10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi 2.1.1 Definisi Komunikasi Komunikasi diperlukan karena manusia tidak bias hidup sendiri. Manusia yang satu membutuhkan manusia yang lainnya. Oleh sebab itu untuk berinteraksi dengan manusia atau orang lain kita memerlukan komunikasi, karena berkaitan erat dengan penyimpanan pesan atau informasi yang kita butuhkan. Komunikasi secara etimologis berasal dari perkataan latin “communication” yang berarti sama. 1 Menurut Webster New Collogiate Dictionary komunikasi adalah “Suatu proses pertukaran inforamsi diantara individu melalui sistem lambang-lambang, tanda-tanda atau tingkah laku”. 2 Menurut Bernard Berelson & Gary A.Stainer, komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi, gagasan emosi, keahlian, dan lain-lain melalui penggunaan simbol-simbol seperti kata-kata, gambar, angka-angka, dan lain-lain. Komunikasi secara terminologis merujuk pada adanya proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Jadi dalam pengertian ini yang terlibat dalam komunikasi adalah manusia. 1 Onong Uchajana Effendy, Ilmu, Teori dan Filasafat Komunikasi (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2003) 2 Riswandi, Ilmu Komunikasi (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009) Hal. 1-2 10 11 Komunikasi adalah proses simbolik, merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, seperti dikatakan Susanne K. Langer, adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang. Manusia satu-satunya hewan yang menggunakan lambing, dan itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Ernst Cassirer mengatakan bahwa keunggulan manusia atas makhluk lainnya adalah keistimewaan mereka sebagai animal simbolicum. 3 2.1.2 Komunikasi Massa Definisi komunikasi massa yang paling sedrhana dikemukakan oleh Bittner, yakni : komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (mass communication is messages communicated through a mass medium to a large number of people). 4 Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa komunikasi massa itu harus menggunakan media massa. Jadi, sekalipun komunikasi itu disampaikan kepada khalayak yang banyak, seperti rapat akbar dilapangan luas yang dihadiri oleh ribuan, bahkan puluhan ribu orang, jika tidak menggunakan media massa, maka itu bukan komunikasi massa. Selain itu ada juga definisi komunikasi massa yang dikemukakakn oleh Severin & Jr. Tankard dalam bukunya Communication Theories: origins, Methods, And Uses In The Mass Media yang definisinya diterjemahkan oleh Effendy sebagai berikut: 3 4 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar (Remaja Rosdakarya, 2007) Hal. 92 Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala, Siti Karlinah, Komunikasi Massa: Suatu Pengantar (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007) Hal. 3 12 “Komunikasi massa adalah sebagian keterampilan, sebagian seni dan sebagian ilmu. Ia adalah keterampilan dalam pengertian bahwa ia meliputi teknik-teknik fundamental tertentu yang dapat dipelajari seperti memfokuskan kamera televisi, mengoperasikan tape recorder atau mencatat ketika berwawancara. Ia adalah seni dalam pengertian bahwa ia meliputi tantangan-tantangan kreatif seperti menulis skrip untuk untuk program televisi, mengembangkan tata letak yang estetis untuk iklan majalah atau menampilkan teras berita yang memikat bagi sebuah kisah berita. Ia adalah ilmu dalam pengertian bahwa ia meliputi prinsip-prinsip tertentu tentang bagaimana berlangsungnya komunikasi yang dapat dikembangkan dan dipergunakan untuk membuat berbagai hal menjadi lebih baik”. 5 Menyimak dari berbagai definisi komunikasi massa yang dikemukakan para ahli komunikasi, tampaknya tidak ada perbedaan yang mendasar atau prinsip, bahkan definisi-definisi itu satu sama lain saling melengkapi. Hal ini telah memberikan gambaran yang jelas mengenai pengertian komunikasi massa. Bahkan secara tidak langsung dari pengertian komunikasi massa dapat diketahui pula ciri-ciri komunikasi massa yang membedakannya dari bentuk komunikasi lainnya. Kemampuan untuk menjangkau ribuan, atau bahkan jutaan, orang merupakan ciri dari komunikasi massa, yang dilakukan melalui medium massa seperti televise atau koran. Komunikasi massa dapat didefinisikan sebagai proses 5 Ibid; Hal. 5 13 penggunaan sebuah medium massa untuk mengirim pesan kepada audien yang luas untuk tujuan memberi informasi, menghibur atau membujuk. 6 Dalam banyak hal, proses komunikasi massa dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya adalah sama: seseorang membuat pesan, yang pada dasarnya adalah tindakan intrapersonal (dari dalam diri seseorang). Pean itu kemudian dikodekan dalam kode umum, seperti bahasa. Kemudian ia ditransmisikan. Orang lain menerima pesan itu, menguraikannya dan menginternalisasikannya. Internalisasi pesan merupakan kegiatan intrapersonal. Dalam hal lain, komunikasi massa adalah bentuk yang berbeda. Menyusun pesan yang efektif untuk ribuan orang dengan latar belakang dan kepentingan yang berbeda-beda membutuhkan keahlian yang berbeda dengan sekadar bicara dengan teman. Menyusun pesan lebih kompleks kerana ia harus menggunakan suatu sarana, misalnya percetakan, kamera atau perekam. 2.1.3 Media Massa Menurut Y.S Kusnadi dalam buku “Himpunan Istilah Komunikasi”, media massa adalah komunikasi dengan menggunakan sarana atau peralatan yang dapat menjangkau massa sebanyak-banyaknya dan area yang seluas-luasnya. 7 Hafied cangara menjelaskan media massa adalah alat yang digunkan dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan 6 7 John Vivian, Teori Komunikasi Massa, Edisi Kedelapan (Jakarta: Kencana, 2008) Hal. 450 Y.S. Gunadi, Himpunan Istilah Komunikasi (Jakarta: Grasindo, 1998) Hal. 75 14 menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seprti surat kabar, film radio dan televisi. 8 Menurut Nurudin, Media massa adalah alat-alat dalam komunikasi yang bisa menyebarkan pesan secara serempak, cepat kepada audience yang luas dan heterogen. Kelebihan media massa dibanding dengan jenis komunikasi lain adalah ia bisa mengatasi hambatan ruang dan waktu. Bahkan media massa mampu menyebarkan pesan hampir seketika pada waktu yang tak terbatas. 9 Kesimpulan dari beberapa pengertian media massa diatas adalah media massa merupak alat pengantar pesan yang bersifat mekanis baik cetak maupun elektronik yang dapat mencakup khalayak luas dan feedback yang diterima secara langsung pada saat itu. Film yang merupakan salah satu media massa digunakan dalam penelitian ini. Film mampu mengantarkan pesan kepada khalayak luas namun feedback yang diterimanya tidak dapat secara langsung. Film “Punk In Love” mampu menyampaikan pesan berupa gaya hidup Punk yang dilakukan didalam sebuah lingkungan sosial keapda khalayak luas yang menontonnya. Media massa bersifat periodik. Ada bebrapa jenis media masa periodik, menurut Onong Uchjana Effendy media massa periodik dibagi menjadi 2 jenis, yaitu media massa periodik dan elektronik. 10 1. Media massa periodik cetak Media massa periodik cetak menyajikan produk jurnalistik berupa tulisan dan gambar actual yang mengandung informasi. Oleh 8 Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta: Raja Gradindo Persada, 2002) Hal. 134 Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2007) 10 Onong Uchjana Ffendi (2003), Op.Cit; Hal. 54 9 15 karena itu yang mendasari perbedaan media massa periodik cetak dengan media massa periodik elektronik adalah media massa periodik cetak hanya menekankan pada sesuatu yang dilihat saja. 2. Media massa periodik elektronik Radio, film dan televise digolongkan kedalam media massa periodik elektronik. Berbeda dengan massa periodik cetak, pada media massa periodik elektronik dalam menerima informasi khalayak memerlukan indera penglihatan dan pendengaran dimana bukan hanya menekankan pada sesuatu yang dapat dilihat tetapi juga dapat didengar. Film “Punk In Love” termasuk kedalam jenis media masa periodik elektronik karena film bukan hanya dapat dilihat, tetapi sebuah film juga dapat didengar melalui dialog-dialog pada film tersebut. Media massa dapat memberikan efek-efek tertentu. Efek media media massa menurut Y.S. Gunandi. Adalah tanggapan (respon) komunikan terhadap pesan yang ditawarkan oleh komunikasi pada umumnya efek suatu kegiatan komunikasi diketahui dari gejala umpan balik (feedback) komunikan. 11 Menurut Steven M. Chaffee, efek media massa dapat dilihat dari tiga pendekatan, pendekatan pertama adalah efek dari media massa yang berkaitan dengan pesan ataupun media itu sendiri. Pendekatan kedua adalah dengan melihat jenis perubahan yang terjadi pada diri khalayak komunkasi massa yang berupa perubahan sikap, perasaan dan perilaku atau dengan istilah lain dikenal sebagai 11 Y.S. Gunadi (1998) Op.Cit; Hal. 42 16 perubahan kognitif, afektif dan behavioral. Pendekatan ketiga yaitu observasi terhadap khalayak (individu, kelompok, organisai, masyarakat atau bangsa) yang dikenal dengan komunikasi massa. 12 Sedangkan menurut Onong Uchjana Effendy dalam buku “Ilmu Komunkasi Teori dan Praktek”, efek komunikasi massa adalah efek dari pesan yang disebarkan oleh komunikator melalui media massa timbul pada komunikan sebagai sasaran komunikasi. Oleh karena itu efek melekat pada khalayak sebagai akibat dari perubahan psikologis. 13 Seperti yang sudah dijelaskan, film dapat memberikan efek afektif pada setiap penontonnya, begitu juga film “Punk In Love” dalam penelitian ini. Khalayak yang menonton film ini memiliki perasaan tertentu setelah atau pada saat menontonya. Salah satu efek afektif yang timbul adalah sedih dan juga terharu karena film ini merupakan gaya hidup Punk pada 4 anak punk, yaitu Almira (Aulia Sarah), Arok (Vino G. Bastian), Mojo (Yogi Finanda), dan Yoji (Andhika Pratama) yang berasal dari Malang. Film “Punk In Love” juga memberikan gambaran kepada khalayak, bagaimana gaya hidup anak punk yang memiliki kehidupan untuk bertahan dijalanan. 12 Steven M. Chaffee Dalam Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala, Siti Karlinah, Komunikasi Massa: Suatu Pengantar (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007) Hal. 50 13 Onong Uchjana Effendy (2003), Op.Cit; Hal. 318 17 2.1.4 Film Film merupakan salah satu alat komunikasi massa. Seperti halnya radio dan televise, film juga merupakan media massa periodik elektronik. Jika digolongkan ke dalam fungsi media massa, film berfungsi sebagai sarana hiburan media gambar dan suara. Pesan yang disampaikan secara audio-visual dengan menggunakan tanda, simbol dan lambing yang mudah dimengerti sehinggamampu menarik perhatian penonton. Menurut Danesi (2002) yang dikutip dari “Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi”, film merupakan teks yang berisikan serangkaian foto (gambar) yang menciptakan gambar akan kehidupan nyata. Sedangkan menurut Straubhaar (2002), film sendiri istilah lain dari motion picture (gambar bergerak), yaitu teknik menggabungkan sekumpulan gambar dalam kecepatan tetap.14 Menurut Denis McQuail, film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum. 15 Dalam perkemnbangannya film jugha digunakan sebagai alat propaganda, karena dalam film terdapat tujuan-tujuan tertentu dan mampu mempengaruhi khalayak penontonnya. Masih dalam buku yang sama, Denis McQuail mengatakan bahwa: Film sebagai alat propaganda, maksudnya hal tersebut berkenaan dengan pandangan yang menilai bahwa film memiliki jangkauan, realism, pengaruh 14 15 Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi (Volume IV/No. 1, Januari-April) Hal. 91 Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar (Jakarta: Erlangga,1987) Hal. 13 18 emosional dan popularitas yang hebat. Upaya membaurkan pengembangan pesan dengan hiburan memang sudah lama diterapkan dalam kesustraan dan drama, namun unsur-unsur baru dalam film, memiliki kelebihan dalam kemampuannya menjangkau sekian banyak prang dalam waktu yang cepat dan kemampuannya memanipulasi kenyataan yang tampak dengan peasn fotografis, tanpa kehilangan kredibilitas. 16 Menurut Van Zoest, yang dikutip dari Alex Sobur dalam buku “Semiotika Komunikasi”, Film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sisten tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. 17 Onong Uchjana Effendy membagi film dalam beberapa jenis, yaitu: 1. Film Cerita (Story Film) Film cerita adalah jenis film yang mengandung suau cerita, yaitu uyang lazim dipertunjukan digedung-gedung bioskop dengan para bintang film yang tenar. Film ini didistribusikan sebagai barang dagangan dan dipertunjukan semua public dimana saja. 2. Film Berita (Newsreel) Film Berita merupakan film mengenai fakta, peristiwa yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita, maka film ang disajikan kepada publik harus mengandung nilai berita (newsvalue). 3. Film Dokmenter (Documentry Film) 16 17 Ibid; Hal. 14 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003) Hal. 128 19 Titik berat film dokumenter adalah fakta-fakta atau peristiwa yang terjadi. Bedanya denga film berita adalah bahwa film harus mengenai sesuatu yang mempunyai ‘nilai berita’ untuk dihidangkan kepada penonton apa adanya dan adalam waktu yang sesingkat-singkatnya, sedangkan pada film documenter dapat dilakukan dengan pemikiran dan perencanaan yang matang. 4. Film Kartun (Cartoon Film) Titik berat pembuatan film kartun dalah seni lukis. Dan setiap lukiasannya memrlukan ketelitian. Satu per satu dilukis dengan seksama untuk kemudian dipotret satu per satu pula. Dan apabila rangkaian lukiasan yang 16 buah itu setiap detiknya diputar dalam proyektor film, maka lukisanlukisan itu menjai hidup. Dalam penelitian ini penulis mengklasifikasikan bahwa film “Punk In Love” yang dijadikan objek penelitian ini merupakan jenis film cerita yang menceritakan 4 orang sahabat yang bergaya hidup Punk, kemudian pergi kejakarta dengan kondisi seadanya, hanya untuk mengantarkan Arok untuk bertemu Maia kekasihnya. 2.1.5 Semiotika Bidang studi semiotika adalah bidang studi yang mempelajari tentang penggunaan tanda, karena bidang terapan studi ini tidak memiliki batasan, banyak bidang- bidang dalam kehidupan sehari-sehari yang menggunakan semiotika 20 sebagai ilmu terapannya, bidang semiotika ini sendiri bisa berupa proses komunikasi yang tampak sederhana hingga sitem budaya yang lebih kompleks. Semiotika berasal dari kata Yunani : Semion, yang berarti tanda. Dalam pandangan Piliang, penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam pelbagai cabang keilmuan ini dimungkinkan karena ada kecenderungan untuk mamandang pelbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. 18 Semiotika merupakan suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda 19 . Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna (meaning) ialah hubungan suatu objek atau ide dan suatu tanda (Littlejohn, 1996:64). Semiotika merupakan salah satu aliran (tradisi) dalam teori-teori komunikasi. Teori ini berpijak pada signs, symbols, dan objects yang diinterpretasikan oleh audiens. Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure (1857 – 1913) dan Charles Sander Peirce (1839 – 1914). Saussure di Eropa dengan latar belakang keilmuan lingustik yang ia sebut dengan nama semiologi, sedangkan Pierce di Amerika Serikat latar belakang keilmuannya filsafat, menyebut ilmu yang dikembangkannya bernama semiotika. Baik semiotika maupun semiologi, keduanya sama-sama digunakan untuk mengacu kepada ilmu tentang tanda. Menurut Scholes dalam Budiman, 20 semiotika pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu sistem apapun yang memungkinkan kita 18 Sumbo Tinarbuko. Semiotika Komunikasi Visual (Yogyakarta: Jalasutra, 2008) Hal. 11 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003) Hal. 15 20 Kris Budiman. Semiotika Visual (Yogyakarta: Buku Baik, 2004) Hal. 3 19 21 memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sesuatu yang bermakna. Menurut Barthes dalam Sobur, 21 semiotika merupakan ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Segers 22 mengatakan semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana “signs” atau “tanda-tanda” dan berdasarkan pada “sign system” (code) “sistem tanda”. Sedangkan Charles Sanders Peirce dalam Eriyanto mendefinisikan semiosis sebagai “a relationship among a sign, an object, an a meaning (suatu hubungan diantara tanda, objek, dan makna). Dari definisi para ahli yang disebutkan diatas, melihat semiotika itu sebagai ilmu atau proses yang berhungan dengan tanda. Menurut Sobur dalam Analisis Teks Media, Pada dasarnya, analisis semiotik merupakan sebuah ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang “aneh”. Sesuatu yang dapat dipertanyakan lebih lanjut. Tujuan utama dari semiotika media adalah mempelajari bagaimana media massa menciptakan atau mendaur ulang tanda untuk tujuannya sendiri. Cara ini dilakukan dengan bertanya : (1) apa yang dimaksudkan atau direpresentasikan oleh sesuatu; (2) bagaimana makna itu digambarkan; dan (3) mengapa ia memiliki makna sebagaimana ia tampil. Penanda dan petanda merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Penanda mewakili elemen bentuk atau isi, sementara petanda mewakili elemen konsep atau makna, kedua hal itulah yang membentuk tanda. Semiotika, mempunyai tiga bidang studi utama, yakni : 21 22 Sobur, Op.cit. hal 16-17 ibid 22 1. Tanda Studi tentang tanda yang berbeda, seperti cara mengantarkan makna serta cara menghubungkan dengan orang yang menggunakannya. 2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda Studi yang meliputi bagaimana beragam kode yang berbeda dibangun untuk mempertemukan kebutuhan masyarakat dalam kebudayaan. 3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja Bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri. 2.1.5.1 Tanda dan Makna dalam Semiotik Tanda Tanda merupakan sesuatu yang bernilai fisik, bisa dipersepsi indra kita, tanda mengacu pada sesuatu diluar tanda itu sendiri dan bergantung pada pengamatan oleh penggunaanya sehingga bisa disebut tanda. Tandatanda adalah basis dari seluruh kegiatan komunikasi. Manusia dengan perantara tanda dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya. Kajian tentang tanda dalam proses komunikasi tersebut sering disebut semiotika komunikasi. Tanda menunjukkan sesuatu yaitu objeknya. Menurut Berger, 23 tanda adalah sesuatu yang terdiri pada sesuatu yang lain atau menambah dimensi yang berbeda pada sesuatu hal lainnya. Pierce menyebut tanda 23 Geger Riyanto & Peter L Berger, Perspektif Meta Teori Pemikiran (Jakarta: LP3S, 2009) Hal. 1 23 sebagai “suatu pegangan seorang keterkaitan dengan tanggapan atau kapasitasnya”. Salah satu bentuknya adalah kata. Sedangkan object adalah sesuatu yang dirujuk oleh tanda. Sementara interpretant adalah tanda yang ada di dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Tanda, mengacu kepada sesuatu diluar dirinya sendiri - Objek dipahami oleh seseorang serta memiliki efek dibenak penggunanya – interpretant, dan apabila keitga elemen tersebut berinteraksi dalam benak seseorang, maka muncullah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Makna muncul dari suatu tanda apabila digunakan orang pada waktu berinteraksi. Makna Semiotik berusaha menggali hakikat sistem tanda yang beranjak ke luar kaidah tata bahasa dan sintaksis yang mengatur teks yang murni dan tersembunyi. Yang menimbulkan perhatian pada makna tambahan. Menurut Umar Junus dalam Sobur 24 menyatakan, makna dianggap sebagai fenomena yang bisa dilihat sebagai kombinasi beberapa unsur. Secara sendiri-sendiri, unsur tersebut tidak mempunyai makna sepenuhnya. Makna menjadi isi komunikasi yang mampu menciptakan informasi tertentu. Sebuah makna berasal dari petanda-petanda yang dibuat oleh manusia, ditentukan oleh kultur dan subkultur yang dimilikinya yang merupakan konsep mental yang digunakan dalam 24 Sobur, Op. Cit, hal. 126 24 membagi realitas dan mengkategorikannya sehingga manusia dapat memahami realitas tersebut. 2.1.5.2 Analisis Semiotika Roland Barthes Roland Barthes merupakan salah satu pemikir strukturalis dalam mempraktikkan model linguistik. Dalam teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi dua tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas yang menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti. Tingkatan tanda dan makna Barthes dapat digambarkan dibawah ini : Gambar 2.1 Tingkatan Tanda dan Makna Barthes TANDA DENOTASI KONOTASI (KODE) Sumber : Yasraf A. Pilliang, Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta : 2003, hal. 28 25 Barthes disebut sebagai penerus Saussure dengan mengadposi sistem tanda (signifier dan Signified) yang sebelumnya diperkenalkan oleh Saussure. Barthes menyusun model sistematik untuk menganalisis negosiasi dan gagasan makna interaktif. Intinya adalah gagasan mengenai dua tatanan pertandaan (order of signification). Gambar 2.2 Dua Tatanan Pertandaan Roland Barthes Tatanan pertama Realitas Tatanan kedua Tanda Tanda Kultur Konotasi Denotasi Penanda Petanda Mitos Sumber : John Fiske, Cultural and Communication Studies, Jalasutra, Yogyakarta, 2004. 26 Sistematis Roland Barthes dalam menganalisis makna dari tanda-tanda tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap. Model sistematis Barthes tersebut menjelaskan signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier (ekspresi) dan signified (isi) di dalam sebuah tanda terhadap relaitas eksternal yang disebut denotasi dan konotasi yang dimengerti secara umum dengan apa yang dikemukakan oleh Barthes. Denotasi Tatanan pertandaan pertama adalah landasan kerja Saussure. Tataran ini menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda dan diantara tanda dengan referennya dalam relaitas eksternal. Oleh Barthes tataran ini disebut sebagai denotasi. Unsur denotasi dalam sebuah tanda lebih mengacu pada hal-hal material atau dalam kata lain yang dapat terindrakan oleh panca indra manusia, oleh karena itu, haruslah terlebih dahulu “dikenali” agar dapat dipersepsikan kembali. Konotasi Konotasi dalam istilah Barthes dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunaannya dan nilai kulturalnya. Ini terjadi tatkala makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif dan ini terjadi ketika interpretant dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsiran dan objek atau tanda. bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama. Menurut 27 Pilliang 25 konotasi merupakan tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti yang berarti terbuka terhadap berbagai kemungkinan. Konotasi dapat pula diartikan sebagai suatu tanda yang berhubungan dengan suatu isi melalui satu atau lebih fungsi tanda lain. Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Menurut Fiske 26 konotasi merupakan bagian manusiawi dari proses analogi foto, yaitu mencakup seleksi atas apa yang masuk dalam bingkai (frame), fokus, rana, sudut pandang kamera, mutu film dan seterusnya. Jadi denotasi adalah “apa” yang difoto sedangkan konotasi adalah “bagaimana” memfotonya. Kata-kata yang terdengar melalui indra pendengaran dapat menjadi sebuah tanda denotatif sedangkan cara kata-kata tersebut diucapkan melalui nada suara dan intonasi menyentuh area konotasi. Karena itulah konotasi disebut sebagi spesifik pada kultur tertentu meski seringkali juga memiliki dimensi ikonik. Konotasi dalam kerangka Barthes juga identik dengan operasi ideologi yang disebutnya “mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Mitos Cara selanjutnya dari tiga cara Barthes mengenai bekerjanya tanda dalam tatanan kedua melalui mitos. Mitos merupakan suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. Mitos 25 26 Pilliang. Op. Cit, hal. 261 Fiske. Op. Cit, hal.118 28 merupakan suatu sistem komunikasi dan juga suatu pesan. Hal inilah yang memungkinkan audience untuk memahami bahwa mitos tidak mungkin merupakan suatu objek, konsep atau gagasan, sebab mitos merupakan mode pertandaan suatu bentuk. Semuanya dapat dinyatakan menjadi mitos apabila hal tersebut disampaikan lewat wacana. Mitos tidak didefinisikan oleh objek pesannya tetapi oleh caranya menyatakan pesan ini : terdapat batas-batas formal bagi mitos, tidak ada batasan-batasan yang “substansial”, tidak ada mitos yang abadi karena sejarah manusia yang mengubah realitas menjadi wicara, dan wicara tersebut mengatur kehidupan dan kematian bahasa. Mitos merupakan aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Berkaitan dengan pendapat bahwa mitos digunakan untuk “membenarkan” nilai-nilai dominan pada sebuah budaya dan periode tertentu, maka seharusnya mitos bekerja dengan cara membawa serta muatan historisnya. Mitos juga merupakan suatu wahana ideologi terwujud. 27 Mitos dapat menjadi mitologi yang memainkan peranan penting dalam kesatuan-kesatuan budaya. Ideologi dapat ditemukan dalam teks dengan jalan meneliti konotasikonotasi yang terdapat didalamnya. Salah satu caranya adalah mencari mitologi dalam teks-teks semacamnya. Ideologi adalah sesuatu yang abstrak. Mitologi (kesatuan mitos-mitos yang koheren) menyajikan inkarnasi makna-makna yang 27 Pilliang. Op. Cit, hal. 100 29 mempunyai wadah dalam ideologi. Ideologi harus dapat diceritakan dan cerita itulah yang dinamakan mitos. Ideologi Ideologi adalah sistem ide-ide yang diungkapkan dalam komunikasi. Secara positif ideologi dipersepsikan sebagai suatu pandangan dunia (worldview) yang menyatakan nilai-nilai kelompok sosial tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka. Secara negatif, ideologi dilihat sebagai kesadaran palsu, yaitu suatu kebutuhan untuk melakukan penipuan dengan cara memutarbalikkan pemahaman orang mengenai realitas sosial. Ideologi itu berada pada perpotongan antara prinsip atau filosofis, pilihan dan keyakinan individual, serta nilai-nilai umum dan khusus. Perpotongan ini diikhtisarkan dalam gambar berikut ini : Gambar 2.3 Dimensi Ideologi Kepentingan Nilai Pilihan Sumber : David E. Apter, 1996. Pengatar Analisis Politik, Jakarta: LP3ES, hal. 236 30 Nilai, kepentingan dan pilihan, jelas saling bertumpang tindih. Ideologi, menurut Apter merupakan atribut-atribut ini: kadang-kadang koheren dan kadangkadang tidak. Pilihan dapat diubah menjadi kepetingan dan kepentingan menjadi nilai, atau pilihan dapat ditingkatkan kepada status nilai untuk mencapai kepentingan. Terdapat tiga dimensi yang dapat dipakai untuk melihat dan mengukur kualitas suatu ideologi (Alfian, 1995:93), yakni: (1) kemampuannya mencerminkan realitas yang hidup dalam masyarakat, (2) mutu idealisme yang dikandungnya dan (3) sifat fleksibilitas yang dimilikinya. Berikut ini sekedar penjelasan singkat ketiga dimensi tesebut. Dimensi pertama ideologi adalah pencerminan realitas yang hidup dalam masyarakat dimana ia muncul pertama kalinya, paling tidak pada saat-saat kelahirannya itu. Dengan kata lain, ideologi itu merupakan gambaran tentang sejauh mana suatu masyarakat berhasil memahaminya sendiri. Dimensi kedua dari ideologi adalah lukisan tentang kemampuannya memberikan harapan kepada berbagai kelompok atau golongan yang ada dalam masyarakat untuk mempunyai kehidupan bersama secara lebih baik dan untuk suatu masa depan yang lebih cerah. Dimensi ketiga dari ideologi – erat kaitannya dengan dimensi di atas – mencerminkan kemampuan suatu ideologi dalam mempengaruhi dan sekaligus menyesuaikan diri dengan pertumbuhan atau perkembangan masyarakatnya. Mempengaruhi berarti ikut mewarnai proses perkembangan itu. Sedangkan 31 menyesuaikan diri berarti bahwa masyarakat berhasil menemukan interpretasiinterprestasi baru terhadap nilai-nilai dasar atau pokok dari ideologi itu sesuai dengan realitas-realitas yang muncul dari yang mereka hadapi. Secara umum, terapan semiotika pada kajian komunikasi berkutat pada simbol-simbol verbal, audio maupun visual pada macam-macam media, baik media massa maupun nirmassa. 28 Tujuan utama dari semiotika media adalah mempelajari bagaimana media massa menciptakan atau mendaur ulang tanda untuk tujuannya sendiri. Hal ini dilakukan dengan bertanya: apa yang dimaksudkan atau direpresentasikan oleh sesuatu, bagaimana makna itu digambarkan dan mengapa ia memiliki makna?. 29 2.2 Representasi Konsep representasi menjadi hal yang penting dalam studi tentang budaya, representasi menghubungkan makna (arti) dan bahasa dengan kultur. Representasi berarti menggunakan bahasa untuk menyatakan sesuatu yang penuh arti, atau menggambarkan dunia yang penuh arti kepada oran lain. Representasi adalah sebuah bagian yang essensial dari proses dimana makna dihasilkan atau diprosuksi dan diubah antara anggota kultur tersebut. Representasi merupakan kegunaan dari tanda. Marcel Danesi mendefinisikannya sebagai berikut: “Proses merekam ide, pengetahuan atau pesan dalam beberapa cara fisik disebutkan represntasi. Ini dapat dapay didefinisikan 28 29 Op Cit. Sunarto et al. Hal. 233 Marcell Danesi. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta. Jalasutra. 32 lebih tepat sebagai kegunaan dari tanda yaiut untuk menyambungkan, melukiskan, meniru sesuatu yang dirasa, dimengerti, diimajinasikan atau dirasakan dalam beberapa bentuk fisik. Dapat dikarakteristikan sebagai proses konstruksi bentuk X untuk menimbulkan perhatian kepada sesuatu yang ada secara material atau konseptual, yaitu Y, atau dalambentuk spesifik Y, X=Y” 30 Denesi mencontohkan representasi dengan sebuah konstruksi X yang dapat mewakilkan atau memberikan suatu bentuk kepada suatu meteril atau konsep tentang Y. sebagai contoh misalnya konsep dilarang merokok diwakili atau ditandai melalui gambar sebuah rokok yang diberi tanda silang. Menurut Stuart Hall ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental, yaitu konsep tentang sesuatu yang ada dikepala kita masing-masing (peta konseptual), representasi mental masih merupakan sesuatu yang abstrak. Kedua ‘bahasa’ yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada didalam kepala kita harus diterjemahkan dalam ‘bahasa’ yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide tentang sesuatu dengan tanda dari simbol-simbol tertentu. 31 Media sebagai suatu teks banyak menebarkan bentuk-bentuk representasi pada isinya. Representasi dalam media menunjuk pada bagaimana seseroang atau suatu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. 32 30 Marcel Denesi, Understanding Media Semiotiks (London : Arnold, 2002) Hal. 3 Nuraini Juliastuti, Bagaimana Representasi Menghubungkan Makna Dan Bahasa Dalam Kebudayaan?, (www.kunci.or.id) 32 Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: Lkis, 2001) Hal. 113 31 33 Menurut Noviani, representasi adalah sebuah tanda ( a sign) untuk sesuatu atau seseorang, sebuah tanda yang tidak sama dengan realistis yang dipresentasikan tapi dihubungkan dengan, dan mendasarkan diri pada realistis yang menjadi referensinya. 33 Chris Barker menjelaskan, Representasi adalah tentang bagaimana dunia dikonstruksi dan disajikan secara social kepada dan oleh diri kita. Sedangkan representasi cultural adalah makna yang memiliki sifat material, mereka tertanam dalam bunyi-bunyi, tulisan-tulisan, benda-benda, gambaran-gambaran, bukubuku, majalah-majalah, dan program-program televisi. 34 Sedangkan menurut Eriyanto, reprensentasi itu sendiri menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Penggambaran yang tampil bias jadi adalah penggambaran yang buruk dan cenderung memarjinalkan seseorang atau kelompok tertentu. 35 Dari bebrapa penjelasan diatas, dapat kesimpulan bahwa representasi adalah bentuk dari suatu penggambaran makna secara sosial yang dapat berupa bunyi-bunyi, gambaran-gambaran, foto-foto, dan sebagainya, dan penggambaran tersebut dapat berupa penggambaran dari sisi baik ataupun buruk. 33 Ratna Noviani, Jalan Tengah Memahami Iklan: Antara Realitas, Representasi, Dan Simulasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) Hal. 23 34 Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktek (Yogyakrata: Bentang Pustaka, 2009) Hal. 10 35 Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: Lkis, 2001) Hal. 114 34 Sebuah film dapat memberikan gambaran mengenai isi dari film teersebut. Dalam penelitian ini film “Punk In Love”mampu menggambarkan atau merepresentasikan gaya hidup Punk yang merupakan kehidupan pribadi dan kejadian sosial di masyarakat. 2.3 Gaya Hidup Prilaku baik atau buruk terhadap seseorang bisa dilihat dari gaya hidupnya. Gaya hidup adalah salah satu kata yang akhir-akhir ini sering digunakan. Para ilmuan sosial, jurnalis, dan orang awam menggunakannya untuk menunjuk pada hampir semua minat, bisa fashion, Zen, Budhisme, atau masakan perancis ... Jika tahun 1970-an adalah petunjuk akan hal tersebut, kata gaya hidup akan serta- merta memasukan segalanya dan pada saat yang sama tak bermakna apa pun. 36 Gaya hidup dipahami sebagai kegunaan fasilitas konsumen secara kreatif. Dunia Sosial yang terorganisir, terstruktur, dan diilhami dengan makna yang menjelaskan bahwa yang dimaksud golongan orang yang merupakan protagonis, yakni mereka yang memiliki perasaan mengenai identitas sosial mereka sendiri. 37 Gaya hidup menurut Kotler (2002, p. 192) adalah pola hidup seseorang di dunia yang iekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” dalam berinteraksi dengan lingkungannya.Gaya hidup menggambarkan seluruh pola seseorang dalam beraksi 36 Sobel dalam David Chaney, Life Stlyes : Sebuah Pengantar Komprehensif (Yogyakarta: Jalasutra, 2004) Hal. 39 37 Ibid; Hal. 83 35 dan berinteraksi di dunia. Secara umum dapat diartikan sebagai suatu gaya hidup yang dikenali dengan bagaimana orang menghabiskan waktunya (aktivitas), apa yang penting orang pertimbangkan pada lingkungan (minat), dan apa yang orang pikirkan tentang diri sendiri dan dunia di sekitar (opini). Gaya hidup adalah perilaku seseorang yang ditunjukkan dalam aktivitas, minat dan opini khususnya yang berkaitan dengan citra diri untuk merefleksikan status sosialnya. Plummer (1983) gaya hidup adalah cara hidup individu yang di identifikasikan oleh bagaimana orang menghabiskan waktu mereka (aktivitas), apa yang mereka anggap penting dalam hidupnya (ketertarikan) dan apa yang mereka pikirkan tentang dunia sekitarnya. Adler (dalam Hall & Lindzey, 1985) menyatakan bahwa gaya hidup adalah hal yang paling berpengaruh pada sikap dan perilaku seseorang dalam hubungannya dengan 3 hal utama dalam kehidupan yaitu pekerjaan, persahabatan, dan cinta sedangkan Sarwono (1989) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi gaya hidup adalah konsep diri. Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” yang berinteraksi dengan lingkungannya (Kottler dalam Sakinah,2002). Menurut Susanto (dalam Nugrahani, 2003) gaya hidup adalah perpaduan antara kebutuhan ekspresi diri dan harapan kelompok terhadap seseorang dalam bertindak berdasarkan pada norma yang berlaku. Oleh karena itu banyak diketahui macam gaya hidup yang berkembang di masyarakat sekarang misalnya gaya hidup hedonis, gaya hidup metropolis, gaya hidup global dan lain sebagainya. 36 Menurut Lisnawati (2001) gaya hidup sehat menggambarkan pola perilaku sehari-hari yang mengarah pada upaya memelihara kondisi fisikfisik, mental dan social berada dalam keadaan positif. Gaya hidup sehat meliputi kebiasaan tidur, makan, pengendalian berat badan, tidak merokok atau minumminuman beralkohol, berolahraga secara teratur dan terampil dalam mengelola stres yang dialami. Sejalan dengan pendapat Lisnawati, Notoatmojo (2005) menyebutkan bahwa perilaku sehat (healthy behavior) adalah perilaku-perilaku atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan upaya mempertahankan dan meningkatkan kesehatan. Untuk mencapai gaya hidup yang sehat diperlukan pertahanan yang baik dengan menghindari kelebihan dan kekurangan yang menyebabkan ketidakseimbangan yang menurunkan kekebalan dan semua yang mendatangkan penyakit (Hardinger dan Shryock, 2001). Jadi, gaya hidup adalah suatu pola atau cara individu mengekspresikan atau mengaktualisasikan, cita-cita, kebiasaan / hobby, opini, dsb dengan lingkungannya melalui cara yang unik, yang menyimbolkan status dan peranan individu bagi linkungannya. Gaya hidup dapat dijadikan jendela dari kepribadian masing-masing invidu.Setiap individu berhak dan bebas memilih gaya hidup mana yang dijalaninya, baik itu gaya hidup mewah (glamour), gaya hidup hedonis, gaya hidup punk, gaya hidup sehat, gaya hidup sederhana. 37 2.4 Punk Punk selama ini dikenal oleh masyarakat umum dengan subjektivitas mereka sebagai sampah, sesuatu yang termajinalkan, sesuatu yang patologis, rambut mohawk dicat, pakaian berantakan ala berandalan, muka penuh dengan tindik dan piercing, serta segerombolan anak jalanan yang sarat dengan premanisme dan alkoholisme. Akan tetapi, punk juga ada yang mengartikan sebagai sebuah simbol pemberontakan dan perlawanan terhadap penindasan, kebobrokan, dan ketidakadilan yang dimanipulasi dan direkayasa oleh balutan selimut tatanan ketertiban. Bermain musik dengan suara parau dan lirik penuh pembangkangan dan diimplementasikan ketika mengamen di perempatan lampu merah. Begitu banyak indikasi dikotomi yang dihasilkan oleh anak-anak punk mengingat tampilan mereka yang urakan dan metodologi mereka yang terkesan kasar serta urakan untuk menyampaikan sesuatu membuat banyak orang memberikan opini yang beraneka ragam. 2.4.1 Punk Sebagai Musik Musik punk lahir di Inggris sekitar tahun 1975 yang merupakan persekutuan mustahil dari beraneka ragam tradisi musik seperti rock ‘n roll, northern soul dan reggae. Barulah ketika Sex Pistols tampil, punk mulai diakui. Kord-kord gitar pada musik punk biasanya merupakan kord-kord mayor dasar dan berpindah-pindah dengan cepat. Iramanya menghentak cepat dan bernuansa riang. Vokalnya diisi oleh suara yang serak, kadang melengking kadang berat dan sesekali disertai teriakan. Distorsi musik dan permainan gitar yang terkesan 38 kasar menambah esensi dari musik punk. Lirik-lirik lagunya merupakan kritik terhadap pemerintah dan keadaan sekitar. Seiring berkembangnya zaman musik punk mulai termodifikasi dan melahirkan aliran-aliran lain seperti ska, punk rock dan melodik punk. 2.4.2 Punk Sebagai Gaya Hidup Dalam melegitimasi tampilan mereka, kaum punk memakai busana eklektik berupa forma “cut up” (sobekan), jaket kulit yang penuh dengan spike (semacam tiruan duri yang terbuat dari logam), celana pipa/celana pensil (celana panjang ketat), sepatu boot, berbagai aksesoris dan perhiasan dari kulit dan logam seperti gelang dan kalung, dan rambut berbagai model (biasanya mohawk). Gaya punk mengandung bermacam-macam pantulan terpiuh dari semua subkultur perang. Estetika punk ini dapat dibaca sebagai usaha untuk mengungkap kontradiksi yang tersirat dalam glam rock yang merupakan pesolek ekstrem dan mengalami elitisme tingkat dini. corak kelas pekerja, kelusuhan dan membuminya punk bertentangan langsung dengan keangkuhan, keanggunan, dan kecerewetan para superstar glam rock. 2.4.3 Punk Sebagai Prinsip Dan Idealisme Punk tercipta dan terlahir di Inggris karena kerasnya kapitalisme industri pada waktu itu, maka wajar jika metode yang mereka pakai terkesan arogan dan berbau brutalisme. Masyarakat pun mendiskreditkan tindakan-tindakan kaum punk, bahkan sampai masa sekarang sebagai tindakan kriminal. Dalam teori 39 Freudian, hal semacam ini disebut sindrom Stockholm, yaitu rasa simpati, kebanggaan dan merasa benar ketika telah melakukan tindakan yang dirasa orang lain sebagai sesuatu yang buruk. Memang tidak semuanya demikian, tetapi beberapa anak punk di Indonesia adalah atheis. Hal ini bisa terjadi karena sistem dan ideologi yang mereka terapkan adalah sistem anarkhi. Sistem ini meniadakan institusi yang lebih tinggi seperti negara atau Tuhan karena masyarakat humanistik berorientasi pada manusia dan kemanusiaannya. Dalam paradigma fundamental mereka, kesejahteraan, kemakmuran, dan kebahagiaan baru akan terjadi ketika negara lenyap dan tiada, sosialisme dan komunisme-pun bukan jalan terbaik bagi mereka. Bagi mereka, manusia harus menggunakan skeptisme radikal terhadap kemampuan akal. Tidak ada yang dapat dipercaya dari akal. Terlalu naïf jika akal dipercaya mampu memperoleh kebenaran (Tuhan). Kebenaran itu sendiri tidak ada. Jika orang beranggapan dengan akal diperoleh pengetahuan atau kebenaran, akal sekaligus merupakan sumber kekeliruan. Jika dalam keyakinan mereka tidak ada institusi atau sesuatu yang lebih tinggi yang menaungi dan mengontrol mereka, akan sering timbul kesalahpahaman dan persinggungan aktualitas antara kaum punk dan masyarakat karena “kebenaran” yang mereka yakini sangat relatif dan fleksibel bahkan nihil dan tidak sesuai dengan kesepakatan moral suatu masyarakat. Yang menjadi permasalahan adalah ketika mereka meyakini “kebenaran” kaum punk adalah suatu “kebenaran” yang bermotif massal atau berprospek suatu 40 gerakan dan disertai dengan tindakan konkret yang negatif maka itu bisa dianggap sebagai ancaman dan bahaya oleh masyarakat. Pada faktanya, tidak ada perjanjian atau kesepakatan khusus dan bersifat paten terhadap norma-norma dan peraturan dalam punk. Perlu diingat bahwa, punk adalah suatu komunitas yang menentang rasialisme dan bisa menerima siapa saja untuk masuk ke dalam komunitas mereka. Maka orangorang yang bebal dan tidak beradab sekalipun mampu mengaku sebagai anak punk dan melakukan tindakan-tindakan yang buruk. Sampai sekarang terjadi ambiguitas dan kebimbangan melihat kasus bahwa visi, misi, dan eksistensi kaum punk kurang jelas. Ada yang mengatakan bahwa punk tidak lebih hanya sebagai refleksi, respon, dan protes kekecewaan mereka saja terhadap kemapanan dan ketidakadilan yang dituangkan dan disajikan dalam bentuk tampilan dan gaya/style. Namun, ada juga yang menekankan bahwa punk tidak hanya duduk bergerombol dan bermalasmalasan di depan sebuah emperan toko atau supermarket, punk tidak hanya minum mabuk-mabukan sampai tidak mampu berdiri dan mengangkat pantat mereka dari tanah, punk tidak hanya menunggu sesuatu, tetapi punk bergerak dan bertindak serta ikut andil dalam usaha meruntuhkan dan menghancurkan kebobrokan masyarakat. 41 2.5 Film Sebagai Media komunikasi Dalam teori komunikasi kritis, media massa dianggap mempunyai kekuatan untuk menyebarkan ideologi. Media memainkan peran yang penting dalam penciptaan dan penguatan citra tertentu tentang dunia. Ada proses member status pada penciptaan makna dan mencuatkan tentang penjelasan makna dominan. Stuart Hall berpendapat bahwa dunia harus diciptakan untuk dimaknai. Media massa mempunyai kekuatan untuk menyebarkan ideologi dominan dan mempunyai potensi untuk saluran perlawanan ideologi resisten. Dengan demikian media massa menjadi ajang pertarungan ideologi. Perang modern bukan dengan mengangkat senjata tetapi melalui pertarungan ideologi dengan media massa, oleh karena itu penguasaan atas media menjadi modal yang penting dalam upaya penyebaran ideologi. Dalam konteks media massa, film tidak lagi semata-mata dimaknai sebuah karya seni semata. Film juga merupakan suatu medium komunikasi massa yang beroperasi di dalam masyarakat. Dalam persfekstif tersebut film dimaknai sebagai pesan-pesan yang disampaikan dalam komunikasi filmis yang mengilhami hakekat, fungsi dan efek yang timbul dari proses komunikasi massa, efek-efek kognitif yang menyebabkan perubahan pad tingkat pengetahuan, efek afektif yang menyebabkan pada perubahan sikap, efek konatif yang menyebabkan pada perilaku dan efek perubahan sosial. Film ditemukan pada akhir abad ke -19 yang kemudian mengalami perkembangan teknologi yang mendukung. Pada mulanya dikenal film hitam 42 putih dan tanpa suara. Pada akhir tahun 1920-an mulai dikenal film bersuara, dan menyusul film warna pada tahun 1939. Peralatan produksi film juga mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, sehingga sampai sekarang tetap mampu menjadikan film sebagai tontonan yang menarik bagi khalayak luas. Film dibangun dengan tanda-tanda semata. 38 Tanda-tanda itu tergabung dalam rangkaian suatu sistem tanda yang melebur menjadi satu kerja untuk mencapai efek yang diharapkan. Sistem tanda lainpun terlibat perannya, sistem tanda itu berkaitan dengan budaya pertunjukan tradisional, tempat, masa, lama pertunjukan, dll. Tanda sebenarrnya representasi dari gejala yang memiliki sejumlah criteria seperti: nama (sebutan), peran, fungsi, tujuan, keinginan. Tanda tersebut berada diseluruh kehidupan manusia. Apabila tanda berada pada kehidupan manusia, maka ini berarti tanda data pula berada pada kebudayaan manusia, dan menjadi sistem tanda yang digunakan sebagai pengatur kehidupannya. Tanda adalah kombinasi dari penanda dan petanda. Oleh karena itu tanda-tanda itu (yang berada pada sistem tanda) sangatlah akrab dan bahkan melekat pada kehidupan manusia yang penuh makna. (Meaningfull Action) seperti teraktualisasi pada bahasa, religi, seni, sejarah, ilmu pengetahuan. 39 Tanda terdapat dimana-mana: kata adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, benndera dan sebagainya. Struktur karya sastra, struktur film, bangunan, atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda. Karya sastra 38 Aart Van Zoest, Interpretasi Dan Semiotika, dalam Panuti Sudjiman dan Art Van Zoest, SerbaSerbi Semiotika (Jakarta: Gramedia, 1992) Hal. 109 39 Alex Sobur (2003), Op.Cit; Hal. 157 43 20 yang besar misalnya, merupakan produk strukturisasi dari obyek kolektif. Subyek kolektif itu dapat berupa kelompok kekerabatan, kelompok sekerja, kelompok territorial, dan sebagainya. Karena jelas bahwa segala sesuatu dapat menjadi tanda. Film dibangun dengan tanda-tanda. Tanda-tanda itu bergabug dalam rangkaian suatu sistem tanda yang melebur menjadi satu dan saling bekerja sama untuk mencapai efek yang diharapkan. Yang paling penting dalam film adalah gambar dan suara. Rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaan. Music dalam film juga merupakan tanda ikonis, namun denga cara yang lebih misterius. Sistem tanda lainpun terlihat perannya, sistem tanda itu berkaitan dengan budaya pertunjukan tradisional, tempat, masa lama pertunjukan, dll. Komunikasi yang cukup menonjol pada film sebagai media kominkasi massa adalah komunikasi yang terjadi hanya satu arah saja, sehingga khalayak pemirsa pasif karena hal itu. Kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial, membuat para ahli berpendapat bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayak. Gambar film mulai muncul silih berganti (dinamis), menunjukan gerakan yang merupakan ikonis bagi realitas yang digambarkannya. Inilas yang menjadi kelebihan film dibandingkan fotografi yang merupakancikal bakal sinema (film). Gambar fotografi juga berdimensi statis. Kedinamisan gambar pada film memiliki daya tarik langusng yang sangat besar, yang sulit ditafsirkan terlalu tinggi. 44 Dalam film penanda dan petanda nyaris identik. Tanda film ialah sirkuit pendek, dimana petanda hamper menyamai yang ditandai serta tergantung dari suatu sistem keseimbangan yang tidak terdiri dari bagian-bagian yang terpisah. Justru kenyataan kenyataan inilah yang membuat film begitu sulit dibicarakan. Secara umum film cenderung tidak bias dianalisis karena cirri yang mendefiniskannya adalah “kesan tentang realitas”, yang penting itu bukanlah menafsirkan film (tertentu) dimana penanda film menjadi kurang penting, melainkan menganalisis film sebagai suatu struktur penandaan. Film sebagai suatu bentuk komunikasi massa yang juga dikelola menjadi suatu komoditi. Di dalamnya teramat kompleks, dari produser, sutradara, pemain dan seperangkat pendukung kesenian lainnya seperti music, seni rupa, teater, seni suara, dll. Semua tersebut terkumpul menjadi komunikator dan bertindak sebagai agen transformasi budaya. Ringkasan media komunikasi massa membentuk pandangan dunia dan orang-orang di sekelilingnya. Dengan demikian film merupakan obyek yang potensial untuk dikaji khususnya dalam kerangka komunikasi massa yang memiliki muatan pesan baik, yang nampak maupun yang tersembunyi. Masalah yang kemudian muncul kepermukaan pada saat kita akan menulis teori tentang film adalah belum tuntasnya makna teori film itu sendiri. Meskipun terdapat beberapa buku yang mengangkat tentang teori film namun hal tersebut belum mampu mengurangi kekaburan tentang makna teori film. Justru yang kerap 45 terjadi hal tersbut semakin menambah permasalahan bagi upaya perumusan teori film secara akurat. Tampaknya terdapat perbedaan perspektif yang mendasar diantara para teoritisi dalam memaknai teori film. Sebagian teoritisi secara normatif memaknai teori film dalam perspektif estetika formal. Dalam perspektif ini, posisi teoritisi lebih sebagai kritikus, dari pada sebagai akademis yang mengkaji film. Karenanya, perspektif ini melibatkan penilaian-penilaian yang bersifat evaluate terhadap aspek estetika film. Film dinilai dalam kerangka baik buruk, tanpa menukik kedalam subtansi pesan film itu sendirio. Akibatnya, dari perspektif ini sulit ditemukan acuan-acuan yang setidaknya standar yang bias diaplikasikan untuk menganalisa film secara umum. Sementara itu dalam perkembangan teori film untuk mencari perspektif yang lebih mampu menangkap substansi film. Film tidak lagi dimaknai sekedar sebagai karya seni, tetapi lebih sebagai “praktek sosial” serta komunikasi massa. Terjadinya pergeseran ini paling tidak, telah mengurangi bias normative dari teoritis film yang cenderung membuat idealisai dan karena itu mulai meletakkan film secara obyektif. Baik perspektif praktek sosial maupun komunikasi massa, sama-sama lebih melihat konteksitas aspek-aspek film sebagai medium komunikasi massa yang beroperasi didalam masyarakat. Dalam perspektif praktek sosial, film tidak dimaknai sebagai ekspresi seni pembuatnya, tetapi melibatkan interaksi kompleks dan dinamis dari elemen-elemen pendukung proses produksi, distribusi maupun 46 eksibisinya. Bahkan, lebih luas lagi, perspektif ini mengasumsikan interaksi antara film dengan ideologi kebudayaan dimana film diproduksi dan dikonsumsi. 2.6 Semiotika Dan Komunikasi Komunikasi dan tanda tidak bias dipisahkan. Theodorson dan Theodorson memberikan sesuatu definisi yang menekankan pada penggunaan tanda atau simbol-simbol dalam komunikasi. Definsi ini mengatakan bahwa komunikasi menekankan pada pengiriman pesan dengan media utama simbol sebagai wahana pengiriman pesan. Moss dan Tubs berpendapat bahwa yang membuat komunkasi manusia menjadi unik adalah kemampuannya yang istemewa untuk menciptakan dan menggunakan lambang-lambang. 40 Penelitian ini mengacu pada definisi komunikasi yang mengetengahkan bahwa komunikasi merupakan proses transaksi, Deddy Mulyana berpendapat bahwa komunikasi sebagai proses transaksi, menganggap komunikator secara aktif mengirim dan menafsirkan prilaku orang lain, pihak-pihak yang berkomunikasi berbeda pada keadaan interdependensi dan timbale balik.41 Definisi yang sesuai dengan asumsi diatas dikemukakan oleh Tubs Sylvia Moss yaitu komunikasi merupakan proses pembentukan makna diantara dua orang atau lebih. 42 Judy pearson dan Paul E Nelson mengatakan komunikasi adalah proses memahami dan berbagi makna. Sementara itu, Wenbrg dan Wilmot mengemukakan bahwa komunikasi adalah suatu usaha untuk memperoleh 40 Stewart L Tubbs – Sylvia Moss, Human Communication: Prinsip-Pronsip Dasar (Bandung: Rosadakarya, 1996) Hal. 5 41 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Bandung: Rosdakarya, 2005) Hal. 68 42 Stewart L Tubs – Sylvia Moss (1996), Op.Cit; Hal. 5 47 makna. 43 Gorden berpendapat komunikasi merupakan suatu transaksi dinamis. Dalam definisinya ia mengatakan bahwa “… komunikasi scera ringkas dapat didefinisikan sebagai suatu transaksi dinamis yang melibatkan gagasan dan perasaan. 44 2.7 Semiotika Dalam Film Menurut John Fiske, dalam bukunya Cultural And Communication Studies, disebutkan bahwa terdapat dua perspektif dalam mempelajari ilmu komunikasi.m perspektif yang pertama melihat komunikasi sebagai transmisi dan pertukaran makna. Berkaitan dengan penelitian ini, maka peneliti hanya akan menggunakan perspektif yang kedua, yaitu dari sisi produksi dan pertukaran makna. 45 Perspektif produksi adalah dan pertukran makna memfokuskan bahasanya pada bagaimana sebuah pesan ataupun teks berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya untuk dapat menghasilkan sebuah makna. Hal ini berhubungan dengan peranan teks tersebut dalam budaya. Perspektif ini seringkali menimbulkan kegagalan dalam berkomunikasi karena pemahaman yang berbeda antara pengirim pesan dan penerima pesan. Meskipun demikian, yang ingin dicapai adalah signifikasinya dan bukan kejelasn sebuah pesan disampaikan. Untuk itulah 43 Deddy Mulyana (2005), Op.Cit; Hal. 68 Ibid; Hal. 68 45 John Fiske, Cultural and Communication Studies : Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) 44 48 pendekatan yang berasal dari perspektif tentang teks dan budaya ini dinamakan pendekatan semiotik. 46 Definsi semiotik yang umum adalah studi mengenai tanda-tanda. Studi ini tidak hanya mengarah pada “tanda” dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga tujuan dibuatnya tanda-tanda terbentuk. Bentuk-bentuk tanda disini antara lain berupa kata-kata, images, suara, gesture dan objek. Bila kita mempelajari tanda, tidak bisa memisahkan tanda yang satu dengan tanda-tanda lainnya, yang membentuk suatu sistem, kemudian disebut sistem tanda. Lebih sederhananya semiotik mempelajari bagaimana sistem tanda membentuk sebuah makna. Menurut James Monaco, seroang ahli yang lebih berafilasi dengan gramatika (tata bahasa) mengatakan bahwa film tidak mempunyai gramatika. Untuk itu menawarkan kritik bahwa teknik yang digunakan dalam film dan gramatika pada sifat ke absahannya adalah tidak sama. Akan sangat beresiko apabila memaksa dengan menggunakan kajian linguistik untuk menganalisa sebuah film, karena film terdiri dari kode-kode yang beraneka ragam. Penerapan semiotik pada film, berarti harus memperhatikan aspek medium film atau sinema yang berfungsi sebagai tanda. Maka dari sudut pandang ini jenis pengambilan kamera (selanjutnya disebut shot saja) dan kerja kemera. Dengan cara ini, peneliti bias memahami shot apa saja yang muncul bagaimana, misalnya; close up. Terdapat pula kerja kamera yaitu bagaimana gerak kamera terhadap objek. 46 Ibid; hal. 6 49 Film umunya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya memcapai efek yang diharapakan. Yang paling penting dalam film adalah gambar dan suara : kata yang diucapkan (ditambah dengan suara-suara lain yang serentak mengiringi gambar-gambar) dan music film. Sistem semiotika yang lebih penting lagi dalam film adalah digunakannya menggunakan sesuatu. 47 47 Alex Sobur (2003), Op.Cit Hal. 128 tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang