1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Mentawai adalah kabupaten termuda di Propinsi Sumatera Barat yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No.49 Tahun 1999. Kepulauan ini terdiri dari empat pulau besar (P.Siberut, P.Sipora, P.Pagai Utara dan P.Pagai Selatan) dan 319 pulau kecil Luas perairan laut Mentawai lebih kurang 78.018,43 km2 dengan panjang garis pantai 2.054, dengan potensi sumberdaya ikan yang cukup banyak dan mempunyai prospek baik untuk kegiatan perikanan tangkap. Komoditi perikanan pelagis bernilai ekonomis penting dan hasilnya paling besar adalah tuna, cakalang dan tongkol (DKP Kabupaten Mentawai, 2003). Sesuai dengan laporan statistik perikanan Sumatera Barat 2001, dari total produksi penangkapan ikan di laut yang mencapai 95.580,30 ton, produksi ikan cakalang sekitar 10,63%. Alat tangkap utama yang digunakan oleh nelayan Mentawai untuk menangkap ikan cakalang adalah purse seine. Kurangnya informasi mengenai musim dan daerah penangkapan ikan merupakan salah satu kendala yang dihadapi nelayan di perairan Mentawai, Sumatera Barat. Pada umumnya nelayan masih menggunakan cara-cara tradisional dalam menentukan daerah penangkapan seperti melihat burung yang menukik di atas permukaan laut, adanya buih di permukaan laut dan perubahan warna pada perairan. Hal ini menyebabkan tidak efisiensinya operasi penangkapan karena banyak waktu, tenaga dan biaya terbuang percuma untuk mencari gerombolan ikan. Kondisi perairan sangat menentukan kelimpahan dan penyebaran organisme di dalamnya. Akan tetapi setiap jenis organisme tentunya memiliki kebutuhan dan kesukaan hidup yang berbeda-beda terhadap karakteristik lingkungannya. Suhu permukaan laut dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk menentukan keberadaan ikan cakalang. Hal ini disebabkan karena setiap spesies ikan, termasuk ikan cakalang memiliki kisaran suhu tertentu untuk makan, memijah dan aktifitas lainnya. Ikan juga memilih suhu tertentu untuk hidup dan perubahan suhu dapat berpengaruh terhadap ikan sebagai rangsangan syaraf, perubahan metabolisme dan aktifitas lainnya (Hela dan Laevastu, 1970). Suatu perairan dapat dikatakan suatu daerah penangkapan ikan apabila ada indikator-indikator yang dapat dideteksi pada perairan tersebut. Semakin banyak indikator yang dapat dideteksi maka semakin tepat daerah penangkapan ikan yang kita harapkan. Semakin berkembangnya teknologi penangkapan ikan, maka pengamatan ataupun pengukuran terhadap indikator-indikator tersebut diharapkan didapat suatu nilai yang lebih pasti misalnya suhu air laut, kesuburan perairan (jumlah kandungan klorofil-a). Suhu permukaan laut (SPL) merupakan indikasi umum yang mudah diteliti dengan teknik penginderaan jauh yang dapat digunakan untuk mengetahui pola distribusi SPL dan interaksinya dengan faktor lain, sehingga fenomena upwelling ataupun front yang merupakan daerah potensi penangkapan ikan dapat diketahui. Konsentrasi klorofil-a ataupun fitoplankton akan sangat menentukan besarnya produktifitas primer perairan yang selanjutnya akan berkaitan dengan produktifitas hasil tangkapan. Perairan yang subur mengindikasikan banyaknya fitoplankton pada perairan tersebut dan melalui rantai makanan yang lebih tinggi dapat diketahui keberadaan ikan kecil yang menjadi makanan ikan-ikan besar. Kesuburan perairan dapat diketahui dengan mengukur produktifitas primer dengan sensor optik karena sifat pigmen klorofil-a yang dapat memberikan warna pada laut. Parameter kesuburan perairan dan sebaran suhu permukaan laut (SPL) sebagaimana diuraikan di atas merupakan bahan utama untuk menganalisis perairan Mentawai sebagai suatu daerah penangkapan ikan. Upaya ini dapat berperan untuk meningkatkan efisiensi operasi penangkapan ikan oleh nelayan, apalagi mengingat harga BBM yang cukup tinggi dewasa ini. 1.2 Perumusan Masalah Salah satu kendala besar yang dihadapi nelayan di perairan Mentawai adalah masih minimnya pengetahuan nelayan mengenai daerah penangkapan ikan yang potensial dan terbatasnya peralatan untuk menunjukkan posisi ikan pada perairan. Pencarian daerah penangkapan ikan dilakukan nelayan hanya berdasarkan faktor pengalaman dan kebiasaan, dengan tingkat ketidakpastian hasil tangkapan yang cukup tinggi. Sebagai konsekuensi logisnya maka waktu, tenaga dan biaya operasi penangkapan cukup tinggi. Parameter oseanografi berpengaruh terhadap keberadaan ikan-ikan di laut, termasuk cakalang, karena setiap ikan menyukai kondisi lingkungan tertentu. Kondisi parameter tersebut dengan sendirinya juga berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan cakalang. Dalam rangka efisiensi operasi penangkapan ikan melalui penyediaan informasi daerah penangkapan ikan, maka variasi suhu permukaan laut dan kandungan klorofil-a yang mempengaruhi keberadaan upwelling, thermal front dan komposisi hasil tangkapan perlu dievaluasi untuk selanjutnya digunakan sebagai indikator daerah penangkapan yang potensial. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : (1) Menentukan sebaran SPL dan klorofil-a di perairan Mentawai. (2) Memprediksi keberadaan upwelling dan thermal front. (3) Mengevaluasi komposisi ukuran (size) individu cakalang yang tertangkap. (4) Memprediksi daerah penangkapan ikan cakalang yang potensial di perairan Mentawai melalui pendekatan SPL optimum, kandungan klorofil-a, keberadaan upwelling dan thermal front serta hasil tangkapan. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai : (1) Sumber informasi bagi pihak yang membutuhkan seperti nelayan dalam meningkatkan efisiensi daerah penangkapan ikan. (2) Informasi kondisi oseanografi hasil deteksi satelit yang meliputi suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a serta kaitannya dengan hasil tangkapan ikan cakalang di perairan Mentawai, Sumatera Barat. (3) Sebagai masukan dalam penelitian lanjutan, khususnya untuk menduga faktorfaktor lain yang berpengaruh terhadap keberadaan ikan. (4) Informasi tentang sebaran daerah penangkapan ikan dapat digunakan sebagai masukan dalam penyusunan kebijakan pemanfaatan perikanan cakalang. 1.5 Hipotesis Penelitian Sebaran suhu permukaan laut (SPL) dan klorofol-a di sekitar lokasi penelitian mempunyai korelasi yang erat terhadap keberadaan ikan cakalang dan dapat dijadikan acuan untuk memprediksi daerah penangkapan potensial cakalang di perairan Mentawai, Sumatera Barat. 1.6 Kerangka Pemikiran Suhu merupakan faktor penting yang mempengaruhi ikan cakalang dan penyebarannya. Suhu ini selain mudah diukur, juga merupakan indikator terjadinya perubahan-perubahan faktor lingkungan lainnya. Perubahan suhu jelas pengaruhnya terhadap keberadaan cakalang di daerah tropis. Hal ini terjadi karena keberadaan suhu tidak banyak berbeda sepanjang tahun sehingga bila terjadi sedikit saja perubahan suhu akan menyebabkan perubahan arus, upwelling serta faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap keberadaan cakalang, hal ini akan berpengaruh terhadap penangkapan cakalang. Keberadaan ikan mangsa akan menarik kehadiran cakalang dalam suatu perairan. Bahkan dalam skala regional, distribusi cakalang berkaitan dengan distribusi ikan mangsa (Bertrand & Jose, 2000 diacu dalam Bertrand et al, 2002). Sebagian besar ikan mangsa merupakan herbivor atau karnivor tingkat pertama yang memakan ikan-ikan kecil atau plankton. Fitoplankton sebagai produsen primer dalam lingkungan pelagis merupakan indikator kesuburan dalam suatu perairan. Secara rinci kerangka pikir penelitian disajikan pada Gambar 1. Faktor-faktor teknis produksi Dinamika perairan Dinamika hasil tangkapan Parameter oseanografi (SPL, Clo-a) Thermal Front Upwelling Jumlah tangkapan (kg) Kesuburan Perairan Evaluasi DPI Pemetaan DPI Optimalisasi DPI Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian. Ukuran ikan (cm/ekor)