1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Keadaan hiperglikemia kronis dari diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, gangguan fungsi dan kegagalan berbagai organ terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (ADA, 2014). Secara klinis, DM digolongkan menjadi empat golongan utama yaitu Diabetes Melitus tipe 1 (DM tipe 1), Diabetes Melitus tipe 2 (DM tipe 2), DM tipe lain yang disebabkan oleh berbagai penyebab dan DM gestasional (ADA, 2012). DM tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, terutamanya terjadi pada orang dewasa, tetapi kebelakangan ini semakin sering terjadi pada anak-anak dan remaja (IDF, 2013). DM tipe 2 ini bervariasi mulai yang predominan resisten insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resisten insulin (ADA, 2014). Berdasarkan data International Diabetes Federation (IDF) tahun 2014, terdapat 387 juta orang yang hidup dengan DM di dunia. Pada tahun 2035, jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 592 juta orang. Diperkirakan dari 387 juta orang tersebut, 179 juta orang diantaranya belum terdiagnosis (IDF, 2014). Kebanyakan orang yang mengidap DM tipe 2 tetap tidak sadar bahwa mereka menderita DM tipe 2 untuk jangka masa yang lama karena gejala DM tipe 2 mungkin mengambil waktu bertahun-tahun sebelum muncul atau terkadang tidak tampak sama sekali (IDF, 2013). Manakala, jumlah penderita DM tipe 2 di Indonesia mencapai 9,1 juta orang dan yang belum terdiagnosis adalah sebanyak 4,9 juta orang pada rentang usia sekitar 20 hingga 79 tahun (IDF, 2014). Laporan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan (Riskesdas) tahun 2013 menyebutkan terjadi peningkatan proporsi 2 pada penderita DM tipe 2 yang diperoleh berdasarkan wawancara yaitu 1,1% pada tahun 2007 menjadi 2,1% pada tahun 2013. Sedangkan proporsi DM tipe 2 berdasarkan diagnosis dokter atau gejala pada tahun 2013 adalah sebesar 2,1%. Manakala terdapat 0,6% penduduk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 1 juta orang yang sebenarnya merasakan gejala DM tipe 2 namun belum dipastikan apakah menderita DM tipe 2 atau tidak. Proporsi terbesar di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Tengah, sedangkan jumlah terbesar di Provinsi Jawa Barat. Manakala di Provinsi Sumatera Utara pula, jumlah estimasi penduduk usia 15 tahun keatas pada tahun 2013 adalah 8.939.623 orang. Dari jumlah tersebut, terdapat 1,8% penduduk menderita DM tipe 2 dan 0,5% penduduk belum pernah didiagnosis menderita DM tipe 2. Masih dari data Riskesdas (2013) tersebut menyebutkan prevalensi dari penderita DM tipe 2 cenderung meningkat pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Jika ditinjau dari segi pendidikan, prevalensi DM tipe 2 cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah. Dari segi pekerjaan pula, prevalensi DM tipe 2 cenderung lebih rendah pada pegawai, diikuti petani, nelayan, buruh, wiraswasta dan tidak bekerja. Sedangkan prevalensi tertinggi pada pekerjaan lainnya. Selain itu, terjadi peningkatan prevalensi penyakit DM tipe 2 sesuai pertambahan usia. Umumnya diabetes orang dewasa hampir 90% masuk DM tipe 2. Dari jumlah tersebut dikatakan bahwa 50% adalah pasien DM tipe 2 berumur lebih dari 60 tahun (Rochmah, 2009). Jadi peningkatan insidensi DM tipe 2 pada lansia ini tentu akan diikuti oleh meningkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi kronik DM tipe 2. Berbagai penelitian prospektif jelas menunjukkan meningkatnya penyakit akibat penyumbatan pembuluh darah, baik mikrovaskular seperti retinopati, nefropati maupun makrovaskular seperti penyakit pembuluh darah koroner dan juga pembuluh darah tungkai bawah (Waspadji, 2009). Komplikasi stadium akhir DM tipe 2 mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap kualitas hidup (Huang et al., 2007). World Health Organization (WHO) dalam Billington (2010) mendefinisikan kualitas hidup sebagai persepsi individu dari posisi individu dalam kehidupan dalam konteks sistem budaya dan nilai dimana individu hidup 3 dan dalam kaitannya dengan tujuan, harapan, standar dan kekhawatiran. Kualitas hidup adalah konsep yang luas mulai terpengaruh dengan cara yang kompleks dengan kesehatan fisik individu, keadaan psikologis, keyakinan pribadi, hubungan sosial dan hubungan individu dengan fitur-fitur penting dari lingkungan individu. Lebih lanjut disampaikan pada penelitian yang dilakukan oleh Issa dan Baiyewu (2006) terhadap 251 responden, bertujuan untuk mengkaji kualitas hidup pasien DM dan untuk membandingkan faktor klinis dan sosiodemografi yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 52 pasien (20,7%) dengan skor Quality Of Life (QOL) yang baik, 164 (65,4%) dengan skor cukup baik dan 35 (13,9%) dengan skor QOL yang rendah. Mereka menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa pada umumnya pasien DM menunjukkan kualitas hidup yang cukup baik berdasarkan kuesioner WHO tentang kualitas hidup. Kualitas hidup yang rendah dihubungkan dengan berbagai komplikasi dari DM seperti hipertensi, gangrene, katarak, obesitas, penurunan berat badan dan perubahan fungsi seksual. Selain itu pendapatan yang rendah, tingkat pendidikan yang kurang dan tipe DM juga berhubungan secara bermakna dengan kualitas hidup penderita DM. Manakala penelitian yang dilakukan Pompili et al.(2009) di Italia tentang kualitas hidup dan resiko bunuh diri pada pasien DM, diketahui bahwa pasien DM memiliki kualitas hidup yang buruk. Kualitas hidup yang buruk ini disebabkan oleh keterbatasan fisik, sakit fisik, dan gejala emosi. Tambahan pula, diketahui bahwa pasien DM menunjukan keputusasaan yang lebih besar dan ide bunuh diri, serta kualitas hidup yang buruk terkait dengan self efficacy yang rendah. Berdasarkan kedua-dua penelitian tersebut, dibuktikan bahwa terdapat hubungan antara DM dengan kualitas hidup. Jadi, seiring dengan peningkatan prevalensi DM tipe 2 di Indonesia peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara DM tipe 2 dengan kualitas hidup yang terdiri dari beberapa aspek yakni kesehatan fisik, psikologis, hubungan sosial dan aspek lingkungan di Posyandu Lansia wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Medan Amplas. 4 1.2 Rumusan Masalah Apakah ada hubungan DM tipe 2 dengan kualitas hidup di Posyandu Lansia wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Medan Amplas? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui adanya hubungan antara DM tipe 2 dengan kualitas hidup di Posyandu Lansia wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Medan Amplas. 1.3.2 Tujuan Khusus Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah : 1. Mengetahui karakteristik demografi responden berdasarkan (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, status sosioekonomi, status pernikahan), riwayat menderita DM, kadar gula darah sewaktu dan lama menderita DM. 2. Untuk mengetahui hubungan antara DM dengan kualitas hidup pada responden. 3. Untuk mengetahui hubungan antara DM dengan kualitas hidup disetiap domain WHO pada responden. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi : 1. Institusi Pendidikan Sebagai bahan bacaan dan informasi bagi mahasiswa tentang kualitas hidup pasien DM dan dapat dijadikan bahan masukan bagi mahasiswa kedokteraan, khususnya dalam memberikan pendidikan kesehatan, terutama pada pasien yang menderita penyakit DM. 2. Pasien Diabetes Melitus Memberikan informasi tentang kualitas hidup pasien DM sehingga dapat diupayakan tindakan untuk meningkatkan kualitas hidup. 5 3. Peneliti Selanjutnya Sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya dan sebagai bahan perbandingan apabila ada peneliti yang ingin melakukan penelitian dengan judul yang sama atau ingin mengembangkan penelitian ini lebih lanjut. 4. Peneliti Sebagai pengalaman baru untuk mengaplikasikan ilmu yang diperoleh di bangku kuliah dengan keadaan yang ada di masyarakat.