Penetapan Nilai Pajak Lingkungan Untuk Industri

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pajak
Pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak prerogatif pemerintah
yang didasarkan pada undang-undang, pemungutannya dapat dipaksakan kepada
subyek pajak (orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan pajak) dan tidak ada
balas jasa yang langsung dapat ditunjukkan penggunaanya. Penerimaan pajak
digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah.
Adam Smith mengemukakan dalam Cannon of Taxation, prinsip-prinsip
pengenaan pajak yang baik pada barang publik harus memenuhi beberapa kriteria
sebagai berikut: (1) distribusi dari beban pajak harus adil; (2) pajak tidak boleh
mendistorsi keputusan ekonomi secara signifikan; (3) pajak harus mengurangi
ketidakefisienan di sektor swasta; (4) struktur pajak harus bisa digunakan dalam
kebijakan fiskal untuk tujuan stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi; (5) sistem
pajak harus dimengerti oleh wajib pajak; (6) administrasi pajak dan biaya
pelaksanaannya harus seminal mungkin; (7) kepastian; (8) dapat dilaksanakan;
dan (9) dapat diterima (Mangkoesoebroto, 1993).
Menurut Tim INDEF (2007), pada dasarnya prinsip-prinsip pajak
lingkungan yang utama yaitu: (1) netral revenue artinya menjamin motif
penerimaan yang netral; (2) non double deviden artinya tidak ada keuntungan
berganda, diantaranya dengan mempersiapkan pranata/lembaga pengelolaan yang
terkait langsung dengan pajak lingkungan; dan (3) Polluter Pays Principle (PPP).
2.2 Prinsip Pencemar Membayar (Polluter Pays Principle)
Polluter Pays Principle (PPP) merupakan salah satu prinsip dalam
menetapkan nilai pajak lingkungan. Dalam dunia hukum lingkungan, penerapan
pajak lingkungan diartikan sebagai prinsip pencemar membayar (Polluter Pays
Principle). Prinsip Pencemar Membayar (PPM) artinya biaya kerusakan
lingkungan harus dibebankan kepada pencipta atau produsen pencemar sesuai
bagian kerusakan yang diciptakan dengan memasukkan biaya eksternal/biaya
kerusakan lingkungan ke dalam perhitungan biaya produksi (internalising the
external costs) sehingga mendorong alokasi biaya yang efektif. Prinsip ini juga
digunakan
sebagai
tindakan
penyelamatan
lingkungan
atas
biaya
penanggungjawab usaha untuk mendorong upaya dunia industri mengurangi
dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
Menurut Suparmoko (2000), pada dasarnya pencemar harus menanggung
biaya pencemaran sehingga limbah yang dibuang sesuai baku mutu yang
ditetapkan. Ada dua interpretasi terhadap Prinsip Pencemar Membayar (PPM)
antara lain:
1. Interpretasi dasar atau interpretasi sempit Prinsip Pencemar Membayar (PPM)
memberikan suatu hak untuk membuang limbah ke lingkungan sampai jumlah
tertentu bebas dari pungutan.
2. Interpretasi yang luas bahwa pencemar tidak lagi diizinkan membuang limbah
sampai batas tertentu bebas tanpa bayaran tetapi ia harus membayar baik biaya
pengendalian juga biaya kerusakan lingkungan. Interpretasi yang luas ini
menghendaki adanya pungutan sebagai suatu insentif, yaitu pencemar harus
membayar nilai bersih limbah buangan yang diizinkan. Pungutan sebagai
insentif ini memiliki keuntungan yaitu prinsip ini dapat mendorong pencemar
agar mengurangi tingkat pencemarannya.
2.3 Eksternalitas
Dalam
suatu
perekonomian
modern
setiap
aktivitas
mempunyai
keterkaitan dengan aktivitas lainnya. Apabila semua keterkaitan antara suatu
kegiatan dengan kegiatan lainnya dilaksanakan melalui mekanisme pasar maka
tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi banyak keterkaitan antar kegiatan yang
tidak melalui mekanisme pasar sehingga timbul berbagai macam masalah.
Keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya yang tidak melalui
mekanisme pasar disebut dengan eksternalitas.
Mangkoesoebroto (1993) membagi eksternalitas berdasarkan dampaknya
menjadi dua, yaitu eksternalitas positif dan eksternalitas negatif. Eksternalitas
positif adalah dampak yang menguntungkan dari suatu tindakan yang dilakukan
oleh suatu pihak terhadap orang lain tanpa adanya kompensasi dari pihak yang
diuntungkan. Eksternalitas positif misalnya seseorang yang membangun
pemandangan yang indah dan bagus pada lokasi tertentu mempunyai dampak
positif bagi orang sekitar yang melewati lokasi tersebut. Eksternalitas negatif
apabila dampaknya bersifat merugikan bagi orang lain tetapi tidak menerima
kompensasi misalnya polusi udara, air dan suara. Dalam hal adanya eksternalitas
dalam suatu aktivitas, maka akan timbul inefisiensi. Inefisiensi akan timbul
apabila tindakan seseorang mempengaruhi orang lain dan tidak tercermin dalam
sistem harga. Secara umum apabila semua dampak yang merugikan maupun
menguntungkan diinternalisasi ke dalam biaya produksi perusahaan sehingga akan
tercapainya efisiensi masyarakat. Dalam hal ini efisiensi akan tercapai apabila
Marginal Social Cost (MSC) sama dengan Marginal Social Benefit (MSB).
Pada Gambar 1 menunjukkan tingkat output yang optimum dengan
menginternalisasi biaya eksternalitas negatif ke dalam biaya produksi perusahaan
terjadi pada tingkat produksi sebesar 0Q1 dengan harga di P1 yaitu pada saat
MSC=MSB. Apabila perusahaan tidak memperhitungkan biaya eksternalitas
dalam menentukkan harga dan jumlah barang yang dihasilkan maka berproduksi
di Q2 dengan menetapkan harga sebesar P2 yaitu ketika MSB memotong kurva
Private Marginal Cost (PMC). Apabila dalam melakukan kegiatan produksi
timbul suatu eksternalitas negatif maka Marginal Damage (MD)>0 berarti
MSC>PMC karena MSC=PMC+MD sehingga produksi harus dikurangi agar
efisiensi produksi ditinjau dari seluruh masyarakat mencapai optimum.
P
MSC = PMC + MD
PMC
P1
P2
MD
MSB
0
Q1
Q2
Jumlah Produksi
Keterangan:
MSC
: Marginal Social Cost
MSB
: Marginal Social Benefit
PMC
: Marginal Private Cost
MD
: Marginal Damage
Sumber : Mangkoesoebroto (1993)
Gambar 1. Eksternalitas Produksi Negatif
2.4 Pajak untuk Mengatasi Eksternalitas Negatif
Masalah eksternalitas dapat diatasi dengan menginternalisasi biaya
eksternalitas ke dalam biaya produksi perusahaan sehingga diperlukan intervensi
pemerintah melalui penerapan pajak. Pemerintah dapat memecahkan alokasi
sumber yang lebih efisien dengan mengenakan pajak kepada pihak penyebab
polusi dimana pajak tersebut merupakan pajak per unit.
Pajak yang khusus diterapkan untuk mengoreksi dampak dari eksternalitas
negatif disebut dengan Pajak Pigovian (Pigovian Tax), sesuai dengan nama
penggagas pertamanya yaitu Arthur Pigou (1877-1959). Gambar 2 menunjukkan
analisa pajak untuk mengatasi eksternalitas negatif. Jumlah produksi perusahaan
tanpa memperhitungkan eksternalitas negatif sebesar 0Q1 dimana pada titik B
menunjukkan Marginal Benefit sama besarnya dengan Private Marginal Cost
(MB=PMC). Pemerintah mengenakan pajak sebesar t=ED untuk setiap unit
barang yang diproduksi. Akibatnya perusahaan tidak akan berproduksi sebesar
0Q1 tetapi mengurangi produksinya sampai titik E yaitu sampai biaya marginal
perusahaan termasuk pajak sama dengan keuntungan marginal (MB=PMC+tax).
Pada titik E inipun tercapai alokasi sumber-sumber ekonomi yang efisien karena
pada titik E tersebut MB=PMC+MD (Marginal Damage). Penerimaan pemerintah
dari pajak ini dapat digunakan untuk pemberian kompensasi kepada “korban”
pencemaran lingkungan misalnya berupa fasilitas kesehatan bagi masyarakat yang
sakit karena menggunakan air sungai yang tercemar.
Rupiah
MSC=PMC+MD
PMC+tax
E
C
t (tax)
A
F
D
B
PMC
MD
MB
0
Q0
Q1
Jumlah Produksi
Keterangan:
MSC
: Marginal Social Cost
MB
: Marginal Benefit
PMC
: Marginal Private Cost
MD
: Marginal Damage
Sumber : Mangkoesoebroto (1993)
Gambar 2. Pajak untuk Mengatasi Eksternalitas Negatif
2.5 Industri Tekstil
2.5.1 Proses Produksi Tekstil
Pada dasarnya proses produksi tekstil adalah merubah serat buatan dan
serat alam (kapas) menjadi barang jadi tekstil dengan menggunakan serangkaian
proses. Secara umum proses produksi tekstil terdiri dari (Yuwono dan
Adinugroho, 2006):
1. Pengkanjian benang, yaitu proses pemberian kanji (starch) pada benang untuk
memperkuat kekenyalan benang.
2. Penenunan, yaitu proses penyusunan benang yang telah dikanji dan
dikeringkan menjadi lembaran kain (bahan).
3. Penghilangan kanji, yaitu proses pencelupan bahan dalam larutan enzim untuk
menghilangkan kanji yang terdapat pada benang setelah proses penenunan.
4. Pemasakan, yaitu proses penggodokan bahan dengan soda kaustik encer untuk
menurunkan berat dan meningkatkan kekuatan bahan.
5. Pemutihan, yaitu proses perendaman bahan dalam larutan pemutih untuk
menguraikan dan membuang zat warna yang masih tertinggal setelah proses
pemasakan.
6. Pencelupan, yaitu proses pewarnaan bahan dengan mencelupkan bahan dalam
larutan pewarna pada suhu tinggi.
7. Pembersihan, yaitu proses penghilangan sisa warna pada permukaan kain
dengan menggunakan pembersihan khusus.
8. Penguapan, yaitu proses peresapan resin ke dalam kain dan mengeringkannya.
2.5.2 Sumber Limbah Cair Tekstil
Pencemaran lingkungan terjadi karena adanya limbah. Industri yang
menggunakan air dalam proses produksinya akan menghasilkan limbah cair.
Limbah cair adalah limbah dalam wujud cair yang dihasilkan oleh kegiatan
industri yang dibuang ke lingkungan dan diduga dapat menurunkan kualitas
lingkungan (Kepmen LH No. 51 Tahun 1995).
Limbah yang dihasilkan oleh industri tekstil terdiri dari limbah B3, cair,
padat dan gas. Sumber limbah padat yang utama adalah lumpur yang dihasilkan
dari pengolahan limbah cair secara kimia. Limbah lain yang mungkin perlu
ditangani adalah sisa kain, minyak, dan lateks. Limbah B3 industri tekstil dapat
berasal dari proses penyempurnaan (finishing) tekstil, pencelupan (dyeing), dan
percetakan (printing) bahan tekstil maupun lumpur (sludge) dari IPAL yang
mengandung logam berat. Sementara itu, sumber pencemaran udara berupa gas
dan debu berasal dari proses pemintalan, penenunan, pencelupan, dan
penyempurnaan serta peralatan produksi seperti steam boiler (mesin uap).
Limbah cair tekstil dihasilkan dari proses pengkajian, proses penghilangan
kanji, pengelantangan, pemasakan, merserisasi, pewarnaan, pencetakan, dan
penyempurnaan. Proses penyempurnaan biasanya terdiri dari pengulangan prosesproses sebelumnya. Proses-proses ini menghasilkan limbah cair dengan volume
besar, pH yang sangat bervariasi, dan beban pencemaran yang tergantung pada
proses dan zat kimia yang digunakan. Proses penyempurnaan kapas menghasilkan
limbah yang lebih banyak dan lebih kuat dari pada limbah dari proses
penyempurnaan bahan sistesis.
Proses pengkajian dan penghilangan kanji mengandung zat kimia untuk
mengkanji dan biasanya memberikan BOD paling banyak dibanding dengan
proses-proses lain. Pemasakan kapas dan pengelantangan merupakan sumber
limbah cair yang penting, karena menghasilkan asam, basa, COD, BOD, padatan
tersuspensi, dan zat-zat kimia. Pewarnaan dan pembilasan juga menghasilkan air
limbah berwarna yang mengandung COD tinggi. Proses pencetakan menghasilkan
limbah lebih sedikit daripada pewarnaan (Potter et al, 1994).
2.5.3 Baku Mutu Limbah Cair Tekstil
Kegiatan industri mempunyai potensi menimbulkan pencemaran air.
Pencemaran air adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,
dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air
turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi
sesuai dengan peruntukannya (Kepmen LH No. 51 Tahun 1995).
Pemerintah dalam hal ini Menteri Negara Lingkungan Hidup telah
menetapkan baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri yang ditetapkan dalam
Kepmen LH No. 51 Tahun 1995. Penetapan Baku Mutu Limbah Cair bagi
Kegiatan Industri di Jawa Barat dituangkan dalam Surat Keputusan Gubernur
Jawa Barat No. 6 Tahun 1999. Parameter utama pencemaran air untuk industri
tekstil adalah TSS, BOD, COD, pH, krom total, fenol, amonia, sulfida, serta
minyak dan lemak.
BOD (Biological Oxygen Demand) adalah jumlah oksigen yang di
dibutuhkan (mg oksigen) oleh mikroba aerobik untuk menguraikan bahan organik
terurai dalam waktu 5 hari pada 1 liter limbah cair. COD (Chemical Oxygen
Demand) adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bahan oksidan, untuk
menguraikan seluruh bahan organik secara kimiawi yang terkandung dalam 1 liter
limbah cair. TSS (Total Suspended Solid) menunjukkan berat padatan yang
berukuran lebih besar dari 2 mikron di dalam 1 liter limbah (Yuwono dan
Adinugroho, 2006).
Parameter karakteristik menunjukkan jumlah atau konsentrasi dari suatu
jenis pencemar misal BOD, COD, TSS. Parameter tersebut dijadikan acuan batas
maksimal limbah yang boleh dibuang oleh industri atau sering disebut juga baku
mutu limbah. Tabel 2 menunjukkan parameter baku mutu limbah cair untuk
industri tekstil berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Tingkat I Jawa Barat No. 6
Tahun 1999.
Tabel 2. Baku Mutu Limbah Cair Industri Tekstil
No.
Parameter
Satuan
Kadar
Beban Pencemaran
Maksimum
Maksimum
Kg/ton Produksi
Kg/hari
1. BOD5
mg/l
60
6,000
90,000
2. COD
mg/l
150
15,000
225,000
3. TSS
mg/l
50
5,000
75,000
4. Fenol Total
mg/l
0,5
0,050
0,750
5. Krom Total (Cr)
mg/l
1,0
0,100
1,500
6. Amonia Total
mg/l
8,0
0,800
12,000
7. Sulfida (S)
mg/l
0,3
0,30
0,450
8. Minyak&lemak
mg/l
3,0
0,300
4,500
9. pH
6,0-9,0
10. Debit
m3/bulan
45.000
Sumber: Surat Keputusan Gubernur Tingkat I Jawa Barat No. 6 Tahun 1999
2.6 Indikator dan Pengamatan Pencemaran Air
Indikator atau tanda bahwa air lingkungan telah tercemar yaitu adanya
perubahan yang dapat diamati melalui antara lain: (1) perubahan suhu air; (2)
perubahan pH; (3) perubahan warna, bau, dan rasa air; (4) timbulnya endapan,
koloidal, bahan terlarut; (5) adanya mikroorganisme; dan (6) meningkatnya
radioaktivitas air lingkungan.
Berdasarkan cara pengamatannya, pengamatan indikator pencemaran air
lingkungan dapat digolongkan menjadi 3 yaitu:
1. Pengamatan secara fisik, yaitu pengamatan pencemaran berdasarkan tingkat
kejernihan air (kekeruhan), perubahan suhu air, perubahan rasa, dan warna air.
2. Pengamatan secara kimia, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan zat
kimia yang terlarut (BOD, COD) dan perubahan pH.
3. Pengamatan secara biologis, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan
mikroorganisme yang ada di dalam air, terutama ada-tidaknya bakteri patogen
(penyebab timbulnya penyakit).
Ketiga macam pengamatan tersebut di atas tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lainnya. Masing-masing saling mengisi agar diperoleh hasil pengamatan
yang lengkap dan cermat (Wardana, 2007).
2.7 Klasifikasi dan Kriteria Mutu Air
Menurut PP RI No. 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air bahwa klasifikasi mutu air ditetapkan menjadi
empat kelas yaitu sebagai berikut:
1. Kelas satu, air yang peruntukkannya dapat digunakan untuk air baku air minum,
dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut;
2. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana
rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi
pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang
sama dengan kegunaan tersebut;
3. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan
ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau
peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut;
4. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi
pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang
sama dengan kegunaan tersebut.
Kriteria mutu air berdasarkan kelas menurut PP RI No. 82 Tahun 2001
dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Kriteria Mutu Air Berdasarkan Kelas Menurut PP RI No. 82
Tahun 2001
Parameter Satuan
Kelas
Keterangan
I
II
III
IV
BOD
mg/l
2
3
6
12
Angka batas minimum
COD
mg/l
10
25
50
100
Sumber: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001
2.8 Penelitian Terdahulu
2.8.1 Industri Tekstil
Penelitian mengenai industri tekstil antara lain telah dilakukan oleh
Purnamasari (2001), yaitu tentang pengaruh penggunaan faktor–faktor produksi
terhadap jumlah dan debit serta aspek finansial pengolahan limbah cair industri
tekstil. Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa motivasi
perusahaan untuk mendirikan IPAL dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor
dari dalam dan luar perusahaan. Keputusan perusahaan untuk mendirikan fasilitas
pengolahan industri didasari oleh kesadaran perusahaan bahwa adanya IPAL akan
membantu terciptanya hubungan baik antara perusahaan dengan masyarakat
sekitar, pemerintah, dan konsumen pasar sasaran produknya.
Penelitian lain mengenai pengolahan limbah cair industri tekstil diperlukan
untuk mendukung penelitian ini. Penelitian mengenai studi aspek teknologi
penanganan limbah cair industri tekstil di PT. UNITEX Bogor yang dilakukan
oleh Sitorus (1993). Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa air limbah
yang dihasilkan oleh proses produksi pabrik tekstil PT. UNITEX telah ditangani
dengan baik. Proses penanganan limbah cair PT. UNITEX terdiri dari tiga tahapan
proses, yaitu proses primer, proses sekunder, dan proses tersier. Proses biologi
yang terdapat pada IPAL PT. UNITEX menggunakan lumpur aktif dengan sistem
kolam aerasi. Berbagai permasalahan yang ada dalam proses penanganan limbah
cair PT. UNITEX dapat diatasi dengan baik.
2.8.2 Willingness to Accept (WTA)
Harianja (2006) yang meneliti mengenai analisis Willingness to Accept
masyarakat terhadap tempat pembuangan akhir sampah Bantargebang dengan
pendekatan Contingent Valuation Method (kasus Kelurahan Ciketing Kecamatan
Bantargebang Kota Bekasi). Penelitian menggunakan responden anggota
masyarakat yang tinggal di wilayah Ciketing Udik. Hasil penelitian menunjukkan,
nilai WTA responden Ciketing Udik dipengaruhi oleh faktor tingkat pendidikan,
jumlah tanggungan, jarak tempat tinggal, ada tidaknya biaya yang dikeluarkan
untuk menanggulangi dampak dari TPA sampah dan penilaian responden terhadap
pengolahan sampah yang dilakukan selama ini. Nilai dugaan rataan WTA
responden adalah Rp 24.300,00/ton sampah yang masuk ke TPA Sampah
Bantargebang. Nilai total WTA untuk masyarakat Ciketing Udik adalah Rp
118.259.983,80/ton sampah dan nilai total kompensasi yang dapat diperoleh
adalah Rp 481.140.000,00/bulan.
Penelitian lain dilakukan oleh Qomariah (2005) mengenai analisis
Willingness to Pay dan Willingness to Accept masyarakat terhadap pengelolaan
sampah (studi kasus TPA Galuga, Cibungbulang, Bogor). Respondennya adalah
rumah tangga di Kota Bogor, pedagang di tujuh unit pasar traditional di Kota
Bogor, dan masyarakat Desa Galuga. Kesimpulan yang diperoleh, faktor-faktor
yang mempengaruhi besarnya nilai WTA masyarakat Galuga terhadap
penerimaan kompensasi adalah tingkat pendapatan dan jarak tempat tinggal
dengan lokasi TPA. Besarnya nilai WTA dari masyarakat di Desa Galuga
berdasarkan dugaan rataan hitungnya (EWTA) sebesar Rp 21.979,17 per bulan
sedangkan WTA agregat (TWTA) adalah sebesar Rp 114.950.000,00 per bulan.
Utari (2006) juga melakukan penelitian mengenai analisis Willingness to
Pay dan Willingness to Accept masyarakat terhadap pembuangan akhir sampah
Pondok Rajeg Kabupaten Bogor. Hasil penelitian menunjukkan, nilai dugaan
rataan WTA responden adalah Rp 37.300,00/KK/bulan, nilai tengah WTA Rp
35.300,00/KK/bulan, dan totalnya Rp 1.194.000,00/bulan. Nilai WTA responden
tersebut dipengaruhi oleh faktor tingkat pendapatan, jarak tempat tinggal dengan
lokasi TPA sampah, dan tingkat gangguan yang dialami responden akibat
keberadaan TPA sampah.
2.9 Keunggulan Penelitian
Penelitian mengenai pajak lingkungan pada industri tekstil ini merupakan
penelitian pertama yang belum pernah ada sebelumya terutama yang dilakukan
oleh mahasiswa di IPB. Penentuan pajak lingkungan dalam penelitian ini juga
menggunakan perpotongan kurva antara MAC dan MD sehingga dilihat baik dari
sisi perusahaan serta masyarakat agar terbentuk tingkat pajak lingkungan yang
optimal. Dengan demikian penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan bagi
penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan pajak lingkungan.
Download