pemukiman, yakni menurut kepercayaan dan menurut mata pencaharian. Hal ini sejalan dengan pendapat Priyatmono (2004); Widayati (2002) bahwa, pengelompokan permukiman juga bisa terbentuk atas dasar kepercayaan dari masyarakat dan atas dasar sistem teknologi mata pencahariannya. Pengelompokan permukiman tersebut tidak selalu menghasilkan bentuk denah dan pola persebaran yang sama, tetapi tergantung pada latar belakang budaya yang ada. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 70 Permukiman di kampung Laweyan termasuk ke dalam pemukiman tradisional. Pemukiman tradisional biasanya memilki ciri atupun identitas yang membedakan dengan kam pung lainnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Antariksa (mengutip simpulan Krisna et al, 2005) bawa, permukiman tradisional adalah aset kawasan yang dapat memberikan ciri ataupun identitas lingkungan. Identitas kawasan tersebut terbentuk dari pola lingkungan, tatanan lingkungan binaan, ciri aktifitas sosial budaya dan aktifitas ekonomi yang khas (2011: 5). Kampung Laweyan sebagai pemukiman tradisional memiliki salah satu identitas yang disebutkan di atas, yaitu memiliki aktifitas ekonomi yang khas sebagai pengrajin batik. Kampung Laweyan sebagai kampung tradisional terbentuk dari banyaknya profesi pedagang dan pengusaha batik, dalam pembagian kelompok pemukiman, Laweyan terdiri dari dua kelompok pemukiman besar, yaitu kelompok pemukiaman saudagar batik dan buruh batik. Kelompok tersebut terbentuk berdasarkan kesamaan etnis dan profesi atau mata pencaharian yaitu produksi batik. Wilayah kampung Laweyan merupakan suatu perkampungan yang memiliki penduduk homogen dalam hal mata pencaharian yaitu pengusaha dan pekerja industri batik. Secara keseluruham, luas wilayah kampung Laweyan adalah 24,83 Ha, dengan pembagian wilayah terdiri dari 20,56 Ha tanah pekarangan dan bangunan, sedang yang berupa sungai, jalan, tanah terbuka, kuburan seluas 4,27 Ha. Pola pemukiman berbentuk grid atau pola papan catur disebabakan adanya pembagian persil tanah kawasan Laweyan antara saudagar batik besar, sedang dan buruh batik. Secara garis besar, pembagian persil tanah kawasan Laweyan, di bagi kedalam tiga bagian tanah persil, yaitu persil untuk juragan dan untuk buruh batik, jenis persil rumah di Laweyan secara garis besar terdiri dari persil rumah juragan batik besar seluas 1000 m²-3000 m² , persil rumah juragan batik sedang antara 300 m²-1000 m², persil milik buruh batik antara 25 m²-100 m². Besaran persil tanah yang dimiliki menunjukkan tingkat kekayaan dari masyarkat Laweyan pada umumnya dan saudagar batik pada khususnya. Semakin commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 71 besar persil tanah yang dimiliki menunjukkan semaikin sukses saudagar tersebut dalam perdagangan batik. Pembagian persil tanah, pada pemukiman di Laweyan menyebabkan pola pemukiman pada kampung Laweyan membentuk jaringanjaringan jalan yang membentuk blok-blok seperti papan catur atau pola grid dan seakan tertutup dari lingkungan masyarakat sekitarnya . Blok-blok perumahan tersebut biasanya dimilki oleh para saudagar batik Laweyan yang memilki persil tanah cukup luas. Sistem kisi-kisi atau pola gird, mengandaikan suatu bidang dibentuk sedemikian rupa oleh jaringan-jaringan jalan sehingga blok-blok yang ada se perti sebuah papan catur. Pola papan catur adalah pola pemukiman yang berderet seperti papan catur atau kotak-kotak. Pola pemukiman seperti ini hampir sama seperti pola pemukiman rumah di negeri Belanda yang biasa disebut pula grid on patron atau pola papan catur. Prinsip otonomi dan kegiatan usaha produksi dan perdagangan batik sangat berkaitan dengan pengaturan sistem jalan di kawasan tersebut. Pola tatanan ruang kawasan juga dipengaruhi oleh pola ikatan kekeluargaan, mengingat industri batik merupakan industri rumahan yang erat kaitannya dengan kekerabatan, sebagai hasil dari ikatan perkawinan antar keluarga serta banyaknya pekerja wanita. Dengan sistem seperti ini para wanita Laweyan bisa mengurus rumah tangga walaupun mereka bekerja (Wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200 Pemakaian pola grid on patron secara teoritis, menurut Antariksa (mengutip simpulan Stanislawski, 1946) bahwa pola ini didasa ri atas dua macam pertimbangan. Pertama, adalah alasan efisiensi penggunaan ruang, berkaitan dengan anggapan bahwa bangunan pada umumnya berbentuk persegi (rectangular). Kedua, adalah alasan berkaitan dengan penyiapan jalan untuk keperluan barisan prosesi memanjang dan lurus (straight processional street). Pola ini diterapkan baik di kawasan Laweyan sebagai wilayah yang memilki corak yang spesifik , sebagai kawasan yang dihuni oleh masyarakat yang memiliki mata pencahaian sebaga i pengusaha dan pengrajin batik (2011 : 2) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 72 Elemen kawasan kampung Laweyan dibentuk oleh butiran masa yang saling berdekatan dan membentuk jalan-jalan merupakan ciri lain dari pemukiman tradis ional. Permukiman tradisional biasanya banyak dicirikan dengan munculnya massa bangunan yang mempunyai tampak berupa dinding-dinding tertutup menghimpit dan dikelilingi oleh gang atau jalan sempit . Pemukiman pengusaha batik berskala besar di kampung Laweyan memiliki masa bangunan rumah yang cukup luas dan besar. Bangunan rumah tersebut biasanya dikelilingi oleh tembok-tembok tinggi. Tembok-tembok yang mengelilingi kampung Laweyan hampir mirip dengan tembok cepuri yang mengelilingi keraton Surakarta. Permukiman tradisional Laweyan, merupakan manifestasi dari nilai sosial budaya masyarakat yang erat kaitannya dengan nilai sosial budaya penghuni pemukiman tersebut, yang dalam proses penyusunannya menggunakan dasar norma-norma tradisi serta ekonomi yang khas. Pola pemukiman sistem gird, menjadikan kawasan kampung Laweyan seakan tertutup dengan dunia luar dan juga gird bisa dikatakan sebuah upaya merefleksikan budaya masyarakat Laweyan yang termarginalkan dalam stratifikasi sosial para priyayi keraton sebagai suatu kawasan pengrajin dan pengusaha batik yang independen dan mandiri dalam bidang ekonom i. (Wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200. Pola tata ruang pemukiman berbentuk gird tersebut juga merupakan akibat dari peran pembatik yang mayoritas adalah wanita, dimana pekerja batik wanita membutuhkan akses yang dekat dan mudah antara rumah dengan tempat kerja , supaya dapat bekerja sekaligus mengurus rumah tangga. Ditinjau dari persaingan dagang, keamanan terhadap kekayaan maupun rahasia perusahaan, secara fisik melahirkan bentuk bangunan yang tertutup. Dengan kata lain, bukti morfologi kawasan Laweyan yang mayoritas adalah pengusaha dan pekerja batik, dan pola pemukiman yang berbentuk sistem grid merefleksikan budaya masyarakat yang independen dan sistem mata pencaharian sebagai pengusaha batik . commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 73 B. Hasil Penelitian 1. Latar Belakang Masuknya Kebudayaan Indis di Laweyan a. Latar Belakang Masuknya Kebudayaan Indis di Surakarta Surakarta merupakan salah satu wilayah bekas ibu kota dari kerajaan Mataram Islam. Surakarta terbentuk karena adanya suatu perjanjian yang dikenal dengan perjanjian Giyanti sekitar tahun 1755. Perjanjian Giyanti merupakan suatu perjanjian yang digunakan Belanda sebagai strategi memecah kerajaan Mataram Islam menjadi dua bagian wilayah yakni, Kasunanan Surakarta Hadiningrat, di bawah pemerintahan Paku Buwana dan Kasultanan Yogyakarta di bawah pemerintahan Hamengkubuwana. Setelah pemisahan tersebut kedua wilayah disebut dengan nama vorstenlanden yang berarti daerah kerajaan Jawa (Larson, 1990). Wilayah vorstenlanden mempunyai otoritas sendiri dalam mengatur wilayahnya, termasuk dalam mengatur sistem pemerintahan dan sebagai pusat dari kebudayaan Jawa, walaupun masih dalam pengawasan pemerintah kolonial Belanda . Otoritas sendiri dalam mengatur wilaya h memunculkan suatu pengaruh yang cukup besar dalam bidang kebudayaan, khususnya kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa yang berkembang di dalam keraton memancarkan pengaruhnya ke segala penjuru kerajaan, termasuk ketika kebudayaan Eropa (Belanda) masuk ke dalam lingkungan keraton. Surakarta sebagai pusat kerajaan memiliki penduduk yang heterogen. Prularisme penduduk mengakibatkan adanay pengelompokan sosial di kalangan masyarakat Surakarta berdasarkan etnis dan kelompok mata pencaharian. Secara umum, masyarakat Surakarta pada masa kolonial, terbagi kedalam tiga kelompok besar yaitu orang Jawa yang tinggal di pedesaan, orang Eropa yang kebanyakan adalah orang-orang Belanda, orang Cina dan Arab yang tinggal di kota-kota (Suhartono, 1991). Perkembangan penduduk di kota Surakarta merupakan dampak dari kebijaksanaan dari politik etis yang diterapkan Belanda. Politik etis menyebabkan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 74 berkembangnya perusahaan swasta seperti perkebunan, pelayaran, pe rkeretaapian yang memerlukan banyak tenaga kasar, tenaga menengah maupun tenaga professional dan urbanisasi besar-besaran dari bangsa Belanda ke wilayah pedalaman. Situasi yang demikian mengakibatkan bertambahnya penduduk Surakarta dan perkembangan lokasi hunian (Qamarun dan Prayitno, 2007). Berikut disajikan tabel perkembangan penduduk Surakarta selama kurun waktu tahun 1900-1930 : Tabel 4.2 Perkembangan Penduduk Surakarta Tahun 1900 -1930 Tahun Jawa Eropa Cina Arab dan Melayu Lain-lain Jumlah 1900 1.499.438 3.637 9265 171 262 1.512.773 1905 1.557.996 3.335 11.725 - - 1.593.056 1917 2.042.954 3.919 13.997 - - 2.060.870 1920 2.029.843 5.003 14.701 - - 2.049.547 1930 2.535.594 6.555 21.224 1.475 - 2.564.848 (Sumber : Suhartono, 1991: 196; Prasangka, 2005: 22) Penduduk Surakarta meningkat dari tahun ketahun seiring de ngan perkembangan kota tersebut. Golongan penduduk Eropa sebagai penguasa jumlahnya tidak terlalu banyak jika dibandingkan golongan Cina dan golongan pribumi. Jumlah golongan pribumi (Jawa) di Surakarta , menduduki jumlah yang terbanyak namun demikian dalam struktur kolonial golongan ini menempati posisi paling bawah, karena berlakunya sistem strtifikasi masyarakat yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial dan hanya beberapa persen saja yang menduduki posisi lebih baik , yakni golongan elit pribumi yang memiliki hubungan dekat dengan pejabat pemerintah kolonial Belanda. Masyarakat urban di Hindia Belanda secara umum dikelompokan menjadi tiga kelompok besar, yang terdiri dari golongan pribumi, golongan Eropa, dan golongan Cina dan Arab. Hal ini berkaitan dengan pendapat Handinoto (1994), yang menyatakan bahwa: commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 75 Masyarakat urban pada jaman kolonial di Hindia Belanda pada umumnya terbagi menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama adalah golongan pribumi yangmerupakan penduduk asli setempat. Kelompok kedua sering disebut sebagai“vreemde oosterlingen” (Timur Asing), yang terdiri atas orang Cina, Arab serta orang Asia la innya. Sedangkan kelompok yang ketiga golongan orang Eropa. Golongan orang Eropa terdiri dari masyarakat Indo-Eropa atau sering disebut sebagai masyarakat Eurasia dan orang Belanda totok (hlm. 2). Stratifikasi masyarakat pada masa kolonialisme Belanda menempatkan pejabat Belanda dan orang Eropa termasuk didalamnya adalah pengusaha Eropa berada pada lapisan pertama, kemudian disusul oleh bangsa timur asing yaitu golongan saudagar Cina dan Arab, serta yang terakhir adalah golongan pribumi. Dalam hal perkembangan budaya Indis di Hindia-Belanda pada umumnya dan Surakarta pada khusunya , golongan pejabat Belanda, pengusaha Eropa serta para sauda gar Cina dan Arab menjadi pendukung utama lahir dan berkembangnya budaya Indis. Kebudayaan Indis merupakan bagian dari kebudayaan urban pada abad ke XVII dan XVIII, yang melanda mayoritas rumah tangga di Batavia dan kota-kota besar kolonial lainnya di Jawa. Handinoto (1994); Soekiman (2000) menyatakan bahwa, kebudayaan Indis berkembang di Hindia Belanda diawali oleh kebiasaan hidup membujang dan membawa istri dari para pegawai Belanda, prototype dari kebudayan Indis tumbuh akibat hubungan dari laki-laki Eropa yang mengambil gundik para pembantu rumah tangga wanita Indonesia (Nyai), yang kemudian membentuk keluarga . Perkembangan budaya Indis di Jawa, pada awalnya hanya didukung oleh para pejabat kolonial, pemilik perkebunan, saudagar Cina dan Arab, dan sebagian abdi dalem dan bangsawan keraton yang memiliki kecukupan harta untuk melakukkan gaya dan pola hidup Indis. Seiring masuknya modal swasta pada bidang-bidang pertanian dan perkebunan maka budaya indis tumbuh subur di lingkungan perkebunan dan mulai menjamur dikalangan masyarakat luas. Proses perkembangan kebudayaan Indis di Jawa pada umumnya dan Surakarta pada khususnya, berlangsung cukup intensif dan lama, serta menghasilkan wujud kebudayaan yang unik, khususnya dalam bidang arsitektur commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 76 Indis yang tidak terdapat pada daerah koloni lain di Hindia -Belanda. Proses perkembangan kebudayaan Indis di Jawa, dapat digambarkan sebaga i berikut : Tujuh Unsur Kebudayaan : Penguasa Kolonial, pedagang, serdadu, cendikiawan Belanda Pengalaman para mahasiswa Indonesia di Belanda 1. Bahasa 2. Peralatan dan perlengkapan hidup 3. mata pencaharia n Cendikiawan Proses Akulturasi Arsitek 4. sistem kemasyarakatan 5. kesenian Rohaniawan Kebudayaan Indis Seniman Local Genius Guru, dsb 6. kesenian 7. religi Lingkungan Alam Indonesia Masyarakat Budaya Indonesia Bagan. 4.1. Proses Akulturasi dari Kebudayaan Indis antara Kebudayaan BelandaJawa. (Sumber: Djoko Soekiman, 2000 : 43) Selama awal abad ke IXX, kebudayaan tersebut terlihat jelas pada kehidupan keluarga pejabat sipil Eropa, pejabat angkatan bersenjata serta opsir bawahannya, pengusaha yang hidup di kota -kota dan para tuan tanah. Kebudayaan Indis juga dianut pada keluarga opsir peranakan Cina, yang kaya dan bahkan beberapa juga terlihat pada tuan tanah orang Arab yang tinggal di kota-kota besar (Handinoto, 1994) . Tumbuh dan berkembangnya kebudayaan dan gaya hidup Indis di lingkungan perkebunan karena pada saat itu, terjadi kontak langsung antara pemilik perkebunan dan pekerja yang mayoritas pribumi, dan secara langsung commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 77 pekerja pribumi dapat meniru pola dan gaya hidup Indis majikannya dengan didukung oleh ekonomi yang baik. Kehidupan sosial dan ekonomi yang rata -rata lebih baik dibandingkan dengan masyarakat pribumi memungkinkan para pendukung kebudayaan Indis untuk dapat ber gaya hidup mewah. Peranan pemerintah kolonial Belanda semakin penting dalam struktur pemerintahan keraton Surakarta Hadiningrat, ketika di tempatkan seorang R esiden di wilayah Surakarta. Ditempatkannya seorang Residen di wilayah Surakarta mengakibatkan posisi Belanda sebagai penguasa dalam bidang politik keraton menjadi semakin penting, selain itu kebijakan politik baru setelah berakhirnya politik tanam paksa yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda yakni sekitar tahun 1870, berdampak pada perubaha n-perubahan dalam tata pemerintahan, tata kota, pola pemukiman, gaya arsitektur bangunan dan masuknya kebudayaan barat melalui tradisi pesta, musik dan agama. Dengan kata lain, perkembangan kebudayaan Indis di kalangan bangsawan keraton dilatarbelakangi oleh kedekatan bangsawan keraton dengan pemerintah kolonial belanda dan didukung kekayaan bangsawan yang menganggap bisa meniru pola hidup bangsa Eropa, sehingga meraka mulai meniru gaya dan pola hidup, seperti mengadakan pesta penjamuan makan malam, dansa, rekreasi serta arsitektur rumah yang digunakan oleh bangsa Belanda di adaptasi oleh bangsawan keraton. (Wawancara Bapak Drs.Susanto, 6 Juni 2013). Lebih lanjut liat CL 2 pada lampiran halaman 208. Pembukaan daerah pedalaman sebagai daerah perkebunan swasta secara tidak langsung meningkatkan kebutuhan tenaga kerja di wilayah pedalaman pada sekitar abad IXX, serta faktor kedekatan politis antara penguasa lokal dengan pemerintah Kolonial Belanda, menjadi embrio dari lahir dan berkembangnya kebudayaan Indis di Surakarta, yang di dukung oleh sebagian besar bangsawan dan priyayi Jawa. Pendukung kebudayaan Indis dikalangan priyayi dan bangsawan berupaya menjaga prestise dan kedudukan melalui berbagai cara agar dapat dibedakan dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Dalam pandangan hidup seharihari, pendukung kebudayaan Indis di tembok istana (keraton) dipengaruhi oleh commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 78 pandangan hidup yang berakar pada dua budaya, yaitu Eropa dan Jawa. Kewibawaan, kekayaan, dan kebesaran ditampilkan agar tampak lebih daripa da masyarakat kebanyakan, hal demikian dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan sebagai penguasa. Kebudayaan Indis yang berkembang di Surakarta pada awalnya hanya mempengaruhi pola dan gaya hidup bangsawan Jawa tetapi seiring berjalannya waktu, kebudayaan Indis juga mempengaruhi segala aspek kehidupan, misalkan melalui media pendidikan, hubungan pekerjaan, perdagangan, dan lain sebagainya. Terlebih dengan adanya priyayi baru, yaitu para terpelajar yang mendapatkan pendidikan di lingkungan colonial. Selain gaya hidup dengan berbagai aspeknya, bangunan rumah tinggal mendapat perhatian dalam perkembangan budaya Indis, karena rumah tempat tinggal merupakan ajang kegiatan sehari-hari. Ekspansi kekuasaan kolonial yang dimulai pada abad ke IXX, merupakan gerakan kolo nialisme yang membawa dampak perubahan bukan hanya dibidang politik dan sosial saja , tetapi juga melatarbelakangi perkembangan kebudayaan baru yaitu kebudayaan Indis di Surakarta. Akibat dari perkembangan kebudayaan Indis di Surakarta, terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat pendukung kebudayaan Indis khusunya kalangan bangsawan dan priyayi keraton. Perkembangan kebudayaan Indis ke wilayah pedalaman Surakarta di dukung oleh kedekatan raja dengan petinggi-petinggi pemeritah kolonial Belanda yang kemudian di ikuti oleh para bangsawan dan priyayi Jawa. Perkembangan kebudayaan Indis di Surakarta selain di dukung oleh kedekatan raja dan bangsawan keraton dengan pejabat kolonial Belanda, terlebih setelah ditempatkannya seorang residen di Surakarta juga terjadi karena adanya perkembangan kota , perluasan perkebunan swasta dan berkembangnya kaum terpelajar sebagai kaum priyayi baru yang mengenyam pendidikan Belanda . commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 79 b. Latar Belakang Masuknya Kebudayaan Indis di Laweyan Sejarah Laweyan diawali oleh Pasar Laweyan dan Bandar Kabanaran yang merupakan pusat perdagangan lawe (bahan baku tenun) yang sangat ramai. keberadaan kampung Laweyan sudah berada sejak sebelum keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat berada, tepatnya pada masa kerajaan Pajang. Bahan baku kapas pada saat itu banyak dihasilkan dari Desa Pedan, Juwiring, dan Gawok yang masih termasuk daerah Kerajaan Pajang. Semasa Kerajaan Pajang sekitar tahun 1546, Laweyan terkenal sebagai daerah penghasil tenun dan bahan sandang (Mlayadipuro, 1981). Kampung Laweyan dengan Pasar Laweyan (sekarang terletak di antara Kampung Lor Pasar Mati dan Kidul Pasar Mati serta di sebelah timur Kampung Setono, Kelurahan Laweyan) dan Bandar Kabanaran (sekarang terletak di selatan Kampung Lor Pasar Mati dan merupkan batas wilayah kota Surakarta dan kabupaten Sukoharjo) dahulu merupakan pusat perdagangan dan penjualan bahan baku tenun (lawe) yang ramai dan strategis, letak yang strategis ini memungkinkan wilayah Laweyan menjadi pusat peradagangan masa itu. Perkembangan kampung Laweyan tidak terlepas dari letak Laweyan yang terletak diantara dua sungai yaitu, yakni terletak diantara sungai Premulung (sungai ini telah mati sekarang) dan sungai Kabanaran. Sungai Kabanaran terdapat sebuah bandar sebagai salah satu bandar yang berada di jalur perdagangan sungai Bengawan Solo . Bandar Kabanaran merupakan salah satu dari 44 bandar yang dimiliki Bengawan Solo. Disebut bandar Kabanaran karena terletak di tepi sungai Kabanaran atau sungai Jenes sekarang. Melalui Bandar dan sungai Kabanaran, memungkinkan para pengusaha atau saudagar di Laweyan lebih cepat memasarkan produknya ke bandar besar Nusupan yang berada di tepi Bengawan Solo. (Wawancara bapak Alpha Febela Priyatmono, tanggal 4 September 2013). Lebih lanjut lihat Catatan Lapangan 3, pada lampiran halaman 211. (Selanjutnya, dalam kalimat disingkat menjadi CL 3). Industri batik berkembang pesat di Laweyan setelah ditemukannya teknik pembuatan batik cap yang ditemukan juragan batik di Semarang. Pada awalnya, commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 80 Laweyan terkenal sebagai pusat dari perdagangan lawe, kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan tenun tradisional dan pembuat mori sampai akhirnya, Laweyan bermetamorfosis, menjadi salah satu sentra industri batik cap di Surakarta. Perkembangan usaha pembuatan batik cap di Laweyan dimulai sekitar pertengahan abad ke IXX dan marak mulai sekitar tahun 1870, pada tahun tersebut para pengusaha batik di Laweyan mendirikan tempat usaha dalam skala besar. Hampir keseluruhan dari masyarakat Laweyan pada waktu itu, bekerja di sektor industri batik, baik sebagai juragan atau saudagar, pedagang maupun sebagai buruh batik (wawancara Bapak Alpha Febela Priyatmono, tanggal 4 September 2013). Lebih lanjut lihat CL 3 pada lampiran halaman 211. Industri batik cap di wilayah Surakarta terjadi sekitar abad ke IXX. Perkembangan industri batik cap merupakan penanda zaman modal kedua, yang dibagi dalam dua tahap yaitu, sekitar tahun 1850-an dan 1870-an. Tahun tahap pertama ketika diperkenalkannya alat untuk batik cap dan tahap kedua ketika menghebatnya penetrasi perkebunan Belanda ke pedesaan. Pada tahun-tahun tersebut hampir seluruh wilayah di Surakarta telah memiliki spesialisasi produk batik masing-masing, seperti Kauman, Keprabon dan Pasar Kliwon yaitu membuat batik halus, sedangkan di Tegalsari dan Laweyan membuat batik cap. Sehingga pada sekitar abad ke IXX hingga memasuki abad XX, Surakarta menjadi pusat utama dari industri batik (Shiraishi, 2005). Perkembangan industri batik cap yang berkembang di Laweyan, berawal dari inovasi teknologi stempel atau cap batik yang diciptakan oleh seorang juragan batik di Semarang pada tahun 1915, yang kemudian ditiru dan diaplikasikan dalam proses produksi batik di Laweyan. Teknologi batik cap dipilih oleh saudagara batik Laweyan karena dapat melipatgandakan produksi, proses membatik lebih sederhana, tahap produksi lebih pendek, waktu produksi lebih cepat dan biaya lebih rendah daripada industri kerajinan batik tulis (Sariyatun, 2005). Perkembangan Industri batik di Laweyan, di samping telah ditemukannya teknik pembuatan batik dengan metode cap juga karena adanya keistimewaan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 81 tersendiri dalam kain batik, karena batik menjadi busana wajib bagi raja dalam kegiatan formal kerajaan, sehingga industri batik cepat berkembang pada sekitar awal abad XX. Selain itu, sejumlah permintaan dari para konsumen daerah terhadap batik menyebabkan batik menjadi barang konsumtif bagi rakyat kebanyakan. Komunitas saudagar batik Laweyan mengkhususkan diri pada produksi batik cap untuk konsumsi massa. Industri batik cap di Laweyan mengalami kejayaan antara tahun 1910 sampai tahun 1930, dalam kurun waktu itu saudagar batik Laweyan, terus menerus mengembangkan identitasnya ke dalam masyarakat saudagar sehingga industri batik di Laweyan berkembang pesat dan sulit ditemukan tandingan terutama di daerah pedalaman Jawa Tengah-Selata n, bahkan produksi batik di Kota Surakarta hampir 85 % berada di tangan saudagar batik Laweyan (Soedarmono, 2006) . Perkembangan masyarakat pada awal abad XX sangat diwarnai oleh aktivitas ekonomi, termasuk sektor perkebunan. Pemerintah kolonial Belanda sebagai penguasa menyediakan sarana dalam menunjang kelancaran aktivitas ekonomi masyarakat, salah satusarana yang terkait dengan kedudukan ekonomi suatu daerah adalah menyediakan sarana transportasi transportasi. Transportasi yang digunakan adalah kereta api. Transportasi kereta api, sebagai alat pengangkutan hasil-hasil produksi dari daerah pedalaman kedaerah pantai, memegang peranan penting yang kemudian akan menentukan kalancaran sirkulasi hasil-hasil produksi, termasuk dalam distribusi produksi batik. Kelancaran transportasi semakin menunjukkan tingkat perkembangan tersendiribagi daerah yang bersangkutan, termasuk didalamnya adalah adalah keuntungan yang didapat oleh saudagar batik Laweyan dengan tersedianya transportasi kereta api. Hadirnya jalur kereta api milik perusahaan NIS (Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij) di Surakarta, dapat mempercepat distribusi batik juga mempengaruhi perkembangan industri batik di wilayah Surakarta pada umumnya dan Laweyan pada khususnya (Hastuti,2011). Masyarakat saudagar batik Laweyan adalah masyarakat saudagar, dimana dalam aktifitas perdagangan telah melakukan hubungan dengan para pedagang commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 82 dari berbagi suku budaya. Kontak budaya dengan berbagai pedagang baik lokal maupun manca negara berakibat pada pola pikir dan pandangan hidup masyarakat Laweyan dalam mewujudkan cita-cita. Masyarakat Laweyan menjadi saudagar yang berwawasan luas, khususnya gaya hidup yang berbeda dengan masyarakat Laweyan di sekitarnya, sehingga lambat laun masyarakat saudagar batik Laweyan terpengaruh kebudayaan Indis yang sebelumnya telah lebih dahulu berkembang di lingkungan keraton. Kebudayaan Indis, berkembang di Laweyan bisa dilihat dari faktor geografis Laweyan itu sendiri. Secara geografis kampung Laweyan merupakan suatu wilayah yang sejak masa kerajaan Pajang terkenal dengan pusat pedagangan lawe, pusat peradagangan terpusat di Sungai Jenes atau Sungai kabanaran sekarang dimana sungai tersebut terhubung dengan Sungai Bengawan Solo, di wilayah tersebut terdapat bandar dagang yaitu Bandar Kabanaran yang terhubung dengan bandar besar di Nusupan, posisi yang sangat starategis secara geografis jika ditinjau dari segi masa lalu karena transportasi sungai pada masa lalu merupakan alat transportasi utama masyarakat. Letak geografis wilayah Laweyan yang di lintasi jalur perdagangan ini memungkinkan masuknya dan berkembangnya kebudayaan baru, termasuk kebudayaan indis beserta hasil-hasilnya berupa arsitektur bangunan rumah. Tipikal masyarakat saudagar batik yang berjiwa pedagang ditambah keuntungan yang besar dalam berdagang batik sekitar abad akhir abad 19 dan awal abad 20 menjadikan cepat berkembangnya budaya Indis di Laweyan khususnya arsitektur rumah Indis. Kontak perdagangan antara saudagar batik dengan para pedagang dari berbagai bangsa menyebabkan saudagar batik mempunyai wawasan yang cukup tinggi tentang kebudayaan Eropa, terutama mengenai arsitektur luar negeri. Wawasan itu lantas diterapkan saudagar batik Laweyan untuk membangun rumahrumah yang meniru rumah-rumah pejabat kolonial berarsitektur Indis beserta kelengkapannya yang mewah dan mahal. (Wawancara Bapak Mohammad Muqqofa, tanggal 8 Juli 2013). Lebih lanjut lihat CL 4 pada lampiran halaman 215. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 83 Kontak kebudayaan dari adanya perdagangan dan faktor kekayaan dari hasil berdagang batik tersebut berdampak pada terpengaruhnya masyarakat Laweyan oleh kebudayaan Indis , khususnya dalam perkembangan arsitektur rumah tinggal bergaya Indis. Rumah saudagar batik yang awalnya menggunakan material kayu dengan arsitektur Jawa, berubah menjadi bangunan loji mirip bangunan rumah milik pejabat Kolonial Belanda. Kehidupan masyarakat Jawa jauh sebelum kedatangan bangsa Kolonial Belanda, telah mengenal adanya sistem starfikasi sosial dalam kehidupa n masyarakatnya. Secara umum, masyarakat Jawa terdiri dari tiga lapisan masyarakat yaitu raja, priyayi dan kawula . Raja sebagai penguasa merupakan pusat hieark i tertinggi. Stratifikasi sosial masyarakat Jawa menempatkan masyarakat Laweyan sebagai kaum kawu la atau rakyat kebanyakan, walaupun kekayaan masyarakat saudagar Laweyan melebihi kekayaan para bangsawan keraton tetapi masyarakat saudagar Laweyan termarginalkan baik dari status maupun dari kebudayaan. Hal ini dipertegas dengan pendapat (Soedarmono, 2006). Masyarakat saudagar batik Laweyan yang posisinya sejajar dengan rakyat biasa, tidak terikat pada adat yang membatasi ruang gerak. Saudagar batik Laweyan dalam kehidupan masyarakat lebih bebas dalam menentukan pilihan dan tidak terikat oleh ikatan feodal, hiearki dan simbolisme yang ada di keraton, termasuk di antaranya dalam membangun rumah tinggalnya. Simbol dan hierarki itu makin ke bawah makin luntur. Karenanya, wong cilik termasuk saudagar batik Laweyan terhindar dari sistem simbol dan hierarki itu, bukan karena sengaja menghindar tetapi simbol dan hierarki itu memang secara samar-samar saja sampai kepada saudagar batik (Kuntowijoyo, 2003). Posisi masyarakat saudagar batik Laweyan sebagai kawula menyebabkan saudagar batik Laweyan tidak temasuk ke dalam lingkup stratifikasi sosial keraton dan tidak memiliki kedudukan kultural yang dianggap terhormat dalam masyarakat Jawa yang feodalistis , walaupun memiliki kekuatan ekonomi dan kekayaan yang tidak jarang melebihi para bangsawan dan priyayi. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 84 Saudagar batik Laweyan dalam menjalani kehidupannya masih meniru konsep dari para priyayi mulai dari pakaian, rumah dan cara hidup priyayi, hal ini dikarenakan keraton karena masih terikat dengan perdagangan batik dan merasa mampu secara ekonomi. Dalam hal ini masyarakat Laweyan bisa dikatakan “ambigu” dalam menjalani kehidupannya, disisi lain masyarakat saudagar batik Laweyan merupakan para saudagar yang tidak terikat stratifikasi sosial keraton dan hanya berfokus pada perdagangan batik, tetapi di sisi lain masyarakat Laweyan meniru pola hidup dan kebudayaan para priyayi keraton (wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200. Sebagai kelompok yang sekelas dengan rakyat, para saudagar batik Laweyan tentu saja memiliki orientasi terhadap kelompok lain yang memiliki otoritas di dalam masyarakat. Pada awalnya para saudagar batik Laweyan ingin menandingi bentuk rumah-rumah para bangsawan, oleh karenanya tempat tinggal para saudagar batik Laweyan yang di bangun sebelum abad XX pada umumnya mengacu pada tempat tinggal kaum aristokrat dengan segala perangkatnya. Perkembangan industri batik di Surakarta sekitar abad XX, menyebabkan saudagar batik memilki keuntungan yang besar. Keuntungan yang besar dalam berdagang batik, menyebabkan para saudagar batik perlu menunjukan identitasnya sebagai pribadi yang mandiri. Penunjukkan identitas saudagar batik Laweyan yakni dengan mulai berani membuat banguan rumah loji tiruan seperti layaknya tempat tinggal orang-orang Eropa dengan segala macam atributnya yang sering tidak sesuai dengan lingkungannya. (wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200. Saudagar batik Laweyan membangun rumahnya tidak sekedar untuk pamer kekayaan belaka, tetapi bisa be rmakna sebagai perlawanan baik terhadap pemegang otoritas kultural maupun terhadap para penguasa politik dan ekonomi riil yaitu keraton. Pembangunan rumah saudagar batik Laweyan, tidak terikat pada aturan tata ruang Jawa yang ada namun masih memasukkan uns ur-unsur Jawa sebagai komponennya baik sebagian ataupun seluruhnya walaupun bentuk rumah commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 85 berarsitektur Indis , tetapi dalam proses pembuatannya disesuaikan dengan aturan adat yang berlaku. Dalam hal ini adalah aturan dan larangan-larangan yang sudah baku da lam membangun rumah yaitu mengadakan selametan lengkap mulai dari awal pembuatan rumah sampai selesai pembuatan rumah diadakan oleh saudagar batik Laweyan. Posisi saudagar Laweyan yang dalam sistem sosial masyarakat Jawa di Surakarta pada awal abad ke -20 berada di antara kelas rakyat yang mayoritas petani dan kelas menengah priyayi atau bangsawan keraton, walaupun kekayaan saudagar batik Laweyan melebihi kekayaan bangsawan keraton. Hal ini menyebabkan adanya upaya penunjukan identitas diri yang di lakukan masyarakat saudagar batik di Laweyan untuk mensejajarkan diri dengan derajat priyayi dan bangsawan keraton. Presepsi menjadi pedagang lebih mulia bagi saudagar batik Laweyan, dibandingkan dengan menjadi bangsawan dan priyayi keraton, karena penuh ide dan bebas serta tidak terikat oleh ke kuasaan feodalisme keraton. Bahkan, saudagar batik Laweyan menganggap rendah status bangsawan keraton karena mereka melakukkan pola hidup boros atau kurang menghargai uang dalam kehidupannya. Profesi sebagai pedagang mem buat ekonomi berpera n penting bagi kehidupan mereka sehingga kekayaan saudagar batik Laweyan dapat melebihi kekayaan bangsawan keraton, dari sini timbulah suatu “pertempuran” atau persaingan kebudayaan antara masyarakat Laweyan dengan masyarakat yang berada di lingkungan keraton. Pertempuran yang dimaksud bukanlah pertempuran yang sebenarnya, melainkan pertempuran dalam bidang penunjukkan kekayaan. Dalam gaya hidupnya para saudagar mengacu pada kehidupan para bangsawan keraton Surakarta dan mampu membangun rumah yang mewah layaknya rumah para pejabat Belanda, walaupun masih menggunakan pola ruang dan ornamen dari arsitektur Jawa. Pola ruang tersebut hanya sebagai prototype dari rumah bangsawan keraton dan rumah masyarakat Jawa pada umum nya. Hal ini menanda kan bahwa komunitas Laweyan adalah orang Jawa sama seperti bangsawan keraton dan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 86 masyarakat sekitar, dengan kata lain orang Laweyan tidak kehilangan sifat orang Jawa meskipun kebudayaan Indis telah berkembang dikalangan masyarakat Laweyan. Perkembangan kebudayaan Indis di Laweyan, khususnya dalam perkembangan arsitektur Indis disamping adanya perkemba ngan industri batik yang memberikan keuntungan yang besar bagi saudagar batik, juga dipengaruhi oleh perubahan tata kota dan pola pemukiman yang berada dilingkungan sekitar keraton. (Wawancara Bapak Drs.Susanto, 6 Juni 2013). Lebih lanjut lihat CL 2 pada lampiran halaman 208. Pola -pola pemukiman di pusat kota menunjukan karakter majemuk, lingkungan perumahan Eropa ditunjukan dengan fasade bangunan rumah yang besar dengan halaman yang luas dan berbentuk loji yang menunjukan status yang paling tinggi sebagai penguasa di Surakarta. Pola pemukiman dan rumah yang di miliki oleh para pejabat Kolonial Belanda yang ditiru dan di adaptasi oleh saudagar batik Laweyan dalam membangun, karena ingin mensejajarkan dengan status bangsawan dan priyayi keraton. Pola dan bentuk rumah loji pada rumah milik pejabat kolonial tersebut , diadaptasi oleh saudagar batik Laweyan pada sekitar tahun 1920-1930an untuk membangun dan merenovasi rumah tempat tinggal yang awalnya hanya rumah berstruktur kayu. Rumah bagi masyarakat saudagar batik adalah sebagai alat dan sarana untuk mewujudkan cita -cita saudagar batik Laweyan dan penunjukkan identitas diri yang termarginalkan dai status sosial masyarakat feodal. Saudagar batik Laweyan sebagai manusia Jawa yang pergaulannya luas dengan berbagai budaya, kaya dan termarginal, merasakan perlu pengakuan atas keberadaan dan keberhasilan. Faktor kekayaan yang melimpah dari hasil perdagangan batik, letak lokasi Laweyan yang strategis dan kedekatan saudagar Laweyan dengan bangsa Eropa dalam bidang perdagangan menyebabkan masyarakat saudagar batik Laweyan mulia meniru pola dan gaya hidup bangsa Eropa, hal tersebut menjadi latar belakang lahir dan berkembangnya kebudayaan Indis, terutama aristektur bergaya Indis. (wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 87 Berkembangnya kebudayaan Indis, khususnya arsitektur Indis di Laweyan merupakan sebuah growing up dari masyarakat saudagar batik yang termasuk kelas kawula dari ikatan stratifikasi dan budaya feodal keraton, hal ini menyebabkan masyarakat saudagar batik Laweyan perlu dalam menunjukan eksistensi dan identitas dirinya sebagai pengusaha dan pantas di pandang. Para saudagar batik bangga dengan identitas kampung, gaya hidup, dan etos kerja, karena hal tersebut menunjukkan status pemiliknya. Bagi saudagar batik kekayaan dapat menyejajarkan status sosial dengan kaum bangsawan keraton. Bangunan rumah tempat tinggal dengan arsitektur dan interior Indis yang berkembang di Laweyan hadir sebagai jawaban dari orang-orang Laweyan dalam penunjukkan identitas diri. Kekayaan yang melimpah, hasil dari usaha batik, digunakan untuk membangun rumah loji. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 88 2. Bentuk Arsitektur dan Ornamen Rumah Bergaya Indis di Laweyan a. Bentuk Umum Arsitekur dan Ornamen Rumah Indis di Surakarta Kebudayaan Indis beserta hasil-hasilnya berkembang di wilayah vorstenlanden Surakarta, dilatarbelakangi oleh adanya perkembangan politik di negeri Belanda. Kemenangan kaum liberal di negeri belanda memaksa pemerintahan di negeri koloni melakukan politik etis sebagi balas jasa kepada negeri koloni. Kebijakan politik baru yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda pada sekitar tahun 1870 an, menyebabkan berkembangnya perusahaan swasta seperti perkebunan, pelayaran, perkeretaapian memerlukan banyak tenaga kasar, tenaga menengah maupun tenaga profesional, kebutuhan tenaga kerja tersebut membawa dampak pembukaan daerah pedalaman. Pembukaaan daera h pedalaman semakin meningkatkan jumlah bangsa Eropa di Surakarta. Peningkatan penduduk Eropa di Surakarta menyebabkan tumbuhnya budaya Indis di lingkungan masyarakat, terutama kalangan bangsawan keraton (Handinoto, 2004). Kebudayaan Indis yang berkembang di wilayah pedalaman bukan hanya menyangkut pola dan gaya hidup semata, tetapi berpengaruh pula terhadap bentuk arsitektur rumah tradisional, utamanya adalah rumah-rumah milik bangsawan keraton. Arsitektur Indis merupakan hasil dari proses akulturasi kebudayaan yang belangsung panjang dan intensif antara arsitektur tradisional Jawa dengan arsitektur Eropa. Perkembangan arsitektur di Surakarta sama seperti halnya perkembangan arsitektur di Hindia Belanda yang dibagi kedalam beberapa tahap perkembangan atau periodisasi, arsitektur yang berkembang di Hindia Belanda awalnya masih mencirikan arsitektur negara asal yaitu Belanda, kemudaian lambat laun arsitektur bangunan menyesuaikan dengan alam dan kebudayaan masyrakat Jawa. Periodesasi arsitektur kolonial di Hindia Belanda pada umumnya dan Surakarta pada khususnya , secara umum menurut Handinoto (mengutip simpulan Helen Jessup, 1984) dibagi ke dalam empat periode sebagai berikut : commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 89 1) Abad 16 - tahun 1800an Periode ini Indonesia masih disebut sebagai Nederland Indische (Hindia Belanda) di bawah kekuasaan perusahaan dagang Belanda yang bernama VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Arsitektur yang berkembang pada periode ini masih memiliki bentuk yang tidak jelas, bahkan kehilangan orientasinya pada bangunan tradis ional di Belanda. Bangunan yang terbentuk berupa persegi panjang yang sempit dengan bentuk atap yang curam, dan yang lebih buruk lagi, bangunan-bangunan tersebut tidak diusahakan untuk beradaptasi dengan iklim dan lingkungan setempat. 2) Tahun 1800 – 1902an P eriode ini pemerintah kolonial Belanda mengambil alih Hindia Belanda dari perusahaan dagang VOC. Pengambilalihan kekuasaan tersebut akibat dari kekalahan perang dengan Perancis sehingga mengubah kebijakan politik negeri Belanda. Hindia Belanda kemudian sepenuhnya dikuasai oleh pemerintah Belanda. Kekuasaan Belanda pada waktu itu bertujuan untuk memperkuat kedudukan ekonomi negeri Belanda. Oleh sebab itu, Belanda pada abad ke -19 harus memperkuat statusnya sebagai kaum kolonialis dengan membangun gedung-gedung yang berkesan grandeur (megah) di Hindia Belanda. Bangunan gedung dengan gaya megah ini dipinjam dari gaya arsitektur neo-klasik , yang sebenarnya berasal dari Perancis dan berlainan dengan gaya arsitektur nasional Belanda waktu itu. Gaya ini tidak diterapkan secara murni, tetapi digabungkan dengan kondisi iklim dan material bangunan yang tersedia di indonesia. Akhirnya terbentuk sebuah aliran arsitektur tersendiri yang berbeda dari neo -klasik . Aliran ini lebih dikenal dengan sebutan the Empire Style atau The Ducth Colonial Villa. Ciri dari bangunan dengan gaya the Empire Style atau The Ducth Colonial Villa adalah denah yang simetris, satu lantai dan ditutup dengan atap perisai. Karakteristik lain dari gaya ini diantaranya terbuka. Ciri khas dari gaya arsitektur ini yaitu adanya barisan pilar atau kolom (bergaya commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 90 Yunani) yang menjulang ke atas serta terdapat gevel dan mahkota di atas serambi depan dan belakang. Serambi belakang seringkali digunakan sebagai ruang makan dan pada bagian belakangnya dihubungka n dengan daerah servis. 3) Tahun 1902 - 1920an Pada periode ini, kekuasaan Perancis di Belanda berhasil ditumbangkan, hal ini berakibat pada adanya kebijakan baru dalam politik Belanda untuk daerah jajahan Hindia Belanda. Kaum Liberal di Belanda meminta pemerintah Belanda melakukan politik balas budi (Politik Etis ) terhadap Indonesia, politik etis ini menyebabkan pemukiman orang Belanda semakin cepat berkembang dan menyebabkan Indis Architectuur (Arsitektur Indis) menjadi terdesak. Ciri khas pada banguan di periode ini adalah memiliki denah tipis, bentuk bangunan ramping agar cross-ventilation mudah diterpakan. Terdapat galeri atau serambi di bagian tepi bangunan untuk menghindari tempias dan sinar matahari. Bangunan berorientasi utara-selatan agar cahaya ma tahari dapat masuk ke dalam ruangan. Penerapan konsep vernacular telah dilakukan arsitek pada periode ini untuk menyesuaikan bangunan dengan kondisi iklim di Indonesia yang tropis basah. 4) Tahun 1920-1940an Periode ini ditandai dengan muncul gerakan pembarua n dalam arsitektur, baik nasional maupun internasional di Belanda yang kemudian memengaruhi arsitektur kolonial di Indonesia. Hanya saja arsitektur baru tersebut kadang-kadang diikuti secara langsung, tetapi kadang-kadang juga muncul gaya yang disebut sebagai ekletisisme (gaya campuran), termasuk di dalamnya adalah gaya atau langgam art deco . Tahun 1920-1940an perkembangan arsitektur yang memadukan unsur tradisional dalam membangun suatu bangunan, hal ini dikarenakan pada masa tersebut muncul arsitek Belanda yang memandang perlu untuk memberi ciri khas pada arsitektur Hindia Belanda, yaitu mengambil budaya lokal Indonesia (1996: 130). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 91 Kolonialisme Belanda menyebabkan Indonesia mengalami pengaruh Occidental (Barat) dalam berbagai segi kehidupan termasuk kebudayaan dan beberapa hasil kebudayaan. Hal tersebut antara lain dapat dilihat dalam bentuk kota dan bangunan, pengaruh tersebut ditandai dengan muncul serta bekembangnya bangunan Indis di Indonesia. Arsitektur kolonial di Indonesia adalah fenomena budaya ya ng unik, tidak terdapat dilain tempat, bahkan pada negara-negara bekas koloni Belanda lainnya. Dikatakan demikian karena terjadi percampuran budaya antara penjajah Belanda dengan budaya Indonesia yang beraneka ragam (Sumaloyo, 1993) Arsitektur Indis di Hindia-Belanda pada masa VOC, pada awalnya berkembang mengikuti gaya arsitektur Belanda, secara umum rumah-rumah yang dibangun oleh para pejabat pemerintahaan Belanda belum dapat mencirikan arsitektur khas Belanda dan dapat beradaptasi dengan lingkungan ala m dan iklim tropis yang ada di Jawa sehingga buruk bagi kesehatan. Hellen Jessup (1986), menyatakan bahwa; In these genuinely colonial conditions, Indies architecture of the nineteenth century tended less to reflect its Netherlands roots, as the structures of the transitory VOC traders among many examples of monumental colonial buildings of this type. Had and more to stress the ideas of grandeur commen surate with ruler status. The buildings typifying this period did not draw on the consciously Dutch revivalism (hlm. 139). (Pada hakekatnya, dalam kondisi penjajahan saat ini, Arsitektur Indis pada abad kesembilanbelas kurang menggambarkan diri mereka sendiri, sebagai pedagang VOC. Banyak contoh monumen bangunan kolonnial Belanda yang cenderung berbeda, dan lebih sering mengeluarkan ide-ide yang menekankan komentar yan bagus dengan berstatment peraturan. Bangunan yang ada pada saat ini tidak lagi dirawat, tanpa disadari oleh orang-orang mereka sendiri) (hlm.139). Seiring dengan perkembangan waktu, arsitektur Indis di Indonesia mengalami perkembangan sehingga menghasilkan arsitektur yang dapat beradaptasi dengan lingkungan dan alam tropis Indonesia. Adaptasi arsitektur yang paling signifikan muncul dalam desain atap dan façade bentuk bangunan yang besar. Arsitektur Indis adalah sebuah jawaban dari tantangan alam tropis yang ada di Jawa, penyesuaian iklim disesuaikan dengan bentuk rumah yang dihuni dengan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 92 alam Jawa. Arsitektur Indis adalah arsitektur perpaduan antara arsitektur Eropa dengan arsitektur Jawa. Penentuan sebuah gaya arsitektur rumah Indis yang berkembang di Jawa, tidak dapat dilihat dari tahun dimana bangunan itu berdiri (wawancara Bapak M. Muqqofa, pada tanggal 8 Juli 2013). Lebih lanjut lihat CL 4 pada lampiran halaman 215. Arsitektur bangunan rumah di Jawa pada umumnya dan Surakarta pada khusunya, jauh sebelum kedatangaan bangsa Belanda masih menerapkan arsitektur tradisional Jawa. Arsitektur Jawa yang terkenal adalah bentuk rumah joglo, yang tidak lain sebenarnya hanya sebagai salah satu bentuk atap pada rumah jawa bukan bentuk bangunannya. Atap rumah dalam arsitektur Jawa dijadikan sebuah identitas atau ciri dari pemilik bangunan rumah tersebut dan atap Joglo merupakan gaya atap yang tekenal dalam arsitektur Jawa. Secara umum berkaitan denga n bentuk atap pada rumah tradisonal Jawa dibagi kedalam lima bentuk atap. Perubahan politik yang terjadi di negeri Belanda menyebabkan adanya suatu tuntutan politik etis dan perkembangan perusahaan swasta, menyebabkan adanya suatu urbanisasi besar -besaran orang-orang Eropa ke Hindia Belanda. Meningkatnya jumla h perusahan bekorelasi terhadap kebutuhan tenaga kerja baik tenaga kasar, menengah ataupun profesional yang dibutiuhkan. Perusahaanperusahaan swasta asing, mendorong terciptanya golongan sosial baru yaitu golongan priyayi. Golongan baru hasil pengangkatan pemerintah Belanda ini berperan besar pada perkembangan ke budayaan Indis pada awal abad XX. Meningkatnya status dan kesejahteraan seseorang menuntut adanya perubahan gaya hidup yang baru, seperti penggunaan bahasa, cara berpakaian, cara makan, kelengkapan perabot alat rumah tangga, mata pencaharian hidup, kesenian, kepercayaan atau agama, dan menghargai waktu. Disini terjadi pertukaran yaitu manusia Jawa memasuki lingkungan budaya Eropa dan juga sebaliknya dan merupakan embrio dari kebudyaan Indis di Surakarta, termasuk didalamnya adalah perubahan rumah tinggal dari arsitektur tradisional ke arsitektur yang lebih modern yaitu pembangunan rumah loji. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 93 Arsitektur Indis yang berkembang di Hindia-Belanda pada umumnya dan Surakarta pada khususnya sebelum tahun 1900an masih berorientasi kepada gaya bangunan yang berada di Eropa khususnya Perancis, yang sudah menyesuaikan dengan iklim dan keadaaan lingkungan alam Penerapan gaya arsitektur Indis di Surakarta pada periode ini masih menerpakan gaya arsitektur Indisch Empire Sty le, yang termasuk gaya arsitektur neo-klasik . Gaya arsitektur Indisch Empire Sty le merupakan gaya yang diibawa oleh Gubernur Jendral Deandels (Handinoto & Paulus, 1996). Struktur bangunan Indis di Surakarta secara umum berbentuk simetris, pada bagian dalam rumah tersebut terbagi kedalam beberapa ruang yang memiliki fungsi sendiri-sendiri. Pada rumah Indis pembagian ruang didasarkan pada pembedaan umur, jenis kelamin, generasi, famili, dan lain-lain. Hal seperti ini tidak ditemukan pada struktur bangunan rumah tradisional Jawa. Selain itu dirumah Indis ini fungsi dari tiap-tiap ruang diatur seketat mungkin agar privasi dari tiap-tiap individ u dalam rumah tersebut terjamin . Publik Veranda/ Beranda / Teras Depan Privat Beranda Belakang Gambar. 4.3. Façade Denah Ruang Rumah Gaya Indische Empire Style yang Berorientasi Keluar dan Kedalam (Sumber: Samuel Hartono & Handinoto, 2006 : 84; Mahardika, 2010: 46 ). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 94 Gaya arsitektur Indisch Empire Style memilki denah ruang yang berorientasi ke luar da n ke dalam. Ciri khas dari bangunan-bangunan Indis ini adalah adanya halaman yang luas dengan bangunan besar yang memiliki tiang-tiang dan kolomkolom besar di depannya. Hal ini untuk memberikan kesan mewah, megah, dan wibawa dari golongan orang-orang Eropa sebagai penguasa di tanah jajahannya. Kesenangan masyarakat Indis adalah melakukan hal-hal yang menunjukkan kemewahan dengan mengadakan perjamuan-perjamuan, pesta-pesta dansa. Hal tersebut menjadikan struktur bangunan Indis harus mampu mewakili aktifitas penghuninya, oleh karena itu ruangan dalam rumah Indis dibagi menurut fungsinya masing-masing (Soekiman, 2000). Perpaduan unsur Eropa dengan unsur tradisional yang dapat ditelusuri lewat adanya beranda depan, samping, belakang, serta taman yang luas yang melatarinya. Nuansa alam Jawa yang sejuk tergambar dengan berbagai tumbuhan, biasanya tanaman yang ditanam adalah tanaman khas Indonesia berupa tanaman obat tradisional, hadirnya tanaman-tanaman ini menambah kesejukan rumah bergaya Indische Empire Style (Handinoto, 1994). Perkembangan gaya bangunan Indische Empire Style di Surakarta dipengaruhi oleh faktor politik pemerintah kolonial Belanda sebagai penguasa di Jawa. Kekuasaan menjadikan para pejabat pemerintah Eropa sebagai penguasa ingin menampilkan diri dengan kesan mewah, gagah dan berwibawa sebagai penguasa dan berbeda dengan masyarakat sekitar. Rumah bergaya Indisch Empire Style di Surakarta , dapat dilihat pada bangunan rumah Agustinus De Zentje seorang pengusaha pekebunan di Surakarta pada waktu itu. Loji Gandrung, dewasa ini digunakan sebagai rumah dinas Walikota Surakarta yang terletak di pusat kota Surakarta, tepatnya di kawasan jalan utama Slamet Riyadi. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 95 Gambar. 4.4. Loji Gandrung (Rumah Dinas Walikota Surakarta) Merupakan Salah Satu Bangunan Indis dengan Gaya Empire Style (Sumber : Dokumentasi Pribadi, 25 Juni 2013) Bangunan dengan ciri Indische Empire ditampilkan melalui penataan ruangan dan kolom Doria yang menghiasi serambi depan Bangunan rumah pada era ini terlihat mewah, kemewahan bangunan ini terlihat dari banyaknya ragam hias yang dipasang di rumah tersebut. Ukuran atap yang lebih luas dan tinggi dimaksudkan agar rumah menjadi lebih teduh dari panasnya sinar matahari. Demikian pula dengan adanya teras disekeliling rumah ya ng menjadi isolator panas matahari agar tidak langsung menerpa bangunan rumah.Selain itu, Bangunan-bangunan yang bercorak Indische Empire di Surakarta antara lain seperti Balaikota lama, Gereja Protestan, dan rumah-rumah di Loji Wetan. Awal abad 20 unsur-unsur gaya Indis telah masuk kedalam gaya arsitektur tradisional, terutama pada rumah-rumah milik bangsawan dan para pengusaha kaya pribumi. Pada rumah bangsawan pribumi contoh unsur gaya Indis dapat dilihat pada bangunan Dalem Sasonomulyo dan Dalem Wuryoningrat. Pada dalem Sasonomulyo corak Indis dapat dilihat dari bangunan lojen dan kopel. Bangunan lojen tersebut dulunya dipergunakan sebagai tempat menjamu para pejabat Belanda. Sementara pada dalem Wuryoningrat dapat dilihat dari ornamenornamen yang terdapat pada rumah ini. Contohnya adalah ornamen yang terdapat commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 96 pada batang tiang penyangga rumah yang bergaya Eropa klasik (Prasangka, 2005). Proses perubahan bentuk bangunan tradisional menjadi bangunan dengan arsitektur modern tersebut terjadi karena berbaga i faktor. Faktor tersebut antara lain seperti kondisi alam, kontak sosial, ekonomi, budaya dan politik. Perkembanga n arsitektur Indis di Surakarta, bisa ditinjau berdasarkan perkembangan kota Surakarta dan kebijakan politk pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Perkembangan suatu kota akan sangat tergantung kepada banyak faktor, seperti letak geografi, sosial, ekonomi, budaya masyarakat dan sebagainya. Namun yang paling menentukan dalam perkembangan kota adalah faktor manusianya. Menjelang peralihan abad IXX ke abad XX di Hindia -Belanda, khususnya Jawa banyak sekali mengalami perubahan dalam masyarakat. Akibat kebijakan politik pemerintah pada waktu itu mendorong terjadinya perubahan bentuk tata kota yang di dalamnya secara tidak langsung mencakup pula bentuk arsitektur (wawancara Bapak Muqqofa, pada tanggal 8 Juli 2013). Lebih lanjut lihat CL 4 pada lampiran halaman 215. Perkembangan dan perluasan kota -kota besar di Jawa terutama di Surakarta menimbulkan kesulitan akan kekurangan rumah tempat tinggal bagi penduduk kota. Hal ini menyebabkan pembanguan rumah bergaya Empire Style mulai berkurang, karena tidak tersedianya lahan dan menunjukan pemababakan baru dalam sejarah arsitektur Indis di Surakarta yang terjadi setelah tahun 1900an. Berkurangnaya bangunan Indis bergaya Empire Style disamping berkurangnya lahan akibat ledakan penduduk di Surakarta juga disebabkan oleh mahalnya harga tanah di pusat kota serta adanya zaman Malaise dan pecahnya Perang Dunia (Soekiman, 2000). Rumah tradisional Jawa merupakan ha sil budaya yang syarat dengan simbol-simbol, baik itu dalam bentuk religi, adat-istiadat, dan tradisi. Semua ini menunjukkan bahwa dalam budaya Jawa hasil karya kebudayaan fisik tidak saja mengandung fungsi kegunaan, melainkan juga fungsi simbolis dan religius. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 97 Masuknya budaya arsitektur Eropa tidak merubah tatanan rumah tradisonal Jawa terutama dari pola ruang yang khas ada dirumah tradisional. Bangunan rumah tradisional Jawa pada abad ke XX, sudah banyak yang dibangun baru dan sedikit banyak sudah dipenga ruhi oleh unsur -unsur arsitektur Barat, walaupun bentuknya masih tradisional, yaitu bangunan dengan atap limasan atau joglo. Masyarakat golongan Belanda dan Eropa lainnya dalam membangun rumah beraristektur Indis telah memikirkan secara mendalam pembagia n ruang-ruang dalam tempat tinggalnya. Fungsi dari tiap-tiap bagian ditata dengan baik. Secara fungsional struktur bangunan Indis selain menjadi rumah tinggal juga mewakili aktifitas dari penghuninya. (wawancara Bapak Muqqofa, pada tanggal 8 Juli 2013). Lebih lanjut lihat CL 4 pada lampiran halaman 215. Rumah berarsitektur Indis memilki karakter bangunan yang meneysuaikan dengan keadaan alam Pulau Jawa, hal ini diterapka n dalam pola tata ruang dan banyaknya sistem bukaan dalam rumah Indis serta bentuk rumah besar dengan yang simetris. Pengaruh-pengaruh Eropa lainnya terlihat pada ornamen-ornamen yang menempel pada tubuh bangunan, sepert i ornamen pada tiang penyangga (Hartono & Handinoto, 2006). Ornamen-ornamen pada tiang tersebut bergaya klasik, selain itu batang tiang yang disebut sebagai saka guru, saka rawa, dan saka emper banyak yang sudah tidak lagi terbuat dari kayu, namun diganti dengan pilar -pilar yang di cor dari batu dan semen. Halaman yang luas disekitar pendapa dan dalem ageng , dengan masuknya budaya Belanda maka ruangan-ruangan yang luas tersebut didirikan bangunanbangunan baru seperti lojen, pavilyun, dan kopel. Pavilyun dan lojen biasanya dipergunakan untuk menjamu pejabat Belanda yang datang berkunjung (wawancara Bapak Muqoffa, 8 Juli 2013). Lebih lanjut lihat CL 4 pada lampiran halaman 215. Arsitektur bukan sebuah bangunan atau monumen yang tanpa jiwa. Arsitektur rumah tinggal sebagai hasil budaya merupakan perpaduan karya seni dan pengetahuan tentang bangunan, sehingga arsitektur juga membicarakan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 98 berbagai aspek keindahan dalam kontruksi bangunan. Keindahan pada banguan tersebut ditandaidengan penempatan ornamen-ornamen penghias rumah, yang memilki keindahan serta makna simbolis tertentu sesuai dengan keadaan pemilik dari bangunan tersebut. Masyarakat Belanda pada umumnya sangat menguasai dan mencintai karyakarya pertukangan hingga pada detail-detailnya. Hal ini terlihat dari penggunaaan ornament pada rumah tinggalnya yang begitu indah. Elemen-elemen yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi karakter ragam hias muka bangunan pada banguan kolonial antara lain penunjuk arah tiupan angin (windwijzer), kolom (pilar), gevel, geveltoppen, pagar serambi (stoep), tower, bovenlicht, serta hiasan puncak atap (nok acroterie) dan cerobong asap semu (Zulkiflianto, 2010). Hiasan pada bangunan rumah rumah pada dasarnya ada dua macam, yaitu hiasan yang kontruksional dan hiasan yang tidak kontruksional. Yang dimaksud hiasan konstruksional ialah hiasan yang jadi satu dengan bangunannya. Jadi ini tidak dapat dilepas dari bangunannya. Contohnya adalah pilar -pilar pada bangunan. Sedangkan hiasan yang tidak konstruksional ialah hiasan bangunan yang dapat terlepas dari bangunannya dan tidak berpengaruh apa -apa terhadap kontruksi bangunan. Contohnya lampu gantung dan meubelair (Dakung, 1981). Rumah tempat tinggal para pejabat Eropa (Belanda), di Surakarta memilki detail ornamen yang sama dengan perkembangan arsitektur Kolonial yang ada di Jawa. Ornamen pada bangunan rumah berarsite ktur Indis berkembang di HindiaBelanda merupakan perpaduan dua kebudayaan yang unik karena tidak terdapat di daerah koloni lain. Pemberian ornamen biasanya pada bangunan ditempatkan di tiang penyangga atau pilar-pilar rumah dan di bagian atap atau kemuncuk. Berikut dijelaskan secara umum beberapa ornamen penghias yang terdapat pada banguan Indis di Surakarta. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 99 a) Ornamen pada Tiang Penyangga Ciri menonjol yang menandakan banguan tersebut termasuk kedalam gaya bangunan Indis bisa dilihat dari tiang-tiang atau pilar pilar yang menjulang tinggi di sekeliling bangunan dan difungsikan sebagai menopang bangunan. Pilar-pilar atau tiang pada bangunan Indis merupakan tirua n dari pilar yang berkembang pada istana-itsana di Yunani dan Romawi, hal ini dimaksudkan sebagai symbol dari kekuasaan dan kekuatan. Tiang pada banguan Indis memiliki beberapa gaya antara lain menggunakan gaya Doria, Ionia, dan Korinthia, yang tersusun atas kepala, tubuh, dan kaki tiang (soubasement). Masing-masing gaya memiliki arti dan lambang tersendiri. Tiang-tiang ini banyak dipergunakan dalam bangunan rumah dewa (kuil) masa Yunani dan Romawi kuno, kemudian dipergunakan juga dalam bangunan-bangunan dari masa Renaissance (Soekiman, 2000). c a b Gambar 4.5 Beberapa Bentuk Pilar atau Tiang pada Bangunan Indis: a; Tiang Doria, b ; Tiang Ionia, c; Tiang Corinthian (Sumber: Soekiman, 2000 : 304). Penggunaan tiang gaya Doria, Korintia, dan Ionia, berhubungan dengan perkembangan arsitektur di Eropa abad 17. Pada sekitar tahun 1660-1760 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 100 arsitektur yang berkembang pada masa ini adalah arsitektur Barock. Pada zaman Barock arsitektur manjadi sebuah karya seni yang utama, dengan mengunakan lukisan dan ukiran yang merupakan elemen dari keseluruhan bangunan. Tema dasarnya adalah bangunan yang memusat pada mahkota kubah yang digabung dengan bangunan memanjang. Barock menyatukan berbagai unsur gaya tiang pada bangunan, yang pada zaman Renaissance bagian tiang dipisahkan berdasarkan ruang-ruang pada struktur bangunan (Budiono, 1997). Penggunaan tiang Doria, Ionia, Corinthian, biasanya di pakai untuk bangunan-bangunan pemerintahan dan tempat tinggal pejabat Kolonial Belanda, seperti Gubernur, Residen, Assisten Residen, Bupati dan kontrolir di wilayah dan pengusaha-pengusaha Belanda karena lebih indah dan banyak memiliki detail, khususnya tiang gaya Ionia dan Corinthian. Tiang Doria merupakan bentuk tiang paling sederhana diantara ketiga tiang tersebut. Tiang Ionia lebih ringan dan terkesan feminism, memiliki bentuk dua buah kepala tiang, berbentuk lengkung yang saling membelakangi (volutes). Tiang Corinthian merupakan yang paling rumit dari ketiga tiang tersebut, bentuk kolomnya lebih langsing dan kepala kolomnya berbentuk dua susun daun-daun Acanthus (Zulkiflianto, 2010). Tiang yang bergaya Doria memiliki simbol kekuatan, sesuai dengan jiwa bangsa Doria yang berjiwa militer. Gaya Doria menghendaki bentuk bangunan yang diciptakan tampak kokoh, kuat, perkasa, sekaligus juga dapat dijadikan sebagai lambang kekuasaan, dengan demiian gaya Doria sangat cocok sebagai hiasan bangunan pemerintah atau pe nguasa. Gaya Doria banyak dipilih karena memiliki proporsi yang kokoh dan terkesan maskulin. gaya Korintian dan gaya Ionia yang penuh garis -garis halus pencerminan kelembutan (Soekiman, 2000). Pengguaan tiang gaya Doria, Korintia, dan Ionia menunjukan gaya bangunan yang dijadikan alat untuk pencerminan kekuasaan melalui bangunan tempat tinggalnya. Sehingga apabila masyarakat umum melihat bangunan tersebut mereka dapat langsung mengetahui bahwa yang bertempat tinggal dirumah tersebut adalah orang yang memiliki kekuasaan dan dihormati. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 101 b) Ornamen pada Atap atau Hiasan Kemucuk Kehadiran bangsa-bangsa Eropa di Indonesia sejak awal abad XVI mempengaruhi berbagai unsur kebudayaan termassuk didalamnya adalah arsitektur bangunan rumah beserta bagian-bagiannya. Faktor orang-orang Belanda sangat menghargai suatu karya seni menjadi salah satu faktor keindahan banguanbanguan Indis di Indonesia, keindahan ornament ditempatkan masyarajkat Belanda pada berbagai sisi bangunan tidak terkecuali pada atap banguan. Masyarakat Jawa pada umumnya tidak terlalu memperhatikan hiasan-hiasan yang terdapat pada bagian puncak rumah mereka. Selain pada bangunanbangunan rumah ibadah, hiasan kemuncak tidak terlalu mendapat tempat yang spesial pada pembangunan sebuah rumah di Jawa. Berbeda dengan masyarakat Kolonial Belanda, yang sangat memperhatikan hiasan atap rumah, karena memilki makna dan arti simbolis dalam kehidupan masyarakat Belanda (Sujayanto, 2000). Bangunan rumah bergaya Indis di Indonesia masih banyak yang mengguankan hiasan-hiasan dan lambang-lambang pada atap bangunan, tetapi lambang-lambang dan makna-makna yang terkandung dari berbagai macam ragam hias tersebut sudah kehilangan maknanya. Ragam-ragam tersebut hanya dijadikan sebuah hiasan penghias rumah belaka, sehingga terjadi keterputusasaan budaya (missing link) antara budaya asli di negeri Belanda dengan budaya di negeri jajahannya Hindia-Belanda (Soekiman, 2000). Beberapa macam ragam hias yang menghiasi atap bangunan Indis pada umumnya berupa Penunjuk Arah Angin (Windwijzer), Makelaar, gevel,tower dan Hiasan dari Kaca. Di wilayah Surakarta Ragam hias tersebut masih tetap dipertahankan sampai sekarang sebagai penentu c iri dari banguan bekas Kolonial Belanda, walaupun hiasan-hiasan tersebut sudah tidak bisa berfungsi dengan benar. Berikut dijelaska n beberapa hiasan atap atau hia san kemucuk yang ada pada banguan Indis di Jawa pada umumnya dan di Surakarta khususnya. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 102 (1) Penunjuk Arah Angin (Windwijzer) Penunjuk arah tiupan angin disebut juga windwijzer, biasanya di negeri Belanda sesuai dengan pekerjaan atau lambang keluarga pemilik bangunan. Pada umumnya, windwijzer terbuat dari logam dengan warna merah menyala yang dapat terlihat dari kejauhan, seperti warna merah metalik atau keemasan. Penunjuk arah mata angin (windwijzer) atau tadhah angin ini di negeri Belanda bermacam-macam bentuknya, seringkali menunjukkan macam usaha dan pekerjaan dari pemilik rumah, berbentuk ayam jago, bendera dan lain sebagiannya. Seiring dengan perkembangan jaman, pada abad pertengahan di Belanda tidak semua orang dapat dengan sekehendak hati membuat hiasan ini, karena dikeluarkan ketentuan-ketentuan tertentu oleh penguasa, baik tentang bentuknya maupun perwujudannya. Misalnya seorang ridder (bangsawan) di atas puncak istananya dengan windwijzer berbentuk seperti bendera, sedang untuk baanderheer (pejabat biasa) menggunakan penunjuk arah berbentuk persegi empat. Pada abad XV bangsawanbangsawan tinggi menaruhkan pada ujung tongkatnya windwijzer dengan hiasan mahkota. Ada pula yang menaruh hia san berwarna keperakan pada sisi sudut persegi empat diisi dengan hiasan rozet, tetapi lazimnya diisi dengan lambang keluarga pemiliknya. (Sujayanto, 2000). Hiasan penunjuk arah mata angin pada banguan Indis yang ada di Jawa bukan merupakan perlambang kekuasaaan atau memilki makna tertentu, hiasan tersebut hanya sekedar hiasan tanpa arti kecuali ornamen yang membuat indah suatu bangunan. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 103 a b Gambar 4. 6 a; Contoh bentuk Hiasan Kemucuk Berupa Penunjuk Arah Mata Angin yang berada di Negeri Belanda, b; Hiasan Kemucuk pada Panggung Sanggabuwana Keraton Surakarta Hadiningrat. (Sumber: Soekiman, 2000 : 278; KITLV). Penunjuk arah angin angin ini biasanya diletakan diatas sebuah kubah kecil yang terdapat dipuncak bangunan. Hiasan penunjuk arah angin ini di Surakarta terdapat pada banguan gedung Bank Indonesia dan pada atap Panggung Sanggabuwana di Keraton Surakarta Hadiningrat. Keberadaan hiasan windwijzer pada bangunan keraton menunjukan kebudayaan Indis juga merambah ke lingkungan keraton. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 104 Hiasan kemunc uk pada rumah-rumah Indis di pulau Jawa umumnya dan di Surakarta khususnya tidak terlalu kaya. Hal ini bertolak belakang dengan dinegeri asalnya yang mana tiap-tiap rumah saling bersaing dalam menghias rumahnya. Hal ini dikarenakan akibat tekanan ekonomi atau kemiskinan jaman Malaise dan akibat Perang Dunia I (Soekiman, 2000). (2) Makelaar Ornamen yang terdapat pada atap bangunan Indis selanjutnya yaitu makelaar. Makellar yaitu papan kayu berukir yang berukuran panjang sekitar 2 meter dan ditempelkan secara vertikal dan diwujudkan berupa pohon palem atau orang dengan tangan menengadah, dan juga berbentuk hewan angsa yang diletakan saling membelakangi. Hiasan ini terdapat didepan rumah (geveltoppen) yang disebut voorschot, yaitu bentuk segitiga yang terdapat didepan rumah. Biasanya merupakan atap dari teras. Pada beberapa bangunan Indis banyak menggunakan hiasan makelaar, hiasan makellar yang sulit dilacak arti simboliknya, tetapi secara umum hiasan makelaar ini melambangkan rohroh baik dan ja hat sesuai dengan kepercayaan masyarakat. (Soekiman, 2000). Hiasan makellar disesuaikan dengan di Belanda memilki berbagai bentuk yang perkembangan jaman dan mata pencaharian masyarakat di negeri Belanda , misalkan lambang dari masa pra kristen yang diwujudkan dalam bentuk pohon hayat, kepala kuda, roda matahari dan lambang pada masa kristenan berupa bentuk salib dan hati, sedangkan Roma Katolik berupa miskelk dan hostle . Bangunan rumah Indis bebrapa memilki ragam hias yang dipahatkan pada makelaar seringkali berupa hiasan yang diukir berupa huruf yang distilisasi sehingga menjadi motif ragam hias (runenschrifti), yang memilki makna tertentu, biasanya sebagai lambang keselamatan dan kemakmuran. Misalkan Lambang Manrune, mengandung arti simbolik commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 105 kesuburan, seringkali diwujudkan dalam bentuk gambar huruf M dan gamabar bunga tulip atau leli (Zulkiflianto, 2010). Selain stilisasi berbentuk huruf dan bunga, ragam hias yang dipahatkan juga berupa binatang angsa berjumlah dua, dikenal dengan istilah Oelebord yang diletakan bertolak belakang, Oelebord ini bagi masyarakat Belanda memiliki makna simbolik berupa pembawa sinar terang atau pemilik wilayah . Hiasan Makelaar pada rumah-rumah di negeri asalnya yaitu Belanda, sesungguhnya mempunyai arti simbolis tertentu. Setelah diadaptasi pada banguan Indis yang berada di Indonesia, sama seperti juga hiasan-hiasan lainnya pada rumah Indis, makna -makna tersebut sudah hilang. Hiasan hanyalah sebagai hiasan tanpa makna hanya sekedar pelengkap keindahan bangunan (Soekiman, 2000). Gambar 4.7. Bentuk Hiasan Kemucuk Berupa Makellar, Gambar Atas Menunjukkan Lambang Masa Kristen Berbentuk Salib dan gambar bawah Berbentuk Seperti Binatang Angsa yang Ditempatkan Saling Membelakangi atau Biasa Disebut Oelebord (Sumber: Soekiman, 2000 : 295-297) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 106 (3) Gavel, Domer, dan Tower Bangunan Indis dicirikan dengan bentuk bangunan dan atap yang tinggi dan tingkat kemiringan sampai 40°. Pada atap terdapat elemen hiasan berupa gavel, Domer, dan Tower . Ornamen gavel menurut Harris (1996); Soemalyo (1993), gevel merupakan sebagai bagian berbentuk segitiga yang terletak pada dinding samping, di bawah condongan atap. Bentuk gavel pada umumnya diletakan di depan bangunan dan memilki berbagai bentuk seperti Curvilinear Gable, Stepped Gable. Domer merupakan semacam jendela atap yang menjadi komponen pencahayaan dan sirkulasi penghawaan dengan penerapan konsep vernacular. Biasanya domer diletakan di sisi-sisi atap. Penggunaan domer sebagai akibat dari adanya kesadaaran arsitek untuk menyesuaikan bentuk banguan dengan keadaan iklim Indonesia (Zulkiflianto, 2010). a b c Gambar 4.8 Hiasan Kemucuk Berbentuk a; Gevel, b; Domer, c; Bentuk Tower pada bangunan Indis di Surakarta. (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 18 Mei 2013) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 107 Bangunan-bangua n yang menggunakan tower atau menara di negeri Belanda pada awalnya terbatas hanya pada banguanan gereja. Kemudian bentuk tower ini diadaptasi ke bangunan umum. Secara makna fungsi menara untuk mengalirkan udara panas dari bawah (ruangan) ke atas. Variasi tower berupa bentuk bulat, segi empat ramping, dan ada pula yang dikombinasikan dengan gevel depan (Samsudi, 2000). Keberadaan Gavel, Domer dan Tower memiliki fungsi sebagai penyesuaian dengan kondisi iklim tropis di Jawa. Arsitektur Eropa ataupun Belanda banyak dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat rasional. Penghuni rumah berusaha untuk seoptimal mungkin untuk memanfaatkan tiap bagian bangunan. Dengan hadirnya suatu Gavel, Tower dan Domer pada bagian lantai paling atas ini dapat digunakan sebagai lonteng, tempat tidur maupun ruang yang lain. (4) Hiasan dari Kaca Patri (glass in lood) Hiasan dari kaca yang berwarna dan menempel pada tubuh bangunan (glass in lood), pada awalnya merupakan ornamen-ornamen yang banyak terdapat di gereja-gereja zaman klasik Eropa. Gereja -gereja yang dibangun pada masa ini walaupun terlihat keramat dari luar, namun kemegahan dan keindahan terdapat didalamnya dengan adanya pantulan cahaya matahari oleh kaca emas warna-warni sehingga menimbulkan mozaik yang indah. Rumus dasar pembuatan kaca, mencampurkan pasir, garam, dan abu. Kaca berwarna dibuat dengan memanasi campuran ini sampai cair, yang kemudian diwarnai dengan oksidasi logam, tembaga untuk warna merah, besi untuk warna kuning, kobalt untuk warna biru. Keping-keping kecil kaca warna-warni tersebut dimasukkan dalam alur bingkai timah yang bentuknya bermacam-macam sehingga membentuk panel. Baru setelah panel dipasang pada jendela, tukang kaca dapat mengetahui kecerahan warna dan kesan seluruh desain. Hiasan kaca patri pada abad pertengahan banyak menceritakan dan melukiskan tokoh-tokoh dalam sejarah kitab Injil serta manusia sejak penciptaan alam semesta (Soekiman, 2000). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 108 Hiasan dari kaca pada umumnya ditempatkan pada pintu dan jendela rumah. Bentuknya dikombinasikan dengan panel-panel kayu, tetapi ada pula yang menempatkan hiasan kaca ini pada domer. Melihat dari sisi sejarah pada awalnya bentuk jendela mengguanakan penutup rotan yang dianyam seperti kursi. Cara ini didapat oleh orangorang Portugis dengan meniru cara orang pribumi. Kelemahan jendela dengan penutup anyaman rotan ini ialah terbuka dan tidak dapat melindungi ruangan dalam dari hujan dan panas matahari, juga terpaan angin, dan apabila ditutup ruangan menjadi gelap dan pengap. Perkembangan hiasan dari kaca tidak bisa terlepas dari perkembangan arsitektur gaya art deco yang berkembang sekitar abad ke XX. Mengenai definisi art deco, Handinoto, Santoso & Irawan (2012) menyimpulkan Art Deco adalah seni populer, gerakan desain internasional dari 1925 sampai 1940, yang mempengaruhi seni dekoratif seperti arsitektur, desain interior, dan desain industri, serta seni visual seperti fashion, lukisan, seni grafis, dan film. Pada saat itu, gaya ini dianggap sebagai elegan, glamor, fungsional, dan modern (hlm. 1) Art Deco memberika n sentuhan-sentuhan modern yang diartikan dengan berani tampil beda dan baru, tampil lebih menarik dari yang lain dan tidak kuno. Kesemuanya itu dimanifestasikan dengan pemilihan warna yang mencolok, proporsi yang tidak biasa, material yang baru dan dekora si (Tanti Johana, 2004). Rumah tradisional Jawa dalam strukturnya, ada tempat yang disebut tebeng, yaitu bidang segi empat yang terletak diatas pintu atau diatas jendela. Tebeng ini dihiasi dengan ornamen yang namanya dalam bahasa Kawi disebut sebagai warayang. Wujud dari ornamen warayang berupa beberapa anak panah yang distilisasi menuju kesatu titik. Secara teknis ragam hias ini berfungsi ganda yaitu sebagai ventilasi atau jalan udara agar terjadi sirkulasi udara di dalam rumah. selainitu juga berfungsi sebagai penambah penerangan dalam ruangan (Dakung, 1982). Pada rumah berarsitektur Indis, hiasan warayang commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 109 yang merupakan ornamen khas arsitektur Jawa tersebut diadaptasi oleh arsitek-arsitek belanda menjadi ornamen glass in lood untuk mempercantik rumah dan menimbulkan kesan mewah Awal abad 20 hiasan dari kaca (glass in lood ) mengalami perkembangan yang sangat pesat dan mulai banyak masyarakat Surakarta menghias rumah-rumah dengan hiasan ini. Hiasan glass in lood biasanya ditemukan pada rumah-rumah orang kaya dan terpandang, rumah-rumah pejabat dan saudagar-saudagar terutama di Laweyan, hiasan dari kaca ini dibentuk dengan panel-panel yang membentuk relief tertentu biasanya relief tumbuhan, relief gambar matahari, dengan pemakaian warna yang terlihat mewah. Gambar 4.9. Salah Satu Bentuk Hiasan Kaca Patri (Glass In Lood ) yang ditempatkan pada Panel Ventilasi di Atas Pintu dan jendela (Bovenlich ) pada Bangunan Rumah Indis milik Poesposumartan di Laweyan. (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 22 Mei 2013) Ornamen pada rumah berga ya Indis tidak terlalu mencolok, keindahan ornamen pada bangunan selain mempercantik bangunan, juga diharapkan akan dapat memberi ketentraman bagi yang menempatinya. Bagi kalangan pejabat dan orang kaya, ornamen-ornamen yang terdapa t dirumah tersebut juga sebagai sebuah simbol kedudukan yang dimiliki penghuni rumah. Arsitektur dan ornamen Indis telah berhasil memenuhi nilai-nilai budaya yang dibutuhkan oleh penguasa karena dianggap bisa dijadikan sebagai simbol status, keagungan, kebesaran kekuasaan, bukan hanya bagi golongan Belanda saja tetapi juga oleh penguasa pribumi. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 110 b. Bentuk Arsitektur dan Ornamen Indis di Kampung Laweyan 1) Persebaran Saudagar Batik dan Bentuk Rumah di Kampung Laweyan Wilayah Kampung Batik Laweyan memiliki luas wilayah sekitar 24,83 Ha, yang terbagi kedalam delapan kawasan yaitu Kwanggan, Sayangan Kulon, Sayangan Wetan, Setono, Lor pasar, Kidul Pasar, Kramat dan Klaseman. Secara administratif, kampung Laweyan terbagi kedalam 3 Rukun Warga (RW) dan 10 Rukun Tetangga (RT). Elemen kawasan kampung Laweyan dibentuk oleh butiran masa yang saling berdekatan dan membentuk jalan-jalan merupakan ciri lain dari pemukiman tradis ional.Permukiman tradisional biasanya banyak dicirikan dengan munculnya massa bangunan yang mempunyai tampak berupa dinding-dinding tertutup menghimpit dan dikelilingi oleh gang atau jalan sempit (Priyatmono, 2004). Pemukiman pengusaha batik berskala besar di kampung Laweyan memiliki masa bangunan rumah yang cukup luas dan besar. Bangunan rumah tersebut biasanya dikeli lingi oleh tembok-tembok tinggi (beteng). Dinding berhimpit dan memiliki ketinggian yang cukup tinggi sekitar enam meter dan biasanya dimiliki oleh rumah-rumah saudagar batik, hal ini dimaksudkan untuk menghindari pencurian dan persaingan pr oduksi antar pengrajin batik. Wilayah kampung Laweyan merupakan suatu perkampungan yang memiliki penduduk homogen dalam hal mata pencaharian yaitu pengusaha dan pekerja industri batik, hampir sebagian besar masyarakat di Laweyan berprofesi sebagai pengusaha dan pengrajin batik. Kawasan Kampung Laweyan, dalam hal pembagian kelompok pemukiman terbagi kedalam dua kelompok pemukiman, yaitu kelompok pemukiman pengusaha atau saudagar batik dan pekerja batik. Jika kawasan Laweyan dianggap bermula dari Jalan Dr. Radjiman sebagai jalan utama, kemudaian masuk ke dalam ke arah Sungai Kabanaran maka akan diperoleh 3 lapisan pemukiman, untuk sub kawasan pengusaha menempati lapisan pertama dan kedua dalam kawasan, sedangkan sub kawasan buruh menempati lapisan ketiga. Dengan demikian letak sub kawasan buruh seolah berada di ujung belakang kawasan Laweyan, commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 111 berdekatan dengan sungai. (wawancara, Ibu Naniek Widyati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200. Rumah-rumah saudagar batik, yang memiliki luas rumah cukup besar terletak di jalan utama ka mpung, yakni sepanjang Jalan Sidoluhur dan jalan Tiga Negeri. Pemukiman berskala kecil biasanya ditempati oleh para pekerja atau buruh batik, rumah para pekerja batik biasanya terletak masuk ke pinggiran jalan utama atau berdekatan atau di tepi sungai Kabanaran atau sungai Jenes sekarang, tetapi ada pula saudagar batik yang bertempat tinggal di tepi sungai (Wawancara Bapak Alpha Febela, 4 September 2013). Lebih lanjut lihat CL 3 pada lampiran halaman 211. Jika digambarkan pada peta, kawasan pemukiman atau letak hunian saudagar batik dengan pekerja batik adalah sebagai berikut: 1 2 3 Gambar 4. 10. Peta Pembagian Lapisan Sub Kawasan Pengusaha dan Buruh pada Kawasan Laweyan. Lapisan 1 dan 2 dari kawasan ja lan Dr. Radjiman merupakan kawasan pemukiman saudagar batik yang menjorok sampai ke dalam. Lapisan 3, merupakan Lapisan pekerja atau Buruh Batik (Sumber : Widayati, 2002 : 241) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 112 Kawasan Laweyan adalah suatu kawasan yang memiliki komunitas masyarakat dengan pekerjaan sama yaitu pengusaha atau saudagar batik dan pekerja atau buruh batik. Perubahan sebagai pusat perdagangan lawe menjadi pusat industri batik, menjadikan kawasan Kampung Batik Laweyan dewasa ini telah banyak perubahan, baik dari segi masyarakat ataupun dari segi arsitektur rumah tinggal. Masyarakat Laweyan yang masih aktif dalam produksi batik berjumlah kurang lebih sekitar 23 pengusaha batik yang masih aktif. Usaha batik yang ada di Laweyan biasanya adalah usaha turun temurun keluarga yang dikerjakan oleh anak cucu saudagar batik Laweyan, baik dengan skala produksi besar maupun skala kecil. (Wawancara Bapak Alpha Febella, 4 September 2013). Lebih lanjut lihat CL 3 pada lampiran halaman 211. Produksi batik yang dilakukan masayarakat Laweyan dilakukan di pabrik. Pabrik biasanya menyatu dengan rumah sekaligus dijadikan showroom, tetapi ada pula pengusaha batik yang hanya menggunakan rumah sebagai showroom dan memiliki pabrik tersendiri. Persebaran rumah penduduk Laweyan yang memproduksi batik ini hampir di seluruh kawasan kampung Laweyan . Berikut disajikan tabe l persebaran saudagar batik yang masih aktif dalam berproduksi di Kawasan kampung batik Laweyan, yang di olah berdasarkan observasi di lapangan : Tabel. 4. 3. Persebaran Pengusaha Batik yang Masih Aktif di Kampung Laweyan No 1 2 3 4 5 6 7 8 Kampung Kwanggan Sayangan Kulon Sayangan Wetan Setono Kidul Pasar Lor Pasar Kramat Klaseman Jumlah Jumlah 1 1 7 6 4 4 23 (Sumber : Observasi, 23 Mei 2013) commit to user Presentase (%) 4,35 4,35 30,43 26,09 17,39 17,39 100 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 113 Wilayah Kampung Setono merupakan wilayah dengan pengusaha batik terbanyak sekitar 30 % atau berjumlah sekitar 7 pengusaha yang aktif memproduksi batik, kemudaian disusul oleh kampung Kidul Pasar sekitar 26 % yakni sekitar 6 pengusaha aktif dan sisanya adalah kampung Sayangan Kulon dan Wetan masing-masing 1 pengusaha aktif, kampung Lor Pasar dan kampung Klaseman sebanyak 4 pengusaha aktif. Kampung Kramat dan kampung Kwanggan tidak ada pengusaha batik yang masih aktif. Kampung Laweyan sejak masa Keraton Pajang telah terkenal sebagai pusat perdagangan lawe (bahan baku pembuatan tenun), menginjak awal abad XX pekembangan Industri batik di Surakarta meningkat seiring dengan ditemukannya teknologi batik cap. Hal tersebut juga terjadi di Laweyan yang menyebabkan hampir seluruh rumah tangga mengusahakan batik, dan bertahan hingga sekarang. Keuntungan yang besar dari perdagangan batik digunakan oleh saudagar batik untuk membangun rumah. Diantara para pengusaha tersebut memilki rumahrumah yang memilki arsitektur tradisional, baik arsitektur Jawa, campuran JawaEropa, Jawa-Islam dan arsitektur modern yang masih terawat dan masih digunakan sebagai pabrik batik sampai sekarang. Kajian dalam skripsi ini mengkaji tentang bagaimana bentuk dan araistektur serta ornamen rumah saudagar batik yang bercorak Indis atau gaya campuran Jawa-Eropa (Belanda). Dari hasil observasi diketahui ada sekitar 23 pengusaha batik yang masih aktif berproduksi dan para saudagar batik ini memiliki rumah yang unik dari berbagai langgam arsitektur baik Jawa, Eropa ataupun Art Deco . Dari 23 rumah yang di observasi ada sekitar 11 rumah milik saudagar batik Laweyan yang bercorak Indis, Jawa Limasan dan Joglo. Bangunan-bangunan tersebut, masih digunakan sebagai tempat produksi dan showroom batik. Bangunan rumah tersebut rata-rata sudah berusia dari 50 tahun. Pada periode awal abad XX dimana pengaruh arsitektur Indis di adaptasi oleh saudagar Laweyan, menghasilkan beberapa bentuk rumah loji dari berbagai bentuk gaya Indis antara la in Art Deco , Indische Style dan Modern -Clasic serta perpaduan dominasi ukiran dan loji. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 114 Dalam penelitian ini penulis mencoba mendeskripsikan 3 rumah saudagar batik di Laweyan yang terpengaruh arsitektur Indis dan dianggap mewakili periode arsitektur Indis yang berkembang di Laweyan. Riwayat 3 rumah besar tersebut dibangun berdasarkan latar belakang yang sama, yaitu kesuksesan saudagar batik dalam mengelola Industri batik cap pada sekitar abad ke XX. Diantara rumah yang dijadikan objek penelitian yaitu Ruma h Djimatan atau lebih dikenal dengan nama dalem Djimatan, Rumah Poesposumartan atau dikenal dengan nama dalem Poesposumartan dan Rumah H. Mawardi, yang sekarang di tempati oleh anak cucu dari para saudagar batik tersebut. Berikut disajikan beberapa gambar bentuk rumah tradisional yang dimilki oleh saudagar batik Laweyan. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 115 a b b c Gambar 4.11. Façade Arsitektur Rumah Saudagar di Laweyan, berturut-turut (a) Rumah dengan arsitektur Jawa; (b) Rumah Indis dengan Struktur Dominan Kayu, c; Rumah Indis dengan Struktur Bearing wall (Sumber : Dokumentasi Pribadi, 22 Mei 2013). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 116 2) Bentuk Arsitektur dan Ornamen Bangunan Rumah Indis di Laweyan Kebudayaan Indis beserta hasil-hasilnya, termasuk arsitektur yang bercorak Indis, masuk dan berkembang di wilayah Kampung Laweyan disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor geografis Laweyan, faktor berkembangnya industri batik sehingga menyebabkan keuntungan yang besar dan faktor status kawula yang membuat saudagar ba tik merasa perlu menunjukkan identitas sebagai saudagar. Secara geografis kampung Laweyan merupakan suatu wilayah yang sejak masa kerajaan Pajang terkenal dengan pusat pedagangan lawe (bahan baku pembuatan kain) yang berpusat di sungai Jenes atau sungai Kabanaran sekarang dimana sungai tersebut terhubung dengan Sungai Bengawan Solo, di wilayah tersebut terdapat bandar dagang yaitu Bandar Kabanaran yang terhubung dengan bandar besar di Nusupan, posisi yang sangat starategis secara geografis jika ditinjau dari segi masa lalu karena transportasi sungai pada masa lalu merupakan alat trsansportasi utama yang digunakan oleh masyarakat. Letak Laweyan secara geografis dilintasi jalur perdagangan pada masa itu, menjadikan Laweyan ini memungkinkan masuknya dan berkembangnya kebudayaan baru, termasuk kebudayaan indis beserta hasil-hasilnya berupa arsitektur bangunan rumah yang menjamur sekitar abad ke XX, abad berkembangnya industri batik di wilayah Laweyan. Tipikal masyarakat saudagar batik yang berjiwa pedagang ditambah keuntungan yang besar dalam berdagang batik sekitar abad akhir abad IXX dan awal abad XX menjadikan cepat berkembangnya budaya Indis di Laweyan khususnya arsitektur rumah Indis, hal ini dikarenakan masyarakat saudagar batik telah melakukan kontak perda gangan dengan para pedagang dari berbagai bangsa, saudagar batik sudah mampu berdagang ke luar negeri terutama ke Eropa oleh karena itu saudagar batik mempunyai wawasan mengenai arsitektur luar negeri wawasan itu lantas diterapkan untuk rumah-rumah saudagar batik Laweyan. Rumah-rumah Indis di Laweyan merupakan bukti dari perkembangan arsitektur Indis masa itu di wilayah Laweyan. (Wawancara , Bapak M. Muqqofa pada tanggal 8 Juli 2013). Lebih lanjut lihat CL 4 pada lampiran halaman 215. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 117 Arsitektur rumah tinggal masyarakat di kawasan Kampung Batik Laweyan jauh sebelum adanya perkembangan industri batik sekitar abad XX di dominasi oleh arsitektur rumah Jawa yang dimiliki rakyat kebanyakan, yang berbahan utama kayu. Perkembangan industri batik di Surakarata sekitar awal abad XX, menyebabkan saudagar batik memilki keuntungan yang besar dari hasil perdagangan batik. Perkembangan indusrtri batik tersebut berpengaruh tehadap eksistensi Laweyan sebagai kawasan yang spesifik, untuk merubah banguna n awal rumah mereka yang terbuat dari kayu dan berarsitektur tradisional Jawa ke bentuk loji. Sehingga pada masa itu, corak bangunan di Laweyan banyak dipengaruhi oleh gaya arsitektur colonial Belanda, sehingga banyak bermunculan bangunan bergaya arsitektur Indis (campuran arsitektur Jawa dan Eropa ) yang sebelumnya telah berkembang di lingkungan keraton. (Wawancara Bapak Alpha Febella, 4 September 2013 ). Lebih lanjut lihat CL 3 pada lampiran halaman 211. Masyarakat saudagar batik Laweyan menjadi pendukung dari perkembangan ke budayaan Indis di Surakarta dipengaruhi oleh kekayaan yang dimiliki oleh saudagar batik yang memperoleh kekayaan dari hasil usaha batik pada sekitar abad XX, selain itu faktor perkembangan kota Surakarta semenjak pembukaan perusahaan swasta ikut mempengaruhi perkembangan arsitektur di Laweyan. Arsitektur Indis yang berkembang dan diadaptasi oleh saudagar batik dipengaruhi oleh perkembangan pemukiman di kota menunjukan pola pemukiman yang menunjukan karakter yang majemuk. Bentuk rumah loji atau tembok merupakan pola dari rumah golongan Eropa dan elite pribumi dengan halaman rumah yang luas yang menunjukan rumah para penguasa dan menduduki hiearki yang tinggi dalam tatanan masyarakat. Pola rumah seperti ini yang di adaptasi dengan baik oleh saudagar batik Laweyan pada sekitar tahun 1920-1930an (Hastuti, 2013). Perubahan rumah para saudagar batik Laweyan yang awalnya berstruktur kayu dan bentuk rumah kampung secara cepat dan di renovasi menjadi bangunan berdinding tembok atau loji pada sekitar tahun 1920-1930an. Bentuk bangunan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 118 rumah tempat tinggal dengan ukuran yang besar dan luas, berdinding tembok dengan perabot yang mewah, aksesoris interior dan eksterior dengan materi bahan yang mahal, detail, dan dikerjakan dengan tingkat keahlian yang tinggi, dapat dipergunakan sebagai tolok ukur derajat dan kekayaan pemilik rumah tersebut. Semakin banyak ornamen yang mengisi rumah tersebut menunjkkan pemiliknya adalah bukan orang biasa. (wawancara Bapak Alpha Febella, 4 September 2013). Lebih lanjut lihat CL 3 pada lampiran halaman 211. Banyak bangunan rumah para saudagar ini dilengkapi dengan cermin di pendapa rumah, menggunakan tiang rumah yang kokoh dan berukir serta lantai dari marmer. Biasanya pada rumah-rumah orang kaya di Laweyan akan dijumpai pintu gerbang bersusun seperti gerbang rumah para bangsawan di keraton dan di atas pintu tersebut dilengkapi dengan ukiran crown semacam la mbang mahkota kerajaan Belanda , yang sanagat indah dan membutuhkan kedetailan dalam membuatnya. Hal ini menunjukan bahwa dalam gaya hidupnya para saudagar ini mengacu pada kehidupan para bangsawan keraton Surakarta atau masih berpedoman pada kehidupan dan budaya Jawa meskipun dalam asitektur rumah telah berubah mengikuti pola bangunan rumah Eropa (Wawancara Bapak Alfa Febella, 4 September 2013). Lebih lanjut lihat CL 3 pada lampiran 211. Banguan rumah Indis milik saudagar batik di Laweyan umumnya memiliki ciri bangunan kolonial Belanda dengan bentuk unsur dominan garis lurus, unsur dominan garis lengkung, perpaduan antara keduanya, perpaduan unsur kayu yang diukir dengan loji, tetapi ada juga perpaduan dengan unsur yang lain. Tetapi dalam hal pola ruang, masih mirip dengan pola ruang yang ada di rumah bangsawan dan pola ruang arsitektur Jawa pada umumnya. Hal ini dikarenakan adanya hubungan ya ng erat antara masyarakat saudargar batik Laweyan dengan keraton melalui perdagangan batik dan di dukung dengan kekayaan yang ada, sehingga façade atau bentuk arsitektur pada bangunan rumah milik saudagar batik Laweyan pada umumnya masih menggunakan konsep aristektur Jawa, baik dari bentuk ataupun pola ruang pada rumah tradisional Jawa seperti rumah kebanyakan di Surakarta. (wawancara, Ibu Naniek Widyati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 119 Façade bangunan dengan aristektur Indis millik saudagar batik Laweyan masih menggunakan pola ruang yang sama dengan pola ruang rumah Jawa yang dimilki bangsawan, seperti Pendopo, dalem, sentong kiwa, sentong tengen, sentong tengah , gandok, beteng, regol, butulan dan ditambah dengan bangunan pabrik. Halaman depan rumah yang cukup luas dengan orientasi bangunan menghadap utara-selatan, masih dipertahankan sebagai penanda bahwa para saudagar batik Laweyan adalah orang Jawa. Beberapa rumah Indis milik saudagar batik di Laweyan kebanyakan menggunakan bahan material dari pasir dan semen atau berbentuk bearing wall, sehingga bangunan terlihat kokoh. Penggunaan atap pada rumah Indis di Laweyan rata-rata menggunakan kombinasi antara atap limasan dan pelana. Penggunaan atap limasan dikarenakan masyarakat saudagar batik Laweyan bukanlah keturunan bangsawan yang atap rumahnya menggunakan atap Joglo, atap limasan menunjukan ciri masyarakat Laweyan yang termasuk golongan rakyat kebanyakan karena masayarakat Laweyan secara sosial termasuk kedalam kelas kawula . Struktur pendukung atap pada bangunan rumah saudagar bergaya Indis di Laweyan, terbuat dari tembok dengan susunan 2 batu (bearing wall), sehingga tidak memerlukan 4 tiang sebagai penyangga atap (saka guru) khususnya di area dalem seperti rumah para bangs awan, untuk menunjukan bahwa saudagar batik Laweyan merupakan orang Jawa yang kebanyakan dalam membangun rumah mereka menggunakan saka hanya dua buah yang terdapat di area dalem. Masyarakat saudagar Laweyan memodifikasi dengan dua tiang saka (sebagai hiasan supaya terkesan mempunyai saka) yang biasanya berada di tengah area dalem, begitu pula dengan kelengkapan-kelengkapan pengisi ruang masyarakat saudagar batik Laweyan meniru benda-benda yang ada pada rumah bansawan tetapi dengan perbedaan yang sangat mencolok, khususnya dari material yang digunakan. (Wawancara Ibu Naniek Widayati 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 120 Gambar 4. 12. Variasi Bentuk Atap pada Bangunan Rumah Saudagar Batik di Kampung Laweyan (Sumber : Widayati, 2002: 152) Keuntungan yang besar dalam berdagang batik, menyebabkan para saudagar batik perlu menunjukan identitasnya sebagai pribadi yang mandiri secara ekonomi. Penunjukkan identitas diri dari saudagar batik Laweyan ditunjukan dengan mulai berani membuat banguan rumah loji tiruan seperti layaknya tempat tinggal orang-orang Eropa. Rumah sebagai tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan hidup yang utama bagi manusia disamping kebutuhan sandang dan pangan. Oleh sebab itu rumah dibutuhkan manusia bukan hanya sebagai tempat tinggal namun juga sebagai tempat berlindung dari ancaman alam, selain itu dalam masyarakat Jawa pada umumnya dan Laweyan pada khususnya, sebuah rumah bisa dijadikan sebagai penanda status sosial. Arsitektur Rumah bergaya Indis yang berkembang di wilayah Laweyan merupakan sebuah growing up dari masyarakat saudagar batik yang merdeka, yang termar ginalkan budaya dari ikatan stratifikasi keraton, dengan kekayaan yang melebihi bangsawan keraton masyarakat saudagar batik membangun rumah bergaya Indis. Arsitektur Indis adalah sebuah jawaban dari masyarakat saudagar batik secara sosial (Wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 121 Bangunan Indis milik saudagar batik Laweyan memiliki façade sederhana, berorientasi ke dalam, fleksibel, berpagar tinggi lengkap dengan lantai yang bermotif karpet khas Timur Tengah. Keberadaan “beteng” tinggi yang banyak memunculkan gang-gang sempit merupakan ciri khas Laweyan. Selain untuk keamanan juga merupakan salah satu usaha para saudagar untuk menjaga privasi dan memperoleh daerah “kekuasaan” di lingkungan komunitasnya (Priyatmono, 2004). Bangunan rumah Indis milik saudagar batik di Laweyan memiliki ciri perpaduan arsitektur Belanda dan Jawa. Ciri atau unsur pengaruh Belanda ditunjukkan dengan bangunan yang besar dengan struktur dinding (bearing wall), halaman rumah yang luas, beratap tinggi dengan kemiringan hampir 70° dan lebar, bukaan rumah sampai dengan 60% dari keseluruhan fasade bangunan, batu kali setinggi 50 cm dari tanah pada dinding bagian luar sebagai fondasi rumah, ventilasi udara yang banyak dan lebar. Unsur arsitektur Jawa ditunjukkan dalam sistem pembagian atau pola ruang, seperti adanya regol, pendapa, pringgitan, sentong, gandok, dalem, dan butulan walaupun dalam peletakan serta jumlah ruang-ruang tersebut saudagar Laweyan bebas menentukannya tanpa terikat oleh pakem dalam pola ruang arsitektur Jawa. Pekembangan arsitektur Indis yang di adaptasi oleh masyarakat saudagar batik Laweyan tidak merubah seluruh tatanan ruang pada rumah saudagar batik, walaupun rumah saudagar batik berbentuk rumah loji, tetapi dalam tata ruang rumah, masih menerapkan pola ruang khas Jawa dengan pembagian-pembagian ruang tertentu yang bersifat umum dan yang bersifat privasi. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 122 Regol (Pintu Gerbang) Halaman Depan / area semi publik pendopo Gandok Kanan Gandok Kiri ndalem sentong beteng Butulan Pabrik Gambar. 4.13. Pola Ruang Rumah Indis Saudagar Batik Laweyan yang Masih Menerapkan Pola Ruang Arsitektur Jawa (Sumber : Priyatmono, 2004 : 2, di gambar kembali oleh penulis) Pola ruang rumah Jawa dalam rumah Indis milik saudagar batik di Laweyan ditunjukkan dengan adanya rumah induk di bagian tengah, di apit rumah atau pavilium tambahan di kanan dan kiri rumah induk. Dalam istilah arsitektur Jawa dikenal dengan istilah gandhok tengen dan gandhok kiwa. Kedua gandhok terhubung dengan dapur dan pabrik pada bagian belakang rumah induk, sehingga berbentuk U, tetapi para saudagar batik Laweyan bebas menentukan letak gandhok, hanya satu di sisi kanan atau kiri saja, atau kedua sisi sampai sejajar dengan letak rumah induk bagian depan. Bagian dalem atau ruang utama dalam rumah Indis di Laweyan masih terdapat adanya ruang khusus yang dalam arsitektur Jawa disebut krobogan atau patanen yang terdapat ruang pada ruangan sentong tengah , sentong sendiri yang berjumlah 3 buah, yaitu sentong tengen, sentong tengah dan sentong kiwa . commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 123 Sentong ini merupakan tempat yang sakral dalam rumah tradisional Jawa karena merupakan perlambang dari kesuburan. Dalam ruang senthong biasanya ditempatkan perlengkapan yang di golongkan ke dalam benda hiasan, antara lain bantal, guling, tempat sesaji, tempat sirih atau kinang , dan patung roro blonyo, walaupun ada saudagar batik yang tidak memilki dan menempatkan patung tersebut. Selain itu pada bagian tengah dalem biasanya dipasang rono atau devider, sebagai sekat. Pengusaha batik di Laweyan membuat petanen dengan sangat indahnya dan dilengkapi dengan benda hiasan yang bagus-bagus dan mahal. Hal ini sengaja dibuat sedemikian oleh para pengusaha untuk menunjukkan kelebihannya sebagai pengusaha walaupun mereka bukan dari golongan bangsawan. Dengan kata lain adalah sebagai penunjukkan kekayaan saudagar batik (Wawancara Ibu Naniek Widayati dan observasi lapangan, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200. Arsitektur Rumah Indis di Laweyan merupakan salah satu upaya dalam penunjukan identitas diri pada masyarakat saudagar yang termarginalkan oleh sistem budaya masyarakat feodal. Kekayaan akibat dari berkembangnya industri batik menjadi pendorong masyarakat Laweyan untuk bergaya hidup Indis dan salah satunya adalah dengan membangun rumah-rumah megah berarsitektur Indis beserta ornamen yang menghiasinya. Ornamen yang terdapat pada rumah Indis milik saudagar batik Laweyan yang ditemukan, umumnya berupa hiasan yang menempel pada struktur bangunan dan ornamen yang tidak menempel pada bangunan atau terlepas dari struktur bangunan dan berfungsi sebagai penghias ruang. Ornamen yang menempel pada bangunan biasanya terdapat di lantai, dinding, tiang, pintu, jendela, dan senthong adalah hiasan atau ornamen yang di stilir atau diukirkan pada benda dengan motif flora dengan bentuk lung-lungan atau sulur-suluran , pada jendela atau pintu terdapat hiasan kaca dikombinasikan dengan pola jalusi kayu dan merupakan citi arsitektur bergaya art deco . Benda hiasan atau or namen yang biasanya terlepas dari struktur bangunan dan merupakan pelengkap ruang. Sama seperti rumah bangsawan Jawa pada commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 124 umumnya, pada rumah Indis di Laweyan juga terdapat hiasan berupa kaca besar yang terletak di kanan-kiri petanen serta di pendopo pada dinding kanan dan kiri. Selain itu terdapat pula patung (arca) yang terletak di kanan dan kiri regol atau di halaman. Kemudian di area petanen ada perlengkapan yang digolongkan ke dalam benda hiasan, antara lain bantal, guling, tempat sesaji, tempat sirih atau kinang, patung dan roro blonyo . Penempatan ornamen baik yang menempel maupun terlepas dari struktur bangunan rumah masyarakat saudagar batik Laweyan tidak memiliki makna filosofis tertentu tetapi hanya beruapa unsur penghias dan sarana penunjukan ide ntitas bahwa saudagar batik adalah orang kaya dan pantas disejajarkan dengan golongan bangsawan keraton. Hal ini terlihat dari pemakaian ornamen-ornamen berlanggam Eropa baik yang di tempatkan di pintu rumah, jendela, kaca dan penguunaan lantai marmer pada bangunan rumah, bagi masyarakat saudagar batik Laweyan semakin banyak ornamen yang ada di dalam rumah menunjukan pemilik dari rumah tersebut bukan merupakan orang biasa (wawancara bapak Alpha Febella, 4 September 2013) . Lebih lanjut lihat CL 3 pada lampiran halaman 211. Kekayaan saudagar batik Laweyan hasil dari usaha batik yang berkembang menyebabkan pola dan gaya hidup Indis di adaptasi oleh saudagar batik, khususnya dalam membangun rumah. Rumah Indis di Laweyan, pada perkembangan arsitek terdapat beberapa bentuk rumah dari berbagai bentuk seperti didominasi unsur garis lurus, unsur garis lengkung, perpaduan antara keduanya, ada juga ukiran sebagai yang menjadi unsur dominan dan mewakili periode arsitektur indis di Laweyan. Bangunan rumah yang dijadikan obyek penelitian ini adalalah rumah Djimatan, ruma h Poesposumartan, rumah H.Mawardi dan rumah Tjokrosumarto. Keempatnya merupakan bukti dari kesuksesan saudagar batik Laweyan. Berikut dideskripsikan riwayat singkat dari keempat rumah tersebut. Rumah Djimatan atau lebih dikenal dengan nama dalem Djimatan terletak di Jalan Tiga Negeri, wilayah kampung Sentono RT 03/RW 03, Kelurahan Laweyan. Letaknya disebelah utara sungai Kabanaran atau sungai Jenes sekarang. dalem Djimatan dibangun pada tahun 1938. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 125 Riwayat dibangunnya rumah Djimatan diawali dengan bangunan Jawa dengan atap Joglo yang terdiri dari 32 saka pengiring dengan gaya rumah pangeran. Rumah ini awalnya adalah sebuah rumah dinas dari Kyai Ageng Henis sebagai pemimpin tanah perdikan Laweyan. Sebelum menjadi rumah dinas dari Kiyai Ageng Henis yang merupakan penguasa tanah perdikan Laweyan, rumah ini awalnya adalah sebuah candi pemujaan, hal tersebut dapat di buktikan dari bukti arkeologis. Bukti pertama adalah keberadaan arca yang terletak di depan regol atau gerbang masuk dari Rumah Djimatan, arca tersebut merupakan alat untuk melakukan pembersihan kaki sebelum memasuki candi melakukan pemujaan terhadap Tuhan pada waktu itu. Bukti kedua adalah dari struktur tanah dimana semakin ke uatara tingkat ketinggian atau kelandaian tanah semakin tinggi yang menggambarkan seperrti candi. Dalem Djimatan, ditempati oleh Kyai Ageng Henis sampai akhir hayatnya. Setelah Kyai Ageng Henis meninggal dan dimakamkan di pasareyan Laweyan yang berada di sisi Masjid Laweyan sekarang, rumah tersebut digunakan sebagai rumah dinas bagi pengurus makam keluarga keraton yang dimakamkan di pasarean Laweyan. Abdi dalem keraton yang bertugas sebagai juru kunci pasaren Laweyan yakni Mas Bei Djimat Kartohastono adalah orang yang terakhir bertempat tinggal atau menempati rumah Djimatan tersebut dan setelah Mas Bei Djimat Kartohastono wafat para penjaga yang menempatinya. Berawal dari nama Mas Bei Djimat Kartohastono itu orang-orang di sekitar menyebut rumah ini dengan sebutan Dalem Djimatan . Sekitar tahun 1900an, keraton mengalami krisis keuangan dan kemudian diadakan lelang oleh pihak keraton, rumah tersebut akhirnya di lelang, pemenang dari lelang tersebut adalah ibu Karyo Wijoyo. Kesuksesan dalam mengelola industri batik menjadikan Ibu Karyo Wijoyo merenovasi banguan rumah tersebut dengan bentuk bangunan loji dengan ukuran sama persis dengan ukuran rumah sebelumnya. Setelah di miliki oleh Ibu Karyo Wijoyo, kemudaian rumah tersebut diwariskan kepada keempat anaknya, yaitu Wirosukarto, Wiryo Wijoyo, Priyomarsono, dan Wongsodinomo. Hak waris terakhir jatuh kepada tangan bapak commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 126 Priyomarsono (Wawancara Ibu Nanik Widayati, 21 Mei 2013) . Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran 200. Rumah kedua adalah rumah milik bapak Poesposoemarto, riwayat kesuksesan saudagar batik Poesposumartan berawal dari rumah Poesposumarto yang berlokasi di Jalan Tiga Negeri yang awalnya digunakan sebagai pabrik pembuatan batik. Rumah awal Poesposumarto sejak 2008 sebagian ruangnya berfungsi sebagai Museum Samanhoedi yang sekarang sudah tidak difungsikan lagi dan kondisinya suadah lapuk dimakan jaman. Poesposumarto mengawali usaha batik dari rumah tersebut, setelah mengalami kemajuan yang pesat dalama industri batik pada abad ke XX, akhirnya pada tahun 1938 Poesposumarto mampu membangun rumah loji untuk 3 anaknya. Dalem Poesposumartan berlokasi sangat strategis di Jalan Dr. Radjiman no. 501, dahulu bernama Jalan Laweyan dan merupakan jalur utama dari taransporatsi darat yang digunakan masyarakat. Kesuksesan Poesposumarto dala m mengelola industri batik menjadikan masyarakat Laweyan lebih mengenal rumah ini dengan nama Dalem Poesposumartan. Rumah pertama tetap berfungsi sebagai pabrik dan rumah kedua hanya sebagian kecil berfungsi sebagai pabrik, karena lebih berfungsi sebaga i kantor. Rumah Poesposumartan sejak awal rumah dibangun dengan bangunan gaya Indis, dengan karakter denah Art Deco simetri, atap miring, menjulang tinggi dan konstruksi bangunan sepenuhnya di topang oleh dinding (bearing wall), list batu kali pada bagian luar serta pola ruang yang menggunakan pola ruang dalam arsitektur Jawa. Banguna n rumah ini pada tahun 2002 telah berpindah tangan karena dijual oleh keluarga kepada Ibu Krisnina Maharani Tandjung, putri dari bapak Akbar Tandjung dan merubahnya menjadi sebuah Hotel yang menerapkan sebuah gaya tempo dulu, hotel ini bernama Roemah Koe (Wawancara Ibu Andrini, 29 Juni 2013). Lebih lanjut lihat Catatan Lapangan 5 pada lampiran halaman 218 (Selanjutnya, dalam kalimat disingkat menjadi CL 5). Rumah H. Mawardi berlokasi di kampung Sayangan Kulon, rumah ini merupakan rumah dengan arsitektur Indis dengan struktur dominan banguan terbuat dari kayu, dari angka yang terdapat pada banguan rumah tersebut, commit to user di perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 127 ketahui bahwa rumah ini dibangun pada tahun 1858, dengan struktur bangunan dan atap menerapkan struktur rumah limasan. Pola ruang pada rumah ini terdiri dari pendapha dan pringgitan jadi satu, kemudaian gandhok dan area dalem. Pemilik bangunan ini masih kerabat dengan pemilik rumah Djimatan. Rumah ini dihuni oleh kaka dari ibu Naniek bersama anaknya. Rumah ini menerapkan ukiran-ukiran pada lisplank dan terdapat banyak ventilasi udara. Rumah ini merupakan sebuah rumah pada periode elektitas yang berkembang pada periode 1920an dan mewakili periode arsitektur indis di Laweyan. Rumah Tjokrosumartan atau lebih dikenal dengan nama dalem Tjokrosumartan, terletak di Jalan Sidoluhur No. 18 Laweyan. Rumah ini memiliki struktur banguan dengan motif lengkung dan bergaya neoklasik . Rumah ini dibangun sekitar tahun 1928, dengan luas bangunan sekitar 1800 m² dan luas tanah 3000 m². Arah hadap bangunan ke arah selatan, sayang sekali tanpa alasan yang jelas peneliti tidak diperbolehkan oleh pemilik yang menempati rumah ini untuk meneliti struktur banguan ini lebih detail. Rumah bercorak Indis milik saudagar batik Laweyan, sebagian besar rumah induk memiliki program ruang seperti rumah tradisional Jawa. Program ruang tersebut diawali dengan ruang yang menyerupai pendapa, paringgitan, dale m, gandhok . Meskipun beberapa rumah tidak ada pringg itan, jadi hanya pendapa dan dalem. Bagian depan pendapa terdapat teras yang berfungsi sebagai adaptasi emper depan. Rumah saudagar batik Laweyan, seperti kebanyakan rumah tradisional Jawa pada umumnya memiliki perbedaan tinggi level lantai menunjukan pembagian ruang yang bersifat umum dan yang bersifat privasi seperti rumah tradisional Jawa lainnya. Arah hadap rumah saudagar batik di Laweyan, secara umum menghadap ke arah utara dan selatan. Arah hadap tersebut tidak memiliki makna filosofis seperti rumah bangsawan, tetapi lebih kepada akses keluar masuk dan sisitem sirkulasi udara yang masuk dan keluar rumah. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 128 Ruang dalam arsitektur tradisional Jawa selain dikelompokkan berdasarkan fungsinya, juga atas hirarkinya, Widayati (mengutip simpulan Tjahjono, l989) menyatakan bahwa, ruang yang bersifat umum dibedakan dengan ruang yang bersifat pribadi atau privat, antara yang sakral dan yang profan dan sebagainya. Sistem klasifikasi dua kategori juga menyangkut pada dua kategori kanan dan kiri. Kanan biasanya dikait kan dengan hal-hal yang bersih, sopan, halus dan beradab, sedangkan kiri biasanya dikaitkan dengan hal-hal yang kotor, tidak sopan dan kurang beradab (2002 : 32). dalem Pendapha Senthong Gambar 4.14. Pola Perbedaan Tinggi Lantai Rumah pada Banguan Indis di Laweyan (Sumber: Widayati, 2002: 32) Area dalem dipertahankan di dalam bangunan rumah loji karena merupakan simbol bagi masyarakat Laweyan yang tidak mau kehilangan identitas sebagai manusia Jawa. Rumah loji dengan pengaruh arsitektur Belanda, berpadu dengan program ruang interior rumah Jawa mencerminkan kemampuan masyarakat saudagar batik dalam beradaptasi sekaligus bertahan dalam situasi dan kondisi politik serta kebijakan Belanda atas etnisitas masyarakat di Surakarta. Beberapa rumah yang dijadikan objek penelitian memiliki bentuk yang, material interior dan luas bangunan yang berbeda. Berikut dijelaskan visual struktur dan material interior pada masing-masing rumah yang menjadi objek dalam penelitian ini. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 129 a) Visual Struktur dan Material Interior pad a Dalem Djimatan Bangunan rumah Djimatan atau lebih dikenal dengan nama dalem Djimatan berdiri diatas tanah dengan luas sekitar 800 m² yang terbagi beberapa ruang, dengan arah hadap bangunan ke arah selatan, menghadap tepat ke arah sungai Jenes atau sungai Kabanaran. Bangunan dalem Djimatan merupakan banguan kolonial Belanda dibangun pada sekitar tahun 1938 pada periode elektitas atau periode campuran antara arsitektur Kolonial Belanda dan Jawa. Dalem Djimatan merupakan suatu banguan yang berarsitektur Indis, campuran antara arsitektur modern simple dan arsitektur Jawa. Unsur arsitektur Indis atau Belanda pada banguan ini terlihat dari sususnan material yang dipakai, dimana dari keseluruhan fasade bangunan, menggunakan material batu bata atau tembok (loji) dengan finishing cat dinding. Ciri lainnya adalah rumah ini didominasi unsur garis lurus atau horizontal, seperti rumah pejabat kolonial Belanda kebanyakan dengan ukuran banguan dan halaman cukup luas. Gambar 4.15. Bentuk Visual Dalem Djimata n, Tampak Depan, dengan Struktur Bearing Wall dan Menggunakan Arsitektur Eropa Jawa (Sumber : Dokumentasi Pribadi 20 Mei 2013) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 130 Struktur bangunan dalem Djimatan berjenis bearing wall, dengan struktur dua buah tiang beton yang menyangga keseluruhan bangunan. Struktur yang dipakai untuk fondasi rumah berupa batu kali setinggi sekitar 50 cm dari tanah. Luas rumah ini disesuaikan dengan rumah sebelumnya yaitu bangunan rumah Jawa dengan atap Joglo yang terdiri dari 32 saka pengiring dengan gaya rumah pangeran. Unsur arsitektur Jawa pada rumah ini terlihat dari adanya pola ruang yang hampir sama dengan pola ruang yang ada pada rumah Jawa pada ummnya. Pola ruang yang digunakan dalam rumah ini masih menerapkan pola ruang pada rumah Jawa kebanyakan, yang terdiri dari regol atau pintu gerbang, pringgitan, gandhok tengen, gandhok kiwa, dan dalem. Di area dalem terdapat ruang petanen atau krobogan yang terdiri dari tiga buah senthong yaitu senthong kiwa, senthong tengen dan senthong tengah dan ditopang dengan dua buah saka guru yang terbuat dari besi berukir lunglungan ., untuk banguan pabrik ditempatkan di bagian belakang rumah berdekatan dengan dapur atau pawon disertai dengan pintu kecil yang disebut butulan. Rumah ini tidak memiliki pendhapa . Area pendapha dan pringgitan dijadikan satu. Area halaman rumah Djimatan memilki area yang cukup luas, karena sebelum berdirinya rumah ini, rumah djimatan adalah bekas candi. Sebelum menjadi rumah dinas dari Kiyai Ageng Henis yang merupakan penguasa tanah perdikan Laweyan dan rumah yang sekarang, rumah ini awalnya adalah sebuah candi Hindu tempat pemujaan, hal tersebut dapat di buktikan dari bukti-bukti arkeologis yang terdapat di rumah tersebut. Bukti pertama bahwa rumah tersebut adalah bekas candi pemujaan adalah keberadaan arca yang terletak di depan regol atau gerbang masuk dari Rumah Djimatan, arca tersebut merupakan alat untuk melakukan pembersihan kaki sebelum memasuki candi melakukan pemujaan terhadap Tuhan pada waktu itu. Bukti kedua adalah dari struktur tanah dimana semakin ke utara , tingkat ketinggian atau kelandaian tanah semakin tinggi yang menggambarkan seperti candi (wawancara Ibu Naniek Widayati 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 131 Berdasarkan observasi yang dilakukan di lapangan menemukan, ukuran rumah adalah sebagai berikut. dalem Djimatan seperti kebanyakan rumah sauda gar batik di Laweyan, dibatasi dengan tembok-tembok tinggi (beteng) sekitar 3 m yang mengelilingi rumah, ukuran tinggi regol sekitar 2,30 m dengan arah hadap regol mengha dap ke barat. Di samping sebelah kiri dan kanan regol terdapat dua buah arca. Rumah Djimatan memilki ukuran panjang 7,64 m, lebar 4,60 m dan tinggi flafond sekitar 4,50 m. Area pringgitan memilki ukuran yang sama dengan ukuran rumah. Area dalem atau rumah induk pertama memiliki level lantai yang sama dengan pringgitan , berukuran panjang 7,64 dan lebar 1,55m. Saudagar batik Laweyan secara umum dalam membangun rumah bebas menentukan pola ruang yang diinginkan tidak terikat pakem aturan dalam membangun rumah tradisional Jawa. Misalkan pembanguan gandhok saudagar batik Laweyan bebas menentukan gandhok sesuai keinginanya bisa berjumlah satu ataupun dua buah gandhok. Pada rumah Djiamatan memiliki satu buah gandhok yang terdapat di kiri banguan rumah utama, gandhok ini bisa juga disebut paviliyon dan digunakan sebagai ruang tidur tamu. Area dalem bagi masyarakat Jawa merupakan area privasi dimana area tersebut digunakan oleh anggota keluarga untuk berkumpul, pada rumah tradisional Jawa biasanya area dalem memilki empat buah tiang saka, tetapi pada rumah Djimatan tiang saka yang berada di area dalem hanya berjumlah dua tiang yang memiliki tinggi sekitar 3,50 m. Tiang saka ini terbuat dari besi bukan dari kayu seperti rumah bangsawan Jawa kebanyakan. Hal ini hanya se batas adaptasi yang dilakukkan oleh saudagar batik Laweyan dalam menjaga etika saudagar sebagai orang Jawa yang mewajibkan adanya saka di area dalem. (wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200. Rumah Djimatan sebagai rumah milik saudagar Jawa, memilki pola ruang yang hampir sama denagan pola ruang rumah bangsawan Jawa, dimana dalam pengaturan ada pemisahan ruang yang bersifat umum dan pribadi dengan membedakan level lantai. Untuk area dalem dimana ruang ini merupakan induk commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 132 rumah yang bersifat privasi, maka jelas berbeda ketungguan level lantai. Area kedua dalem (Krobogan) yang memiliki perbedaan level lantai setinggi 20 cm dibanding area pertama. Kedua area dalem ini memiliki ukuran panjang 7,64 m dan lebar 4,05 m dan tinggi plafond 4,53 m. Ruang Dalem pada rumah ini terdapat krobongan atau petanen yang menjadi bagian dari senthong tengah. Kanan-kiri senthong tengah terdapat senthong tengen dan senthong kiwa. Atap yang digunakan berbentuk atap limasan dan atap pelana, dengan proposrsi kemirngan tinggi atap sekitar 70° dan ketinggian plafont sekitar 4 m dari tanah. Rumah Djimatan merupakan tipe bangunan Indis yang termasuk kedalam periode campuran, dimana unsur Eropa dan Jawa dipadukan dalam proses pembuatan rumah ini. Ciri Belanda telihat dari unsur bangunan yang kebanyakan menggunakan unsut garis horizontal dan tipe banguan yang tinggi seperti bangunan kolonial, sedangkan ciri Jawa dilihat dari pola ruang yang tersusun . Lantai yang digunakan pada rumah Djimatan adalah tegel teraso dengan warna dan ukuran berbeda pada setiap ruang. Ukuran tinggi menggunakan dimensi meter, sedangkan ukuran panjang dan lebar menggunakan hasta dan depa dari kepala keluarga penghuni rumah. Perbedaan dimensi tersebut karena ukur an tinggi mendapat pengaruh proporsi bangunan Eropa dan struktur bearing wall. Dimensi panjang lebar ruang merupakan implementasi pemahaman masyarakat Jawa dalam menjaga keseimbangan kosmos dalam hidup. Akses bukaan pada rumah Djimatan terlihat hampir sekitar 50% dari keseluruhan fasade bangunan, ini terlihat dari banyaknya pintu dan jendela yang terdapat pada rumah, ini merupakan pola dari kebanyakan rumah Indis yang berada di Jawa, dimana pola ini dimaksudkan untuk beradaptasi dengan lingkungan alam tropis Jawa dan menambah kesejukan rumah (wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200. Akses bukaan pada rumah Djimatan ditunjukkan dengan adanya beberapa pintu dan jendela . Pintu dan jendela menggunakan double daun pintu dan kaca atau bentuk kupu tarung dengan pola geometris dan jalusi dalam arsitektur Jawa commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 133 disebut dengan jendela krapyak, dimana bagian atas terpisah dengan bagian bawah. Pintu terletak di depan rumah area pringgitan sebanyak tiga buah pintu, samping kanan dan kiri serta tengah. Area dalem memilki akses bukaan dengan dua buah pintu di sebelah samping, satu pintu di sebelah kanan untuk akses ke ruang paviliyon atau gandhok dan di sebelah kiri untuk akses ke ruang tidur. Jendela sebagai ventilasi udara terletak disamping kanan dan kiri rumah serta diatas pintu. Gambar 4.16. Akses Bukaan Berupa Pintu dan Jendela dan Ventilasi pada Rumah Djimatan (Sumber : Dokumentasi Pribadi, 20 Mei 2013) Kesuksesan dari saudagar batik ditunjukkan denga n kepemilkian harta kekayaan, salah satunya ditunjukan dengan membangun rumah loji dengan ornamen-ornamen mewah yang menghiasinya baik ornamen yang menempel pada banguan rumah ataupun ornamen pelengkap ruang. Rumah Djimatan sebagai salah satu rumah milik saudagar batik yang sukses memilki ornamen-ornamen atau ragam hias yang menghiasinya. Ragam hias tersebut ada yang menempel dengan banguan dan ada yang terlepas dalam arti hanya sebagai penghias dan penunjuk kemewahan rumah saudagar batik commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 134 (Wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2103). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200. Rumah Djimatan, sebagai rumah yang dimiliki oleh saudagar batik memilki ornamen-ornamen yang di tempatkan kontruksional ataupun tidak kontruksional. Hiasan konstruksional terdapat pada pintu dan hiasan kaca pada jendela dan gebyok (tirai pemisah anatara area dalem dengan area petanen ) yang memiliki warna yang mencolok dan indah. Pada tiang rumah, terdapat haisan berupa ukiran-ukiran tumbuhan yang distilisasi. Hiasan yang tidak konstruksional digunakan sebagai penghias dan pelengkap ruangan. Hiasan ini juga terdapat pada pelengkap ruang rumah bangsawan, akan tetapi ada perbedaan terutama dari material bahan yang dipakai. Ornamen atau hiasan yang digunakan pada rumah Djiamtan merupakan ornamen Jawa dan Eropa (Eropa). Ornamen Eropa di tempatkan pada struktur bangunan berupa hiasan kaca geometri pada jendela dan pintu dan lain sebagiannya. Ornamen Jawa di tempatkan pada area dalem sebagai pelengkap ruang dan menunjukkan kesan orang kaya dan tetap orang Jawa walaupun rumah yang digunakan sudah berstruktur loji. Berikut dijelaskan beberapa ornamen yang menghias dan melengkapi rumah Djimatan. (1) Ornamen pada Pintu dan Jendela Arsitektur Indis selain ditandai oleh besarnya bangunan rumah, juga ditandai dengan banyaknya akses bukaan pada rumah sebagai adaptasi dengan iklim lingkungan Jawa yang beriklim tropis. Daun pintu pada rumah Jawa memiliki dua tipe. Yang pertama yaitu pintu dengan dua buah daun pintu, orang menyebutnya Kupu Tarung . Pintu kupu tarung ini memiliki sirkulasi yang baik, tapi memiliki kekurangan dari segi kekuatan konstruksi. Yang kedua adalah pintu dengan satu daun pintu, dinamakan dengan pintu Inep -Siji. Pintu jenis ini lebih kokoh, aman, praktis dan tentu saja ekonomis (Ismunandar, 2007). Pintu dan jendela pada rumah Djimatan menggunakan pintu dengan jenis Kupu Tarung, yang terdapat hampir diseluruh bagian bangunan. Hal ini commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 135 menunjukkan rumah tersebut dibangun sesuai dengan kondisi udara wilayah tropis. Ornamen yang terdapat pada pintu dan jendela termasuk hiasan konstruksional. Ornamen pada pintu dan jendela pada rumah Djiamatan yang ada hanya kombinasi kayu bentuk kupu tarung dengan berbentuk geometris dan pola jalusi atau istilah Jawa untuk jendela jenis ini adalah jendela kepryak. Pola jalusi dan bentuk jendela kupu tarung menjadikan rumah menjadi sejuk, karena memiliki akses ventilasi udara yang cukup. Pada bovenlicht atau bukaan pada pintu dan jendela terdapat hiasan lainnya berupa penggunaan teralis batangan besi dipadukan dengan kaca berbentuk geometri kotak-kotak dibagian luar dengan warna kaca putih dipadukan dengan jalusi besi berwarna putih. Gambar. 4.17. Bentuk Jendela dan Pintu dengan Ornamen Berupa Kombinasi Kayu Geometris dengan Pola Jalusi dan bovenlicht dengan Kaca yang dibentuk geometris dipadukan dengan teralis besi dibagian dalam. (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 20 Mei 201). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 136 (2) Ornamen pada Kaca Pintu dan Jendela Ornamen pada kaca yang terdapat pada daun pintu ataupun jendela hanya berupa kaca dengan warna hijau dan kuning atau orange, hiasan kaca dengan warna ini tidak lebih hanya untuk penyesuaian pencahayaan alami dari cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah. Ornamen hiasan kaca ini dikombinasikan dengan kayu berbentuk geometris lurus. Ornamen penghias pada kaca dan terdapat pada area dalem dan ditempatkan di gebyok yang menjadi pembatas senthong berupa panel- panel kaca serta pada panel-panel kaca jendela. Ornamen kaca pada rumah Djimatan hanya sebatas hiasan untuk mempercantik area dalem. Gambar 4.18. Hiasan Kaca Berwarna yang diletakan di panel-panel di area Dalem Rumah Djimatan. (Sumber Dokumentasi Pribadi, 20 Mei 2013) (3) Ornamen pada Tiang Penyangga atau Saka Rumah Djimatan merupakan banguan loji berarsitektur Indis, teta pi rumah ini memilki tiang penyangga atau saka. Secara struktur banguan rumah loji dengan struktur bearing wall, walaupun tidak memiliki tiang (saka) di area dalem tidak akan membuat bangunan menjadi roboh, tetapi hal ini dipakai oleh saudagar batik Laweya n sebagai simbol bahwa saudagar Laweyan, masih termasuk orang Jawa walaupun bentuk rumah yang dimiliki berarsitektur Indis. Dengan kata lain saudagar batik Laweyan tidak menginginkan kehilangan identitas sebagai manusia Jawa dan penunjukkan kekayaan yang dimilki oleh saudagar batik Laweyan. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 137 Penerapan simbol Jawa tersebut di aplikasikan dengan memasang tiang pada area dalem, pemasangan tiang saka ini hanya berjumlah dua buah tiang yang terbuat dari besi dan bukan dari kayu sebagaimana digunakan pada rumah-rumah bangsawan Jawa. Gambar 4.19. Ornamen Berupa Lung-lungan pada Tiang Besi di Rumah Djimatan, Laweyan. (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 20 Mei 2013) Tiang saka tersebut memilki tinggi sekitar 4,5 m, yang konon katanya di impor langsung dari Belanda. Ornamen yang terdapat pada tiang ini ditunjukan dengan ukiran berupa tumbuhan sulur-suluran atau lung-lungan pada keseluruhan tubuh tiang, menggunakan cat dengan warna krem pada tubuh tiang dan hijau pada stialasi ornamen lunglungan, menambah keindahan dan kesakralan ruang. Konon tiang saka ini langsung dipesan dan di impor dari Belanda. (4) Ornamen Pelengkap Ruang Ornamen pelengkap ruang yaitu ornamen yang bersifat tidak konstruksional atau terlepas dari konstruksi banguan. Pada Rumah Djimatan, ornamen pelengkap commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 138 terdapat di area dalem. Di dalam area tersebut terdapat ruang petanen yang terbagi kedalam tiga ruang senthong yang berisi tumpukan bantal dan guling motif cindai berwarna merah dengan tutup bagian ujung terbuat dari lempeng berwarna emas dan dibatasi oleh kaca berwarna putih bening, dua buah cermin yang diletakan di sebelah kanan dan kiri senthong dan bokor hasil bumi, kendi, tanpa patung loro blonyo. Bagian sudut ruangan dalem terdapat sebuah lemari yang berisi berbagai benda koleksi dari pemilik rumah. Selain itu, pada langit langit terdapat hiasan lampu gantung yang didatangkan langsung dari negeri Belanda. Kendi dan bokor hasil bumi terbuat dari material kuningan, bukan dari tanah liat yang dapat menunjukkan perbedaan dengan bangsawan keraton. . Gambar 4. 20. Benda Koleksi Priyosumarsono yang berada di Rumah Djimatan (Sumber : Dokumentasi Pribadi, 20 Mei 2013) Ornamen pelengkap digunakan sebagai penghias dan penunjujkkan kekayaan, semakin banyak ornamen penghias di area dalem dan pada struktur rumah, menunjukan bahwa pemilik rumah tersebut merupakan orang kaya (wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran 200. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 139 b) Visual Struktur dan Material Interior Dalem Poesposumartan Poeposumarto adalah salah satu saudagar batik yang cukup terkenal di Laweyan, kesuksesan dari berdagang batik membuat Poesposumarto bisa membangun rumah loji berarsitektur Indis yang digunakan untuk tempat tinggal beliau bersama istri dan ketiga anak Poesposumarto. Rumah Poesposumarto atau lebih dikenal dengan Dalem Poesposoemartan berlokasi tepat di Jalan utama Laweyan yaitu jalan Dr. Radjiman, nomor 501, kelurahan Laweyan, Surakarta. Rumah Poesposumartan dibangun pada sekitar tahun 1921, dibangun diatas lahan seluas 1950 m², dikelilingi oleh pagar tembok setinggi kurang lebih 3 m. Rumah ini sekarang telah berpindah tangan dari keluarga Poesposumarto kepada Ibu Krisnina Maharani Tandjung, putri dari Akbar Tandjung yang membeli rumah tersebut pada tahun 2002 dan menjadikannya sebagai hotel dan restoran dan hotel bernama Roemahkoe dengan konsep Heritage Hotel. Wujud fisik bangunan rumah ini semenjak berdiri sampai sekarang dijadikan sebuah hotel dan restoran tidak memiliki perubahan sama sekali, kecuali penambahan kamar dan perubahan fungsi ruang yang diprioritaskan untuk pengunjung atau tamu hotel sekarang. Fasade rumah ini memiliki bentuk bangunan perpaduan arsitektur Jawa dan arsitektur art deco simetri, atap miring menjulang tinggi. Struktur bangunan bearing wall dengan konstruksi bangunan sepenuhnya di topang dinding, dua buah tiang beton yang menyangga bangunan, dan list batu kali pada bagian luar sebagai fondasi rumah setinggi kurang lebih 55 cm serta kayu jati pada sepertiga bangunan. Atap yang digunakan pada banguan ini menggunakan atap pelana dan limasan. Arah hadap rumah ini mengahadap ke arah selatan tepat menghadap jalan utama Laweyan. Halaman rumah yang dimiliki cukup luas seperti kebanyakan rumah saudagar batik lainnya. (Wawancara Ibu Andrini dan Observasi, 22 Mei 2013) Lebih lanjut lihat CL 5 pada lampiran halaman 218. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 140 Gambar 4.21. Bentuk Visual Dalem Poesposumartan (tampak samping), Struktur Bearing Wall dan Menggunakan Langgam Art Deco Campuran Jawa menjadi Ciri Khas Rumah Ini (Dokumentasi Pribadi, 22 Mei 2013). Bangunan rumah ini merupakan bangunan Indis berlanggam atau bergaya art deco . Art deco adalah seni arsitektur yang mulai mengalami kejayaan sekitar tahun 1920an dan dipadukan dengan arsitektur Jawa menghasilkan bangunan milik saudagar batik yang te rkesan megah dan mewah. Unsur art deco pada Dalem Poesposumartan terlihat dari hiasan atau ornamen kaca patri yang terdapat pada kaca jendela. Konsep Jawa pada Dalem Poesposumartan terbentuk dengan pola ruang seperti pola ruang pada rumah tradisional Jawa lainnya, yang terdiri dari regol, pringgithan, gandhok yang terdiri dari gandhok kiri dan gnadhok kanan, dalem yang terdapat ruangan krobogan atau petanen dimana di ruangan tersebut terdapat sentong kiwa, senthong tengah dan senthong tengen, dapur atau pawon, serta banguan pabrik dan sebuah pintu kecil atau butulan yang menghubungkan bagian rumah belakanng dengan akses jalan kampung, sehingga jika divisualisasikan denah rumah ini akan membentuk huruf U. Ukuran pada saat membangun rumah ini masih menggunakan ukuran atau konsep ukuran rumah Jawa, untuk ukuran tinggi menggunakan dimensi meter, sedangkan ukuran panjang dan lebar menggunakan hasta dan depa dari kepala keluarga pemilik rumah yaitu Poesposumarto. Sedangkan kosep art deco bisa dilihat dari pemasangan berbagai ornamen yang menghiasi rumah terutama pada commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 141 panel-panel kaca dan pintu kayu, diaman terdapat hiasan kaca patri dengan warna yang indah membentuk beberapa benda (Wawancara Ibu Andrini, 22 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 5 pada lampiran halama n 218. Art Deco adalah seni populer, gerakan desain internasional dari 1925 sampai 1940, yang mempengaruhi seni dekoratif seperti arsitektur, desain interior, dan desain industri, serta seni visual seperti fashion, lukisan, seni grafis, dan film. Awalnya gaya ini dipakai untuk menghias tempat peribadatan atau gereja. Pada saat itu, gaya ini dianggap sebagai elegan, glamor, fungsional, dan modern. Penggunaan pada arsitektur di tunjukkan dengan pemasangan ornament dengan mengedepankan budaya lokal (Handinoto,dkk, 2012) Area rumah terbentuk dari dua area dalem dengan ketinggian level lantai yang berbeda dari setiap area. Pola ketinggian lantai ini sama denagn pola ketinggian lantai pada rumah Jawa kebanyakan dimana ada perbedaaan level lantai antara bangunan yang besifat pribadi dan umum. Area pertama terletak di dalem dengan ketinggian level lantainya sama dengan area pringgitan . Area ini terletak pada bagian depan dari dalem, dengan ukuran panjang 9,30 m lebar 1,80 m tinggi plafond 4,25 m. Area dalem yang kedua, dengan perbedaan tinggi level lantai 20 cm lebih tinggi dibandingkan dengan area lainnya. Area dalem tersebut memiliki ukuran panjang 9,34 m dan lebar 3,98 m dan tinggi 4,04 m. Ukuran pringgitan panjang 9, 34 m dan lebar 3,40. Area pringgitan pada bagian menuju area dalem dikelilingi oleh panel-panel kayu yang terbuat dari kayu jati dengan plistur coklat. Untuk area gandhok terdapat di samping rumah utama, dahulu gandhok ini diperuntukan untuk menginap tamu atau saudara dari Poesposumarto dan sekarang digunakan sebagai kamar hotel. Area Dalem pada rumah ini terdapat krobongan atau petanen yang menjadi bagian dari senthong tengah yang dibatasi dengan gebyok . Kanan-kiri senthong tengah adalah senthong tengen dan senthong kiwa. Dalam area petanen ini ditempatkan sepasang patung loro blonyo. Di area dalem terdapat dua buah tiang (saka) yang terbuat dari besi dengan tinggi sekitar 3 m berornamen sulur-suluran commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 142 yang distilisasi. Lantai menggunakan tegel teraso dengan warna dasar merah dan hijau yang memilki ukuran tegel yang berbeda antar ruang. Bangunan rumah ini memilki akses bukaan yang cukup meneyesuaikan dengan iklim tropis Jawa seperti kebanyakan bangunan Indis yang ada di Jawa. Pintu dan jendela menggunakan double daun pintu atau bentuk kupu tarung dengan pola geometris dan jalusi, dimana bagian atas terpisah dengan bagian bawah. Daun pintu dan jendela terbuat dari kayu jati dikombinasikan dengan kaca atau glass in lood yang menghias hampir seluruh sudut ruangan, sehingga kesan bangunan bergaya art deco semakin nampak. Pintu terletak di depan rumah sebanyak tiga buah pintu, samping kanan dan kiri serta tengah. Area dalem memilki akses bukaan dengan dua buah pintu di sebelah samping, satu pintu di sebelah kanan untuk akses ke ruang paviliyon atau gandhok dan di sebelah kiri untuk akses ke ruang tidur. Jendela terletak di samping kanan dan kiri rumah serta di atas pintu, serta terdapat butulan yang menghubungkan antara pintu rumah belakang dengan pabrik serta jalan kampung. Gambar 4.22. Akses Bukaan Berupa Jendela dan Pintu dengan Kombinasi Kayu Dan Kaca Glass In Lood pada Dalem Poesposumartan (Dokumentasi Pribadi, 22 Mei 2013) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 143 Dalem Poesposumartan seperti pada rumah saudagar batik lainnya di Laweyan, memiliki bentuk bangunan yang megah dan indah karena terdapat berbagai ornamen rumah yang menghiasi rumah. Ornamen di tempatkan pada struktur banguan atau ditempatkan pada ruang sebagai pelengkap keindahan dan penunjukkan kekayaan pemilik rumah. Ornamen yang terdapat pada rumah Indis milik Poesposumarto terkesan lebih mewah dan indah dibandingkan dengan rumah Djimatan. Kesan mewah terlihat dari hiasan yang menempel pada panel-panel kaca warna yang dikombinasikan dengan pola geometris kayu memberikan kesan indah. Dalem Poesposumartan merupakan salah satu saksi bisu kejayayaan art deco di Eropa yang merambah ke Indonesia, keuntungan yang besar dalam berdagang batik menyebabkan Poesposumarto dapat mebangun rumah loji dengan arsitektur Indis bercorak Art deco dengan berbagai ornament kelengkapan yang begitu mewah dan indah dan kebanyakan adalah impor dari negeri Belanda (Wawancara Ibu Andrini, 22 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 5 pada lampiran halaman 218. (1) Ornamen pada Pintu dan Jendela Ornamen konstruksional yaitu ornamen yang menempel pada konstruksi banguan. Dalem Poesposumartan sebagai rumah Indis bercorak art deco dan Jawa memilki ornamen yang cukup banyak terurtama pada kaca dan jendela. Art Deco adalah gaya hias yang lahir setelah Perang Dunia I dan berakhir sebelum Perang Dunia II yang banyak diterapkan dalam berbagai bidang, misalnya eksterior, interior , mebel, patung, poster, pakaian, perhiasan dan lainlain. Pola ragam hias geometris daun pintu, jendela, dan bofenlicht dengan dominasi bidang persegi dan lengkung dengan kombinasi kayu dan kaca patri (glass in lood) merupakan bukti ornamen art deco menghiasi dalem Poesposumartan ini, sedangkan unsur Jawa terlihat dari bentuk dan bahan material penyusun jendela dan pintu berupa kayu Jati. Hiasan kaca patri ini membentuk hiasan seperti gambar tumbuhan dan gambar matahari terbit dengam kombinasi warna yang menarik. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 144 Gambar 4.23. Ornamen Glass In Lood pada Panel Kaca Jendela yang Dikombinasikan dengan Pola Geometris Kayu Jati, pada Dalem Poesposumatan (Sumber : Dokumentasi Pribadi, 22 Mei 2013) Variasi warna kaca terbentuk dari perpaduan warna kaca merah, biru, kuning, putih, dan hijau. Bidang lengkung terpusat pada bagian tengah atau sisi dalam dari daun pintu, jendela dan bofenlicht atau kaca yang terdapat pada bagian atas pintu dan jendela. Hiasan kaca patri juga terdapat pada gebyok sebagai area pembatas antar area dalem dengan petanen yang memberikan kesan mewah dan elegan serta sakral. (2) Ornamen pada Tiang Penyangga atau Saka Arsitektur Jawa secara umum memilki tiang saka yang berjumlah 4 buah yang terbuat dari kayu jati dan biasanya ditempatkan di area dalem. Poesposumarto sebagai orang Jawa mengadaptasi tiang (saka) tersebut dengan tiang yang berjumlah dua buah, walaupun rumah tersebut secara struktur tidak akan rubuh jika tidak mengguankan tiang karena sudah termasuk gaya banguan bearing wall. Hal ini dilakukkan karena Poesposumartan tidak menginginkan identitas sebagai orang Jawa hilang. Dalem Poesposumartan memilki dua buah tiang pada area dalem yang terbuat dari besi dengan dilapisi cat plistur berwarna coklat cerah. Tiang saka ini memilki tinggi sekitar 4 m, ornamen yang mengisi batang tiang adalah berupa ornamen lung-lungan berbentuk stilisasi tumbuhan. Pada umpak atau ompak tiang saka terdapat ornamen berupa bunga. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 145 Ornamen Lung-lungan juga terdapat pada list pintu kaca atau tepatnya diantara gebyok atau pembatas area dalem dan senthong. warna yang digunakan adalah coklat cerah. Tiang besi tersebut merupakan tiang yang dipesan oleh Poesposumartan langsung dari negeri Belanda. Gambar 4.24. Ornamen Lung-lungan pada Batang Tubuh Tiang dan Stilisasi Bentuk Bunga Padma pada Dalem Poesposumartan, Laweyan (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 22 Mei 2013) (3) Ornamen Kaca Patri (Glass in Lood) Dalem Poesposumatan merupakan gaya banguan rumah Indis dengan mengguankan langgam Art deco . Pengaruh Art Deco dapat terlihat pada penggunaan motif art deco dalam ornamentasi pintu, jendela dan bukaan ventilasi yang tersebar hampir diseluruh bangunan. Kaca pada dalem Poesposumartan memiliki bentuk yang indah, bentuk kaca di bentuk dari kombinasi kayu dan kaca (glass in lood) didominasi bentuk lengkung dan bentuk geometri dan juga membentuk gambar matahari, hampir commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 146 setiap sudut bangunan ini dihiasi ornamen kaca warna-warni, seperti merah, kuning, biru, dan putih yang masih utuh. Penempatan warna kaca biru sebagai border dan warna merah maroon pada bagian bawah memberi kesan tegas dan kontras. Pengguanan kaca dengan warna yang tegas dimaksudkan untuk pengaturan cahaya matahari yang masuk kedalam rumah. Gambar 4.25 Variasi Bentuk Ornamen Glass In Lood, sebagai ciri langgam art deco pada pintu, jendela dan bofenlicht pada Dalem Poesposumartan, Laweyan (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 22 Mei 2013) Kesenian kaca patri yang diterapkan pada dalem Poesposumartan menunjukan bahwa bangunan ini merupakan bangunan yang berlanggam art deco yang berkembang pada sekitar tahun 1920an dan menunjukkan kekayaan yang dimiliki saudagar batik Laweyan. (4) Ornamen Pelengkap Ruang Saudagar batik Laweyan bukan termasuk golongan bangsawan dalam stratifikasi sosial masyarakat feodal, tetapi kekayaan mereka melebihi kekayaan para bangsawan keraron. Kekayaan tersebut ditunjukkan dengan membangun rumah bergaya Indis dengan kelengkapan ornamen pengisi ruang yang sebagian commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 147 berasal dari luar negeri, hal ini dikarenakan saudagar batik telah melakukan hubungan perdagangan dengan saudagar dari luar negeri. Dalem Poesposumartan sebagai tempat tinggal dari salah satu saudagar batik kaya di Laweyan memilki kelengkapan ornamen penghias ruang yang cukup banyak dan berasal dari luar negeri tetapi ornamen pelengkap lokal tetap dipakai sebagai penanda orang Jawa. Ornamen pelengkap ruang terdapat di area dalem, diantara ornamen pelengkap tersebut adalah sebagai berikut. Area k robogan atau petanen merupakan area sakral dalam pola ruang arsitektur Jawa, dimana dalam area ini terdapat tiga buah senthong yang salah satu sentong yaitu sentong tengah berisi pusaka dan alat-alat upacara. Gambar 4.26 Beberapa Ornamen Pelengkap Ruang yang terdapat pada Dalem Poesposumartan, Laweyan (Sumber : Dokumentasi Pribadi, 22 Mei 2013) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 148 Area ini dibatasi dengan gebyok yang dihiasi oleh gordjen motif cinde dan panel-panelnya diukir dengan motif lung-lungan serta di depannya ditempatkan sepasang patung loro-blonyo , meja kaca, sepasang bokor sirih dan kembang mayang , kendi serta sepasang cermin esta bermotif flora di sebelah kiri dan kanan gebyok. Isi dari petanen adalah bantal dan guling dengan kain penutup warna putih dan tutup bagian ujungnya menggunakan lempengan logam berwarna perak. Bagian sisi dari area ini terdapat benda-benda koleksi pribadi yang berasal dari luar negeri. Pada dalem Poesposumartan juga terdapat lampu-lampu hias yang di impor langsung dari Belanda. Kelengkapan dan keindahan area petanen serta ornamen penghias rumah lainnya menunjukkan kesuksesan Poesposumartan dalam mengelola industri batik. Ornamen pelengkap lainnya adalah sebuah meja marmer dengan kaki meja kayu berupa ukiran naga, meja marmer ini didatangkan langsung dari Cina. Sedangkan pada bagian lorong rumah terdapat foto-foto perjuangan Sarekat Dagang Islam yang dipimpin oleh KH.Samanhudi serta beberapa foto keluarga Poesposumartodan juga koleksi benda antik pada area dalem c) Visual Struktur dan Material Interior Rumah H. Mawardi Rumah H. Mawardi terletak di kampung Sayangan Kulon, rumah ini merupakan rumah dari kerabat Ibu Naniek pemilik dalem Djimatan. Struktur pada bangunan rumah ini berbeda dengan bangunan dalem Djimatan dan bangunan dalem Poesposumartan yang bentuk banguannya didominasi loji. Bangunan ini memilki perpaduan unsur banguan loji dengan ukiran-ukiran kayu. Rumah ini dibangun pada sekitar tahun 1925an, rumah ini di tempati oleh istri dari Haji Mawardi Ibu Siti Mastiloh bersama cucunya. Rumah ini berdiri daiatas tanah seluas sekitar 700 m², dikelilingi pagar tembok tinggi sekitar 3 meter dengan pembagian ruang khas seperti rumah Jawa kebanyakan. Gandhok rumah terdapat disebelah kiri dan kanan rumah, pendapa dan pringgitan jadi satu, dalem yang ter diri dari ruang senthong tengah, senthomg commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 149 k iwa dan senthong tengen dan dapur dan pabrik batik yang berada di belakang rumah dan tambahan satu buah rumah di samping rumah utama serta regol. Pendopo pada rumah ini di topang oleh empat buah saka guru yang terbuat dari kayu jati dan saka pengiring bermaterialkan beton. Struktur banguan ini merupakan perpaduan antara bentuk loji dengan kayu yang di pasang di lisplank dan pendopo , dengan fondasi menggunakan beton setinggi sekitar 56 cm dilapisi dengan keramik. Fasade banguan ini meupakan ciri bangunan Indis, bentuk simetris dengan tiga buah pintu diarea pendapha, Atap yang digunakan pada banguan ini adalah atap Limasan dengan proporsi kemiringan hampir 60° dilengkapi dengan konsul dari papan kayu (wawancara Ibu Naniek, 22 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200. Gambar 4.27 Visual Struktur Bangunan Rumah Indis yang Memilki Unsur Dominan Kayu Milik H. Mawardi, Laweyan, Surakarta (Dokumentasi Pribadi, 25 Mei 2013) Rumah ini terbagi kedalam dua area, area pendopo dan area dalem yang memilki ketinggian atau level lantai yang berbeda. Area pendopo memiliki ukuran panjang sekitar 5,30 m dan lebar sekitar 3,15 meter. Area gandhok pada rumah ini commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 150 ditempatkan di sisi sebelah kanan rumah dan difungsikan sebagai tempat tidur tamu. Area dalem memiliki ukuran panjang sekitar 5,30 m dan lebar 2,10 m dengan perbedaan level lantai setinggi 20 cm. Struktur bukaan pada bangunan ini hampir 60% terbuka, dengan ventilasi yang tredapat di bawah lisplank atap, kemudaian di atas jendela yang menggunakkan ornament ukiran flora yang terlihat terbuka. Pintu di bangunan rumah ini berjumlah 3 buah pintu utama dengan double daun pintu, pintu diletakan di sebelah kiri, tengah dan samping kanan area pendapa. Jendela yang digunakan menggunakan pola geometris kayu dan jalusi. Rumah H. Mawardi sebagai rumah salah satu pengusaha batik yang sukses dijamanya, sama seperti saudagar batik lainnya yang ingin menunjukkan eksistensinya sebagai saudagar dengan bentuk rumah yang bergaya Indis dan ornamen yang menghiasi rumah tersebut. Ornamen pada rumah H. Mawardi ditempatkan pada struktur rumah dan di dalan ruang sebagai penghias ruang. Ornamen yang ada di Rumah ini sebagian be sar menepel pada struktur bangunan sementara beberpa ornamen sebagai pelengkap terdapat di dalam ruang area dalem. (1) Ornamen pada Atap Rumah H. Mawardi merupakan bangunan Indis dengan unsur material bangunan campuran, yaitu loji dan kayu. Atap bangunan merupakan jenis atap limasan dan pelana seperti kebanyakan rumah saudagar batik Laweyan. Ornamen yang ada di bagian atap berupa ornamen hiasan lubang angin berbentuk lubang angin berupa jendela bentuk jalusi dari kayu pada gavel yang terbuat dari kayu. Pada bagian ujung atap terdapat hiasan berupa gunungan atau kayon yang terbuat dari kayu. Rumah arsitektur Indis di Laweyan jarang sekali ditemukan yang menggunakan hiasan kemucuk atau hiasan pada atap ini. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 151 Gambar 4,28. Ornamen pada Atap Berupa Kayon atau Gunungan (Panah Merah) yang Terbuat dari Kayu pada Rumah Indis milik H. Mawardi di Kawasan Laweyan, Surakarta (Dokumentasi Pribadi, 25 Mei 2013) (2) Ornamen pada Jendela dan Pintu Pintu dan jendela pada rumah ini menggunakan dua daun yang terbuat da ri kayu. Bentuk ornamen pada pintu beruap hiasan geometris yang didominasi bentuk atau motif persegi dengan kombinasi kaca berwarna putih, sedangkan pada jendela hanya berupa pola geometris kayu berjalusi. Gambar 4.29 Ornamen Pintu serta bofenlicht Berupa Ukiran Bunga yang Distalisasi dan Hiasan Kaca Geometris Kotak (Dokumentasi Pribadi, 25 Mei 2013) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 152 Lubang angin terdapat dibagian atas jendela (bofenlicht) ataupun pintu, ornamen yang menghiasi lubang angin berupa ragam hias dari flora dengan motif lunglungan dan bunga seroja yang di ukir. Pada bagaian lubang angin atau ventilasi lain terdapat hiasan kaca bentuk persegi yang dikombinasikan dengan kayu (glass in lood) dengan warna yang cerah. (3) Ornamen pada Area Pringgitan Rumah ini memiliki empat buah saka pengiring yang terdapat pada area pringgitan , pada tiang di area ini tidak ada motif atau ragam hias dan tiang menggunakan umpak biasa. Menurut Ibu Naniek, pada konsol bangunan dimana konsol ini dibuat sebagai penahan atap pada area pringgitan , terbuat dari kayu dan mendapat pengaruh dari Cina. Selain itu terdapat pula papan kayu yang memanjang vertikal di sekeliling tririsan berbentuk lengkung dengan ornamen bentuk flora seperti ornamen banyu tetes yang memilki ukuran yang berbeda antara tritisan atau teras samping dan depan. Gambar 4.30. Ornamen pada Area Pringgitan berupa hiasan dari kayu berbentuk memanjang mirip seperti ornamen banyu tetes (gambar kiri) dan ornamen Lambrissering yaitu hiasan lukisan dari keramik yang di cat dengan pola tumbuhan tunas bunga terbalik (gambar kanan) (Dokumentasi Pribadi, 25 Mei 2013) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 153 Sekeliling area pringgitan terdapat pula hiasan dari keramik yang di cat dengan pola tumbuhan tunas bunga yang ditempatkan ke bawah yang disebut Lambrissering. Area dalem terdapat hiasan ukiran berupa lung -lungan yang menghiasi gebyok pembatas ruang senthong dan pada tiang saka. (4) Ornamen Pelengkap Ruang Rumah H. Mawardi sebagai rumah pengusaha batik memilki ornamen yang terkesan mewah. Ornamen ornamen pelengkap tersebut ditempatkan di area dalem yang bersifat sakral dan privasi. Ornamen yang digunakan di rumah H. Mawardi kebanyakan menggunakan ornamen Jawa karena untuk menunjukkan diri bahwa saudagar batik Laweyan masih memegang prinsip hidup orang Jawa Ornamen pelengkap ruang pada rumah ini terdapat dia area dalem berupa, dua buah cermin esta motif flora, yang ditempatkan di sisi kanan dan kiri ruang senthong, sebuah meja kaca, bokor sirih, tanpa patung loro blonyo. Gambar 4.31 Ornamen Pelengkap Ruang Berupa Sepasang Cermin dan Bokor Siih dari Kuningan serta Furniture Berupa Kursi Berukir pada Area pringgitan Rumah H.Mawardi, Laweyan (Dokumentasi Pribadi, 25 Mei 2013). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 154 Area sentong tengah sebagai area sakral, terdapat bantal dan guling sebagai pengisi ruang, dilapisi kain warna putih dan ujungnya memakai lempengan berwarna perak. Gebyok atau pembatas area petanen panel-panelnya diukir dengan motif lunglungan berwarna emas dan gordjen motif cinde dan Area lantai yang lebih tinggi dilapisi dengan permadani berwarna hijau serta kursi berukir tang terbauat dari kayu yang ditempatkan di area pringgitan. Saudagar batik di Laweyan membuat petanen dengan sangat indahnya dan dilengkapi dengan benda hiasan yang bagus-bagus. Hal ini sengaja dibuat demikian untuk menunjukkan kekayaan. 3. Fungsi dan Makna Simbolik Ornamen pada Bangunan Indis di Laweyan Arsitektur rumah tinggal adalah sebagai hasil kebudayaan, yang memadukan unsur seni dan ilmu bangunan yang harus diperhatikan aspek keindahan dan konstruksi. Hal ini sejalan dengan pendapat Soekiman yang menyatakan bahwa, “dalam arsitektur ada tiga unsur yang merupakan faktor dasar dalam arsitektur dan harus diperhatikan yaitu masalah kenyamanan (convinience), kekuatan atau kekukuhan (strength), dan keindahan (beauty)” (2000: 240). Keindahan dalam arsitektur teletak dari pemberian ornamen-ornamen yang melekat. Mengenai pengertian ornamen, Sunarmi, Guntur, & Prasetyo (2007) menyatakan “Ornamen adalah media komunikasi yang di dalamnya terkandung sejumlah pesan untuk dikomunikasikan kepada anggota pemiliknya melalui simbol-simbol yang melaluinya makna-makna budaya dalam bentuk visual” (hlm. 129). Hiasan pada bangunan rumah rumah pada dasarnya ada dua macam, yaitu hiasan yang kontruksional dan hiasan yang tidak kontruksional.Hiasan konstruksional ialah hiasan yang jadi satu dengan bangunannya. Jadi ini tidak dapat dilepas dari bangunannya. Contohnya adalah pilar-pilar pada bangunan. Sedangkan hiasan yang tidak konstruksional ialah hiasan bangunan yang dapat terlepas dari bangunannya dan tidak berpengaruh apa-apa terhadap kontruksi bangunan. Contohnya lampu gantung dan meubelair (Dakung, 1981). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 155 Ornamen yang terdapat pada rumah Indis milik saudagar batik Laweyan yang ditemukan di lapangan umumnya be rupa hiasan yang menempel pada struktur bangunan dan ornamen yang tidak menempel pada bangunan atau terlepas dari struktur bangunan dan berfungsi sebagai penghias ruang. Ornamen digunakan masyarakat saudagar batik Laweyan untuk penunjukan kekayaan, semaik in banyak ornamen rumah yang menghiasi berarti semakin kaya orang yang menempatinya (Wawancara Bapak Alpha, 4 September 2013). Lebih lanjut lihat CL 3 pada lampiran halaman 211. Rumah bergaya arsitektur Indis di Laweyan secara umum menggunakan ornamen yang konstruksional dan tidak konstruksional. Ornamen konstruksional adalah ornamen yang menempel pada struktur bangunan, sedangkan yang tidak konstruksional digunakan sebagai pelengkap dari isi ruang pada rumah berarsitektur Indis. Diantara ornamen yang ada pada rumah Indis di Laweyan, disamping menggunakan or namen yang berasal dari dalam negeri juga ornamen yang berasal dari luar negeri. Saudagar batik Laweyan sebagai manusia Jawa dalam membangun rumahnya masih tetap berpegang teguh pada nilai- nilai kebudayaan Jawa walaupun bentuk rumah mereka telah berubah menjadi bentuk loji, hal ini dapat di buktikan dengan pola tata ruang pada bangunan milik saudagar batik Laweyan, selain itu penggunana ornamen pada rumah Indis di Laweyan juga menerapkan pemberian ornamen Jawa dan ornament Eropa. Oranamen-oranamen dan material dari ornamen yang digunakan dalam menghias rumah berarsitektur Indis milik saudagar batik di Laweyan, memiliki makna tertentu dan merupakan sebuah tanda yang tersembunyi dan memiliki fungsi yang berbeda dengan fungsi ornament pada rumah Jawa milik bangsawan. Kajian seimotika dalam penelitian ini digunakan untuk mengkaji dan mendalami makna tanda yang tersembunyi dari setiap ornamen dan material ornamen yang digunakan oleh saudagar batik Laweyan dalam menghias rumah. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 156 a. Fungsi dan Makna Simbolik Ornamen Lung -lungan Istilah lunglungan berasl dari kata lung yang berarti batang tumbuhtumbuhan yang masih muda yang mempunyai bentuk melengkung, hiasan lunglungan biasanya distilirkan atau diukir langsung pada konstruksi banguna n, bentuk yang distilirkan terdiri dari bentuk tangkai, daun dan bunga. Ornamen lunglungan dipahatkan pada dua buah tiang yang terbuat dari besi bukan dari material kayu seperti rumah bangsawan. Penggunaan material besi untuk tiang sak a yang digunakan oleh saudagar batik sebagai bagian dari proses penunjukkan identitas diri sebagai kaum yang termarginalkan dari stratifikasi sosial masyarakat feodal. Material besi pada masa tersebut merupakan bahan yang mahal dan hanya orang kaya yang mampu untuk membeli dan menggunakan tiang yang terbuat dari saka. Penggunaan tiang (saka) yang berjumlah dua hanya sebagai pertanda bahwa masyarakat Laweyan masih memiliki jati diri sebagai orang Jawa, selain itu penempatan tiang yang berada di ruang dalem, yang notabenenya adalah area semi public menunjukkan bahwa saudagar batik ingin menunjukkan kekayaan yang dimilki kepada orang yang berkunjung di rumahnya. a b Gambar 4. 32 a; Bentuk Ornamen Lung-lungan b; Penempatan Lung-lungan pada pada Tiang Saka di Dalem Djimatan. (Sumber Ismunandar, 2007 :64; Dokumentasi Pribadi, 2013). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 157 Jenis pohon yang biasanya distilir untuk hiasan lung-lungan adalah teratai (padma), daun kluwih, bunga melati, dan tanaman-tanaman yang bersifat melata dan bukan hwan, karena bagi masyarakat Jawa itu tidak diperbolehkan. ukiran yang dibuat dengan cara mengubah atau menyederhanakan bentuk aslinya menjadi bentuk gambar lain yang dikehendaki. Ornamen lunglungan biasanya ditempatkanpada balok kerangka rumah seperti pada blandar, tumpang, dadapeksi, tebeng pintu dan lain-lainnya (Ismunandar, 2007). Rumah milik saudagar batik Laweyan yang bercorak Indis juga menggunakan ornamen ini sebagai hiasan dari rumah mereka, penempatan ornamen lunglungan, tersebut pada rumah saudagar biasanya pada tiang saka yang berada di area dalem, di pahat dengan posisi vertikal dan bentuknya seperti daun-daunan, biasanya di berikan warna yang cerah. Lunglungan memiliki fungsi sebagai ornaemen untuk penghias ruangan serta memberikaan kesan yang angker, wingit atau sakral. Hal ini dikarenakan ornamen lung -lungan ditempatkan pada rumah inti atau area dalem dari rumah para saudagar batik Laweyan. Ornamen lunglungan pada rumah berarsitektur Jawa pada umumnya, tidak diberi warna, karena biassanya oranamen ini dipahatkan pada kayu jati, tetapi pada rumah Indis di Laweyan, batang tiang tersebut di cat, warna cat disesuaikan dengan penyesuaian cahaya dalam ruang. Pada rumah Indis milik saudagar batik Laweyan yang diteliti, ditemukkan warna yang digunakaan menggunakan warna kremm dan coklat untuk batang tiang dan hijau untuk stiliran lunglungan. Warna hijau dan coklat memberikan kesan kenyamanan. Ornamen lunglungan, pada rumah indis di Laweyan ini memiliki makna yang sama dengan makna pada rumah Jawa pada umumnya, ya itu sebagai perlambang kesuburan sebagai sumber penghidupan di muka bumi dan menunjukan simbolisme tanaman sorgawai. Masyarakat saudagar batik Laweyan yang memiliki watak berdagang, selain mengaanggap ornamen ini sebagai penghias rumah juga melambangkan da ri kesuksesan duniawi karena yang digambarkan adalah sumber kehidupan di dunia berupa bentuk tanaman. (wawancara Ibu Naniek, 23 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran 200. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 158 b. Fungsi dan Makna Simbolik Ornamen Kaca Patri (Glass In Lood) Ornamen kaca patri (Glass In Lood), merupakan suatu ornamen hasil perkembangan arsitektur kolonila Belanda di Jawa. Ornemen ini termasuk kedalam ornamen gya arsitektur art deco. Art Deco adalah gaya hias yang lahir setelah Perang Dunia I dan berakhir sebelum Perang Dunia II yang banyak diterapkan dalam berbagai bidang, misalnya eksterior, interior, mebel, patung, poster, pakaian, perhiasan dan lain-lain (Joehana, 2004) . Perkembangan Art Deco tidak lepas dari pengaruh situasi dan kondisi jamannya, pada saat itu di Eropa sedang berlangsung revolusi industri, masyarakat terpesona oleh adanya penemuan-penemuan dan teknologi yang maju dengan pesat. Bangunan rumah dengan arsitektur ber langgam art deco menempatkan hiasan kaca patri pada jendela rumah dan pintu, serta lubang ventilasi udara. Bentuk dari hiasn kaca ini memilki berbagai bentuk berupa bentuk geometri garis, lengkung ataupun berupa kotak persegi panajng kecil atau pun membentuk gambar matahari dengan dikombinasikan (dimasukan) pada pola geometris kayu. Ornamen kaca ini biasanya mengguankan warna yang cerah seperti merah, kuning, hijau, putih, biru. Ornamen kaca patri merupakan penanda bangunan Indis tersebut bercorak atau bergaya art deco. Ornamen kaca sebagai penanda banguan art deco di Laweyan paling banyak digunakan pada dalem Poesposumartan, bentuk kaca dibentuk dari kombinasi kayu dan kaca (glass in lood) didominasi bentuk lengkung dan bentuk geometri dan juga membentuk gambar matahari, hampir setiap sudut bangunan memiliki bentuk dengan kombinasi warna yang indah. Bentuk geometri yang mendominasi bentuk hiasan kaca patri menunjukkan karakter semangat desain akibat perkembangan teknologi yang digambarkan ke dalam desain dalam bentuk garis-garis lengkung dan zig-zag. Awalnya hiasan kaca patri hanya dipeuntukan untuk bangunan-banguan peribadatan (gereja), dan yang dilukiskan adalah cerita-cerita dalam kitab bible. Pola ragam hias geometris terdapat pada kaca patri daun pintu, jendela, dan bofenlicht dengan dominasi bidang persegi dan lengkung. Variasi warna kaca commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 159 terbentuk dari perpaduan warna kaca merah, biru, kuning, putih, dan hijau. Bidang lengkung terpusat pada bagian tengah atau sisi dalam dari daun pintu, jendela dan bofenlicht. Penempatan warna kaca biru sebagai border dan warna merah maroon pada bagian bawah memberi kesan tegas dan kontras. Gambar 4. 33 Variasi Bentuk Ornamen Art Deco Berupa Hiasan Glass In Lood sebagai Penanda Langgam Eropa dengan Bentuk Pola Garis Lengkung dan Lurus Berwarna Cerah pada Dalem Poesposumartan, Laweyan. (Dokume ntasi Pribadi, 23 Mei 2013) . Pengguanaan warna yang cerah berfungsi sebagai unsur penyeimbang penchayaan bangunan, keitka malam hari warna tersebut berpadu dengan cahaya lampu gantung memberi kesan keindahan dan ketentraman,begitu pun pada siang hari akan memantulkan cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah. Makna simbolik dari hiasan kaca ini tidak lebih hanya sebagai hiasan dan penunjukan kekayaan dari saudagar batik, karena ornamen ini di impor langsung dari Eropa. (wawancar a Ibu Andrini, 25 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 5 pada lampiran halaman 218. c. Fungsi dan Makna Simbolik Hiasan Gunungan dan Banyu Tetes Masyarakat Jawa pada umumnya tidak terlalu memperhatikan hiasan-hiasan yang terdapat pada bagian puncak rumah. Selain pada bangunan-bangunan rumah commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 160 ibadah, hiasan kemuncak tidak terlalu mendapat tempat yang spesial pada rumah di Jawa. Berbeda dengan masyarakat Kolonial Belanda, yang sangat memperhatikan hiasan atap rumah, karena memilki makna dan arti simbolis dalam kehidupan masyarakat Belanda (Sujayanto, 2000). Atap pada bangunan berarsitektur Indis di Laweyan secara umum menggunakan kombinasi atap limasan dan pelana. Penggunaan atap limasan kerena masyarakat Laweyan menyadari bahwa kelas sosila yang disandang adalah sebagai kawula, bukanlah bangs awan dan termasuk kedalam elite keraton. Pembannguan rumah bearsitektur Indis hanya sebagai pembuktian diri sebagai masyarakat yang termarginalkan dari struktur tatanan masyaraka t feodal keraton, selain itu Bentuk limasan dianggap cocok dengan struktur banguan bearing wall yang ada di Laweyan (Wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013) . Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran 200. Ornamen yang mengisi atap rumah Indis pada awalnya merupakan ornament yang berasal dari Belanda berupa penunjuk arah angin (windwijzer) dan geveltovmen atau hiasan kemuncak yang berada pada depan rumah Indis. Seiring perkembangan waktu hiasan kemuncak mengambil ornament tradisional Jawa (Soekiman, 2000). Rumah Indis di Laweyan ada yang mengguankan hiasan atap dan ada pula yang tidak menggunakan, pada observasi yang peneliti lakuakan hiasan atap pada rumah Indis di Laweyan hanya satu rumah yang mengguankan hiasan berupa kayon atau gunungan sebagai pengganti geveltovmen. Ornamen gunungan atau kayon mengandung makna filosofis yang dalam dalam masyarakat Jawa. Gunungan atau kayon diinterpretasikan sebagai lambang dari jagad raya tempat manusia berpijak. Hiasan gunungan merupakan lambang ke Agungan dan ke Esaan yang diharapkan para penghuni rumah yang memakai hiasan gunungan akan mendapat ketentraman lahir dan batin, serta dilindungi Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini sejalan dengan pendapat Djono, et al (2009) yang menyatakan bahwa, “kayon atau gunungan esensinya adalah perwujudan rumah tradisional Jawa, yang commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 161 merupakan simbol kehidupan, yang dipercaya sebagai penghubung dunia bawah (bumi) dan langit” (hlm. 273). Salah satu rumah Indis di Laweyan pada area di bawah atap atau gevel dan di area teras dikelilingi dari kayu yang memanjang vertikal berbentuk lengkung dengan ornamen bentuk flora mirip seperti ornamen banyu tetes yang memilki ukuran yang berbeda antara tritisan (teras) samping dan depan. Gambar 4.34. Bentuk Ornamen pada Atap Berupa Gunungan atau Kayon (gambar atas) dan Ornamen Kayu Memanjang Secara Vertikal di Area Teras pada Rumah Indis milik H. Mawardi (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 23 Mei 2013) Fungsi dari ornamen gunungan sendiri sebagai perwujudan dari masyrakat Laweyan sebagai orang yang tidak menginginkan identitas sebagai manusia Jawa hilang, sedangkan fungsi dari ornamen kayu memanjang vertikal dengan ornamen mirip ornamen banyu tetes berwarna coklat krem , fungsinya adalah sebagai penahan sinar matahari dan hujan serta sebagai ventilasai angin, sementara itu makna simbolik yang terkandung dalam hiasan banyu tetes adalah sebagai makna kehidupan yang mengandung filosofi tiada kehidupan tanpa air (Wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 162 d. Fungsi dan Makna Simbolik pada Ornamen Pelengkap Ruang Ornamen atau ragam hias yang digunakan oleh saudagar batik Laweyan menggunakan ornamen khas Jawa karena merupakan orang Jawa. Hiasan ornamen pelengkap ruang banyak ditemukan di area dalem dimana area ini merupakan area yang bersifat privat bagi pemilik rumah. Ornamen yang digunakan menggunakan ornamen yang indah dan mewah sebagai wujud pennunjukan diri bahwa saudagar batik adalah orang kaya. Ornamen yang diwujudkan ada yang berasal dari luar Indonesia karena saudagar batik Laweyan pada masa perdagangan batik telah melakukan perdagangan internasional (Wawancara Bapak Alpha, 4 September 2013). Lebih lanjut lihat CL 3 pada lampiran halaman 211. Araea dalem terdapat sebuah ruangan yang bersifat sakral, ruangan ini diseburt dengan ruang petanen, di dalam ruang petanen di tempatkan berbagai ornament diantaranya adalah Patung loro blonyo , sepasang cermin, bokor hasil tani dan tempat kinang, meja kaca. Area petanen dilengkapi dengan ruang sentong yang terbagi kedalam tiga ruang yaitu sentong kiwa, sentong tengen, dan sentong tengah. Sentong tengah adalah ruang yang sangat disaktralkan dan tidak ditempati sebagai tempat tidur tetapi dilengkapi dengan bantal dan guling, padi dan pusaka milik pemilik rumah. Keindahan ruang petanen pada rumah Indis di Laweyan menujukkan kemewahan dan keindahan. Kemewahan terlihat dari ornamen ukir pada bagian tebeng atau gebyok yang diukir dengan ukiran yang sangat indah, serta keahlian yang tinggi. Penambahan lemari kecil berisi benda -benda koleksi ysng berasal dari luar negeri menunjukkan saudagar batik ingin memamerkan kekayaan yang dimiliki. Kehidupan masyarakat jawa memandang ruang krobongan sebagai ruang tempat bersemayamnya Dewi Sri atau dewi kesuburan dan kebahagiaan dalam rumah tangga, keberadaan krobongan beserta isinya tidak dapat dipisahkan dari pemahaman orang jawa tenteng keseimbangan hidup antara makrokosmos dan mikrokosmos (Djono, et al, 2009). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 163 Krbongan sebagai ruangan khusus pemujaan Dewi Sri bagi masyarakat Jawa, memilki makna simbolis dari setiap isi benda yang terdapat di dalamnya. Berikut dijelaskan satu persatu makna dari setiap ornamen pelengkap tersebut. Tetapi bagi masyarakat Laweyan hal tersebut hanya sebagai penunjukkan kekayaan dengan menempatkan benda -benda koleksi yang mewah dan mahal semata tanpa ada makna simbolik yang menyeratinya. (wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200. 1) Patung Loro-Blonyo Patung loro blonyo merupakan patung sepasang pengantin Jawa yang ditempatkan di area petanen, tepatnya di sebelah kiri dan kanan sentong. Patung dalam ruangan itu bukan hanya sebagai pajangan semata tetapi melambangkan kebahagian suami istri pemilik rumah dan perwujudan cita-cita. Hal ini sejalan dengan pendapat Subiantoro (2009) bahwa, ”loroblonyo menjadi lambang cita-cita yang dipedomani nilai intrinsik sebagai lambang kekuatan spiritual” (hlm. 193). Gambar 4.35. Patung Loro-Blonyo pada Area dalem dan Bokor Sirih dari Kuningan. (Sumber Dokumentasi Pribadi, 25 Mei 2013) . Keberadaaan patung loro-blonyo pada masyarakat saudagar Laweyan melambangkan status kekayaan dari para saudagar batik Laweyan. Pada bagian depan loro blonyo ditemapatkan paidon, genuk atau bokor sirih, commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 164 bokor hasil bumi, dan kendi tidak dari tanah liat seperti dalem pada rumah bangsawan, tetapi terbuat da ri bahan kuningan Penggunaan paidon, genuk atau bokor sirih, bokor hasil bumi, dan kendi dari material kuningan menunjukkan tanda bahwa saudagar batik ingin menunjukkan kekayaan yang dimiliki dengan membuat kelengkapan ornament penghias ruang yang berbeda dengan milik bngsawan 2) Kain Cindai atau Patola India Penutup tempat tidur dan bantal serta guling di dalam krobongan merupakan kain cindai atau patola India. Karena memiliki pola yang sarat dengan makna Hindu (pola jlamprang dan cakra-senjata Dewa Wisnu dan delapan tataran yoga) maka kain ini dianggap memiliki kesaktian dan keberadaannya pun dikeramatkan. Hal ini melambangkan bahwa saudagar batik laweyan mampu menandingi kekayaan bangsawan meskipun termasuk kedalam kelas kawula, begitu pula lempengan loga m berwarna emas dan perak, pada ujung bantal dan guling menunjukan kesan pamer kekaayaan dan kemewahan dari saudagar batik. 3) Sepasang Cermin Masyarakat Jawa dalam menjalani kehidupan penuh dengan symbol, begitu pila dengan penggunaan ornament cermin pada rumah tempat tinggal. Cermin besar esta dengan motif flora, pada rumah Indis di Laweyan biasanya diletakkan di area dalem (di kanan dan kiri petanen) serta di pendapa (pada tembok kanan dan kiri). Hiasan cermin ini telihat mewah dengan warna emas dan ukiran yang indah. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 165 Gambar 4.36 Cermin sebagai Pelengkap Ruang dan Penolak Bala sesuai Kepercayaan Orang Jawa pada area Krobongan ditemapatkan di sisi kanan dan kiri Senthong. (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 25 Mei 2013) Saudagar batik di Laweyan membuat rumah Loji bergaya arsitektur Indis dan ornamen pengisi ruangan dengan sangat indahnya dan dilengkapi dengan benda hiasan yang bagus-bagus. Hal ini sengaja dibuat sedemikian oleh para pengusaha untuk menunjukkan kelebihannya sebagai pengusaha walaupun mereka bukan dari golongan bangsawan. Pemberian ornamen tambahan berupa koleksi benda dari luar negeri pada ruang petanen semakin menunjukan fungsi dari benda tersebut bukan hanya sebagai hiasan tatapi ajang penunjukan kekayaan dan kesuksesan menja di saudagar batik Laweyan. (wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 166 4. Hubungan Antara Bentuk Arsitektur dan Ornamen Bangunan Rumah Indis dengan Status Sosial Saudagar Batik Laweyan Abad ke XX merupakan periode emas bagi kalangan saudagar batik Laweyan dalam perdagangan batik. Ditemukannya teknologi batik cap, perkembangan transportasi kereta api di Surakarta merupakan beberapa factor penyebab berkembangnya Indiustri batik di Laweyan, sehingga menyebabkan Laweyan bermetamorfosis dari kampung penghasil dan pusat perdagangan lawe pada masa keraton Pajang menjadi salah satu pusat dari produksi dan perdagangan batik di Surakarta. Status sosial masyarakat saudagar batik yang tergolong kedalam kelas kawula menjadikan masyarakat sauda gar batik termarginalkan oleh sistem budaya feodal. Hal ini menyebabkan masyarakat saudagar batik Laweyan merasa perlu membentuk identitas diri dan menampakkan kelas sosialnya dalam kehidupan masyarakat. Saudagar batik Laweyan meskipun tergolong kedalam status sosial kawula atau golongan rakyat kebanyakan, tetapi dalam menjalani kehidupannya masih meniru konsep dari para priyayi, hal ini dikarenakan saudagar batik Laweyan terikat hubungan dengan perdagangan batik. Konsep yang ditiru dari golo ngan priyayi menunjukan sikap “ambigu” dari masyarakat Laweyan pada umumnya dan saudagar batik Laweyan pada khususnya. Di sisi lain masyarakat saudagar batik Laweyan merupakan para saudagar yang tidak terikat stratifikasi sosial keraton da n hanya berfokus pada perdagangan batik, tetapi di sisi lain masyarakat Laweyan meniru pola hidup dan kebudayaan para priyayi keraton, termasuk meniru arsitektur Indis yang lebih dahulu berkembang di lingkungan keraton (Wawanca Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200. Kesuksesan saudagar batik pada sekitar abad XX menyebebkan kekayaan saudagar batik mengalami peningkataan dan lebih tinggi kekayaan saudagar batik dibandingkan dengan para bangsawan keraton. Kekayaa n yang melimpah menyebabkan saudagar batik mampu untuk meniru pola dan gaya hidup Indis commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 167 yang berkembang di kalangan pejabat pemerintah Kolonial Belanda dan bangsawan keraton terutama bidang arsitektur pembanguan rumah. Kesuksesan dan kekayaan saudagar batik Laweyan menyebabkan saudagar batik perlu membangun rumah dengan arsitektur Loji yang memilki banguanan yang besar dan pekarangan yang luas besrta kelengkapannya berupa ornamenornamen penghias dan furniture yang didatangkan langsung dari Belanda, sebagai salah satu cara untuk menampakan identitas diri sebagai saudagar sukses dan status sosial masyarakat saudagar batik Laweyan sebagai kaum yang termarginal di lingkungan masyarakat feodal. Penunjukan satatus sosial dari masyarakat saudagar batik Laweyan tid ak hanya pada bentuk rumah loji berarsitektur Indis yang dimiliki. Tetapi penunjukan status sosial melalui kekayaan benda-benda juga menjadi sarana dalam hal penunjukan status sosial di masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Soedarmono bahwa, “para juragan biasanya juga memiliki barang-barang sebagai simbol status kekayaan. Misalnya: krobongan, dubang , gigi emas, perhiasan, dan tata cara berpakaian Jawa seperti priyayi” (2006:115). Periode abad XX rumah-rumah milik saudagar batik Laweyan mengalami perubahan bentuk dari arsitektur Jawa khususnya rumah bentuk kampung dengan komposisi material kayu menjadi rumah loji dengan struktur dari beton dan tembok bearing wall. Perubahan bentuk rumah tersebut tidak menghilangkan jiwa saudagar batik Laweyan sebagai orang Jawa. Rumah loji berarsitektur Indis di Laweyan memiliki struktur ruang yang sama dengan struktur ruang yang ada pada rumah bangsawan secara umum, karena ada ikatan sosial dalam perdagangan batik dengan keraton. Rumah saudagar batik memiliki pendopo, pringgitan, gandok, dalem, sentong dan petanen yang membedakan adalah masyarakat saudagar batik Laweyan tidak megikuti pola ruang bangsawan secara penuh, mereka bebas dalam menentukan letak dari rumah pendukung. Bentuk pola ruang yang sama dengan rumah bangsawan, hanya sebagai prototype dari kebanyakan banguan yang ada di Surakarta (wawancara bapak Drs. Susanto, 6 Juni 2013) . Lebih lanjut lihat CL 2 pada lampiran halaman 208. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 168 Keterkaitan bentuk visual rumah dengan penunjukan kelas sosial dapat dipahami dari sistem sosial yang berlaku pada masyarakat Jawa. Rumah merupakan salah satu sarana penting dalam penunjukan kelas sosial, sehingga rumah bagi saudagar batik Laweyan yang termarginal dalam sistem sosial budaya, tidak hanya sebagai sarana pemenuhan kebutuhan tempat tinggal saja, tetapi juga sebagai bagian dari identitas sosial. Pembangunan rumah loji berarsitektur Indis di Laweyan menyebabkan masyarakat saudagar batik Laweyan memilki rumah dan pekarangan luas, sehingga pada periode tersebut status saudagar besar yang sukses dapat dilihat dari bentuk rumah dan perkarangan atau persil tanah rumah yang di miliki. Pembanguan rumah Indis dengan struktur yang besar dan luas tersebut menjadikan kawasan Laweyan jika dilihat dari struktur tata ruang elemen kawasandibentuk oleh butiran masa yang saling berdekatan dan membentuk jalanjalan merupakan ciri lain dari pemukiman tradisional. Hal ini sejalan dengan pendapat Priyatmono (mengutip simpulan Carmona.dkk, 2003) bahwa, Permukiman tradisional biasanya banyak dicirikan dengan munculnya massa bangunan yang mempunyai tampak berupa dinding-dinding tertutup menghimpit dan dikelilingi oleh gang atau jalan sempit (2004 : 3). Periode abad XX, masyarakat di Laweyan dapat melihat besar dan kecilnya kesuksesan saudagar batik dapat dilihat dari bentuk rumah dan luas tanah yang di miliki. Pembagian persil tanah dikawasan kampung Laweyan, secara garis besar di bagi kedalam tiga bagian tanah persil, yaitu persil untuk juragan atau saudagar batik dan untuk buruh batik. Jenis pembagian persil untuk rumah di Laweyan secara garis besar terdiri dari persil rumah juragan batik besar seluas 1000 m²-3000 m² , persil rumah juragan batik sedang antara 300 m²-1000 m², persil milik buruh batik antara 25 m² -100 m². Pembagian persil tanah milik saudagar batik Laweyan berpengaruh terhadap bentuk rumah berarsitektur Indis beserta ornamen pelengkap ruang yang dimilki. Semakin besar persil tanah dan besarnya rumah yang dibangun besrta kelengkapan ornamen pengisi rumah menunjukan saudagar batik tersebut commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 169 termasuk kedalam saudagar batik besar pada periode tersebut. Begitu pula sebaliknya saudagar batik yang memilik persil tanah yang kecil dikategorikan sebagai saudagar sedang dan sisanya termasuk golongan pekerja atau buruh batik. Berdasarkan pengamatan dan survey di lapangan, menemukan bahwa ada sekitar 23 Pengusaha batik yang masih aktif berproduksi dan 3 diantaranya merupakan pengusaha yang terkenal akan kesuksesannya dan dikategorikan sebagai pengusaha besar dan sedang pada masa tersebut. Ketiga pengusaha tersebut memilki bentuk rumah Indis dengan gaya dan style yang berbeda sesuai dengan tingkat kesuksesan dari saudagar batik tersebut. a. Bentuk Arsitektur Bangunan Rumah Indis dan Ornamen Saudagar Batik Besar Masyarakat Laweyan merupakan masyarakat yang memilki mata pencaharian yang homogen, yaitu sebagai saudagar dan pedagang batik. Dalam starifikasi masyaraat feodal, masyarakat saudagar batik Laweyan termasuk kedalam golongan kawula, yang termasuk kedalam kategori golongan dari rakyat kebanyakan walaupun saudagar batik tersebut memiliki kekayaan melebihi kekayaan bangsawan keraton. Kategori golongan kawula yang disandang masyarakat dan saudagar batik Laweyan menyebabkan keinginan masyarakat Laweyan untuk membentuk struktur dan sistem sosial sendiri yang berbeda dengan struktur masyarakat feodal keraton dan berlaku untuk komunitas Laweyan yang tremarginalkan oleh sistem budaya dan sosial masyarakat feodal. Perbedaan struktur dan sistem sosial yang berlaku di masyarakat Laweyan dengan masyarakat feodal di keraton ditunjukan dengan penempatan saudagar batik sebagi puncak hieariki dalam struktur dan status sosial yang berlaku dalam komunitas Laweyan. Status sosial sebagai saudagar besar ditandai dengan memilki rumah dan persil tanah yang luas untuk membangun rumah dan pabrik. Persil tanah yang dimiliki oleh saudagar besar memilki luas sekitar 1000 m² - 3000 m² , dengan diberi batas tembok tinggi (beteng) setinggi hampir 4 meter. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 170 Masyarakat saudagar batik Laweyan menjadi pendukung dari perkembangan kebudayaan Indis di Surakarta dipengaruhi oleh kekayaan yang dimiliki oleh saudagar batik yang memperoleh kekayaan dari hasil usaha batik pada sekitar abad XX, selain itu faktor perkembangan kota Surakarta semenjak pembukaan perusahaan swasta ikut mempengaruhi perke mbangan kebudayaan Indis khususnya hasil kebudayaan berupa bentuk arsitektur rumah tinggal milik saudagar batik di Laweyan. Abad XX merupakan abad kesuksesaan dari para saudagar batik Laweyan. Perkembangan indusrtri batik tersebut berpengaruh tehadap eksistensi Laweyan sebagai kawasan yang spesifik, sehingga corakbangunan rumah pada abad XX di Laweyan, khusunya rumah milik saudagar batik Laweyan banyak dipengaruhi oleh gaya arsitektur Eropa dan Islam, sehingga banyak bermunculan bangunan bergaya arsitektur Indis (Jawa-Eropa), dengan bentuk banguan dan halaman yang besar (Wawancara Bapak Alpha Febella, 4 September 2013). Lebih lanjut lihat CL 3 pada lampiran halaman 211. Bentuk rumah loji atau tembok merupakan pola dari rumah golongan Eropa dan elite pribumi dengan halaman rumah yang luas yang menunjukan rumah para penguasa dan menduduki hiearki yang tinggi dalam tatanan masyarakat. Pola rumah seperti ini yang di adaptasi dengan baik oleh saudagar batik Laweyan pada sekitar tahun 1920-1930an. Tipikal masyaraka t saudagar batik yang berjiwa pedagang ditambah keuntungan yang besar dalam berdagang batik sekitar abad akhir abad 19 dan awal abad 20 menjadikan cepat berkembangnya budaya Indis di Laweyan khususnya arsitektur rumah Indis, hal ini dikarenakan masyarakat saudagar batik telah melakukan kontak perdagangan dengan para pedagang dari berbagai bangsa,saudagar batik sudah mampu berdagang ke luar negeri terutama ke Eropa oleh karena itu saudagar batik mempunyai wawasan mengenai arsitektur luar negeri wawasan itu lantas diterapkan untuk rumah-rumah saudagar batik yang meniru rumah-rumah pejabat kolonial. (Wawancara Bapak Mohammad Muqofa pada tanggal 8 Juli 2013). Lebih lanjut lihat CL 4 pada lampiran halaman 213. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 171 Arsitektur rumah tinggal bergaya Indis milik saudagar batik Laweyan, memiliki bentuk arsitektur unsur campuran yaitu arsitektur Jawa dan Eropa (Belanda), baik unsur struktur bahan material bangunan ataupun dari ornamen eksterior interior bangunan rumah. Unsur Aritektur Belanda bisa dilihat dari struktur material banguan yang berjenis bearing wall dengan tiang atau kolom yang diadaptasi dari tiang berjenis Ionia, tanpa ornamen, biasanya diletakan di depan rumah sebaga i penopang bangunan, kemudian dari sturktur list batu kali pada fondasi banguan. Unsur ars itektur Jawa dalam rumah Indis di Laweyan dilihat dari bentuk atap yang kebanyakan mengguankan atap limasan, kemudain pola ruang yang diadaptasi dari arsitektur Jawa, seperti adanya regol, pringgithan, dalem, gandhok, ruang petanen atauu krobongan atau petanen beserta unsur kelengkapannya. (wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200. Poesposumarto dan Tjokrosoemarto adalah dua orang pengusaha batik Laweyan yang terkenal dan termasuk kedalam kategori pengusaha atau saudagar besar pada abad ke XX. Pengusaha tersebut memilki rumah loji dengan arsitektur Indis yang megah dengan ornamen eksterior yang indah dan mewah. Rumah Tjokrosumarto atau lebih dikenal dengan dalem Tjokrosumartan dibangun pada tahun 1928, dengan luas bangunan 1800 m² di atas tanah persil seluas sekitar 3000 m² yang didalamnya terdapat tiga rumah yang diperuntukan untuk anak-anak Tjokrosumarto. Rumah ini dibangun dengan struktur bearing wall berasitektur Indis langgam Art Noveau dan Jawa. Langgam Art Noveau dalah gaya dari seni dekoratif yang menjamur di seluruh Eropa khususnya di Perancis selama dekade terakhir abad 19 dan tahuntahun awal abad 20. Gaya ini ditandai dengan bentuk organik, khususnya yang diilhami motif-motif bunga dan tanaman lain, dan juga sangat bergaya bentukbentuk lengkung yang mengalir. Gaya Art Nouveau dan pendekatannya telah diterapkan dalam hal arsitektur, melukis, furnitur, gelas, desain grafis, perhiasan, tembikar, logam, dan tekstil dan patung (Handinoto et al, 2012 ). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 172 Rumah Tjokrosumarto rumah dengan arsitektur Indis yang sangat megah dengan kelengkapan ornamen yang mewah dan sangat indah, tetapi dalam penelitian ini penulis tidak bisa menjabarkan lebih detail tentang rumah ini karena tidak di ijinkan oleh pemilki rumah untuk dijadikan obyek penelitian. Poesposumarto adalah salah satu pengusaha atau saudagar batik kedua yang terkenal dan kaya di Laweyan, kesuksesan yang diaih dari usaha perdagangan batik membuat Poesposumartan dapat membangun rumah loji berarsitektur Indis untuk Poesposumarto dan istri serta ketiga anaknya. Rumah Poesposumarto atau lebih dikenal dengan Dalem Poesposoemartan berlokasi di Jalan Dr.Radjiman 501, Laweyan, Surakarta. Rumah Poesposumartan dibangun pada sekitar tahun 1938, dibangun diatas lahan seluas 1950 m², dikelilingi oleh pagar tembok seperti kebanyakan rumah saudagar batik di Laweyan setinggi kurang lebih sekitar 3 m. Dalem Poesposumartan semenjak dibangun pada sekutar tahun 1938 sampai sekarang bentuk dan wujud rumah tersebut, khususnya banguan induk tidak mengalami perubahan dari banguan asli kecuali perubahan fungsi ruangan yang diprioritaskan untuk tamu hotel. Rumah ini tetap khas dengan gaya arsitektur Indis – Jawa dengan langgam Art Deco. (Wawancara Ibu Andrini, 25 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 5 pada lampiran halaman 218. Art Deco adalah seni populer, gerakan desain internasional dari 1925 sampai 1940, yang mempengaruhi seni dekoratif seperti arsitektur, desain interior, dan desain industri, serta seni visual seperti fashion, lukisan, seni grafis, dan film. Pada peiode saat itu, gaya art deco ini dianggap sebagai elegan, glamor, fungsional, dan modern (Joehana, 2004). Fasade rumah ini memiliki bentuk bangunan perpaduan arsitektur Jawa dan arsitektur art deco simetri, atap miring menjulang tinggi. Struktur bangunan bearing wall dengan konstruksi bangunan sepenuhnya ditopang dinding, dua buah tiang beton sebagai tiang yang diadaptasi dari gaya Ionia berfungsi untuk menyangga bangunan serta list batu kali pada bagian luar sebagai fondasi rumah setinggi 55 cm serta kayu jati pada sepertiga bangunan. Atap yang digunakan pada banguan ini menggunakan atap pelana dan limasan. Arah hadap rumah ini commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 173 mengahadap ke arah selatan (Wawancara Ibu Andrini dan Observasi, 22 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 5 pada lampiran halaman 218. Unsur art deco pada dalem Poesposumartan bisa dilihat dari berbagai hiasan kaca patri yang dikombinasikan dengan bentuk geometris kaca atau jendela kayu (glass ini lood) yang ditempatkan di kaca jendela, pintu serta bovenlicht atau lubang ventilasi di atas pintu dan jendela yang bisa dilihat diberbagai sudut ruangan. Masyarakat saudagar batik Laweyan pada umumnya dan Poesposumarto khususnya sudah lama melakukanaktifitas perdagangan batik sampai keluar negeri, dari aktifitas itu menyebabkan wawasan masyarakat Laweyan menjadi lebih terbuka dalam menerima pengaruh kebudayaan asing, termasuk arsitektur Indis dan ornamen-ornamen penghiasnya. Penggunaan hiasan kaca patri untuk hiasan kaca jendela dan pintu misalkan merupakan salah satu wujud dari kontak kebudayaan Jawa dengan Eropa dan merupakan penanda dari perkembangan dari langgam art deco di Laweyan. Hiasaan kaca patri yang dikombinasikan dengan kayu pada pintu dan jendela yang diimpor langsung dari Belanda menunjukan masyarakat Laweyan sebagai masyarakat yang tidak kalah kekayaan dengan bangsawan keraton (Wawancara Ibu Andrini, 25 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 5 pada lampiran hlaman 218. Masyarakat Jawa dalam kehidupannya tidak terlepas dari simbolisme dalam berbagai aspek. Naiknya status sosial dapat diwujudkan dengan banyak simbol, sebagai tanda yang dianggap mampu mewakili sebuah makna tertentu. Bentukbentuk simbolisme dalam budaya Jawa sangat dominan dalam segala hal dan segala bidang, salah satunya adalah bentuk ruma h menunjukan kekayaan pemiliknya serta onamen pengisi rumah yang mempunyai makna simbolis tertentu bagi penghuninya (Satoto, 2003). Poesposumarto merupakan salah satu saudagar batik kaya yang berada di Laweyan, pembanguan rumah Indis yang berlanggam Art Deco dengan pemakaian ornamen yang mewah dan banyak pada rumah serta di impor langsung dari Belanda serta ornamen Jawa yang menunjukan bahwa Poesposumartan masih commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 174 menganut konsep pemikiran Jawa dan menunjukan kekayaan Poesposumarto tidak kalah dengan kekayaan para bangsawan. Pemakaian ornament-ornamen berlanggam Eropa baik yang di tempatkan pada pintu, jendela, kaca serta penggunaan lantai marmer pada bangunan rumah, bagi masyarakat saudagar batik Laweyan semakin banyak ornamenyang ada di dalam rumah menunju kan pemilik dari rumah tersebut bukan merupakan orang biasa (wawancara bapak Alpha Febella, 4 September 2013) . Lebih lanjut lihat CL 3 pada lampiran halaman 211. Ornamen pelengkap atau pengisi ruang pada rumah Indis milik saudagar batik Poesposumarto di Laweyan, secara umum banyak menggunakan ornamen pelengkap yang biasa digunakan dalam arsitektur Jawa, misalkan pada area dalem dimana terdapat ruang sakral bagi masyarakat Jawa yaitu petanen atau krobongan yang berisi ambèn, bantal, guling, paidon, genukatau bokor sirih, bokor hasil bumi, kendidan loro blonyo . Hal tersebut mencerminka n bahwa pmilik rumah ini yaitu bapak Poesposumarto masih menganutkonsep pemikiran Jawa, bahwa krobongan sebagai simbol penghormatan Dewi Sri ketika memberikananugerah tercukupinya sandang dan pangan (wawancara Ibu Andrini, 25 Mei 2013) Lebih lanjut lihat CL 5 pada lampiran 216. Kelengkapan paidon, genuk atau bokor sirih, bokor hasil bumi, dan kendi tidak dari tanah liat seperti di dalem pada rumah bangsawan, namun berupa kuningan serta bebragai koleksi barang pribadi milik Poesposumarto yang konon di impor langsung dari negeri Belanda. Hal ini sebagai penunjukan status kekayaan yang melebihi bangsawan dari saudagar batik Poesposumarto. Rumah Poesposumarto atau dalem Poesposumartan ini sekarang telah beralih fungsi menjadi sebuah hotel sejak tahun 2002 karena pemilik rumah tersebut, yaitu keluarga Poesposumarto telah menjaul rumah tersebut kepabda Ibu Krisnina Maharani Tandjung, putri dari Akbar Tandjung dan dikenal dengan nama Hotel Roemahkoe Heritage Hotel. Kekayaan yang dimilki saudagar batik dari hasil berdagang batik pada sekitar abad XX, menajadikan saudagar batik mampu untuk membangun rumah loji berarsitektur Indis dengan ornamen gaya Art deco. Hal ini menunjukan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 175 saudagar batik Laweyan yang termarginalkan dari sistem budaya feodal bisa berkembang meniru pola hidup dan gaya arsitektur Indis yang pada awalnya berkembang di lingkungan pejabat pemerintah Kolonial Belanda dan bangsawan keraton. Rumah dengan arsitektur gaya Indis yang merupakan pengaruh arsitektur Belanda, berpadu dengan program ruang interior rumah Jawa mencerminkan kemampuan masyarakat saudagar batik dalam beradaptasi sekaligus bertahan dalam situasi dan kondisi politik serta kebijakan Belanda atas etnisitas masyarakat di Surakarta. Saudagar batik dengan menyandang status sosial sebagai saudagar besar banyak yang membangun rumah Indis dengan kelengkapan interior dan eksterior yang terkesan mewah dan mahal bahkan ornamen dan kelengkapan barang koleksi pribadi banyaak yang didatangkan dari luar Laweyan. b. Bentuk Arsitektur Bangunan Rumah Indis dan Ornamen Saudagar Batik Sedang Perkembangan industri batik yang berkemba ng di Surakarta pada umumnya dan Laweyan pada khusunya berpengaruh terhadap peningkatan kekayaan dari saudagar batik. Penunjukkan kekaaayn tersebut di tunjukan dengan pembanguan rumah loji berarsitektur Indis dengan berbagai kelengkapan ornamen yangh mewah serta kepemilikan persil tanah yang luas. Kekayaan yang dimilki saudagar batik Laweyan digunakan untuk menandingi status sosial bangsawan keraton. Saudagar batik Laweyan yang termasuk kedalam status saudagar sedang berbeda bentuk rumah dan kelengkapan rumah serta luas persil tanah. Jika pada saudagar besar luas persil tanah yang dimilki sekitar 1000 m² - 3000 m² dengan bangunan Indis yang megah dan ornamen mewah, tetapi pada saudagar batik denagan status social sauda gar sedaang persil rumah juragan batik sedang antara 300 m² -1000 m² , serta bentuk rumah Indis dengan façade sederhana serta ornamen yang tidak begitu banyak (wawancara Ibu Naniek, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 176 Façade bangunan rumah yang berarsitektur Indis milik saudagar batik Laweyan yang dikategorikan sebagai saudagar sedang memilki bentuk bangunan rumah yang sederhana tidak begitu mewah dengan berbagai macam ornamen yang menghiasinya. Rumah saudagar batik Laweyan yang termasuk kriteria ini adalah rumah Djimatan, yang berlokasi di kampung Setono ujung dan rumah milik H. Mawardi yang berlokasi di kampung Sayangan Kulon. Banguan rumah Djiamtan berdiri diatas tanah dengan luas sekitar 800 m² yang terbagi beberapa ruang, dengan arah hadap bangunan ke arah selatan menghadap tepat ke arah sungai Jenes atau sungai Kabanaran. Bangunan rumah Djimatan merupakan banguan kolonial Belanda dibangun pada sekitar tahun 1938 pada periode elektitas. Periode elektitas merupakan perkembangan arsitektur Kolonial Belanda yang sudah spesifik. Bentuk tersebut merupakan hasil kompromi dari arsitektur modern yang berkembang di Belanda pada waktu yang bersamaan dengan penyesuaian iklim tropis basah Indonesia. Ada juga beberapa bangunan arsitektur kolonial Belanda yang mengambil elemen-elemen tradisional setempat yang kemudian diterapkan ke dalam bentuk arsitekturnya. Hasil keseluruhan dari arsitektur kolonial Belanda di Indonesia tersebut adalah suatu bentuk khas yang berlainan dengan arsitektur modern yang ada di Belanda sendiri (Handinoto, 1996). Rumah Djimatan berarsitektur Indis modern simple dan Jawa. Unsur Indis atau Belanda pada banguan ini terlihat dari sususnan material yang dipakai, dimana dari keseluruhan fasade bangunan, menggunakan material batu bata atau tembok seperti rumah kolonial kebanyakan dengan finishing cat dinding. C iri lain yang menunjukkan arsitektur Eropa (Belanda) adalah bentuk rumah yang didominasi unsur garis lurus atau horizontal dan bentuk tiang Ionia. Ukuran luas rumah djimatan dari mulai berdiri sebagai rumah dinas Kyai Ageng Henis sampai dibangun sekitar tahun 1983 tidak merubah ukuran luas rumah awal yaitu rumah Joglo dengan 32 saka pengiring, hanya materialnya saja yang diganti dari struktur kayu menjadi struktur bearing wall (Wawancara Ibu commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 177 Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200. Struktur bangunan rumah Djimatan berjenis bearing wall, dengan struktur dua buah tiang beton yang diadopsi dari tiang berjenis Ionia tanpa ornamen dan difungsikan untuk menopang atau menyangga bangunan. Struktur yang dipakai untuk fondasi rumah berupa batu kali setinggi sekitar 50 cm. Atap yang digunakan pada rumah djimatan adalah atap limasan dan pelana karena saudagar batik bukanlah keturunan bangsawan atau priyayi keraton. Kelandaian atap rumah djimatan hampir sama dengan rumah Poesposumartan dengan tingkat kemiringan atau kelandaian atap sekitar 70°. Rumah Djiamatan setelah Kyai Ageng Henis meninggal, diambil alih oleh keraton Kasunaann Surakarta dan difungsikan sebagai rumah dinas bagi penunggu makam di pasarean Laweyan. Penunggu rumah dinas tersebut terakhir bernama Mas Bei Djimat Kartohastono, berawal dari nama penunggu terakhir tersebut rumah tersebut lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Dalem Djimatan. Periode tahun 1900-an keraton mengalami krisis keuangan, sehinggarumah Djimatan dilelang. Pemenang dari lelang tersebut adalah Karyo Wijoyo. Rumah Djimatan setelah dimiliki oleh Ibu Karyo Wijoyo diwariskan kepada keempat anaknya, yaitu Wirosukarto, Wiryo Wijoyo, Priyomarsono, dan Wongsodinomo. Hak waris terakhir rumah ini jatuh pada Priyomarsono yang merupakan ayah dari ibu Nanik Wida yati. Pemilik rumah Djiamatan sebagai pemilik hak waris utama adalah bapak Priyomarsono, beliau merupakan saudagar batik Laweyan yang cukup sukses pada sekitar abad ke XX, kesuksesan tersebut dibuktikan dengan merubah struktur material banguan lama denganbangunan rumah Indis yang berstruktur bearing walll, tetapi tidak meninggalkan cir i orang Jawa terutama dalam penempatan unsur Jawa dalam pola ruang rumah Djimatan. Unsur Jawa yang melengkapi rumah ini terlihat dari adanya pola ruang yang hampir sama dengan pola ruang yang ada pada rumah Jawa pada ummnya. Pola ruang yang digunakan dalam rumah ini masih menerapkan pola ruang pada rumah Jawa kebanyakan, terdiri dari regol, pringgitan, gandhok tengen, gandhok kiwa, commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 178 dan dalem, untuk pabrik ditempatkan di bagian belakang rumah berdekatan dengan dapur atau pawon (Wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013) . Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200. Keindahan atau estetika yang ditunjukan oleh saudagar batik Laweyan dengan menerapkan ornamen. Ornamen yang digunakan oleh saudagar batik Laweyan bervariasi dan memilki bentuk indah dan mahal terutama saudagar batik besar. Ornamen atau ragam hias yang ditempatkan pada rumah Djimatan adalah ornamen yang bersifat konstruksional dan tidak konstruksional. Ornamen konstruksional yaitu onamen yang menempel pada struktur banguan ditempatkan pada jendela dan pintu kayu berbentuk garis geometris pola jalusi dikombinasikan dengan kaca berbentuk kotak persegi kecil. Ornamen konstruksional selanjutnya di tempelkan pada dua buah tiang saka yang berada di area dalem berupa ornamen khas Jawa yaitu ornamen lung-lungan. Pengguanaan tiang saka yang berada di area dalem menggunakan tiang besi yang di impor langsung dari negeri Belanda hanya sebagai ciri bahwa pemilik rumah adalah orang Jawa atau dengan kata lain Ibu Karyo Wijoyo tidak ingin kehilanagan identitasnya sebagai orang Jawa. Material tiang yang dari besi dan langsung di impor dari Belanda menunjuknan pemilik rumah Djimatan merupakan masyarakat saudagar batik yang sukses dalam kekayaan dan mampu melebihi kekayaan bangsawan keraton (wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200. Penempatan ornamen pelengkap atau ornamen yang tidak konstruksional berupa hiasan pelengkap ruang dan ditempatkan pada area dalem berupa kelengkapan bokor hasil bumi, sirih ayu, paidon , tanpa patung loro blonyo. Sementara itu pada area senthong dimana area tersebut merupakan tempat sakral bagi masyarakat Jawa, ditempatkan berupa ambèn, bantal, dan guling. Gebyok dibatasi dengan hiasan gordjen motif cinde. Rumah berarsitektur Indis milik saudagar batik di Laweyan selain bentuk mempunyai perpaduan bentuk antara lain; unsur garis lurus, unsur garis lengkung, commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 179 perpaduan antara keduanya, ada juga ukiran sebagai yang menjadi unsur dominan tetapi ada juga perpaduan dengan unsur yang lain. Bahan yang dipakai dari tembok sehingga bangunan kelihatan kokoh. Rumah Indis milik saudagar batik dengan ukiran kayu sebagai unsur dominan dimilki oleh saudagar batik Laweya n bernama H. Mawardi yang masih merupakan keluraga dari keluarga besar bapak Priyomarsono pemilik hak waris rumah Djimatan.Rumah ini dibangun pada sekitar tahun 1925an, rumah ini ditempati oleh istri dari Haji Mawardi Ibu Siti Mastiloh bersama cucunya Rumah ini berdiri daiatas tanahseluas sekitar 700 m², dikelilingi pagar tembok tinggi sekitar 3 meter dengan pembagian ruang khas seperti rumah Jawa kebanyakan, seperti adanya gandhok di kiri kanan bangunan utama, pringgitan, dalem, sentohong, pawon, petanen serta pabrik yang ditempatkan di bagian belakang rumah. Fasade banguan ini meupakan ciri bangunan Indis, bentuk simetris dengan tiga buah pintu diarea pendapha. Bangunan ini memilki perpaduan unsur banguan loji dengan ukiran-ukiran kayu, dengan fondasi menggunakan beton setinggi sekitar 56 cm dilapisi dengan keramik. Pendopo pada rumah ini di topang oleh empat buah saka guru yang terbuat dari kayu jati dan saka pengiring bermaterialkan beton.Atap yang digunakan pada banguan ini adalah atap Limasan dan pelana dengan gevel yang terbuat dari kayu.Proporsi tingkat kemiringan atau kelandaian atap hampir 60° dilengkapi dengan konsul dari kayu (wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200. Ornamen sebagai unsur keindahan merupakan hal yang wajib dalam arsitektur rumah abik ornamen konstruksional maupun ornamen pelengkap. Pada rumah H. Mawadi hiasan atau ornamen konstruksional ditempatkan di atap berupa ornamen hiasan lubang angin berbentuk lubang angin berupa jendela bentuk jalusi dari kayu pada gavel yang terbuat dari kayu. Pada bagian ujung atap terdapat hiasan berupa gunungan atau kayon yang terbuat dari kayu. Lubang angin terdapat dibagian atas jendela (bofenlicht) ataupun pintu, ornamen yang menghiasi lubang angin berupa ragam hias dari flora dengan motif commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 180 lunglungan dan bunga seroja yang di ukir. Pada bagian lubang angin atau ventilasi lain terdapat hiasan kaca bentuk persegi yang dikombinasikan dengan kayu. Selain itu terdapat pola papan kayu yang memanjang vertikal di sekeliling tririsan berbentuk lengkung dengan ornamen bentuk flora seperti ornamen banyu tetes yang memilki ukuran yang berbeda antara tritisa n atau teras samping dan depan. Sekeliling area pringgitan terdapat pula hiasan dari keramik yang di cat dengan pola tumbuhan tunas bunga yang ditempatkan ke bawah yang disebut Lambrissering. Area dalem terdapat hiasan ukiran berupa lung -lungan yang menghiasi gebyok pembatas ruang senthong dan pada tiang saka (Obsevasi Lapangan, 25 Mei 2013) Ornamen pelengkap ruang pada rumah ini terdapat dia area dalem berupa, dua buah cermin esta motif flora, yang ditempatkan di sisi kanan dan kiri ruang senthong, sebuah meja kaca, bokor sirih. Gebyok atau pembatas area petanenpanel-panelnya diukir dengan motif lunglungan berwarna emas dan gordjen motif cinde dan Area lantai yang lebih tinggi dilapisi dengan permadani berwarna hijau serta kursi berukir tang terbauat dari kayu yang ditempatkan di area pringgitan. Area sentong tengah sebagai area sakral, terdapat bantal dan guling sebagai pengisi ruang, dilapisi kain warna putih dan ujungnya memakai lempengan berwarna perak tanpa patung loro blonyo. Perubahan rumah para saudagar batik Laweyan yang awalnya berstruktur kayu dan bentuk rumah kampung secara cepat dan direnovasi me njadibangunan berdinding tembok atau loji sekitar tahun 1920-1930an disaat perkembanagan dan kejayaan industri batik. Berkembangnya arsitektur Indis di Laweyan merupakan sebuah growing up dari masyarakat saudagar batik yang merdeka, yang termarjinalkan dari ikatan budaya dari ikatan stratifikasi keraton selain itu, kekayaan yang melimpah dari hasil perdagangan batik dan juga faktor kedekatan saudagar Laweyan dengan bangsa Eropa dalam bidang perdagangan menjadi latar belakang lahir dan berkembangnya kebudayaan Indis, te rutama aristektur bergaya Indis (wawancara Ibu Naniek, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 181 Penunjukan identitas atau status sosial masyarakat saudagar batik juga di tunjukan dengan bentuk rumah loji dengan hiasan atau ornamen yang dijadikan sebagai pelengkap ruangan yang berbeda dengan kaum bangsawan. Jika pada rumah bangsawan keraton, hiasan pelengkap seperti kendi, bokor, meja duduk kecil terbuat dari tanah, masyarakat saudagar batik Laweyan memodifikasi bentuk tersebut dengan penggunaan material kuningan dan kaca sebagai perlawanan bagi kaum bangsawan. Rumah loji dengan pengaruh arsitektur Belanda, berpadu dengan program ruang interior rumah Jawa mencerminkan kemampuan masyarakat saudagar batik dalam beradaptasi sekaligus bertahan dalamsituasi dan kondisi politik dan kebijakan Belanda atas etnisitas masyarakat di Surakarta dan pembuktian massyarakat Laweyan yang termarginalkan. Bentuk bangunan rumah tempat tinggal berarsitektur Indis dengan ukuran yang besar dan luas, berdinding tembok dengan perabot yang mewah, asesoris interior dengan materia l bahan yang mahal, detail, dan dikerjakan dengan tingkat keahlian yang tinggi, dapat dipergunakan sebagai tolok ukur derajat dan kekayaan dari saudagar batik Laweyan sebagai pemilik rumah tersebut. commit to user