BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini angka kejadian diabetes melitus (DM) terus meningkat, seiring dengan bertambahnya angka harapan hidup di negara berkembang dan bertambahnya obesitas secara global. Tingginya insidensi diabetes ini disebabkan oleh perubahan gaya hidup, inaktivitas dan faktor usia (Petkova dan Petrova, 2006). World Health Organization (WHO) memperkirakan pada tahun 2030 prevalensi DM di Indonesia mencapai 21,3 juta orang, yang menempatkan Indonesia pada posisi negara ke-4 dengan jumlah penderita DM terbanyak dunia (Wild et al., 2004). Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan bahwa proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7%, dan di daerah pedesaan menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8% (Kemenkes, 2012). DM adalah penyakit kronis yang memerlukan perawatan medis secara berkelanjutan, pendidikan pengelolaan mandiri oleh pasien (patient self–management education), serta dukungan untuk mencegah komplikasi akut dan mengurangi risiko komplikasi jangka panjang. Pengelolaan diabetes sangat kompleks dan melibatkan banyak hal, tidak hanya sekedar pengendalian glukosa darah (ADA, 2012). Hasil The Diabetes Control and Complication Trial/The Epidemiology of Diabetes Interventions and Complications (DCCT/EDIC) trial menunjukkan bahwa terapi diabetes secara intensif yang bertujuan untuk mengontrol gula darah dapat mengurangi risiko retinopathy dan nephropathy secara progresif pada penderita DM tipe 1 (DCCT/EDIC, 2000) dan mengurangi risiko penyakit kardiovaskular (DCCT/EDIC, 1 2005). The UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) juga telah mendokumentasikan bahwa kontrol glukosa secara intensif dapat mengurangi risiko komplikasi mikrovaskular pada penderita DM tipe 2 (UKPDS, 1998). Penderita diabetes melitus perlu mengetahui penyakitnya dengan baik agar kualitas hidupnya dapat tetap terjaga. Kesadaran pasien tentang DM dan komplikasi yang ditimbulkan menjadi hal yang penting dalam pengelolaan DM, baik bagi tenaga kesehatan yang merawat maupun pasien itu sendiri. Sebagai konsekuensi, edukasi untuk memperbaiki pengelolaan mandiri merupakan komponen utama dalam semua rencana pengobatan (Malathy et al., 2011). Penelitian meta-analysis tentang kontrol glikemik yang dilakukan oleh Norris et al. (2002) melaporkan bahwa pendidikan pengelolaan mandiri dapat memperbaiki kadar HbA1c, dan meningkatnya waktu kontak antara pasien dan edukator dapat meningkatkan efek terhadap kontrol glikemik. Laporan meta-analysis lain menyimpulkan bahwa intervensi pendidikan pengelolaan mandiri penyakit diabetes efektif dalam memperbaiki pengetahuan, perilaku dan kontrol metabolik pasien yang menderita diabetes tipe 2 (Fan dan Sidani, 2009). Edukasi, baik yang dilakukan secara perseorangan maupun kelompok pada penderita yang mulai mendapat insulin menghasilkan kontrol glikemik dan kepuasan terhadap terapi pengobatan yang sama (Jarvinen et al., 2007). Jangka waktu pasien menderita diabetes dan ketidakpatuhan terhadap perilaku pengelolaan mandiri berhubungan dengan kontrol glikemik yang buruk. Kontrol glikemik yang buruk juga berhubungan dengan ketidakpatuhan terhadap obat, sehingga pasien perlu diberi motivasi untuk mengkonsumsi obat sesuai dengan yang telah diresepkan (Khattab et al., 2010). Dilaporkan juga bahwa kepuasan pasien terhadap pemakaian insulin berhubungan dengan perbaikan kontrol glikemik yang diukur dari kadar HbA1c. Hal 2 ini menunjukkan bahwa kepuasan pasien berhubungan dengan meningkatnya kepatuhan terhadap pengobatan (Rosenstock et al., 2004). Kebutuhan terhadap pengobatan, edukasi dan psycososial pada pasien diabetes seringkali kompleks dan tidak selalu dapat dipenuhi secara adekuat oleh dokter pada tiap kunjungan pasien yang singkat dan frekuensinya tidak terlalu sering (Willens et al., 2011). Keterlibatan farmasis dalam perawatan dan pengelolaan DM penting untuk membantu pasien mencapai target terapi dan gaya hidup seperti yang telah ditetapkan oleh American Association of Diabetes Educators-AADE (Shane et al., 2011). Farmasis dapat membantu memperbaiki tolerabilitas, mengurangi risiko dan meningkatkan kemungkinan mencapai tujuan terapi (Chawla, 2011). Setelah tiga bulan dilakukan evaluasi, rata-rata kadar glukosa darah dan HbA1c pada pasien yang mendapat program edukasi dari farmasis dilaporkan mengalami penurunan bermakna bila dibandingkan dengan kontrol (Farsaei et al., 2011). Konsultasi dengan farmasis dilaporkan telah memperbaiki persepsi tentang penyakit, diet, dan perubahan gaya hidup, sehingga memperbaiki kontrol glikemik dan risiko komplikasi diabetes (Malathy et al., 2011). Keterlibatan farmasis sebagai anggota tim perawatan pasien telah meningkatkan kepatuhan pasien terhadap obat, pengetahuan, dan kualitas hidup pasien, disamping memperbaiki parameter klinik seperti HbA1c, kolesterol LDL, tekanan darah dan kejadian efek samping obat (Chisholm-Burns et al., 2010). Obat – obat DM termasuk dalam kategori obat high alert sesuai dengan standard Institute for Safe Medications Practices - ISMP (ISMP, 2012). Perlu perhatian khusus dalam penanganan obat high alert mengingat apabila terjadi kesalahan, dapat berakibat fatal. Efek samping penggunaan insulin yang sering terjadi adalah hipoglikemia yang berisiko mengakibatkan kematian (Frier et al., 2011). Dilaporkan bahwa terdapat perbedaan efek samping hipoglikemia yang bermakna 3 karena penggunaan anti hiperglikemia pada pasien diabetes tipe 2 yang mempunyai pengetahuan kesehatan yang cukup bila dibanding dengan yang terbatas (Sarkar et al., 2009). Pasien perlu diberi pengetahuan yang cukup dalam penggunaan obat DM. Hal tersebut menunjukkan semakin pentingnya edukasi oleh farmasis dalam pendidikan pengelolaan mandiri penyakit diabetes. Edukasi pasien DM oleh farmasis di RSUP Dr Sardjito belum dilakukan secara sistematis. Prosedur standar yang ada dalam penyerahan obat adalah dengan memberikan informasi tentang aturan pakai, lama pemakaian, cara pemakaian, dosis, cara penyimpanan, dan indikasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh edukasi yang dilakukan secara perseorangan oleh farmasis terhadap kepuasan penggunaan insulin dan kepatuhan penggunaan obat yang diukur dengan kuesioner Patient Satisfaction with Insulin Therapy (PSIT) dan Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8). Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui pengaruh edukasi terhadap kontrol glikemik yang diukur dari kadar HbA1c. Edukasi dilakukan dengan cara komunikasi verbal disertai penyerahan booklet sebagai media untuk mengingatkan pasien terhadap materi edukasi yang telah diberikan. Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberi gambaran tentang pengaruh edukasi farmasis terhadap kepuasan dan kepatuhan pasien diabetes melitus tipe 2, serta pengaruhnya terhadap kontrol glikemik HbA1c untuk meningkatkan patient safety di Rumah Sakit. B. Perumusan Masalah Dari uraian diatas, dapat disusun permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu : 1. Apakah edukasi oleh farmasis berpengaruh terhadap kepuasan terapi insulin? 2. Apakah edukasi oleh farmasis berpengaruh terhadap kepatuhan penggunaan obat? 4 3. Apakah edukasi oleh farmasis berpengaruh terhadap kontrol glikemik yang diukur dari kadar HbA1c? 4. Apakah kepuasan terapi insulin dan kepatuhan penggunaan obat berpengaruh terhadap kontrol glikemik yang diukur dari kadar HbA1c? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk : 1. Menilai pengaruh pemberian edukasi oleh farmasis terhadap kepuasan terapi insulin. 2. Menilai pengaruh pemberian edukasi oleh farmasis terhadap kepatuhan penggunaan obat. 3. Menilai pengaruh pemberian edukasi oleh farmasis terhadap kontrol glikemik yang diukur dari kadar HbA1c. 4. Menilai pengaruh kepuasan terapi insulin dan kepatuhan penggunaan obat terhadap kontrol glikemik yang diukur dari kadar HbA1c. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi : 1. Peneliti a. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam pengelolaan diabetes dan pemberian edukasi pada pasien b. Menyelesaikan tesis sebagai salah satu syarat kelulusan dalam pendidikan S2 Magister farmasi klinik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 5 2. Instalasi Farmasi RSUP Dr Sardjito a. Penelitian ini diharapkan sebagai awal dari salah satu kegiatan farmasi klinik berupa edukasi secara sistematis oleh farmasis dalam melaksanakan pharmaceutical care guna meningkatkan patient safety di rumah sakit dan memenuhi persyaratan akreditasi. b. Penelitian ini juga diharapkan dapat memacu kegiatan farmasi klinik di bagian lain di RSUP Dr Sardjito. 3. RSUP Dr Sardjito a. Kegiatan edukasi pasien oleh farmasis diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan farmasi menuju peningkatan patient safety di RSUP Dr Sardjito. b. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi gambaran edukasi oleh farmasis yang dapat dilakukan untuk meningkatkan patient compliance yang menjadi bagian dari edukasi pasien diabetes secara keseluruhan. E. Keaslian Penelitian Farsaei et al. (2011) melakukan penelitian dengan membandingkan antara edukasi yang melibatkan farmasis (kelompok intervensi) dengan edukasi tanpa farmasis (sebagai kontrol) terhadap kadar glukosa darah dan HbA1c. Materi edukasi yang diberikan mengenai obat anti hiperglikemik, kepatuhan, catatan harian tentang diabetes, dan penggunaan pill box. Kelompok intervensi diikuti selama tiga bulan, dengan cara kontak telepon setiap minggunya serta pertemuan tatap muka dengan farmasis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan penurunan kadar glukosa darah dan HbA1c antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol secara bermakna. 6 Malathy et al. (2011) melakukan penelitian untuk mengetahui efek konseling yang dilakukan oleh farmasis terhadap pengetahuan, tingkah laku dan sikap terhadap diabetes (KAP score) pada pasien diabetes di India. Konseling dilakukan selama 2025 menit setiap kali pasien kontrol setiap bulannya selama tiga bulan berturut–turut. Materi konseling meliputi pengetahuan yang berhubungan dengan diabetes, kontrol glikemik, rekomendasi untuk melakukan perubahan gaya hidup yang sehat (olah raga, berhenti merokok), nutrisi yang disarankan, serta perawatan kaki. Setelah konseling pertama, pasien kelompok intervensi diberi leaflet yang berisi informasi tentang diabetes, diet serta gaya hidup yang disarankan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konseling yang dilakukan telah meningkatkan pengetahuan, memperbaiki tingkah laku dan sikap terhadap diabetes secara signifikan. Parameter klinik seperti kadar glukosa post prandial, total kolesterol dan trigliserida juga mengalami penurunan. Sesilia (2008) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh edukasi terhadap pengetahuan dan kepatuhan pasien diabetes melitus tipe 2 dan pengaruh keduanya terhadap kontrol glikemik pasien di poli penyakit dalam RSUP Dr Sardjito periode Desember 2007 – Juni 2008. Edukasi dilakukan melalui komunikasi verbal sebanyak dua kali selama 30 menit dan dilakukan follow up melalui telepon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa edukasi yang dilakukan dapat meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan pasien. Pengetahuan yang meningkat tidak berkorelasi langsung dengan kontrol glikemik, sedangkan kepatuhan pengobatan berkorelasi dengan kontrol glikemik pasien DM. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian pertama dan kedua adalah edukasi dilakukan kepada pasien yang menggunakan insulin dengan atau tanpa obat antidiabetes oral, serta dilakukan pengukuran kepuasan penggunaan insulin dan kepatuhan penggunaan obat. Edukasi oleh farmasis dilakukan pada awal penelitian 7 disertai dengan pemberian booklet sebagai media untuk mengingatkan pasien terhadap materi edukasi yang telah diberikan, berbeda dengan penelitian pertama yang dilakukan follow up edukasi selama tiga bulan tanpa pemberian booklet maupun penelitian yang kedua yang dilakukan follow up edukasi selama tiga bulan baik dengan pertemuan dengan farmasis maupun melalui telepon. Sedangkan perbedaan dengan penelitian ke-3 adalah dilakukan pengukuran kepuasan pasien terhadap terapi insulin yang dijalani, serta edukasi dilakukan satu kali pada pertemuan pertama disertai penyerahan booklet sebagai media untuk mengingatkan pasien terhadap materi edukasi. 8