KUR Terseok di Negeri Sendiri

advertisement
KUR Terseok di Negeri Sendiri
Oleh Falik Rusdayanto
Selasa, 24 Mei 2011
Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dijalankan Kementerian Koperasi Usaha Kecil dan
Menengah (Kemenkop dan UKM) dianggap telah berhasil. Bahkan, menurut Menkop UKM
Syarief Hasan, KUR menjadi proyek percontohan bagi negara-negara anggota Asia Pacific
Economic Cooperation (APEC).
Program KUR dianggap berhasil karena mampu menurunkan angka kemiskinan di
Indonesia. Indonesia pun diminta memaparkan pengalamannya dalam mengatasi
krisis ekonomi dan keuangan. Program-program seperti KUR, PNPM, Raskin, dan
Askes dinilai sukses meloloskan Indonesia dari krisis tersebut.
Ketika negara-negara anggota APEC masih terkagum-kagum dengan gebrakan KUR
yang dipromosikan Indonesia, di saat yang sama rakyat di negeri ini masih
berkubang dengan keluhan seputar KUR. Tak sedikit UMKM yang menganggap KUR
sebagai fasilitas yang tidak nyata, mengingat sulitnya akses terhadap program
pemerintah tersebut. Selain itu, pemerintah telanjur mengumumkan bahwa KUR itu
tanpa agunan, sementara pada kenyataannya, banyak bank pemberi KUR justru
mensyaratkan agunan.
Jika KUR belum menjadi solusi permodalan UMKM, lalu ke manakah mereka berburu
pinjaman modal? Tak sedikit pengusaha mikro di berbagai wilayah masih
mengandalkan rentenir atau bank keliling sebagai penyedia pinjaman modal mereka.
Ini merupakan kemungkinan terdekat yang bisa mereka pilih karena para rentenir
adalah sosok yang sangat dekat dengan kehidupan mereka dan mau memberikan
pinjaman dalam jumlah beragam, tanpa persyaratan yang njlimet.
Tinggal fotokopi KTP dan membuat perjanjian lisan mengenai cara pembayaran,
maka uang akan langsung cair dalam waktu singkat. Meskipun kemudahan itu harus
dibalas dengan satu konsekuensi besar yang sesungguhnya sangat merugikan para
peminjam, yakni bunga yang besar. Biasanya rentenir mematok bunga yang tinggi,
pada kisaran 10-30 persen dari total pinjaman. Bahkan, ada rentenir yang
menerapkan sistem bunga berbunga.
Jika peminjam tidak mampu menepati jadual cicilan, jumlah utang akan berlipatlipat. Tidak jarang, ada rentenir yang mengatasnamakan koperasi, sehingga
masyarakat lebih mudah tergiur meminjam uang. Sebenarnya pengusaha mikro ini
bukan tidak tahu kalau pinjam ke rentenir itu salah, akan tetapi mereka tidak punya
pilihan lain. Kalau tidak pinjam ke mereka, mau pinjam ke siapa?
Jika ditelisik, KUR bukanlah kebijakan pertama yang diperuntukkan kepada pelaku
usaha yang berekonomi lemah. Program sejenis pernah digulirkan oleh pemerintah
seperti Kredit Usaha Tani (KUT), pola dana bergulir, program Inpres Daerah
Tertinggal (IDT) dan bentuk lainnya. Kesemua bentuk program seperti itu telah
menjadi warna umum dari UMKM.
Kita tahu, di negeri ini UMKM adalah pihak yang menjadi objek berbagai kajian dan
penelitian yang berakhir pada kebijakan yang terkesan oleh khalayak ramai sebagai
bentuk 'perhatian' pada UMKM. Namun nyatanya UMKM sendiri masih berjalan di
tempat. Bentuk perhatian yang selama ini diwujudkan oleh pemerintah, baik pusat
maupun daerah, belum memberi makna yang signifikan. Jangankan berperan dalam
skenario ekonomi nasional, sekedar untuk memberi hidup bagi pelakunya pun bukan
sesuatu yang mudah bagi UMKM.
Keindahan KUR sebagaimana muncul di iklan televisi hanya membuai rakyat kecil
dengan angan-angan sepi. Contoh berdatangan dari berbagai daerah. Misalkan saja,
dari 200 lebih anggota asosiasi yang ada di Kota Ambon, hanya satu orang yang
menerima KUR. Padahal, dari jumlah tersebut masing-masing asosiasi sudah
mengakomodasi anggotanya lewat usulan proposal ke perbankan, namun tidak
digubris.
Contoh lain datang dari Jabar sebagai provinsi yang penyerapan KUR-nya menempati
urutan ketiga di Indonesia, setelah Jateng dan Jatim. Di Jabar, terdapat sekitar 8,2
juta pelaku UMKM. Namun, data Dinas Koperasi dan UMKM Jabar menjelaskan
bahwa sejak digelarnya program KUR pada 2008 hingga 30 November 2010, hanya
533.560 UMKM yang menjadi debitur. Ini berarti hanya 6,5 persen pelaku UMKM di
provinsi ini yang terlayani program KUR.
Pantas saja KUR selalu menjadi obyek perdebatan para ekonom. Sebagian
mengatakan, KUR sebenarnya hanya merupakan sebuah rangsangan untuk
bergeraknya ekonomi rakyat. Sebagian lain berpendapat, sama seperti programprogram bantuan sebelumnya, KUR mestinya didisain agar memiliki kemampuan
untuk menggerakkan ekonomi rakyat, jadi bukan sekedar stimulus.
Ragam persoalan di lapangan yang bisa jadi muncul akibat belum adanya kesamaan
persepsi di antara pihak-pihak terkait juga perlu dijadikan perhatian serius. Misalnya,
tentang ketentuan perbankan bahwa KUR hanya bisa diberikan kepada calon debitur
yang belum pernah mendapatkan kredit/pembiayaan dari perbankan. Dalam
kenyataannya banyak calon debitur yang telah mendapatkan kredit/pembiayaan dari
perbankan sehingga tidak bisa lagi dibiayai dengan fasilitas KUR, walaupun usahanya
lancar dan berkembang.
Beda persepsi lainnya adalah sebagian masyarakat menganggap bahwa penyaluran
KUR tanpa agunan selalu sebesar Rp 20 juta. Sementara bank menegaskan
penyaluran KUR harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan debitur
UMKM, agar debitur tidak terbebani dalam membayar angsuran dan bunga.
Atau, beda cara pandang tentang KUR sebagai kredit yang sumber dananya
sepenuhnya berasal dari pemerintah sehingga banyak debitur tidak memenuhi
kewajiban membayar angsuran sampai dengan lunas dan akhirnya menimbulkan
kredit macet yang cukup tinggi. Hal ini karena adanya persepsi di masyarakat bahwa
KUR merupakan kredit yang dijamin sepenuhnya oleh pemerintah, bahkan
masyarakat yang berpendapat bahwa KUR merupakan bantuan dari pemerintah.
Penyaluran KUR juga terkendala karena keterbatasan jumlah dan sebaran bank
untuk menjangkau lokasi calon debitur yang relatif jauh sehingga penyebaran KUR
masih belum merata dan terfokus di kota besar. Berbagai permasalahan macam ini
belum mendapat respon serius dari pemerintah dengan memberikan penjelasan
sejelas-jelasnya tentang KUR agar niat dan tujuan awal menggulirkan KUR tidak
salah arah. ***
Penulis
adalah
Direktur
Eksekutif
The
Golden
Institute,
alumnus Chulalongkorn University Thailand.
Download