186 VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1. KESIMPULAN Penelitian ini menggunakan tiga dimensi yang saling terkait yakni ekonomi, geografi, dan politik kebijakan. Dengan demikian tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa disertasi ini mempelopori studi tentang konsumsi listrik ditinjau dari dimensi ekonomi, spasial, dan politik kebijakan tarif dan subsidi listrik. Pendekatan multidimensi ini memberikan kontribusi pada metodologi penelitian agar analisis dapat dilakukan dengan perspektif baru secara komprehensif tentang fenomena konsumsi listrik di setiap provinsi Indonesia yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda (lihat kembali Gambar 1.6). Aspek spasial memberikan orientasi yang lebih jelas terhadap analisis ekonomi dan politik kebijakan tarif listrik dalam konteks kewilayahan sehingga arah implementasi kebijakannya agar lebih tepat sasaran. Dari dimensi ekonomi, studi ini telah membuktikan bagaimana hubungan kausal antara konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi, baik pada tingkat nasional maupun tingkat provinsi, dengan menggunakan model uji kausalitas Granger. Bab 4 telah menguji secara empiris bagaimana pola hubungan (satu arah, dua arah, atau tidak ada hubungan) antara konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi di setiap koridor. Pembuktian kembali atas hubungan kausal antara konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia perlu dilakukan karena adanya keterbatasan dan perbedaan hasil penelitian mengenai arah hubungan kausal antara kedua variabel 187 tersebut di Indonesia pada penelitian-penelitian sebelumnya. Salah satu masalah serius yang dihadapi Indonesia adalah lebih rendahnya laju pertumbuhan kapasitas suplai daripada laju pertumbuhan permintaan listrik. Kondisi ini telah mengakibatkan terjadinya kekurangan pasokan listrik dan rendahnya rasio elektrifikasi. Temuan utama studi ini telah membuka wacana baru tentang konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang memasukkan faktor geografi ke dalam analisis ekonomi terhadap hubungan kausalitas dalam periode 1984-2010. Dengan menggunakan uji kausalitas Granger dan Error Correction Model (ECM), yang diaplikasikan pada data kuantitatif dalam periode 1984-2010, Bab 4 membuktikan bahwa: (1) adanya hubungan jangka pendek satu arah yang bergerak dari pertumbuhan konsumsi listrik per kapita ke pertumbuhan PDB per kapita untuk wilayah Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah; (2) uji kausalitas pada koridor Sumatera menunjukkan adanya hubungan jangka pendek satu arah yang bergerak dari pertumbuhan konsumsi listrik ke pertumbuhan ekonomi, namun hasil uji kausalitas pada Kalimantan menunjukkan adanya hubungan jangka pendek satu arah yang bergerak dengan arah sebaliknya; (3) uji kausalitas untuk itu koridor Jawa, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Papua-Kepulauan Maluku, tidak menunjukkan adanya hubungan antara pertumbuhan konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi di masingmasing koridor. Berdasarkan analisis kausalitas, studi ini menemukan adanya hubungan jangka pendek satu arah dari pertumbuhan konsumsi listrik ke pertumbuhan ekonomi di Indonesia dan koridor Sumatra selama 1984-2010. Dalam pengertian Granger Cause, 188 temuan ini menunjukkan bahwa pertumbuhan konsumsi listrik di Indonesia secara keseluruhan dan koridor ekonomi Sumatra mempengaruhi pertumbuhan pendapatan per kapita. Temuan ini memberikan kontribusi teoritik yang menentang teori-teori “arus utama” seperti teori pendapatan absolut Keynes (1936), teori pendapatan permanen Friedman (1957), dan teori life-cycle Modigliani (1949). Dari dimensi spasial, studi ini telah melengkapi jawaban bagi masalah ekonomi yang sebelumnya hanya mampu menjawab barang apa yang akan diproduksi (what), bagaimana memproduksinya (how), dan untuk siapa barang tersebut dibuat (for whom) dengan mengabaikan “mengapa” dan “di mana” aktivitas ekonomi cenderung memilih berlokasi. Bab 5 telah membuktikan bagaimana tipologi provinsi di Indonesia berdasarkan konsumsi listrik dan PDRB per kapita mampu dijelaskan oleh model diskriminan. Sebelum tahun 1990an,paradigma ekonomi cenderung mengabaikan geografi ekonomi yang sesungguhnya mempelajari di mana aktivitas ekonomi berlangsung dan mengapa (Kuncoro, 2013b, 2012b). Aspek-aspek spasial masih belum menjadi perhatian bagi sebagian besar pakar ekonomi karena mereka kurang mampu memodelkan berbagai macam aspek-aspek yang berkaitan dengan lokasi-lokasi industri (Krugman, 1995: 31-7). Studi ini dimaksudkan untuk memberikan kontribusi empiris pada dunia penelitian yang sedang berkembang untuk mempelajari literatur tentang konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi regional dalam konteks otonomi daerah di Indonesia. Dengan menggunakan analisis diskriminan, Bab 5 menemukan ada 4 kelompok wilayah berdasarkan konsumsi listrik dan PDRB per kapita, yang mampu dijelaskan dengan menggunakan 4 189 prediktor, yaitu: jumlah penduduk, tingkat industrialisasi, pangsa sektor listrik, dan tingkat kemiskinan. Menariknya, prediktor terbaik ternyata bervariasi antarwilayah dan antarkoridor ekonomi. Hasil analisis diskriminan menemukan: pertama, koefisien jumlah penduduk yang positif mendukung studi Krugman (1991: 23-4), bahwa semakin banyak penduduk di suatu wilayah akan cenderung menarik industri manufaktur ke wilayah tersebut, yang pada gilirannya mendorong peningkatan konsumsi listrik dan PDRB per kapita. Kedua, koefisien pangsa sektor listrik terhadap PDRB yang positif menunjukkan semakin tinggi kontribusi sektor listrik di suatu wilayah maka akan ncenderung meningkatkan konsumsi listrik dan PDRB per kapita. Temuan ini sejalan dengan beberapa studi empiris sebelumnya (Altinay and Karagol, 2005; Shiu and Lam, 2004), yang menemukan bahwa kenaikan konsumsi listrik cenderung mendorong pertumbuhan ekonomi. Ketiga, temuan ini membuktikan pentingnya tingkat industrialisasi di suatu wilayah. Temuan ini berarti mendukung studi Kuncoro (2013) di mana kepadatan industri adalah prediktor utama yang menentukan karakteristik konsumsi listrik. Ini terbukti dari nilai koefisien tingkat industrialisasi yang positif. Keempat, studi ini menemukan bahwa wilayah yang tertinggal umumnya memiliki tingkat kemiskinan yang relatif lebih tinggi daripada wilayah yang sudah maju. Ini terbukti dari nilai koefisien tingkat kemiskinan yang negatif. Dari dimensi politik kebijakan, studi ini telah membuktikan sejauh mana kebijakan tarif listrik mempengaruhi konsumsi listrik dan pertumbuhan ekonomi di setiap provinsi. Bab 6 telah menelusuri kebijakan kelistrikan dari era Orde Baru 190 hingga era SBY, hubungan kebijakan tarif dan subsidi listrik, peta stakeholders kelistrikan nasional, dan urgensi diterapkannya regionalisasi tarif listrik. Bab 6 membuktikan bahwa: Pertama, secara historis, kebijakan intensifikasi listrik sejak era Soeharto telah meningkatkan kapasitas penyediaan tenaga listrik dan rasio elektrifikasi secara signifikan. Namun implementasi kebijakan diversifikasi dan konservasi belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Hal ini terlihat dari masih lemahnya pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan. Pada akhir era Orde Baru (1998), pangsa konsumsi listrik sektor rumah tangga menurun. Sebaliknya pangsa sektor industri naik cukup signifikan. Sektor industri menjadi lebih dominan dari sektor rumah tangga. Perkembangan ini menunjukkan bahwa peningkatan pangsa konsumsi listrik sektor industri selama 1969-1998 telah mendorong terjadinya peningkatan industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Era reformasi dipicu oleh terjadinya krisis 1998, membawa perubahan penting: pertama, konsumsi listrik sektor industri mengalami penurunan yang cukup signifikan, bahkan sejak tahun 2006 pangsa konsumsi listrik sektor industri lebih rendah daripada sektor rumah tangga. Hal ini memperlihatkan bahwa krisis ekonomi 1998 berimplikasi terhadap menurunnya produksi dan konsumsi listrik nasional yang berdampak negatif terhadap sektor industri dan pertumbuhan ekonomi. Kedua, kebijakan tarif listrik ditujukan untuk kepentingan sosial berkaitan dengan konsumsi listrik sektor rumah tangga dan publik, khususnya untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan institusi sosial, sedangkan untuk bisnis ditujukan guna mendukung produksi nasional. Analisis di Bab 6 menunjukkan bahwa 191 selain penentuan Tarif Dasar Listrik (TDL) harus melibatkan beberapa institusi terkait, TDL ditentukan berdasarkan 5 jenis biaya dan faktor penentu lainnya, yaitu: (1) subsidi listrik; (2) harga minyak dunia; (3) kurs rupiah terhadap dolar AS; (4) growth fungsi TDL. Ketiga, adanya hubungan antara permintaan dan pasokan listrik, yang berkaitan dengan kebijakan penentuan TDL dan para pemangku kepentingan (stakeholders) yang terlibat, yang setidaknya meliputi pemerintah pusat (terutama meliputi Kementerian ESDM, Keuangan, Kemeneg BUMN, dan Bappenas), pemerintah daerah, DPR, dan PLN. Salah satu faktor dominan yang selama ini menjadi pertimbangan dalam menetapkan TDL, yaitu: proses politik dan pemangku kepentingan (stakeholders). Penetapan TDL yang diberlakukan secara seragam cenderung berorientasi pada kepentingan politik, namun dari sisi ekonomi tidak ideal karena kondisi perekonomian antarpropinsi ataupun antarkoridor ekonomi berbedabeda. Keempat, sejak tahun 2000 Indonesia mulai menerapkan subsidi listrik karena harga minyak dunia dan kuantitas bahan bakar solar yang dibutuhkan untuk produksi listrik semakin meningkat. Melonjaknya subsidi listrik terjadi karena upaya pemerintah untuk meningkatkan rasio elektrifikasi yang pada umumnya berada di daerah tertinggal dengan infrastruktur terbatas sehingga lebih banyak menggunakan bahan bakar solar yang harus diimpor dari luar negeri. Subsidi listrik menempati urutan kedua setelah subsidi BBM. Besarnya subsidi ditentukan pemerintah setiap tahun dan didasarkan pada perbedaan antara rata-rata biaya produksi listrik yang 192 diajukan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan rata-rata tarif listrik yang ditetapkan oleh pemerintah. Rata-rata biaya produksi listrik didasarkan pada perkiraan biaya pasokan energi yang dibutuhkan dan biaya operasional pembangkitan listrik, transmisi, distribusi, dan biaya pemeliharaan, serta laba PLN. 7.2. IMPLIKASI KEBIJAKAN Temuan pada Bab 4 dan Bab 5 membuktikan bahwa terdapat perbedaan tipologi antarwilayah maupun antarkoridor ekonomi yang dipengaruhi oleh faktorfaktor dominan yang berbeda. Implikasinya, mungkinkah dilakukan regionalisasi tarif listrik yang memasukkan variasi dan karakteristik regional, khususnya berdasarkan tingkat industrialisasi, peranan sektor listrik-gas-air bersih terhadap PDRB, jumlah penduduk, dan tingkat kemiskinan. Peta kondisi perekonomian masing-masing koridor ekonomi memiliki perbedaan yang cukup tajam mulai dari jumlah penduduk, tingkat pertumbuhan ekonomi, kontribusi sektor listrik, tingkat kemiskinan, tingkat industrialisasi, dan tingkat konsumsi listrik. Namun terhadap semua koridor tersebut diterapkan tarif listrik yang seragam (universal), tanpa memperhatikan perbedaan karakteristik wilayah. Selama ini TDL dikelompokkan menjadi golongan rumah tangga, industri, jasa, dan publik, dan bukan berdasarkan wilayah atau provinsi. Pertama, penerima subsidi listrik terbesar adalah golongan rumah tangga 1, dengan pemakaian kurang dari 450VA, antara 450-900VA, dan industri lebih dari 200kVA. Kedua, pelanggan 193 terbesar listrik di Indonesia didominasi oleh sektor rumah tangga dan industri, diikuti oleh sektor bisnis, pemerintah, dan lainnya. Temuan pada Bab 5 membuktikan bahwa Indonesia membutuhkan kebijakan kelistrikan dan pembangunan wilayah yang memasukkan variasi jumlah penduduk, industrialisasi, kontribusi sektor kelistrikan, dan kemiskinan. Di sinilah letak pentingnya melakukan reformasi pada kebijakan penentuan tarif dan subsidi listrik berdasarkan wilayah. Ada beberapa argumentasi penting yang melandasi urgensi dilakukannya reformasi ini, yaitu: (1) dari sisi konsentrasi geografis penduduk dan industri manufaktur, kebijakan kelistrikan cenderung bias dan terkonsentrasi di Pulau Jawa. Analisis dalam Bab 6 membuktikan adanya hubungan positif antara jumlah penduduk, konsentrasi industri, dan penjualan listrik PLN per kelompok pelanggan yang terkonsentrasi secara geografis di Pulau Jawa; (2) desain subsidi listrik perlu memperhatikan kontribusi sektor kelistrikan dan kemiskinan. Analisis dalam Bab 6 menunjukkan bahwa mayoritas wilayah dengan rasio elektrifikasi yang rendah di bawah rata-rata nasional berada di luar Jawa, khususnya di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Ternyata provinsi-provinsi di KTI juga memiliki tingkat kemiskinan yang relatif tinggi. Mayoritas penduduk miskin Indonesia berada di daerah perdesaan dan provinsi di KTI. 194 DIMENSI SPASIAL .Populasi .Industrialisasi .Pangsa sektor kelistrikan .Tingkat kemiskinan HUBUNGAN KAUSAL POLITIK KEBIJAKAN .Konsumsi listrik regional .Koherensi Sektoral Regional .PDRB per kapita .Pusat-Provinsi-Kota/Kabupaten MP3EI MP3EI + . Potensi Daerah . Konektivitas . Centre of Excellence Inclusive Development . Development for all . Seluruh wilayah Gambar 7.1 Implikasi Kebijakan Terhadap MP3EI Dalam konteks inilah, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia (MP3EI) 2011-2025, yang diluncurkan Presiden SBY, pada 27 Mei 2011 perlu memasukkan dimensi spasial dan kelistrikan secara eksplisit dan lebih serius dalam implementasinya. MP3EI intinya mencakup tiga strategi utama: (1) pengembangan potensi daerah melalui enam koridor ekonomi (KE); (2) memperkuat konektivitas nasional melalui sinkronisasi rencana aksi nasional untuk 195 merevitalisasi kinerja sektor riil dengan menyelesaikan masalah peraturan nasional dan infrastruktur utama nasional; (3) mengembangkan center of excellence di setiap KE dengan pengembangan SDM dan iptek untuk peningkatan daya saing. Agar implementasi MP3EI lebih efektif, mutlak diperlukan pengembangan infrastruktur kelistrikan yang tidak lagi berbasis pada kebijakan yang bersifat aspasial (spaceless). Untuk itu diperlukan konsepsi MP3EI Plus (MP3EI+) yang memasukkan pengembangan infrastruktur kelistrikan dalam konteks geografi, yang dirangkum dalam Gambar 7.1 dan mencakup: 1. Pemahaman yang menyeluruh terhadap kausalitas antara pusat-pusat pertumbuhan dan konsumsi listrik (dan kemampuan pasokan listrik) di masing-masing koridor ekonomi. Pertumbuhan kemampuan kapasitas untuk menyediakan tenaga listrik di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan laju pertumbuhan permintaan listrik, yang mengakibatkan terjadinya kekurangan pasokan listrik dan rendahnya rasio elektrifikasi. 2. Prioritas pembangunan national dan implementasi MP3EI perlu ditindaklanjuti dengan langkah nyata dengan memahami politik kebijakan yang mengintegrasikan kebijakan sektoral dan daerah (meningkatkan koherensi antara berbagai tingkatan pemerintah baik pusat, provinsi, kota, dan kabupaten). 3. Temuan studi ini merekomendasikan pentingnya strategi inclusive development. Strategi ini menggabungkan strategi pembangunan regional dan kelistrikan secara lebih serius. Tujuan utamanya adalah menjangkau dan mengangkat seluruh lapisan masyarakat dan di seluruh wilayah/koridor/daerah (development 196 for all). Berbagai temuan dalam studi ini menawarkan dimensi ekonomi dan spasial konsumsi listrik. Yang lebih penting lagi, Indonesia dapat meningkatkan kinerja semua daerah, koridor, dan wilayah dengan memasukkan dimensi spasial populasi, industrialisasi, kelistrikan, dan kemiskinan. 4. Temuan-temuan yang diperoleh dari studi ini menunjukkan bahwa perubahanperubahan kebijakan yang bersifat fundamental di bidang kelistrikan dan pengembangan regional sangat diperlukan. Indonesia membutuhkan kebijakan sektoral di bidang kelistrikan dan kebijakan regional untuk pengembangan daerah dengan mempertimbangkan variasi regional yang memasukkan faktorfaktor pertumbuhan konsumsi listrik dan PDRB per kapita. Dengan menggunakan literatur tentang kausalitas yang terkini, studi ini memperlihatkan bahwa Indonesia sesungguhnya merupakan contoh yang menarik sebagai negara dengan distribusi konsumsi listrik yang timpang, serta hubungan antara konsumsi listrik dan PDRB per kapita yang variatif.