SANITASI LINGKUNGAN RUMAH PENDERITA TB PARU DI WILAYAH KERJA UPTD KESEHATAN PUSKESMAS SUKAMULYA KABUPATEN CIAMIS TAHUN 2016 SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan Pada Program S1 Keperawatan Oleh : USEP DEVI SETIAWAN NIM : 12SP277040 PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH CIAMIS 2016 SANITASI LINGKUNGAN RUMAH PENDERITA TB PARU DI WILAYAH KERJA UPTD KESEHATAN PUSKESMAS SUKAMULYA KABUPATEN CIAMIS TAHUN 2016 1 Usep Devi Setiawan 2 Elis Noviati 3 Lilis Lismayanti 4 INTISARI Salah satu masalah kesehatan yang paling banyak di abaikan oleh masyarakat adalah masalah lingkungan terutama sanitasi rumah. Sanitasi rumah yang buruk dapat menimbulkan berbagai penyakit baik yang menular maupun tidak menular, salah satunya adalah penyakit Tuberkulosis (TB) Paru. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara umum sanitasi lingkungan rumah penderita TB Paru di Wilayah Kerja UPTD Kesehatan Puskesmas Sukamulya Kabupaten Ciamis Tahun 2016. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yang bersifat deskriptif yaitu suatu metode penelitian dengan tujuan utama membuat gambaran atau deskripsi suatu objek. Populasi dalam penelitian ini adalah penderita TB Paru di Wilayah Kerja UPTD Kesehatan Puskesmas Sukamulya Kabupaten Ciamis. Pengambilan sampel dalam penelitian ini tidak menggunakan teknik sampling karena seluruh populasi dijadikan responden yaitu semua penderita TB Paru sebanyak 30 orang. Hasil penelitian menunjukan bahwa Sanitasi Lingkungan Rumah Penderita TB Paru di Wilayah Kerja UPTD Kesehatan Puskesmas Sukamulya Kabupaten Ciamis, frekuensi tertinggi adalah kategori tidak memenuhi syarat sebanyak 28 orang (93,3%) dengan rincian Kepadatan Hunian Rumah 15 orang (50%) berkategori memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat, lantai rumah 30 orang (100%) memenuhi syarat, ventilasi dan pencahayaan 24 orang (80%) tidak memenuhi syarat. Saran diharapkan agar lebih memperhatikan kesehatan lingkungan masyarakat. Pemberian Penyuluhan-penyuluhan tentang rumah yang sesuai dengan syarat kesehatan serta lebih giat mengontrol pasien TB paru agar tidak terjadi penularan penyakit Kata Kunci : Kepustakaan : Keterangan : Sanitasi Linkungan Rumah, TB Paru 38 Referensi (2005-2015) 1 Judul, 2 Nama Mahasiswa S1 Keperawatan, 3 Nama Pembimbing I, 4 Nama Pembimbing II v SANITARY HOME ENVIRONMENT WITH PULMONARY TB PATIENT IN THE PUBLIC HEALTH CENTER OF UPTD HEALTH SUKAMULYA DISTRICT CIAMIS YEAR 2016 1 Usep Devi Setiawan 2 Elis Noviati 3 Elis Roslianti 4 ABSTRACT One of the health problems of the most widely ignored by the public is a problem especially sanitary home environment. Sanitation bad home can cause a variety of diseases both infectious and non-infectious, one of which is tuberculosis (TB) Lung. The purpose of this study was to determine the general sanitary home environment with pulmonary tuberculosis in the public health center of UPTD health Sukamulya district Ciamis year 2016. This research uses descriptive research is a research method with the ultimate aim of making a picture or description of an object. The population in this study were with pulmonary tuberculosis in the public health center of UPTD health Sukamulya district Ciamis. The samples in this study did not use sampling techniques because the entire population of respondents ie all patients with pulmonary TB as many as 30 people. The results showed that the Sanitation House pulmonary TB patients in the public health center of UPTD health Sukamulya district Ciamis, the highest frequency category is not eligible as many as 28 people (93.3%) with the details Density Residential House for 15 people (50%) categorized as eligible and does not qualify, floors house 30 people (100%) eligible, ventilation and lighting 24 people (80%) are not eligible. Recommendations are expected to be more health conscious society. Granting Extension-extension of the house in accordance with the health requirements as well as more active control of pulmonary TB patients to prevent transmission of disease Keywords : Bibliography : Description : Sanitary Home Environment, Pulmonary TB 38 reference (2005-2015) 1.Title, 2. Student Name, 3. Name of Supervisor I, 4. Name of Supervisor II vi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kesehatan menurut UndangUndang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, sepritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Kesehatan merupakan masalah sosial, ekonomi, politik dan merupakan hak asasi manusia yang paling penting. Menurut Adnani dan Asih (2006) derajat kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah faktor lingkungan. Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 pasal 6 menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan. Banyak ayat-ayat Alqur’an maupun Hadits Nabi yang berisi pesan terkait Kesehatan Lingkungan, antaralain menjaga kesehatan dengan memelihara air karena air merupakan salah satu sumber alam yang sangat penting untuk dijaga, karena air sebagai sumber kehidupan bagi manusia, hewan, dan tumbuhan. Anjuran ini terdapat pada QS Al-Anbiya’ (21):30 yang berbunyi : 1 2 Artinya: “ Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? ” Manusia wajib menjaga dan melestarikan sumber-sumber air, karena makhluk hidup terutama manusia sangat membutuhkan air. Janganlah melakukan tindakan yang dapat mencemari dan merusak sumber air, termasuk menggunakan air secara berlebihan. Selain ayat Al Quran di atas ada juga hadist yang menganjurkan untuk menjaga kebersihan yang berbunyi : Artinya : ”Agama Islam itu adalah agama yang bersih atau suci, maka hendaklah kamu menjaga kebersihan. Sesungguhnya tidak akan masuk surga kecuali orang-orang yang suci”. (HR. Baihaqi). Upaya dalam memlihara kebersihan tersebut dengan pendekatan yang dapat kita lakukan diantaranya dengan pengembangan sumber daya manusia yang handal, pembangunan lingkungan berkelanjutan, dan kembali kepada petunjuk Allah SWT dan Rasul-Nya dalam pengelolaan lingkungan hidup. Adapun syarat SDM handal antara lain SDM sadar akan lingkungan dan berpandangan holistis, sadar hukum, dan mempunyai komitmen terhadap lingkungan. 3 Salah satu masalah kesehatan yang paling banyak di abaikan oleh masyarakat adalah masalah lingkungan terutama sanitasi rumah. Sanitasi rumah yang buruk dapat menimbulkan berbagai penyakit baik yang menular maupun tidak menular, salah satunya adalah penyakit Tuberkulosis (TB) Paru. TB Paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh Bakteri Tahan Asam (BTA) Mycobacterium tuberculosa. TB Paru merupakan masalah kesehatan global utama sebagai penyebab utama kematian, tahun 2014 terjadi kematian sebanyak 1,5 juta yang diakibatkan TB paru. Tahun 2014 kasus TB Paru yang dilaporkan kepada WHO sebanyak 6,1 juta, 5,7 juta diantaranya adalah kasus baru dan 0,4 juta lainnya adalah penderita TB Paru yang menjalani pengobatan. Hal ini berarti, dari 9,0 juta orang yang diprediksi menderita TB, sekitar 3,0 juta kasus belum terdiagnosa atau terdiagnosa tapi tidak dilaporkan kepada National TB Programmes (NTPs) (WHO, 2015). Sebagian besar perkiraan jumlah kasus pada tahun 2014 terjadi di Asia (56%) dan Daerah Afrika (29%) proporsi kasus yang lebih kecil terjadi di Timur Mediterania Region (8%), wilayah Eropa (4%) dan Daerah Amerika (3%). 22 HBCs yang telah diberikan prioritas tertinggi di tingkat global sejak tahun 2000 menyumbang 82% dari semua diperkirakan kasus insiden di seluruh dunia. Enam negara yang menonjol memiliki jumlah terbesar kasus insiden pada tahun 2014 adalah India (2,0 juta-2,3 juta), Cina (0,9 juta-1,1 juta), Nigeria (340.000-880.000), Pakistan (370.000-650.000), Indonesia (410.000-520.000) dan Afrika Selatan (410.000-520.000) dan lima lainnya negara yang membentuk sepuluh dalam hal jumlah kasus yang disorot adalah India dan China saja yang menyumbang 24% dan 11% dari kasus global (WHO, 2015). 4 Angka penemuan kasus baru TB secara nasional mengalami penurunan dalam tiga tahun terakhir. Tahun 2012 CDR 61%, turun menjadi 60% pada tahun 2013 dan 46% (2014). Sasaran strategi nasional pengendalian TB hingga 2014 mengacu pada rencana strategis Kementerian Kesehatan 2009-2014 yaitu menurunkan prevalensi TB dari 235 per 100.000 penduduk menjadi 224 per 100.000 penduduk. Saat ini diperkirakan ada 1 dari setiap 3 kasus TB yang masih belum terdeteksi oleh program. Diperkirakan 2% dari kasus TB baru dan 12% dari kasus TB pengobatan ulang merupakan kasus TB MDR. Diperkirakan pula Iebih dari 55% pasien Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR TB) belum terdiagnosis atau mendapat pengobatan dengan baik dan benar (Kemenkes, 2015). Prevalensi tuberkulosis paru di Propinsi Jawa Barat sebesar 141/100.000 penduduk, Success Rate (SR) Provinsi Jawa Barat sebesar 92,1% telah melampaui target Renstra 2014 sebesar 87% (Kemenkes, 2015). Meningkatnya prevalensi TB Paru disebabkan oleh beberapa faktor bakteri (agent), manusia (host) dan lingkungan (environment). Agent yang mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis adalah kuman Mycobacterium tuberculosis. Agent ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pathogenesis, infektifitas dan virulensi. Host adalah manusia yang merupakan reservoir untuk penularan bakteri Mycobacterium tuberculosis, bakteri tuberkulosis paru menular melalui droplet. Seorang penderita tuberkulosis paru dapat menularkan pada 10-15 orang. Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host (pejamu) baik benda mati, benda hidup, nyata dan abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat interaksi semua elemen-elemen termasuk host yang lain. Faktor lingkungan 5 memegang peranan penting dalam penularan, terutama lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat atau jauh dari kelayakan (Depkes RI, 2011). Faktor lingkungan rumah yang tidak sehat dan belum memenuhi syarat sebagai rumah sehat maka kondisi rumah yang seperti ini jelas akan berdampak pada kesehatan khususnya pada kejadian TB paru. Kondisi rumah yang dimaksud antara lain seperti luas ventilasi, pencahayaan, kepadatan Penghuni, suhu, jenis dinding dan lantai yang belum memenuhi syarat kesehatan untuk jenis hunian yang layak di tempati. (Noriman Harun,2010). Tobing (2008), kondisi lingkungan terutama kondisi rumah juga memiliki peranan dalam penyebaran bakteri TB paru ke orang yang sehat. Bakteri TB paru yang terdapat di udara saat penderita TB paru bersin akan dapat bertahan hidup lebih lama jika keadaan udara lembab dan kurang cahaya. Penyebaran bakteri TB paru akan lebih cepat menyerang orang sehat jika berada dalam rumah yang lembab, kurang cahaya dan padat hunian. Mikobakterium sangat sensitif terhadap sinar matahari. Cahaya matahari berperan besar dalam membunuh kuman di lingkungan. Oleh sebab itu, ventilasi rumah sangat penting dalam manajemen TB paru berbasis keluarga atau wilayah. Genteng kaca juga dipercaya dapat membantu masuknya sinar matahari ke dalam kamar dan mengeliminasi kuman-kuman atau bakteri yang berada di lantai atau tempat tidur (Achmadi, 2012). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Batti’ (2013) tentang analisis hubungan antara kondisi ventilasi, kepadatan hunian, kelembaban udara, suhu, dan pencahayaan alami rumah dengan kejadian tuberkulosis 6 paru, menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kondisi ventilasi, kepadatan hunian, kelembaban suhu ruangan dan pencahayaan alami dengan kejadian penyakit TB paru, dimana kondisi ventilasi yang tidak memenuhi syarat kemungkinan menderita penyakit TB Paru sebesar 36 kali, kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat kemungkinan menderita penyakit TB Paru sebesar 10 kali, kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat kemungkinan menderita penyakit TB Paru sebesar 3 kali, suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat kemungkinan menderita penyakit TB Paru sebesar 9 kali dan pencahayaan alami rumah yang tidak memenuhi syarat kemungkinan menderita penyakit TB Paru sebesar 5 kali dibandingkan yang memenuhi syarat. Jumlah penderita TB Paru yang berada di Kabupaten Ciamis pada tahun 2013 sebanyak 1.164 kasus, tahun 2014 sebanyak 1.388 kasus dan tahun 2015 sebanyak 1.395 kasus. Data 5 besar UPTD Kesehatan Puskesmas dengan penderita TB Paru di Kabupaten Ciamis Tahun 2015 yaitu Sukamulya sebanyak 37 orang (208,33%) dari target penemuan 24 orang, Gardujaya sebanyak 35 orang (159,09%) dari target penemuan 22 orang, Sukamantri sebanyak 30 orang (115,38%) dari target penemuan 26 orang, Panumbangan sebanyak 30 orang (111,11%) dari target penemuan 27 orang dan Jatinagara sebanyak 30 orang (111,11%) dari target penemuan 27 orang (Dinkes Ciamis, 2015). UPTD Kesehatan Puskesmas Sukamulya merupakan Puskesmas yang memiliki jumlah penderita TB Paru ke 1 terbanyak di bandingkan dengan UPTD Kesehatan puskesmas yang lain di Kabupaten Ciamis. Hasil wawancara dengan petugas di UPTD Kesehatan Puskesmas Sukamulya angka kejadian TB Paru dari tahun ketahun semakin meningkat. 7 Berdasarkan data dari puskesmas pada tahun 2013 penderita TB Paru sebanyak 37 orang, tahun 2014 sebanyak 48 orang. UPTD Kesehatan Puskesmas Sukamulya telah menjalankan program penanggulangan penyakit TB Paru dengan menyediakan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin dan pencatatan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB Paru namun angka kejadian TB Paru masih tinggi. Data kasus TB Paru UPTD Kesehatan Puskesmas Sukamulya Tahun 2015 berdasarkan Desa yaitu Sukasetia sebanyak 5 kasus, Sukahaji sebanyak 9 kasus, Sukamaju sebanyak 3 kasus, Sukahurip sebanyak 4 kasus, Cijulang sebanyak 9 kasus, sukamulya sebanyak 8 kasus. Hasil wawancara yang dilakukan dengan petugas pemegang program penanggulangan TB Paru, didapatkan informasi bahwa faktor yang paling mempengaruhi tingginya angka kejadian TB Paru di wilayah UPTD Kesehatan Puskesmas Sukamulya adalah faktor kontak langsung dengan penderita TB Paru dan faktor kondisi lingkungan. John Gordon mengklasifikasikan penyebab penyakit ke dalam trias epidemiologi, yaitu faktor Host, Agent dan Environment, dari ketiga faktor tersebut, faktor lingkungan berpengaruh besar terhadap penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pernafasan (Depkes RI, 2011). Hasil studi pendahuluan pada 5 rumah penderita tuberculosis paru di daerah Sukamulya di dapatkan hasil bahwa sebagian besar warga memiliki sanitasi lingkungan yang buruk. Ditandai dengan rumah yang saling berhimpitan, ventilasi yang kurang yaitu 10% luas lantai yang seharusnya 20% dari luas lantai, kelembaban rumah yang tidak baik dan banyaknya kontak dengan penderita tuberculosis aktif. 8 Berdasarkan uraian di atas, penyakit TB Paru merupakan salah satu penyakit dengan angka kesakitan yang cukup tinggi, hal ini disebabkan oleh kondisi faktor lingkungan rumah yang tidak sesuai dengan syarat kesehatan rumah tinggal yang sehat. Sehingga dalam penanganannya diperlukan kesadaran yang tinggi baik dari penderita, masyarakat maupun petugas kesehatan, terutama tentang sanitasi perumahan yang baik/memenuhi syarat berdasarkan standar dari departemen kesehatan atau badan pengawasan perumahan serta pemahaman dan pengetahuan yang lebih tentang penyakit TB Paru, hal ini mebuat peneliti tertarik dengan permasalahan yang ada dan ingin melakukan penelitian dengan judul “Sanitasi Lingkungan Rumah Penderita TB Paru di Wilayah Kerja UPTD Kesehatan Puskesmas Sukamulya Kabupaten Ciamis Tahun 2016” B. Rumusan Masalah Salah satu masalah kesehatan yang paling banyak di abaikan oleh masyarakat adalah masalah lingkungan terutama sanitasi rumah. Sanitasi rumah yang buruk dapat menimbulkan berbagai penyakit baik yang menular maupun tidak menular, salah satunya adalah penyakit Tuberkulosis (TB) Paru. Prevalensi TB Paru Terus meningkat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satu diantaranya adalah faktor lingkungan fisik rumah yang tidak sehat dan belum memenuhi syarat sebagai rumah sehat. Kondisi rumah yang dimaksud antara lain seperti luas ventilasi, pencahayaan, kepadatan Penghuni, suhu, jenis dinding dan lantai yang belum memenuhi syarat kesehatan untuk jenis hunian yang layak di tempati. 9 Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka perumusan masalah yang dapat dikembangkan yaitu “Bagaimanakah Sanitasi Lingkungan Rumah Penderita TB Paru di Wilayah Kerja UPTD Kesehatan Puskesmas Sukamulya Kabupaten Ciamis Tahun 2016?”. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui secara umum sanitasi lingkungan rumah penderita TB Paru di Wilayah Kerja UPTD Kesehatan Puskesmas Sukamulya Kabupaten Ciamis Tahun 2016. 2. Tujuan Khusus a. Diketahuinya kepadatan hunian rumah penderita TB Paru di Wilayah Kerja UPTD Kesehatan Puskesmas Sukamulya Kabupaten Ciamis Tahun 2016 b. Diketahuinya kondisi lantai rumah penderita TB Paru di Wilayah Kerja UPTD Kesehatan Puskesmas Sukamulya Kabupaten Ciamis Tahun 2016 c. Diketahuinya kondisi ventilasi rumah penderita TB Paru di Wilayah Kerja UPTD Kesehatan Puskesmas Sukamulya Kabupaten Ciamis Tahun 2016 d. Diketahuinya kondisi pencahayaan rumah penderita TB Paru di Wilayah Kerja UPTD Kesehatan Puskesmas Sukamulya Kabupaten Ciamis Tahun 2016 10 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Dapat memberikan tambahan khasanah pengetahuan khususnya dalam mendukung pengembangan ilmu pendidikan kesehatan serta dapat dimanfaatkan sebagai acuan ilmiah untuk pengembangan ilmu kesehatan khususnya tentang TB Paru. 2. Manfaat Praktis a. Dinas Kesehatan Penelitian ini diharapkan dapat menjadi data bagi Dinas Kesehatan untuk meningkatkan program kesehatan yang berkaitan dengan penyakit TB Paru dan sanitasi lingkungan rumah penderita TB Paru. b. Puskesmas Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dasar tentang gambaran kondisi sanitasi lingkungan penderita TB Paru untuk meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat tentang penyakit tuberkulosis paru serta sanitasi lingkungan rumah penderita TB Paru. c. Institusi Pendidikan Hasil penelitian ini dapat dijadikan data untuk melaksanakan penyuluhan masyarakat tentang sanitasi lingkungan pada penderita TB Paru. d. Peneliti lain Penelitian ini dapat dijadikan data awal sebagai acuan untuk penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh sanitasi lingkungan rumah terhadap kejadian TB Paru. 11 E. Keaslian Penelitian Penelitian yang hampir sama pernah dilakukan Syafri (2015) yang meneliti tentang Hubungan Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Ngemplak Boyolali. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kondisi fisik rumah dengan kejadian Tuberkulosis paru (TB paru) di wilayah kerja Puskesmas Ngemplak Boyolali. Penelitian ini menggunakan metode surve analitik dengan rancangan kasus kontrol. Populasi dalam penelitian ini adalah penderita TB paru dan bukan penderita TB paru yang berjumlah 38 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan total sampling. Analisis menggunakan Chi-Square menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pencahayaan dengan kejadian TB Paru. Tidak ada hubungan antara luas ventilasi, kelembaban, kepadatan hunian konstan, jenis lantai konstan, dan jenis dinding. Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti tentang kondisi lingkungan rumah penderita TB Paru. Pada penelitian yang akan di lakukan oleh peneliti saat ini mempunyai perbedaan dengan penelitian sebelumnya yaitu judul “Sanitasi lingkungan rumah penderita TB Paru”, lokasi, waktu, populasi, sampel dan jenis penelitian pada penelitian ini merupakan penelitian survey deskriptif di mana bertujuan untuk melihat gambaran sanitasi lingkungan rumah penderita TB Paru. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar 1. TB Paru a. Pengertian Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang banyak menginfeksi manusia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini banyak menginfeksi paru dan jika di obati dengan baik penyakit ini dapat sembuh. Transmisi penyakit biasanya melalaui saluran nafas yaitu melalui droplet yang dihasilkan oleh pasien yang terinfeksi TB (Mario dan Richard, 2011). b. Etiologi dan Faktor Risiko TB paru Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh infeksi kuman (basil) Mycobacterium tuberculosis. Organisme ini termasuk ordo Actinomycetalis, familia Mycobacteriaceae dan genus Mycobacterium. Genus Mycobacterium memiliki beberapa spesies diantaranya Mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan infeksi pada manusia. Basil tuberkulosis berbentuk batang ramping lurus, tapi kadang-kadang agak melengkung, dengan ukuran panjang 2μm-4μm dan lebar 0,2μm–0,5μm. Organisme ini tidak bergerak, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul, bila diwarnai akan terlihat berbentuk manik-manik atau granular. Sebagian besar basil tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lain. Mycobacterium tuberculosis merupakan mikobakteria tahan asam dan merupakan mikobakteria aerob obligat dan mendapat energi 12 13 dari oksidasi berbagai senyawa karbon sederhana. Dibutuhkan waktu 18 jam untuk menggandakan pertumbuhan pada media kultur biasa dapat dilihat dalam waktu 6-8 minggu (Putra, 2010). Suhu optimal untuk tumbuh pada 37ºC dan pH 6,4 – 7,0. Jika dipanaskan pada suhu 60ºC akan mati dalam waktu 15-20 menit. Kuman ini sangat rentan terhadap sinar matahari dan radiasi sinar ultraviolet. Sel nya terdiri dari rantai panjang glikolipid dan phospoglican yang kaya akan mikolat (Mycosida) yang melindungi sel mikobakteria dari lisosom serta menahan pewarna fuschin setelah disiram dengan asam (Herchline, 2013). Epidemiologi penyakit tuberkulosis paru adalah ilmu yang mengkaji frekwensi, distribusi serta determinan. Kajian tersebut menyangkut interaksi antara Mycobacterium tuberculosis sebagai bakteri (agent), manusia (host) dan lingkungan (environment). Disamping itu mencakup perkembangan dan penyebarannya, termasuk didalamnya juga mencakup prevalensi dan insidensi penyakit tersebut yang timbul dari populasi yang tertular (Depkes RI, 2011). 1) Agent (bakteri) Agent adalah penyebab yang esensial yang harus ada, apabila penyakit timbul atau manifest, tetapi agent sendiri tidak sufficient/memenuhi syarat untuk menimbulkan penyakit, agent memerlukan dukungan faktor penentu agar penyakit dapat manifest. Agent yang mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis adalah kuman Mycobacterium tuberculosis. Agent ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pathogenesis, infektifitas dan virulensi (Depkes RI, 2011). 14 Pathogenesis adalah daya suatu mikroorganisme untuk menimbulkan penyakit pada host. Pathogenesis kuman tuberkulosis paru termasuk pada tingkat rendah. Infektifitas adalah kemampuan mikroba untuk masuk ke dalam tubuh host dan berkembang biak di dalamnya. Berdasarkan sumber yang sama infektifitas kuman tuberkulosis paru termasuk pada tingkat menengah. Virulensi adalah keganasan suatu mikroba bagi host. Berdasarkan sumber yang sama virulensi kuman tuberkulosis termasuk tingkat tinggi (Depkes RI, 2011). 2) Host (Manusia) Manusia merupakan reservoir untuk penularan bakteri Mycobacterium tuberculosis, bakteri tuberkulosis paru menular melalui droplet. Seorang penderita tuberkulosis paru dapat menularkan pada 10-15 orang (Depkes RI, 2011). Menurut penelitian pusat ekologi kesehatan, menunjukan tingkat penularan tuberkulosis paru di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan pada 2-3 orang di dalam rumahnya. Di dalam rumah dengan ventilasi yang baik, bakteri ini dapat hilang terbawa angin dan akan lebih baik jika ventilasi ruangannya menggunakan pembersih udara yang bisa menangkap bakteri penyebab tuberkulosis (Depkes RI, 2011). Faktor host terdiri dari: a) Kebiasaan dan paparan, seseorang yang merokok memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena TB. 15 b) Status nutrisi, seseorang dengan berat badan kurang memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena TB. Vitamin D juga memiliki peran penting dalam aktivasi makrofag dan membatasi pertumbuhan Mycobacterium. Penurunan kadar vitamin D dalam serum akan meningkatkan risiko terinfeksi TB. c) Penyakit sistemik, pasien pasien dengan penyakit-penyakit seperti keganasan, gagal ginjal, diabetes, ulkus peptikum memiliki risiko untuk terkena TB. d) Immunocompromised, seseorang yang terkena HIV memiliki risiko untuk terkena TB primer ataupun reaktifasi TB. Selain itu, pengguna obat-obatan seperti kortikosteroid dan TNF-inhibitor juga memiliki risiko untuk terkena TB. e) Usia, di Amerika dan negara berkembang lainnya, kasus TB lebih banyak terjadi pada orang tua daripada dewasa muda dan anak-anak (Horsburgh, 2009). 3) Environment (Lingkungan) Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host (pejamu) baik benda mati, benda hidup, nyata dan abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat interaksi semua elemen-elemen termasuk host yang lain. Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam penularan, terutama lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat atau jauh dari kelayakan (Depkes RI, 2011). Perumahan yang tidak memenuhi persyaratan fisik akan menimbulkan gangguan kesehatan antara lain yang erat kaitannya dengan penyebaran penyakit Tuberkulosis paru. Menurut Achmadi (2010) faktor resiko lingkungan adalah kepadatan hunian, lantai rumah, ventilasi dan pencahayaan. Orang yang tinggal serumah 16 dengan seorang penderita TB akan berisiko untuk terkena TB. Selain itu orang yang tinggal di lingkungan yang banyak terjadi kasus TB juga memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena TB. Pada anak, faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik), dan tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain), yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif. Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius, terutama dengan Basil Tahan Asam (BTA) positif. Berarti bayi dari seorang ibu dengan BTA sputum positif memiliki risiko tinggi terinfeksi TB. Semakin erat bayi tersebut dengan ibunya, semakin besar pula kemungkinan bayi tersebut terpajan percik renik (droplet nuclei) yang infeksius (Kartasasmita, 2009). c. Patogenesis TB paru Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet saluran nafas yang mengandung kuman – kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil. Setelah berada dalam ruang alveolus, biasanya dibagian bawah lobus atas paru atau dibagian atas lobus bawah, basil tuberkel membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri tersebut, namun tidak membunuh organisme 17 tersebut. Sesudah hari-hari pertama, leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi. Bakteri terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari (Price dan Standridge, 2006). Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumoni kecil dan disebut sarang primer atau fokus Ghon, dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus. Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer menurut Amin dan Bahar (2009) selanjutnya dapat menjadi : 1) Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. 2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hilus dan dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant. 3) Berkomplikasi dan menyebar. Kuman yang dormant akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa. TB sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di region atas paru. Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk tuberkel yakni suatu granuloma yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitar dan bagian tengahnya mengalami nekrosis 18 menjadi lembek membentuk perkejuan. Bila jaringan perkejuan dibatukkan, akan menimbulkan kavitas (Amin dan Bahar, 2009). d. Klasifikasi TB Paru Berdasarkan hasil pemerikasaan sputum, TB paru menurut PDPI (2011) dikategorikan menjadi: 1) TB Paru BTA positif a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan BTA positif. b) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. c) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif. 2) TB Paru BTA Negatif a) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif. b) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan menunjukkan tuberkulosis positif. Depkes (2011) menyatakan klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien yaitu: 1) Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). 2) Kasus kambuh (Relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh 19 atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). 3) Kasus setelah putus berobat (Default ) Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. 4) Kasus setelah gagal (Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 5) Kasus Pindahan (Transfer In) Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya. 6) Kasus Lain Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA (+) setelah selesai pengobatan ulangan. e. Manifestasi Klinis Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu gejala lokal dan gejala sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal berupa gejalarespiratorik (PDPI, 2011). 1) Gejala respiratorik Gejala respiratorik sangat bervariasidari mulai tidak bergejala sampai gejala yang cukup berat bergantung dari luas lesi. Gejala respiratorik terdiri dari: (PDPI, 2011) a) Batuk > 2 minggu b) Batuk darah Pemeriksaan Diagnostik 20 c) Sesak nafas d) Nyeri dada. 2) Gejala sistemik Gejala sistemik yang dapat timbul berupa: a) Demam b) Keringat malam c) Anoreksia d) Berat badan menurun. f. Diagnosis TB paru Penemuan penderita TB dilakukan secara pasif artinya penjaringan suspek penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Cara ini biasa dikenal dengan sebutan passive promotive case finding (penemuan penderita secara pasif dengan promosi yang aktif) (Depkes, 2007). Selain itu semua yang memiliki kontak dengan penderita TB paru BTA positif dengan gejala sama harus diperiksa dahaknya. Seorang petugas kesehatan diharapkan menemukan tersangka penderita sedini mungkin, mengingat tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian. Semua tersangka penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari berturut-turut yaitu sewaktu – pagi - sewaktu ( SPS ) (Depkes, 2007). Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan bakteriologis, radiologis dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pada pemeriksaan fisis, kelainan 21 paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan antara lain suara nafas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum (PDPI, 2011). Pada TB paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya (Amin dan Bahar, 2009). Pada pemeriksaan radiologi PDPI (2011) menyatakan gambaran yang dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah : 1) Bayangan berawan atau nodular disegmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah. 2) Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular. 3) Bayangan bercak milier. 4) Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang) Ada beberapa cara pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis TB yaitu dengan cara konvensional dan tidak konvensional. Cara konvensional terdiri dari pemeriksaan mikroskopik, biakan kuman, uji kepekaan terhadap obat, dan identifikasi keberadaan kuman isolat serta pemeriksaan histopatologis (Kusuma, 2007). Pemeriksaan sputum merupakan hal yang penting karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis TB sudah bisa ditegakkan. Dikatakan BTA (+) jika ditemukan dua atau lebih dahak BTA (+) atau 1 BTA (+) disertai dengan hasil radiologi yang menunjukkan TB aktif (PDPI, 2011). 22 Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit. Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru (Depkes, 2007). Gambar 2.1. Alur Diagnosis TB Paru (Depkes, 2007) 23 g. Komplikasi dan Prognosis Terdapat berbagai macam komplikasi TB paru, dimana komplikasi dapat terjadi di paru-paru, saluran nafas, pembuluh darah, mediastinum, pleura ataupun dinding dada (Jeoung dan Lee, 2008). Komplikasi TB ini dapat terjadi baik pada pasien yang diobati ataupun tidak. Secara garis besar Kim et al (2011) komplikasi TB dikategorikan menjadi: 1) Lesi Parenkim a) Tuberkuloma dan thin-walled cavity. b) Sikatriks dan destruksi paru. c) Aspergilloma. d) Karsinoma bronkogenik. 2) Lesi Saluran Nafas a) Bronkiektasis. b) Stenosis trakeobronkial. c) Bronkolitiasis. 3) KomplikasiVaskular a) Trombosis dan vaskulitis. b) Dilatasi arteri bronchial. c) Aneurisma rassmussen. 4) Lesi Mediastinum a) Kalsifikasi nodus limfa. b) Fistula esofagomediastinal. c) Tuberkulosis perikarditis. 24 5) Lesi Pleura a) Chronic tuberculous empyema dan fibrothorax. b) Fistula bronkopleura. c) Pneumotoraks. 6) Lesi dinding dada a) TB kosta. b) Tuberculous spondylitis. c) Keganasanyang berhubungan dengan empyema kronis Prognosis dapat menjadi buruk bila dijumpai keterlibatan ekstraparu, keadaan immunodefisiensi, usia tua, dan riwayat pengobatan TB sebelumnya. Pada suatu penelitian TB di Malawi, 12 dari 199 orang meninggal, dimana faktor risiko terjadinya kematian diduga akibat BMI yang rendah, kurangnya respon terhadap terapi dan keterlambatan diagnosa (Herchline, 2013). Kesembuhan sempurna biasanya dijumpai pada kasus nonMDR dan non-XDR TB, ketika regimen pengobatan selesai. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi dengan sistem DOTS memiliki tingkat kekambuhan 0-14 %. Pada negara dengan prevalensi TB yang rendah, kekambuhan biasanya timbul 12 bulan setelah pengobatan selesai dan biasanya diakibatkan oleh relaps. Hal ini berbeda pada negara dengan prevalensi TB yang tinggi, dimana kekambuhan diakibatkan oleh reinfeksi (Herchline, 2013). h. Pencegahan TB Cara terbaik untuk mencegah TB adalah dengan pengobatan terhadap pasien yang mengalami infeksi TB sehingga rantai penularan terputus. Tiga topik dibawah ini merupakan topik yang penting untuk pencegahan TB : 25 1) Proteksi terhadap paparan TB Diagnosis dan tatalaksana dini merupakan cara terbaik untuk menurunkan paparan terhadap TB. Risiko paparan terbesar terdapat di bangsal TB dan ruang rawat, dimana staf medis dan pasien lain mendapat paparan berulang dari pasien yang terkena TB. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemungkinan transmisi antara lain : a) Cara batuk Cara ini merupakan cara yang sederhana, murah, dan efektif dalam mencegah penularan TB dalam ruangan. Pasien harus menggunakan sapu tangan untuk menutupi mulut dan hidung, sehingga saat batuk atau bersin tidak terjadi penularan melalui udara. b) Menurunkan konsentrasi bakteri (1) Sinar Matahari dan Ventilasi Sinar matahari dapat membunuh kuman TB dan ventilasi yang baik dapat mencegah transmisi kuman TB dalam ruangan. (2) Filtrasi Penyaringan udara tergantung dari fasilitas dan sumber daya yang tersedia. (3) Radiasi UV bakterisidal M.tuberculosis sangat sensitif terhadap radiasi UV bakterisidal. Metode radiasi ini sebaiknya digunakan di ruangan yang dihuni pasien TB yang infeksius dan ruangan dimana dilakukan bronkoskopi. tindakan induksi sputum ataupun 26 c) Masker Penggunaan masker secara rutin akan menurunkan penyebaran kuman lewat udara. Jika memungkinkan, pasien TB dengan batuk tidak terkontrol disarankan menggunakan masker setiap saat. Staf medis juga disarankan menggunakan masker ketika paparan terhadap sekret saluran nafas tidak dapat dihindari. d) Rekomendasi NTP (National TB Prevention) terhadap paparan TB: (1) Segera rawat inap pasien dengan TB paru BTA (+) untuk pengobatan fase intensif, jika diperlukan. (2) Pasien sebaiknya diisolasi untuk mengurangi risiko paparan TB ke pasien lain. (3) Pasien yang diisolasi sebaiknya tidak keluar ruangan tanpa memakai masker. (4) Pasien yang dicurigai atau dikonfirmasi terinfeksi TB sebaiknya tidak ditempatkan di ruangan yang dihuni oleh pasien yang immunocompromised, seperti pasien HIV, transplantasi, atau onkologi. 2) Vaksinasi BCG (Bacillus Calmette Guerin) BCG merupakan vaksin hidup yang berasal dari M.bovis. Fungsi BCG adalah melindungi anak terhadap TB diseminata dan TB ekstra paru berat (TB meningitis dan TB milier). BCG tidak memiliki efek menurunkan kasus TB paru pada dewasa. BCG diberikan secara intradermal kepada populasi yang belum terinfeksi. 27 a) Tes Tuberkulin Neonatus dan bayi hingga berusia 3 bulan tanpa adanya riwayat kontak dengan TB, dapat diberikan vaksinasi BCG tanpa tes tuberkulin sebelumnya. b) Vaksinasi Rutin Pada negara dengan prevalensi TB yang tinggi, WHO merekomendasikan pemberian vaksinasi BCG sedini mungkin, terutama saat baru lahir. Pada bayi baru lahir hingga usia 3 bulan, dosisnya adalah 0,05 ml sedangkan untuk anak yang lebih besar diberikan 0,1 ml. 3) Terapi Pencegahan Tujuan terapi pencegahan adalah untuk mencegah infeksi TB menjadi penyakit, karena penyakit TB dapat timbul pada 10 % orang yang mengalami infeksi TB. Kemoprofilaksis dapat diberikan bila ada riwayat kontak dengan tes tuberkulin positif tetapi tidak ada gejala atau bukti radiologis TB. Obat yang digunakan biasanya adalah isoniazid (5 mg/kg) selama 6 bulan. Jika memungkinkan, dilakukan dengan pengamatan langsung. Kelompok yang mendapat profilaksis menurut Wieslaw et al, (2011) yaitu : a) Bayi dengan ibu yang terinfeksi TB paru Bayi yang sedang mendapat ASI dari ibu dengan TB paru, sebaiknya mendapat isoniazid selama 3 bulan. Setelah 3 bulan, dilakukan tes tuberkulin. Jika hasil negatif maka diberikan vaksinasi, jika positif maka dilanjutkan isoniazid selama 3 bulan lagi. Jika terdapat adanya bukti penyakit, maka perlu diberikan pengobatan penuh. 28 b) Anak dengan riwayat kontak, tuberkulin negatif, tampak sehat, tanpa riwayat BCG, sama seperti di atas. c) Anak dengan riwayat kontak, tuberkulin positif (tanpa riwayat BCG). (1) Anak tanpa gejala sebaiknya diberikan profilaksis isoniazid 6 bulan. (2) Anak dengan gejala dan pemeriksaan yang menunjukkan TB diberikan pengobatan TB. (3) Anak dengan gejala, tapi pemeriksaan tidak menunjukkan TB, diberikan profilaksis isoniazid. i. Pengobatan TB Paru Pengobatan TB menurut PDPI (2011) bertujuan untuk ; 1) Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas. 2) Mencegah kematian. 3) Mencegah kekambuhan. 4) Mengurangi penularan. 5) Mencegah terjadinya resistensi obat. Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip dari Depkes (2011) sebagai berikut: 1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Pemakaian Jangan gunakan OAT-Kombinasi OAT Dosis menguntungkan dan sangat dianjurkan. tunggal Tetap (monoterapi). (OAT-KDT) lebih 29 2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan 1) Tahap Awal (Intensif) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan (Depkes, 2007). 2) Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persistent sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Depkes, 2007). Panduan OAT yang digunakan di Indonesia yaitu : 1) Kategori I a) TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks terdapat lesi luas. b) Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZE/ 4 RH atau 2 RHZE/6HE atau 2 RHZE/ 4R3H3. 30 2) Kategori II a) TB paru kasus kambuh. Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZES/ 1 RHZE sebelum ada hasil uji resistensi. Bila hasil uji resistensi telah ada, berikan obat sesuai dengan hasil uji resistensi. b) TB paru kasus gagal pengobatan (1) Paduan obat yang dianjurkan adalah obat lini 2 sebelum ada hasil uji resistensi (contoh: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin). (2) Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat diberikan 2 RHZES/ 1 RHZE. (3) Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. (4) Bila tidak terdapat hasil uji resistensi, dapat diberikan 5 RHE. c) TB Paru kasus putus berobat. (1) Berobat ≥ 4 bulan (a) BTA saat ini negatif. Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan panyakit paru lain. Bila terbukti TB, maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES / 1 RHZE / 5 R3H3E3). 31 (b) BTA saat ini positif. Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. (2) Berobat ≤ 4 bulan (a) Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES / 1 RHZE / 5 R3H3E3). (b) Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif, pengobatan diteruskan. 3) Kategori III a) TB paru (kasus baru), BTA negatif atau pada foto toraks terdapat lesi minimal. b) Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE / 4 R3H3. 4) Kategori IV TB paru kasus kronik. Paduan obat yang dianjurkan bila belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Bila telah ada hasil uji resistensi, berikan sesuai hasil uji resistensi (minimal OAT yang sensitif ditambah obat lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan). 5) Kategori V MDR TB, paduan obat yang dianjurkan sesuai dengan uji resistensi ditambah OAT lini 2 atau H seumur hidup (PDPI, 2011). Obat-obat TB memiliki efek samping diantaranya : 1) Isoniazid dapat menyebabkan kerusakan hepar yang akan mengakibatkan mual, muntah, dan jaundice. Kadang dapat menyebabkan kebas pada tungkai. 2) Rifampisin dapat menyebabkan kerusakan hepar, perubahan warna air mata, keringat, dan urine menjadi oranye. 32 3) Pirazinamid dapat menyebabkan kerusakan hepar dan gout. 4) Etambutol dapat menyebabkan pandangan kabur dan gangguan penglihatan warna karena obat ini mempengaruhi Nervus optikus. 5) Streptomisin dapat menyebabkan pusing dan gangguan pendengaran akibat kerusakan saraf telinga dalam (Nardell, 2008). Hasil akhir dari pengobatan penderita TB paru BTA positif dan negatif. Dikategorikan menjadi : 1) Sembuh merupakan pasien dengan hasil sputum BTA atau kultur positif sebelum pengobatan, dan hasil pemeriksaan sputum BTA atau kultur negatif pada akhir pengobatan serta sedikitnya satu kali pemeriksaan sputum sebelumnya negatif dan pada foto toraks, gambaran radiologi serial (minimal 2 bulan) tetap sama/ perbaikan. 2) Pengobatan lengkap merupakan pasien yang telah menyelesaikan pengobatan tetapi tidak memiliki hasil pemeriksaan sputum atau kultur pada akhir pengobatan. 3) Meninggal merupakan pasien yang meninggal dengan apapun penyebabnya selama dalam pengobatan. 4) Gagal merupakan pasien dengan hasil sputum atau kultur positif pada bulan kelima atau lebih dalam pengobatan. 5) Default/drop out merupakan pasien dengan pengobatan terputus dalam waktu dua bulan berturut-turut atau lebih. 6) Pindah merupakan pasien yang pindah ke unit (pencatatan dan pelaporan berbeda dan hasil akhir pengobatan belum diketahui. 33 j. Keteraturan Minum Obat Anti Tuberkulosis 1) Pengertian Keteraturan minum OAT adalah suatu proses dimana penderita melakukan ketepatan waktu dalam pengobatan. Hal ini dapat dilihat dari teratur dan tidak teraturnya penderita minum OAT (Kemenkes, 2013). 2) Klasifikasi Keteraturan minum OAT : 1) Teratur : apabila penderita tidak pernah lalai / lupa minum OAT atau pernah lalai ≤ 3 hari berturut-turut pada fase awal dan ≤ 7 hari berturut -turut (1 minggu) pada fase lanjutan. 2) Tidak teratur : apabila penderita lalai atau tidak pernah minum OAT lebih dari 3 hari berturut-turut pada fase awal dan lebih dari 7 hari berturut-turut (1 minggu) pada fase lanjutan. 3) DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse) Pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD (International Union Against TB and Lung Disease) telah mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective). Strategi ini dikembangkan dari berbagai studi, uji coba klinik (clinicals trials), pengalaman-pengalaman terbaik (best practices), dan hasil implementasi program penanggulangan TB selama lebih dari dua dekade. Penerapan strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat menekan penularan, juga mencegah berkembangya MDR- TB (Multi Drugs Resistance-TB) (Kemenkes, 2013). 34 Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan TB.WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995. Bank dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya (Kemenkes, 2013). DOTS mengandung lima komponen, yaitu : a) Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional b) Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskop c) Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah DOT (Directly Observed Theraphy) d) Pengadaan OAT secara berkesinambungan e) Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku/standar Strategi DOTS diatas telah dikembangkan oleh Kemitraan global dalam penanggulangan TB (stop TB partnership) dengan memperluas strategi dots dalam Kemenkes (2013) sebagai berikut : a) Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS b) Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya c) Berkontribusi dalam penguatan sistem kesehatan d) Melibatkan semua pemberi pemerintahmaupun swasta pelayanan kesehatan baik 35 e) Memberdayakan pasien dan masyarakat f) Melaksanakan dan mengembangankan riset. 2. Sanitasi Lingkungan Rumah a. Rumah Sehat Menurut UU No.4/1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga (Sarudji, 2010). Rumah sehat adalah rumah idaman. Rumah sehat adalah kondisi fisik, kimia, biologi di dalam rumah dan perumahan sehingga memungkinkan penghuni atau masyarakat memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Oleh karena itu rumah haruslah sehat dan nyaman agar penghuninya dapat berkarya untuk meningkatkan produktivitas (Syafrudin, Damayani & Delmaifanis, 2011). Rumah sehat adalah sebuah rumah yang dekat dengan air bersih, berjarak lebih dari 100 meter dari tempat pembuangan sampah, dekat dengan sarana pembersihan, serta berada ditempat dimana air hujan dan air kotor tidak menggenang. Banyak ayat-ayat Alqur’an maupun Hadits Nabi yang berisi pesan terkait Kesehatan Lingkungan tersebut, diantaranya menjaga kebersihan dalam hadist riwayat baihaqi yang berbunyi : Artinya : ”Agama Islam itu adalah agama yang bersih atau suci, maka hendaklah kamu menjaga kebersihan. Sesungguhnya tidak akan masuk surga kecuali orang-orang yang suci”. (HR. Baihaqi). 36 Upaya pendekatan dalam yang memlihara dapat kita kebersihan lakukan tersebut dengan diantaranya dengan pengembangan sumber daya manusia yang handal, pembangunan lingkungan berkelanjutan, dan kembali kepada petunjuk Allah SWT dan Rasul-Nya dalam pengelolaan lingkungan hidup. Menurut American Public Health Assosiation (APHA) rumah yang memenuhi persyaratan antara lain memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis, dapat terhindar dari penyakit menular dan terhindar dari kecelakaan-kecelakaan (Mubarak, 2009). Kondisi rumah yang baik penting untuk mewujudkan masyarakat yang sehat. Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebagainya. Sedangkan lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang berada di dalam rumah. Lingkungan rumah terdiri dari lingkungan fisik yaitu ventilasi, suhu, kelembaban, lantai, dinding serta lingkungan sosial yaitu kepadatan penghuni. Rumah yang ruangan terlalu sempit atau terlalu banyak penghuninya akan kekurangan oksigen menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh yang memudahkan terjadinya penyakit sehingga penularan penyakit saluran pernapasan seperti TB paru akan mudah terjadi di antara penghuni rumah (Notoatmodjo, 2011). b. Syarat Rumah Sehat Perumahan yang tidak memenuhi persyaratan fisik akan menimbulkan gangguan kesehatan antara lain yang erat kaitannya dengan penyebaran penyakit Tuberkulosis paru. Menurut Achmadi (2010) faktor resiko lingkungan adalah kepadatan hunian, lantai rumah, ventilasi dan pencahayaan. 37 1) Kepadatan hunian Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit. Semakin padat, maka perpindahan penyakit, khususnya penyakit melalui udara, akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu, kepadatan dalam rumah tempat tinggal merupakan variabel yang berperan dalam kejadian TB paru (Achmadi, 2010). Menurut Mukono (2005), kepadatan penghuni merupakan luas lantai dalam rumah dibagi dengan jumlah anggota keluarga penghuni tersebut. Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyababkan overcrowded. Hal ini tidak sehat karena di samping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga menderita suatu penyakit infeksi terutama TB paru akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain, karena seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada dua sampai tiga orang di dalam rumahnya (Notoatmodjo, 2011). Menurut Depkes RI dalam kutipan mukono (2005), kepadatan penghuni dikategorikan menjadi memenuhi standar (2 orang per 8 m²) dan kepadatan tinggi (lebih 2 orang per 8 m² dengan ketentuan anak <1 tahun tidak diperhitungkan dan umur 110 tahun dihitung setengah). Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 829/Menkes/SK/VII/ 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, luas kamar tidur minimal 8 m² dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruangan. 38 Hasil penelitian Putra (2011) tentang hubungan perilaku dan kondisi sanitasi rumah dengan kejadian TB paru di Kota Solok menunjukkan bahwa responden yang memiliki kondisi kepadatan hunian rumah yang kurang beresiko 5,95 kali tertular TB Paru dibandingkan responden yang mempuyai kondisi kepadatan hunian yang baik (OR = 5.95). Kategori Kepadatan hunian : a) Memenuhi syarat, jika dalam ruangan dihuni 2 orang per 8 m2. b) Tidak memenuhi syarat, jika dalam ruangan dihuni > 2 orang per 8 m2. 2) Lantai Rumah Lantai merupakan dinding penutup ruangan bagian bawah, konstruksi lantai rumah harus rapat air dan selalu kering agar mudah di bersihkan dari kotoran dan debu. Selain itu dapat menghindari meningkatnya kelembaban dalam ruangan. Untuk mencegah masuknya air ke dalam rumah, maka lantai rumah sebaiknya di naikkan 20 cm dari permukaan tanah. Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari bahan yang kedap terhadap air sehingga lantai tidak menjadi lembab dan selalu basah seperti tegel, semen dan keramik (Suyono, 2005). Secara hipotesis jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian TB paru, melalui kelembapan dalam ruangan. Lantai tanah, cenderung menimbulkan kelembapan, dengan demikian viabilitas kuman TB paru di lingkungan juga sangat dipengaruhi. (Achmadi, 2010). 39 Lantai yang tidak memenuhi syarat dapat dijadikan tempat hidup dan perkembangbiakan bakteri terutama bakteri Mycobacterium tuberculosis. Menjadikan udara dalam ruangan lembab, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya (Suyono, 2005). Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 829/Menkes/SK/VII/ 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, lantai rumah tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme patogen, lantai kedap air dan mudah dibersihkan. Hasil penelitian Adnani (2006), tentang hubungan kondisi rumah dengan penyakit TBC Paru di wilayah kerja Puskesmas Karangmojo II Kabupaten Gunungkidul menunjukkan bahwa risikountuk menderita TBC Paru 3-4 kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang lantainya tidak memenuhi syarat kesehatan (OR = 3,75). Kategori kondisi Lantai Rumah : a) Memenuhi syarat, jika kondisi lantai kedap air, terbuat dari bahan yang cukup keras, kuat, rata dan mudah dibersihkan. b) Tidak memenuhi syarat, jika kondisi lantai tidak kedap air, tidak terbuat dari bahan yang cukup keras, kuat, rata dan tidak mudah dibersihkan. 3) Ventilasi Ventilasi bermanfaat bagi sirkulsi pergantian udara dalam rumah serta mengurangi kelembapan. Keringat manusia juga dikenal mempengaruhi kelembapan. Kelembapan dalam ruang tertutup dimana banyak terdapat manusia di dalamnya lebih tinggi 40 dibandingkan kelembapan diluar ruang (Achmadi, 2010). Menurut Sarudji (2010), rumah harus memiliki sistem pertukaran udara yang baik, karena penghuni memerlukan udara yang segar. Setiap ruang/ kamar memerlukan ventilasi yang cukup untuk menjamin kesegaran dan menyehatkan penghuninya. Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga aliran udara dalam rumah tersebut tetap segar. Fungsi kedua ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena disitu selalu terjadi aliran udara yang terus-menerus dan bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir (Notoatmodjo, 2011). Menurut Mubarak dan Chayatin (2009), ada dua macam ventilasi yaitu ventilasi alamiah dan ventilasi buatan. Aliran udara dalam ruangan pada ventilasi alamiah terjadi secara alami melalui jendela, pintu, lubang-lubang dinding, angin-angin, dan sebagainya. Sedangkan pada ventilasi buatan aliran udara terjadi karena adanya alat-alat khusus untuk mengalirkan udara seperti mesin penghisap (AC) dan kipas angin. Pengaruh buruk berkurangnya ventilasi adalah berkurangnya kadar oksigen, bertambahnya kadar gas CO2, adanya bau pengap, suhu udara ruangan naik, dan kelembapan udara ruangan bertambah (Mukono, 2005). Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 829/Menkes/SK/VII/ 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, luas ventilasi alamiah yang permanen minimal 20% dari luas lantai. 41 Hasil penelitian Firdiansyah (2012), tentang pengaruh faktor sanitasi dan sosial ekonomi terhadap kejadian penyakit TB paru BTA positif di Kecamatan Genteng Kota Surabaya menunjukkan bahwa responden yang memiliki ventilasi buruk kemungkinan untuk sakit TB Paru BTA Positif sebesar 3,12 kali lebih besar daripada responden yang memiliki ventilasi baik (OR = 3,12). Kategori Ventilasi rumah a) Memenuhi syarat, jika rumah yang memiliki jendela atau lubang udara pada rumah paling sedikit 20 % dari luas lantai ruangan b) Tidak memenuhi syarat, jika rumah tidak memiliki jendela atau lubang udara pada rumah paling sedikit 20 % dari luas lantai ruangan 4) Pencahayaan Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak terlalu banyak (Achmadi, 2010). Menurut Notoatmodjo (2011), kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya didalam rumah akan menyebabkan silau, dan akhirnya dapat merusakan mata. Menurut Notoatmodjo (2011), cahaya dapat dibedakan menjadi 2, yakni : 42 a) Cahaya alamiah, yakni matahari. Cahaya ini sangat penting, karena dapat menbunuh bakteri-bakteri patogen dalam rumah, misalnya baksil TB paru. Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15% sampai 20% dari luas lantai yang terdapat dalam ruangan rumah. Perlu diperhatikan dalam membuat jendela diusahakan agar sinar matahari dapat langsung masuk kedalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela disini, di samping sebagai ventilasi, juga sebagai jalan masuknya cahaya. Lokasi penempatan jendela pun harus diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lama menyinari lantai (bukan menyinari dinding). Maka sebaiknya jendela itu harus ditengah-tengah tinggi dinding (tembok). Jalan masuknya cahaya alamiah juga diusahakan dengan genteng kaca. Genteng kaca pun dapat dibuat secara sederhana, yakni dengan melubangi genteng biasa pada waktu pembuatannya, kemudian menutupnya dengan pecahan kaca. b) Cahaya buatan, yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik, dan sebagainya. Rumah dengan pencahayaan yang buruk sangat berpengaruh terhadap kejadian penyakit TB paru. Bakteri Mycobacterium tuberculosis dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab dan gelap tanpa sinar matahari bertahun- 43 tahun lamanya, dan mati bila terkena sinar matahari, lisol, sabun, karbon dan kapas api, bakteri ini akan mati dalam waktu dua jam. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 829/Menkes/SK/ VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, pencahayaan alami dan atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata. Hasil penelitian Putra (2011), tentang hubungan perilaku dan kondisi sanitasi rumah dengan kejadian TB paru di Kota Solok menunjukkan bahwa responden yang memiliki kondisi pencahayaan yang kurang beresiko 5,95 kali tertular TB Paru dibandingkan responden yang mempuyai pencahayaan yang baik (OR = 5,95). Kategori Pencahayaan Rumah : a) Memenuhi syarat, jika sinar matahari masuk kedalam ruangan dan menyebar secara merata, terang dan tidak silau b) Tidak memenuhi syarat, jika sinar matahari tidak masuk kedalam ruangan dan tidak menyebar secara merata dan tidak terang B. Landasan Teori Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang banyak menginfeksi manusia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini banyak menginfeksi paru dan jika di obati dengan baik penyakit ini dapat sembuh. Transmisi penyakit biasanya melalaui saluran nafas yaitu melalui droplet yang dihasilkan oleh pasien yang terinfeksi TB (Mario dan Richard, 2011). 44 Menurut UU No.4/1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga (Sarudji, 2010). Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebagainya. Sedangkan lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang berada di dalam rumah. Lingkungan rumah terdiri dari lingkungan fisik yaitu ventilasi, suhu, kelembaban, lantai, dinding serta lingkungan sosial yaitu kepadatan penghuni. Rumah yang ruangan terlalu sempit atau terlalu banyak penghuninya akan kekurangan oksigen menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh yang memudahkan terjadinya penyakit sehingga penularan penyakit saluran pernapasan seperti TB paru akan mudah terjadi di antara penghuni rumah (Notoatmodjo, 2011). Menurut Achmadi (2010) faktor resiko lingkungan adalah kepadatan hunian, lantai rumah, ventilasi dan pencahayaan. C. Kerangka Konsep Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian-penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo, 2012). Kerangka konsep dalam penelitian ini menggambarkan kondisi sanitasi lingkungan rumah penderita TB Paru dimana sanitasi lingkungan rumah merupakan faktor resiko TB paru, kerangka konsep penelitian dapat di gambarkan sebagai berikut : 45 Sanitasi Lingkungan Rumah : Agent - Kepadatan Hunian - Lantai Rumah - Ventilasi - Pencahayaan Host Environment Memenuhi Syarat TB Paru + Tidak Memenuhi Syarat Gambar 2.2 Kerangka Konsep (Achmadi (2010)) Keterangan : : Diteliti : Tidak diteliti Kerangka konsep di atas menggambarkan TB Paru dipengaruhi oleh paktor agent, host dan Environment. Environment merupakan sanitasi lingkungan rumah penderita TB Paru yaitu kepadatan hunian, lantai rumah, ventilasi dan pencahayaan di sanitasi lingkungan rumah tersebut merupakan faktor resiko terjadinya penyakit TB Paru, dimana sanitasi lingkungan rumah yang memenuhi syarat tidak akan menyebaarkan TB Paru dan yang tidak memenuhi syarat bisa menyebaarkan TB Paru. DAFTAR PUSTAKA Al-Quran Surat Al-Anbiya’ (21):30 Al-Hadist Riwayat Baihaqi tentang kebersihan Achmadi, U.F. (2010). Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta : Penerbit UI Press. ____________. (2012). Dasar - Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta : Rajawali Pers. Adnani, H. (2006). Hubungan Kondisi Rumah Dengan Penyakit TBC Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Karangmojo II Kabupaten Gunungkidul Tahun 2003-2006. Jurnal Kesehatan Surya Medika Yogyakarta. Amin dan Bahar, (2009) Tuberkulosis Paru. Dalam :Sudoyo, A., W., dkk. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam Jilid II. Ed 4. Jakarta : FKUI Arikunto, S. (2010). Prosedur penelitian : Suatu Pendekatan Praktik. (Edisi Revisi). Jakarta : Rineka Cipta Atif et al., (2012) Tracing contacts of TB patients in Malaysia: costs and practicality. A Springer Open Journal. 1:8 Batti’ (2013) Analisis Hubungan Antara Kondisi Ventilasi, Kepadatan Hunian, Kelembaban Udara, Suhu, Dan Pencahayaan Alami Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Wara Utara Kota Palopo. Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado. Available from: http://fkm.unsrat.ac.id/ [Accesed 13 Maret 2016]. Depkes RI. (2011). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. _________. (2007) Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Edisi 3, Cetakan II. Dinkes Ciamis, (2015). Laporan Survisasi Tepadu Berbasis Puskesmas (STP) Dinas Kesehatan Ciamis. Firdiansyah, W.N. (2012). Pengaruh Faktor Sanitasi Rumah dan Sosial EkonomiTerhadap Kejadian Penyakit TB Paru BTA Positif Di Kecamatan Genteng Kota Surabaya. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. Herchline, (2013) Tuberculosis. Availlable from: http://emedicine.medscape.com/ [accesed 11 Maret 2016] Horsburgh, C.R., (2009) Epidemiology of Tuberculosis. Available www.uptodate.com [accesed 11 Maret 2016]. from: Jeong, Y., J., Lee, K., S., (2008) Pulmonary Tuberculosis : Up-To-Date Imaging and Management. American Journal of Roentgenology : 191 (3). Available From: http://www.ajronline.org/ [accesed 12 Maret 2016]. Kartasasmita, C.B., (2009) Epidemiologi Tuberkulosis. Sari Pediatri : 11 (2) Kemenkes RI, (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Kim et al, (2011) Thoracic Sequelae and Complications of Tuberculosis. Radio Graphics. 21 (4) Kusuma, (2007) Diagnostik Tuberkulosis Baru. Sari Pediatri. 8 (4) Mario dan Richard, (2011) Tuberculosis. Dalam : Kasper, D., L., et al. Harrison Principles of Internal Medicine 16 th Ed. Mc Graw-Hill. Mubarak, I. dan Chayatin, N. 2009. Ilmu Kesehatan Masyarakat : Teori dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika. Mukono. 2005. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Surabaya: Airlangga University Press. Nardell, (2008) Tuberculosis. available from : http://www.merckmanuals.com/ [accesed 11 Maret 2016] Notoatmodjo,S, (2010). Promosi Kesehatan Teori Dan Aplikasi, Rineka Cipta Jakarta. ____________, (2011). Kesehatan Masyarakat : Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta. ____________, (2012) Promosi Kesehatan Dan Perilaku Kesehatan Rineka cipta : Jakarta. Nursalam. (2013) Konsep dan Penerapan Metodologi Keperawatan. Penerbit Salemba Medika Jakarta. Penelitian Ilmu PDPI, (2011) Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia :Jakarta Price, S.A., Standridge, M.P., (2006) Tuberkulosis Paru. Dalam: Price, S.A., Wilson, L.M., Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC Putra, A.K., (2010) Kejadian Tuberkulosis Pada Anggota Keluarga Yang Tinggal Serumah Dengan Penderita TB Paru BTA Positif. Available from: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/19500 [accesed 1 Maret 2016]. Sarudji, D. 2010. Kesehatan Lingkungan. Cetakan Pertama. Bandung: Karya Putra Darwati. Syafrudin, Damayani & Delmaifanis. 2011. Himpunan Penyuluhan Kesehatan, CV. Trans Info Media, Jakarta. Tjandra, 2014 Indonesia Peringkat 4 Pasien TB Terbanyak di Dunia Available from: http://health.kompas.com/ [Accesed 3 Maret 2016]. Tobing, T.L. 2008. Pengaruh Perilaku Penderita TB Paru dan Kondisi Rumah terhadap Pencegahan Potensi Penularan TB Paru Pada Keluarga di Kabupaten Tapanilu Utara Tahun 2008. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Wieslaw et al, (2011) TB Manual National Tuberculosis Programme Guidelines. Available from : www.euro.who.int/ [Accesed 9 Maret 2016]. World Health Organization (WHO). 2012 Global Tuberculosis Report. Available from: http://www.who.int/ [Accesed 3 Maret 2016].