BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

advertisement
 BAB 2
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Corporate Social Responsibility
Seiring dengan perkembangan bisnis dan teknologi, kesadaran dan
kepedulian masyarakat terhadap lingkungan dan etika suatu perusahaan semakin
meningkat. Masyarakat tidak hanya membeli produk dari suatu perusahaan namun
mereka juga ingin mengetahui manfaat apa yang dapat diberikan perusahaan
tersebut terhadap lingkungan di sekitarnya. Hal inilah yang memicu perusahaanperusahaan untuk menunjukkan tanggung jawab sosial dan kepeduliannya terhadap
shareholders dan stakeholders nya. Salah satu bentuk tanggung jawab yang dapat
dijalankan oleh suatu perusahaan adalah melalui program Corporate Social
Responsibility (CSR).
Adapun definisi Corporate Social Responsibility (CSR) menurut World Council
for Sustainable Development dalam Kotler dan Lee (2005, p3) adalah :
“CSR is continuing commitment by business to behave ethically and
contribute to economic development while improving the quality of life of the
workforce and their families as well as of the local community and society at
large.”
Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan
didefinisikan
sebagai
komitmen
bisnis
untuk
memberikan
kontribusi
bagi
pembangunan ekonomi berkelanjutan. Hal tersebut dilakukan melalui kerjasama
dengan para karyawan serta perwakilan mereka, keluarga mereka, komunitas
setempat maupun masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas kehidupan
dengan cara yang bermanfaat baik bagi bisnis sendiri maupun untuk pembangunan.
10 11 Menurut Kotler dan Lee (2005, p3), definisi dari Corporate Social
Responsibility (CSR) adalah :
“Corporate social responsibility is a commitment to improve community wellbeing through discretionary business practices and contributions of corporate
resources.”
CSR adalah suatu komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui
praktik bisnis yang bersifat diskresi dan kontribusi dari sumber daya perusahaan.
Kata kunci dari definisi tersebut adalah discretionary atau diskresi. Yang
dimaksud disini bukanlah kegiatan bisnis yang diwajibkan hukum atau yang
berhubungan dengan etika dan moral, akan tetapi lebih kepada komitmen
perusahaan yang bersifat sukarela dalam memilih dan mengimplementasikan
praktek-praktek tersebut. Komitmen tersebut harus direalisasikan agar perusahaan
dapat dikategorikan sebagai suatu perusahaan yang memiliki tanggung jawab sosial.
Hal ini dapat dipenuhi melalui adopsi praktek bisnis baru dan atau kontribusi dari
perusahaan tersebut, baik yang bersifat moneter maupun non-moneter.
Kotler dan Lee (2005, p3) juga menggunakan istilah corporate social
initiatives untuk menjelaskan usaha-usaha utama di bawah gaung tanggung jawab
sosial perusahaan dan menjelaskannya melalui definisi di bawah ini :
“Corporate social initiatives are major activities undertaken by a corporation to
support social causes and to fulfill commitments to corporate social
responsibility.”
Dari pengertian di atas dapat diartikan bahwa inisiatif tanggung jawab sosial
merupakan kegiatan-kegiatan utama yang dilakukan oleh suatu perusahaan untuk
mendukung permasalahan sosial serta memenuhi komitmen terhadap tanggung
jawab sosial perusahaan.
12 Pada umumnya, permasalahan yang didukung inisiatif-inisiatif ini adalah
permasalahan yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat (community health),
keselamatan (safety), pendidikan (education), dan ketenagakerjaan (employment);
lingkungan (environment); perkembangan komunitas dan ekonomi (community and
economic development; dan kebutuhan dasar manusia lainnya (basic human needs
and desires) Kotler dan Lee (2005, p4).
Dukungan dari perusahaan ini dapat diwujudkan melalui berbagai bentuk,
yakni sumbangan uang, hibah, periklanan, publisitas, promosi sponsor, dan
sebagainya. Sumbangan uang dapat didatangkan secara langsung melalui pihak
perusahaan atau secara tidak langsung melalui badan organisasi yang bekerjasama
dengan perusahaan tersebut. Perusahaan dapat mensponsori inisiatif tersebut secara
sepihak atau melalui kerjasama dengan perusahaan atau organisasi lain.
Kotler dan Lee (2005, p22) memaparkan bahwa inisiatif sosial perusahaan
menunjukkan pemenuhan komitmen perusahaan terhadap tanggung jawab sosial
perusahaan. Mereka menjelaskan bahwa terdapat 6 pilihan inisiatif perusahaan,
yaitu:
1. Cause Promotions, yaitu inisiatif korporasi untuk mengalokasikan dana atau
bantuan dalam bentuk barang dan sumber daya lain untuk meningkatkan
kesadaran dan perhatian tentang masalah sosial tertentu atau dalam rangka
rekrutmen sukarelawan.
2. Cause-Related
Marketing,
yang
berarti
korporasi
berkomitmen
untuk
mendonasikan sejumlah persentase tertentu dari pendapatan untuk hal tertentu
yang berkait dengan penjualan produk.
3. Corporate Social Marketing, yaitu upaya korporasi memberi dukungan pada
pembangunan dan atau pelaksanaan kegiatan yang ditujukan untuk mengubah
13 sikap
dan
perilaku
dalam
rangka
memperbaiki
kesehatan
masyarakat,
pelestarian lingkungan, dan lain-lain.
4. Corporate Philanthropy, berupa pemberian sumbangan sebagai kegiatan amal
(charity). Seringkali dalam bentuk hibah tunai, donasi, dan atau dalam bentuk
barang.
5. Community Volunteering, dalam perwujudan dukungan dan dorongan korporasi
kepada para karyawan, mitra pemasaran dan atau anggota franchise untuk
menyediakan dan mengabdikan waktu dan tenaga mereka untuk membantu
kegiatan organisasi sosial tertentu.
6. Socially Responsible Business Practices, yaitu adopsi praktik-praktik bisnis yang
bersifat diskresi serta berbagai investasi yang mendukung pemecahan masalah
sosial tertentu.
Corporate Social Responsibility (CSR) The Body Shop® melalui kampanye
Stop Trafficking of Children and Young People termasuk ke dalam bentuk inisiatif
sosial yang kedua, yaitu Cause Related Marketing (CRM). Kampanye ini bertujuan
untuk meningkatkan kesadaran dan menggalang dana untuk korban perdagangan
manusia dan mereka yang berisiko menjadi korban. Hal ini dilakukan melalui
penjualan produk Soft Hands Kind Heart Hand Cream yang khusus dijual untuk
mendukung kampanye tersebut. Keuntungan dari setiap hand cream yang terjual
akan didonasikan kepada ECPAT (End Child Prostitution, Child Pornography and the
Trafficking of Children for Sexual Purposes) Indonesia yang merupakan organisasi
non-profit yang menangani permasalahan perdagangan seks anak-anak dan remaja.
14 2.1.2
Cause Related Marketing (CRM)
2.1.2.1 Definisi dan Pengertian Cause Related Marketing (CRM)
Menurut Foundation Center, frase Cause Related Marketing (CRM) pertama
kali digunakan oleh perusahaan kartu kredit American Express pada tahun 1983
untuk menjelaskan kampanye mereka ke publik guna mengumpulkan dana untuk
restorasi patung Liberty. American Express menyumbangkan 1 sen untuk patung
Liberty setiap kali seseorang menggunakan kartu kreditnya. Hasilnya menunjukkan
jumlah pemegang kartu yang baru kemudian tumbuh sebesar 45% dan penggunaan
kartu meningkat sebesar 28%.
Business in the Community dalam Adkins (2004, p51) memberikan
pemahaman mengenai Cause Related Marketing (CRM) melalui definisi berikut :
“A commercial activity by which business and charities or good causes
form a partnership with each other to market image, product or service for
mutual benefit (Adkins, 2004, p11).”
Dari definisi tersebut, Cause Related Marketing (CRM) dapat diartikan
sebagai suatu aktivitas komersial dimana suatu bisnis dan badan amal saling
bekerjasama untuk memasarkan citra, produk atau jasa agar mencapai hubungan
yang saling menguntungkan. Lebih lanjut, Adkins (2004, p12) menjelaskan bahwa
untuk mencapai kesuksesan maka kemitraan dalam Cause Related Marketing (CRM)
harus merupakan representatif dari nilai-nilai dan etika bisnis.
Definisi lainnya dikemukakan oleh Kotler dan Lee (2005, p38) dimana
mereka menyatakan bahwa dalam Cause Related Marketing (CRM), perusahaan akan
mengajak masyarakat untuk membeli atau menggunakan produknya, baik itu barang
maupun jasa, dimana sebagian dari keuntungan yang didapat perusahaan akan
didonasikan untuk membantu suatu permasalahan tertentu.
15 Varadarajan dan Menon dalam Brink et al (2006, p15) mendefinisikan Cause
Related Marketing (CRM) sebagai suatu proses memformulasikan dan menerapkan
kegiatan pemasaran perusahaan yang dikarakteristikkan melalui penawaran untuk
memberikan sejumlah dana pada suatu cause ketika konsumen terlibat pertukaran
transaksi yang dapat memuaskan tujuan organisasi dan individu. Dengan demikian,
cause dapat diartikan sebagai kegiatan sosial yang didukung perusahaan melalui
aktivitas pengumpulan dana (Mareta, 2006, p2).
Terkait dengan definisi mengenai Cause Related Marketing (CRM), Daw
(2006) memberikan penjelasan mengenai perbedaan Cause Related Marketing (CRM)
dengan kegiatan pemasaran tradisional lainnya melalui karakteristik Cause Related
Marketing (CRM), yaitu (1) Cause Related Marketing (CRM) menciptakan nilai sosial,
(2) Cause Related Marketing (CRM) merupakan kolaborasi bisnis yang saling
menguntungkan dan merupakan kerjasama dengan organisasi nirlaba, (3) Cause
Related Marketing (CRM) menghubungkan komponen-komponen dalam bisnis
perusahaan, termasuk karyawan dan konsumen, dan (4) Cause Related Marketing
(CRM) mengkomunikasikan nilai-nilai kewarganegaraan (citizenship).
Adkins (2004, p11) menekankan bahwa Cause Related Marketing (CRM)
tidak sama dengan filantropi atau altruism. Perusahaan, badan amal, serta pihakpihak lainnya yang terlibat dalam Cause Related Marketing (CRM) memfokuskan
pada pencapaian tujuan mereka dan peningkatan investasi, dimana investasi
tersebut dapat berupa uang, waktu, atau sumber daya lainnya atau bahkan
kombinasi dari ketiganya (Adkins, 2004, p11).
Cause Related Marketing (CRM) dapat diterapkan melalui berbagai bentuk
pemasaran. Cause Related Marketing (CRM) dapat diasosiasikan dengan teknik
promosi penjualan dimana pembelian terhadap produk mengacu pada sumbangan
terhadap suatu badan amal atau cause, namun ini hanya merupakan salah satu dari
16 sekian banyaknya jenis Cause Related Marketing (CRM). Cause Related Marketing
(CRM) dapat didemonstrasikan melalui berbagai cara yang lain, antara lain cause
advertising, sponsorship, PR, dan direct marketing. Inti dari berbagai jenis Cause
Related Marketing (CRM) tersebut adalah kegiatan pemasarannya, dimana badan
amal atau cause terinspirasi untuk mendukung pemasaran suatu perusahaan dan
secara bersamaan memberikan manfaat kepada badan amal atau cause tersebut
(Adkins, 2004, p13).
Kotler dan Lee (2005, p83) menjelaskan berbagai macam cara untuk
melakukan Cause Related Marketing (CRM). Beberapa di antaranya adalah sebagai
berikut : (1) jumlah uang tertentu setiap produk terjual, (2) jumlah uang tertentu
setiap aplikasi terhadap suatu produk atau jasa tertentu, (3) persentase dari
penjualan suatu produk yang dijanjikan oleh perusahaan akan diberikan kepada
badan amal, (4) proporsi yang tidak ditentukan sebelumnya dari penjualan produk,
(5) perusahaan memberikan sejumlah kontribusi dari konsumen, (6) persentase
tertentu dari keuntungan bersih, (7) penawarannya mungkin terkait dengan satu
produk saja, atau beberapa hingga seluruh produk, (8) penawarannya mungkin
berlaku untuk kerangka waktu yang sudah ditentukan atau tidak dibatasi, atau (9)
perusahaan menetapkan batas atas dari kontribusi, bukan dengan waktu melainkan
dari jumlah penjualan produk.
Perusahaan yang menggunakan inisiatif Cause Related Marketing (CRM)
memperoleh berbagai manfaat yaitu perusahaan dapat mempromosikan citra,
produk, dan jasanya sekaligus melakukan kebajikan seperti menggalang dana untuk
kegiatan
sosial
tertentu
mendemonstrasikan
dan
secara
nilai-nilainya,
bersamaan
meningkatkan
meningkatkan
loyalitas
reputasinya,
konsumen
dan
meningkatkan tingkat penjualan produknya. Cause Related Marketing (CRM) juga
merupakan alat bantu dalam kerjasama antara pemasaran, perusahaan dengan
17 komunitasnya, dan penggalangan dana untuk mencapai tujuan yang sama untuk
keuntungan bersama (Adkins, 2004, p11).
Selain manfaat yang telah disebutkan di atas, ada banyak keuntungan yang
bisa diperoleh perusahaan dan atau mitranya dengan melakukan Cause Related
Marketing (CRM). Yang pertama jelas adalah menarik konsumen baru, yaitu orang
yang sedari awal sudah tertarik untuk melakukan sesuatu atau cause yang kemudian
dipromosikan oleh perusahaan. Mereka yang tadinya memang hendak membantu
korban kekerasan, menyumbang untuk pendidikan, dan sebagainya tentu akan
tertarik pada produk yang baik sekaligus bisa membantu mereka menyumbang.
Tentu ini akan menjadi sukses manakala calon konsumen tersebut percaya bahwa
perusahaan
akan
dengan
sungguh-sungguh
melakukannya.
Sebuah
sistem
akuntabilitas sangat diperlukan di sini, untuk memastikan berapa jumlah produk
yang terjual, berapa yang seharusnya disumbangkan, serta berapa yang benar-benar
disumbangkan. Kalau akuntabilitas di tiga titik itu dipastikan, maka calon konsumen
akan sangat tertarik.
Yang kedua yaitu tersedianya dana untuk membiayai kegiatan sosial
tertentu. Kegiatan sosial ini bisa ditentukan oleh perusahaan, yang melihat
keterkaitan antara produk yang asosiasinya dengan kegiatan sosial tertentu.
Ketiga, perusahaan yang melakukan Cause Related Marketing (CRM) juga
akan bisa mendapatkan ceruk pasarnya dengan lebih tepat. Bagaimanapun CRM
akan menghubungkan antara produk dengan isu tertentu, dan mereka yang tertarik
dengan isu itu akan mengetahui asosiasi antara produk tertentu dengan isu yang
menjadi perhatiannya manakala promosi dilakukan dengan tepat.
Keempat, hasil penjualan juga bisa meningkat karena tambahan konsumen
serta ceruk pasar. Kelima, terbentuknya kemitraan dengan pihak-pihak yang memiliki
18 kepedulian yang sama. Terakhir, perusahaan tentu saja akan menikmati identitas
merek yang positif (Jalal, 2007, p2-4).
Brink et al (2006) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa terdapat dua pola
dalam Cause Related Marketing (CRM), yaitu pola strategis dan taktis. Pola taktis
memiliki perbedaan yang mendasar dengan pola Cause Related Marketing (CRM),
namun memiliki dimensi yang sama, yaitu kesesuian (congruence), durasi (duration),
jumlah investasi (amount of investment), dan keterlibatan manajemen (management
involvement). Suatu perusahaan dikatakan menggunakan Cause Related Marketing
(CRM) strategis apabila terdapat kesesuaian hubungan yang tinggi yang dirasakan
antara suatu isu dengan lini produk, brand image, positioning dan target pasar,
pelaksanaan kegiatan Cause Related Marketing (CRM) dalam jangka waktu yang
lama, keterlibatan manajemen yang menyeluruh dari puncak hingga bawahan, serta
jumlah investasi yang ditanamkan dalam program besar. Sedangkan dalam Cause
Related Marketing (CRM) secara taktis tingkat kesesuaian hubungan yang dirasakan
antara suatu isu dengan lini produk tidak tinggi, pelaksanaan kegiatan Cause Related
Marketing (CRM) dalam jangka waktu yang lebih singkat daripada Cause Related
Marketing (CRM) taktis, keterlibatan manajemen tidak menyeluruh, dan jumlah
investasi yang ditanamkan tidak sebesar Cause Related Marketing (CRM).
19 Gambar 2.1
Skema dari Cause Related Marketing (CRM) taktis dan strategis
Sumber : Brink et al. (2006, p16).
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dalam penelitian ini Cause Related
Marketing (CRM) akan diukur melalui keempat dimensi yang dikemukakan oleh Brink
et al, yaitu congruency, duration, amount of resources invested, dan senior
management involvement.
1. Congruency (kesesuaian)
Pengertian congruency dalam konteks Cause Related Marketing (CRM)
adalah kesesuaian antara perusahaan dan isu sosial yang dapat diperoleh dari misi,
produk, pasar, teknologi, atribut, konsep merek, atau berbagi bentuk asosiasi kunci
lainnya (Becker, Karen, Cudmore, dan Hill, 2003, p46). Congruency merupakan salah
satu faktor penting untuk kesuksesan Cause Related Marketing
(CRM) (Till dan
Nowak, 2000, p226). Pernyataan Till dan Nowak diperkuat oleh Menon dan Khan
(2003) dimana mereka menemukan bahwa atribut congruency atau kesesuaian
dalam Cause Related Marketing (CRM) merupakan atribut yang penting ketika
konsumen menilai dan mengevaluasi tanggung jawab sosial suatu perusahaan.
20 Pracejus dan Olsen (2004, p635) mendemonstrasikan tingkatatan dari
congruency atau fit berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku loyalitas
konsumen. Lebih spesifik, program Cause Related Marketing (CRM) dengan
kesesuaian yang tinggi (high-fit) berpengaruh lima hingga sepuluh kali lebih besar
daripada kampanye dengan kesesuaian yang rendah (low-fit).
Ellen, P.S., Mohr, L.A. dan Webb, D.J. (2000, p393) berpendapat bahwa
salah satu variabel yang memiliki peran penting dalam proses evaluasi konsumen
terhadap aktivitas Cause Related Marketing (CRM) adalah perceived congruence.
Konsumen
memiliki
keyakinan
yang
kuat
bahwa
perusahaan
seharusnya
mensponsori isu-isu sosial yang memiliki asosiasi logis dengan aktivitas perusahaan
(Menon dan Kahn, 2003, p316).
Congruence atau fit berasal dari asosiasi bersama antara merek dan
filantropi, seperti misalnya dimensi produk, afinitas dengan target segmen spesifik,
corporate image associations yang terbentuk akibat aktivitas merek terdahulu dalam
domain sosial spesifik, dan keterlibatan personel dalam suatu perusahaan atau
merek pada domain sosial (Menon dan Khan, 2003, p316).
Becker et al. (2006, p46) mengemukakan bahwa peran penting congruence
didasarkan oleh sejumlah alasan. Pertama, congruence berpengaruh pada kuantitas
pikiran yang diberikan oleh individu pada suatu hubungan, misalnya meningkatkan
elaborasi mengenai perusahaan, inisitif sosial, dan atau hubungan itu sendiri ketika
dirasakan inkonsistensi dengan ekspektasi awal dan informasi yang ada. Alasan
kedua adalah congruence berpengaruh pada tipe spesifik yang timbul dalam pikiran,
seperti misalnya low congruence membentuk pemikiran negatif dan low congruence
itu sendiri dapat dinilai negatif. Alasan ketiga adalah congruence mempengaruhi
evaluasi dari dua objek. Jika konsumen mengelaborasi keadaan incognity maka
terdapat kecenderungan untuk mengurangi sikap mereka terhadap perubahan dan
21 inisiatif sosial dan mempertanyakan motif dari apa yang dilakukan oleh perusahaan
(Menon dan Kahn, 2003).
2. Duration (durasi)
Miller (2002, p14) menyatakan bahwa perusahaan harus menunjukkan suatu
komitmen terhadap kampanye Cause Related Marketing (CRM). Hal ini dikarenakan
komitmen perusahaan dapat mengarahkan pada pembentukan loyalitas merek dari
para konsumennya. Salah satu faktor yang dapat mendemonstrasikan komitmen
perusahaan adalah durasi dari pelaksanaan program Cause Related Marketing (CRM)
tersebut (Miller, 2002, p14). Till dan Nowak (2000, p472) menyatakan bahwa
efektivitas dari suatu program Cause Related Marketing (CRM) meningkat tergantung
dengan durasi program tersebut. Perusahaan yang secara konsisten mendukung
suatu cause juga dapat memperoleh banyak manfaat (Brink et al, 2006, p18). Brink
et al. menambahkan bahwa kampanye Cause Related Marketing (CRM) dengan
jangka waktu menengah hingga panjang memiliki pontensi yang lebih tinggi dalam
meningkatkan persepsi konsumen terhadap citra perusahaan daripada kampanye
dengan jangka waktu pendek.
Sagawa et al. (2000) dalam Wymer dan Sergeant (2006, p9) juga
membenarkan bahwa durasi merupakan salah satu dimensi dalam Cause Related
Marketing (CRM). Usia yang panjang dalam suatu hubungan adalah penting bagi
perusahaan yang bergerak dalam bidang bisnis dengan organisasi non-profit.
Program Cause Related Marketing (CRM) dengan durasi waktu panjang adalah
bentuk yang ideal. Ketika hubungan tersebut berjalan dengan waktu yang lama,
maka akan terbentuk hubungan partnership yang akan membentuk komitmen
perusahaan yang sejalan dengan misi dari organisasi non profit. Sagawa dan Segal
(2001) dalam Wymer dan Sergeant (2006, p10) mengambil suatu pandangan yang
lebih pragmatis, yakni dengan merekomendasikan para mitra atau organisasi non-
22 profit untuk tidak mencari keuntungan, dengan mengenali manfaat-manfaat yang
diharapkan dari para pendukung bisnis (perusahaan) untuk memastikan bahwa para
mitra bisnis mendapat publisitas dan pengenalan yang besar untuk dukungan
mereka.
Menurut Sundar (2007, p208), terdapat dua bentuk durasi program Cause
Related Marketing (CRM) berdasarkan waktu, yaitu:
1. Temporary, yaitu perusahaan melakukan kerjasama dengan pihak organisasi
non profit dalam jangka waktu yang pendek. Sebagai contoh, perusahaan
melakukan program Cause Related Marketing dalam jangka waktu tiga
bulan.
2. Ongoing, yaitu perusahaan melakukan kerjasama dengan pihak organisasi
non profit dalam jangka waktu yang panjang, namun tidak secara permanen.
Hubungan antara Cause Related Marketing (CRM) perusahaan dengan
organisasi sponsor atau non-profit secara positif dapat meningkatkan brand equity
melalui kerjasama dalam waktu yang lama dengan organisasi tersebut. Asosiasi
kedua pihak menciptakan ingatan jangka panjang (long term memory) dalam benak
konsumen. Perusahaan dengan mudah dapat mengatur kembali asosiasi network
dari konsumen-konsumen mereka, terbentuk suatu rantai yang menghubungkan
perusahaan dan konsumen. Melalui penggunaan yang efektif dari prinsip-prinsip
pelajaran dasar asosiasi, perusahaan dapat meningkatkan investasi mereka dengan
mudah dalam hal yang terkait dengan Cause Related Marketing (CRM) (Till dan
Nowak, 2000, 473).
3. Amount of Resources Invested
Selain dari segi keuangan, suatu perusahaan dapat melakukan investasi
program Cause Related Marketing (CRM) melalui keahlian karyawan, kegiatan
kerelawanan, atau alternatif non-moneter lainnya. Dalam hal ini ditegaskan bahwa
23 komitmen suatu perusahaan terhadap suatu kampanye Cause Related Marketing
(CRM) dapat ditingkatkan dengan ikut mengajak relawan karyawan dan memberikan
sumbangan non-moneter lainnya (Miller, 2002, p15).
Menurut Susanto (2007), penerapan Cause Related Marketing (CRM)
seharusnya tidak dianggap sebagai cost semata, melainkan juga sebuah investasi
jangka panjang bagi perusahaan bersangkutan. Perusahaan harus yakin bahwa ada
korelasi positif antara pelaksanaan Cause Related Marketing (CRM) dengan
meningkatnya apresiasi dunia internasional maupun domestik terhadap perusahaan
yang bersangkutan. Pelaksanaan Cause Related Marketing (CRM) secara konsisten
dalam jangka panjang akan menumbuhkan rasa penerimaan masyarakat terhadap
kehadiran perusahaan. Kondisi seperti inilah yang pada gilirannya dapat memberikan
keuntungan ekonomi-bisnis kepada perusahaan yang bersangkutan.
Dalam menjalankan setiap kampanye dan kegiatan sosial lainnya, The Body
Shop® selalu mengharuskan karyawannya untuk ikut terlibat. Mereka ikut
mempromosikan kampanye STOP Trafficking of Children and Young People dengan
menyebarkan pamflet dan brosur ke para konsumen.
4. Senior Management Involvement
Selain menunjukkan komitmen perilaku, perusahaan juga perlu menunjukkan
komitmen sikapnya dalam Cause Related Marketing (CRM) (Miller, 2002, p15).
Pengukuran yang relevan terhadap komitmen ini adalah melalui tingkatan
keterlibatan manajemen puncak. Keterlibatan yang transparan dan memiliki
entusiasme yang tinggi dari eksekutif manajemen puncak dapat meningkatkan
kredibilitas kampanye Cause Related Marketing (CRM) (Brink et al., 2006, p18).
Menurut Susanto (2007), program Corporate Social Responsibility (CSR)
dalam pemasaran baru dapat menjadi berkelanjutan apabila program yang dibuat
oleh suatu perusahaan benar-benar merupakan komitmen bersama dari segenap
24 unsur yang ada di dalam perusahaan itu sendiri. Tentunya tanpa adanya komitmen
dan dukungan dari karyawan program tersebut tidak akan berjalan dengan baik.
Dengan melibatkan karyawan secara intensif, maka nilai dari program tersebut akan
memberikan arti tersendiri yang sangat besar bagi perusahaan.
Miller (2002, p15) menjelaskan faktor utama yang dapat meningkatkan
kesetiaan pelanggan dalam suatu kegiatan pemasaran yang terkait dengan Cause
Related Marketing (CRM) adalah menyatakan terlibat dalam program tanggung
jawab sosial perusahaan. Dengan kata lain, perusahaan perlu mengingat bahwa
Cause Related Marketing (CRM) bukan hanya untuk mencari keuntungan, tetapi
untuk mendukung suatu cause dengan mengintegrasikan donasi, sukarelawansukarelawan karyawan dan manajemen puncak perusahaan yang dapat mendukung
program Cause Related Marketing (CRM). Hal ini menunjukkan adanya komitmen
yang tinggi dari perusahaan untuk kemitraan dalam jangka waktu yang panjang,
yang pada akhirnya akan membangun loyalitas konsumen. Ketika mengembangkan
suatu program Cause Related Marketing (CRM), stakeholder perusahaan perlu
memahami
keterkaitan
dengan
kemitraan
tersebut,
yang
paling
mudah
dikomunikasikan dengan memilih suatu program yang sesuai dengan kemampuan
perusahaan dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial.
2.1.2.2.
Jenis-jenis Cause Related Marketing
Stole (2006, p1) membedakan jenis-jenis Cause Related Marketing (CRM) menjadi
enam jenis, yaitu :
1. Advertising (Periklanan) dan Public Relations (Hubungan Masyarakat)
Suatu bisnis menyesuaikan usahanya dengan suatu cause dan menggunakan
iklan untuk menyampaikan pesan dari cuase tersebut; sedangkan untuk jenis
25 Public Relations, suatu bisnis mengumpulkan press dan perhatian publik untuk
membangun kerjasama antara pihaknya dan suatu organisasi nirlaba.
2. Sponsorship
Suatu perusahaan membantu mengumpulkan dana untuk suatu program atau
event.
3. Licensing
Suatu perusahaan membayar sejumlah uang untung menggunakan logo badan
amal untuk penjualan produk atau jasanya.
4. Direct marketing
Suatu bisnis dan organisasi nirlaba mengumpulkan dana dan mempromosikan
brand awareness perusahaan.
5. Facilitated giving
Suatu bisnis memfasilitasi sumbangan dari konsumen untuk suatu badan amal
atau untuk mereka sendiri.
6. Purchase-triggered Donations
Suatu perusahaan berjanji untuk menyumbangkan suatu persentase atau
sejumlah keuntungan yang diperoleh dari harga produk yang dijual untuk suatu
badan amal atau organisasi nirlaba.
Adapun jenis Cause Related Marketing (CRM) yang digunakan The Body Shop® yaitu
purchase-triggered donations dimana The Body Shop® mengumpulkan dana untuk
isu perdagangan manusia melalui kampanye Stop Trafficking of Children and Young
People dengan menyumbangkan keuntungan dari setiap penjualan produk Hand
Cream yang kemudian akan diberikan kepada ECPAT Indonesia.
26 2.1.2.3
Kampanye Cause Related Marketing (CRM)
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, di dalam pelaksanaan kampanye
Cause Related Marketing (CRM) suatu perusahaan berkomitmen untuk melakukan
kontribusi atau menyumbangkan sebagian keuntungan yang diperolehnya melalui
penjualan produknya yang didasarkan pada suatu permasalahan sosial. Pada
umumnya, kampanye ini sudah ditetapkan masa berlakunya dan ditujukan untuk
produk dan sumbangan yang spesifik. Hubungan dengan penjualan produk inilah
yang membedakan Cause Related Marketing (CRM) dengan inisiatif sosial lainnya.
Perbedaan lainnya yang terlihat jelas adalah Cause Related Marketing (CRM)
merupakan satu-satunya inisiatif sosial perusahaan dimana besarnya sumbangan
perusahaan tergantung pada tindakan konsumen (Kotler dan Lee, 2005, p81).
Dalam suatu program Cause Related Marketing (CRM), sumbangan terhadap
pihak penerima didasari oleh kesepakatan yang memberikan keuntungan kepada
pihak pemberi sumbangan, salah satunya yaitu terhadap tingkat penjualan. Sehingga
tujuan spesifik dari semua kampanye Cause Related Marketing CRM adalah untuk
meningkatkan penjualan perusahaan tersebut (Polonski dan Speed, 2001, p7).
Selain itu, kampanye Cause Related Marketing (CRM) memiliki dua tujuan
lainnya yaitu mendukung suatu permasalahan sosial serta meningkatkan kinerja
pemasaran (Brink, Gaby, dan Pauwels, 2006). Dengan tujuan tersebut, program
Cause Related Marketing (CRM)
memiliki tanggung jawab terhadap tiga
stakeholders yaitu, konsumen, para shareholders, dan satu stakeholder yang tidak
berkaitan secara langsung dengan aktivitas komersial perusahaan (Brink et al, 2006,
p16).
Cause Related Marketing (CRM) sekilas memang mirip dengan cause
promotions, dimana perusahaan mendukung kesadaran (awareness), perhatian
(concern), dan sumbangan (contributions) publik untuk suatu permasalahan.
27 Perbedaannya
adalah
dalam
Cause Related Marketing (CRM),
perusahaan
menambahkan kontribusi berdasarkan respons dari konsumen. Kedua, inisiatif Cause
Related Marketing (CRM) biasanya membutuhkan persetujuan yang lebih formal dan
koordinasi dengan badan amal, contohnya seperti mengembangkan periklanan dan
melacak pembelian konsumen dan aktivitasnya. Terakhir, jenis inisiatif ini melibatkan
lebih banyak promosi, terutama periklanan yang dibayar (paid advertising). Sebagai
hasilnya, Cause Related Marketing (CRM) lebih cenderung diambil alih oleh
departemen pemasaran perusahaan (Kotler dan Lee, 2006, p82).
Menurut Kotler dan Lee (2005, p102), agar suatu program Cause Related
Marketing (CRM) berhasil, maka perusahaan harus memikirkan hal-hal berikut ini :
1. Memilih isu sosial yang memang menjadi perhatian perusahaan maupun
konsumen yang menjadi target produknya
2. Memilih mitra yang memang telah memiliki jaringan luas dan terkenal
memiliki kinerja yang baik
3. Memilih produk yang asosiasinya dengan isu yang akan ditangani sudah atau
berpotensi menjadi kuat; melakukan riset dengan hati-hati terhadap
konsumen yang menjadi target, untuk kemudian menyusun strategi
pemasaran yang sesuai
4. Memastikan bahwa aktivitas ini “terlihat” melalui pencantuman yang jelas di
produk, iklan yang memadai, dan sebagainya
5. Memastikan bahwa tawaran Cause Related Marketing (CRM) sederhana dan
mudah dimengerti, untuk mencegah kecurigaan calon konsumen
6. Bersedia untuk mengakui kesalahan bila memang terjadi, dan melakukan
perbaikan atas kesalahan itu.
Meskipun kampanye Cause Related Marketing (CRM) mendukung berbagai
isu permasalahan, namun bentuk kampanye yang paling banyak memiliki pengikut
28 dan pendukung adalah yang terkait dengan masalah kesehatan, kebutuhan anakanak, kebutuhan dasar, dan lingkungan (Kotler dan Lee, 2006, p85).
2.1.3
Keterlibatan
Konsumen
dalam
Produk
(Consumer
Product
Involvement)
Keterlibatan konsumen terhadap suatu isu atau permasalahan didefinisikan
sebagai tingkat kepentingan pribadi dan atau ketertarikan yang timbul akibat adanya
suatu rangsangan (stimuli) di dalam suatu situasi tertentu (Antil dalam Brink et al,
p17). Keterlibatan konsumen merupakan teori konstruktif yang berkaitan dengan
gaya kognitif konsumen untuk menjelaskan perilaku konsumen (Knox et al dalam Lo,
2006, p3).
Konsumen menjadi terlibat pada saat suatu persepsi kognitif dari
kepentingan dan ketertarikan menimbulkan rangsangan berupa sperasaan afektif
(Peter dan Olson dalam Lo, 2006, p3). Derajat keterlibatan konsumen dalam suatu
kategori produk yang spesifik merupakan variabel utama yang berkaitan dengan
strategi periklanan dan strategi pemasaran lainnya (Ray, Rothschild, dan Vaughn
dalam Lo, 2006, p3). Tergantung dari tingkat keterlibatannya, setiap konsumen
berbeda berdasarkan sejauh mana proses keputusan dan pencarian informasi
dilakukan. Selain itu, konsumen dapat bersikap pasif atau aktif ketika mereka
menerima komunikasi periklanan yang sesuai dengan tingkat keterlibatan mereka
(Laurent dan Kapferer dalam Lo, 2006, p3). Sebagai hasilnya, konsep keterlibatan
memainkan peran yang penting dalam menjelaskan perilaku konsumen.
Berbagai jenis keterlibatan sudah pernah diteliti, didefinisikan, dan diukur
dari
aplikasi
istilah
keterlibatan
yang
berbeda-beda.
Literatur
keterlibatan
menunjukkan bahwa terdapat tiga domain keterlibatan yang pada umumnya
digunakan oleh periset: domain periklanan (Krugman), domain produk (Howard dan
29 Shet; Hupfer dan Gardner), dan domain keputusan pembelian (Zaichkowsky). Dua
pendekatan skala pengukur keterlibatan yang paling dikenal adalah skala pengukur
yang diciptakan oleh Kapferer (1985) dan Zaichkowsky (1985). Skala pengukur
Zaichkowsky (1985) yang dikenal dengan PII menganggap keterlibatan sebagai
konstruksi satu dimensi atau uni-dimensional sementara Laurent dan Kapferer
menciptakan skala pengukur yang dikenal dengan CIP dimana keterlibatan
merupakan multidimensi.
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan skala pengukur keterlibatan
milik Kapferer yang kemudian dikembangkan oleh Quester dan Lim (2003, p3) yang
dikenal dengan Profil Keterlibatan Konsumen (Consumer Involvement Profile) atau
rentang CIP yang mampu mengukur keterlibatan melalui lima dimensi, yaitu interest,
pleasure, sign, risk importance, dan risk probability. Berdasarkan Kapferer yang
dijelaskan dalam Quester dan Lim (2003, p24) dimensi keterlibatan yang berbeda
memiliki pengaruh yang berbeda pula terhadap beberapa aspek perilaku konsumen.
Berdasarkan penelitian selanjutnya oleh Rodgers dan Schneider (1993), Quester dan
Lim (2003, p24) menemukan bahwa dimensi interest dan pleasure merupakan dua
faktor yang memiliki pengertian yang serupa, sehingga dapat digabung menjadi satu
dimensi. Maka secara garis besar dalam penelitian ini peneliti menggunakan empat
dimensi untuk mengukur keterlibatan konsumen. Adapun penjelasan mengenai
keempat dimensi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Interest (keinginan)
Interest adalah keinginan seseorang terhadap suatu produk, yang diartikan
memiliki nilai yang penting. Elemen interest adalah kepentingan pada produk,
keinginan pada produk dan permasalahan pada produk.
2. Sign (tanda)
30 Sign adalah nilai produk yang diekspresikan oleh seseorang. Elemen sign berupa
personifikasi konsumen dalam memilih produk.
3. Risk Importance (resiko penting)
Risk importance adalah kepentingan yang didapat dari konsekuensi negatif yang
diasosiasikan pada pilihan produk buruk. Elemen risk importance terdiri dari nilai
penting ketika melakukan kesalahan dalam memilih produk, nilai penting ketika
produk tidak nyaman dan ketika membuat kesalahan pilihan.
4. Risk Probability (resiko kemungkinan)
Risk probability adalah kemungkinan membuat pilihan produk yang buruk.
Elemen risk probability adalah ketidakpastian ketika memilih, ketidakpastian
dalam mengambil produk dan kerumitan dalam mengambil keputusan.
Quester dan Lim (2003, p22) mengungkapkan bahwa produk dengan
keterlibatan tinggi adalah produk yang memiliki nilai aspek yang tinggi pada
keterlibatan konsumen didalamnya, yaitu ketertarikan yang tinggi untuk memilih
produk (interest), ekspektasi yang tinggi (pleasure) untuk memilih produk, ekspresi
kepuasan (sign) dapat memiliki produk sesuai pilihan, serta resiko dalam membuat
pilihan (risk importance) dan mengambil keputusan (risk probability) yang tinggi
pada produk. Jain dan Sharma (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
produk dengan harga yang tinggi, fitur yang kompleks, dan memiliki resiko persepsi
yang tinggi memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi, sedangkan produk dengan
harga yang rendah, fitur yang sederhana, dan resiko persepsi yang rendah memiliki
tingkat keterlibatan yang rendah.
Hawkins et al (2007) mengemukakan bahwa tingkat keterlibatan konsumen
dalam pembelian dipengaruhi oleh kepentingan personal yang dirasakan dan
ditimbulkan oleh stimulus. Tingkat keterlibatan konsumen dalam pengambilan
31 keputusan ditentukan oleh pemrosesan informasi yang dapat mempengaruhi
konsumen yang pada akhirnya menimbulkan pembuatan keputusan yang kompleks.
2.1.4 Loyalitas Merek (Brand Loyalty)
2.1.4.1 Pengertian Brand Loyalty
Menurut Kotler (2002, p357), merek adalah tanda, simbol atau rancangan
atau kombinasi dari semua ini yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi produk atau
jasa dari satu atau kelompok penjual dan membedakannya dari produk pesaing.
Sedangkan menurut pendapat Kartajaya (2005, p182), merek tidak sekedar nama,
bukan juga sebuah logo atau simbol. Merek adalah payung yang mepresentasikan
produk atau layanan. Merek merupakan cerminan value yang diberikan perusahaan
kepada pelanggan. Berdasarkan pendapat dari ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa
merek adalah disamping identitas suatu produk yang membedakan dengan produk
pesaing juga sebagai pemberi manfaat melalui nilai-nilai yang diberikan kepada baik
kepada konsumen maupun kepada lingkungan sekitar masuk masyarakat.
Konsumen dalam memenuhi kebutuhannya membeli produk dengan merek
tertentu. Kalau merek pilihan konsumen itu dapat memuaskan kebutuhannya, maka
kesetiaan konsumen terhadap produk merek tersebut mulai berkembang. Jika pilihan
mereka itu tidak dapat memuaskan, maka pada pembelian berikutnya merek itu
tidak akan dipilih. Pada saat kesetiaan konsumen mulai berkembang maka
perusahaan harus mempertahankan agar kesetiaan itu tetap bertahan. Konsumen
yang setia pada merek produk tertentu, dalam keputusan pembelian merek tersebut
tidak membandingkan dengan merek lain dan tidak diperlukan banyak penelitian dan
informasi. Karena konsumen tersebut telah loyal terhadap merek produk tersebut
atau bisa dikatakan produk tersebut telah mendapat predikat brand loyalty (loyalitas
merek).
32 Menurut Durianto, (2004, p126) loyalitas merek merupakan suatu ukuran
keterkaitan pelanggan kepada sebuah merek. Ukuran ini dapat memberikan
gambaran tentang kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada pelanggan untuk
beralih kemerek lain, terutama jika merek tersbut mengalami perubahan baik
menyangkut harga maupun image. Konsumen yang loyal terhadap suatu merek tidak
akan dengan mudah memindahkan suatu pembeliannya ke merek lain. Tjiptono et al
(2005, p387) berpendapat bahwa loyalitas merek adalah komitmen yang dipegang
teguh untuk membeli ulang atau berlangganan dengan produk atau jasa yang
disukai secara konsisten dimasa mendatang, sehingga menimbulkan pembelian
merek yang sama secara berulang meskipun pengaruh situasional dan upaya
pemasaran berpotensi menyebabkan perilaku beralih merek.
Dari sudut pandang penulis, brand loyalty (loyalitas merek) merupakan suatu
konsep yang sangat penting. Karena loyalitas merek ini adalah suatu prediksi
penjualan dimasa yang akan datang, produsen bisa memperkirakan berapakah
sebaiknya suatu produk dengan merek tertentu akan diproduksi dengan melihat
tingkat loyalitas konsumen terhadap merek produk tersebut. Di sisi lain pada kondisi
pasar dengan tingkat pertumbuhan yang sangat rendah namun persaingannya
sangat ketat saat ini, keberadaan konsumen yang loyal pada merek sangat
dibutuhkan oleh setiap produsen agar siklus kehidupan perusahaan dan produk
dapat tetap bertahan hidup.
2.1.4.2
Tingkatan Loyalitas Merek
Menurut Lu Ting Pong dan Tang Pui Yee (2001) kita bisa mengukur loyalitas
konsumen terhadap suatu merek dengan beberapa tingkatan yaitu;
1. Repeat purchase behavior
Kecenderungan untuk melakukan pembelian ulang yang konsisten merupakan
salah satu dari perilaku yang menunjukkan loyalitas.
33 2. Word of mouth
Dalam
konteks
loyalitas,
word
of
mouth
dapat
dipahami
sebagai
merekomendasikan orang lain untuk melakukan pembelian atas suatu merek
tertentu. Oleh karena itu, konsumen yang loyal tidak hanya menggunakan
produk dengan merek tersebut tapi juga dengan senang hati akan menceritakan
hal-hal yang positif tentang merek tersebut.
3. Price tolerance
Konsumen yang loyal akan bersedia untuk membayar dengan harga premium.
Hal tersebut disebabkan karena terdapatnya perceived risk yang sangat tinggi
sehingga membuat konsumen rela membayar dengan harga yang lebih tinggi
untuk menghindari resiko.
4. Preference
Loyalitas
yang
sesungguhnya
hanya
dapat
diraih
ketika
konsumen
mengekspresikan preferensi positif yang merupakan alasan untuk melakukan
pembelian ulang yang tinggi
5. Choice reduction behavior
Choice reduction behavior merupakan hasil yang nyata dari loyalitas. Hal ini
dikarenakan konsumen dengan loyalitas tinggi akan mengurangi motivasi
pencarian sebagai alternatif lain.
6. First in mind
Idealnya, konsumen yang loyal hanya akan memiliki satu pilihan yang
merupakan pilihan pertama dalam benaknya. Dengan demikian, semakin tinggi
tingkat loyalitas akan menyebabkan konsumen lebih mempertimbangkan
pilihannya tersebut ketika harus memilih.
Menurut Durianto, et.al. (2001, p.128), tingkatan-tingkatan yang terdapat
dalam loyalitas merek adalah sebagai berikut:
34 1. Switcher (Berpindah-pindah)
Pelanggan yang berada pada tingkat loyalitas ini dikatakan sebagai pelanggan
yang berada pada tingkat yang paling dasar. Semakin sering pembelian
konsumen berpindah dari suatu merek ke merek yang lain mengindikasikan
bahwa mereka tidak loyal, semua merek dianggap memadai. Dalam hal ini,
merek memegang peranan kecil dalam keputusan pembelian. Ciri yang jelas
dalam kategori ini adalah mereka membeli suatu merek karena harganya
murah.
2. Habitual buyer (Pembeli yang bersifat kebiasaan)
Pembeli pada tingkat ini dikategorikan sebagai pembeli yang puas dengan
merek produk yang dikonsumsinya. Tidak ada alasan yang kuat baginya untuk
membeli merek produk lain atau berpindah merek, terutama jika peralihan itu
membutuhkan usaha, biaya, atau pengorbanan lain. Dapat disimpulkan bahwa
pembeli ini membeli suatu merek karena kebiasaan.
3. Satisfied buyer (Pembeli yang puas)
Pada tingkatan ini, pembeli merek masuk kedalam kategori puas ketika mereka
mengkonsumsi merek tersebut.
4. Liking the brand (Menyukai merek)
Pembeli dalam kategori ini adalah pembeli yang benar-benar menyukai merek
tersebut. Pada tingkat ini dijumpai perasaan emosional yang terkait dengan
merek. Rasa suka pembeli ini bisa saja didasari oleh asosiasi yang terkait
dengan simbol, rangkaian pengalaman dalam pengunaan sebelumnya baik yang
dialami pribadi maupun kerabatnya ataupun yang disebabkan oleh karena
persepsi kualitas yang tinggi.
5. Commited Buyer (Pembeli yang berkomitmen)
35 Pada tahap ini pembeli merupakan pelanggan yang setia. Mereka memiliki suatu
kebanggaan sebagai pengguna suatu merek dan bahkan tersebut menjadi
sangat penting bagi mereka dipandang dari segi fungsinya maupun sebagai
suatu penting bagi mereka dipandang dari segi fungsinya maupun sebagai suatu
ekspresi mengenai siapa mereka sebenarnya. Pada tingkat ini, salah satu
aktualisasi loyalitas pembeli ditujukan oleh tindakan merekomendasikan dan
mempromosikan merek tersebut kepada pihak lain.
Kemudian Durianto (2001,p132) menyimpulkan bahwa terdapat beberapa
pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur loyalitas konsumen
terhadap suatu merek yang dibeli, pendekatan-pendekatan tersebut adalah :
1. Behaviour measures (Pengukuran Perilaku Konsumen)
Merupakan cara yang langsung untuk menetapkan kesetiaan, khususnya untuk
perilaku kebiasaan, yaitu untuk mempertimbangkan pola-pola pembelian yang
sebenarnya.
2. Switching cost (Biaya Peralihan)
Pengukuran terhadap variabel ini dapat mengindikasikan loyalitas pelanggan
terhadap suatu merek. Pada umumnya jika biaya untuk berganti merek sangat
mahal, pelanggan akan enggan untuk berganti merek sehingga laju penyusutan
dari kelompok pelangggan dari waktu kewaktu akan rendah.
3. Measuring satisfaction (Pengukuran Kepuasan Konsumen)
Pengukuran terhadap kepuasan maupun ketidakpuasan pelangan suatu merek
merupakan indikator penting dari brand loyalty. Bila ketidakpuasan pelanggan
terhadap suatu merek rendah, maka pada umumnya tidak cukup alasan bagi
pelanggan untuk beralih mengkonsumsi merek lain kecuali bila ada faktor-faktor
penarik yang sangat kuat. Dengan demikian, sangat perlu bagi perusahaan
untuk
mengeksplorasi
informasi
dari
pelanggan
yang
memindahkan
36 pembeliannya ke merek lain dalam kaitannya dengan ketergesaan mereka
memindahkan pilihannya.
4. Measuring liking the brand (Pengukuran Kesukaan terhadap Merek)
Kesukaan terhadap merek, kepercayaan, perasaan-perasaan hormat atau
bersahabat dengan suatu merek membangkitkan kehangatan dalam perasaan
pelanggan. Akan sangat sulit bagi merek lain untuk dapat menarik pelanggan
yang sudah mencintai merek hingga pada tahapan ini.
5. Commitment (Pengukuran Komitmen Konsumen)
Komitmen merupakan hubungan yang paling kuat antara pelanggan dengan
sebuah merek. Merek dengan brand equity yang tinggi akan memiliki sejumlah
besar pelanggan yang setia dengan segala bentuk komitmennya. Salah satu
indikator kunci adalah jumlah interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan
produk tersebut. Kesukaan pelanggan terhadap suatu merek akan mendorong
mereka untuk membicarakan merek tersebut pada pihak lain baik dalam taraf
sekedar menceritakan mengenai alasan pembelian merek terhadap merek
tersebut atau bahkan tiba pada taraf merekomendasikannya pada orang lain
untuk mengkonsumsi merek tersebut. Indikator lain adalah sejauh mana tingkat
kepentingan merek tersebut bagi seorang yang berkenan dengan aktivitas
kepribadian mereka, misalnya manfaat atau kelebihan yang dimiliki dalam kaitan
dengan penggunaannya.
2.1.4.4 Fungsi Loyalitas Merek
Menurut Durianto, et.al (2004, p21), dengan pengelolaan dan pemanfaatan
yang benar, brand loyalty dapat menjadi aset yang sangat berharga bagi
perusahaan. Beberapa potensi yang dapat diberikan oleh brand loyalty kepada
perusahaan adalah:
37 1. Mengurangi biaya pemesanan
Dalam kaitannya dengan biaya pemesaran, akan lebih murah mempertahankan
pelanggan dibanding dengan upaya mendapatkan pelanggan baru. Jadi, biaya
pemasaran akan mengecil jika loyalitas merek meningkat. Ciri yang paling
terlihat dari jenis pelanggan ini adalah mereka membeli suatu produk karena
harganya murah.
2. Menigkatkan perdagangan
Loyalitas yang kuat terhadap suatu merek akan meningkatkan perdagangan dan
memperkuat keyakinan perantara pemasaran. Dapat disimpulkan bahwa
pembeli dalam membeli suatu merek didasarkan atas kebiasaan mereka selama
ini.
3. Menarik minat pelanggan baru
Dengan banyaknya pelanggan baru suatu merek yang merasa puas dan suka
pada merek tersebut akan menimbulkan perasaan yakin bagi calon pelanggan
untuk mengkonsumsi merek tersebut terutama jika pembelian yang mereka
lakukan mengadung resiko tinggi. Di samping itu, pelanggan yang puas
umumnya akan mrekomendasikan merek tersebut kepada oarang yang dekat
dengannya sehingga akan menarik pelanggan baru.
4. Memberi waktu untuk merespon ancaman persaingan
Jika salah satu pesaing mengembangkan produk yang unggul, pelangan yang
loyal akan memberikan waktu pada perusahaan tersbut untuk memperbaharui
produknya dengan cara menyesuaikan atau menetralisasikannya.
38 2.1.4.5 Dimensi Loyalitas Merek
Dari pembahasan teori diatas terdapat beberapa kesamaan antara tingkatan
loyalitas merek yang dikemukakan oleh Lu Ting Pong dan Tung Pui Yee (2001) dan
Durianto (2001) yang dijadikan dimensi terhadap variabel dependen dalam penelitian
ini (brand loyalty). Tetapi, tidak semua tingkatan bisa dijadikan dimensi, namun
hanya beberapa tingkatan saja yang akan digunakan sebagai dimensi sesuai dengan
karakteristik dari produk The Body Shop® dalam penelitian ini.
Jadi, dimensi untuk loyalitas merek The Body Shop® yang sesuai dalam
penelitian ini adalah :
1. Future Purchase
Dimensi yang pertama adalah future purchase yaitu kombinasi dari tingkatan
yang dikemukakan oleh Durianto (2001) yaitu habitual buyer yang mana
diasumsikan konsumen cukup puas dengan merek produk yang dikonsumsinya
atau setidaknya pembeli tidak mengalami kerugian dalam mengkonsumsi merek
tersebut, sehingga konsumen tidak memiliki alasan yang kuat untuk membeli
merek lain atau berpindah merek, terutama jika peralihan itu membutuhkan
usaha, biaya, atau pengorbanan lain, jadi pembeli ini membeli suatu merek
karena telah terbiasa mengkonsumsi produk ini. Dapat disimpulkan bahwa
konsumen ini dalam membeli suatu merek karena didasarkan atas kebiasaan
pembelian yang telah dilakukan selama ini. Hal serupa juga terdapat pada
pendapat Lu Ting Pong dan Tang Pui Yee (2001) yaitu pada tingkatan repeat
purchase behavior yang mana konsumen diasumsikan cenderung melakukan
pembelian ulang yang konsisten secara terus-menerus karena telah puas
dengan apa yang diberikan oleh produk tersebut. Maka dapat disimpulkan
bahwa dimensi ini lebih ditekankan pada pengukuran future purchase yaitu
pembelian suatu merek yang dilakukan konsumen dimasa yang akan datang.
39 2. Liking of The Brand
Dimensi yang ketiga adalah liking of the brand dimana indikator ini merupakan
kombinasi dari sudut pandang dari para ahli terhadap tingkatan loyalitas
konsumen terhadap merek. Seperti yang dikemukakan oleh Lu Pong dan Tang
Pui Yee (2001) pada pengukuran preference dan first in mind. Untuk preference
diasumsikan bahwa konsumen mengekspresikan preferensi positif terhadap
produk sehingga memungkinkan konsumen untuk melakukan pembelian ulang
yang tinggi. Dan untuk first in mind diasumsikan konsumen yang telah
menyukai satu merek maka hanya merek itu saja yang pertama terlintas
dibenaknya. Tingkatan yang terkait juga disimpulkan oleh Durianto (2001) yaitu
liking the brand dimana konsumen diasumsikan memiliki perasaan emosional
yang terkait dengan merek. Rasa suka pembeli ini bisa saja didasari oleh
asosiasi yang terkait dengan simbol, rangkaian pengalaman dalam pengunaan
sebelumnya baik yang dialami pribadi maupun kerabatnya ataupun yang
disebabkan oleh karena persepsi kualitas yang tinggi. Jadi berdasarkan
kombinasi dari tingkatan loyalitas konsumen terhadap merek diatas maka dapat
disimpulkan bahwa liking the brand adalah dimensi ketiga untuk brand loyalty
terhadap merek The Body Shop® pada penelitian ini.
3. Commitment
Dimensi yang keempat adalah commitment yaitu kombinasi dari beberapa
tingkatan yang diungkapkan oleh beberapa ahli seperti yang diungkapkan oleh
Lu Pong dan Tang Pui Yee (2001) tentang word of mouth dimana konsumen
diasumsikan
melakukan
aktualisasi
loyalitas
terhadap
merek
dengan
mempromosikan dan merekomendasikan orang lain untuk melakukan pembelian
atas suatu merek tertentu. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Durianto
(2001) yang juga menjadi dimensi untuk brand loyalty yaitu committed buyer
40 dimana konsumen diasumsikan memiliki suatu kebanggaan sebagai pengguna
suatu merek dan bahkan tersebut menjadi sangat penting bagi mereka
dipandang dari segi fungsinya maupun sebagai suatu penting bagi mereka
dipandang dari segi fungsinya maupun sebagai suatu ekspresi mengenai siapa
mereka sebenarnya. Pada tingkat ini, salah satu aktualisasi loyalitas pembeli
ditujukan oleh tindakan merekomendasikan dan mempromosikan merek
tersebut kepada pihak lain. Jadi, berdasarkan tingkatan-tingkatan yang
diungkapkan oleh padara ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa dimensi
keempat untuk brand loyalty terhadap merek The Body Shop® pada penelitian
ini adalah commitment yaitu aktualisasi loyalitas pembeli ditunjukkan dengan
tindakan
merekomendasikan
dan
mempromosikan
merek
yang
mereka
konsumsi tersebut kepada pihak lain, seperti teman dan keluarga mereka.
2.1.5. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang telah dilakukan oleh Brink, Odekerken-Schroder, dan
Pauwels (2006) menunjukkan adanya pengaruh positif dari Cause Related Marketing
(CRM) terhadap loyalitas merek. Lebih spesifik, penelitian ini menjelaskan pengaruh
dari strategic Cause Related Marketing (strategic CRM) dan tactical Cause Related
Marketing (tactical CRM). Pengaruh dari kedua jenis Cause Related Marketing (CRM)
tersebut dikur dengan menggunakan 4 (empat) dimensi yakni congruency, duration,
amount of resources invested, dan senior management involvement. Lebih lanjut
lagi, Brink et al (2006) meneliti pengaruh keterlibatan konsumen terhadap produk
sebagai variabel pemoderasi terhadap hubungan antara Cause Related Marketing
dan Brand Loyalty. Keterlibatan konsumen pada penelitian ini dibagi menjadi dua
yaitu
keterlibatan
tinggi
(high
involvement) dan keterlibatan rendah (low
involvement). Adapun pengukuran terhadap keterlibatan konsumen terhadap suatu
41 produk dilakukan dengan menggunakan alat pengukuran milik Zaichkowsky (1985)
yang dikenal dengan Personal Involvement Inventory (PII). PII dirancang untuk
mengukur konstruk keterlibatan itu sendiri, tidak melekat pada perubahan perilaku
konsumen sebagai akibat dari keterlibatan tersebut.
Sedangkan untuk loyalitas merek, Brink et al mengukurnya melalui dua
dimensi yaitu konsep perilaku (behavior) dan konsep sikap (attitude). Indikator dari
konsep perilaku difokuskan pada pembelian ulang (repeat purchasing) yang
dilakukan oleh konsumen terhadap suatu merek, dimana manfaat dari pendekatan
ini adalah dapat mengukur perilaku yang dapat dipantau (observable behaviors),
daripada
sekedar
mengukurnya
melalui
niat
(intentions)
dan
pernyataan
(declarations) (Odin et al dalam Brink et al, 2001). Untuk konsep sikap, Brink et al
mengukurnya melalui tiga indikator yang terdiri dari komponen afektif, kognitif, dan
konatif.
Penelitian tersebut menggunakan desain penelitian eksperimental untuk
menguji hipotesis yang ingin diuji. Brink et al membuat suatu dasar cerita (story
boards) dimana mereka menciptakan suatu perusahaan, merek, serta kampanye
CRM fiktif. Responden diperkenalkan terhadap sebuah perusahaan, merek, serta
produk yang imajinatif. Produk yang digunakan berupa celana panjang (high
involvement), atau pengokot (stapler) yang merupakan produk dengan keterlibatan
rendah (low involvement).
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa strategic Cause Related Marketing
(CRM) memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap loyalitas merek daripada tactical
Cause Related Marketing (CRM). Mereka menemukan bahwa perusahaan harus
memiliki komitmen jangka panjang terhadap cause yang didukung dan kampanye
yang digunakan harus berhubungan dengan produk yang memiliki tingkat
keterlibatan yang rendah.
42 Penelitian
yang
telah
dilakukan
oleh
Westberg
dan
Pope
(2004)
menunjukkan adanya pengaruh yang positif dari Cause Related Marketing (CRM)
terhadap perubahan sikap terhadap merek. Adanya kecocokan antara merek dengan
cause secara positif dapat meningkatkan sikap konsumen terhadap strategi Cause
Related Marketing (CRM).
Nilsson dan Rahmani (2007) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa
kegiatan Cause Related Marketing (CRM) dapat berlangsung dengan baik apabila
terjadi hubungan yang sinergis antara perusahaan dengan organisasi amal.
Hubungan yang sinergi diantara kedua belah pihak secara positif mensukseskan
kegiatan Cause Related Marketing (CRM).
2.2 Kerangka Pemikiran
Cause Related Marketing (CRM) dapat meningkatkan kegiatan pemasaran
produk tergantung pada pola kampanye program melalui berbagai macam strategi
yang tepat. Brink et al (2006, p16) menyatakan bahwa jenis strategi yang dilakukan
dalam Cause Related Marketing (CRM) terdiri dari dua bentuk, yaitu Cause Related
Marketing strategis dan Cause Related Marketing taktis. Perusahaaan dalam
mendeterminasikan Cause Related Marketing strategis dan taktis melalui empat
pendekatan, yaitu kesesuaian (congruence), durasi (duration), jumlah investasi
(amount of investment) dan keterlibatan manajemen (management involvement).
Determinasi empat faktor tersebut apabila memiliki nilai yang rendah umumnya
menunjukkan perusahaan melakukan kegiatan Cause Related Marketing (CRM) secara
taktis, sedangkan apabila memiliki nilai yang tinggi menunjukkan perusahaan
melakukan kegiatan Cause Related Marketing secara strategis. Pendekatan Cause
Related Marketing (CRM) tidak sepenuhnya harus secara taktis maupun strategis,
tetapi setidaknya memiliki karakteristik dari bentuk taktis dan strategis. Empat
43 dimensi tersebut menjadi dasar yang baik bagi perusahaan untuk terlibat dalam
Cause Related Marketing (CRM).
Sen dan Bhattacharya dalam Brink et al. menemukan bahwa Cause Related
Marketing (CRM) memiliki pengaruh yang positif terhadap perilaku konsumen. Brink et
al. lalu mengembangkan penelitian tersebut dengan meneliti pengaruh kampanye
Cause Related Marketing (CRM) terhadapa loyalitas merek dari konsumen. Seorang
konsumen yang loyal cenderung mengeluarkan biaya yang lebih banyak untuk suatu
barang atau jasa dan mereka merupakan sumber periklanan word-of-mouth (Kapferer
dalam Brink et al). Karena loyalitas merek merupakan salah satu variabel yang paling
berpengaruh terhadap kinerja pemasaran suatu perusahaan (Brink et al, 2006), maka
peneliti menggunakannya sebagai variabel utama yang mendapatkan pengaruh dari
Cause Related Marketing (CRM). Brink et al. juga meneliti keterlibatan konsumen
sebagai variabel pemoderasi terhadap hubungan antara Cause Related Marketing
(CRM) dengan loyalitas merek.
Ringkasnya, penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh Cause Related
Marketing (CRM) terhadap loyalitas konsumen terhadap merek The Body Shop® dan
meneliti sejauh mana pengaruh Cause Related Marketing (CRM) terhadap loyalitas
merek dimoderasi oleh keterlibatan konsumen dalam produk.
44 Kerangka pemikiran dari masalah yang ada serta pemecahannya digambarkan sebagai
berikut:
Interest Sign
Risk Importance Risk Probability
Congruence
Consumer Involvement
Duration Cause Related Marketing
Brand Loyalty
(CRM)
Gambar 2.2
Amount of Resources Invested
Kerangka Pemikiran
Committment
Liking of The Brand
Sumber : Brink et al. (2006)
Senior Management Involvement Future Purchase
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Sumber: Hasil Pengolahan Peneliti, 2010 Dari hasil kerangkan pemikiran tersebut, maka secara garis besar melalui penelitian ini
penulis akan: 1. Meneliti bagaimana pengaruh yang diberikan Cause Related Marketing
(CRM) terhadap loyalitas merek.
2. Meneliti apakah keterlibatan konsumen sebagai variabel pemoderasi
memperkuat atau memperlemah pengaruh Cause Related Marketing (CRM)
terhadap loyalitas merek The Body Shop®.
45 2.3 Hipotesis
Menurut Ellen et.al. (2000, p393), konsumen mengevaluasi program Cause
Related Marketing (CRM) melalui teori atribut. Konsumen dalam mengevaluasi progam
adalah dengan membuat kesimpulan tentang motivasi yang mendasari perusahaan
untuk melibatkan diri dalam program sosial. Respon positif konsumen dalam melihat
motivasi perusahaan yang tinggi dalam pelaksanaan Cause Related Marketing (CRM)
secara tidak langsung meningkatkan loyalitas merek dan produk perusahaan.
Sugiyono (2005, p70) menjelaskan hipotesis merupakan jawaban sementara
terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah
dinyatakan dalam bentuk pernyataan. Sesuai dengan pertanyaan pada rumusan
masalah dibab 1, maka hipotesis utama yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
Ho:
Cause
Related
Marketing
(CRM)
tidak
berpengaruh
secara
signifikan terhadap tingkat loyalitas merek The Body Shop®
H 1:
Cause Related Marketing (CRM) berpengaruh secara signifikan
terhadap tingkat loyalitas merek The Body Shop®
Dan berikut adalah hipotesis variabel moderating yaitu keterlibatan konsumen :
H o:
Keterlibatan
konsumen
tidak
sebagai
faktor
pemoderasi
meningkatkan pengaruh Cause Related Marketing (CRM) pada loyalitas
merek The Body Shop®
H 2:
Keterlibatan konsumen sebagai faktor pemoderasi meningkatkan
pengaruh Cause Related Marketing (CRM) pada loyalitas merek The Body
Shop®
Download