M. SYAHID JULI ASHARI-FUF - Institutional Repository UIN

advertisement
TEOLOGI AGAMA-AGAMA
DALAM PEMIKIRAN PAUL F. KNITTER
Skripsi
Disusun Oleh:
M. SYAHID JULI ASHARI
NIM. 106032101066
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010
TEOLOGI AGAMA-AGAMA
DALAM PEMIKIRAN PAUL F. KNITTER
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Disusun Oleh:
M. SYAHID JULI ASHARI
NIM: 106032101066
Di Bawah Bimbingan
Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer
NIP: 19510304 198203 1 003
Jurusan Perbandingan Agama
Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta
1431 H./2010 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi
yang
berjudul
“TEOLOGI
AGAMA-AGAMA
DALAM
PEMIKIRAN PAUL F. KNITTER” telah diujikan dalam sidang munaqasyah
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus
pada 16 Desember 2010 di hadapan dewan penguji. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S1) pada Jurusan
Perbandingan Agama.
Jakarta, 16 Desember 2010
Panitia Ujian Munaqasyah
Ketua
Sekretaris
Drs. M. Nuh Hasan, MA
NIP. 19610312 198903 002
Maulana, MA
NIP. 19650207 199903 001
Anggota
Penguji I
Penguji II
Dr. Ismatu Ropi, MA
NIP. 1691115 199503 1 002
Dr. Media Zainul Bahri, MA
NIP. 19751019 200031 21 003
Di bawah bimbingan
Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer
NIP. 19510304 198203 1 003
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji bagi Allah SWT sudah sepantasnya penulis panjatkan
sebagai ungkapan rasa syukur atas segala karunia, rahmat dan nikmat-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta
salam semoga Allah SWT limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta
keluarganya yang telah membimbing dan mengajarkan umat manusia untuk peduli
terhadap keadilan dan pembebasan saudara-saudara kita yang tertindas, agar
tercipta hubungan yang harmonis antara penguasa dan rakyat, kaya dan miskin,
bahkan antar umat beragama.
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat berdiri sendiri tanpa
bantuan sesamanya. Penulis sadar bahwa dalam menyelesaikan penulisan skripsi
ini, banyak pihak yang telah membimbing dan membantu penulis. Oleh karena
itu, ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada pihakpihak tersebut, terutama kepada :
1. Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer sebagai pembimbing dalam penulisan
skripsi ini yang telah banyak meluangkan waktu dan pikiran serta
kesabaran memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis, terutama
mengenai penulisan skripsi yang baik dan benar.
2. Dekan Fakultas Ushuluddin, Dr. Zainun Kamaluddin Faqih, MA; Ketua
Jurusan Perbandingan Agama, Drs. M. Nuh Hasan, MA; Sekretaris
Jurusan, Maulana, MA; serta seluruh civitas akademika Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Sri Mulyati, MA, yang telah memberikan arahan kepada penulis, serta
bersedia menerima penulis untuk konsultasi mengenai proposal skripsi.
i
4. Pimpinan dan staf Perpustakaan STF Driyarkara Jakarta dan STT Jakarta,
yang telah memberikan banyak sumber utama dan informasi terutama
yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
5. Pimpinan Perpustakaan Utama dan FU UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
yang dalam penulisan skripsi ini memberikan andil dalam hal penyediaan
bahan pustaka dan sumber-sumber bacaan untuk kelancaran penulisan
skripsi ini.
6. Ibunda Helida Abbas dan Ayahanda Syahruddin Hasyamin yang penulis
cintai dan hormati sepanjang hidup, dengan rasa cinta dan kasih sayang
mereka secara tulus telah mengurus, membesarkan dan mendidik penulis
hingga hari ini. Munajat doanya di setiap waktu telah memberikan
kekuatan lahir dan batin dalam mengarungi bahtera kehidupan.
7. Siti Mahbubah tercinta yang tak pernah menyerah memberikan semangat
bersaing dan motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Semoga
kita berjodoh di dunia dan akhirat, amin.
8. Adik-adik penulis, M. Syarif Syahruddin, S.Pdi, M. Syafri Syahruddin, M.
Syahrir Syahruddin, dan si kecil Siti Shofia Syahruddin, yang selalu
memberikan motivasi dan keceriaan disaat kejenuhan menghampiri.
9. Teman-teman mahasiswa Juruasan PA angkatan 2006 (Dwi-Q, Jibrun,
Sofyan, Abbas, IskandR, Babeh, Iqbal, Aji Jr., Syamsul BEM, Ay, Nung,
Yuni, Y. Bhakti, Ghoffur, Raja, Ratu, Rudi, Riri dll)
10. Bob Acri dengan lantunan pianis Sleeping Away, suara merdu Phil Collins
dalam You’ll Be in My Heart, dan senandung Negeri di Awan Katon
ii
Bagaskara, yang telah memberikan inspirasi dan kedamaian di saat-saat
penulisan skripsi ini.
11. Pihak-pihak lain yang mungkin belum penulis sebutkan.
Akhirnya penulis hanya bisa berdoa semoga dukungan, bimbingan, perhatian, dan
motivasi dari semua pihak kepada penulis selama perkuliahan sampai selesainya
skripsi ini menjadi amal ibadah dan bisa memberikan manfaat pada penulis
khususnya dan para pembaca karya ini pada umumnya. Amin.
Jakarta, November, 2010 M
Dzul Hijjah 1431 H
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 5
D. Metode Penelitian .......................................................................... 6
E. Sistematika Penulisan ................................................................... 7
BAB II SIKAP TEOLOGIS KRISTEN TERHADAP BERBAGAI AGAMA
LAIN
A. Tipologi Sikap ............................................................................... 8
1. Eksklusivisme ....................................................................... 8
2. Inklusivisme .......................................................................... 12
3. Pluralisme.............................................................................. 16
B. Sikap Gereja Katolik Terhadap Agama-Agama Lain ................... 20
1. Sebelum Konsili Vatikan II .................................................. 21
2. Pasca Konsili Vatikan II ....................................................... 28
BAB III PAUL F. KNITTER
A. Riwayat Hidupnya .......................................................................... 34
B. Karya-Karyanya ........................................................................... 39
iv
BAB IV TEOLOGI
KORELASIONAL
DAN
TANGGUNG
JAWAB
GLOBAL
A. Pandangan Paul F. Knitter Terhadap Agama-Agama Lain .......... 43
1. Model Penggantian ............................................................... 44
2. Model Pemenuhan ................................................................ 48
3. Model Mutualitas ................................................................. 52
4. Model Penerimaan ................................................................ 57
B. Arti Kesetiaan Pada Yesus ............................................................ 67
C. Konvergensi Agama-Agama ......................................................... 77
D. Dialog Korelasional dan Tanggung Jawab Global ........................ 84
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………… 94
B. Saran …………………………………………………………….. 96
DAFTAR PUSTAKA
v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pluralisme 1 agama ̶ sampai detik ini masih memicu pro dan kontra yang
akhirnya menimbulkan perbedaan sikap terhadap gagasan tersebut ̶ merupakan
pandangan yang menerima adanya keragaman 2 kebenaran dan keselamatan agama.
1
Istilah pluralisme perlu dibedakan dengan istilah “Pluralitas” agar tidak terjadi kesalahan
pemaknaan. “Pluralitas” atau dalam bahasa Inggrisnya “plurality” mengandung makna “mayoritas;
jumlah besar,” “keadaan jamak.”
Istilah “pluralisme” sering diartikan sebagai “suatu konsepsi yang menegaskan adanya
pelbagi prinsip, ruang lingkup dan bentuk realitas yang tidak mungkin dikurangi atau dijabarkan lagi.
Pluralisme mengasumsikan terjadinya proses diskontinuitas.” Dalam istilah sosiologi, pluralisme
adalah “keadaan dimana kelompok yang besar dan kelompok yang kecil dapat mempertahankan
identitas mereka di dalam masyarakat tanpa menentang kebudayaan yang dominan.” Sedangkan dalam
perspektif ilmu politik, pluralisme diartikan sebagai “doktrin yang menyatakan bahwa kekuasaan
pemerintahan di suatu negara harus dibagi-bagikan antara pelbagi golongan karyawan dan tidak
dibenarkan adanya monopoli suatu golongan. Adapun dalam istilah filsafat, pluralisme diartikan
sebagai “Pandangan yang menyatakan bahwa realitas tidak terdiri dari satu substansi atau dua
substansi, tetapi banyak substansi yang bersifat independen satu sama lain” (lawan dari monisme).
Lihat Kamus Dwibahasa Oxford-Erlangga. Inggris-indonesia indonesia-inggris (Jakarta: Erlangga,
1993), h. 256., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, cet. 3 (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 641., Peter Salim, Salim's Ninth
Collegiate English-Indonesian Dictionary (Jakarta: Modern English Press, 2000), h. 1106., Suryono
Sukanto, Kamus Sosiologi, cet. 3 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993), h. 329, Save M. Dagun,
Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Cet 1 (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN),
1997), h. 861.
2
Gerald O’Colins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, terj. I. Suharyo (Yogyakarta:
Kanisius, 1996), h. 257.
1
2
Jadi tidak hanya ada satu agama yang benar dan mampu memberikan keselamatan
bagi pemeluknya, namun banyak agama.
Sikap anti (penolakan) terhadap pluralisme memperkeruh hubungan antar
agama yang sedang dalam masa konflik, baik intra maupun lintas agama
(interreligius). Konflik semacam itu, tak jarang kita temui pada bangsa ini. Misalnya,
konflik Poso dan Ambon yang bermula dari konflik politik kemudian diselipkan
sentimen keagamaan yang berupa klaim kebenaran dan keselamatan agama tertentu
adalah contoh konkret tantangan pluralisme di Indonesia. Secara historis, konflikkonflik itu tidak lepas dari pemahaman dan kesadaran masyarakat yang kurang
terhadap pentingnya kerjasama, toleransi, dan hidup berdampingan dengan agama
lain.
Untuk mengatasi masalah tersebut, kesadaran tentang pluralisme harus
ditanamkan sejak dini. Menurut Paul F. Knitter, untuk menciptakan hubungan antar
agama tanpa konflik hanya ada satu jalan, yaitu dengan interreligius dialog.
Paul F. Knitter, seorang teolog Kristen, bukan orang asing bagi mereka yang
selama ini mencurahkan perhatian pada proses dialog antar-iman di Tanah Air,
khususnya dari lingkungan Kristiani. Karya besarnya, No Other Name? (1985), yang
kontroversial sekaligus menjadi survei kritis tentang berbagai paradigma yang
muncul dalam teologi Kristen tentang pluralitas agama-agama. 3
3
Joas Adiprasetya, "Etikosenrisme Hans Kung dan Soteriosentrisme Paul F. Knitter", dalam
Soegeng Hardiyanto, Agama dalam Dialog: Pencerahan, Perdamaian dan Masa Depan. Punjung
Tulis 60 Tahun Prof. DR. Olaf Herbert Schumann (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), h. 145.
3
Praktek dialog antar-iman bagi Knitter bukan sekadar kenikmatan intelektual
semata, melainkan pergulatan yang menyentuh dan mengubah seluruh aspek
kehidupan, yaitu suatu pertaruhan eksistensial yang meminta keterlibatan penuh dan
terbuka bagi transformasi timbal-balik (mutual transformation) para pelakunya.
Di situ terjadi proses perjumpaan suatu keimanan dengan keimanan yang lain
yang kemudian menghasilkan keimanan yang berjalan bersama-sama dan mengalami
transformasi timbal balik. Hal ini yang menyebabkan Knitter dalam perjalanan
rohaninya
berjumpa
dengan
berbagai
tradisi
keagamaan
yang
kemudian
mengubahnya secara radikal: dari seorang misionaris Katolik menjadi pengusung
dialog antar-iman. 4
Fakta sejarah menceritakan bahwa terjadi pergeseran-pergeseran paradigma
teologi Kristiani beberapa abad lalu, pergeseran dari eklesiosentris (teologi yang
berpusat pada gereja) ke teologi agama-agama yang kristosentris (berpusat pada
Kristus), yang diembuskan oleh Konsili Vatikan II, kemudian ke teologi agamaagama yang teosentris (berpusat pada Allah). 5 Umumnya, sejak Alan Race (1983),
4
Perubahan paradigma teologi Paul F. Knitter secara panjang lebar dikisahkan dalam
autobiografisnya yang terdapat dalam Menggugat Arogansi Kekeristenan, terj. M. Purwatman
(Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 23-42, dan Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-Agama dan
Tanggung Jawab Global, terj. Nico A. Likumahua (Jakarta: Gunung Mulia, 2008), h. 1-31.
5
Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, terj. Nico A. Likumahua (Yogyakarta:
Kanisius, 2008), h. 74-91.
4
orang menandai pergeseran-pergeseran itu sebagai pergeseran paradigma dari
eksklusivisme menjadi inklusivisme, kemudian pluralism. 6
Menurut Knitter, pergeseran itu belum memadai dan harus dilanjutkan. Di
sinilah sumbangan utama Knitter. Ia mengusulkan sebuah langkah baru dalam
membangun teologi agama-agama yang pada akhirnya mampu membawa umat
beragama untuk duduk bersama menghadapi masalah-masalah, dalam istilah Knitter,
eko-manusiawi. 7
Indonesia adalah bangsa yang plural, terdiri dari berbagai etnis, suku, bahasa,
dan agama. Hal ini menyimpan potensi konflik yang tinggi. Di samping itu, sikap
terhadap agama-agama lain bermacam-macam, mulai dari yang pluralisme hingga
eksklusivisme. Seharusnya ajaran agama dapat dipahami sebagaimana setiap agama
mengajarkan kepada pemeluknya keharusan menghormati sesama manusia, serta
pentingnya hidup damai dan harmonis di antara sesama. Hal ini yang penulis temui
dalam teologi agama-agama Paul F. Knitter yang berusaha menjawab persoalanpersoalan hubungan antar-umat beragama.
Oleh karena itu, penulis merasa perlu menggali lebih dalam pemikiranpemikiran Paul F. Knitter terutama mengenai teologi agama-agama yang berujung
pada terciptanya dialog antar-iman dengan judul “Teologi Agama-Agama Dalam
Pemikiran Paul F. Knitter”.
6
Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-Agama dan Tanggung Jawab
Global, h.36, atau lihat Alan Race, Christian and Religious Pluralism: Patterns in Christian Theology
of Religions (Maryknoll, New York: Orbis Books, 1983).
7
Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 52-53.
5
B. Rumusan Masalah
Untuk menggali lebih dalam bangunan teologi agama-agama Paul F. Knitter,
penulis merumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: bagaimana
pandangan Paul F. Knitter terhadap berbagai agama yang ada? Jika ada pengakuan
terhadap kebenaran agama-agama lain, apakah hal itu berarti meninggalkan kesaksian
Kristen yang disampaikan Injil dan tradisi melalui Kristus? Adakah konvergensi
agama-agama, dengan kata lain, mungkinkah terdapat semacam esensi bersama atau
pengalaman religius yang sama ataupun suatu tujuan bersama yang jelas dalam semua
agama? Karena konsep teologi agama-agama Paul Knitter tidak terlepas dari, bahkan
menitikberatkan pada upaya terwujudnya dialog antar-umat beragama (interreligious
dialog), timbul pertanyaan; bagaimana konsep dialog antar-umat beragama yang
dapat membawa kedamaian dan keharmonisan di antara sesama?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari pembahasan skripsi ini adalah untuk mengetahui rumusan teologi
agama-agama Paul F. Knitter yang meliputi pandangannya terhadap agama-agama
lain, arti kesetian terhadap Kristus, konvergensi agama-agama, serta konsep dialog
antar-umat beragama.
Adapun relevansinya terhadap kehidupan bangsa Indonesia adalah timbulnya
kesadaran terhadap kebhinekaan masyarakat terutama dalam hal agama, sehingga
tercipta pola hubungan antar-agama yang relasional, dialogis dan peduli terhadap
penderitaan bangsa Indonesia.
6
D. Metodologi Penelitian
Dalam skripsi ini, penulis menggunakan metode riset kepustakaan (library
research), yaitu suatu teknik dengan cara menuliskan data-data yang ada kaitannya
dengan masalah yang sedang diteliti, serta menuliskan data-data dari buku-buku yang
ada relefansinya untuk memperoleh data kepustakaan.
Oleh karena itu penulis menggunakan sumber yang diperlukan, baik sumber
primer maupun sumber sekunder. Adapun sumber primer skripsi ini adalah karyakarya intelektual Paul F. Knitter. Di antaranya, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog
Multi-Agama dan Tanggung Jawab Global, Pengantar Teologi Agama-Agama,
Menggugat Arogansi Kekeristenan, dan Mitos keunikan Agama Kristen. Selain itu,
penulis juga menggunakan karya intelektual penulis lain yang menulis pemikiranpemikiran beliau.
Untuk membahas permasalahan yang ada, penulis menggunakan pendekatan
deskiptif-analitik, yang mana data-data yang diperoleh dijabarkan dan dihubungkan
satu sama lain kemudian penulis menganalisis data-data tersebut guna mendapatkan
gambaran mengenai permasalahan yang dibahas. 8
Dalam Penulisan skripsi ini, Penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
diterbitkan CeQDA (Center For Quality Development and Assurance) (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
8
Lih U. Maman Kh. et. al., Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktik (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2006), h. 29.
7
E. Sistematika Penulisan
Agar skripsi lebih terarah, pembahasan dibagi menjadi lima bab dengan
sistematika sebagai berikut: Bab I, merupakan pendahuluan yang sedikit memaparkan
masalah pluralisme agama di Indonesia yang sering menimbulkan konflik atas nama
agama, serta memuat latar belakang, rumusan masalah, dan tujuan penelitian. Bab II,
berbicara mengenai Sikap Teologis Kristen Terhadap Berbagai Agama Lain yang
terdiri dari dua sub bab, yaitu tipologi sikap, serta sikap Gereja Katolik terhadap
agama-agama lain sebelum dan pasca Konsili Vatikan II. Bab III, memuat biografi
singkat Paul F. Knitter beserta karya-karyanya.
Adapun Bab IV, berisi pembahasan dari permasalahan skripsi ini, yaitu
pandangan Paul F. Knitter terhadap agama-agama lain, arti kesetian terhadap Kristus,
konvergensi agama-agama, serta konsep dialog antar-umat beragama dengan
beberapa analisa yang penulis buat. Ditutup dengan kesimpulan dan saran dalam
Bab V.
BAB II
SIKAP TEOLOGIS KRISTEN
TERHADAP BERBAGAI AGAMA LAIN
A. Tipologi Sikap
Untuk mengetahui sikap umat Kristen terhadap agama-agama lain, perlu
digambarkan terlebih dahulu tipologi sikap beragama secara umum. Paul F. Knitter,
begitu pula John Hick, membagi sikap Kristen terhadap agama-agama lain menjadi
tiga bagian, eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralism. 1 Klasifikasi ini pertama kali
digunakan oleh Alan Race (1983). 2
1. Eksklusivisme
Istilah “eksklusivisme” berasal dari kata
“eksklusif”. Secara
terminologi, eksklusif diartikan sebagai “terpisah dari yang lain”, “khusus”,
atau “tidak termasuk”. Sedangkan “eksklusivisme” dalam perspektif sosial
berarti paham yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dari
masyarakat. 3
1
Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-Agama dan Tanggung Jawab
Global, terj. Nico A. Likumahua (Jakarta: Gunung Mulia, 2008), h.36.
2
Klasifikasi ini dapat juga dilihat dalam buku Alan Race yang berjudul Christians and
Religious Pluralism: Patterns in the Christian Theology of Religions, diterbitkan oleh Orbis Books
pada 1983.
3
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Cet 3 (Jakarta: Balai Pustaka, 1990,) h. 221.
8
9
Adapun Eksklusivisme dalam arti teologis merupakan paham yang
memandang bahwa hanya ada satu agama saja yang mengajarkan kebenaran
dan satu-satunya jalan menuju keselamatan dan pembebasan, yaitu agamanya.
Agama lain dipandang keliru bahkan sesat karena merupakan buatan manusia
atau telah menyeleweng dari Kitab Suci sehingga tidak ada kemungkinan
kompromi dengan kebenaran agama lain. Pengikut-pengikutnya berada di luar
lingkup keselamatan dan tidak ada harapan apa pun bagi mereka. 4
Oleh karena itu, mereka berusaha agar umat beragama lain masuk atau
memeluk apa yang mereka yakini. Eksklusivisme dapat mengambil beragam
bentuk. Ia dapat menekankan nilai penting, keyakinan-keyakinan fundamental
yang membentuk inti keselamatan dan tanpanya orang akan merugi, ia dapat
menekankan sentralisasi suatu institusi keagamaan otoritatif yang kepadanya
orang masuk ke dalam wilayah keselamatan, pada tingkat yang lebih
sosiologis ia dapat menekankan signifikasi kelompok etnisnya sendiri sebagai
titik pijak keagamaan yang benar. Jenis pertama, fundamental agama Kristen
antara tahun 1912-1914 dan melahirkan istilah fundamentalisme; kedua,
menemukan ekspresi klasiknya dalam gagasan bahwa di luar Gereja tidak ada
keselamatan (extra eclesiam nulla salus); dan ketiga, muncul dalam batasan4
Lih John Hick, “Religious Pluralism”, dalam Mircea Eliade, The Encyclopedia of Religion
(New York: Macmillan Library Reverence, 1993), vol 11, h. 331, Frank Whaling, “Pendekatan
Teologis,” dalam Peter Connolly, ed. Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri (Yogyakarta:
LKiS Yogyakarta, 2002,) h. 345-346, ABD. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama;
Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an (Depok: KataKita, 2009), h. 54, Raimundo Pannikar,
Dialog Intrareligius, terj. J. Dwi Helly Purnomo dan P. Puspobinatmo (Yogyakarta: Kanisius, 1994),
h. 18-20.
10
batasan kasta yang dibangun dalam tradisi Hinduisme klasik, dan batasan
etnik yang dibangun dalam Yahudi klasik, sebagai umat pilihan Tuhan (God’s
Chosen People). 5
Menurut Paul F. Knitter, eksklusivisme dalam Kristen memandang
umat beragama lain yang tidak mengenal atau tidak tertarik kepada Kristus
tidak memperoleh keselamatan. Mereka meyakini walaupun Allah adalah
orang tua yang mengasihi dan merangkul semua anak-Nya, Ia sendiri telah
memilih untuk melaksanakan karya penyelamatan-Nya, yaitu mengaku dan
merespon tawaran kasih ilahi, yang tersedia hanya melalui realitas historis
Kristus dan melalui komunitas dimana berita dan kuasa keselamatan ada
dalam Gereja Kristen. 6 Contoh model ini adalah evangelikal konservatif dan
pentakosta yang bercorak eklesiosentris (terpusat pada Gereja) dengan model
kristologis “Kristus bertentangan dengan agama-agama lain.” 7
Dengan demikian, pengakuan terhadap adanya keselamatan dari
agama selain Kristen merupakan suatu tamparan terhadap muka Allah; suatu
penghinaan terhadap apa yang telah dilakukan Allah dalam Yesus. Begitupun
dalam AlKitab, agama-agama selain Kristen dipandang sebagai usaha
manusia yang sia-sia dalam mengenal Allah dan memperoleh keselamatan.
Dikatakan sia-sia karena Allah telah mewahyukan kehendak-Nya hanya,
5
Frank Whaling, “Pendekatan Teologis,” h. 345-346, John Hick, “Religious Pluralism”, h.
6
Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama; Diolog Multi-Agama dan Tanggung Jawab
331.
Global, h. 37-38.
7
Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 35-36.
11
secara eksklusif, dalam dan melalui Yesus Kristus. Dialah satu-satunya
Penyelamat manusia.
Walaupun gereja-gereja eksklusivis berdialog dengan agama lainnya,
tujuannya tidak lain untuk membuat orang bertobat dan menerima kuasa
keselamatan melalui gereja. Menurut mereka, Allah menghendaki Buddha,
Hindu, Islam dan Yahudi menjadi Kristen. Karena hanya ada satu agama yang
benar. Jika orang penganut agama lain tidak mengenal keselamatan melalui
Kristus yang bukan karena kesalahan mereka, itu adalah urusan Allah di alam
Tranhistoris, tugas misionaris adalah mengkristenkan manusia. Tokoh
pendekatan ini antara lain Karl Barth dan H. Kraemer. 8
Sikap ini, menurut Raimundo Pannikar, telah membawa dua dampak
negatif terhadap hubungan antar-agama. Yaitu, pertama, menimbulkan sikap
intoleransi, kesombongan, dan penghinaan terhadap agama lain, kedua, sikap
ini mengandung kelemahan intrinsik karena mengandaikan konsepsi
kebenaran yang seolah logis secara murni dan tidak kritis. 9 Kebenaran kitab
suci diterima dan ditafsirkan secara tekstual, tanpa adanya interpretasi
kontekstual yang melatarbelakangi ayat-ayat eksklusif.
Terlepas dari hal tersebut, sikap ini biasanya memiliki komitmen yang
teguh dalam memelihara keyakinannya. Jadi eksklusivisme tidak selamanya
8
Lih Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 38, Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja, Jilid VII:
Pi-Sek (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005), h. 17, dan Ensiklopedi Gereja, Jilid IV: Ph- To
(Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1994), h. 16.
9
Pannikar, Dialog Intrareligius, h. 19.
12
bisa disalahkan dan dipandang negatif, tetapi sikap tersebut lebih banyak
dipengaruhi minimnya pengetahuan dan pemahaman tentang agamanya,
bahkan sangat terpengaruh terhadap lingkungan sosial dan kultural di mana ia
tinggal.
Jadi eksklusivisme adalah suatu pandangan yang mengklaim bahwa
hanya agama, bahkan alirannya yang benar dan satu-satunya jalan menuju
keselamatan. Agama lain dipandang sesat, tidak ada keselamatan darinya,
dengan begitu ia berusaha untuk memasukkan penganut agama lain ke dalam
apa yang dipahaminya. Eksklusivisme memiliki dampak negatif terhadap
hubungan antar agama, akan tetapi ia juga memilki bentuk-bentuk positif,
terutama terhadap keteguhan memegang kepercayaannya sendiri.
2. Inklusivisme
Menurut John Hick, inklusivisme merupakan suatu pandangan bahwa
tradisi keagamaan lain juga memuat kebenaran religius namun di hari akhir
akan dimasukkan ke dalam posisi yang mereka miliki. 10
Ia menambahkan bahwa inklusivisme merupakan paham bahwa suatu
agama tertentu adalah kebenaran terakhir agama-agama lain. Raimundo
Panikkar berpendapat bahwa walaupun sikap ini lebih toleran terhadap
keyakinan-keyakinan agama lain, pada akhirnya “anda menyatakan sebagai
pemilik kebenaran yang lebih penuh dibandingkan dengan semua orang lain
10
Frank Whaling, “Pendekatan Teologis,” h. 344.
13
yang hanya mempunyai kebenaran-kebenaran parsial dan relative.” 11 Dengan
kata lain kebenaran agama-agama lain adalah sementara, tidak sempurna, dan
mencerminkan adanya kebenaran final dalam agamanya. Oleh karena itu,
melalui agamanya lah penyempurnaan itu terjadi.
Paham ini muncul melalui perjumpaan dengan nilai-nilai dari agama
lain yang menyadarkan bahwa jalan menuju Tuhan tidak terbatas pada agama
tertentu, namun tidak sesempurna agama yang dianutnya. Umat Buddha
sering melihat aspek Dharma yang tercermin dalam agama-agama lain yang
tidak lengkap 12. Kalangan Islam inklusif memandang bahwa agama semua
nabi adalah satu, dimana masing-masing umat telah ditetapkan syari’atnya
menurut situasi dan kondisi zamannya masing-masing. 13
Konsili Vatikan II (Oktober 1962) merupakan awal lahirnya
pengakuan pihak gereja terhadap kebenaran dan nilai-nilai dari agama Hindu,
Buddha, Islam yang sebelumnya tidak pernah diakui dalam satu dokumen
resmi gereja.
Dasar teologis dari inklusivisme terdapat dalam kristologinya yang
bercorak kristosentris, Kristus sebagai pusat keselamatan. Beberapa di antara
mereka memandang bahwa Yesus bersifar konstitutif atas keselamatan.
Maksudnya ialah bahwa tawaran Allah atas kebenaran dan anugerah
11
Pannikar, Dialog Intrareligius, h. 21-22.
12
Hick, “Religious Pluralism”, h. 331.
13
Budi Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta:
Paramadina, 2001), h. 47.
14
penyelamatan telah berlangsung atau telah dimungkinkan oleh kehidupan,
kematian, dan kebangkitan Yesus historis. Jadi, apa pun kebenaran dan
kehadiran Roh dalam agama-agama lain adalah secara anonim bersifat Kristen
(anonymous Christian), Kristen tanpa nama, disebabkan oleh dan diarahkan
ke pemenuhan di dalam Yesus dan umat-Nya. 14 Tokoh yang terkenal dalam
perspektif ini adalah Karl Rahner.
Karl Rahner adalah orang yang telah meletakkan dasar-dasar teologis
bagi pandangan Vatikan II yang baru dan positif tentang agama-agama dunia
lainnya. Ia berpendapat bahwa orang Kristen bukan hanya bisa tetapi harus
menganggap agama-agama lainnya sebagai “sah” dan merupakan “jalan
keselamatan,”
15
dalam istilahnya disebut “Kristen Anonim”, yaitu mereka
yang bukan Kristen yang “diselamatkan” oleh anugerah dan kehadiran Kristus
secara terselubung dalam agama-agama mereka. 16
Jadi ada pandangan bahwa manusia hanya bisa diselamatkan dengan
perantaraan Kristus namun Allah juga ingin menyelamatkan semua orang.
Oleh karena itu orang yang tidak mengenal Kristus memperoleh keselamatan
dari agama-agama mereka sendiri namun tanpa disadari Kristuslah yang
menyelamatkan mereka. 17
14
Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h 39.
15
Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 6-7.
16
Lih Adolf Heuken, Ensiklopedia Gereja, Jilid III,: H-J, Edisi ke-4 ( Jakarta: Yayasan Cipta
Loka Caraka, 2004), h. 111, dan Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 8.
17
Atau dimaksudkan oleh Allah, untuk mencari pemenuhan final dan identitas di dalam
Yesus Kristus. Lih Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja, Jilid VII: Pi-Sek, h. 17.
15
Perspektif kristologis berikutnya ialah Yesus sebagai reperesentative,
wakil, kasih dan kebenaran Allah yang menyelamatkan. Ia bukan penyebab
adanya kasih Allah, sebab kasih adalah bagian dari struktur keberadaan Allah.
Namun Yesus mewujudkan dan menyatakan kasih Allah dan karena itu Dia
mewakili kasih itu yang menyelamatkan secara sepenuhnya di dalam
lingkungan hidup manusia. Aliran ini masih segan mengatakan umat agama
lain, seperti Buddha, sebagai Kristen tanpa nama, mereka lebih cenderung
mengatakan umat Buddha sebagai “Kristen Potensial”, yaitu kebenaran yang
diperoleh umat Buddha diwakili oleh Kristus dan Karen itu memperoleh
kepenuhan di dalam-Nya. 18
Sikap ini membawa individu untuk bersikap toleran terhadap pemeluk
agama lain dan hendak merangkul agama lain dengan cara halus untuk hidup
harmonis di tengah-tengah keragaman. Cara pandang ini memang terbuka
terhadap adanya berbagai jalan menuju Tuhan, tetapi mereka menganggap
jalan yang paling benar atau paling sempurna adalah melalui agamanya.
Panikkar menambahkan, sikap ini juga menimbulkan kesombongan
sebab hanya agama tertentu yang memiliki privilese atas kebenaran yang
mencakup semua. Jadi patokan agamanyalah yang digunakan untuk menilai
agama lain sehingga sikap ini masih menginginkan kelompok lain di luar
agama atau kelompok mereka menempuh jalan yang sama dengan dirinya. 19
18
19
Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 39.
Lih Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, h. 61, dan Pannikar, Dialog Intra
religious, h. 21.
16
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa inklusivisme adalah
paham bahwa semua tradisi keagamaan memiliki jalan keselamatannya
masing-masing. Namun jalan tersebut tidak sempurna, sebab agama yang
dianutnya adalah bentuk pemenuhan/ final dari agama-agama lain.
3. Pluralisme 20
Seperti yang telah disampaikan pada bab sebelumnya, bahwa
pluralisme, yang dimaksud adalah pluralisme agama, adalah suatu pandangan
yang menerima adanya keragaman kebenaran dan keselamatan agama (secara
teologis), suatu paham bahwa tradisi-tradisi keagamaan mengejawantahkan
diri dalam beragam konsepsi mengenai yang sejati (the real) dan memberi
respon terhadapnya, dari sana muncul jalan kultural yang berebeda-beda bagi
manusia. 21
Adapun menurut John Hick, pluralisme adalah “teori bahwa agamaagama besar dunia merupakan konsepsi dan persepsi berbeda dari, dan
tanggapan terhadap, sesuatu yang abadi atau realitas misterius ilahi.”22
Pandangan tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan oleh
20
Raymundo Panikkar lebih sering menyebut paralelisme dari pada Pluralisme, lih Raimundo
Panikkar, Dialog Intra religious, h. 22-24.
21
Frank Whaling, “Pendekatan Teologis,” dalam Peter Connolly, ed. Aneka Pendekatan Studi
Agama, terj. Imam Khoiri, h. 344-345.
22
Hick, “Religious Pluralism”, h. 331.
17
Knitter, 23 bahwa agama-agama lain juga memiliki pandangan dan respons
mereka sendiri yang abash terhadap Misteri ini (Misteri Ilahi). Jadi mereka
tidak perlu dimasukkan dalam kekeristenan (eksklusif dan inklusif). 24
Dengan kata lain, setiap agama memiliki perbedaan dalam rumusan
teologis, doktrin, dan ritual sebagai respon mereka terhadap realitas Tunggal.
Meskipun berbeda, setiap agama memiliki tujuan yang sama, yaitu membawa
para pengikutnya kepada keselamatan akhirat.
Berbeda dengan perspektif mereka berdua, Hick dan Knitter, Panikkar
berpendapat bahwa, semua kepercayaan yang berbeda-beda sesungguhnya
mempunyai kesejajaran untuk bertemu pada eschaton, akhir kehidupan
manusia. Oleh karena itu, setiap agama merupakan jalan-jalan yang sejajar
dan setiap pemeluk agama selayaknya tidak mencampuri, mengklaim sesat
atau merendahkan ketidaksempurnaan, agama lain. 25
Walaupun berbeda perspektif, pluralisme/paralelisme mengindikasikan
adanya fenomena “Satu Tuhan banyak agama” yang berarti suatu sikap
menerima dan menghargai terhadap adanya jalan lain kepada Tuhan, dan ini
merupakan suatu keuntungan yang sangat positif bagi hubungan antar-
23
Dalam Satu Bumi Banyak Agama sikap teologis Knitter tidak lagi pluralis, sebagaimana
yang dapat dilihat dalam No Other Name?. Ia telah beranjak menuju suatu teologi “korelasional.”
Pembahasan tersebut penulis tuangkan dalam bab IV pada sub judul “Pandangan Paul F. Knitter
Terhadap Agama-Agama Lain.”
24
Lih Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, terj. M. Purwatman (Yogyakarta:
Kanisius, 2005), h. 37, dan Satu Bumi Banyak Agama, h. 11.
25
Pannikar, Dialog Intrareligius, h. 22-23.
18
agama. 26 Dengan demikian tradisi-tradisi keagamaan harus dianggap sebagai
alternatif keselamatan di mana atau sepanjang semua manusia dapat
menemukan keselamatan, pembebasan, dan pemenuhan di dalamnya.
Kita menemukan contoh visi keagamaan, baik inklusivis atau pluralis,
yang mampu berkembang dalam masing-masing tradisi agama-agama dunia,
walaupun biasanya tidak sebagai tema sentral. Jadi, dalam bukti baru ini
tertulis bahwa logos yang berinkarnasi sebagai Yesus Kristus, adalah "cahaya
yang mencerahkan setiap orang" (Yoh 1:9). Dalam Bhagavadgita dikatakan
bahwa, "siapapun manusia dapat mendekati saya, bahkan begitu juga saya
menerima mereka, sebab, pada semua pihak, apa pun jalan mereka pilih
adalah milikku/jalanku: (4.11). dan dalam aliran Buddhisme Mahayana,
Bodhisattva
memberikan
diri
"untuk
keselamatan
semua
makhluk"
(Siksasamuccaya 280). Di dalam Alquran (2:115) kita membaca:
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu
menghadap disitulah wajah Allah. sesungguhnya Allah Maha Luas
(rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Penyair sufi muslim, Rumi, menuliskan hal tersebut dari tradisi-tradisi
keagamaan yang berbeda: "lampu berbeda tetapi cahaya kami sama: yaitu
berasal dari luar jangkauan." 27
26
Lih Budhi Munawar, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, h. 51, dan
Pannikar, Dialog Intrareligius, h. 23
27
Hick, “Religious Pluralism”, h. 331-332.
19
Menghadapi pluralitas agama tidak hanya melahirkan sikap eksklusif
dan inklusif, akan tetapi membawa individu kepada suatu paradigma yang
mengakui bahwa jalan menuju Tuhan tidaklah tunggal. Jalan tersebut terdapat
di dalam setiap agama, semuanya bergerak menuju tujuan yang satu, Tuhan.
Tuhan yang satu tidak dapat dipahami secara tunggal oleh umat manusia
karena adanya perbedaan kualitas intelektual dan pencerapan setiap
individu 28. Setiap agama mempunyai jalan keselamatannya sendiri, dan
karena itu klaim kebenaran sepihak (eksklusif), atau yang melengkapi maupun
mengisi jalan yang lain (inklusif), harus ditolak, demi alasan-alasan teologis
dan fenomenologis. 29
Konsekuensi dari paradigma ini adalah pemberian hak yang sama
terhadap semua agama untuk tumbuh dan berkembang termasuk hak pemeluk
agama untuk menjalankan agamanya secara bebas. Dengan begitu diharapkan
tercipta sikap saling mengakui dan saling mempercayai, tanpa ada
kekhawatiran untuk dikonversikan ke dalam agama tertentu. Jadi paradigma
seperti ini tidak menyatakan bahwa semua agama adalah sama (paralel). 30
Sekalipun pluralisme memiliki efek positif bagi kelangsungan
hubungan antar-agama, model ini juga memiliki sisi negatif, terutama
terhadap pengakuan banyak agama yang benar dan relatif. Knitter
berpendapat bahwa pluralisme seringkali terjebak dalam universalisme dan
28
Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme, h. 59.
29
Budhi Munawar, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, h. 48.
30
Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, h. 60.
20
sinkritisme serta tidak jarang para teolog tergelincir dalam imperialisme dan
relativisme. 31
Dari keterangan di atas, penulis menyimpulkan bahwa, Pluralisme
adalah pandangan bahwa semua agama memiliki tujuan yang sama, sebagai
akibat dari respon dan persepsi, walaupun berbeda-beda, terhadap realitas
Ilahi yang satu. Dengan begitu bisa dikatakan bahwa banyak agama yang
benar dan menyelamatkan.
Pluralisme membawa sikap positif bagi hubungan antar-agama yang
saling menerima dan menghargai eksistensi agama-agama lain, akan tetapi
juga berdampak negatif karena pluralisme seringkali terjebak dalam
universalisme dan sinkritisme serta tidak jarang para teolog tergelincir dalam
imperialisme dan relativisme.
B. Sikap Gereja Katolik Terhadap Agama-Agama Lain
Konsili Vatikan II, 8 Desember 1965, disebut sebagai titik tolak sikap Gereja
yang dialogis. Namun hal ini tidak berarti bahwa sebelum konsili Vatikan II sikap
Gereja yang dialogis tidak ada. Menurut penelitian Jean L. Jadot (1983) bahwa sikap
Gereja, melalui pendekatan Paulus dan para rasul lain, mengutamakan dan
31
Lih Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 44-45, dan Togardo Siburian, “Tren-Tren
Teologis dalam Spirit Pascamodernisme” dalam, Jurnal Teologis Stulos (Bandung: Yayasan STT
Bandung, September 2009), h. 142. Ulasan mengenai kritik Knitter terhadap pluralisme penulis bahas
pada bab IV dengan sub judul “Pandangan Paul F. Knitter Terhadap Agama-Agama Lain.”
21
menghargai pribadi-pribadi lain. Hal tersebut merupakan suatu contoh sikap positif
terhadap umat kepercayaan lain. 32
Sikap positif Gereja terhadap agama lain sebenarnya kurang menjadi sikap
yang menonjol dan mendasar. Sebaliknya sikap yang menonjol adalah eksklusivisme,
triumphalisme, dan sejenisnya. Akibatnya Gereja sebelum Vatikan II tampak tertutup
dan kurang memandang positif agama-agama lain.
1. Sebelum Konsili Vatikan II
Telah dikemukakan di atas bahwa sikap Gereja terhadap agama-agama
lain sebelum Vatikan II menunjukkan sikap bersahabat dan tidak
menampilkan agresivitas kekerasan. Sikap ini diwariskan kepada Bapa
Gereja, seperti Ireneus, Origenes, Hippolitus, dan Gregorius Nazianse (sekitar
abad ke-3). Mereka merefleksikan peranan agama-agama non-Kristen dalam
rencana keselamatan universal Allah. 33
Ketika Eropa mulai melakukan ekspansi ke benua-benua baru, sekitar
abad ke-16 dan 17, terjadilah perjumpaan yang intens antara Kristen dengan
agama-agama lain. Pada 1510 kekeristenan masuk ke Goa, pada tahun yang
sama juga sampai ke Congo. Kemudian, Fransiskus Xaverius tiba di Jepang
pada 1549. Perjuampaan Kristen dengan agama dan kebudayaan lain
membuat para misionaris, menurut penulis mereka terpaksa, mengambil sikap
32
Armada Rianto, Dialog Agama Dalam Pandangan Gereja Katolik (Yogyakarta: Kanisius,
1995), h. 23-24.
33
Rianto, Dialog Agama, h. 24.
22
toleran 34 dan merangkul agama dan kebuadayaan pribumi. Tokoh-tokoh
seperti Matteo Ricci di China, Valignano di Jepang, dan De Nobili di India
merupakan tokoh-tokoh yang mengambil sikap positif dan menegaskan bahwa
iman Kristen tidak eksklusif dan tidak mengucilkan apa yang baik dan suci
dari agama serta budaya lain.
Sikap positif Gereja Katolik terhadap agama-agama lain ditegaskan
pula oleh Kongregasi untuk Penyebaran Iman (Propaganda Fide, berdiri pada
1622) dalam surat, dibuat pada 1659, yang memuat norma-norma bagi para
Uskup Eropa yang menadapat tugas memimpin Gereja-Gereja Asia.
Norma-norma tersebut berbicara mengenai desakan untuk tidak
memaksa masyarakat pribumi mengubah ritus-ritus asli, kebudayaan, dan
cara-cara hidup khas mereka, kecuali jelas-jelas bertentangan dengan agama
dan moral. Ditegaskan pula agar tidak memunculkan budaya baru seperti
(sinkritisme) Prancis-China, Spanyol-Philipina, dan Portugis-Indonesia.
Budaya-budaya asli patut dipertahankan dan dilestarikan kerena mengarah
pada benih-benih keselamatan. 35
34
Tolerant atau dalam bahasa Latin Tolerantis berasal dari kata Tolero. Berarti kemampuan
untuk menahan terhadap/ dapat menerima. Toleransi yang dimaksud adalah kecenderungan untuk
sabar menghadapi/ tahan terhadap keyakinan orang lain yang berbeda-beda. Jadi, menurut penulis,
walaupun tidak ada penerimaan terhadap keyakinan orang lain. Namun masih ada sikap menerima
(selain konsep teologis) dan kesediaan bekerja sama dengan umat agama lain. Lih Philip Babcok
Gove, ed., The New Grolier Webster’s International Dictionary of The English Language, Vol II
(Massachusetts: G & C. Merriam Company Publishers, 1960), h. 1035.
35
Rianto, Dialog Agama, h. 24-25.
23
Sikap positif ini kemudian meluntur ketika praktek kolonialisme
dilancarkan, salah satu usahanya ialah mengganti kebudayaan pribumi dengan
kebudayaan Eropa, termasuk agama sehingga pewartaan misionaris identik
dengan invasi kubudayaan Eropa. Ditambah lagi dengan muculnya aliran/ordo
Yansenisme yang mempropogandakan bahwa di luar Gereja tidak ada
keselamatan, dikenal dengan istilah Extra Ecclesiam Nulla Salus yang
mendapat simpati luas pada abad ke-18 hingga 19 36. Dengan demikian, sikap
eksklusivisme Gereja Katolik muncul sekitar abad 18-19 M.
Namun menurut Harold Coward, pertikaian Arius dan Athanasius
mengenai hakikat hubungan antara Allah dan Yesus, yang dimenangkan oleh
Athanasius, bahwa Yesus adalah penjelmaan sejati satu-satunya, merupakan
puncak sikap tertutup dan eksklusif agama Kristen, sebelumnya sikap tersebut
telah dimulai pada masa Gnostik (abad ke-2). 37
Adapun John Hick berpandangan bahwa, sikap eksklusivisme
merupakan fase awal dari perkembangan sikap Kristen terhadap agama-agama
lain, ditandai dengan adanya Konsili Florence (1438-1445) yang menyatakan
bahwa “tidak ada seorang pun yang berada di luar Gereja Katolik dapat
menjadi bagian di dalam kehidupan abadi tetapi mereka akan pergi ke dalam
36
37
Rianto, Dialog Agama, h. 25.
Harold Coward, Pluralisme, Tantangan bagi Agama-Agama, terj. Bosco Carvallo
(Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 84-85.
24
api kekal yang disiapkan untuk setan dan pengikutnya kecuali jika sebelum
akhir hidupnya mereka menjadi anggota Gereja.” 38
Jadi ada tiga pendapat mengenai awal mula sikap eksklusif Kristen
terhadap agama-agama lain, pertama, dimulai pada abad pertengahan ketika
Bangsa Eropa mulai mempraktekkan Kolonialisme (abad ke-16, namun secara
intens terjadi pada abad 18-19), Kedua, dimulai sejak awal perkembangan
agama Kristen ketika berjumpa dengan filsafat Yunani (abad ke-2), dan
ketiga, sejak diadakannya Konsili Florence pada abad ke-15.
Meskipun demikian, menurut Armada Rianto, pendapat pertama
mengenai awal mula sikap eksklusif Kristen dipertegas dan diperkuat oleh
pernyataan bahwa extra ecclesiam nulla salus adalah ungkapan yang berasal
dari Santo Cyprianus (abad ke-3) yang sebenarnya bersifat apologetik dan
bukan eksklusif, akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya ungkapan
tersebut disalahartikan. Sesungguhnya ungkapan Cyprianus tersebut ditujukan
kepada baptisan yang diberikan oleh para bidaah (yang memisahkan dari dari
Gereja yang benar). Ditegaskan bahwa baptisan para bidaah itu sesat dan tidak
membawa kepada keselamatan. Hanya melalui Gereja Katolik yang membawa
keselamatan, “baptisan” di luar Gereja tidak ada keselamatan.
Pandangan tersebut bertolak dari pemikiran bahwa Gereja merupakan
“bahtera” Nuh yang menyelamatkan para penghuni di dalamnya, yang
memisahkan diri dengan sendirinya juga menjauhkan diri dari keselamatan.
38
John Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, terj. Amin Ma’ruf dan Taufik Aminuddin
(Yogyakarta: Dian/ Interfidei, 2006), h. 23-24.
25
Pernyataan serupa juga disampaikan Santo Agustinus yang menyatakan
bahwa “di luar Gereja Katolik ada apa saja, kecuali keselamatan.” Pandangan
tersebut semakin meluas sejak disebarluaskan oleh murid Santo Agustinus,
Uskup Fulgentius (467-533). 39
Menurut John Hick, doktrin extra ecclesiam nulla salus menekankan
bahwa hanya orang Katolik yang dapat diselamatkan. Meskipun demikian,
orang-orang yang bukan Katolik secara metafisis adalah Katolik sebab mereka
mungkin mempunyai iman implisit sebagai ganti iman yang eksplisit. Hal ini
diperkuat oleh pernyataan Sri Paus Pius XI pada 1854, sebagai berikut:
tentu saja itu harus dipegang sebagai persoalan iman bahwa di luar
Gereja kerasulan Roma tidak seorang pun dapat diselamatkan, serta
bahwa Gereja menjadi satu-satunya perahu keselamatan dan siapa pun
yang tidak memasukinya akan binasa dalam banjir. Pada sisi lain,
harus diyakini sebagai hal khusus bahwa siapa pun yang dipengaruhi
oleh ketidakmengertian akan agama yang benar bukanlah orang yang
harus menanggung kesalahan dari permasalahan ini di hadapan Tuhan
jika itu merupakan ketidakmengertian yang tidak terelakkan. 40
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa, umat agama lain selain
Kristen yang tidak mengenal karya penyelamatan Yesus karena informasi
mengenai Dia tidak sampai pada mereka, secara tidak sadar atau secara
implisit adalah Kristen. Hal ini akan kembali dipertegas oleh Rahner dengan
istilah “Kristen Anonim.”
39
Rianto, Dialog Agama, h. 26.
40
Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, h. 26-27.
26
Menurut Walter Kasper bahwa ungkapan extra ecclesiam nulla salus
pada awalnya tidaklah eksklusif. Ungkapan tersebut hanyalah sebagai “pagar”
bagi kesatuan dan persatuan umat Kristen yang pada masa itu mulai goyah.
Dengan kata lain ungkapan extra ecclesiam nulla salus digunakan untuk
mencegah keluarnya umat Kristen dari ajaran yang benar (Gereja Katolik) dan
untuk meyakinkan kesesatan pandangan-pandangan para bidaah dan kaum
gnostis.
Diketahui bahwa pada masa itu Bapa Gereja hanya mengenal satu
Gereja yang benar, Gereja Katolik. Adapaun Fulgentinus adalah Uskup
Rospe, Afrika Utara dan murid setia Santo Agustinus yang dikenal sebagai
penentang kuat aliran sesat Arianisme. Kemudian pada 1442 dalam Konsili
Florence ungkapan extra ecclesiam nulla salus pertama kali, dalam
dokumennya, ditujukan kepada orang kafir atau, secara khusus, orang yang
sesat dalam beriman Kristen sebagai apologetika, bukan kepada orang
beragama lain. 41 Dengan demikian wajar jika ungkapan tersebut dimunculkan.
Namun, seperti yang telah disebutkan bahwa dalam perjalanan
sejarahnya, ungkapan tersebut disalahartikan. Penafsiran mengenai di luar
iman Kristus atau bahkan di luar Gereja Katolik tidak ada keselamtan semakin
meluas, terutama setelah ditemukannya benua-benua baru sekitar abad ke-15.
Oleh karena itu, para misionaris meyakini bahwa memenangkan jiwa-jiwa
yang dipandang celaka karena tidak mengenal Kristus merupakan tugas mulia.
41
Rianto, Dialog Agama, h. 26-27.
27
Menurut Aloysius Pieris bahwa semangat misionaris pada waktu itu
bukanlah eksklusif, akan tetapi lebih kepada kesadaran dan tanggung jawab
besar terhadap keselamatan orang kafir dan tidak bersifat negatif bahwa di
luar Gereja tidak ada keselamatan. Dengan begitu dasar pewartaan para
misionaris adalah berdasarkan cinta kepada Kristus dan kemiskinan rohani
orang-orang kafir. 42
Jadi dapat disimpulkan bahwa sikap Gereja terhadap agama-agama
lain sebelum Konsili Vatikan II adalah bersahabat dan toleran, meskipun ada
ungkapan bahwa umat non-Kristen, walaupun tidak mengenal Yesus dan
Gerejanya bukan karena kesalahan mereka, memiliki keterarahan pada Kristus
(inklusivisme). Munculnya ungkapan extra ecclesiam nulla salus pada
awalnya dimaksudkan untuk membentengi kesatuan dan persatuan umat
Kristen yang pada masa tersebut mulai goyah akibat munculnya para bidaah
yang digolongkan sebagai kaum gnostis. Seiring dengan jalannya waktu,
terjadi salah penafsiran terhadap ungkapan tersebut, terutama ketika
ditemukannya benua-benua baru dan kolonialisme, menjadi tidak ada
keselamatan pada agama-agama lain. Hal ini berlangsung hingga Konsili
Vatikan II yang merubah sikap eksklusivisme Gereja menjadi lebih terbuka
terhadap agam lain, inklusif.
42
Rianto, Dialog Agama, h. 27.
28
2. Pasca Konsili Vatikan II
Sikap Gereja terhadap agama-agama lain pasca Konsili Vatikan II
tidak jauh berbeda dari apa yang dirumuskan dalam Nostra Aetate seperti
yang terungkap dalam NA 2:
Gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci dalam
agama-agama. Gereja memandang dengan penghargaan yang tulus
cara hidup dan cara bertindak, peraturan dan ajaran agama-agama itu,
yang biarpun dalam hal banyak berbeda dengan apa yang dipahami
dan diajarkan Gereja, toh tidak jarang memantulkan cahaya
Kebenaran, yang menerangi semua manusia.” 43
Penilaian teologis mengenai tradisi agama-agama berangkat dari
prinsip bahwa semua manusia diselamatkan oleh dan dalam Kristus. Berikut
adalah beberapa ayat yang berbicara mengenai hal tersebut:
Allah menghendaki semua manusia diselamatkan. Rencana
keselamatan Allah itu sudah mulai sejak awal penciptaan. Sebab
penciptaan sendiri merupakan pencetusan awal keselamatan. Setelah
manusia jatuh ke dalam dosa, janji keselamatan Allah kepada semua
manusia diwartakan. Dan janji keselamatan Allah itu terpenuhi dalam
diri Kristus. Allah Putra yang menjelma menjadi manusia. Yesus
Kristuslah Sang Penyelamat satu-satunya yang dengan wafat di salib
menuntaskan karya penyelamatan Allah bagi manusia. Yesus Kristus
mati di salib sebagai tebusan bagi semua orang.
(1 Tim 2:3-7)
43
Lih Riyanto, Dialog Agama, h. 83, dan Dokumen Konsili Vatikan II, terj. R. Hardawiryana
(Jakarta: Yayasan Obor, 1993), h. 310, dan Deklarasi Vatikan II: Asas Pendidikan Kristen, Sikap
Gereja Terhadap Agama-Agama Bukan Kristen, Kebebasan Beragama (Ende: Arnoldus Ende Flores,
1966), h. 32.
29
“Maka Kristus adalah Penebus dan Penyelamat bagi semua orang.”
(Kis 2:38; 4:12; 10:43)
Dalam Perjanjian Baru, Mazmur dan Amsal terbitan Lembaga Alkitab
Indonesia 44 disebutkan bahwa “…Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya
sebagai tebusan bagi semua manusia.” (1 Tim 2: 5-6) dan dalam Kisah Para Rasul
pasal 4 ayat 12 yang menyatakan bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan
keselamatan, menurut penulis, adalah tanda bahwa sebenarnya Allah menginginkan
semua manusia selamat melalui peran Kristus. Akan tetapi, tidak semua manusia
mengenal Kristus sebagai penyelamat, sehingga Kasih Allah yang universal
bertentangan dengan peran Yesus yang partikular. Hal tersebut memicu perdebatan di
kalangan teolog Kristen. Inilah yang berusaha dijawab oleh Gereja Katolik Roma
dengan teori “iman implisit” atau “Kristen Anonim” Karl Rahner.
Gereja memandang setiap tradisi-tradisi keagamaan merupakan
ungkapan hasil rahmat Allah. Sebagaimana yang diajarkan oleh Bapa Gereja,
seperti Ireneus dan Clemens dari Alexandria yang meyakini bahwa Allah juga
menyatakan diri-Nya di luar kekeristenan. Namun pernyataan Allah tersebut
tidak sempurna seperti dalam kesempurnaan iman Kristen. Sebab Kristus
adalah pemenuhan definitif Wahyu Allah, maka tradisi-tradisi keagamaan
memiliki keterarahan kepada Kristus. 45
44
Lih Perjanjian Baru, Mazmur dan Amsal, cet ke-3 (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia,
2008), h. 319.
45
Riyanto, Dialog Agama, h. 84-85.
30
Inilah yang disebut oleh Karl Rahner sebagai Kristen Anonim atau
dalam istilah Gereja “Iman implisit”, yaitu iman yang disatu pihak perlu bagi
keselamatan ̶ sejauh memenuhi syarat yang dituntut pembenaran dan
keselamatan kekal, yaitu pengharapan dan cinta kasih kepada Tuhan dan
manusia ̶ tetapi dilain pihak iman itu tercetus tanpa hubungan eksplisit dan
sadar atas imannya kepada Kristus. 46 Dengan kata lain iman implisit adalah
kesaksian atas Tuhan Yang Maha Kuasa tanpa pengakuan Kristus sebagai juru
selamat.
Istilah imam implisit atau Kristen anonin tidak tertulis dalam
dokumen-dokumen konsili Vatikan II, akan tetapi istilah tersebut tersirat
dalam beberapa dokumennya, antara lain: Lumen Gentium, seterusnya
disingkat menjadi LG (konstitusi dogmatik tentang Gereja) 13, mengenai
hubungan antara Gereja sebagai sakramen keselamatan bagi seluruh manusia
dengan agama-agama lain pada umumnya, LG 16, tentang keterarahan mereka
yang belum menerima Injil kepada Umat Allah yang baru dalam Kristus
sebagai kepalanya, LG 17, berisi penetapan Kristus sebagai dasar
penyelamatan seluruh dunia oleh Allah di satu pihak dan semakin tidak
sedikit/banyak manusia yang belum mengenal Kristus di pihak lain, Gaudium
et Spes (konstitusi pastoral tentang Gereja dalam dunia modern) 22, tentang
partisipasi semua manusia dalam misteri Paskah Kristus, dan Nostra Aetate
(deklarasi hubungan Gereja dengan agama bukan Kristen) 2 yang berisi
46
Riyanto, Dialog Agama, h. 86-87, Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, h. 30, dan Knitter,
Satu Bumi Banyak Agama, h 39.
31
mengenai nilai-nilai keselamatan yang hadir dalam tradisi-tradisi keagamaan
lain. 47
Dengan demikian Gereja mengakui bahwa iman implisit atau Kristen
anonim dapat menjadi syarat yang cukup untuk keselamatan. Sebab mereka
yang bukan karena kesalahnnya sendiri tidak mengenal Injil Kristus serta
Gereja-Nya, tetapi dengan hati yang tulus mencari Allah, serta karena
terdorong oleh rahmat dengan perbuatan mereka berusaha memenuhi
kehendak Allah yang dikenal melalui suara hatinya, mereka itu dapat
memperoleh keselamtan abadi. Sungguh apa yang benar dan baik dari agamaagama lain dipandang oleh Gereja sebagai persiapan akan Injili. 48
Istilah “persiapan Injili” (preparation Evangelica) pertama kali
dicetuskan oleh Eusebius dari Cesarea yang dimaksudkan sebagai paham
mengenai apa-apa yang baik, benar, dan suci dari agama-agama lain.
Persiapan Injili adalah ide-ide yang baik dan benar mengenai Allah, jiwa
manusia serta kebenaran-kebenaran yang ditampilkan dalam berbagai ritual
keagamaan. Persiapan Injili merangkum pengertian dan praktik hubungan
antara Allah dengan manusia serta hubungan antara manusia yang dikatakan
dapat menjadi persiapan yang tepat untuk wahyu Injili.
Persiapan Injili juga mencakup keyakinan-keyakinan bahwa sejarah
manusia selalu ada dalam bimbingan Allah. Allah mendidik manusia dalam
sejarahnya agar manusia siap menerima Wahyu Kristus. Agama-agama lain
47
Riyanto, Dialog Agama, h. 86.
48
Riyanto, Dialog Agama, h. 91.
32
disebut sebagai persiapan akan Injili, bila sejauh agama tersebut mengajarkan
ajaran-ajaran yang membuat para pemeluknya terbuka akan kebenaran Injil. 49
Oleh karena itu, Gereja mengajak umatnya agar melalui dialog dan
kerja
sama
dengan
para
penganut
agama
lain,
memelihara
dan
mengembangkan hal-hal yang baik, spiritual dan moral, maupun nilai-nilai
sosio-kultural yang terdapat di kalangan orang-orang tersebut. Gereja pun
berusaha membina dan memelihara hubungan baik dengan kepercayaankepercayaan lain demi kepentingan seluruh umat manusia, mengutuk keras
tindakan diskriminasi kepada siapa pun, karena hal itu bertentangan dengan
semangat Kristus. 50
Dari keterangan di atas, penulis menyimpulkan bahwa sikap Gereja
terhadap agama lain pasca Konsili Vatikan II lebih terbuka, dialogis dan telah
benar-benar menghilangkan sikap eksklusif mereka. Hal tersebut ditandai
dengan dikeluarkannya dokumen Nostra Aetate yang berisi sikap Gereja
terhadap agama non-Kristen. Jika diperhatiakn, sikap toleran Gereja terhadap
agama lain pasca Konsili Vatikan II tidak jauh berbeda dari sebelumnya .
Kristus merupakan kepenuhan dari agama
-agama lain , dengan kata lain ,
agama-agama yang bukan Kristen ̶ walaupun eksistensinya diakui oleh
Gereja ̶
49
50
memerlukan Kristus sebagai jalan Final menuju keselamatan,
Riyanto, Dialog Agama, h. 92.
Deklarasi Vatikan II: Asas Pendidikan Kristen, Sikap Gereja Terhadap Agama-Agama
Bukan Kristen, Kebebasan Beragama, h. 32-37.
33
meskipun mereka tidak menyadari kehadiran Kristus sebagai iman implisit
maupun sebagai Kristen anonim.
BAB III
PAUL F. KNITTER
A. Riwayat Hidupnya
Paul F. Knitter lahir pada 25 Februari 1939 di Chicago. 1 Pada usianya
yang ke-13, ia mulai menjalani kehidupan kependetaan Katolik. Pada tahun 1958
setelah empat tahun belajar di seminari ditambah dua tahun novisit, Knitter resmi
menjadi anggota “Divine Word Missionaries” (SDV, singkatan dari Societas
Verbi Divini) sebagai seorang misionaris. Hal tersebut merupakan fase awal dari
kehidupannya yang dipengaruhi oleh keberadaan agama lain terutama setelah ia
mempelajari “adaptasi misioner”, yaitu proses mencari titik persamaan agama
Kristen dengan agama lain 2 sebagai langkah awal misi pertobatan. Setelah meraih
gelar sarjana muda filsafat dari Divine Word Seminary pada 1962, ia mulai
merasakan bahwa model Kristen yang eksklusif sebagai terang dan agama lain
sebagai kegelapan tidak sesuai dengan kenyataannya. 3
Knitter melanjutkan studinya di Pontifical Gregorian University, Roma,
pada 1962, bertepatan dengan diselenggarakannya Konsili Vatikan II 11 Oktober
1962. Pada 1965 Karl Rahner menjadi guru besar tamu di Universitas Gregorian
1
Paul F. Knitter, artikel
diakses pada 03 Juni 2010 dari situs resmi
Union Theological Seminary New York, http://www.utsnyc.edu/Page.aspx?pid=381
2
Bagi Knitter adaptasi missioner merupakan langkah awal untuk mengakui nilai-nilai
positif dari agama-agama lain. Hal ini, pada perkembangan selanjutnya, sangat mempengaruhi
perspektif teologisnya.
3
Lih Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 4-6, Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi
Kekeristenan, terj. M. Purwatman (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 29-31.
34
35
tempat Knitter menuntut ilmu. Melalui gagasan-gagasan Rahner, sikap teologis
Knitter terhadap agama lain mulai bergeser dari eksklusivisme menjadi lebih
terbuka terhadap agama lain, inklusivisme. Setelah memperoleh gelar lisensiat
bidang teologi di Roma (1968), ia melanjutkan studi ke Universitas Münster,
Jerman (1972) dibawah bimbingan Karl Rahner dengan tesis berjudul “Sikap
Katolik Terhadap Agama-Agama Lain”. Karena ada kesamaan judul dengan
disertasi orang lain di Roma, ia disarankan untuk menulis hal yang sama dalam
sudut pandang Protestan Kontemporer.
Akhirnya Knitter pindah ke Universitas Marburg, Jerman (1972) di bawah
bimbingan Prof. Carl Heinz Ratschow, Penasehat bantuan dari Prof. Rudolf
Bultman, dengan judul disertasi “Menuju Suatu Teologi Agama-Agama
Protestan”. Hal tersebut menjadikannya sebagai orang Katolik Roma pertama
yang mendapatkan gelar Doktor Teologi dari Departement of Protestant Theology
dari University of Marburg. 4
Pada 1972 Knitter mulai mengajar mata kuliah teologi agama-agama di
Teologi Union Katolik (Catholic Theological Union), Chicago, sebagai asisten
profesor studi doktrinal. Pada 1975 ia keluar dari SDV dan pindah ke Universitas
Xavier, Cincinnati, Ohio dan mengajar studi yang sama. Dari mata kuliah yang
diajarkannya dan perjumpaan dengan orang beragama lain yang lebih baik dari
orang Kristen yang dikenalnya, Knitter merasakan jembatan Rahner mulai goyah.
4
Lih Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 6-8, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h.
31-34. dan Paul F. Knitter, http://www.utsnyc.edu/Page.aspx?pid=381
36
Oleh karena itu ia mulai mencari pedoman/perspektif baru dalam memandang
“sesuatu yang religius” di luar teori Kristen anonim Rahner.
Di antara sekian banyak pedoman yang dipercaya dan berani yang
digunakannya tercermin dalam dua tokoh, Raimundo Panikkar dan Thomas
Merton sebelum akhirnya ia membaca buku Hans Küng, On Being a Christian
(1976). Menurt Knitter, kritik Küng terhadap teori Kristen anonim telah
membuatnya keluar dari jembatan Rahner, akan tetapi ia tidak sependapat dengan
Küng, dan itu dianggapnya salah, ialah mengenai finalitas Kristus. Pada 1985
Knitter menulis buku No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes
toward World Religions sebagai survei kritis atas sikap Kristen.
Sebelumnya pada 1984 ia dan istrinya, Cathy, menjadi anggota “Santuary
Movement”, yaitu suatu organisasi oikumenis dari berbagai gereja dan sinagoge
yang memberi bantuan dan tempat perlindungan bagi para pengungsi korban
perang El Savador, Amerika Tengah. Dari kegiatan organisasi ini, Knitter
mengunjungi El Savador dan Nikaragua dengan membawa misi kemanusiaan. Di
sana ia menyaksikan langsung bagaimana penderitaan yang dialami masyarakat El
Savador. Oleh karena itu, bagi Knitter teologi pembebasan bukan saja sebagai
“metode baru”, tetapi suatu pemahaman baru tentang agama dan kesetiaan sebagai
murid Yesus dengan mendahulukan mereka yang tertindas sebagai tuntutan. Hal
ini berpengaruh terhadap cara berteologinya di mana ia tidak dapat menjalankan
teologi agama-agama kecuali ada kaitannya dengan teologi pembebasan. 5
5
39.
Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 8-12, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 34-
37
Knitter telah menggabungkan dua teologi yang berbeda, teologi agamaagama dan teologi pembebasan yang ia sebut sebagai teologi korelasional yang
bertanggung jawab secara global. Hal ini membuat Harvey Cox memberikan
apresiasi penuh terhadap langkah Knitter dalam menyatukan teologi yang tampak
berbeda tersebut, bahwa keprihatinan terhadap mereka yang menderita (Suffering
Others) dan terhadap mereka yang berkeyakinan lain (religious Others)
merupakan keprihatinan bersama, keduanya saling membutuhkan dan akan
timpang dan tidak efektif jika salah satunya ditiadakan. 6
Hal tersebut mempengaruhi tulisannya, Toward a Liberation Theology of
Religions, dalam buku yang ditulis Knitter bersama John Hick dan beberapa
teolog untuk melihat sejauh mana pengaruh pluralisme di antara para teolog
Kristen dengan judul The Myth of Christian Uniqueness: Toward a Pluralistic
Theology of Religions (1987). 7
Sebagai salah satu anggota Dewan Penyantun CRISPAZ (Umat Kristen
untuk perdamaian di El Savador), Knitter aktif dalam berbagai kelompok
perdamaian dan keadilan di Cincinnati. Ia telah mengunjungi El Savador dan
Nikaragua selama musim panas 84, 85, 86, 88, 90, 91 dan Januari 95, 96 untuk
mempelajari situsi politik dan kehidupan gereja-gereja disana. 8
Pada 1991 Knitter mengunjungi India selama lima bulan cutinya. Di sana
ia menemukan bahwa dialog dan pembebasan harus merupakan dua segi dari
6
Harvey Cox dalam “Pengantar”, Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h.
7
Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 11-12, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 39.
8
Paul F. Knitter, http://www.utsnyc.edu/Page.aspx?pid=381
14-15.
38
agenda yang sama. Hal ini telah berlangsung di India, diantara umat Hindu,
Kristen dan Muslim yang bersatu memerangi penindasan selama berabad-abad.
Disamping hal tersebut, ia juga belajar bahwa penderitan bukan hanya meliputi
manusia, tetapi semua makhluk lainnya termasuk bumi. Senada dengan Hans
Küng mengenai etika global, bahwa keprihatinan bagi suatu dialog harus
dipadukan dengan keprihatinan terhadap keadilan. Dengan kata lain, dialog antaragama harus memasukkan masalah etis di balik penderitaan manusia dan bumi
sebagai agenda yang paling mendesak. 9
Pada 2002 Knitter menjadi Profesor Emeritus Teologi di Xavier University
sebelum ia bergabung dengan Uni Theologi Seminary, New York pada 2007.
Sebagian besar penelitian dan tulisan Knitter berkaitan dengan pluralisme agama
dan dialog antar-agama.
Sejak menulis buku No Other Name? (1985), Knitter telah menjelajahi
bagaimana
komunitas
beragama
di
dunia
dapat
bekerja
sama
dalam
mempromosikan kesejahteraan manusia dan ekologi, hal tersebut ia tuangkan
dalam buku One Earth Many Religions: Multifaith Dialogue & Global
Responsbility (1995) dan Jesus and the Other Names: Christian Mission and
Global Responsibility (1996), dan survei kritis tentang pendekatan Kristen
terhadap agama lain: Introducing Theologies of Religions ( Orbis Books, 2002).
Pada 2005, Knitter mengedit buku mengenai eksplorasi antar-agama dengan The
Myth of Religious Superiority (Orbis Books). Saat ini proyek tulisannya
9
42.
Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 14-15, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 39-
39
dijadwalkan dipublikasikan pada awal tahun 2009, adalah Without Buddha I
Could Not Be A Christian: A Personal Journey of Passing Over and Passing
Back. 10
B. Karya-karyanya
Karya-karya intelektual Knitter yang berupa buku kurang lebih berjumlah
15 buah, sedangkan yang berbentuk artikel berjumlah sekitar 53 11. Karya-karya
intelektual Paul F. Knitter yang terpenting terutama yang berkaitan dengan
pluralisme dan dialog antar-agama adalah, Towards a Protestant Theology of
Religions (1974), merupakan karya pertama Knitter yang berupa disertasi
mengenai teologi agama-agama dalam sudut pandang Protestan. Hal ini
menjadikannya sebagai orang Katolik pertama yang mendapatkan gelar Doktor
Teologi dari Departement of Protestant Theology dari University of Marburg.
Selain itu, No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes
toward World Religions (1985) juga termasuk karya monumentalnya, merupakan
survey kritis mengenai sikap Kristen terhadap agama-agama lain. Buku ini ditulis
setelah Knitter merasa perlu dan harus melampaui inklusivisme Rahner dan Küng.
Ada pun The Myth of Christian Uniqueness: Toward a Pluralistic
Theology of Religions (1987), merupakan kumpulan tulisan mengenai tinjauan
para teolog terhadap pluralisme. Buku ini diedit oleh Kintter dan John Hick, ia
10
Paul F. Knitter, artikel diakses pada 03 Juni 2010 dari
http://www.utsnyc.edu/Page.aspx?pid=381
11
Untuk lebih jelas, lih Paul F. Knitter, dalam Union Theological Seminary of New York
http://www.utsnyc.edu/Page.aspx?pid=381
40
sendiri menulis dalam buku tersebut sebuah judul, yaitu “Toward Liberation of
Religions” yang merupakan konsep awal teologi korelasional dan bertanggung
jawab global, perpaduan antara teologi agama-agama dengan teologi pembebasan.
Pada 1990, Knitter menulis sebuah buku yang berjudul Buddhist
Emptiness and Christian Trinity Essays and Explorations (1990). Buku tersebut
merupakan editan Knitter bersama Roger Corless. Pada tahun yang sama ia
bersama John B. Cobb, Jr., Monika Hellwig, dan Leonard Swidler menulis buku
yang berjudul Death or Dialogue: From the Age of Monologue to the Age of
Dialogue (1990), yang berisi tentang perkembangan dan pentingnya dialog antaragama. Selain itu, ia juga menulis mengenai pluralisme dan tantangan terhadap
teologi agama-agama yang dikarang oleh beberapa teolog dengan judul Pluralism
and Oppression: Theology in World Perspective (1990) diedit oleh Knitter pada
tahun yang sama.
Buku Knitter yang cukup populer, diterbitkan dalam berbagai bahasa,
salah satunya berbahasa Indonesia adalah One Earth Many Religions: Multifaith
Dialogue and Global Responsibility (1995). Buku tersebut diterbitkan oleh BPK
Gunung Mulia pada 2008 dengan judul Satu Bumi Banyak Agama: Dialog MultiAgama dan Tanggung Jawab Global. Buku ini berisi mengenai hubungan antar
agama yang tidak hanya pada tataran intelektual dan spiritual, akan tetapi berbagai
agama yang berbeda bersama-sama menaggapi penderitaan eko-manisiawi dalam
praksis pembebasan, dimulai dengan dialog yang korelasional.
Selanjutnya Jesus and the Other Names: Christian Mission and Global
Responsibility (1996), merupakan tantangan kristologi Kristen mengenai misi dan
41
respon Gereja/Kristen terhadap dunia global. Buku ini merupakan kelanjutan dari
One Earth Many Religions dan lebih menitikberatkan pada masalah kristologi.
Diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Menggugat Arogansi
Kekeristenan oleh penerbit Kanisius, 2005.
Setahun kemudian, Leonard Swidler dan Paul Mojzes menjadi editor buku
The Uniqueness of Jesus: A Dialogue with Paul Knitter (1997), buku ini berisi
tentang lima Thesis Knitter terhadap keunikan Yesus beserta tanggapan dari para
teolog. Pada 2005, Knitter mengedit buku mengenai eksplorasi antar-agama
dengan dengan judul The Myth of Religious Superiority.
Karya terakhir Knitter sebelum ia mengeluarkan buku Without Buddha I
Could Not Be A Christian: A Personal Journey of Passing Over and Passing Back
pada awal 2009 adalah Introducing Theologies of Religions (2002). Buku tersebut
merupakan revisi dari No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes
toward World Religions (1985), berupa deskripsi mengenai model sikap Kristen
terhadap agama-agama lain dengan tambahan satu model baru yang disebut model
pemenuhan (teologi korelasional).
BAB IV
TEOLOGI KORELASIONAL DAN TANGGUNG JAWAB GLOBAL
Pada bab sebelumnya, penulis telah memaparkan bagaimana pergeseran
paradigma teologi Knitter, diawali dengan paradigma eksklusif dengan perspektif
kristologi eklesiosentris ketika ia bergabung dengan SDV, kemudian inklusifkristosentris, dan akhirnya pluralis yang teosentris saat pengaruh mereka yang
berkeyakinan lain dan mereka yang menderita semakin kuat. Namun menurut Knitter,
pergeseran tersebut belum memadai dan harus dilanjutkan.
Knitter telah menggabungkan dua teologi yang berbeda, teologi agama-agama
dan teologi pembebasan, yang disebut sebagai teologi korelasional dan tanggung
jawab global. Hal ini membuat Harvey Cox memberikan apresiasi penuh terhadap
langkah Knitter dalam menyatukan teologi yang tampak berbeda tersebut, bahwa
keprihatinan terhadap mereka yang menderita (Suffering Others) dan terhadap
mereka yang berkeyakinan lain (religious Others) merupakan keprihatinan bersama,
keduanya saling membutuhkan dan akan timpang dan tidak efektif jika salah satunya
ditiadakan. 1
Alasan Knitter menggabungkan teologi agama-agama dengan teologi
pembebasan adalah pertama, agama berperan penting dalam menghasilkan
1
Harvey Cox dalam “Pengantar”, Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, terj. M.
Purwatman (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 14-15.
42
43
transformasi sosial dan politik. Pembebasan ekonomi, politik, dan sosial merupakan
tugas yang sangat berat bagi satu bangsa, budaya, maupun agama. oleh karena itu,
gerakan pembebasan membutuhkan bukan hanya satu agama, tetapi berbagai agama
dalam suatu kerja sama lintas budaya, antar agama dalam praksis pembebasan.
Kedua, dialog antar agama tidak hanya terjadi di tataran teologis. Namun juga
mengharapkan aksi berbagai agama terhadap penderitaan yang dialami manusia,
seperti kemiskinan dan ketidakadilan, serta terhadap penderitaan bumi yang
diakibatkan oleh ulah manusia sendiri 2.
Adapun
unsur-unsur
penting
dalam
teologi
korelasional
dan
bertanggungjawab secara global yang penulis bahas adalah pemahaman tentang
agama-agama lain, pemahaman tentang kesetiaan kepada Kristus dan titik temu
(konvergensi) agama-agama, kesemuanya itu berujung atau tertuju pada dialog antaragama dan tanggung jawab global.
A. Pandangan Paul F. Knitter Terhadap Agama-Agama Lain
Salah satu tugas yang paling mendesak yang dihadapi teologi Kristen hari ini
adalah memberikan laporan tentang eksistensi dan vitalitas baru dari agama -agama
lain ̶ dengan kata lain , suatu teologi agama-agama dunia. Jika peran teologi adalah
untuk memfokuskan terang Kitab Suci dan tradisi sejarah berlangsung pada
pengalaman manusia, maka pengalaman baru dari pluralisme agama menuntut
2
Paul F. Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama”, dalam John Hick & Paul F.
Knitter, ed. Mitos keunikan Agama Kristen (Jakarta: PT PBK Gunung Mulia, 2001), h. 276-279.
44
semacam interpretasi terhadap kekristenan. 3 Untuk itulah, Knitter berusaha menafsir
ulang doktrin-doktrin Kristen agar dapat “berjalan bersama” dengan agama lain.
Sebelum membahas perspektif Knitter terhadap agama-agama lain, ada
baiknya penulis mendeskripsikan secara ringkas beberapa model teologi agamaagama Kristen menurut Knitter. Dalam perspektif teologis Kristen terhadap agamaagama lain (teologi agama-agama), Knitter membagi empat model pendekatan, yaitu:
1. Model Penggantian
Model penggantian menghormati perbedaan yang ditemui dalam
agama-agama lain, namun tujuannya menghilangkan dan menggantikannya
dengan tradisi Kristen (eksklusivisme). Agama Kristen diciptakan untuk
menggantikan semua agama lain. Sikap ini juga dominan dan pada umumnya
dianut sepanjang sebagian besar sejarah agama Kristen.
Di dalam model ini, Allah menghendaki hanya satu agama, yaitu
agama Kristen. Kasih Allah memang universal untuk semua orang, namun
kasih itu diwujudkan melalui komunitas Yesus Kristus yang partikular dan
singular. Model ini terutama dianut oleh komunitas Kristen beraliran
Fundamentalisme atau Evangelikalisme. 4
Dalam menganalisis model penggantian, Knitter membaginya ke
dalam dua bagian, penggantian total dan parsial.
3
Paul F. Knitter, No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes toward World
Religions (Maryknoll: Orbis, 1985), h. 17.
4
Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, terj. Nico A. Likumahua (Yogyakarta:
Kanisius, 2008), h. 21.
45
a. Penggantian Total
Model ini menganggap bahwa ada yang kurang, atau
menyimpang, di dalam agama-agama lain. Dengan kata lain, tidak ada
nilai dalam agama-agama lain. Sikap semacam ini masih dianut oleh
banyak gereja fundamentalis dan sebagian gereja Pentakosta. 5 Salah
satu tokohnya adalah Karl Barth 6 (1886-1968).
Model penggantian total menganggap bahwa di dalam agamaagama lain tidak ada nilai, tidak ada kehadiran Allah. Agama-agama
lain dianggap buatan manusia sehingga menjadi penghalang, 7 bukan
5
6
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 25.
Dasar pemikiran Barth tertuang dalam perkataannya “Biarlah Tuhan menjadi Tuhan – di
dalam Yesus Kristus”. Ia berpendapat bahwa berdasarkan kitab-kitab Injil dan surat-surat Santo
Paulus, manusia tidak sanggup bertindak sendiri tanpa Allah. Agar hal itu dimungkinkan, manusia
harus membiarkan Allah menjadi Allah.
Bagi Barth, hal tersebut terkandung dalam Perjanjian Baru, khususnya yang diberitakan Santo
Paulus dan para Revormator yang dijelaskan dalam empat “hanya”, yaitu: pertama, “Kita diselamatkan
hanya oleh rahmat”. Menurut Barth, ketika kejatuhan manusia (dosa asal), manusia akan selamanya
menderita kecuali ia mengakui adanya satu “Kekuasaan yang Lebih Tinggi”, disebut rahmat; kedua,
“Kita diselamatkan hanya oleh iman”, agar bias menerima rahmat, kita harus mundur, keluar dari jalan
yang salah, dan mengakui ketidakmampuan kita menuntun kehidupan kita sendiri. Namun, hal ini bisa
dilakukan hanya kalau percaya; ketiga, “Kita diselamatkan hanya oleh Kristus”, dan keempat, “Kita
diselamatkan hanya oleh firman Tuhan”. Dengan begitu, hanya umat Kristen lah yang selamat dari
penderitaan karena telah memenuhi syarat empat “hanya” di atas. Lih Knitter, Pengantar Teologi
Agama-Agama, h. 26-27.
7
Menurut Barth, semua agama pada dasarnya sama yaitu, sama-sama menghalangi yang
Ilahi, termasuk Kristen. Karena agama adalah ketidakpercayaan, tepatnya di dalam agama dan karena
agama, manusia tidak percaya dan tidak membiarkan Allah menjadi Allah di dalam Kristus. Jadi tidak
ada bukti empiris yang menunjukkan bahwa Kristen lebih baik dari pada yang lain. Akan tetapi,
46
saluran, kasih Allah. Dalam istilah teologi, tidak ada wahyu maupun
keselamatan di dalam agama-agama lain.
Atas dasar itu umat Kristen, dengan model penggantian total,
tidak memungkinkan untuk berdialog dengan agama-agama lain,
bahkan Barth melarang para misionaris mencari titik temu di dalam
agama-agama lain. Kalau pun ada, dialog antara umat Kristen dengan
umat beragama lainnya hanya berupa usaha memahami agama-agama
lain secara mendalam agar bisa menggantikan agama-agama itu
dengan agama Kristen. 8
Dalil yang sering digunakan untuk memperkuat paham mereka
adalah :
“dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di
dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang
diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kis
4; 12).
“Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang
pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh 14:16). 9
menurut Barth, Kristen merupakan agama yang benar karena merupakan satu-satunya agama yang
sadar akan kepalsuan dirinya dan juga tahu betul bahwa umatnya diselamatkan melalui Yesus Kristus.
Lih Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 28-29.
8
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 29
9
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 29-31.
47
b. Penggantian parsial
Model ini lebih halus dalam memandang agama-agama lain,
perbedaannya dengan pergantian total terletak pada masalah wahyu.
Menurut mereka yang beraliran penggantian parsial bahwa wahyu
Allah ada dan tersebar dalam agama-agama lain yang disebut sebagai
“wahyu/ rahmat penciptaan” atau “wahyu umum”.
Jadi dalam model ini, agama-agama lain bukan “buatan
manusia”, seperti yang dikatakan Barth, tetapi agama-agama lain itu
dikehendaki oleh Allah, mereka adalah “wakil” Allah, “alat” Allah di
mana Allah menjalankan rencana ilahinya. Dengan kata lain, Allah
berbicara kepada umat beragama lain melalui agama mereka masingmasing. 10
Meskipun wahyu Allah ada pada agama-agama lain, Allah
tidak memberi keselamatan di dalam agama-agama lain dengan alasan
kesaksian Perjanjian Baru yang menyatakan bahwa keselamatan
dibawa dan diperkenalkan hanya oleh Yesus Kristus, dan bukti yang
berasal dari agama-agama itu sendiri, yaitu bahwa agama-agama lain
tidak membiarkan Allah bekerja sebagai Allah. Maksudnya ialah
agama-agama lain berusaha dengan berbagai cara dan tingkatan
10
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 37-40.
48
menyelamatkan diri mereka sendiri tanpa mengakui atau menyadari
karya Allah melalui Kristus. 11
Berkaitan dengan sikap teologis agama Kristen dengan agamaagama lain, model ini menyetujui adanya dialog. Namun, dialog pada
akhirnya sampai pada perbedaan yang jelas-jelas berbeda antara
agama Kristen dengan agama-agama lain. Hal ini yang menjadikan
dialog bukan hanya saling berbagi informasi atau menyelesaikan
masalah-masalah sosial, tetapi juga membicarakan apa yang menjadi
kendala dalam hubungan antar agama, yaitu klaim kebenaran. Dengan
begitu dialog menjadi ajang kompetisi suci, di mana setiap agama
berusaha membuktikan bahwa dirinya lebih mampu menerangi
kehidupan, menjawab berbagai masalah hidup dan kebutuhan rohani
manusia. 12
Meskipun kedua model pergantian di atas berbeda, keduanya tetap
bersikukuh bahwa tidak seorang pun akan diselamatkan kecuali mereka yang
berada dalam hubungan khusus dengan Yesus dan injilnya.
2. Model Pemenuhan
Model pemenuhan merupakan satu langkah ke depan dalam usaha
agama Kristen membangun satu pemahaman yang berimbang tentang agama11
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 40-44.
12
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 45-46.
49
agama lain. Model ini menawarkan satu teologi yang dapat memberikan bobot
yang sama kepada dua keyakinan dasar Kristen yaitu, bahwa kasih Allah itu
universal, diberikan kepada semua bangsa, namun kasih itu juga partikular
yang hanya diberikan secara nyata di dalam Yesus Kristus.
Model pemenuhan mewakili pandangan mayoritas umat Kristen saat
ini, yaitu gereja-gereja “aliran utama”: Lutheran, Reformasi, Methodis,
Anglikan, Ortodoks Yunani, dan Roma Katolik. 13 Mereka percaya bahwa
agama-agama lain memiliki nilai, Tuhan ada pada mereka, dan umat Kristen
perlu berdialog dengan mereka, bukan sekedar memberitakan Injil. 14
Meskipun
demikian,
terdapat
keterbatasan
dalam
model
ini.
Pandangan yang menyeimbangkan pengakuan kehadiran Tuhan di dalam
agama-agama lain dan kehadiran Tuhan yang khusus melalui Yesus tidak
dapat diperjelas lagi, sebab kalau beranjak terlalu jauh (menuju pluralisme,
menurut penulis), identitas Kristen akan hilang, keunikan Yesus sebagai
penyelamat manusia dan inkarnasi Tuhan tidak berarti. 15 Jadi model
pemenuhan mengakui adanya kebenaran dan keselamatan dalam agamaagama lain, namun agama-agama tersebut memiliki keterarahan kepada
Kristus melalui Gereja (inklusivisme).
13
Pembahasan model pemenuhan memfokuskan pada komunitas Kristen yang pertama kali
mengembangkan model ini, yaitu Gereja Roma Katolik.
14
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 73.
15
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 73-74.
50
Karl Rahner dianggap sebagai tokoh yang membuka hubungan yang
dialogis dengan agama-agama lain (lihat bab II). Masalah utama teologi
agama-agama Rahner berkaitan dengan Kasih Tuhan, di mana Rahner
menjelaskan implikasi Kasih Tuhan bahwa kalau Tuhan mau merangkul dan
menjangkau semua orang dan makhluk hidup dengan kasih-Nya, Tuhan akan
bertindak melakukan apa pun agar maksud-Nya tercapai. Menurut Rahner,
tindakan yang Tuhan lakukan adalah, Ia menyatakan diri-Nya kepada semua
orang dengan memampukan tiap-tiap orang mengalami realitas –damai,
penguatan, ketertarikan, perhatian ̶
dari kehadiran Tuhan. Dengan begitu
Allah mengaruniakan rahmat keselamatan kepada setiap manusia. Kalau
tidak, berarti Tuhan tidak mengasihi tiap-tiap orang. 16
Rahner mengungkapkan arti Tuhan itu kasih dengan keyakinan bahwa
rahmat, atau kehadiran Allah penuh kasih, merupakan bagian dari tiap kodrat
manusia. Oleh karena itu, rahmat harus selalu diwujudkan dalam bentuk
materi, yaitu agama. kemudian ia menambahkan satu keyakinan Kristen ke
teologi agama-agamanya sehingga menjadi teologi Kristen, yaitu bahwa
semua rahmat adalah anugerah Kristus. 17
16
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 79-80.
17
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 80-84.
51
Berbeda dengan penganut Evangelikal yang meyakini bahwa Yesus
merupakan sebab efisien, 18 Rahner berkeyakinan lain, bahwa Yesus
merupakan sebab final, yaitu bahwa mereka yang tidak mengenal Yesus
masih bisa merasakan kasih Allah yang menyelamatkan, namun belum
mampu melihat dengan jelas arah dan tujuannya (belum sempurna). 19
Atas dasar itu, setiap umat Buddha, Hindu, dan Islam yang
mengalami rahmat kasih Allah di dalam agama mereka maing-masing, sudah
terhubung dengan Yesus yang adalah representasi dari tujuan rahmat kasih
Allah yang Maha Sempurna.
Mereka, komunitas yang memberitakan berita baik Yesus sepanjang
sejarah, yang “dianugerahi” juga telah terorientasi pada gereja Kristiani,
mereka dapat dikatakan sudah menjadi Kristen tanpa nama, atau umat Kristen
anonym. 20
18
Artinya bahwa siapa saja yang tidak mengenal Yesus, tidak akan merasakan kasih Allah
yang merangkul dan menyelamatkan.
19
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 85.
20
Menurut Knitter bahwa pandangan Rahner tentang Kristen anonim hanya ditujukan untuk
kalangan Kristen dengan tujuan agar umat Kristen terbebas dari pandangan negatif tentang mereka
yang berada di luar gereja dan memampukan umat Kristiani untuk menyadari bahwa Tuhan bisa
memanggil siapa pun untuk mengikuti Kristus, di mana pun dan kapan pun Ia kehendaki. Jadi Rahner
tidak menghendaki umat Kriatiani mengatakan kepada mereka yang beragama Buddha atau Islam telah
berada di dalam lingkungan Kristen. Lih Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 85-86.
Menurut penulis, maksud Knitter dengan pandangan Rahner mengenai Kristen anonim adalah
mereka yang berada di luar gereja Roma Katolik, sebab Rahner berbicara sebagai seorang teolog
Katolik. Namun perspektif ini perlu dikaji lebih dalam lagi.
52
Berbeda dengan model penggantian, Bagi model pemenuhan, berbagai
perbedaan yang diterima umat Kristen dalam agama-agama lain harus diberi
nilai, dihormati dan dipelajari, namun yang terpenting dalam model ini adalah
kesamaan yang bisa dijumpai oleh umat Kristen dan umat agama-agama lain.
3. Model Mutualitas
Model mutualitas lebih berpihak pada kasih dan kehadiran Allah yang
universal di dalam agama-agama lain dari pada kehadiran Tuhan yang khusus
melalui Yesus. Umat Kristen yang menganut model mutualitas merasa bahwa
teleskop teologis tradisional yang menganggap agama-agama lain sebagai
agama
yang
akhirnya
harus
digantikan
(model
penggantian)
atau
disempurnakan (model pemenuhan) oleh agama Kristen sama sekali tidak
menunjukkan apa yang sebenarnya ada di dalam agama-agama lain maupun di
dalam Injil Yesus. Oleh karena itu, mereka menolak model-model yang
mapan ini. Jadi, mereka sedang mencari jalan yang dapat menghindarkan
mereka dari apa yang disebut sebagai pemahaman Kristus dan agama Kristen
yang “absolut” (di mana Kristus merupakan satu-satunya Juru Selamat dan
Kata akhir) dan yang bisa membawa mereka ke sesuatu yang bersifat “rendah
hati.” 21
21
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h.129.
53
Bagi model ini, dialog dengan agama-agama lain merupakan satu
kewajiban etis, sebab dialog merupakan bagian mutlak dari kewajiban
mengasihi sesama. Oleh karena itu, apa yang dijumpai umat Kristen di dalam
berbagai tradisi agama lain yang begitu luas bukan hanya keragaman tetapi
mitra dialog yang potensial. Atas dasar itu, hubungan lebih penting dari pada
pluralitas. Hubungan tersebut harus mutual, artinya hubungan dan percakapan
dua arah yang memungkinkan kedua belah pihak saling berbicara dan
mendengarkan, terbuka untuk belajar dan berubah. 22
Untuk menciptakan kesetaraan dalam dialog, menurut model
mutualitas, dibutuhkan sebuah “keseimbangan kasar” di antara agama-agama.
Maksudnya adalah semua agama memiliki “hak sederajat” untuk berbicara
dan didengarkan, berdasarkan nilai yang melekat pada mereka tanpa adanya
superioritas, final, atau absolut pada salah satu agama. Jika demikian perlu
pemahaman baru mengenai keunikan Yesus agar dialog dapat terus
dipertahankan.
Dalam usaha membina dialog yang setara, model ini tetap memelihara
keragaman dan perbedaan yang nyata di antara berbagai agama yang ada. Jadi
pendapat yang menyatakan bahwa semua agama secara esensial sama atau
22
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h.130.
54
hanya berbicara yang sama perlu dihindari. Namun, harus ada sesuatu yang
sama di antara agama-agama sehingga memungkinkan adanya dialog. 23
Model ini telah melampaui apa yang dikenal sebagai model
penggantian (eksklusivisme), dan telah menyeberangi jembatan kaum gereja
Katolik dengan model pemenuhan (inklusivisme). Citra yang sering
digunakan penganut model mutualitas untuk menggambarkan berbagai
implikasi dari prospek mereka adalah “menyeberangi sungai Rubicon.” 24
Ada tiga jembatan yang berbeda, namun tetap saling mengisi, yang
merupakan isyarat bagi umat Kristen untuk menyeberang ke model
mutualitas, 25 yaitu:
a. Jembatan Filosofis-Historis
Jembatan ini bertumpu pada dua pilar: keterbatasan historis
dari semua agama 26 dan kemungkinan filosofis bahwa ada satu
Kenyataan Ilahi di balik dan di dalam semua agama. Tokoh yang
23
24
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 130-132.
Sungai yang memisahkan kekuasaan Romawi dengan wilayah lain. Ungkapan ini
menggambarkan keberanian Julius Caesar memasuki medan/ wilayah baru yang penuh dengan
berbagai kemungkinan baru maupun ketidakpastian baru. Lih Knitter, Pengantar Teologi AgamaAgama, h.133.
25
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h.133.
26
Umat beragama hanya mampu memahami fenomena dari Yang Nyata, tetapi tidak mampu
memahami Yang Nyata dalam dirinya sendiri atau nomena-Nya. Inilah yang disebut relativisme
historis. Dengan demikian, tidak ada satu agama pun yang dapat menganggap kebenaran penuh, final,
dan tak tersaingi tentang Yang Ilahi karena pengetahuan manusia secara historis maupun sosial
terbatas. Lih Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 135-139.
55
terkenal dengan perspektif ini adalah John Hick dengan teori “revolusi
Kopernikus”. Singkatnya, menurut Hick bahwa pusat religious semua
agama yang memungkinkan terciptanya dialog yang setara bukanlah
gereja (eklesiosentris), bukan pula pada Kristus (kristosentris),
melainkan pada Allah (teosentris).
Sadar bahwa citra Allah sering kali diartikan “buatan agama
Kristen”, dan juga Islam, serta agama-agama seperti Buddha tidak
berbicara tentang Allah atau suatu Makhluk Ilahi, Hick kemudian
memakai istilah “yang Nyata” atau yang “benar-benar Nyata” sebagai
pusat semua agama. 27
b. Jembatan Religius-Mistik
Berbeda
dengan
jembatan
filosofis-historis,
pendekatan
religious-mistik menekankan bahwa apa yang terdapat di pusat tiap
agama (Yang Ilahi) adalah sesuatu yang jauh melampaui semua yang
dirasakan atau dinyatakan manusia baik individu maupun kelompok.
Yang Ilahi lebih dari pada apa yang diketahui agama namun
justru hadir dalam pengalaman mistik semua agama. Oleh karena itu,
Yang Ilahi tidak boleh dibatasi oleh perspektif manusia, biarkanlah
27
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 134-135.
56
Yang Ilahi beragam seperti halnya agama. Salah satu tokoh yang
terkenal dengan pendekatan ini adalah Raimundo Pannikar. 28
c. Jembatan Etis-Praktis
Kebanyakan agama mampu membangun jembatan ini, yaitu
pengakuan bahwa kemiskinan dan penderitaan yang merusak
kemanusian dan bumi ini merupakan keprihatian semua agama. Semua
agama terpanggil untuk mengatasi berbagai penderitaan ini, yang
kalau dilaksanakan secara serius akan memampukan mereka mengakui
bahwa dialog yang lebih efektif di antara mereka perlu dilakukan.
Salah satu tokohnya adalah Thomas Berry. Ia berpendapat
bahwa kepedulian bagi kesejahteraan planet ini merupakan kepedulian
yang diharapkan dapat membawa berbagai bangsa dan agama ke
dalam komunitas antar bangsa dan antar agama. 29
Bertindak bersama-sama memampukan agama-agama untuk
saling mengenal dengan baik. Dengan adanya tanggung jawab
terhadap dunia dan penderitaan manusia, agama-agama berkesempatan
untuk memahami baik dirinya sendiri maupun sesama. Oleh karena
28
Menurut Pannikar, walaupun perbedaan agama tak terbandingkan, ada satu Roh yang
menggerakkan dan hidup di antara kepelbagaian itu, ia juga yakin bahwa ada kemungkinan dan
kebutuhan untuk menghubungkan, atau membangun relasi di antara berbagai agama. Pannikar secara
eksplisit mengatakan bahwa ada koeksistensi damai di antara agama-agama yang dengan saling
berhubungan, melalui dialog, mereka akan menemukan dan memperluas identitas mereka masingmasing. Lih Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 149-150.
29
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 160-164.
57
itu, masalah penderitaan dunia dan manusia merupakan asas bersama
dalam dialog agama-agama. 30
4. Model Penerimaan
Model ini merupakan reaksi terhadap kekurangan model-model
sebelumnya; model penggantian dan pemenuhan lebih menekankan
partikularitas satu agama sehingga validitas agama-agama lain hancur, model
mutualitas lebih menitikberatkan pada universalitas dari semua agama
sehingga menutupi perbedaan partikularitas yang ada. 31
Bagi model ini, perbedaan antar agama bukan hanya pada bahasa,
melainkan, lebih jauh lagi, menyangkut tujuan terakhir dan “pemenuhan”
dalam setiap agama. Agama-agama bukan hanya berbeda dalam bentuk, tetapi
juga berbeda dalam tujuan dan keselamatan. Sebagai contoh, apa yang
diartikan oleh umat Buddha dengan pencerahan dalam tingkat kebahagiaan
yang non-persona jelas-jelas berbeda dengan apa yang umat Kristen artikan
dengan persekutuan dengan Tuhan yang penuh kasih, keduanya merupakan
titik-tujuan yang berbeda, dua “pemenuhan” yang berbeda, karena hal tersebut
merupakan dua realitas yang berbeda. 32 Umat Buddha tiba di Nirwana, umat
Kristen tiba dalam persekutuan dengan Tuhan, mereka semua bahagia. Oleh
30
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 165.
31
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 205.
32
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 227-228.
58
karena itu, perbedaan bukan hanya sesuatu yang bisa diterima secara
temporer, tetapi sesuatu yang ingin diterima secara permanen.
Salah satu tokoh dari pendekatan ini adalah S. Mark Heim. Ia
mengusulkan satu konsep bahwa semua agama yang berbeda-beda
memimpikan dan berusaha mencapai salvations, bukan salvation, bahwa ada
lebih dari satu keselamatan di antara berbagai agama. 33 Jadi, usaha yang
dilakukan teolog penganut model mutualitas untuk mencari persamaan atau
satu tujuan yang sama di antara berbagai agama, bahwa walaupun agamaagama berbeda, semua agama memiliki satu tujuan yang sama (Yang Nyata),
harus dihindari.
Selain mengakui bahwa tujuan akhir (eskatologis) tiap agama berbedabeda, Heim menambahkan bahwa mungkin saja ada lebih dari satu Wujud
Ilahi (Devine Being) atau Tuhan. Perbedaan agama terjadi karena adanya
perbedaan Tuhan. Untuk menjelaskan maksud tersebut kepada umat Kristen,
Heim menggunakan kerangka teologi tradisional Kristen, bahwa Tuhan
berbentuk Tritunggal. 34 Hal ini berarti bahwa semua umat beragama harus
33
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 228.
34
Melalui wahyu Yesus sebagai Kristus dan di dalam apa yang dialami Yesus sebagai yang
Ilahi, umat Kristen merasa dan berusaha menjelaskan perasaan mereka bahwa Yang Ilahi itu bukanlah
satu realitas. Yang Ilahi itu juga banyak, banyak dalam cara Allah berhubungan dengan dunia, serta
banyak pula dalam cara Allah berhubungan dengan dirinya sendiri. Lih Knitter, Pengantar Teologi
Agama-Agama, h. 230.
59
menggali keberadaan dan kehidupan mereka dalam perbedaan yang
memunculkan hubungan antar agama, yaitu melaui dialog.
Ketika dialog dilakukan, para penganut model mutualitas merasa perlu
menanggalkan sesuatu yang absolut dari berbagai agama agar dialog dapat
berjalan seimbang. Berbeda dengan model tersebut, Heim berpendapat bahwa
justru berbagai yang absolut itu merupakan substansi dan energi untuk
berdialog. Dalam dialog, peserta dialog harus tetap mempertahankan
perbedaannya masing-masing. Dengan begitu, umat beragama yang berbedabeda akan saling berdialog dan belajar. Perbedaan yang tak dapat dihindari
ini, bagi Heim disebut “pluralisme orientasional.” 35
Perspektif semacam ini juga tercermin dalam apa yang diusahakan Knitter
dalam tahun-tahun terakhir perjalanan teologisnya. Knitter mengajukan sebuah model
baru, setidaknya Knitter bukan orang pertama yang mengajukan pendekatan seperti
ini, 36 pendekatan yang lebih korelasional terhadap agama-agama lain dengan alasan
bahwa, esklusivisme telah menimbulkan dampak negatif terhadap hubungan antar
agama sehingga perlu dihindari dan dikoreksi. Begitupun inklusivisme, telah
memunculkan ambiguitas terhadap kebenaran agama-agama lain, 37 di samping
35
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 233-234.
36
Perhatikan pembahasan tentang model penerimaan di atas.
37
Maksud ambiguitas disini adalah, agama-agama lain benar dan mampu menyelamatkan
manusia, namun tidak sempurna sebagaimana agamanya. (di satu sisi benar, di sisi lain tidak
sempurna). Lih Paul F. Kintter, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-Agama dan Tanggung Jawab
Global, terj. Nico A. Likumahua (Jakarta: Gunung Mulia, 2008), h. 41.
60
adanya keyakinan bahwa orang-orang dari latar belakang religius yang berbeda dapat
berdialog dan saling memahami untuk dapat membuat pembicaraan bermanfaat,
memperkaya dan mungkin transformatif. 38 Oleh karena itu, suatu pendekatan
korelasional terhadap penganut agama lain berusaha menghilangkan bahasa
“absolutis”. Sehingga, klaim bahwa umat Kristen memiliki kata akhir yang diberikan
Allah atas semua kebenaran dapat dihindari. 39 Hal ini senada dengan apa yang telah
diupayakan para teolog model mutualitas seperti John Hick dan Raimundo Pannikar.
Dalam hubungan dengan agama-agama lain, teologi pluralis atau korelasional
pertama-tama mengakui, menegaskan, merangkul, dan menggumuli perbedaanperbadaan yang nyata, jelas, bahwa tradisi-tradisi keagamaan memang berbeda dan
kadang tidak bisa dibandingkan di antara berbagai tradisi agama. 40 Kemudian
mengakui nilai dan keabsahan dari dunia yang serba berbeda ini. Agama-agama lain
bukan hanya sangat berbeda, namun bisa juga sangat bernilai. Bagi Knitter inilah
yang disebut “kesamaan yang kasar” di antara berbagai tradisi. 41 Keberagaman
agama bukan suatu keburukan yang harus dihilangkan, melainkan suatu kekayaan
yang harus diterima dan disambut oleh semua agama, sebab kita tidak dapat
38
Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 60-61.
39
Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 42.
40
Perbedaan disini seperti yang telah dikatakan Heim di atas bahwa agama-agama bukan
hanya berbeda dalam bentuk, mereka bahkan berbeda dalam tujuan dan Tuhan. Knitter, Pengantar
Teologi Agama-Agama, h. 259.
41
Knitter, satu Bumi Banyak Agama, h. 45.
61
menghindari atau menutup mata dari keragaman agama di sekitar kita. 42 Jadi,
biarkanlah perbedaan (diversitas) agama terjadi.
Akan tetapi, perlu ditekankan kehati-hatian terhadap pengakuan adanya
kemungkinan nilai dari agama-agama lain. Seperti yang dikatakan Schubert Odgen,
kebanyakan tokoh Kristen yang pluralis terlalu cepat mengatakan “ada banyak agama
yang benar.” Generalisasi sepintas tersebut sama kelirunya atau mungkin sama
berbahayanya kalau dikatakan bahwa “semua orang Amerika itu demokratis.” Jika
melihat sejarah bagaimana agama-agama telah dipakai sebagai alat manipulasi dan
eksploitasi, seperti di Ambon dan Poso, diperlukan bukti sebelum menyatakan bahwa
semua agama baik dan bernilai. 43 Peringatan ini juga diperkuat oleh pendapat Hick,
bahwa perbedaan tetap bermasalah, tidak semua jalan atau agama mengarah pada
puncak gunung (Yang Nyata). Hal ini disebabkan dalam sejarah agama, Yang Nyata
seringkali digunakan sebagai alasan untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok
lain. 44 Namun, Hick tetap dalam pendiriannya bahwa ada satu Kenyataan Ilahi di
balik dan di dalam semua agama. Inilah yang membedakan cara pandang Hick
dengan perspektif Knitter terhadap agama-agama lain.
42
Agama-agama jelas berbeda dan tidak mungkin mengumpulkan mereka dalam satu “kata
akhir” atau apa yang disebut Hick sebagai “Yang Nyata”. Lih Knitter, Pengantar Teologi AgamaAgama, h. 9, dan Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 68-70.
43
Dalam konteks ini, Knitter mencontohkan India sebagai negara yang pemerintahannya
menjadikan agama sebagai objek eksploitasi untuk melanggengkan kekuasaan.
44
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 139-140.
62
Knitter mengkritik para teolog pluralis, seperti Hick, bahwa mereka seringkali
mengabaikan bahkan menyelewengkan diversitas (bahwa agama-agama benar-benar
berbeda termasuk perbedaan keselamatan). Memaksakan semacam asas bersama45
dan aturan main bersama dalam berdialog telah membuat para teolog pluralis terjebak
dalam imperialisme. Para teolog pluralis tidak sadar bahwa asas dan aturan main
bersama tersebut seringkali merupakan perspektif dari satu agama. Hal senada seperti
yang diungkapkan S. Mark Heim bahwa kalau mereka meyakini Tuhan sebagai yang
absolut bagi semua agama tanpa menyebut Tuhan siapa yang mereka maksud, mereka
telah menjadikan dirinya menjadi Tuhan. 46
Jadi terhadap pernyataan bahwa banyak agama yang benar adalah betul dan
memang hal itu merupakan kenyataan, akan tetapi bukan berarti semuanya benar dan
memiliki tujuan yang sama. Setiap agama memiliki tujuannya masing-masing. Hal ini
merupakan sikap kehati-hatian Knitter yang hampir menyerupai sikap Heim terhadap
berbagai agama lain. Menurut penulis, pandangan Knitter terhadap berbagai agama
lain tidak terlepas dari pengaruh Mark Heim. Namun, penulis belum menemukan
argumen yang menunjukkan bahwa Knitter setuju dengan pandangan Heim mengenai
perbedaan agama yang mungkin disebabkan akibat perbedaan Tuhan.
45
Asas bersama yang dimaksud seperti yang diusulkan beberapa teolog, "common essence"
(A. Toynbee) atau "universal faith" (W.C. Smith, B. Lonergen) atau "mystical faith" (W. Stace, Th.
Merton. F. Schuon).
46
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, h. 187-189.
63
Dalam perspektif pluralis atau model mutualitas, umat Kristen menolak dan
menghindari diri dari berbagai kata sifat seperti “hanya satu-satunya”, “definitif”,
“superior”, “absolut”, “final”, “tak terlampaui”, “total” untuk menjelaskan kebenaran
yang ditemukan dalam Injil Yesus sang Kristus. Knitter menambahkan, tanpa
mengklaim bahwa semua agama setara (equal), sehingga relativisme dapat
dihindari. 47 Equal disini seperti apa yang telah dibahas di atas bahwa semua agama,
dalam diversitasnya memiliki tujuan universal atau keselamatan yang sama.
Dengan demikian umat Kristen bisa dan harus mendekati agama-agama lain
bukan hanya dengan harapan bahwa mereka mungkin (possibly) akan menemukan
kebenaran dan kebaikan di dalamnya, seperti apa yang diyakini oleh para teolog
pendekatan model penerimaan (inklusif) seperti Rahner, tetapi bahwa mereka lebih
mungkin (probably) menemukannya 48 tanpa harus menanggalkan perbedaan.
Teologi
korelasional
memungkinkan
umat
Kristen
berpegang
pada
kemungkinan, dan mendorong probabilitas, bahwa sumber kebenaran dan
transformasi yang mereka sebut Allah dari Yesus Kristus memilki lebih banyak
kebenaran dan bentuk-bentuk transformasi lainnya yang mampu dinyatakan daripada
yang telah dinyatakan dalam Yesus. Maksudnya adalah sumber kebenaran dan
keselamatan bukan hanya dapat diperoleh melalui Kristus, agama-agama lain pun
memiliki kebenaran dan jalan keselamatan, namun dengan jalannya masing-masing.
47
Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 42.
48
Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 45-48.
64
Model teologi agama-agama yang pluralistik-korelasional bukan hanya
menegaskan kemungkinan tetapi juga realitas umat beragama yang otentik lainnya
dan karena itu menegaskan adanya agama-agama benar lainnya. Sampai sejauh mana
hal ini bisa dibandingkan dengan yang lainnya, dapat diketahui hanya melalui dialog.
Semua usaha membangun teologi agama-agama harus dimulai dengan dialog dengan
agama-agama lain. 49 Dengan demikian, karena kapelbagaian berbagai agama harus
diakui dan dijaga, dan karena kepelbagaian itu diyakini bernilai dan penting secara
potensial bagi semua orang, maka kandungan yang bernilai dari agama-agama
tersebut harus dibagi dan dikomunikasikan, agama-agama dunia harus berdialog.
Oleh karena itu, model korelasional yang diusulkan Knitter juga menegaskan
hakikat agama yang relasional dan dialogis. Jadi semua agama perlu berbicara dan
bertindak bersama. Walau pun model ini mengakui adanya perbedaan dan
partikularitas radikal dan tidak terhidarkan di antara semua agama, ia juga mengakui
adanya hubungan antar-sesama yang muncul dari ketidaksempurnaan dalam diri
semua agama. 50
Perspektif teologi agama-agama Paul F. Knitter, teologi korelasional dan
bertanggung jawab secara global, 51 menolak klaim-klaim kebenaran dan keselamatan
49
Knitter, Teologi Agama-Agama, h. 261-264.
50
Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 48-49.
51
Dalam hal ini, Knitter mengajukan dukungan kultural bagi model korelasional dan
bertanggung jawab secara global, yaitu kesadaran akan yang lain, bahwa kita tidak dapat menutup
mata dari keberagaman agama yang ada disekitar kita, kesadaran akan sejarah, bahwa semua agama,
pengetahuan yang kita peroleh, terbatas pada konteks sejarah. Jadi perlu reinterpretasi ulang terhadap
65
yang hanya dimiliki satu agama (eksklusivisme), klaim bahwa Kristus merupakan
kata akhir dari semua agama (inklusivisme), bahkan melampaui pluralisme yang
menyatakan banyak agama yang benar karena agama-agama merupakan manifestasi
Tuhan di dunia dalam berbagai tingkat cakrawala pikiran manusia sehingga semua
agama relatif. Meskipun secara filosofis Knitter menggunakan perspektif ini, ia
merasa perspektif tersebut belum cukup untuk merangkul semua agama.
Perbedaan fundamental antara Knitter dan Hick dalam memandang agamaagama lain terletak pada penerimaan dan penghargaan Knitter terhadap agama-agama
lain tanpa mencari kesamaan teologis sebagaimana yang diupayakan Hick dengan
pendekatan teosentris. Bagi Knitter biarlah agama-agama tetap berbeda tanpa
melepaskan keunikan masing-masing. Namun tetap menerima dan menghargai
kebenaran dalam setiap agama. Walaupun ia sangat berhati-hati dengan pengakuan
adanya nilai kebenaran dalam suatu agama. Hal ini dilakukannya untuk menghindari
penyalahgunaan agama demi kepentingan suatu kelompok tertentu.
Cara pandang Knitter dengan penekanan terhadap diversitas agama-agama,
tapi juga mengkritik absolusitas dan normativitas Kristus yang telah mapan dalam
doktrin Kristen, menurut penulis, merupakan upayanya untuk menghilangkan
klaim-klaim agama yang telah terbentuk oleh sejarah, kesadaran imperiatif moral dialog, bahwa
dialog di antara agama-agama tidak lagi suatu kemewahan tetapi merupakan kebutuhan teologis, jadi
untuk menemukan kebenaran kita sendiri, kita harus berdialog dengan kebenaran dari yang lain,
Kesadaran akan tanggung jawab bagi dunia, bahwa umat beragama tidak hanya terfokus pada dialog
antar-iman, penderitaan yang lain termasuk dunia merupakan tanggung jawab semua agama. Knitter,
Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 68-83.
66
eksklusivisme dan inklusivisme dalam Kristen. Namun tetap mempertahankan
keunikan Kristus sebagai sesuatu yang unik dalam agama Kristen. Menurut penulis
keunikan yang dimaksud Knitter dalam setiap agama adalah sesuatu yang membuat
agama tersebut spesial, khusus dan berbeda dari agama-agama lain ̶ seperti Kristus
dan Kerajaan Allah dalam Kristen, Gaotama dan Sunyata dalam Buddha ̶
bukan
yang menyebabkan suatu agama menjadi absolut, normatif dan final. 52 Oleh karena
itu, ketika berdialog setiap agama tidak perlu menanggalkan keunikannya masingmasing sebagai komitmen terhadap agama yang dianutnya. Akan tetapi, yang perlu
dihilangkan adalah sikap eksklusif dan inklusif dari setiap agama.
Dengan demikian, pandangan Knitter terhadap agama-agama lain terbuka
terhadap kemungkinan bahwa, secara filosofis, ada banyak agama yang benar dan
menyelamatkan, karena merupakan manifestsi dari Tuhan yang satu, dan bahwa
agama Kristen merupakan salah satu cara di mana Allah menyentuh dan merubah
dunia, namun tetap menekankan diversitas agama-agama. Selain mengakui eksistensi
agama lain, umat Kristen juga harus tetap melihat ada perbedaan besar antara Kristen
dan agama lain yang tidak mungkin disatukan, sehingga setiap agama meyakini
doktrin agama mereka masing-masing namun tetap terbuka terhadap perbedaan
tersebut. Selanjutnya untuk mengenal dan memahami agama lain dilakukan melalui
dialog yang korelasional, dimana setiap agama memiliki hak yang sama dalam
berdialog, tidak ada yang mendominasi agama lain.
52
Lihat selengkapnya di pembahasan mengenai “Arti Kesetiaan Pada Yesus”.
67
B. Arti Kesetiaan Pada Yesus
Mengakui kebenaran agama-agama lain, bagi Knitter tidak berarti
meningglkan kesaksian Kristen yang disampaikan Injil dan tradisi melalui Kristus.
Kesetiaan, bagi Knitter, bukan sesuatu yang dimiliki seseorang tetapi lebih
merupakan sesuatu yang dihayati dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Atas
dasar itu, sumber dari iman yang setia tidak hanya terdapat dalam Injil atau Kitab
Suci (ortodoksi). Akan tetapi ada keharusan menghubungkan atau menerapkan apa
yang kita dengar dari Kitab Suci dalam kehidupan yang real (ortopraksis). Oleh
karena itu, ada dua sumber dari mana seharusnya menghayati iman dan membangun
kesetiaan, Kitab Suci dan kehidupan nyata (praksis).
Kesetiaan pada tradisi Kristen, khususnya pada Kitab Suci “yang normatif”,
bersumber dari kata yang benar (ortodoksi) yang berakar dalam tindakan yang benar
(ortopraksis). Jadi kesetiaan terhadap Yesus tidak hanya merupakan pengakuan dan
keyakinan terhadap-Nya. Namun kesetiaan itu juga berarti sejauh mana seseorang
dapat mengikuti hidup dan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Yesus 53. Tetapi,
bagaimana umat Kristen dapat memahami keunikan Yesus sedemikian rupa sehingga
53
Lih Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 130-135, dan Leonard Swidler dan Paul
Mojzez, ed., The Uniqueness of Jesus: A Dialogue with Paul F. Knitter (Maryknoll: Orbis Books,
1997), h. 14.
68
tetap setia pada kesaksian Kristen, dan pada saat yang sama sungguh-sungguh
terbuka terhadap pembicaraan dan kerja sama yang otentik dengan iman orang lain?
Untuk itu, di bawah ini, penulis memaparkan bagaimana reinterpretasi Knitter
terhadap klaim kristologi tradisional 54 atas keunikan Yesus Kristus sebagai dokrtin
dalam Kristen.
Bagi Knitter, Yesus Kristus itu unik, namun dengan keunikan yang ditetapkan
oleh kemampuannya berelasi dengan figur agama lain yang juga unik. Dengan kata
lain, keunikan yang dikemukakan Knitter adalah keunikan relasional 55, bahwa Yesus
sungguh-sungguh dan bukan satu-satunya transformasi Allah di dunia. Muhammad,
Musa, dan Gaotama juga merupakan transformasi itu. 56 Keunikan relasional, bagi
Knitter, konsisten dengan pendirian teologis pluralisme yang teosentris. Yesus dalam
pelayanannya sebagai juru selamat terarah pada Allah, sama seperti figur agama lain
pun terarah pada Allah. Semua figur agama yang ada terkait dan terhubung satu sama
54
“Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam dia, sebab di bawah
kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat
diselamatkan” (Kis 4:12). Ayat tersebut menunjukkan bahwa Yesus merupakan satu-satunya jalan
keselamatan, dengan kata lain kristologi tradisional menekankan finalitas, absolusitas, dan nomativitas
Yesus. Kristologi semacam ini seperti yang diakui dan diyakini oleh penganut model penggantian.
Pembahasan ini merupakan kritik Knitter terhadap model penggantian, pemenuhan, dan juga model
mutualitas.
55
Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 162-167.
56
Leonard Swidler dan Paul Mojzez, ed., The Uniqueness of Jesus: A Dialogue with Paul F.
Knitter, h. 10-11.
69
lain, terarah pada satu Allah, 57 dan bahkan lebih jauh lagi, penulis membahasnya
dalam poin selanjutnya, kepada soteriosentrisme.
Dalam Jesus and the Other Names, Knitter berusaha membuat klarifikasi
mengenai terminologi unik. Baginya, unik tidak perlu menunjukkan tidak adanya
sesuatu yang lain. Keunikan seseorang lebih berarti sesuatu yang membuat ia spesial,
khusus dan berbeda, yang tanpanya orang itu tidak menjadi pribadi sebagaimana
adanya ia. Dengan menghilangkan kualitas unik tersebut kita akan berjumpa dengan
pribadi yang lain. 58
Knitter mencoba untuk memperlihatkan dasar Alkitabiah dari keunikan
Yesus. Pertama, sejak semula karya Yesus terarah kepada Allah Bapa, atau tepatnya
pada kerajaan Allah. Yesus tidak memberitakan diri-Nya sendiri, tetapi mewartakan
datangnya kerajaan Allah yang membawa keselamatan bagi manusia. Dari sini
Knitter sebenarnya mengusulkan suatu istilah lain untuk menggantikan teosentrisme,
yaitu kingdomsentrisme 59 atau soteriasentrisme.
57
Ini merupakan perspektif teologi agama-agama Knitter ketika berada pada model
mutualitas. Selanjutnya ia akan beralih ke model penerimaan. Lih Knitter, Menggugat Arogansi
Kekeristenan, h. 145-146, dan Joas Adiprasetya, "Etikosenrisme Hans Kung dan Soteriosentrisme Paul
F. Knitter", dalam Soegeng Hardiyanto, Agama dalam Dialog: Pencerahan, Perdamaian dan Masa
Depan. Punjung Tulis 60 Tahun Prof. DR. Olaf Herbert Schumann (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1999), h. 145.
58
59
Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 169.
Knitter bukan orang pertama yang menggunakan istilah tersebut. Kingdomsentrisme atau
berpusat pada Kerajaan Allah merupakan kristologi dan misi Yesus yang diperkenalkan oleh Jon
Sobrino. Lih pada pembahasan konversi agama-agama.
70
Kedua, kristologi yang yang dipaparkan dalam Alkitab sejak semula beragam
tidak pernah ada definisi tentang siapa Kristus, tetapi yang ada adalah interpretasiinterpretasi tentang siapa Kristus. Jadi tidak boleh ada satu kristologi (interpretasi atas
Kristus) yang bisa dimutlakkan dan meniadakan kristologi lainnya.
Ketiga, klaim Kristus sebagai juruselamat satu-satunya tidak boleh dipandang
secara tekstual, melainkan lebih sebagai ungkapan konvensional. Hal ini membuat
kita bisa lebih terbuka pada pengakuan-pengakuan iman agama-agama lain 60.
Maksud utama bahasa dan gelar-gelar kristologis Perjanjian Baru bukanlah
menawarkan pernyataan-pernyataan ontologis yang definitif tentang pribadi atau
karya Yesus, melainkan memampukan manusia untuk merasakan kuasa serta daya
tarik visi Yesus dan kemudian untuk pergi dan melakukan hal yang sama, 61 seperti
sifat kasih terhadap semua orang tanpa memandang ras dan agama.
Menurut Knitter, akan lebih tepat secara penggembalaan efektif, bila kita
menyebut klaim-kliam Perjanjian Baru mengenai Yesus sebagai "bahasa aksi". Ia
disebut "satu-satunya" atau "anak satu-satunya" bukan terutama untuk memberikan
kepada kita pernyataan-pernyataan teologis-filosofis yang definitif, dan bukan
terutama untuk menyisihkan yang lainnya, melainkan untuk mendorong aksi atau
praktik komitmen total kepada visi dan jalan-Nya, terhadap hal-hal yang Yesus selalu
menempatkan diri di bawahnya, yaitu kerajaan kasih, kesatauan dan keadilan.
60
Lih Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 299-300, Joas Adiprasetya,
"Etikosenrisme Hans Kung dan Soteriosentrisme Paul F. Knitter," h. 145-146, dan Knitter, Menggugat
Arogansi Kekeristenan, h. 176-182.
61
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 307-308.
71
Guna melayani dan mengembangkan kerajaan ini, ada keinginan untuk
berdialog dan bekerja dengan orang lain dan terbuka terhadap kemungkinan bahwa
ada guru-guru dan pembebas-pembebas serta juruselamat-juruselamat lain yang dapat
menolong kita memahami dan bekerja demi kerajaan itu dalam cara-cara yang belum
pernah kita dengat atau berada di luar imajinasi kita. "barang siapa tidak melawan
kita, ia ada di pihak kita" (Mrk. 9:40). Dengan demikian, kristologi pembebasan
mengizinkan dan bahkan menuntut kita mengakui kemungkinan hadirnya pembebas
lainnya dari agama-agama lain. 62
Pemahaman Kristen tradisional mengenai Yesus Kristus sebagai suara Allah
yang normatif, definitif, dan final perlu ditata kembali guna menghindari posisi-posisi
absolut yang telah dimapankan dan menghalangi dialog yang sungguh-sungguh
korelasional. Dalam hal ini, Knitter mencoba mengaitkan topik keunikan Kristus
dengan praksis pembebasan, antara teologi agama-agama dan teologi pembebasan
yang kaitannya terletak pada pentingnya praksis. Menurutnya, kristologi yang harus
diupayakan adalah yang berbasis pada praksis. 63 Sehubungan dengan ini, ada empat
hal yang penting, yaitu:
Pertama, pengakuan dan pewartaan Kristen bahwa Yesus adalah pernyataan
Allah yang final dan normatif tak dapat berhenti pada perumusan doktrin atau
pengalaman personal. Keunikan Kristus dapat dikenal dan ditegaskan hanya dalam
praksis keterlibatan historis.
62
63
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 308-309.
Joas Adiprasetya, "Etikosenrisme Hans Kung dan Soteriosentrisme Paul F. Knitter," h. 147.
72
Praksis merupakan titik tolak bagi semua kristologi, ia tetap menjadi kriterium
bagi semua kristologi karena segala sesuatu yang diketahui atau dikatakan mengenai
Yesus harus terus-menerus dikonfirmasikan, diperjelas dan mungkin dikoreksi di
dalam praksis, yaitu dengan tindakan menghidupkan visi-Nya di dalam kontekskonteks sejarah yang berubah.
Kita tidak dapat mulai mengenal siapa Yesus dari Nazaret itu kecuali kalau
kita mengikuti Dia, mempraktikan pesan-Nya di dalam hidup kita. Dari sinilah proses
perumusan gelar-gelar Perjanjian Baru untuk Yesus; gelar-gelar itu adalah buahnya,
kerugma penuh sukacita, yang digali dari pengalaman mengikuti Dia. Karena
pengalaman ini berbeda-beda menurut berbagai komunitas dan konteks jemaat-jemaat
perdana, gelar-gelar Yesus pun berkembang. Oleh karena itu, tidak ada satu pun yang
kita katakan mengenai Yesus itu final, tidak ada gelar yang diberikan kepada Kristus
yang dapat dimutlakkan. 64
Jadi, secara kongkret, bahwa bila kita tidak terlibat di dalam praksis dialog
Kristen dengan agama-agama lain, mengikuti Kristus, menerapkan pesan-Nya, di
dalam dialog dengan orang-orang percaya lainnya, kita tidak dapat mengalami dan
mengukuhkan apa arti keunikan dan normativitas Kristus. 65
64
Lih Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 299-300, dan Joas
Adiprasetya, "Etikosenrisme Hans Kung dan Soteriosentrisme Paul F. Knitter," h. 147.
65
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 300.
73
Kedua, mengutamakan ortopraksis di atas ortodoksi, maksudnya ialah bahwa
keprihatinan utama suatu teologi pembebasan agama-agama 66 yang soteriosentris
bukanlah kepercayaan yang benar tentang keunikan Kristus, melainkan praktik yang
benar dengan agama-agama lain, dalam memperluas kerajaan dan soteria-Nya.
Kejelasan tentang apakah Kristus dan bagaimana Ia menjadi satu Tuhan dan
juruselamat, maupun kejelasan tentang doktrin lain mana pun, mungkin penting,
tetapi tidak lebih lebih penting dibandingkan dengan melaksanakan pengutamaan
kaum miskin dan nonpribadi. 67
Menurut Knitter orang Kristen tidak membutuhkan kejelasan dan kepastian
ortodoksi mengenai Yesus sebagai Juruselamat “satu-satunya” atau “final” atau
“universal” guna mengalami dan sepenuhnya, menyerahkan diri mereka demi
kebenaran yang membebaskan dalam pesan-Nya. Apa yang memang diketahui orang
Kristen, berdasarkan praksis mereka dalam mengikuti Yesus, adalah bahwa pesanNya adalah sarana yang pasti untuk menghasilkan pembebasan dari ketidakadilan dan
penindasan, bahwa pesan-Nya itu memang efektif, penuh pengharapan, secara
universal merupakan cara yang bermakna untuk menunjukkan Soteria dan
66
Dalam buku Mitos Keunikan Agama Kristen (1987), Knitter menulis judul “Menuju
Theologi Pembebasan Agama-Agama” (Towards a Liberation Theology of Religions). Dalam buku
tersebut ia memperkenalkan suatu teologi agama-agama yang berhubungan, sengaja dihubungkan oleh
Knitter, dengan teologi pembebasan dan ia menyebutnya sebagai teologi pembebasan agama-agama.
Sejalan dengan perkembangan pemikirannya, model tersebut berubah menjadi teologi korelasional
yang bertanggung jawab secara global, seperti yang terdapat dalam kedua bukunya, Satu Bumi Banyak
Agama dan Menggugat Arogansi Kekeristenan.
67
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 301.
74
mengembangkan kerajaan Allah. Tidak mengetahui apakah Yesus itu unik, apakah Ia
adalah firman Allah yang final dan normatif untuk segala zaman, tidaklah menggangu
komitmen untuk melakukan praksis mengikuti Dia dan bekerja sama dengan agamagama lain, untuk membangun kerajaan. 68
Jadi, penekanan pada pentingnya praksis tidak lantas membuat orang Kristen
dapat memiliki alasan untuk mengatakan bahwa finalitas dan normativitas Yesus
telah utuh dan dipenuhi. Data mengenai praksis Yesus tidak memadai untuk
menekankan keunikan Kristus.
Ketiga, Kriteria soteriosentris untuk dialog antar-agama yang terkandung di
dalam pengutamaan kaum tertindas menawarkan kepada orang Kristen perangkatperangkat untuk secara kritis menguji dan barangkali merevisi pemahaman
tradisional tentang keunikan Kristus, bahwa Kristus adalah satu-satunya sarana, jalan
keselamatan 69. Klaim tersebut perlu ditafsir ulang agar umat Kristen dapat berdialog
secara korelasional dengan umat agama lain tanpa adanya hirarki.
Dalam perjuampaan dengan orang-orang percaya dan jalan-jalan lain, para
teolog Kristen dapat menemukan bahwa meskipun ada juruselamat-juruselamat lain
di dalam tradisi-tradisi lain, Yesus dari Nazaret tetap tampil bagi mereka sebagai
pembebas yang unik dan bagaimanapun juga istimewa, sebagai Dia yang
mempersatuakan dan menggenapi semua upaya lain menuju soteria. Kemungkianan
lain, orang Kristen mungkin menemukan bahwa agama-agama lain dan tokoh-tokoh
68
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 302.
69
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 303.
75
agama lain menawarkan cara dan visi pembebasan yang sejajar dengan apa yang
diwartakan Yesus, bahwa tidak mungkin menggolongkan juruselamat atau makhluk
yang mendapat pencerahan dalam pengertian memperingkatkan mereka. Dengan
demikian, Yesus akan menjadi unik, bersama-sama dengan para pembebas lainnya
yang juga unik, Ia akan menjadi juruselamat yang universal, bersama-sama dengan
para juruselamat lain yang universal. Universalitas dan keunikannya tidak akan
eksklusif ataupun inklusif, tetapi saling melengkapi.
Meskipun demikian, pencermatan-pencermatan tentang keunikan dan finalitas
pada akhirnya dibuat atau tidak tidaklah penting dalam analisi terkahir, sejauh bahwa
kita dengan semua orang dan agama, mencari dahulu kerajaan dan keadilannya.
Atas dasar itu, jika metode kristologi pembebasan memperlihatkan mengapa
klaim normatif bagi Yesus, bahwa Yesus adalah satu-satunya, tidaklah mungkin,
maka jelas itu bahwa hal itu sebenarnya tak perlu. Jika memang titik perhatian kita
terletak pada praksis, maka pertanyaan doktiner mengenai keunikan Kristus menjadi
tak begitu perlu. 70
Keempat, Dengan memahami dan mengukuhkan keutamaan otopraksis, orang
beriman, dapat ditolong untuk melihat bahwa di dalam menerima pandanganpandangan baru tentang Yesus, 71 mereka bukan hanya sekedar setia pada kesaksian
70
Lih Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 303-304, dan Joas
Adiprasetya, "Etikosenrisme Hans Kung dan Soteriosentrisme Paul F. Knitter," h. 147.
71
Mengenai berbagai kemungkinan paham nonabsolutis atau nondefinitif Kristus, para teolog
seperti mengalami kesulitan terhadap paham tersebut. Ada dua alasan yang dikemukakan Küng
terhadap kesulitannya itu, pemahaman tersebut cenderung mengasingkan dirinya dari komunitas
76
Perjanjian Baru dan tradisi, melainkan juga ditantang untuk memiliki komitmen, yang
bahkan lebih mendalam kepada Kristus dan Injil-Nya. 72
Orang-orang Kristen yang ditantang dan dimampukan untuk menciptakan
hubungan antara pengalaman mereka sendiri, Injil dan praksis yang membebaskan,
akan setuju bahwa hakikat menjadi Kristen adalah melakukan kehendak Bapa dari
pada mengetahui atau menekankan bahwa Yesus adalah satu-satunya atau yang
terbaik dari kelompok itu. Malah, psikologi kasih dan komitmen tampaknya
mengatakan bahwa semakin mendalam dan semakin kukuh komitmen seseorang
kepada suatu jalan atau orang tertentu, ia akan semakin terbuka kepada keindahan
atau kebenaran jalan-jalan dan orang-orang lain. Orang Kristen dapat diajak untuk
melihat bahwa komitmen mereka terhadap Yesus ataupun kemampuan mereka untuk
menyembah-Nya (lex orandi) tidak akan perlu dijungkirbalikkan hanya karena ada
yang lain yang seperti Dia. 73
Jadi, pengakuan akan nilai agama-agama lain tidak mengurangi kesetiaan
umat
Kristen
terhadap
Kristus,
bahkan
memampukan
mereka
untuk
imannya (gereja) dan akan cenderung mengurangi kedalaman dan kekukuhan komitmen pribadi orangorang Kristen kepada Yesus Kristus. Keraguan-keraguan ini didasarkan pada bentrokan yang disadari
terjadi antara pandangan-pandangan nonabsolutis yang baru tentang Kristus dangan (kepekaan
naluriah dalam hal iman yang dimiliki seluruh umat beriman). Jadi, bila kristologi-kristologi baru ini
mempunyai masa depan di lingkungan teologi Kristen, kristologi ini membutuhkan sebuah perantaraan
gerejawi yang lebih baik agar dapat diterima oleh umat, kristologi ini perlu disosialisasikan. Lih
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 304-306.
72
73
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 307.
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 307.
77
mengaktualisasikan karya Yesus dalam keterlibatan dengan agama-agama lain. Oleh
karena itu, perlu reinterpretasi klaim kristologi tradisional akan keunikan Yesus.
Dengan menekankan praksis dalam kristologi, klaim bahwa Yesus satu-satunya,
absolut, normatif, dan final harus ditolak, kemudian memunculkan interpretasi baru
bahwa Yesus “sungguh-sungguh, tapi bukan satu-satunya”, bahwa pesan-Nya adalah
sarana yang pasti untuk menghasilkan pembebasan dari ketidakadilan dan
penindasan, kemudian pesan-Nya itu memang efektif, penuh pengharapan, secara
universal merupakan cara yang bermakna untuk menunjukkan Soteria dan
mengembangkan kerajaan Allah. Dengan demikian, Yesus akan menjadi unik,
bersama-sama dengan para pembebas lainnya yang juga unik, Ia akan menjadi
juruselamat yang universal, bersama-sama dengan para juruselamat lain yang
universal.
C. Konvergensi Agama-Agama
Seperti yang penulis sampaikan sebelumnya, bahwa rumusan teologi agamaagama Knitter berujung pada suatu dialog antar-agama. Untuk itu, Knitter
mengajukan sebuah pendekatan atau konteks bersama yang dapat mempertemukan
beragam
tradisi
agama-agama,
namun
tradisi-tradisi
tersebut
tetap
dalam
kepelbagaiannya masing-masing.
Bagi Knitter, ada semacam esensi bersama atau pengalaman religius yang
sama ataupun suatu tujuan bersama yang jelas dalam semua agama, suatu konteks
78
bersama yang di dalamnya terdapat berbagai masalah yang kompleks. Konteks ini
membutuhkan suatu agenda bersama di mana semua agama dapat bersama-sama
memahami dan memberi makna satu sama lain. Namun mengusulkan Allah, dan
bukan gereja atau Kristus, sebagai basis bersama, secara implisit, para teolog tidak
sadar tetapi masih imperialistis memaksakan pemahaman-pemahaman tertentu
tentang yang ilahi atau Yang Tertinggi, kepada orang-orang percaya lain. Seperti
kebanyakan umat Buddhis 74, mereka mungkin malah tidak ingin berbicara tentang
Allah, atau mereka mengalami Yang Tertinggi sebagai sunyata, yang sama sekali
tidak atau sedikit sekali berhubungan dengan apa yang orang Kristen alami dan
disebut sebagai Allah. 75
Jadi konteks bersama tersebut tidak boleh berawal dan berbasis dari sebuah
dasar bersama (commond ground) yang dimiliki semua agama, seperti yang
diusulkan beberapa teolog, "common essence" (A. Toynbee) atau "universal faith"
(W.C. Smith, B. Lonergen) atau "mystical faith" (W. Stace, Th. Merton. F. Schuon).
Gagasan tersebut ditolak Knitter karena merupakan bentuk lain dari foundationalism
atau objectivism. Apa yang sama dalam berbagai masalah ini maupun dalam konteks
74
Menurut penulis, maksud Knitter dengan memaksakan pemahaman tentang Yang Ilahi
berarti sama seperti dengan imperialisme atau penjajahan keyakinan orang lain, sebab tidak semua
agama berbicara mengenai Yang Ilahi. Oleh karena itu, ia mengusulkan sebuah landasan etis bersama,
suatu tujuan bersama yang jelas dalam semua agama, tanggung jawab global. Tanggung jawab global
bagi Knitter, merupakan konteks yang dapat menyatukan berbagai agama-agama yang jelas berbeda,
walaupun dengan respon yang tidak satu.
75
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 286.
79
yang dimaksudkan oleh Knitter 76 adalah pengalaman atas kenyataan penderitaan
yang mengerikan, penderitaan yang menguras kehidupan dan membahayakan masa
depan umat manusia. Tetapi, penderitan bukan hanya meliputi manusia, melainkan
semua makhluk lainnya termasuk bumi. Bagi para teolog pembebasan, konteks
bersama ini adalah pengutamaan kaum miskin dan nonpribadi, artinya pengutamaan
untuk bekerja dengan dan untuk para korban dunia ini. 77
Oleh karena keadaan yang memprihatinkan dari penderitaan-penderitaan
dunia ini, ada sekelompok orang yang berusaha merumuskan suatu etika global yang
dapat dipakai sebagai dasar yang dapat menuntut sikap bersama untuk mengatasi
semua krisis yang ada. Salah satunya adalah Hans Küng yang berpendapat bahwa
masalah-masalah yang mengancam manusia kini membutuhkan penanganan bersama
dan terpadu, namun hal itu tidak mungkin terjadi kecuali didasarkan pada dan
diarahkan oleh satu persetujuan bersama tentang tujuan etis dan cara-cara etis yang
dipakai untuk mencapai tujuan itu.
Etika global semacam itu, yang diperlukan untuk melestarikan aksi global
tidak bisa dirumuskan tanpa sumbangan agama. Dalam berbagai simbol dan naratif
yang sangat berbeda-beda, agama menawarkan kepada para pengikutnya suatu visi
76
Walaupun Knitter tidak setuju dengan “jembatan” filosofis-historis dan religius-mistik,
tampaknya Knitter sejalan dengan para teolog model mutualitas yang menggunakan jembatan etispraktis sebagaimana yang akan terlihat dalam pembahasan selanjutnya.
77
Lih Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama”, h. 288, Knitter, Satu Bumi
Banyak Agama, h. 84, dan Joas Adiprasetya, "Etikosenrisme Hans Kung dan Soteriosentrisme Paul F.
Knitter", h. 148.
80
tentang pengharapan bahwa mereka dan dunianya bisa berbeda, bisa mengalami
transformasi, bisa menjadi lebih baik. Keyakinan religius bahwa visi pengharapan ini
bisa terlaksana didorong dan dikuatkan oleh energi yang dimiliki agama untuk
menjalankan keyakinan itu, menghimpun kita semua untuk tujuan itu, apa pun yang
terjadi. Inilah kontribusi dari visi dan energi yang dapat dan harus diberikan agama
dalam merumuskan dan menindaklanjuti suatu etika global.
Usulan Küng ini, walaupun barangkali lebih kompleks dari yang diduganya,
dan walaupun harus dilaksanakan dengan lebih berhati-hati dalam bentuk yang lebih
berbeda dari yang diusulkannya, merupakan pandangan yang akan diterima oleh lebih
banyak orang dan bangsa-bangsa di dunia ini. Masyarakat membutuhkan bentukbentuk kerjasama etis baru yang bisa dipakai untuk melaksanakan dialog dan
konsensus etis yang baru, dan untuk inilah, semua agama – secara bersama-sama,
bukan sendiri-sendiri – memainkan peranan yang sangat penting. 78
Dengan kata lain, apabila agama-agama dunia dapat menyadari kemiskinan
dan penindasan sebagai masalah bersama, apabila mereka dapat memiliki komitmen
bersama, yang diungkapkan dalam bentuk yang berbeda-beda, untuk menyingkirkan
kejahatan-kejahatan seperti itu, mereka akan mempunyai dasar untuk menyebrangi
ketidaksebandingan dan perbedaan-perbedaan mereka, untuk saling mendengar dan
memahami yang lain dan kemungkinan diubah di dalam prosesnya.
78
Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 101-108.
81
Pemahaman tentang peranan sentral pengutamaan kaum miskin dan
nonpribadi di dalam dialog antar-agama berarti bahwa evolusi dalam sikap-sikap
Kristen terhadap agama-agama lain telah berkembang dari eklesiosentrisme kepada
kristosentrisme kemudian teosentrisme, sikap-sikap tersebut harus terus berlanjut
dengan apa yang disebut sebagai “kerajaan sentrisme” atau yang lebih universal
“soteriosentrisme.” 79
Konteks bersama ini, berkaitan dengan pandangan Jon Sobrino mengenai
kristologi dan misi Yesus. Sebagaimana yang dikutip Knitter dalam bukunya
Menggugat Arogansi Kekeristenan, Sobrino menegaskan bahwa, Pertama, “Yesus
bukanlah yang pokok pada diri-Nya sendiri” (kristosentris), kedua, “Yang pokok bagi
Yesus tidak hanya Allah,” maksudnya adalah, Yesus tidak hanya mewartakan Allah,
Allah tidak hanya dan sama sekali tidak secara absolut merupakan referansi utama
Yesus (Teosentris), ketiga, “Pokok perhatian Yesus juga bukan Gereja atau Kerajaan
surga” (eklesiosentris). Namun “yang utama bagi Yesus adalah Kerajaan Allah”
(Soteriosentris). 80 Kerajaan Allah yang dimaksud adalah realitas duniawi, yaitu
kerajaan Allah yang hadir di dunia dimana Yesus mengarahkan tindakan-Nya untuk
perbaikan, kesejahteraan, hidup yang lebih baik bagi orang-orang disekitarnya,
terutama yang menderita. Singkatnya, bagi Sobrino, Kerajaan Allah adalah “segala
79
Knitter memakai kata Yunani soteria sebagai istilah yang heuristik atau petunjuk arah
untuk menegaskan bahwa keperihatinan terhadap kesejahteraan manusia dan lingkungan dapat menjadi
titik berangkat atau pertemuan untuk berdialog. Lih Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 53, dan
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama,” h. 291.
80
Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 177.
82
sesuatu yang memajukan kesejahteraan manusia dan menghilangkan penderitaan.” 81
Dari penjelasan Jon Sobrino, yang dimaksud Knitter dengan soteria, yaitu upaya
mensejahterakan dan membebaskan orang-orang yang tertindas dari penderitaan,
termasuk penderitaan dunia, dalam istilah Knitter, eko-manusiawi.
Pendekatan
soteriosentris
dapat
dibedakan
dari
kristosentrime
atau
teosentrisme, yaitu dalam soteriosentrisme adanya pengakuan yang eksplisit bahwa di
hadapan misteri soteria, tidak satu pun perantara atau sistem lambang yang mutlak.
Perspektif soteria yang diberikan oleh seorang perantara selalu terbuka untuk
diperjelas, dilengkapi, barangkali dikoreksi oleh pandangan-pandangan perantaraperantara lain. 82
Knitter megajukan kriteria soretiosentris, di mana tidak perlu menggiring pada
suatu bentuk fondasionalisme di luar praksis pembebasan dan dialog. kriteria
soteriosentri berfungsi sebagai sebuah perangkat yang heurustis dan bukan sebagai
sebuah basis yang didefinisikan. Kriterianya dapat dikenal hanya di dalam praksis
sesungguhnya dalam bergumul untuk mengatasi penderitaan dan penindasan dan
hanya dalam praksis dialog. Misalnya, apa cara terbaik untuk menghapuskan
penderitaan dan penindasan? Analisis sosial-budaya apakah yang dibutuhkan?
Transformasi pribadi atau perubahan kesadaran apakah yang dibutuhkan?
Pengutamaan kaum miskin tidak meberikan jawaban-jawaban yang sudah
baku terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun, titik tolak untuk bergumul
81
Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 179-180.
82
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama”, h. 298.
83
bersama, menuju jawaban-jawaban yang diberiakan dalam pengutamaan fundamental
untuk, dan dalam komitmen kepada, kaum tertindas. Meskipun kemungkinan ada
kesepakatan umum tentang bagaimana meningkatkan keadilan dan menyingkirkan
penindasan, setaip agama atau tradisi akan mempunyai pemahamannya sendiri
tentang apa yang dilahirkan oleh soteria atau pembebasan. 83
Jadi, untuk menghindari relativisme, imperialisme dan fondasionisme, Knitter
mengajukan semacam esensi bersama atau pengalaman religius yang sama ataupun
suatu tujuan bersama yang jelas dalam semua agama. Konteks bersama akan
membantu agama-agama untuk menilai satu sama lain. Konteks bersama tersebut
adalah soteriasentris (Kerajaan Allah). Kerajaan Allah yang dimaksud adalah realitas
duniawi, yaitu kerajaan Allah yang hadir di dunia dimana Yesus mengarahkan
tindakan-Nya untuk perbaikan, kesejahteraan, hidup yang lebih baik bagi orang-orang
disekitarnya, terutama yang menderita, termasuk bumi yang semakin lama semakin
rusak. Konteks ini lebih dikenal dengan sebutan tanggung jawab global. Meletakkan
tanggung jawab global sebagai konteks bersama, bukanlah sebagai pereduksian
agama pada moralitas. Namun, berdasarkan unsuru-unsur hakiki yang ada dalam
agama, yaitu spirit transformatif. Agama-agama pada dasarnya bertujuan mengantar
orang pada transformasi diri, disamping itu faktanya bahwa ajaran agama memilki
sumber etis yang tidak hanya mengarah pada dunia lain (eskatologi).
83
Knitter, “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama”, h. 295-297.
84
D. Dialog Korelasional dan Tanggung Jawab Global
Setelah membahas bagaimana Knitter memahami agama-agama lain tanpa
meninggalkan kesetiannya terhadap kesaksian Kristus, ia juga menawarkan suatu
konteks bersama, di mana semua agama dapat memberikan respon mereka yang
berbeda-beda, suatu tanggung jawab bersama terhadap penderitaan eko-human.
Seluruh gagasan teologis Knitter itu akhirnya berakhir pada, apa yang disebutbya
sebagai, dialog korelasional yang bertanggung jawab secara global. Oleh karena itu,
penulis akan sedikit mereview rumusan teologi agama-agama Knitter, kemudian
dihubungkan dengan dialog antar-agama sebagai tujuan dasar teologi Knitter.
Ada dua kata kunci penting di sini. Pertama, kata korelasional, yang berarti
hubungan dialogis dua arah dan dilakukan dalam suatu komunitas yang egaliter dan
bukan hierarkis. Tidak boleh ada pihak yang lebih unggul (kelemahan dasar
eksklusivisme), apalagi yang menjadi "norma" (kelemahan dasar inklusivisme yang
bersandar pada Kristus sebagai norma). Dialog juga sebaiknya tidak berhenti pada
relativisme (kelemahan dasar pluralisme).
Dengan demikian, dialog semacam ini berupaya melaksanakan suatu dialog
yang benar-benar korelasioanal antar agama, suatu dialog di mana semua pihak bisa
85
saling mendengar dan menantang, suatu hubungan dialogis yang otentik dan sungguh
timbal-balik di antara komunitas-komunitas agama di dunia. 84
Kedua, tanggung jawab global. Bagi Knitter, tanggung jawab global harus
merupakan konteks, basis, titik berangkat, atau sasaran semua praktek dialog antaragama. Melaksanakan suatu dialog antar-agama yang soteriosentris yang memiliki
tanggungjawab global sebagai konteksnya, titik berangkatnya, dan tujuannya adalah
mengusulkan suatu dialog di mana praksis memainkan peranan penting. Mitra dialog
tidak boleh hanya berbicara tentang tradisi religius mereka masing-masing tetapi juga
tentang bagaimana tradisi itu bisa dipahami dan perlu dipahami ulang dalam dunia
kontemporer kita.
Dialog harus menghubungkan tradisi kita dengan pengalaman kita dan dunia
ini. Penderitaan itu universal dan bersifat langsung sehingga menjadi ranah yang
sangat cocok, dan diperlukan untuk membangun suatu dasar bersama dalam
melaksanakan perjumpaan antar-agama. Oleh karena itu, suara korban yang
tersingkir, termasuk mereka yang berbicara atas nama Bumi yang dikorbankan,
memiliki tempat terhormat dalam dialog, bukan karena mereka begitu berbeda, tetapi
karena perbedaan mereka menantang dan bisa merusak atau mengalihkan kesadaran
kita. 85
Dengan kata lain, tanggung jawab global menjadi "kunci teologis untuk
mendengar dan memahami Injil dalam keterbukaan yang lebih dialogis terhadap
84
Knitter, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 50.
85
Knitter, satu Bumi Banyak Agama, h. 122-135.
86
agama-agama lain", sekaligus sebagai “kunci hermeneutis untuk mendengar dan
memahami keberlainan dan perbedaan-perbedaan yang ada dalam berbagai jalan
rohani lainnya.” 86 Bagi Knitter, kebutuhan akan teologi seperti itu merupakan upaya
kekristenan dalam menjawab tantangan zaman yang paling krusial pada abad ini.
Senada dengan Hans Küng mengenai etika global, bahwa keprihatinan bagi
suatu dialog harus dipadukan dengan keprihatinan terhadap keadilan. Dengan kata
lain, dialog antar-agama harus memasukkan masalah etis di balik penderitaan
manusia dan bumi sebagai agenda yang paling mendesak. 87
Penderitaan manusia dan lingkungan dapat menjadi konteks dan kriteria
bersama bagi semua umat beragama untuk menilai berbagai klaim kebenaran religius,
karena hal tersebut universal dan langsung. Sifatnya yang langsung ini memampukan
agama-agama untuk saling menatap dan bertanya dan kemudian bergabung dalam
penilaian bersama terhadap kebenaran. Namun, dapatkah soteria benar-benar
berfungsi sebagai kaca mata bersama di antara berbagai umat beragama yang jelasjelas memilki cara pandang yang berbeda terhadap penderitaan manusia dan
lingkungan?
Oleh karenanya, tidaklah cukup bahwa para peserta dialog antar-agama hanya
“mengingat” kenyataan penderitaan, korban ketidakadilan manusiawi dan ekologis.
Yang menderita, para korban, harus turut menentukan agenda dialog, prosedur,
format, tempat dan juga bahasanya. Dengan kehadiran aktif suara mereka yang
86
Knitter, satu Bumi Banyak Agama, h. 53.
87
Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 14-15, Menggugat Arogansi Kekeristenan, h. 39-42.
87
menderita dalam wacana antar-agama, para peserta bisa menerapkan kriteria etispolitis 88 dengan lebih realistis dan efektif terhadap penderitaan yang dialami ekomanusiawi. Jadi, terutama dalam tingkat praktis ini, umat beragama dapat mengalami
klaim kebenaran mereka sebagai absolut dan relatif. Absolut, ketika klaim mereka
terhadap keadilan mengharuskan menolak klaim-klaim dari yang lain, pada saat yang
sama mereka juga merangkul yang lain dan siap belajar dari yang lain tersebut
(relatif).
Jadi dengan proses dialog ̶ di mana satu visi keadilan bias memperlembut
,
mengkritik, dan memperdalam yang lain sehingga setiap visi menjadi lebih kaya
dalam pemahaman dan penerapan ̶
keadilan bukan hanya ditegaskan, tetapi juga
diciptakan. Refleksi tentang kesejahteraan manusia dan lingkungan sebagai kriteria
relatif-absolut semacam ini bisa berwawasan, bahkan juga inspiratif. 89
Dialog selalu merupakan langkah kedua, setelah praksis pembebasan, seperti
apa yang dikatakan oleh para teolog pembebasan (teologi selalu merupakan langkah
kedua). Melihat pembahasan sebelumnya, Knitter sangat menekankan praksis dalam
teologi agama-agama, dan ini berdampak pada dialog yang juga harus didasarkan
pada praksis. Ketika umat beragama berbagi pergumulan bersama sebagai umat
beragama, mereka akhirnya akan berbicara tentang agama. Mereka akan berbagi apa
88
Kriteia ini bisa lebih dimengerti melalui pertanyaan, “Bagaimana pengalaman dan
keyakinan keagamaan kita bisa membuat dunia menjadi lebih baik, baik untuk kepentingankepentingan kita dan masyarakat?”
89
Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 184-190.
88
yang menggerakkan dan menuntun mereka dalam ketekunan mereka mengobati
penderitaan sesama dan bumi ini. Dari hal itu lah dialog praksis diarahkan.
Di dalam metode yang liberatif atau yang bertanggungjawab secara global,
roda hermeneutik berputar dengan empat jari-jari yang terus-menerus saling
mengajak dan membantu. Semua kata yang menggambarkan empat jari-jari ini mulai
dengan awalan atau preposisi cum (“with”) yang diinggriskan: com-passion,
conversion, col-laboration, com-prehension. 90
Compassion (belas kasih) adalah gerakan pertama menuju perjumpaan antarumat berbeda agama. Mereka yang merasakan hal tersebut akan mendapatkan diri
mereka terhubung dua arah: dengan para korban dan dengan mereka yang
menanggapi dengan belas kasih yang sama. Dari sinilah, awal prinsip persatuan dapat
ditemukan antar berbagai agama.
Conversion 91 (pertobatan) yaitu merasa bersama, dan bagi sesama yang
menderita berarti merasa diklaim oleh mereka. Mereka bukan hanya menyentuh
perasaan kita, tetapi juga mengajak kita memberi tanggapan. Sesungguhnya, merasa
berbelas kasih berarti bertobat; hidup kita berbalik dan berubah. Maksudnya adalah,
adanya suatu keinginan untuk bersama-sama dengan berbagai agama lain yang juga
90
91
Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 199-202.
Menurut penulis, conversion semacam kesadaran terhadap penderitaan orang lain atau lebih
dikenal dengan istilah empati yang menuntut tanggapan dari berbagai pihak.
89
mengalami conversion, ketika mereka yang menderita “menuntut” tanggapan
terhadap penderitaan dan ketidakadilan yang mereka derita. 92
Namun ini adalah pertobatan bersama. Jadi dalam pertemuan-pertemuan awal
dari satu dialog liberatif, umat berbeda agama akan berbicara tentang bagaimana
mereka merasa berbelas kasih dan bagaimana mereka merasa diubah oleh berbagai
pengalaman ketidakadilan atau penderitaan manusia dan lingkungan atau bagaimana
mereka sendiri menjadi korban. Hal ini yang membuat mereka dapat berkumpul
bersama dan memberi tanggapan dengan jalan masing-masing.
Collaboration (kolaborasi). Rasa belas kasih terhadap penderitaan dan
bertobat atas penyebabnya akan memungkinkan lahirnya tindakan, yaitu suatu
kolaborasi terhadap penderitaan. Di sinilah letaknya pusat praksis liberatif yang akan
mempererat ikatan eksistensial manusia di antara umat yang berbeda latar belakang
agama. Praksis ini menunjuk agar sesudah menyetujui masalah-masalah yang akan
ditangani, para peserta dialog berupaya mengidentifikasi dan memahami asal-usul
atau penyebab masalah-masalah tersebut. Ini membutuhkan semacam analisis sosioekonomi bersama. 93
Oleh karena itu dibutuhkan upaya untuk saling mendengarkan analisis dan
usulan masing-masing yang berakar di dalam dan ditopang oleh sikap belas kasih
terhadap mereka yang menderita. Jadi, keprihatinan utama yang mengarahkan
pembicaraan bukanlah keinginan masing-masing untuk memperkenalkan agenda atau
92
93
Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 203.
Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 204-205.
90
keyakinan religius masing-masing, tetapi keinginan untuk menghapus penderitaan
dan memperbaiki keadaan. Lebih efektif lagi, segala upaya yang dilakukan oleh
berbagai agama dalam membangun kolaborasi dari dalam kepelbagaian analisis dan
rencana akan dituntun dan selalu dikoreksi oleh para korban dan kaum miskin yang
tengah berjuang. Mereka berfungsi sebagai “wasit” di antara berbagai pemikiran
umat beragama yang berbeda-beda.
Comprehension (pemahaman), terlaksana setelah berbagai agama ini
bertindak dan merasakan penderitaan para korban dari bumi ini, kini mereka akan
merenungkan dan berbicara tentang berbagai keyakinan dan motivasi religius mereka.
Mereka mulai berusaha “mendengar kembali” atau “meninjau ulang” kitab suci,
keyakinan dan kisah masing-masing serta kemudian menjelaskannya bukan hanya
kepada mereka sendiri, tetapi juga kepada orang lain tentang apa yang menggerakkan
dan menuntun serta melestarikan sikap belas kasih, pertobatan, dan kolaborasi
mereka demi kesejahteraan manusia dan lingkungan. 94
Dengan demikian, keempat komponen tersebut ̶ compassion, conversion,
collaboration, comprehension ̶ dapat menghasilkan penegakan keadilan, dan tidak
hanya itu, komunikasi dan saling pengertian di antara berbagai agama akan semakin
terjalin dengan baik.
Menurut Knitter, agama-agama di dunia ini harus bersekutu (bersatu), bukan
untuk membentuk suatu agama tunggal (absolut), tetapi suatu komunitas dialogis dari
94
Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 205-207.
91
berbagai komunitas. Oleh karena itu diperlukan komunitas basis manusiawi seperti,
Parlemen Agama-Agama Sedunia (World Parliament of Religions) di Chicago 1993
dan di Cape Town tahun 1999. Dalam perkumpulan itu, para tokoh agama-agama
besar dunia menekankan akan pentingnya kerjasama antar agama. 95
Komunitas basis manusiawi diharapkan bukan hanya sebagai suatu sarana
berbagai agama untuk menaggapi penderitaan manusia dan lingkungan, tetapi juga
sebagai salah satu cara untuk mencegah penyalahgunaan agama, seperti
pengeksploitasian agama untuk tujuan-tujuan politik yang terdapat di India. Jadi hal
pertama yang dilakukan dalam membangun komunitas berbasis manusiawi yang
terdiri dari banyak umat beragama yang berbeda-beda, adalah mencurigai kejahatan
yang telah terjadi atau sedang terjadi atas nama agama. Dalam komunitas ini, upaya
mereka untuk saling berinteraksi harus juga melibatkan keprihatinan bersama tentang
kesejahteraan manusia dan ekologi. 96
Jadi prioritas utama sebagai tipe dialog yang liberatif dan bertanggungjawab
secara global adalah dialog aksi. Akan tetapi, walaupun demikian dialog semacam itu
harus juga mencakup dialog studi dan dialog spiritualitas agar dapat kuat dan
berputar. 97
Dengan demikian, dialog korelasional dan bertanggung jawab global yang
diusung Knitter adalah suatu dialog di mana semua pihak bisa saling mendengar dan
95
Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama, h. 9.
96
Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 208-221.
97
Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, h. 221-222.
92
menantang, suatu hubungan dialogis yang otentik dan sungguh timbal-balik di antara
komunitas-komunitas agama di dunia, serta bertanggung jawab terhadap pembebasan
dan keadilan eko-manusiawi. Oleh karena itu, suara korban yang tersingkir, termasuk
mereka yang berbicara atas nama bumi yang dikorbankan, memiliki tempat terhormat
dalam dialog.
Dalam metode dialog, Knitter mengajukan empat langkah, compassion,
conversion, collaboration dan comprehension yang berlangsung dalam komunitas
basis manusiawi. Diharapkan komunitas basis manusiawi, setelah melalui langkahlangkah tersebut, akan saling memahami satu sama lain, bersama-sama menanggapi
penderitaan manusia dan lingkungan serta mampu mencegah penyalahgunaan agama.
Dengan melihat teologi agama-agama Knitter, penulis berpendapat bahwa
Knitter adalah seorang teolog yang selalu gelisah dan sangat berhati-hati terhadap apa
yang diyakininya. Ia juga seorang yang selalu ingin berubah menjadi lebih baik lagi,
dinamis dan tidak fanatik terhadap pandangan tertentu.
Sikap Knitter terhadap agama-agama lain yang selalu berubah dan dinamis,
merupakan pengaruh dari Whitehead, seorang filosof yang mengedepankan filsafat
proses dalam metode filsafatnya. Hal tersebut dapat dibuktikan dari perspektif
teologis Knitter terhadap agama lain yang selama perjalanan hidupnya selalu
berubah-ubah, dari eksklusif, inklusif, pluralis, dan akhirnya pluralis yang
korelasional, yang ia ceritakan secara jujur dalam autobiografisnya pada Satu Bumi
Banyak Agama dan Menggugat Arogansi Kekeristenan.
93
Knitter juga termasuk orang yang berani mengkritik pandangan teolog-teolog
lain seperti John Hick dengan relativismenya, Hans Küng dengan finalitas Kristus,
dan Scubert Odgen yang hanya berani menyatakan adanya kemungkinan kebenaran
dalam agama-agama lain. Meskipun hal tersebut tidak murni dari pemikirannya
sendiri, Knitter mengakui bahwa pemikirannya tersebut merupakan “adopsi” dari
berbagai perspektif teologi yang diramunya sehingga melahirkan teologi korelasional
yang bertanggung jawab global.
Menurut penulis, kekurangan dari teologi agama-agama Knitter adalah
penekanannya pada sisi sosiologis dari pada teologis. Sedangkan teologi agamaagama seharusnya lebih banyak berbicara pada tataran teologis. Terlepas dari itu,
suatu hal yang menarik dari Knitter adalah bahwa ia tidak hanya seorang pemikir,
akan tetapi ia juga termasuk seorang aktivis. Hal ini dapat dilihat dari
keikutsertaannya pada aksi kemanusiaan di El-Savador dan India.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Knitter menyadari bahwa ada banyak agama yang benar dan
menyelamatkan dan bahwa agama Kristen merupakan salah satu cara di mana
Allah menyentuh dan merubah dunia, sebagaimana Hick berpendapat bahwa
agama-agama adalah respon manusia terhadap Yang Nyata, namun tetap
menekankan diversitas agama-agama, bahwa agama-agama itu berbeda termasuk
dalam tujuan dan keselamatan. Selain mengakui eksistensi agama lain, umat
Kristen juga harus tetap melihat ada perbedaan besar antara Kristen dan agama
lain yang tidak mungkin disatukan, sehingga setiap agama meyakini doktrin
agama mereka masing-masing, namun tetap terbuka terhadap perbedaan tersebut.
Selanjutnya untuk mengenal dan memahami agama lain dilakukan melalui dialog
yang korelasional, dimana setiap agama memiliki hak yang sama dalam
berdialog, tidak ada yang mendominasi agama lain.
Dengan
demikian,
ketika
berdialog
setiap
agama
tidak
perlu
menanggalkan keunikannya masing-masing sebagai komitmen terhadap agama
yang dianutnya. Akan tetapi, yang perlu dihilangkan adalah sikap eksklusif dan
inklusif dari setiap agama.
Bagi Knitter, pengakuan akan nilai agama-agama lain tidak mengurangi
kesetiaan umat Kristen terhadap Kristus, bahkan memampukan mereka untuk
94
95
mengaktualisasikan karya Yesus dalam keterlibatan dengan agama-agama lain.
Oleh karena itu, ia “menerjemahkan ulang” klaim kristologi tradisional tentang
keunikan Yesus. Dengan menekankan praksis dalam kristologi, klaim bahwa
Yesus satu-satunya, absolut, normatif, dan final harus ditolak, kemudian
memunculkan interpretasi baru bahwa Yesus “sungguh-sungguh, tapi bukan satusatunya”, bahwa pesan-Nya adalah sarana yang pasti untuk menghasilkan
pembebasan dari ketidakadilan dan penindasan, kemudian pesan-Nya itu memang
efektif, penuh pengharapan, secara universal merupakan cara yang bermakna
untuk menunjukkan Soteria dan mengembangkan kerajaan Allah. Dengan
demikian, Yesus akan menjadi unik, bersama-sama dengan para pembebas
lainnya yang juga unik, Ia akan menjadi juruselamat yang universal, bersamasama dengan para juruselamat lain yang universal.
Knitter berpendapat bahwa memaksakan pemahaman tentang Yang Ilahi
berarti sama seperti dengan imperialisme atau penjajahan keyakinan orang lain,
sebab tidak semua agama berbicara mengenai Yang Ilahi. Oleh karena itu, ia
mengusulkan sebuah landasan etis bersama, suatu tujuan bersama yang jelas
dalam semua agama, tanggung jawab global. Tanggung jawab global, bagi
Knitter, merupakan konteks yang dapat menyatukan berbagai agama-agama yang
jelas berbeda, walaupun dengan respon yang tidak satu.
Teologi agama-agama Knitter tidak dapat dipisahkan dari dialog antar
agama, karena dialog merupakan sarana untuk mempelajari lebih dalam keyakian
pribadi maupun keyakinan orang lain. Oleh karena itu, Knitter mengusung suatu
96
bentuk dialog korelasional dan bertanggung jawab global, di mana semua pihak
bisa saling mendengar dan menantang, suatu hubungan dialogis yang otentik dan
sungguh timbal-balik di antara komunitas-komunitas agama di dunia, serta
bertanggung jawab terhadap pembebasan dan keadilan eko-manusiawi. Atas dasar
tersebut, suara korban yang tersingkir, termasuk mereka yang berbicara atas nama
Bumi yang dikorbankan, memiliki tempat terhormat dalam dialog.
Dalam metode dialog, Knitter mengajukan empat langkah, compassion,
conversion, collaboration dan comprehension yang berlangsung dalam komunitas
basis manusiawi. Diharapkan komunitas basis manusiawi, setelah melalui
langkah-langkah tersebut, akan saling memahami satu sama lain, bersama-sama
menanggapi penderitaan manusia dan lingkungan serta mampu mencegah
penyalahgunaan agama.
B. Saran
Agar tercipta pola hubungan antar-agama yang relasional, dialogis dan
peduli terhadap penderitaan bangsa Indonesia, penulis mengharapkan pemerintah
bersama tokoh agama duduk bersama mencari solusi yang tepat untuk
menyelesaikan berbagai masalah hubungan antar agama yang kurang harmonis.
Salah satu contohnya adalah, penguatan fungsi, revitalisasi, FKUB dalam
menyelesaikan perseteruan antar agama.
Selain itu, penulis berharap forum dialog antar umat agama ditingkatkan,
mulai dari tingkat desa hingga perkotaan yang tidak hanya berbicara tentang
97
keyakinan masing-masing pemeluk agama, tetapi juga berusaha mencari solusi
terbaik bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia yang tertindas dan juga
mengenai problem-problem mendasar dari kerusakan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Adiprasetya, Joas. "Etikosenrisme Hans Küng dan Soteriosentrisme Paul F.
Knitter". Dalam Soegeng Hardiyanto. Agama dalam Dialog: Pencerahan,
Perdamaian dan Masa Depan. Punjung Tulis 60 Tahun Prof. DR. Olaf
Herbert Schumann. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
Coward, Harold. Pluralisme, Tantangan bagi Agama-Agama. Terj. Bosco
Carvallo. Yogyakarta: Kanisius, 1989.
Dagun, Save M. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Cet 1. Jakarta: Lembaga
Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997.
Deklarasi Vatikan II: Asas Pendidikan Kristen, Sikap Gereja Terhadap AgamaAgama Bukan Kristen, Kebebasan Beragama. Ende: Arnoldus Ende
Flores, 1966.
Dokumen Konsili Vatikan II. Terj. R. Hardawiryana. Jakarta: Yayasan Obor,
1993.
Hick, John. Tuhan Punya Banyak Nama. Terj. Amin Ma’ruf dan Taufik
Aminuddin. Yogyakarta: Dian/ Interfidei, 2006.
________. “Religious Pluralism”. Dalam Mircea Eliade, ed. In Chief, The
Encyclopedia of Religion. 16 Volume. New York: Macmillan Library
Reference, 1995, 11: 331-333.
Heuken, Adolf. Ensiklopedia Gereja, Jilid III: H-J. Edisi ke-4. Jakarta: Yayasan
Cipta Loka Caraka, 2004.
________. Ensiklopedi Gereja, Jilid VII: Pi-Sek. Jakarta: Yayasan Cipta Loka
Caraka, 2005.
________. Ensiklopedi Gereja, Jilid IV: Ph- To. Jakarta: Yayasan Cipta Loka
Caraka, 1994.
Kamus
Dwibahasa Oxford-Erlangga.
(Jakarta: Erlangga, 1993)
Inggris-indonesia
indonesia-inggris,
Kh., U. Maman, et. al, Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktik. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2006.
Knitter, Paul F.. Pengantar Teologi Agama-Agama. Terj. Nico A. Likumahua.
Yogyakarta: Kanisius, 2008.
________. Menggugat Arogansi Kekeristenan. Terj. M. Purwatman. Yogyakarta:
Kanisius, 2005.
________. “Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama”. Dalam John Hick &
Paul F. Knitter, ed. Mitos keunikan Agama Kristen. Terjemahan. Jakarta:
PT PBK Gunung Mulia, 2001.
________. No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes toward
World Religions. Maryknoll: Orbis, 1985.
________. Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-Agama dan Tanggung Jawab
Global. Terj. Nico A. Likumahua. Jakarta: Gunung Mulia, 2008.
Moqsith Ghazali, ABD. Argumen Pluralismee Agama: Membangun Toleransi
Berbasis Al-Qur’an. Depok: KataKita, 2009.
Munawar Rachman, Budi. Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman.
Jakarta: Paramadina, 2001.
O’Colins, Gerald dan Farrugia, Edward G. Kamus Teologi. Terj. I. Suharyo.
Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Pannikar, Raimundo. Dialog Intrarelogius. Terj. J. Dwi Helly Purnomo dan P.
Puspobinatmo. Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Perjanjian Baru, Mazmur dan Amsal. Cet ke-3. Jakarta: Lembaga Alkitab
Indonesia, 2008.
Rianto, Armada. Dialog Agama Dalam Pandangan Gereja Katolik. Yogyakarta:
Kanisius, 1995.
Salim, Peter. Salim's Ninth Collegiate English-Indonesian Dictionary. Jakarta:
Modern English Press, 2000.
Siburian, Togardo “Tren-Tren Teologis dalam Spirit Pascamodernisme”. Dalam
Jurnal Teologis Stulos. Bandung: Yayasan STT Bandung, September
2009.
Sukanto, Suryono. Kamus Sosiologi. cet. 3. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
1993.
Swidler, Leonard dan Paul Mojzez, ed.. The Uniqueness of Jesus: A Dialogue
with Paul F. Knitter. Maryknoll: Orbis Books, 1997.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. cet. 3. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta: CeQDA UIN Jakarta, 2007.
Whaling, Frank. “Pendekatan Teologis”. Dalam Peter Connolly, ed. Aneka
Pendekatan Studi Agama. Terj. Imam Khoiri. Yogyakarta: LKiS
Yogyakarta, 2002.
Website :
Paul F. Knitter, artikel
diakses pada 03 Juni 2010 dari situs resmi
Union Theological Seminary New York,
http://www.utsnyc.edu/Page.aspx?pid=381
Download