SEPUTAR METODE ISTIQRA`

advertisement
SEPUTAR METODE ISTIQRA’
A. Pengertian Istiqra’
Istiqra’ secara etimologi berarti pengikutsertaan, terus-menerus (at-tatabu’).1 Dalam istilah
populer, istiqra’ disebut juga dengan Induksi (kebalikan dari deduksi) yaitu sebuah metode pemikiran
yang bertolak dari suatu kekhususan menuju pada yang umum, kadang-kadang juga bertolak dari yang
kurang umum menuju pada yang lebih umum.2
Dalam istilah ilmu hukum Islam, istiqra’ (induksi) adalah sebuah metode pengambilan
kesimpulan umum yang dihasilkan oleh fakta-fakta khusus yang digunakan oleh ahli-ahli Fiqh untuk
menetapkan suatu hukum,3 metode ini tertuang dalam Usul Fiqih4 dan Qowaid Al-Fiqhiyah5 yang pernah
diapliasikan oleh Imam Asy-Syafi’i dalam menentukan waktu lamanya menstruasi bagi wanita.6
Menurut ahli mantiq, istiqra’ adalah menarik kesimpulan umum berdasarkan karakterisik
satuan-satuannya.7 Definisi yang serupa dikemukakan oleh Ibnu Sina (w. 428 H/1037 M) dengan
menambahkan, jika kesimpulan itu didasarkan atas kesamaan karakteristik semua satuannya disebut
Istiqra’ tamm (induksi sempurna) dan jika didasarkan atas kesamaan karakteristik mayoritas satuannya
disebut Istiqra’ Masyhur atau Istiqra’ Naqis (induksi tidak sempurna).8
Istiqra’ Tamm biasanya ditemukan dalam penelitian ilmu-ilmu kealamian yang karakteristik
objek-objeknya yang diteliti bersifat konstan, sedangkan istiqra’ masyhur sering ditemukan dalam kajian
ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu agama. Dalam ilmu agama, obyek kajiannya adalah al-Qur’an, hadis, dan
pendapat para ulama’ yang memiliki otoritas. Adanya istilah istiqra’ masyhur ini di dalam ilmu-ilmu
sosial disebabkan karakteristik tingkah laku manusia dan pranata sosial tidak konstan, begitu pula makna
(dilalah) ayat al-Qur’an dan hadis riwayat yang mendukung jarang disepakati kepastian maknanya.
Karena itu, hanya dapat dilakukan dengan istiqra’ masyhur yang menghasilkan kesimpulan zanni
(kemungkinan besar benar).
1
Hasan Mu’arif Ambary, “Istiqra’, Suplemen Ensiklopedi Islam, ed. Abdul Aziz Dahlan,, et.al, (Jakarta: PT
Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996), 256.
2
Tim Penyusun Pustaka Azet, “Istiqra’,Leksikan Islam, (Jakarta: Pustaka Azet Perkasa, 1988), 269.
3
Salah satu karakteristik hukum Islam sebagai ilmu adalah adanya metode-metode dalam hukum Islam,
metode-metode tersebut diantaranya metode deduktif (istinbat), metode induksi (istiqra’), metode genetika
(takwini) dan metode dialektika (jadali). Taha Jabir al-Wani, Metodologi Hukum Islam Kontemporer (Yogyakarta:
UII Press, 2001).
4
Usul al Fiqh adalah kaidah- kaidah hukum yang dipetik dari bahasa arab itu sendiri misalnya lafadz
ditinjau dari segi makna ada lafadz yang mutlaq, muqayyad, umum, khusus dan lain- lain. Mukhtar Yahya , DasarDasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Bandung: Al- Ma’arif,1986), 485.
5
Qawaid al Fiqhiyyah adalah kaidah- kaidah umum yang meliputi seluruh cabang masalah- masalah fiqh
yang menjadi pedoman untuk menetapkan hukum bagi setiap peristiwa fiqhiyyah baik yang telah di tunjuk oleh
nash yang sharih maupun yang belum ada nashnya sama sekali. Ibid.
6
Imam Syafi’i menetapkan hukum masa haid terpendek adalah sehari semalam, masa yang lumrah enam
atau tujuh hari atau tujuh malam, dan masa haid yang terpanjang adalah lima belas hari atau lima belas malam.
Penetapan hukum semacam ini dilakukan oleh Imam Syafi’i berdasarkan penelitian atas beberapa wanita di Mesir
yang kemudian ia tetapkan sebagai ketentuan hukum fiqh bagi semua wanita di dunia, …, Sumber dan Lingkungan
Kitab Kuning, Pesantren on Line.Com. Situs Komunitas Muslim Indonesia, http://www.pesantren.com/id, 25 Mei
2005.
7
Hasan Mu’arif Ambari,Istiqra’, Suplemen Ensiklopedi Islam, Ibid, 257.
8
Ibid.
Di kalangan ahli usul fiqh, metode induksi (manhaj istqra’iyah) digunakan antara lain, dalam
menetapkan suatu kaedah umum untuk membahas persoalan-persoalan hukum atau menetapkan
hukum fiqh ‘amaly (praktis) : apakah persoalan itu wajib, sunah, mubah, makruh, haram, halal, sah,
batal atau fasid.9 Hukum yang dihasilkan oleh istiqra’ tamm adalah qat’I (pasti, tidak bisa dibantah) dan
hukum dari kesimpulan yang dihasilkan istiqra’ masyhur adalah zanni, sebagaimana hukum yang
terdapat pada kitab-kitab fiqh pada umumnya.10
Metode istiqra’ pada dasarnya merupakan bagian dari kerja Epistimologi,11 yaitu dengan
menjadikan teks al-Qur’an dan Hadis sebagaimana rujukan utama yang otoritatif sebagai landasan
membangun pengetahuan, untuk mendapatkan pengetahuan dari teks ada dua cara, yaitu (1)
berpegang pada teks zahir dan (2) berpegang pada maksud atau sasaran teks. 12
Dalam sejarah pemikiran Islam, kecenderungan epistemologi tekstualis diperlihatkan oleh asSyafi’i (150-204/767-820), sebagai guru arsitek ilmu usul fiqh dan asy-Syafi’i inilah yang disebut-sebut
sebagai peletak dasar epistemologi bayani.13 Adapun kecenderungan yang kedua yaitu berpegang pada
maksud umum teks (maqasid as-Syari’ah) yang berawal dari prakasa Abu Ishaq Asy-Syatibi yang
berpendapat bahwa metode induktif tematik atau Istiqra’ al-ma’nawi adalah salah satu metode yang
paling tepat untuk mengidentifikasikan maqasid asy-Syari’ah,14 yaitu dengan model pengambilan
kesimpulan premis umum dari sekumpulan dalil-dalil nash yang berserakan.15
Prof. Dr. Muh. Zuhri dalam karyanya Telaah Matan Hadis sebuah tawaran metodologi
mengatakan bahwa induksi yang dalam ushul fiqh dikenal dengan ijtihad Istiqra’i adalah sebuah teori
yang menempatkan teks sebagai data empirik yang terbentang bersama teks-teks yang lain agar
“berbicara sendiri” untuk selanjutnya ditarik sebuah kesimpulan.16 Teks yang dimaksudkan az-Zuhri di
sini adalah al-Hadis Nabi SAW.
B. Asal Mula Munculnya Metode Istiqra’i
Pada awalnya para ahli hukum Islam mendefinisikan hukum Islam sebagai ilmu dan hukum Islam
sebagai produk ilmu. Hukum Islam sebagai produk ilmu disebut dengan kumpulan hukum-hukum syara’
yang dihasilkan melalui ijtihad, sedangkan hukum Islam sebagai ilmu didefinisikan sebagai ilmu yang
mengupayakan lahirnya hukum syara’ ‘amali dari dalil-dalil rinci. Hukum Islam sebagi ilmu dibuktikan
9
Ibid.
Fiqh disebut secara umum zanni, karena tidak semuanya demikian. Dalam fiqh juga ada yang qat’i,
terutama yang diistinbatkan dari dalil-dalil qat’i dan disepakati semua mazhab, seperti tentang wajibnya shalat
lima waktu.
11
Epistimologi secara etimologi berasal dari kata Yunani “episteme” yang berarti “pengetahuan”, dan
logos yang berarti “teori tentang”. Secara terminologi epistemologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari
asal mula atau sumber, struktur, metode dan validitas suatu pengetahuan. William James Eare, Introduction to
Philosophy (New York: Toronto, Graw Hill, 1992), 21.
12
Abdul Mughits, Epistimologi Ilmu Ekonomi Islam, Hermenia, Vol. 2, No. 2, (Desember 2003), 185.
13
Epistimologi Bayani pada intinya mempunyai dua ciri 1) kecenderungan pada teks sebagai landasan
pengetahuan dan 2) metode penalaran terhadap perluasan jangkauan teks. Lihat al-Jabiri, Bunyat al-Aql al-Arabi.
Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah Lemudmi al-Ma’rifah fi as-Saqafah al-Arabiyah (Beirut: al-Markaz al-Saqafi’ al-Araby,
1993), 116 – 119.
14
Tentang Maqasid asy-Syari’ah tertuang dalam karya as-Satibi al-muwafaqat fi usul al-ahkam.Jilid 11.
15
Abdul Mughits, Epistimologi Ilmu Ekonomi Islam, ibid, 186.
16
Moh. Zuhri, Telaah Matan Hadits, Sebuah Tawaran Metodologis (Yogyakarta: LESFI, 2003), 139 – 140.
10
dengan karakteristik keilmuan yaitu bahwa hukum Islam (1) dihasilkan dari akumulasi-akumulasi
pengetahuan yang tersusun melalui asas-asas tertentu, (2) pengetahuan-pengetahuan itu terjaring
dalam satu kesatuan sistem dan (3) mempunyai metode-metode tertentu.17
Pengetahuan-pengetahuan dalam hukum Islam meliputi pengetahuan tentang dalil (al-Qur’an,
hadis dan sebagainya), perintah, larangan dan lain-lain. Pengetahuan-pengetahuan ini diakumulasikan
melalui asas-asas tertentu, misalnya asas tasyri’. Pengetahuan-pengetahuan tersebut dapat
diakumulasikan dan disusun dengan baik karena setiap pengetahuan satu sama lain terkait secara
fungsional dalam suatu sistem tertentu. Untuk karakteristik selanjutnya dalam hukum Islam terdapat
beberapa metode, yang metode-metode tersebut tertuang dalam usul fiqh dan qowaid al-fiqhiyah18yang
dalam operasionalnya meliputi :
1. Metode deduktif (Istinbati)yaitu metode penarikan kesimpulan khusus (mikro) dari dalil-dalil
umum. Metode ini dipakai untuk menjabarkan atau untuk menginterpretasikan dalil-dalil alQur’an dan hadis menjadi masalah-masalah usul fiqh.
2. Metode induktif (istiqra’i) adalah metode pengambilan kesimpulan umum yang dihasilkan dari
fakta-fakta khusus. Metode ini juga dipergunakan oleh ahli-ahli fiqh untuk menetapkan suatu
hukum atas masalah-masalah yang tidak disebutkan secara jelas dan rinci atas ketentuannya
dalam nash al-Qur’an dan hadis.
3. Metode genetika (takwini), adalah metode penelusuran atau cara berfikir untuk mencari
kejelasan suatu masalah dengan melihat sebab-sebab terjadinya, atau melihat sejarah
kemunculan masalah tersebut. Metode ini banyak digunakan oleh ulama’ ahli hadis dalam
meneliti status hadis dari segi riwayah dan dirayahnya.
4. Metode dialektika (jadali) adalah suatu metode yang menggunakan penalaran melalui
pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan yang bersifat tesa (tesis-tesis) dan anti
tesis. Kedua pernyataan (tesa dan anti tesa) tersebut kemudian didiskusikan dengan prinsipprinsip logika yang logis untuk memperoleh kesimpulan. Dasar-dasar metode ini banyak ditulis
dalam kitab-kitab Adab al-Ba’ts wa al-Munazarah.
Metode penggalian hukum induktif pada dasarnya sudah dilakukan oleh ilmuan Yunani dulu.
Metode ini diadopsi oleh pemikir-pemikir Islam dari filsafat Aristoteles dengan mengedepankan
rasional-filosofis.
Pemikiran filsafat Aristoteles berkembang di wilayah Islam bagian barat, yang kemudian
dijadikan landasan epistemologi keilmuan, termasuk juga disiplin ilmu hukum Islam. Kerangka berfikir
Aristoteles ini terkenal di dunia Islam dengan istilah nalar Burhani,19 yaitu sebuah pemikiran dengan
17
Taha Jabir Al- Awani, Metodologi Hukum Islam Kontemporer, terj. (Yogyakarta: UII Press, 2001),
Muqaddimah.
18
Ibid.
19
Nalar Burhani adalah metode penalaran Aristoteles beserta seluruh pandangan-pandangan ilmiah
filsafatnya. Dalam keilmuan Islam (klasik) pada dasarnya ada tiga nalar yang menjadi landasan berpijak yaitu nalar
bayani, yaitu menjadikan teks al-Qur’an dan hadits sebagai rujukan utama yang otoritatif sebagai landasan
membangun pengetahuan. Nalar irfani yaitu menjadi metode kasyf (intuisi batin) untuk mendapatkan
pengetahuan. Nalar burhani yaitu berpegang pada kekuatan natural manusia yang berupa indera dan otoritas akal
dalam memperoleh pengetahuan. Lihat Muhammad ‘Abid al-Jabin, Bunyah al-‘Aql al-‘Arab Dirasah Tahliliyah
Naqdiyah li Nuzum al-Ma’rifah ti as-Saqofah al-‘Arabiyah (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-Arabiyah, 1990),
hal. 383 – 384.
mengedepankan logika dalam artian berusaha untuk menganalisis ilmu sampai pada prinsip-prinsip dan
dasar-dasarnya yang terdalam. Adapun untuk mencapai itu terlebih dahulu harus memahami dan
mendalami syllogisme.20 Syllogisme pada dasarnya terdiri dari beberapa propinsi yang disebut dengan
premis mayor, premis minor dan konklusi. Hal ini berarti bahwa penyimpulan yang bersifat konklusif
tidak bisa terjadi apabila hanya terdiri dari satu premis. Disamping itu dua premis tersebut harus
mengandung satu term yang sama.21
Premis-premis dalam syllogisme di atas menurut Aristoteles sebenarnya didapat dengan cara
induktif (istiqra’i) dari realitas empiris yang ada, melalui proses abstraksi. Benda-benda dan peristiwaperistiwa parsial dan empiris pada dasarnya masing-masing memiliki kandungan yang universal, yang
dapat disatukan antara satu dengan yang lainnya yang sejenis. Proses abstraksi ini tidak lain merupakan
hasil dari penalaran akal.
Cara induksi Aristoteles ini pada awalnya muncul berkaitan dengan hukum alam yaitu bertolak
dari pengamatan induktif atas beberapa fenomena yang terdapat di alam, sebelum akhirnya sampai
pada satu kesimpulan umum yang mencakup segenap fenomena partikularitas lainnya. Hukum alam
pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan hukum syari’ah, jadi dalam masalah syari’ahpun bisa
dilakukan hal yang serupa yaitu dengan cara menjadikan nash-nash yang jelas (al-Qur’an dan hadis)
seperti halnya fenomena-fenomena alam yang jelas, yang dinyatakan sebagai satu data dari sekian datadata agama yang tidak bisa diubah atau diganti. Bila tidak ada nash yang jelas maka kewajiban seorang
muslim adalah mencari dan merumuskan satu “dalil” atau pembuktian rasional, yakni dengan cara
meneliti secara induktif (istiqra’) terhadap teks-teks agama, lalu dijadikan premis-premis yang kemudian
digunakan untuk menarik satu kesimpulan hukum.
Dalam pemikiran hukum syari’ah pada awalnya dipelopori oleh Ibnu Hazm, kemudian
dimatangkan oleh Ibnu Rusyd, kemudian dilanjutkan oleh asy-Syatibi dalam kerangka proyek
pembaruannya dalam disiplin usul fiqh. Ibnu Hazm menyatakan bahwa dasar hukum itu hanya ada
empat yakni al-Qur’an, sunah, ijma’ dan ad-dalil (argumentasi akal).22 Ad-dalil yang dimaksudkan Ibnu
Hazm adalah metode penetapan hukum dengan cara meneliti secara induktif teks-teks syari’ah, lalu
menarik satu kesimpulan hukum darinya. Ad-Dalil di sini harus memuat dua premis, yang terdiri dari
empat macam.23 Pertama, dua premis tersebut merupakan teks syari’ah, seperti sabda Nabi “Setiap
yang memabukkan adalah khomr, dan setiap khamr adalah haram”24, maka dapat disimpulkan bahwa
setiap yang memabukkan adalah haram. Kedua, dua premis yang salah satunya merupakan teks syari’ah
dan yang lainnya adalah postulat logika aprion. Misalnya firman Allah “dan (apabila) kedua orang
tuanya yang mewarisi, maka bagi ibu sepertiga” maka teks syari’ah ini menjadi premis minor,
20
Syllogisme merupakan proses penalaran untuk mencapai kesimpulan yang benar.
Term yang sama disebut juga dengan term tengah, misalnya : setiap manusia mati (premis mayor),
Aristoteles adalah manusia (premis minor), maka – dengan term tengah kata “manusia” – konklusinya adalah
Aristoteles akan mati.
22
Agus Moh. Najib, Nalar Burhani dalam Hukum Islam : Sebuah Penelusuran Awal, HERMENIA, Ibid, 234.
23
Ibid.
24
H.R.Muslim
‫ ﻛﻞ ﻣﺴﻜﺮ ﺧﻤﺮ وﻛﻞ ﺧﻤﺮ ﺣﺮام‬.‫م‬. ‫ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﺣﺒﺮﻧﺎ ﻧﺎﻓﻊ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻗﺎل وﻻ اﻋﻠﻤﻪ اﻻ ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻰ ص‬
Lihat : Abu Husain Muslim Ibn Hajjaj al- Qusyairi , Sahih Muslim,(Beirut: Dar al- Kitab al-Ilml ,tt),101
21
sementara premis mayornya adalah ketetapan logika bahwa bilangan menjadi bulat, satu bagian apabila
sepertiga itu ditambah dengan dua pertiga. Maka dengan demikian bila ibu mendapat sepertiga,
sementara ahli warisnya hanya bapak dan ibu, maka bapak menurut logika yang pasti mendapatkan dulu
pertiga.
Ketiga, dua premis yang salah satunya merupakan hasil ijma’ dan lainnya adalah perintah
syari’ah untuk mentaati ijma’ tersebut, maka konklusinya adalah ketetapan ijma’ misalnya ijma’ umat
Islam bahwa darahnya Zaid terjaga karena dia Islam, maka dengan perintah syari’ah untuk mentaati
ijma’ tersebut dapat disimpulan bahwa ijma’ yang menyatakan darahnya Zaid tersebut harus ditaati dan
tidak boleh menyelisihinya.
Keempat, dua premis yang salah satunya merupakan ketetapan syari’ah yang umum, dan yang
lainnya adalah kondisi atau peristiwa spesifik yang merupakan cabang dari ketetapan umum syari’ah
tersebut. Misalnya ketetapan umum syari’ah yang menyatakan bahwa tergugat harus bersumpah
(pembuktian bagi penggugat dan sumpah bagi tergugat) yang menjadi premis mayor, kemudian Zaid
menggugat Umar dalam masalah utang piutang (sebagai premis minor), maka konklusinya adalah Umar
harus memberikan sumpahnya bila menyangkal gugatan itu.
Abu Ishaq asy-Syatibi, seorang ilmuan hukum Islam Andalusia abad 8 H, yang pemikirannya
dipandang sebagai puncak keemasan pemikiran hukum Islam, khususnya dalam bidang ushul fiqh.
Pemikiran metodologi hukum Islam asy-Syatibi terletak pada dua macam metode, yaitu penyimpulan
dengan syllogisme atau al qiyas al jami’ dan metode induksi (istiqra’i) yang keduanya mengacu pada
maqasid asy-syari’ah (tujuan akhir syari’ah). Asy-Syatibi inilah yang mengembangkan sekaligus
mempopulerkan metode induksi (istiqra’i) dalam hukum Islam.
Diriwayatkan bahwa pada masa asy-Syatibi jarang sekali ulama’ yang mendalami bidang ushul
fiqh. Dari kenyataan itulah asy-Syatibi melihat kelemahan institusi fiqh dalam menghadapi
perkembangan sosial yang sering mandek dalam usaha pemecahan hukumnya. Berangkat dari kondisi
yang demikian asy-Syatibi mulai mendalami ushul fiqh dan menyusun bukunya yang terkenal yaitu alMuwafaqat fi Usul asy-Syari’ah.
Karya gemilang asy-Syatibi tersebut merupakan bukti adanya pembaharuan pemikiran dalam
hukum Islam. Karya tersebut muncul sebagai jawaban dari tantangan perubahan sosial yang
menghendaki pemikiran hukum yang sesuai dengan kondisi pada masa itu.
Para ulama’ terdahulu pada umumnya berfikir secara deduktif dalam mengkaji agama, artinya
dalil-dalil dari ayat-ayat al-Qur’an harus ditempatkan sebagai teori, kemudian dinalar secara deduktif,
ditafsirkan dan ditakwilkan sesuai dengan alam pikiran masing-masing ulama’. Semakin luas
pengetahuan seorang ulama’, uraian deduktifnya semakin menarik. Akan tetapi menurut sebagian
ulama’,25 metode tersebut bukanlah cara yang tepat karena pada intinya pemikir-pemikir muslim,
terlebih dibidang teologi dan filsafat dengan metode berfikir deduktif, mereka dalam memahami nash
wahyu dengan membawa bingkai pemikiran tertentu, akibatnya nash wahyu dicocokkan dengan bingkai
tersebut. Hal ini juga sangat memungkinkan terjadi perbedaan pendapat dalam memahami dan
25
Di antara ulama’ yang tidak setuju dengan metode deduktif adalah Ibnu Taymiyah (1262 – 1328 M).
Seorang ulama’ besar yang juga mendalami hukum Islam berpendapat “seharusnya nas tersebut ditempatkan
sebagai data, disuruh berbicara sendiri-sendiri sebagaimana adanya, tanpa dipengaruhi oleh pemerhatinya. Lihat
Dr. Muh. Zuhri Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 138.
menafsirkan nash tersebut, sehingga tidak jarang ketika metode tersebut dihadapkan pada persoalanpersoalan baru yang terjadi hanyalah ketidak pastian hukum.
Abu Ishaq asy-Syatibi dalam hal ini, berupaya untuk merekonstruksi metodologi hukum Islam
dengan meneliti substansi makna yang terkandung dalam suatu gagasan hukum. Menurut asy-Syatibi
atas landasan itulah penyelesaian persoalan-persoalan baru dapat dilakukan. Makna yang terkandung
dalam sesuatu gagasan hukum itulah yang menjadi puncak pemikiran asy-Syatibi yang populer dengan
istilah Maqasid asy-Syari’ah.26 Maqasid asy-Syari’ah di sini merupakan landasan yang paling mendasar
dari ilmu syari’ah, semua penetapan hukum harus merujuk pada maksud dan tujuan akhir yang hendak
dicapai oleh ketetapan dan aturan syari’ah tersebut.
Untuk mengidentifikasi Maqasid asy-Syari’ah (maslahah) tersebut, menurut asy-Syatibi metode
yang paling tepat adalah menggunakan istiqra’ (induksi) yaitu dengan model pengambilan kesimpulan
premis umum dari sekumpulan dalil-dalil yang berserakan. Metode ini pada dasarnya memberi
kebebasan pada akal untuk memahami sebuah nash. Akan tetapi akal di sini tentu saja dibatasi oleh
konsep maqasid atau maslahah yang secara berurutan disebutkan oleh asy-Syatibi yakni maslahah
daruriyah (primer), maslahah hajiyah (skunder) dan tahsiniyah.27
Konsep maslahah yang dicetuskan oleh as-Satibi tersebut tidak lain adalah sebagai titik esensial
atas jawaban apakah hukum Islam itu bersifat immutable atau adaptable.28 Perubahan hukum pada
dasarnya adalah satu refleksi dari perubahan sosial yang kemudian menyuguhkan penggunaan
maslahah sebagai prinsip adaptasi hukum. Dalam analisa asy-Syatibi dalam konsep maslahah pada
dasarnya sangat mempertimbangkan konsekwensinya. Maslahah harus sesuai dengan tujuan penerapan
syari’ah yang secara rinci ditujukan untuk memelihara agama, diri, akal, keturunan dan harta.29
C. Ruang Lingkup Kajian Istiqra’i
Metode istiqrai pada intinya adalah metode berfikir induktif-empiris dalam penetapan hukum
Islam. Hal ini tentu saja berhubungan erat dengan sumber-sumber hukum dalam Islam yakni al-Qur’an
dan al-hadis. Sebagaimana diketahui bahwa cukup banyak teks al-Qur’an dan al-hadis yang hanya
memaparkan norma-norma dan nilai-nilai dasar yang bersifat universal, sehingga untuk memahami teksteks semacam itu diperlukan metode pemikiran tertentu, agar sebuah teks dapat difahami
kandungannya dan dapat diperoleh sebuah ketetapan hukum darinya.
Seperti yang dikatakan oleh asy-Syatibi, bahwasanya metode istiqra’i adalah salah satu metode
yang paling tepat untuk mengidentifikasi maqasid asy-Syari’ah. Metode ini tertuang dalam usul al-fiqh
yang dibutuhkan oleh para mujtahid dalam rangka menjelaskan sekaligus menjawab persoalanpersoalan hukum atau lainnya. Sebab, walaupun umat Islam meyakini bahwa ayat-ayat al-Qur’an (dan
26
Tentang Maqasid asy-Syari’ah dituangkan secara khusus dalam jilid kedua (kitab al-Maqasid) oleh asySyatibi dalam al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam.
27
Maslahah Daruriyyat adalah sesuatu yang mutlak harus ada untuk menopang kehidupan manusia baik
urusan agama maupun keduniaan, dan jika tidak terealisir maka rusaklah tata kehidupan dan merugi di akhirat.
Maslahah Hajjiyat merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan manusia, jika sesuatu itu tidak ada maka manusia
akan kesulitan di alam hidup. Maslahah Tahsiniyyat adalah sesuatu yang bersifat sebagai penyempurna yang
berkaitan dengan penilaian etika dan estetika. Asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam (Mesir, Tnp.tt), Juz III, 8.
28
Zakaria Anshari, Fiqh Profesif, Menjawab Tantangan Modernitas (Jakarta: FKKU PRESS, 2003), 113.
29
Ali Habibulloh, Usul al-Tasyri’ al-Islami (Mesir: Dar al-Ma’rifat, 1383 H/964 M), cet. III, 260.
juga hadis-hadis Nabi yang sahih) mengandung kebenaran mutlak, karena datangnya dari yang absolut
dan mutlak (Allah), namun pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an tidaklah bersifat absolut, akan
tetapi bersifat relatif sesuai dengan sifat relatif manusia itu sendiri.
Dalam metode istiqra’i, yang menjadi obyek kajian adalah teks dan konteks. Teks yang
dimaksudkan di sini adalah mencermati dhahir nash, sedangkan konteks adalah ma’na substansi atau
illat yang terkandung dalam sebuah teks. Makna substansi tidak boleh merusak arti zahir suatu nash,
demikian pula sebaliknya. Sehingga syari’at Islam bisa berjalan secara harmonis, tanpa ada kontradiksi di
dalamnya.
Pemahaman secara teks konteks ini dianut oleh para ulama’ yang beraliran al-Rasikhun.30Aliran
ini menurut asy-Syatibi adalah aliran yang pantas dijadikan rujukan dalam mengetahui maksud al-Qur’an
dan hadits. Dalam hal ini asy-Syatibi menjelaskan pentingnya memperhatikan nash al-Qur’an dan hadits
dari segi zahirnya, sekaligus mempertimbangkan makna tujuan syariat yang terkandung di dalamnya
(makna substansial),31 misalnya larangan memukul orang tua, larangan mengkonsumsi pil ekstasi,
narkoba dan ganja. Larangan-larangan tersebut tidak disebutkan secara eksplisit baik lafadz ataupun
ma’nanya, akan tetapi didapat dari pemahaman ma’na substansial yang terkandung dalam nash alQur’an dan hadis.
D. Contoh Metode Istiqra’i
Cara kerja metode istiqra’i pada dasarnya merupakan bagian dari kerja epistemologi. Cara
kerjanya harus melalui prosedur yang benar. Premis yang menyatakan karakteristik satuan-satuannya
harus dibangun dengan pernyataan yang benar pula. Misalnya ada pernyataan : “Benda padat (seperti :
besi, batu, kayu) memuai bila kena panas”, maka pernyataan itu harus benar-benar teruji kebenarannya.
Dengan demikian apabila diambil kesimpulan : “Semua benda padat memuai bila kena panas”, adalah
betul-betul merupakan kesimpulan yang meyakinkan32.
Menurut asy-Syatibi, prosedur ideal yang harus dilalui dalam penerapan metode istiqra’i agar
diperoleh pernyataan yang meyakinkan dan dapat ditarik kesimpulan yang falid harus memperhatikan
10 variabel (al-ihtimalat al-‘asyrah)33 yaitu : pendapat yang berkenaan dengan kebahasaan, pendapat
yang berkenaan dengan gramatika (tata bahasa), pendapat yang berkenaan dengan perubahan bentuk
kata (tasrif), redaksi yang dimaksud bukan kalimat yang bermakna ganda (ambigu, musytarak), redaksi
yang dimaksud bukan kata metaforis (majaz), tidak mengandung sisipan makna, penetapan sisipan
(domir) yang tepat, pendahuluan dan pengakhiran yang tepat (taqdim wa ta’khir), penelitian tentang
pembatalan hukum (nasakh) dan tidak mengandung penolakan yang logis (‘adam al-muarrid al-aqly).
Dalam hal ini asy-Syatibi mengatakan bahwa jarang sekali bahkan boleh dikatakan tidak ada
suatu pernyataan baik itu ayat ataupun hadits yang secara meyakinkan dinyatakan benar berdasarkan
30
Aliran-aliran yang diikuti para ulama’ dalam usaha menyingkap maqasid asy-syari’ah disebutkan oleh
asy-syatibi di antaranya adalah aliran al-zahiriyun (tekstualis), aliran al-batiniyyun dan al-muta’ammiqun fi al-qiyas
serta al-rasikhun yaitu aliran yang menggabungkan teks dan substansi. Lihat : asy-syatibi, al-muwafaqat fi usul alahkam, (Mesir: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubro, tt), vol II, 274 – 275.
31
Zainul Arifin, Pendekatan dalam Memahami al-Qur’an dan al-Hadis Perspektif asy-Syatibi, AKADEMIKA,
vol. 06, No. 6 (2 Maret 2000), 109.
32
Hasan Mu’arif Ambari,Istiqra’,Ensiklopedi Islam, Ibid, 257
33
Quraisy Shihab, Membumikan Al- Qur’an
seluruh variabel di atas. Karena itu para ahli ushul fiqh hanya mampu mengambil kesimpulan dari
istiqra’i berdasarkan dugaan yang cenderung ke arah kebenaran.
Sebagai contoh yang pernah dilakukan oleh para ahli ushul fiqh, yang mengambil kesimpulan
berdasarkan penelitian istiqra’ bahwa “pada prinsipnya kalimat perintah yang terdapat pada teks (ayat
atau hadis) menunjukkan wajib”34. Kesimpulan ini diambil berdasarkan pada satuan-satuan pernyataan
(premis) berupa :
1. Pernyataan ayat yang menunjukkan bahwa Allah SWT mencela orang yang tidak mengindahkan
apa yang diperintahkan.
2. Pernyataan yang menunjukkan bahwa Allah mengancam orang yang tidak melaksanakan
perintah.
3. Pernyataan Rasulullah berupa perintah atau tindakan memberi contoh yang difahami para
sahabatnya sebagai sesuatu yang wajib dilaksanakan dan anggapan mereka dibenarkan oleh
Rasulullah sendiri.
4. Pernyataan berupa riwayat kebahasaan menunjukkan bahwa fi’il ‘amr (kalimat perintah) itu
menunjukkan wajib kecuali ada indikasi yang menunjukkan makna lain.
Beberapa pernyataan (premis) di atas terlebih dahulu harus dilihat dengan perspektif 10
variabel di atas, setelah teruji kebenarannya dan kebanyakan dari premis di atas mengisyaratkan bahwa
amr menunjukkan makna wajib maka dapat ditarik kesimpulan umum bahwa pada prinsipnya ‘amr
dipergunakan untuk wajibnya sesuatu yang diperintahkan. Kesimpulan umum ini dihasilkan oleh istiqra’
masyhur karena tidak semua premis menunjukkan karakteristik makna yang sama.
Contoh lain pada hukum fiqh “amali” adalah “salat lima waktu hukumnya wajib”35, kesimpulan
ini bukan hanya didasarkan pada satu penggalan ayat saja, karena itu belum cukup untuk menentukan
satu kesimpulan hukum. Hukum wajib shalat dihasilkan oleh penelitian istiqra’i bahwa :
1. Banyak ayat yang mengandung ‘amr untuk melaksanakan shalat.
2. Pujian kepada orang yang melaksanakan shalat.
3. Cobaan dan ancaman bagi yang meninggalkan shalat.
4. Perintah kepada mukallaf untuk melaksanakan shalat dalam keadaan apapun, baik dalam
keadaan damai atau perang dengan cara berdiri, atau jika dalam keadaan udzur boleh dengan
duduk, berbaring atau dengan isyarat.
5. Riwayat secara turun temurun dari Nabi Muhammad SAW hingga kini yang menunjukkan bahwa
umat Islam memelihara pelaksanaan shalat.
Pernyataan 1 – 5 tersebut sudah diuji kebenarannya melalui perspektif 10 variabel di atas.
Ternyata kebanyakan premis tersebut menunjukkan bahwa shalat itu hukumnya wajib. Karena
menyangkut persoalan agama, maka kesimpulan yang diperoleh dari istiqra’ naqis dengan mutu zanni
harus meyakinkan. Disebabkan hal itu mayoritas ahli usul fiqh memperkuat hasil istiqra’i dengan ijma’
umat, sehingga kesimpulan yang dihasilkan tidak mendapat bantahan seperti tidak ada bantahan dari
umat Islam tentang wajibnya shalat lima waktu.
34
35
Hasan Mu’arif Ambari,Istiqra’,Ensiklopedi Islam, Ibid, 257
Ibid,258
Contoh dari penerapan metode istiqra’i pada ayat-ayat al-Qur’an di atas pada dasarnya tidak
jauh berbeda dengan metode yang tergolong baru dalam menafsirkan al-Qur’an yaitu tafsir maudu’i.
Caranya, untuk menafsirkan atau menggali hukum tentang suatu permasalahan (tema) tertentu,
misalnya, “kufur menurut al-Qur’an”, maka terlebih dahulu harus mengumpulkan premis yang berupa
ayat-ayat yang berbicara tentang kufur. Kemudian premis-premis tersebut diteliti dan difahami secara
menyeluruh, dan diambil sebuah kesimpulan.
Download