3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kota Pangkalpinang Kota Pangkalpinang merupakan daerah otonomi yang letaknya di bagian timur Pulau Bangka. Secara astronomi, daerah ini berada pada garis 106° 4´ sampai dengan 106° 7´ Bujur Timur dan garis 2° 4´ sampai dengan 2° 10´ Lintang Selatan dengan luas daerah seluruhnya 118.40 km² berdasarkan PP No.79 Tahun 2007. Berdasarkan luas wilayah Kota Pangkalpinang dapat dirinci penggunaan tanahnya. Lahan kering (pekarangan, kebun, ladang, padang rumput, hutan, lahan sementara yang tidak diusahakan) luasnya mencapai 9.746 hektar, selanjutnya lahan lainnya (rawa-rawa tidak ditanami, tambak dan kolam) luasnya mencapai 2.049 hektar. Banyaknya lahan yang sementara tidak diusahakan, serta ditunjang dengan kandungan timah di dalamnya membuat masyarakat membuka lahan tambang secara ilegal. Dampak kegiatan penambangan timah ini adalah terbentuknya lobang bekas penambangan timah (kolong). Tambang inkonvensional (TI) sudah sangat dikenal di kalangan rakyat Kepulauan Bangka Belitung yang memanfaatkan peralatan sederhana. Skala penambangan yang lebih kecil biasanya disebut tambang rakyat (TR). TI merupakan usaha yang dimodali dan dikerjakan oleh rakyat. Secara legal formal TI adalah kegiatan penambangan yang melanggar hukum karena umumnya tidak memiliki izin penambangan. Kerusakan yang ditimbulkan TI tidak hanya terjadi di lokasi penambangan wilayah daratan, namun juga terjadi di pantai dan muara sungai yang membawa air dan lumpur dari lokasi TI. Banyak kolong yang belum dimanfaatkan secara optimal, dan banyak ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan liar, antara lain ilalang, sungkai (seperti cendana) dan semak belukar. Kolong yang keberadaannya berdekatan dengan pemukiman penduduk dan berair jernih sebesar 15.9% atau sebanyak 141 kolong telah dimanfaatkan sebagai sumber air, mandi dan mencuci. Sebesar 4.28% atau sebanyak 38 kolong yang dimanfaatkan untuk usaha perikanan, pertanian, sumber air dan rekreasi. Selain itu kolong bisa menjadi tempat perkembangbiakan larva nyamuk Anopheles. Nyamuk An. pilipinensis, An. peditaeniatus, An. nigerrimus dan An. barbirostris terdapat pada habitat bekas 4 galian timah Kolong Ijo di Kota Pangkalpinang (Qomariah 2004). Saat ini kolong tersebut sudah ditimbun dan hanya sedikit tersisa serta telah terkena limbah dari masyarakat sehingga tidak ditemukan lagi nyamuk Anopheles. 2.2. Kasus Malaria Malaria adalah penyakit menular yang menyerang dalam bentuk infeksi akut maupun kronis. Penyakit ini disebabkan oleh protozoa genus plasmodium bentuk aseksual, yang masuk ke dalam tubuh manusia dan ditularkan oleh nyamuk Anopheles betina. Istilah malaria diambil dari dua kata bahasa italia yaitu mal yang artinya buruk dan area yang berarti udara atau udara buruk karena dahulu banyak terdapat di daerah rawa–rawa yang mengeluarkan bau busuk. Penyakit ini juga mempunyai nama lain seperti demam roma, demam rawa, demam tropik, demam pantai, demam charges, demam kura, dan paludisme (Prabowo 2004). Pada manusia terdapat 4 spesies yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale. Penularan pada manusia melalui vektor nyamuk Anopheles spp., melalui transfusi darah dan jarum suntik yang tercemar serta dari ibu hamil kepada janinnya (Harijanto 2000). 2.3. Vektor Malaria Nyamuk di seluruh dunia diketahui sekitar 3453 spesies, 400 spesies diantara jumlah itu adalah Anopheles (Gambar 1). Sebanyak 80 spesies Anopheles ada di Indonesia, dan 18 spesies dipastikan sebagai vektor malaria yang tersebar di banyak pulau. Di antara 18 spesies itu, terdapat 7 spesies yang diketahui paling efisien sebagai vektor malaria yaitu: An. sundaicus, An. aconitus, An. barbirostris, An. sinensis, An. farauti, An. subpictus, dan An. balabacensis (O’Connor dan Soepanto 1981). Gambar 1 Nyamuk Anopheles (Sumber : CDC 2010) 5 Nyamuk dapat menjadi vektor jika memenuhi beberapa syarat tertentu, antara lain; umur nyamuk, kepadatan, ada kontak dengan manusia, terdapat parasit, dan sumber penularan. Nyamuk yang menjadi vektor di Jawa dan Bali antara lain An. sundaicus, An. aconitus, An. balabancencis, dan An. maculatus. An. sundaicus dan An. subpictus banyak terdapat di daerah pantai, sedangkan An. balabancencis dan An. maculatus ditemukan di daerah pegunungan. Tempat perindukan An. aconitus, An. barbirostris, An. tessellatus, An. nigerimus, dan An. sinensis di Jawa dan Sumatera adalah sawah, terkadang dapat ditemukan juga di genangan-genangan air yang ada disekitar persawahan (Dinkes 2007). An. balabancencis dan An. letifer di Kalimantan dinyatakan sebagai vektor malaria. An. farauti, An. punctulatus, An. bancrofti, An. karwari, dan An. koliensis merupakan nyamuk yang terdapat di Irian Jaya. Spesies nyamuk Anopheles yang banyak ditemukan di NTT adalah An. sundaicus, An. subpictus, dan An. barbirostris. Adapun di Sumatera spesies nyamuk Anopheles yang sudah dinyatakan sebagai vektor adalah An. sundaicus, An. maculatus, An. nigerimus, An. sinensis, An. tessellatus, dan An. letifer (Dinkes 2007). Keanekaragaman spesies Anopheles di Asia Tenggara dalam lingkungan domestik sangat tinggi. Spesies nyamuk Anopheles yang dianggap sebagai vektor utama malaria berbeda setiap daerah. Namun demikian status vektor sangat bervariasi. Pada daerah dengan kasus malaria rendah sering sekali sulit untuk mengidentifikasi spesies Anopheles sebagai vektor. Oleh sebab itu perilaku spesies Anopheles vektor yang berbeda-beda sangat menentukan status mereka. Hal ini menjadi bagian penting untuk mengevaluasi kelayakan vektor kontrol (Trung 2005; CDC 2008). 2.4. Bioekologi Nyamuk Anopheles 2.4.1. Jenis Karakteristik Habitat Larva nyamuk Anopheles spp. ditemukan pada berbagai habitat, tetapi setiap habitat memliki sifat umum dalam penyediaan makanan, terdiri dari mikroorganisme, bahan organik, dan biofilm. Sumber makanan pada setiap habitat berbeda pada lokasi yang berbeda. Permukaan air kaya akan bahan organik dan mikoorganisme yang digunakan larva nyamuk Anopheles mempertahankan hidupnya (Clement 2000). spp. untuk 6 Suhu air berpengaruh terhadap perkembangbiakan larva. Suhu mempengaruhi laju pertumbuhan serta perkembangan larva nyamuk (Clement 2000). Selain itu suhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam tubuh nyamuk. Suhu yang optimum berkisar 20-30 °C. Semakin tinggi suhu menyebabkan masa inkubasi ekstrinsik (sporogoni) semakin pendek. Sebaliknya semakin rendah suhu maka masa inkubasi ekstrinsik semakin panjang. Larva An. farauti di Desa Doro, Halmahera Selatan ditemukan pada habitat dengan suhu 20-35 °C. Adapun larva An. vagus dan An. punctulatus pada suhu 25-28 °C, An. kochi 26-28 °C, dan An. minimus pada suhu 25-26 °C (Mulyadi 2010). Derajat keasaman (pH) mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan organisme yang berkembangbiak di akuatik. Derajat keasaman air tergantung kepada temperatur air, oksigen terlarut, dan adanya berbagai anion dan kation serta jenis stadium organisme. An. sundaicus dan An. peditaniatus dapat hidup pada air dengan pH 6.7 di daerah Pangkalbalam, Kota Pangkalpinang (Sunarsih 2009). Hasil penelitian Mulyadi (2010) di Desa Doro, Halmahera Selatan kisaran air yang paling disukai oleh semua jenis Anopheles adalah pH 6.8-7.1. Beberapa nyamuk Anopheles dapat hidup di air yang mengandung garam. Banyak spesies Anopheles hidup di air payau atau air dengan kadar garam tinggi (air asin) (Sigit dan Hadi 2006). Kadar garam kolam dipengaruhi oleh tumbuhan maupun tanah yang menahan resapan air sungai sebelum memasuki kolam (Sembiring 2005). An. sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya 12-18‰ dan tidak dapat berkembang pada kadar garam 40‰ atau lebih. Namun di Sumatera Utara ditemukan pula tempat perindukan An. sundaicus pada air tawar (Harijanto 2000). Begitu juga An. punctulatus, An. vagus, An. kochi, dan An. minimus di Desa Doro, Halmahera Selatan yang berkembangbiak pada habitat air tawar dengan salinitas 0‰. Adapun An. farauti ditemukan pada air tawar maupun air payau dengan dengan salinitas antara 0-7‰ (Mulyadi 2010). Pada dasarnya zat organik merupakan makanan bagi mikroorganisme yang ada di dalam air dan mendukung perkembangbiakannya sehingga menambah kekeruhan air (Sutriati dan Brahmana 2007). Larva An. sundaicus di daerah pasang surut Asahan Sumatera Utara lebih banyak ditemukan pada habitat air keruh (Sembiring 2005). Selain itu beberapa spesies dari An. farauti, An. 7 punctulatus, An. vagus, dan An. kochi juga terdapat pada air keruh (Mulyadi 2010). Larva nyamuk ditemukan sebagian besar di tempat yang airnya dangkal. Perairan yang dangkal akan menyebabkan besarnya produktivitas makhluk air dan tumbuhan air, termasuk larva nyamuk. Kedalaman habitat An. punctulatus dan An. minimus antara 2-20 cm, An. vagus 5-80 cm, An. kochi antara 5-10 cm, sedangkan An. farauti pada kedalaman 5-120 m. Hasil penelitian Mulyadi (2010) juga menyebutkan larva Anopheles ditemukan pada tipe perairan dangkal. Larva Anopheles spp. memanfaatkan tanaman di atas permukaan air sebagai tempat meletakkan telur dan berlindung dari predator (Dinkes 2007). Ketersediaan makanan pada habitat larva sangat dipengaruhi vegetasi di tempat perindukan. Sumber makanan bagi larva adalah berbagai macam organisme bersel satu di perairan, terutama plankton. Makanan larva nyamuk juga berupa ganggang bersel satu, Flagellata, Cilliata, berbagai hewan mengapung, dan tumbuhan. Adanya tanaman yang membusuk mengakibatkan berkumpulnya mikroflora dan mikrofauna tersebut sebagai makanan larva Anopheles (Rao 1981). Habitat larva yang ada di Desa Doro, Halmahera Selatan terdapat tanaman air ganggang dan bakau (Mulyadi 2010). Habitat perairan larva Anopheles di Desa Way Muli, Kecamatan Rajabasa Lampung Selatan terdapat tumbuhan berkayu (Setyaningrum et al. 2007). Predator juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan larva di suatu tempat. Pada habitat larva di Desa Doro, Halmahera Selatan ditemukan predator seperti udang, larva capung, ikan dan berudu (Mulyadi 2010). 2.4.2. Siklus Hidup Nyamuk Anopheles Siklus hidup nyamuk pada umumnya mengalami metamorfosis sempurna (holometabola) yaitu stadium telur, larva, pupa dan dewasa serta menyelesaikan daur hidupnya selama 7-14 hari. Tahapan ini dibagi ke dalam dua perbedaan habitatnya yaitu lingkungan air (akuatik) dan di daratan (terestrial) (Foster dan Walker 2002). Nyamuk dewasa muncul dari lingkungan akuatik ke lingkungan teresterial setelah menyelesaikan daur hidupnya secara komplit di lingkungan akuatik. Oleh sebab itu, keberadaan air sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup nyamuk, terutama masa jentik (larva) dan pupa (Gambar 2). 8 Telur nyamuk Anopheles betina dewasa meletakkan 50-200 telur satu persatu di dalam air atau bergerombolan tetapi saling melepas. Telur Anopheles mempunyai alat pengapung dan untuk menjadi larva dibutuhkan waktu selama 2-3 hari. Pertumbuhan larva berlangsung sekitar 7-20 hari tergantung suhu. Selain itu pertumbuhan larva juga dipengaruhi nutrien dan keberadaan predator (Service dan Thowson 2002). Larva sering ditemukan pada kumpulan air yang dangkal. Pada umumnya Anopheles menghindari air yang tercemar polusi, hal ini berhubungan langsung dengan kandungan oksigen dalam air. Selain itu, terdapat hubungan antara kepadatan larva dengan predator, seperti ikan pemakan larva dan lain-lain. Larva Anopheles ada yang senang sinar matahari (heliofilik), tidak senang matahari (heliofobik) dan suka hidup di habitat yang terlindung dari cahaya matahari (shaded). Jenis air pun memiliki peranan yang cukup penting. Larva Anopheles lebih menyukai air yang mengalir tenang ataupun tergenang. Peningkatan suhu akan mempengaruhi tingkat perkembangan dan distribusi larva. Larva Anopheles berada dipermukaan air supaya bisa bernafas melalui spirakel. Kepompong (pupa) merupakan stadium terakhir di lingkungan akuatik dan tidak memerlukan makanan. Pada stadium ini terjadi proses pembentukan alatalat tubuh nyamuk seperti alat kelamin, sayap dan kaki. Lama stadium pupa pada nyamuk jantan antara 1-2 jam lebih pendek dari pupa nyamuk betina, karenanya nyamuk jantan akan muncul kira-kira satu hari lebih awal daripada nyamuk betina yang berasal dari satu kelompok telur. Suhu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ini berkisar 25–27 °C. Pada stadium pupa ini memakan waktu lebih kurang 2-4 hari (O’Connor dan Soepanto 1981 ) . Tempat perindukan vektor merupakan tempat yang dipergunakan oleh nyamuk Anopheles untuk berkembang biak untuk memulai proses siklus hidupnya hingga menjadi nyamuk (Foster dan Walker 2002). Jenis air yang dimanfaatkan untuk perkembangbiakan Anopheles berbeda-beda. Beberapa habitat larva dapat hidup di kolam kecil, kolam besar dan genangan air, yang bersifat sementara atau di rawa-rawa yang permanen. Walaupun sebagian besar Anopheles hidup di habitat perairan tawar, tetapi ada beberapa spesies Anopheles berkembang biak di air asin. 9 Gambar 2 Siklus hidup nyamuk Anopheles (Sumber :WHO 1997) Aktifitas manusia banyak menyediakan terjadinya tempat perindukan yang cocok untuk pertumbuhan vektor malaria, seperti genangan air, selokan, cekungan-cekungan yang terisi air hujan, sawah dengan aliran air irigasi. Jenis perindukan ini merupakan tempat koloni vektor malaria seperti An. gambie dan An. arabiens di Afrika, An. culicifacies dan An. subpictus di India, An. sinensis di Cina, serta An. aconitus di banyak negara Asia Tenggara ( Services dan Towson 2002). Menurut Takken dan Knols (2008), tempat perindukan vektor dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe permanen (rawa-rawa, sawah non teknis dengan aliran air gunung, mata air, kolam) dan tipe temporer (muara sungai tertutup pasir di pantai, genangan air payau di pantai, genangan air di dasar sungai waktu musim kemarau, genangan air hujan dan sawah tadah hujan rawa-rawa). Faktor faktor yang berhubungan dengan perindukan larva Anopheles antara lain vegetasi (tumbuh-tumbuhan).