hubungan antara tingkat pengetahuan remaja tentang kesehatan

advertisement
SANITASI LINGKUNGAN RUMAH PENDERITA TB
PARU DI WILAYAH KERJA UPTD KESEHATAN
PUSKESMAS SUKAMULYA
KABUPATEN CIAMIS
TAHUN 2016
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan
Pada Program S1 Keperawatan
Oleh :
USEP DEVI SETIAWAN
NIM : 12SP277040
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
CIAMIS
2016
SANITASI LINGKUNGAN RUMAH PENDERITA TB PARU DI WILAYAH
KERJA UPTD KESEHATAN PUSKESMAS SUKAMULYA
KABUPATEN CIAMIS TAHUN 2016 1
Usep Devi Setiawan 2 Elis Noviati 3 Lilis Lismayanti 4
INTISARI
Salah satu masalah kesehatan yang paling banyak di abaikan oleh masyarakat
adalah masalah lingkungan terutama sanitasi rumah. Sanitasi rumah yang buruk
dapat menimbulkan berbagai penyakit baik yang menular maupun tidak menular,
salah satunya adalah penyakit Tuberkulosis (TB) Paru.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara umum sanitasi
lingkungan rumah penderita TB Paru di Wilayah Kerja UPTD Kesehatan
Puskesmas Sukamulya Kabupaten Ciamis Tahun 2016.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yang bersifat deskriptif yaitu suatu
metode penelitian dengan tujuan utama membuat gambaran atau deskripsi suatu
objek. Populasi dalam penelitian ini adalah penderita TB Paru di Wilayah Kerja
UPTD Kesehatan Puskesmas Sukamulya Kabupaten Ciamis. Pengambilan
sampel dalam penelitian ini tidak menggunakan teknik sampling karena seluruh
populasi dijadikan responden yaitu semua penderita TB Paru sebanyak 30 orang.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Sanitasi Lingkungan Rumah Penderita TB
Paru di Wilayah Kerja UPTD Kesehatan Puskesmas Sukamulya Kabupaten
Ciamis, frekuensi tertinggi adalah kategori tidak memenuhi syarat sebanyak 28
orang (93,3%) dengan rincian Kepadatan Hunian Rumah 15 orang (50%)
berkategori memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat, lantai rumah 30 orang
(100%) memenuhi syarat, ventilasi dan pencahayaan 24 orang (80%) tidak
memenuhi syarat.
Saran diharapkan agar lebih memperhatikan kesehatan lingkungan masyarakat.
Pemberian Penyuluhan-penyuluhan tentang rumah yang sesuai dengan syarat
kesehatan serta lebih giat mengontrol pasien TB paru agar tidak terjadi
penularan penyakit
Kata Kunci
:
Kepustakaan :
Keterangan :
Sanitasi Linkungan Rumah, TB Paru
38 Referensi (2005-2015)
1 Judul, 2 Nama Mahasiswa S1 Keperawatan, 3 Nama
Pembimbing I, 4 Nama Pembimbing II
v
SANITARY HOME ENVIRONMENT WITH PULMONARY TB PATIENT IN THE
PUBLIC HEALTH CENTER OF UPTD HEALTH SUKAMULYA DISTRICT
CIAMIS YEAR 2016 1
Usep Devi Setiawan 2 Elis Noviati 3 Elis Roslianti 4
ABSTRACT
One of the health problems of the most widely ignored by the public is a problem
especially sanitary home environment. Sanitation bad home can cause a variety
of diseases both infectious and non-infectious, one of which is tuberculosis (TB)
Lung.
The purpose of this study was to determine the general sanitary home
environment with pulmonary tuberculosis in the public health center of UPTD
health Sukamulya district Ciamis year 2016.
This research uses descriptive research is a research method with the ultimate
aim of making a picture or description of an object. The population in this study
were with pulmonary tuberculosis in the public health center of UPTD health
Sukamulya district Ciamis. The samples in this study did not use sampling
techniques because the entire population of respondents ie all patients with
pulmonary TB as many as 30 people.
The results showed that the Sanitation House pulmonary TB patients in the public
health center of UPTD health Sukamulya district Ciamis, the highest frequency
category is not eligible as many as 28 people (93.3%) with the details Density
Residential House for 15 people (50%) categorized as eligible and does not
qualify, floors house 30 people (100%) eligible, ventilation and lighting 24 people
(80%) are not eligible.
Recommendations are expected to be more health conscious society. Granting
Extension-extension of the house in accordance with the health requirements as
well as more active control of pulmonary TB patients to prevent transmission of
disease
Keywords :
Bibliography :
Description :
Sanitary Home Environment, Pulmonary TB
38 reference (2005-2015)
1.Title, 2. Student Name, 3. Name of Supervisor I, 4. Name of
Supervisor II
vi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur
kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kesehatan menurut UndangUndang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 adalah keadaan sehat,
baik secara fisik, mental, sepritual maupun sosial yang memungkinkan setiap
orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Kesehatan
merupakan
masalah
sosial,
ekonomi,
politik
dan
merupakan hak asasi manusia yang paling penting. Menurut Adnani dan Asih
(2006) derajat kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
adalah
faktor
lingkungan.
Sesuai
dengan
Undang-Undang
Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 pasal 6 menyatakan bahwa setiap orang
berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat
kesehatan.
Banyak ayat-ayat Alqur’an maupun Hadits Nabi yang berisi pesan
terkait Kesehatan Lingkungan, antaralain menjaga kesehatan dengan
memelihara air karena air merupakan salah satu sumber alam yang sangat
penting untuk dijaga, karena air sebagai sumber kehidupan bagi manusia,
hewan, dan tumbuhan. Anjuran ini terdapat pada QS Al-Anbiya’ (21):30 yang
berbunyi :
1
2
Artinya: “ Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui
bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu,
kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala
sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? ”
Manusia wajib menjaga dan melestarikan sumber-sumber air, karena
makhluk hidup terutama manusia sangat membutuhkan air. Janganlah
melakukan tindakan yang dapat mencemari dan merusak sumber air,
termasuk menggunakan air secara berlebihan. Selain ayat Al Quran di atas
ada juga hadist yang menganjurkan untuk menjaga kebersihan yang
berbunyi :
Artinya : ”Agama Islam itu adalah agama yang bersih atau suci, maka
hendaklah kamu menjaga
kebersihan. Sesungguhnya tidak akan masuk
surga kecuali orang-orang yang suci”. (HR. Baihaqi).
Upaya dalam memlihara kebersihan tersebut dengan pendekatan
yang dapat kita lakukan diantaranya dengan pengembangan sumber daya
manusia yang handal, pembangunan lingkungan berkelanjutan, dan kembali
kepada petunjuk Allah SWT dan Rasul-Nya dalam pengelolaan lingkungan
hidup. Adapun syarat SDM handal antara lain SDM sadar akan lingkungan
dan berpandangan holistis, sadar hukum, dan mempunyai komitmen
terhadap lingkungan.
3
Salah satu masalah kesehatan yang paling banyak di abaikan oleh
masyarakat adalah masalah lingkungan terutama sanitasi rumah. Sanitasi
rumah yang buruk dapat menimbulkan berbagai penyakit baik yang menular
maupun tidak menular, salah satunya adalah penyakit Tuberkulosis (TB)
Paru. TB Paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh Bakteri Tahan
Asam (BTA) Mycobacterium tuberculosa. TB Paru merupakan masalah
kesehatan global utama sebagai penyebab utama kematian, tahun 2014
terjadi kematian sebanyak 1,5 juta yang diakibatkan TB paru. Tahun 2014
kasus TB Paru yang dilaporkan kepada WHO sebanyak 6,1 juta, 5,7 juta
diantaranya adalah kasus baru dan 0,4 juta lainnya adalah penderita TB Paru
yang menjalani pengobatan. Hal ini berarti, dari 9,0 juta orang yang diprediksi
menderita TB, sekitar 3,0 juta kasus belum terdiagnosa atau terdiagnosa tapi
tidak dilaporkan kepada National TB Programmes (NTPs) (WHO, 2015).
Sebagian besar perkiraan jumlah kasus pada tahun 2014 terjadi di
Asia (56%) dan Daerah Afrika (29%) proporsi kasus yang lebih kecil terjadi di
Timur Mediterania Region (8%), wilayah Eropa (4%) dan Daerah Amerika
(3%). 22 HBCs yang telah diberikan prioritas tertinggi di tingkat global sejak
tahun 2000 menyumbang 82% dari semua diperkirakan kasus insiden di
seluruh dunia. Enam negara yang menonjol memiliki jumlah terbesar kasus
insiden pada tahun 2014 adalah India (2,0 juta-2,3 juta), Cina (0,9 juta-1,1
juta), Nigeria (340.000-880.000), Pakistan (370.000-650.000), Indonesia
(410.000-520.000) dan Afrika Selatan (410.000-520.000) dan lima lainnya
negara yang membentuk sepuluh dalam hal jumlah kasus yang disorot
adalah India dan China saja yang menyumbang 24% dan 11% dari kasus
global (WHO, 2015).
4
Angka penemuan kasus baru TB secara nasional mengalami
penurunan dalam tiga tahun terakhir. Tahun 2012 CDR 61%, turun menjadi
60% pada tahun 2013 dan 46% (2014). Sasaran strategi nasional
pengendalian TB hingga 2014 mengacu pada rencana strategis Kementerian
Kesehatan 2009-2014 yaitu menurunkan prevalensi TB dari 235 per 100.000
penduduk menjadi 224 per 100.000 penduduk. Saat ini diperkirakan ada 1
dari setiap 3 kasus TB yang masih belum terdeteksi oleh program.
Diperkirakan 2% dari kasus TB baru dan 12% dari kasus TB pengobatan
ulang merupakan kasus TB MDR. Diperkirakan pula Iebih dari 55% pasien
Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR TB) belum terdiagnosis atau
mendapat pengobatan dengan baik dan benar (Kemenkes, 2015).
Prevalensi tuberkulosis paru di Propinsi Jawa Barat sebesar
141/100.000 penduduk, Success Rate (SR) Provinsi Jawa Barat sebesar
92,1% telah melampaui target Renstra 2014 sebesar 87% (Kemenkes,
2015).
Meningkatnya prevalensi TB Paru disebabkan oleh beberapa faktor
bakteri (agent), manusia (host) dan lingkungan (environment). Agent yang
mempengaruhi
penularan
penyakit
tuberkulosis
adalah
kuman
Mycobacterium tuberculosis. Agent ini dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya pathogenesis, infektifitas dan virulensi. Host adalah manusia
yang merupakan reservoir untuk penularan bakteri
Mycobacterium
tuberculosis, bakteri tuberkulosis paru menular melalui droplet. Seorang
penderita tuberkulosis paru dapat menularkan pada 10-15 orang. Lingkungan
adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host (pejamu) baik benda mati,
benda hidup, nyata dan abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat
interaksi semua elemen-elemen termasuk host yang lain. Faktor lingkungan
5
memegang peranan penting dalam penularan, terutama lingkungan rumah
yang tidak memenuhi syarat atau jauh dari kelayakan (Depkes RI, 2011).
Faktor lingkungan rumah yang tidak sehat dan belum memenuhi
syarat sebagai rumah sehat maka kondisi rumah yang seperti ini jelas akan
berdampak pada kesehatan khususnya pada kejadian TB paru. Kondisi
rumah yang dimaksud antara lain seperti luas ventilasi, pencahayaan,
kepadatan Penghuni, suhu, jenis dinding dan lantai yang belum memenuhi
syarat kesehatan untuk jenis hunian yang layak di tempati. (Noriman
Harun,2010).
Tobing (2008), kondisi lingkungan terutama kondisi rumah juga
memiliki peranan dalam penyebaran bakteri TB paru ke orang yang sehat.
Bakteri TB paru yang terdapat di udara saat penderita TB paru bersin akan
dapat bertahan hidup lebih lama jika keadaan udara lembab dan kurang
cahaya. Penyebaran bakteri TB paru akan lebih cepat menyerang orang
sehat jika berada dalam rumah yang lembab, kurang cahaya dan padat
hunian.
Mikobakterium sangat sensitif terhadap sinar matahari. Cahaya
matahari berperan besar dalam membunuh kuman di lingkungan. Oleh
sebab itu, ventilasi rumah sangat penting dalam manajemen TB paru
berbasis keluarga atau wilayah. Genteng kaca juga dipercaya dapat
membantu masuknya sinar matahari ke dalam kamar dan mengeliminasi
kuman-kuman atau bakteri yang berada di lantai atau tempat tidur (Achmadi,
2012).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Batti’ (2013) tentang
analisis hubungan antara kondisi ventilasi, kepadatan hunian, kelembaban
udara, suhu, dan pencahayaan alami rumah dengan kejadian tuberkulosis
6
paru, menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kondisi ventilasi,
kepadatan hunian, kelembaban suhu ruangan dan pencahayaan alami
dengan kejadian penyakit TB paru, dimana kondisi ventilasi
yang tidak
memenuhi syarat kemungkinan menderita penyakit TB Paru sebesar 36
kali, kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat kemungkinan menderita
penyakit TB Paru sebesar 10 kali, kelembaban udara yang tidak memenuhi
syarat kemungkinan menderita penyakit TB Paru sebesar 3 kali, suhu
ruangan yang tidak memenuhi syarat kemungkinan menderita penyakit TB
Paru sebesar 9 kali dan pencahayaan alami rumah yang tidak memenuhi
syarat kemungkinan menderita penyakit TB Paru sebesar 5 kali dibandingkan
yang memenuhi syarat.
Jumlah penderita TB Paru yang berada di Kabupaten Ciamis pada
tahun 2013 sebanyak 1.164 kasus, tahun 2014 sebanyak 1.388 kasus dan
tahun 2015 sebanyak 1.395 kasus. Data 5 besar UPTD Kesehatan
Puskesmas dengan penderita TB Paru di Kabupaten Ciamis Tahun 2015
yaitu Sukamulya sebanyak 37 orang (208,33%) dari target penemuan 24
orang, Gardujaya sebanyak 35 orang (159,09%) dari target penemuan 22
orang, Sukamantri sebanyak 30 orang (115,38%) dari target penemuan 26
orang, Panumbangan sebanyak 30 orang (111,11%) dari target penemuan
27 orang dan Jatinagara sebanyak 30 orang (111,11%) dari target
penemuan 27 orang (Dinkes Ciamis, 2015).
UPTD Kesehatan Puskesmas Sukamulya merupakan Puskesmas
yang memiliki jumlah penderita TB Paru ke 1 terbanyak di bandingkan
dengan UPTD Kesehatan puskesmas yang lain di Kabupaten Ciamis. Hasil
wawancara dengan petugas di UPTD Kesehatan Puskesmas Sukamulya
angka kejadian
TB
Paru dari tahun
ketahun
semakin meningkat.
7
Berdasarkan data dari puskesmas pada tahun 2013 penderita TB Paru
sebanyak 37 orang, tahun 2014 sebanyak 48 orang. UPTD Kesehatan
Puskesmas Sukamulya telah
menjalankan program penanggulangan
penyakit TB Paru dengan menyediakan OAT jangka pendek dengan mutu
terjamin dan pencatatan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan
evaluasi program penanggulangan TB Paru namun angka kejadian TB Paru
masih tinggi.
Data kasus TB Paru UPTD Kesehatan Puskesmas Sukamulya Tahun
2015 berdasarkan Desa yaitu Sukasetia sebanyak 5 kasus, Sukahaji
sebanyak 9 kasus, Sukamaju sebanyak 3 kasus, Sukahurip sebanyak 4
kasus, Cijulang sebanyak 9 kasus, sukamulya sebanyak 8 kasus. Hasil
wawancara
yang
dilakukan
dengan
petugas
pemegang
program
penanggulangan TB Paru, didapatkan informasi bahwa faktor yang paling
mempengaruhi tingginya angka kejadian TB Paru di wilayah UPTD
Kesehatan Puskesmas Sukamulya adalah faktor kontak langsung dengan
penderita TB Paru dan faktor kondisi lingkungan.
John Gordon mengklasifikasikan penyebab penyakit ke dalam trias
epidemiologi, yaitu faktor Host, Agent dan Environment, dari ketiga faktor
tersebut, faktor lingkungan berpengaruh besar terhadap penyakit-penyakit
yang berhubungan dengan pernafasan (Depkes RI, 2011).
Hasil studi pendahuluan pada 5 rumah penderita tuberculosis paru di
daerah Sukamulya di dapatkan hasil bahwa sebagian besar warga memiliki
sanitasi lingkungan yang buruk. Ditandai dengan rumah yang saling
berhimpitan, ventilasi yang kurang yaitu 10% luas lantai yang seharusnya
20% dari luas lantai, kelembaban rumah yang tidak baik dan banyaknya
kontak dengan penderita tuberculosis aktif.
8
Berdasarkan uraian di atas, penyakit TB Paru merupakan salah satu
penyakit dengan angka kesakitan yang cukup tinggi, hal ini disebabkan oleh
kondisi faktor lingkungan rumah yang tidak sesuai dengan syarat kesehatan
rumah tinggal yang sehat. Sehingga dalam penanganannya diperlukan
kesadaran yang tinggi baik dari penderita, masyarakat maupun petugas
kesehatan, terutama tentang sanitasi perumahan yang baik/memenuhi syarat
berdasarkan standar dari departemen kesehatan atau badan pengawasan
perumahan serta pemahaman dan pengetahuan yang lebih tentang penyakit
TB Paru, hal ini mebuat peneliti tertarik dengan permasalahan yang ada dan
ingin melakukan penelitian dengan judul “Sanitasi Lingkungan Rumah
Penderita TB Paru di Wilayah Kerja UPTD Kesehatan Puskesmas
Sukamulya Kabupaten Ciamis Tahun 2016”
B. Rumusan Masalah
Salah satu masalah kesehatan yang paling banyak di abaikan oleh
masyarakat adalah masalah lingkungan terutama sanitasi rumah. Sanitasi
rumah yang buruk dapat menimbulkan berbagai penyakit baik yang menular
maupun tidak menular, salah satunya adalah penyakit Tuberkulosis (TB)
Paru. Prevalensi TB Paru Terus meningkat disebabkan oleh beberapa faktor,
salah satu diantaranya adalah faktor lingkungan fisik rumah yang tidak sehat
dan belum memenuhi syarat sebagai rumah sehat. Kondisi rumah yang
dimaksud antara lain seperti luas ventilasi, pencahayaan, kepadatan
Penghuni, suhu, jenis dinding dan lantai yang belum memenuhi syarat
kesehatan untuk jenis hunian yang layak di tempati.
9
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka perumusan
masalah
yang
dapat
dikembangkan
yaitu
“Bagaimanakah
Sanitasi
Lingkungan Rumah Penderita TB Paru di Wilayah Kerja UPTD Kesehatan
Puskesmas Sukamulya Kabupaten Ciamis Tahun 2016?”.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui secara umum sanitasi lingkungan rumah
penderita TB Paru di Wilayah Kerja UPTD Kesehatan Puskesmas
Sukamulya Kabupaten Ciamis Tahun 2016.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya kepadatan hunian rumah penderita TB Paru di Wilayah
Kerja UPTD Kesehatan Puskesmas Sukamulya Kabupaten Ciamis
Tahun 2016
b. Diketahuinya kondisi lantai rumah penderita TB Paru di Wilayah Kerja
UPTD Kesehatan Puskesmas Sukamulya Kabupaten Ciamis Tahun
2016
c. Diketahuinya kondisi ventilasi rumah penderita TB Paru di Wilayah
Kerja UPTD Kesehatan Puskesmas Sukamulya Kabupaten Ciamis
Tahun 2016
d. Diketahuinya kondisi pencahayaan rumah penderita TB Paru di
Wilayah Kerja UPTD Kesehatan Puskesmas Sukamulya Kabupaten
Ciamis Tahun 2016
10
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Dapat memberikan tambahan khasanah pengetahuan khususnya
dalam mendukung pengembangan ilmu pendidikan kesehatan serta
dapat dimanfaatkan sebagai acuan ilmiah untuk pengembangan ilmu
kesehatan khususnya tentang TB Paru.
2. Manfaat Praktis
a. Dinas Kesehatan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi data bagi Dinas
Kesehatan untuk meningkatkan program kesehatan yang berkaitan
dengan penyakit TB Paru dan sanitasi lingkungan rumah penderita TB
Paru.
b. Puskesmas
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dasar
tentang gambaran kondisi sanitasi lingkungan penderita TB Paru
untuk
meningkatkan
penyuluhan
kepada
masyarakat
tentang
penyakit tuberkulosis paru serta sanitasi lingkungan rumah penderita
TB Paru.
c. Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan data untuk melaksanakan
penyuluhan masyarakat tentang sanitasi lingkungan pada penderita
TB Paru.
d. Peneliti lain
Penelitian ini dapat dijadikan data awal sebagai acuan untuk
penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh sanitasi lingkungan rumah
terhadap kejadian TB Paru.
11
E. Keaslian Penelitian
Penelitian yang hampir sama pernah dilakukan Syafri (2015) yang
meneliti tentang
Hubungan
Kondisi Fisik Rumah
Dengan
Kejadian
Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Ngemplak Boyolali.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kondisi fisik
rumah dengan kejadian Tuberkulosis paru (TB paru) di wilayah kerja
Puskesmas Ngemplak Boyolali. Penelitian ini menggunakan metode surve
analitik dengan rancangan kasus kontrol. Populasi dalam penelitian ini adalah
penderita TB paru dan bukan penderita TB paru yang berjumlah 38 orang.
Teknik
pengambilan
sampel
menggunakan
total
sampling.
Analisis
menggunakan Chi-Square menunjukkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara pencahayaan dengan kejadian TB Paru. Tidak ada
hubungan antara luas ventilasi, kelembaban, kepadatan hunian konstan,
jenis lantai konstan, dan jenis dinding.
Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti tentang
kondisi lingkungan rumah penderita TB Paru. Pada penelitian yang akan di
lakukan oleh peneliti saat ini mempunyai perbedaan dengan penelitian
sebelumnya yaitu judul “Sanitasi lingkungan rumah penderita TB Paru”,
lokasi, waktu, populasi, sampel dan jenis penelitian pada penelitian ini
merupakan penelitian survey deskriptif
di mana bertujuan untuk melihat
gambaran sanitasi lingkungan rumah penderita TB Paru.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar
1. TB Paru
a. Pengertian
Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang banyak
menginfeksi
manusia
yang
disebabkan
oleh
Mycobacterium
tuberculosis. Penyakit ini banyak menginfeksi paru dan jika di obati
dengan baik penyakit ini dapat sembuh. Transmisi penyakit biasanya
melalaui saluran nafas yaitu melalui droplet yang dihasilkan oleh
pasien yang terinfeksi TB (Mario dan Richard, 2011).
b. Etiologi dan Faktor Risiko TB paru
Tuberkulosis
adalah
penyakit
menular
langsung
yang
disebabkan oleh infeksi kuman (basil) Mycobacterium tuberculosis.
Organisme
ini
termasuk
ordo
Actinomycetalis,
familia
Mycobacteriaceae dan genus Mycobacterium. Genus Mycobacterium
memiliki beberapa spesies diantaranya Mycobacterium tuberculosis
yang menyebabkan infeksi pada manusia. Basil tuberkulosis berbentuk
batang ramping lurus, tapi kadang-kadang agak melengkung, dengan
ukuran panjang 2μm-4μm dan lebar 0,2μm–0,5μm. Organisme ini tidak
bergerak, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul, bila diwarnai
akan terlihat berbentuk manik-manik atau granular. Sebagian besar
basil tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ
tubuh lain. Mycobacterium tuberculosis merupakan mikobakteria tahan
asam dan merupakan mikobakteria aerob obligat dan mendapat energi
12
13
dari oksidasi berbagai senyawa karbon sederhana. Dibutuhkan waktu
18 jam untuk menggandakan pertumbuhan pada media kultur biasa
dapat dilihat dalam waktu 6-8 minggu (Putra, 2010).
Suhu optimal untuk tumbuh pada 37ºC dan pH 6,4 – 7,0. Jika
dipanaskan pada suhu 60ºC akan mati dalam waktu 15-20 menit.
Kuman ini sangat rentan terhadap sinar matahari dan radiasi sinar
ultraviolet.
Sel
nya
terdiri
dari
rantai
panjang
glikolipid
dan
phospoglican yang kaya akan mikolat (Mycosida) yang melindungi sel
mikobakteria dari lisosom serta menahan pewarna fuschin setelah
disiram dengan asam (Herchline, 2013).
Epidemiologi penyakit tuberkulosis paru adalah ilmu yang
mengkaji frekwensi, distribusi serta determinan. Kajian tersebut
menyangkut interaksi antara
Mycobacterium tuberculosis sebagai
bakteri (agent), manusia (host) dan lingkungan (environment).
Disamping
itu
mencakup
perkembangan
dan
penyebarannya,
termasuk didalamnya juga mencakup prevalensi dan insidensi penyakit
tersebut yang timbul dari populasi yang tertular (Depkes RI, 2011).
1) Agent (bakteri)
Agent adalah penyebab yang esensial yang harus ada,
apabila penyakit timbul atau manifest, tetapi agent sendiri tidak
sufficient/memenuhi syarat untuk menimbulkan penyakit, agent
memerlukan dukungan faktor penentu agar penyakit dapat
manifest.
Agent
yang
mempengaruhi
penularan
penyakit
tuberkulosis adalah kuman Mycobacterium tuberculosis. Agent ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pathogenesis,
infektifitas dan virulensi (Depkes RI, 2011).
14
Pathogenesis adalah daya suatu mikroorganisme untuk
menimbulkan
penyakit
pada
host.
Pathogenesis
kuman
tuberkulosis paru termasuk pada tingkat rendah. Infektifitas adalah
kemampuan mikroba untuk masuk ke dalam tubuh host dan
berkembang biak di dalamnya. Berdasarkan sumber yang sama
infektifitas kuman tuberkulosis paru termasuk pada tingkat
menengah. Virulensi adalah keganasan suatu mikroba bagi host.
Berdasarkan sumber yang
sama virulensi kuman tuberkulosis
termasuk tingkat tinggi (Depkes RI, 2011).
2) Host (Manusia)
Manusia merupakan reservoir untuk penularan bakteri
Mycobacterium tuberculosis, bakteri tuberkulosis paru menular
melalui droplet. Seorang penderita tuberkulosis paru dapat
menularkan pada 10-15 orang (Depkes RI, 2011).
Menurut penelitian pusat ekologi kesehatan, menunjukan
tingkat penularan tuberkulosis paru di lingkungan keluarga
penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita rata-rata dapat
menularkan pada 2-3 orang di dalam rumahnya. Di dalam rumah
dengan ventilasi yang baik, bakteri ini dapat hilang terbawa angin
dan akan lebih baik jika ventilasi ruangannya menggunakan
pembersih
udara
yang bisa
menangkap
bakteri penyebab
tuberkulosis (Depkes RI, 2011).
Faktor host terdiri dari:
a) Kebiasaan dan paparan, seseorang yang merokok memiliki risiko
yang lebih tinggi untuk terkena TB.
15
b) Status nutrisi, seseorang dengan berat badan kurang memiliki
risiko yang lebih tinggi untuk terkena TB. Vitamin D juga memiliki
peran
penting
dalam
aktivasi
makrofag
dan
membatasi
pertumbuhan Mycobacterium. Penurunan kadar vitamin D dalam
serum akan meningkatkan risiko terinfeksi TB.
c) Penyakit sistemik, pasien pasien dengan penyakit-penyakit
seperti keganasan, gagal ginjal, diabetes, ulkus peptikum
memiliki risiko untuk terkena TB.
d) Immunocompromised, seseorang yang terkena HIV memiliki
risiko untuk terkena TB primer ataupun reaktifasi TB. Selain itu,
pengguna obat-obatan seperti kortikosteroid dan TNF-inhibitor
juga memiliki risiko untuk terkena TB.
e) Usia, di Amerika dan negara berkembang lainnya, kasus TB
lebih banyak terjadi pada orang tua daripada dewasa muda dan
anak-anak (Horsburgh, 2009).
3) Environment (Lingkungan)
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host
(pejamu) baik benda mati, benda hidup, nyata dan abstrak, seperti
suasana yang terbentuk akibat interaksi semua elemen-elemen
termasuk host yang lain. Faktor lingkungan memegang peranan
penting dalam penularan, terutama lingkungan rumah yang tidak
memenuhi syarat atau jauh dari kelayakan (Depkes RI, 2011).
Perumahan yang tidak memenuhi persyaratan fisik akan
menimbulkan gangguan kesehatan antara lain yang erat kaitannya
dengan penyebaran penyakit Tuberkulosis paru. Menurut Achmadi
(2010) faktor resiko lingkungan adalah kepadatan hunian, lantai
rumah, ventilasi dan pencahayaan. Orang yang tinggal serumah
16
dengan seorang penderita TB akan berisiko untuk terkena TB.
Selain itu orang yang tinggal di lingkungan yang banyak terjadi
kasus TB juga memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena TB.
Pada anak, faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain
adalah anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif
(kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang
tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik), dan tempat
penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan
lain), yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif. Sumber infeksi
TB pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap orang
dewasa yang infeksius, terutama dengan Basil Tahan Asam (BTA)
positif. Berarti bayi dari seorang ibu dengan BTA sputum positif
memiliki risiko tinggi terinfeksi TB. Semakin erat bayi tersebut
dengan ibunya, semakin besar pula kemungkinan bayi tersebut
terpajan percik renik (droplet nuclei) yang infeksius (Kartasasmita,
2009).
c. Patogenesis TB paru
Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui
inhalasi droplet saluran nafas yang mengandung kuman – kuman basil
tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. Basil tuberkel yang
mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit
yang terdiri dari satu sampai tiga basil. Setelah berada dalam ruang
alveolus, biasanya dibagian bawah lobus atas paru atau dibagian atas
lobus bawah, basil tuberkel membangkitkan reaksi peradangan.
Leukosit
polimorfonuklear
tampak
pada
tempat
tersebut
dan
memfagosit bakteri tersebut, namun tidak membunuh organisme
17
tersebut. Sesudah hari-hari pertama, leukosit diganti oleh makrofag.
Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi. Bakteri terus
difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar
melalui getah bening menuju ke kelenjar getah bening regional.
Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan
sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang
dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10
sampai 20 hari (Price dan Standridge, 2006).
Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang
tuberkulosis pneumoni kecil dan disebut sarang primer atau fokus
Ghon, dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah
bening menuju hilus dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening
hilus. Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer
menurut Amin dan Bahar (2009) selanjutnya dapat menjadi :
1) Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat.
2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis
fibrotik, kalsifikasi di hilus dan dapat terjadi reaktivasi lagi karena
kuman yang dormant.
3) Berkomplikasi dan menyebar.
Kuman yang dormant akan muncul bertahun-tahun kemudian
sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa. TB sekunder ini
dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di region atas paru. Sarang
dini ini mula-mula juga berbentuk tuberkel yakni suatu granuloma yang
dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. Sarang dini
yang
meluas
sebagai
granuloma
berkembang
menghancurkan
jaringan ikat sekitar dan bagian tengahnya mengalami nekrosis
18
menjadi lembek membentuk perkejuan. Bila jaringan perkejuan
dibatukkan, akan menimbulkan kavitas (Amin dan Bahar, 2009).
d. Klasifikasi TB Paru
Berdasarkan hasil pemerikasaan sputum, TB paru menurut
PDPI (2011) dikategorikan menjadi:
1) TB Paru BTA positif
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan BTA
positif.
b) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif
dan
kelainan
radiologi
menunjukkan
gambaran
tuberkulosis aktif.
c) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan biakan positif.
2) TB Paru BTA Negatif
a) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis
aktif.
b) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan
biakan menunjukkan tuberkulosis positif.
Depkes (2011) menyatakan klasifikasi berdasarkan riwayat
pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien yaitu:
1) Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2) Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien
tuberkulosis yang sebelumnya
pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh
19
atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif
(apusan atau kultur).
3) Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan
atau lebih dengan BTA positif.
4) Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap
positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih
selama pengobatan.
5) Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki
register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
6) Kasus Lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di
atas. Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien
dengan hasil pemeriksaan masih BTA (+) setelah selesai
pengobatan ulangan.
e. Manifestasi Klinis
Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu gejala
lokal dan gejala sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka
gejala lokal berupa gejalarespiratorik (PDPI, 2011).
1) Gejala respiratorik
Gejala
respiratorik
sangat
bervariasidari
mulai
tidak
bergejala sampai gejala yang cukup berat bergantung dari luas lesi.
Gejala respiratorik terdiri dari: (PDPI, 2011)
a) Batuk > 2 minggu
b) Batuk darah Pemeriksaan Diagnostik
20
c) Sesak nafas
d) Nyeri dada.
2) Gejala sistemik
Gejala sistemik yang dapat timbul berupa:
a) Demam
b) Keringat malam
c) Anoreksia
d) Berat badan menurun.
f. Diagnosis TB paru
Penemuan penderita TB dilakukan secara pasif artinya
penjaringan suspek penderita dilaksanakan pada mereka yang datang
berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif
tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas
kesehatan
maupun
masyarakat
untuk
meningkatkan
cakupan
penemuan tersangka penderita. Cara ini biasa dikenal dengan sebutan
passive promotive case finding (penemuan penderita secara pasif
dengan promosi yang aktif) (Depkes, 2007).
Selain itu semua yang memiliki kontak dengan penderita TB
paru BTA positif dengan gejala sama harus diperiksa dahaknya.
Seorang petugas kesehatan diharapkan menemukan tersangka
penderita sedini mungkin, mengingat tuberkulosis adalah penyakit
menular yang dapat mengakibatkan kematian. Semua tersangka
penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari
berturut-turut yaitu sewaktu – pagi - sewaktu ( SPS ) (Depkes, 2007).
Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan
fisis,
pemeriksaan
bakteriologis,
radiologis
dan
pemeriksaan penunjang lainnya. Pada pemeriksaan fisis, kelainan
21
paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah
apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Pada
pemeriksaan fisis dapat ditemukan antara lain suara nafas bronkial,
amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan
paru, diafragma, dan mediastinum (PDPI, 2011). Pada TB paru yang
lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi
otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik
isi mediastinum atau paru lainnya (Amin dan Bahar, 2009).
Pada
pemeriksaan
radiologi
PDPI
(2011)
menyatakan
gambaran yang dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah :
1) Bayangan berawan atau nodular disegmen apikal dan posterior
lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah.
2) Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular.
3) Bayangan bercak milier.
4) Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Ada beberapa cara pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis
TB yaitu dengan cara konvensional dan tidak konvensional. Cara
konvensional terdiri dari pemeriksaan mikroskopik, biakan kuman, uji
kepekaan terhadap obat, dan identifikasi keberadaan kuman isolat
serta pemeriksaan histopatologis (Kusuma, 2007).
Pemeriksaan sputum merupakan hal yang penting karena
dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis TB sudah bisa
ditegakkan. Dikatakan BTA (+) jika ditemukan dua atau lebih dahak
BTA (+) atau 1 BTA (+) disertai dengan hasil radiologi yang
menunjukkan TB aktif (PDPI, 2011).
22
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2
hari, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Diagnosis TB paru pada orang
dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada
program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak
mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto
toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang
diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan
mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja.
Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB
paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan
radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit. Untuk lebih
jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru (Depkes,
2007).
Gambar 2.1. Alur Diagnosis TB Paru (Depkes, 2007)
23
g. Komplikasi dan Prognosis
Terdapat berbagai macam komplikasi TB paru, dimana
komplikasi dapat terjadi di paru-paru, saluran nafas, pembuluh darah,
mediastinum, pleura ataupun dinding dada (Jeoung dan Lee, 2008).
Komplikasi TB ini dapat terjadi baik pada pasien yang diobati
ataupun tidak. Secara garis besar Kim et al (2011) komplikasi TB
dikategorikan menjadi:
1) Lesi Parenkim
a) Tuberkuloma dan thin-walled cavity.
b) Sikatriks dan destruksi paru.
c) Aspergilloma.
d) Karsinoma bronkogenik.
2) Lesi Saluran Nafas
a) Bronkiektasis.
b) Stenosis trakeobronkial.
c) Bronkolitiasis.
3) KomplikasiVaskular
a) Trombosis dan vaskulitis.
b) Dilatasi arteri bronchial.
c) Aneurisma rassmussen.
4) Lesi Mediastinum
a) Kalsifikasi nodus limfa.
b) Fistula esofagomediastinal.
c) Tuberkulosis perikarditis.
24
5) Lesi Pleura
a) Chronic tuberculous empyema dan fibrothorax.
b) Fistula bronkopleura.
c) Pneumotoraks.
6) Lesi dinding dada
a) TB kosta.
b) Tuberculous spondylitis.
c) Keganasanyang berhubungan dengan empyema kronis
Prognosis dapat menjadi buruk bila dijumpai keterlibatan
ekstraparu,
keadaan
immunodefisiensi,
usia
tua,
dan
riwayat
pengobatan TB sebelumnya. Pada suatu penelitian TB di Malawi, 12
dari 199 orang meninggal, dimana faktor risiko terjadinya kematian
diduga akibat BMI yang rendah, kurangnya respon terhadap terapi dan
keterlambatan diagnosa (Herchline, 2013).
Kesembuhan sempurna biasanya dijumpai pada kasus nonMDR dan non-XDR TB, ketika regimen pengobatan selesai. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa terapi dengan sistem DOTS memiliki
tingkat kekambuhan 0-14 %. Pada negara dengan prevalensi TB yang
rendah, kekambuhan biasanya timbul 12 bulan setelah pengobatan
selesai dan biasanya diakibatkan oleh relaps. Hal ini berbeda pada
negara dengan prevalensi TB yang tinggi, dimana kekambuhan
diakibatkan oleh reinfeksi (Herchline, 2013).
h. Pencegahan TB
Cara terbaik untuk mencegah TB adalah dengan pengobatan
terhadap pasien yang mengalami infeksi TB sehingga rantai penularan
terputus. Tiga topik dibawah ini merupakan topik yang penting untuk
pencegahan TB :
25
1) Proteksi terhadap paparan TB
Diagnosis dan tatalaksana dini merupakan cara terbaik
untuk menurunkan paparan terhadap TB. Risiko paparan terbesar
terdapat di bangsal TB dan ruang rawat, dimana staf medis dan
pasien lain mendapat paparan berulang dari pasien yang terkena
TB. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemungkinan
transmisi antara lain :
a) Cara batuk
Cara ini merupakan cara yang sederhana, murah, dan efektif
dalam mencegah penularan TB dalam ruangan. Pasien harus
menggunakan sapu tangan untuk menutupi mulut dan hidung,
sehingga saat batuk atau bersin tidak terjadi penularan melalui
udara.
b) Menurunkan konsentrasi bakteri
(1) Sinar Matahari dan Ventilasi
Sinar matahari dapat membunuh kuman TB dan ventilasi
yang baik dapat mencegah transmisi kuman TB dalam
ruangan.
(2) Filtrasi
Penyaringan udara tergantung dari fasilitas dan sumber
daya yang tersedia.
(3) Radiasi UV bakterisidal
M.tuberculosis
sangat
sensitif
terhadap
radiasi
UV
bakterisidal. Metode radiasi ini sebaiknya digunakan di
ruangan yang dihuni pasien TB yang infeksius dan ruangan
dimana
dilakukan
bronkoskopi.
tindakan
induksi
sputum
ataupun
26
c) Masker
Penggunaan masker secara rutin akan menurunkan
penyebaran kuman lewat udara. Jika memungkinkan, pasien TB
dengan batuk tidak terkontrol disarankan menggunakan masker
setiap saat. Staf medis juga disarankan menggunakan masker
ketika paparan terhadap sekret saluran nafas tidak dapat
dihindari.
d) Rekomendasi NTP (National TB Prevention) terhadap paparan
TB:
(1) Segera rawat inap pasien dengan TB paru BTA (+) untuk
pengobatan fase intensif, jika diperlukan.
(2) Pasien sebaiknya diisolasi untuk mengurangi risiko paparan
TB ke pasien lain.
(3) Pasien yang diisolasi sebaiknya tidak keluar ruangan tanpa
memakai masker.
(4) Pasien yang dicurigai atau dikonfirmasi terinfeksi TB
sebaiknya tidak ditempatkan di ruangan yang dihuni oleh
pasien yang immunocompromised, seperti pasien HIV,
transplantasi, atau onkologi.
2) Vaksinasi BCG (Bacillus Calmette Guerin)
BCG merupakan vaksin hidup yang berasal dari M.bovis.
Fungsi BCG adalah melindungi anak terhadap TB diseminata dan
TB ekstra paru berat (TB meningitis dan TB milier). BCG tidak
memiliki efek menurunkan kasus TB paru pada dewasa. BCG
diberikan secara intradermal kepada populasi yang belum terinfeksi.
27
a) Tes Tuberkulin
Neonatus dan bayi hingga berusia 3 bulan tanpa adanya riwayat
kontak dengan TB, dapat diberikan vaksinasi BCG tanpa tes
tuberkulin sebelumnya.
b) Vaksinasi Rutin
Pada
negara
dengan
prevalensi TB
yang tinggi, WHO
merekomendasikan pemberian vaksinasi BCG sedini mungkin,
terutama saat baru lahir.
Pada bayi baru lahir hingga usia 3 bulan, dosisnya adalah 0,05
ml sedangkan untuk anak yang lebih besar diberikan 0,1 ml.
3) Terapi Pencegahan
Tujuan terapi pencegahan adalah untuk mencegah infeksi
TB menjadi penyakit, karena penyakit TB dapat timbul pada 10 %
orang yang mengalami infeksi TB. Kemoprofilaksis dapat diberikan
bila ada riwayat kontak dengan tes tuberkulin positif tetapi tidak ada
gejala atau bukti radiologis TB. Obat yang digunakan biasanya
adalah isoniazid (5 mg/kg) selama 6 bulan. Jika memungkinkan,
dilakukan dengan pengamatan langsung.
Kelompok yang mendapat profilaksis menurut Wieslaw et al,
(2011) yaitu :
a) Bayi dengan ibu yang terinfeksi TB paru
Bayi yang sedang mendapat ASI dari ibu dengan TB paru,
sebaiknya mendapat isoniazid selama 3 bulan. Setelah 3 bulan,
dilakukan tes tuberkulin. Jika hasil negatif maka diberikan
vaksinasi, jika positif maka dilanjutkan isoniazid selama 3 bulan
lagi. Jika terdapat adanya bukti penyakit, maka perlu diberikan
pengobatan penuh.
28
b) Anak dengan riwayat kontak, tuberkulin negatif, tampak sehat,
tanpa riwayat BCG, sama seperti di atas.
c) Anak dengan riwayat kontak, tuberkulin positif (tanpa riwayat
BCG).
(1) Anak tanpa gejala sebaiknya diberikan profilaksis isoniazid 6
bulan.
(2) Anak dengan gejala dan pemeriksaan yang menunjukkan TB
diberikan pengobatan TB.
(3) Anak dengan gejala, tapi pemeriksaan tidak menunjukkan
TB, diberikan profilaksis isoniazid.
i. Pengobatan TB Paru
Pengobatan TB menurut PDPI (2011) bertujuan untuk ;
1) Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan
produktivitas.
2) Mencegah kematian.
3) Mencegah kekambuhan.
4) Mengurangi penularan.
5) Mencegah terjadinya resistensi obat.
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip dari
Depkes (2011) sebagai berikut:
1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan.
Pemakaian
Jangan
gunakan
OAT-Kombinasi
OAT
Dosis
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
tunggal
Tetap
(monoterapi).
(OAT-KDT)
lebih
29
2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh
seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif
dan lanjutan
1) Tahap Awal (Intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari
dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan
secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam
kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif
menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan (Depkes, 2007).
2) Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih
sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan
penting untuk membunuh kuman persistent sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan (Depkes, 2007).
Panduan OAT yang digunakan di Indonesia yaitu :
1) Kategori I
a) TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks terdapat
lesi luas.
b) Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZE/ 4 RH atau 2
RHZE/6HE atau 2 RHZE/ 4R3H3.
30
2) Kategori II
a) TB paru kasus kambuh.
Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZES/ 1 RHZE sebelum
ada hasil uji resistensi. Bila hasil uji resistensi telah ada, berikan
obat sesuai dengan hasil uji resistensi.
b) TB paru kasus gagal pengobatan
(1) Paduan obat yang dianjurkan adalah obat lini 2 sebelum ada
hasil uji resistensi (contoh: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin,
etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin,
etionamid, sikloserin).
(2) Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat
diberikan 2 RHZES/ 1 RHZE.
(3) Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi.
(4) Bila tidak terdapat hasil uji resistensi, dapat diberikan 5 RHE.
c) TB Paru kasus putus berobat.
(1) Berobat ≥ 4 bulan
(a) BTA saat ini negatif. Klinis dan radiologi tidak aktif atau
ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila
gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk
memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan
juga kemungkinan panyakit paru lain. Bila terbukti TB,
maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih
lama (2 RHZES / 1 RHZE / 5 R3H3E3).
31
(b) BTA saat ini positif. Pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan
obat
yang
lebih
kuat
dan
jangka
waktu
pengobatan yang lebih lama.
(2) Berobat ≤ 4 bulan
(a) Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan
yang lebih lama (2 RHZES / 1 RHZE / 5 R3H3E3).
(b) Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif,
pengobatan diteruskan.
3) Kategori III
a) TB paru (kasus baru), BTA negatif atau pada foto toraks terdapat
lesi minimal.
b) Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE / 4 R3H3.
4) Kategori IV
TB paru kasus kronik. Paduan obat yang dianjurkan bila
belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Bila telah ada hasil
uji resistensi, berikan sesuai hasil uji resistensi (minimal OAT yang
sensitif ditambah obat lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan).
5) Kategori V
MDR TB, paduan obat yang dianjurkan sesuai dengan uji
resistensi ditambah OAT lini 2 atau H seumur hidup (PDPI, 2011).
Obat-obat TB memiliki efek samping diantaranya :
1) Isoniazid dapat
menyebabkan
kerusakan
hepar yang
akan
mengakibatkan mual, muntah, dan jaundice. Kadang dapat
menyebabkan kebas pada tungkai.
2) Rifampisin dapat menyebabkan kerusakan hepar, perubahan warna
air mata, keringat, dan urine menjadi oranye.
32
3) Pirazinamid dapat menyebabkan kerusakan hepar dan gout.
4) Etambutol dapat menyebabkan pandangan kabur dan gangguan
penglihatan warna karena obat ini mempengaruhi Nervus optikus.
5) Streptomisin
dapat
menyebabkan
pusing
dan
gangguan
pendengaran akibat kerusakan saraf telinga dalam (Nardell, 2008).
Hasil akhir dari pengobatan penderita TB paru BTA positif dan
negatif. Dikategorikan menjadi :
1) Sembuh merupakan pasien dengan hasil sputum BTA atau kultur
positif sebelum pengobatan, dan hasil pemeriksaan sputum BTA
atau kultur negatif pada akhir pengobatan serta sedikitnya satu kali
pemeriksaan sputum sebelumnya negatif dan pada foto toraks,
gambaran radiologi serial (minimal 2 bulan) tetap sama/ perbaikan.
2) Pengobatan lengkap merupakan pasien yang telah menyelesaikan
pengobatan tetapi tidak memiliki hasil pemeriksaan sputum atau
kultur pada akhir pengobatan.
3) Meninggal merupakan pasien yang meninggal dengan apapun
penyebabnya selama dalam pengobatan.
4) Gagal merupakan pasien dengan hasil sputum atau kultur positif
pada bulan kelima atau lebih dalam pengobatan.
5) Default/drop out merupakan pasien dengan pengobatan terputus
dalam waktu dua bulan berturut-turut atau lebih.
6) Pindah merupakan pasien yang pindah ke unit (pencatatan dan
pelaporan berbeda dan hasil akhir pengobatan belum diketahui.
33
j. Keteraturan Minum Obat Anti Tuberkulosis
1) Pengertian
Keteraturan minum OAT adalah suatu proses dimana
penderita melakukan ketepatan waktu dalam pengobatan. Hal ini
dapat dilihat dari teratur dan tidak teraturnya penderita minum OAT
(Kemenkes, 2013).
2) Klasifikasi Keteraturan minum OAT :
1) Teratur : apabila penderita tidak pernah lalai / lupa minum OAT
atau pernah lalai ≤ 3 hari berturut-turut pada fase awal dan ≤ 7
hari berturut -turut (1 minggu) pada fase lanjutan.
2) Tidak teratur : apabila penderita lalai atau tidak pernah minum
OAT lebih dari 3 hari berturut-turut pada fase awal dan lebih dari
7 hari berturut-turut (1 minggu) pada fase lanjutan.
3) DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse)
Pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD (International
Union Against TB and Lung Disease) telah mengembangkan
strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS
(Directly Observed Treatment, Shortcourse)
dan telah terbukti
sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling
efektif (cost-efective). Strategi ini dikembangkan dari berbagai studi,
uji coba klinik (clinicals trials), pengalaman-pengalaman terbaik
(best practices), dan hasil implementasi program penanggulangan
TB selama lebih dari dua dekade. Penerapan strategi DOTS secara
baik, disamping secara cepat menekan penularan, juga mencegah
berkembangya MDR- TB (Multi Drugs Resistance-TB) (Kemenkes,
2013).
34
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan
pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB menular. Strategi ini
akan memutuskan penularan TB dan dengan demikian menurunkan
insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan
pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan TB.WHO
telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam
penanggulangan TB sejak tahun 1995. Bank dunia menyatakan
strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling
efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat
dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya (Kemenkes, 2013).
DOTS mengandung lima komponen, yaitu :
a) Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional
b) Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskop
c) Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung,
dikenal dengan istilah DOT (Directly Observed Theraphy)
d) Pengadaan OAT secara berkesinambungan
e) Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku/standar
Strategi DOTS diatas telah dikembangkan oleh Kemitraan
global dalam penanggulangan TB (stop TB partnership) dengan
memperluas strategi dots dalam Kemenkes (2013) sebagai berikut :
a) Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS
b) Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya
c) Berkontribusi dalam penguatan sistem kesehatan
d) Melibatkan
semua
pemberi
pemerintahmaupun swasta
pelayanan
kesehatan
baik
35
e) Memberdayakan pasien dan masyarakat
f) Melaksanakan dan mengembangankan riset.
2. Sanitasi Lingkungan Rumah
a. Rumah Sehat
Menurut UU No.4/1992 tentang Perumahan dan Pemukiman,
rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau
hunian dan sarana pembinaan keluarga (Sarudji, 2010). Rumah sehat
adalah rumah idaman. Rumah sehat adalah kondisi fisik, kimia, biologi
di dalam rumah dan perumahan sehingga memungkinkan penghuni
atau masyarakat memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Oleh
karena itu rumah haruslah sehat dan nyaman agar penghuninya
dapat
berkarya
untuk
meningkatkan
produktivitas
(Syafrudin,
Damayani & Delmaifanis, 2011).
Rumah sehat adalah sebuah rumah yang dekat dengan air
bersih, berjarak lebih dari 100 meter dari tempat pembuangan
sampah, dekat dengan sarana pembersihan, serta berada ditempat
dimana air hujan dan air kotor tidak menggenang.
Banyak ayat-ayat Alqur’an maupun Hadits Nabi yang berisi
pesan terkait Kesehatan Lingkungan tersebut, diantaranya menjaga
kebersihan dalam hadist riwayat baihaqi yang berbunyi :
Artinya : ”Agama Islam itu adalah agama yang bersih atau
suci, maka hendaklah kamu menjaga
kebersihan. Sesungguhnya
tidak akan masuk surga kecuali orang-orang yang suci”. (HR.
Baihaqi).
36
Upaya
pendekatan
dalam
yang
memlihara
dapat
kita
kebersihan
lakukan
tersebut
dengan
diantaranya
dengan
pengembangan sumber daya manusia yang handal, pembangunan
lingkungan berkelanjutan, dan kembali kepada petunjuk Allah SWT
dan Rasul-Nya dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Menurut American Public Health Assosiation (APHA) rumah
yang memenuhi persyaratan antara lain memenuhi kebutuhan
fisiologis, psikologis, dapat terhindar dari penyakit menular dan
terhindar dari kecelakaan-kecelakaan (Mubarak, 2009).
Kondisi
rumah
yang
baik
penting
untuk
mewujudkan
masyarakat yang sehat. Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan
suatu lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran,
penyediaan air bersih dan sebagainya. Sedangkan lingkungan rumah
adalah segala sesuatu yang berada di dalam rumah. Lingkungan
rumah terdiri dari lingkungan fisik yaitu ventilasi, suhu, kelembaban,
lantai, dinding serta lingkungan sosial yaitu kepadatan penghuni.
Rumah yang ruangan terlalu sempit atau terlalu banyak penghuninya
akan kekurangan oksigen menyebabkan menurunnya daya tahan
tubuh yang memudahkan terjadinya penyakit sehingga penularan
penyakit saluran pernapasan seperti TB paru akan mudah terjadi di
antara penghuni rumah (Notoatmodjo, 2011).
b. Syarat Rumah Sehat
Perumahan yang tidak memenuhi persyaratan fisik akan
menimbulkan gangguan kesehatan antara lain yang erat kaitannya
dengan penyebaran penyakit Tuberkulosis paru. Menurut Achmadi
(2010) faktor resiko lingkungan adalah kepadatan hunian, lantai
rumah, ventilasi dan pencahayaan.
37
1) Kepadatan hunian
Kepadatan
merupakan
pre-requisite
untuk
proses
penularan penyakit. Semakin padat, maka perpindahan penyakit,
khususnya penyakit melalui udara, akan semakin mudah dan
cepat. Oleh sebab itu, kepadatan dalam rumah tempat tinggal
merupakan variabel yang berperan dalam kejadian TB paru
(Achmadi, 2010).
Menurut Mukono (2005), kepadatan penghuni merupakan
luas lantai dalam rumah dibagi dengan jumlah anggota keluarga
penghuni tersebut. Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal
akan memberikan pengaruh bagi penghuninya. Luas rumah yang
tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyababkan
overcrowded. Hal ini tidak sehat karena di samping menyebabkan
kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota
keluarga menderita suatu penyakit infeksi terutama TB paru akan
mudah menular kepada anggota keluarga yang lain, karena
seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada dua sampai
tiga orang di dalam rumahnya (Notoatmodjo, 2011).
Menurut Depkes RI dalam kutipan mukono (2005),
kepadatan penghuni dikategorikan menjadi memenuhi standar (2
orang per 8 m²) dan kepadatan tinggi (lebih 2 orang per 8 m²
dengan ketentuan anak <1 tahun tidak diperhitungkan dan umur 110 tahun dihitung
setengah).
Menurut Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 829/Menkes/SK/VII/ 1999
tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, luas kamar tidur
minimal 8 m² dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang
tidur dalam satu ruangan.
38
Hasil penelitian Putra (2011) tentang hubungan perilaku
dan kondisi sanitasi rumah dengan kejadian TB paru di Kota Solok
menunjukkan bahwa responden yang memiliki kondisi kepadatan
hunian rumah yang kurang beresiko 5,95 kali tertular TB Paru
dibandingkan responden yang mempuyai kondisi kepadatan
hunian yang baik (OR = 5.95).
Kategori Kepadatan hunian :
a) Memenuhi syarat, jika dalam ruangan dihuni 2 orang per 8 m2.
b) Tidak memenuhi syarat, jika dalam ruangan dihuni > 2 orang
per 8 m2.
2) Lantai Rumah
Lantai merupakan dinding penutup ruangan bagian bawah,
konstruksi lantai rumah harus rapat air dan selalu kering agar
mudah di bersihkan dari kotoran dan debu. Selain itu dapat
menghindari meningkatnya kelembaban dalam ruangan. Untuk
mencegah masuknya air ke dalam rumah, maka lantai rumah
sebaiknya di naikkan 20 cm dari permukaan tanah. Keadaan lantai
rumah perlu dibuat dari bahan yang kedap terhadap air sehingga
lantai tidak menjadi lembab dan selalu basah seperti tegel, semen
dan keramik (Suyono, 2005). Secara hipotesis jenis lantai tanah
memiliki peran terhadap proses kejadian TB paru, melalui
kelembapan
dalam
ruangan.
Lantai
tanah,
cenderung
menimbulkan kelembapan, dengan demikian viabilitas kuman TB
paru di lingkungan juga sangat dipengaruhi. (Achmadi, 2010).
39
Lantai yang tidak memenuhi syarat dapat dijadikan tempat
hidup
dan
perkembangbiakan
bakteri
terutama
bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Menjadikan udara dalam ruangan
lembab, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga
menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya (Suyono,
2005). Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No. 829/Menkes/SK/VII/ 1999 tentang Persyaratan Kesehatan
Perumahan, lantai rumah tidak terbuat dari bahan yang dapat
menjadi tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme patogen,
lantai kedap air dan mudah dibersihkan.
Hasil penelitian Adnani (2006), tentang hubungan kondisi
rumah dengan penyakit TBC Paru di wilayah kerja Puskesmas
Karangmojo II Kabupaten Gunungkidul menunjukkan bahwa
risikountuk menderita TBC Paru 3-4 kali lebih tinggi pada
penduduk yang tinggal pada rumah yang lantainya tidak
memenuhi syarat kesehatan (OR = 3,75).
Kategori kondisi Lantai Rumah :
a) Memenuhi syarat, jika kondisi lantai kedap air, terbuat dari
bahan yang cukup keras, kuat, rata dan mudah dibersihkan.
b) Tidak memenuhi syarat, jika kondisi lantai tidak kedap air,
tidak terbuat dari bahan yang cukup keras, kuat, rata dan tidak
mudah dibersihkan.
3) Ventilasi
Ventilasi bermanfaat bagi sirkulsi pergantian udara dalam
rumah serta mengurangi kelembapan. Keringat manusia juga
dikenal mempengaruhi kelembapan. Kelembapan dalam ruang
tertutup dimana banyak terdapat manusia di dalamnya lebih tinggi
40
dibandingkan kelembapan diluar ruang (Achmadi, 2010). Menurut
Sarudji (2010), rumah harus memiliki sistem pertukaran udara
yang baik, karena penghuni memerlukan udara yang segar. Setiap
ruang/ kamar memerlukan ventilasi yang cukup untuk menjamin
kesegaran dan menyehatkan penghuninya.
Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat
kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Salah
satu fungsi ventilasi adalah menjaga aliran udara dalam rumah
tersebut tetap segar. Fungsi kedua ventilasi adalah untuk
membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama
bakteri patogen, karena disitu selalu terjadi aliran udara yang
terus-menerus dan bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu
mengalir (Notoatmodjo, 2011). Menurut Mubarak dan Chayatin
(2009), ada dua macam ventilasi yaitu ventilasi alamiah dan
ventilasi buatan. Aliran udara dalam ruangan pada ventilasi
alamiah terjadi secara alami melalui jendela, pintu, lubang-lubang
dinding, angin-angin, dan sebagainya. Sedangkan pada ventilasi
buatan aliran udara terjadi karena adanya alat-alat khusus untuk
mengalirkan udara seperti mesin penghisap (AC) dan kipas angin.
Pengaruh
buruk
berkurangnya
ventilasi
adalah
berkurangnya kadar oksigen, bertambahnya kadar gas CO2,
adanya bau pengap, suhu udara ruangan naik, dan kelembapan
udara ruangan bertambah (Mukono, 2005). Menurut Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 829/Menkes/SK/VII/
1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, luas ventilasi
alamiah yang permanen minimal 20% dari luas lantai.
41
Hasil penelitian Firdiansyah (2012), tentang pengaruh
faktor sanitasi dan sosial ekonomi terhadap kejadian penyakit TB
paru BTA positif
di Kecamatan Genteng Kota
Surabaya
menunjukkan bahwa responden yang memiliki ventilasi buruk
kemungkinan untuk sakit TB Paru BTA Positif sebesar 3,12 kali
lebih besar daripada responden yang memiliki ventilasi baik (OR =
3,12).
Kategori Ventilasi rumah
a) Memenuhi syarat, jika rumah yang memiliki jendela atau
lubang udara pada rumah paling sedikit 20 % dari luas lantai
ruangan
b) Tidak memenuhi syarat, jika rumah tidak memiliki jendela atau
lubang udara pada rumah paling sedikit 20 % dari luas lantai
ruangan
4) Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak
kurang dan tidak terlalu banyak (Achmadi, 2010). Menurut
Notoatmodjo (2011), kurangnya cahaya yang masuk ke dalam
ruangan rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang
nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk
hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu
banyak cahaya didalam rumah akan menyebabkan silau, dan
akhirnya dapat merusakan mata.
Menurut Notoatmodjo (2011), cahaya dapat dibedakan
menjadi 2, yakni :
42
a) Cahaya alamiah, yakni matahari.
Cahaya ini sangat penting, karena dapat menbunuh
bakteri-bakteri patogen dalam rumah, misalnya baksil TB paru.
Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan
masuk cahaya yang cukup. Jalan masuk cahaya (jendela)
luasnya sekurang-kurangnya 15% sampai 20% dari luas lantai
yang terdapat dalam ruangan rumah. Perlu diperhatikan dalam
membuat jendela diusahakan agar sinar matahari dapat
langsung masuk kedalam ruangan, tidak terhalang oleh
bangunan lain. Fungsi jendela disini, di samping sebagai
ventilasi, juga sebagai jalan masuknya cahaya.
Lokasi penempatan jendela pun harus diperhatikan dan
diusahakan agar sinar matahari lama menyinari lantai (bukan
menyinari dinding).
Maka
sebaiknya
jendela
itu
harus
ditengah-tengah tinggi dinding (tembok). Jalan masuknya
cahaya alamiah juga diusahakan dengan genteng kaca.
Genteng kaca pun dapat dibuat secara sederhana, yakni
dengan melubangi genteng biasa pada waktu pembuatannya,
kemudian menutupnya dengan pecahan kaca.
b) Cahaya buatan, yaitu menggunakan sumber cahaya yang
bukan alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik, dan
sebagainya.
Rumah
dengan
pencahayaan
yang
buruk
sangat
berpengaruh terhadap kejadian penyakit TB paru. Bakteri
Mycobacterium tuberculosis dapat bertahan hidup pada tempat
yang sejuk, lembab dan gelap tanpa sinar matahari bertahun-
43
tahun lamanya, dan mati bila terkena sinar matahari, lisol, sabun,
karbon dan kapas api, bakteri ini akan mati dalam waktu dua jam.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No. 829/Menkes/SK/ VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan
Perumahan, pencahayaan alami dan atau buatan langsung
maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan dengan
intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata.
Hasil penelitian Putra (2011), tentang hubungan perilaku
dan kondisi sanitasi rumah dengan kejadian TB paru di Kota Solok
menunjukkan
bahwa
responden
yang
memiliki
kondisi
pencahayaan yang kurang beresiko 5,95 kali tertular TB Paru
dibandingkan responden yang mempuyai pencahayaan yang baik
(OR = 5,95).
Kategori Pencahayaan Rumah :
a) Memenuhi syarat, jika sinar matahari masuk kedalam ruangan
dan menyebar secara merata, terang dan tidak silau
b) Tidak memenuhi syarat, jika sinar matahari tidak masuk
kedalam ruangan dan tidak menyebar secara merata dan tidak
terang
B.
Landasan Teori
Tuberkulosis
merupakan
salah
satu
penyakit
yang
banyak
menginfeksi manusia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
Penyakit ini banyak menginfeksi paru dan jika di obati dengan baik penyakit
ini dapat sembuh. Transmisi penyakit biasanya melalaui saluran nafas yaitu
melalui droplet yang dihasilkan oleh pasien yang terinfeksi TB (Mario dan
Richard, 2011).
44
Menurut UU No.4/1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, rumah
adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan
sarana pembinaan keluarga (Sarudji, 2010).
Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang
mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan
sebagainya. Sedangkan lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang
berada di dalam rumah. Lingkungan rumah terdiri dari lingkungan fisik yaitu
ventilasi, suhu, kelembaban, lantai, dinding serta lingkungan sosial yaitu
kepadatan penghuni. Rumah yang ruangan terlalu sempit atau terlalu
banyak penghuninya akan kekurangan oksigen menyebabkan menurunnya
daya tahan tubuh yang memudahkan terjadinya penyakit sehingga
penularan penyakit saluran pernapasan seperti TB paru akan mudah terjadi
di antara penghuni rumah (Notoatmodjo, 2011). Menurut Achmadi (2010)
faktor resiko lingkungan adalah kepadatan hunian, lantai rumah, ventilasi
dan pencahayaan.
C.
Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka
hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui
penelitian-penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo, 2012).
Kerangka konsep dalam penelitian ini menggambarkan kondisi
sanitasi lingkungan rumah penderita TB Paru dimana sanitasi lingkungan
rumah merupakan faktor resiko TB paru, kerangka konsep penelitian dapat di
gambarkan sebagai berikut :
45
Sanitasi Lingkungan
Rumah :
Agent
- Kepadatan
Hunian
- Lantai Rumah
- Ventilasi
- Pencahayaan
Host
Environment
Memenuhi Syarat
TB Paru +
Tidak Memenuhi
Syarat
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
(Achmadi (2010))
Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti
Kerangka konsep di atas menggambarkan TB Paru dipengaruhi oleh
paktor agent, host dan Environment. Environment merupakan sanitasi
lingkungan rumah penderita TB Paru yaitu kepadatan hunian, lantai rumah,
ventilasi dan pencahayaan di sanitasi lingkungan rumah tersebut merupakan
faktor resiko terjadinya penyakit TB Paru, dimana sanitasi lingkungan rumah
yang memenuhi syarat tidak akan menyebaarkan TB Paru dan yang tidak
memenuhi syarat bisa menyebaarkan TB Paru.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran Surat Al-Anbiya’ (21):30
Al-Hadist Riwayat Baihaqi tentang kebersihan
Achmadi, U.F. (2010). Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta : Penerbit
UI Press.
____________. (2012). Dasar - Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta :
Rajawali Pers.
Adnani, H. (2006). Hubungan Kondisi Rumah Dengan Penyakit TBC Paru Di
Wilayah Kerja Puskesmas Karangmojo II Kabupaten Gunungkidul Tahun
2003-2006. Jurnal Kesehatan Surya Medika Yogyakarta.
Amin dan Bahar, (2009) Tuberkulosis Paru. Dalam :Sudoyo, A., W., dkk. Buku
Ajar Ilmu penyakit Dalam Jilid II. Ed 4. Jakarta : FKUI
Arikunto, S. (2010). Prosedur penelitian : Suatu Pendekatan Praktik. (Edisi
Revisi). Jakarta : Rineka Cipta
Atif et al., (2012) Tracing contacts of TB patients in Malaysia: costs and
practicality. A Springer Open Journal. 1:8
Batti’ (2013) Analisis Hubungan Antara Kondisi Ventilasi, Kepadatan Hunian,
Kelembaban Udara, Suhu, Dan Pencahayaan Alami Rumah Dengan
Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Wara Utara Kota
Palopo. Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi
Manado. Available from: http://fkm.unsrat.ac.id/ [Accesed 13 Maret 2016].
Depkes RI. (2011). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
_________. (2007) Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Edisi 3, Cetakan II.
Dinkes Ciamis, (2015). Laporan Survisasi Tepadu Berbasis Puskesmas (STP)
Dinas Kesehatan Ciamis.
Firdiansyah, W.N. (2012). Pengaruh Faktor Sanitasi Rumah dan Sosial
EkonomiTerhadap Kejadian Penyakit TB Paru BTA Positif Di
Kecamatan Genteng Kota Surabaya. Surabaya: Universitas Negeri
Surabaya.
Herchline, (2013) Tuberculosis. Availlable from: http://emedicine.medscape.com/
[accesed 11 Maret 2016]
Horsburgh, C.R., (2009) Epidemiology of Tuberculosis. Available
www.uptodate.com [accesed 11 Maret 2016].
from:
Jeong, Y., J., Lee, K., S., (2008) Pulmonary Tuberculosis : Up-To-Date Imaging
and Management. American Journal of Roentgenology : 191 (3). Available
From: http://www.ajronline.org/ [accesed 12 Maret 2016].
Kartasasmita, C.B., (2009) Epidemiologi Tuberkulosis. Sari Pediatri : 11 (2)
Kemenkes RI, (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian Dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Kim et al, (2011) Thoracic Sequelae and Complications of Tuberculosis. Radio
Graphics. 21 (4)
Kusuma, (2007) Diagnostik Tuberkulosis Baru. Sari Pediatri. 8 (4)
Mario dan Richard, (2011) Tuberculosis. Dalam : Kasper, D., L., et al. Harrison
Principles of Internal Medicine 16 th Ed. Mc Graw-Hill.
Mubarak, I. dan Chayatin, N. 2009. Ilmu Kesehatan Masyarakat : Teori dan
Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika.
Mukono. 2005. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Surabaya: Airlangga
University Press.
Nardell, (2008) Tuberculosis. available from : http://www.merckmanuals.com/
[accesed 11 Maret 2016]
Notoatmodjo,S, (2010). Promosi Kesehatan Teori Dan Aplikasi, Rineka Cipta
Jakarta.
____________, (2011). Kesehatan Masyarakat : Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka
Cipta.
____________, (2012) Promosi Kesehatan Dan Perilaku Kesehatan Rineka cipta
: Jakarta.
Nursalam. (2013) Konsep dan Penerapan Metodologi
Keperawatan. Penerbit Salemba Medika Jakarta.
Penelitian
Ilmu
PDPI, (2011) Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia :Jakarta
Price, S.A., Standridge, M.P., (2006) Tuberkulosis Paru. Dalam: Price, S.A.,
Wilson, L.M., Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:
EGC
Putra, A.K., (2010) Kejadian Tuberkulosis Pada Anggota Keluarga Yang Tinggal
Serumah Dengan Penderita TB Paru BTA Positif.
Available from:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/19500
[accesed 1 Maret
2016].
Sarudji, D. 2010. Kesehatan Lingkungan. Cetakan Pertama. Bandung: Karya
Putra Darwati.
Syafrudin, Damayani & Delmaifanis. 2011. Himpunan Penyuluhan Kesehatan,
CV. Trans Info Media, Jakarta.
Tjandra, 2014 Indonesia Peringkat 4 Pasien TB Terbanyak di Dunia Available
from: http://health.kompas.com/ [Accesed 3 Maret 2016].
Tobing, T.L. 2008. Pengaruh Perilaku Penderita TB Paru dan Kondisi Rumah
terhadap Pencegahan Potensi Penularan TB Paru Pada Keluarga di
Kabupaten Tapanilu Utara Tahun 2008. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara. Medan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Wieslaw et al, (2011) TB Manual National Tuberculosis Programme Guidelines.
Available from : www.euro.who.int/ [Accesed 9 Maret 2016].
World Health Organization (WHO). 2012 Global Tuberculosis Report. Available
from: http://www.who.int/ [Accesed 3 Maret 2016].
Download