tinjauan pustaka

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Geografi Papua
Daerah New Guinea, termasuk daerah Kepala Burung, relatif baru terbentuk
sebagai hasil pergerakan dan tumbukan lempeng tektonik Indo-Australia ke arah
utara dengan lempeng Pasifik ke arah timur, yang mencapai puncaknya sekitar
akhir Miosen, yaitu sekitar 5-15 juta tahun yang lalu. Pegunungan tengah daerah
kepala burung diperkirakan terpisah dari benua Australia dan dataran utama New
Guinea pada pertengahan hingga akhir masa Eosen (sekitar 40 juta tahun yang
lalu). Kemudian, kepala burung terhubung dengan daratan utama New Guinea
dengan munculnya Lengguru Fold Belt, yaitu “bagian leher” sekitar akhir Pliosen
atau awal Pleistosen (sekitar 1-2 juta tahun yang lalu). Pada saat yang sama
muncul pula pulau di teluk Cenderawasih, yaitu Batanta dan Waigeo. Benua
Australia kemudian terpisah dengan daratan utama New Guiena sekitar 8000
tahun yang lalu (Miedema & Reensik 2004).
Berdasarkan data yang diperoleh dari studi arkeologi di Dataran Ayamaru,
pada ketinggian sekitar 300–400 m, tampak bahwa sebagian besar lingkungan
berubah sesudah akhir masa glasial. Penggalian yang dilakukan di dua gua dekat
danau Ayamaru (Sorong) menunjukkan tiga periode yang berbeda. Periode tertua
adalah periode glasial, yang diwakili oleh Gua Toe. Periode ini dimulai pada akhir
masa Pleistosen, yaitu mulai sekitar 26.000 tahun yang lalu (BP, Before Present),
ketika gua tersebut pertama kali dihuni. Deposit yang mewakili periode ini
menghasilkan sejumlah besar peninggalan hewan Montana. Saat ini spesies
Montana, seperti kuskus (Phalanger vestitus), hanya ditemukan di daerah yang
lebih tinggi. Iklim pada masa itu diperkirakan lembab dan dingin. Periode kedua
disebut periode transisi. Periode ini diwakili oleh Gua Toe dan Gua Kria. Laporan
arkeologi menemukan fauna dataran rendah mendominasi pada periode itu,
sementara fauna Montana semakin berkurang. Terakhir adalah periode modern.
Pada 6.000 tahun yang lalu, kondisi dataran Ayamaru pada masa itu mirip dengan
kondisi saat ini. Sedimen dari dua gua tersebut mengandung hewan vertebrata
yang mirip dengan hewan vertebrata di dataran rendah kepala burung. Selama
periode transisi dan modern, fauna yang mendominasi adalah fauna yang hidup di
8
hutan, seperti walabi (Dorcopsis muelleri) (Miedema & Reensik 2004; Pasveer
2007).
Kolonisasi Manusia Purba di Australia
Sejarah kehidupan manusia Papua berkaitan erat dengan manusia Australia.
Terdapat dua pandangan utama tentang manusia pertama yang menghuni
Australia yang menjelaskan munculnya variasi morfologi kranial (Brown 1987;
Stringer 2002). Kedua model tersebut diusulkan sejak tahun 1960, dan masih
menjadi subjek perdebatan (Curnoe 2009). Pandangan pertama menjelaskan
bahwa terdapat dua atau lebih migrasi ke Australia. Kolonisasi pertama berkaitan
dengan manusia Jawa (yaitu Homo erectus, namun beberapa kelompok peneliti
menyebutnya H. sapien) yang memperkenalkan populasi robust sekitar 50.000
tahun yang lalu. Kejadian kolonisasi ini didukung oleh penemuan fosil manusia
Willandra Lakes yang dikenal dengan istilah WLH-50 (Willandra Lakes Human
50), dan beberapa sampel berasal dari Kow Swamp, Cohuna, dan Coobol Creek.
Kolonisasi kedua berasal dari Cina. Populasi ini dikenal dengan istilah manusia
gracile berdasarkan fosil yang ditemukan di Lake Mungo sekitar 30.000 tahun
yang lalu, dan beberapa fosil gracile juga ditemukan di Pulau King dan Keilor
(Brown 1987; Stringer 2002). Berdasarkan kedua populasi ini, yaitu gracile dan
robust, maka diasumsikan bahwa variasi yang muncul pada manusia modern
Aborigin Australia saat ini merupakan hasil hibridisasi antara manusia gracile dan
robust. Akan tetapi, pendapat lain menjelaskan bahwa manusia gracile dan robust
merupakan satu populasi secara morfologi. Karakter morfologi yang relatif
homogen pada manusia Aborigin Australia tersebut menunjukkan masa kolonisasi
yang hanya terjadi satu kali di daerah Australia pada masa Pleistosen. Keragaman
morfologi berkembang setelah masa pendudukan di Australia (Stringer 2002;
Curnoe 2009). Stringer (2002) lebih menekankan bahwa keragaman morfologi
pada manusia purba Australia di masa akhir Pleistosen merupakan efek dari
perubahan iklim yang terjadi pada jaman es (last glacial maximum) sehingga
menyebabkan terjadinya isolasi dan perubahan morfologi pada beberapa populasi
Australia. Pendapat ini didukung pula oleh Stone dan Cupper (2003).
9
Penemuan terbaru dengan menggunakan serangkaian kombinasi teknik yang
berbeda, merevisi kembali usia fosil manusia gracile yang diwakili oleh Lake
Mungo 1 dan 3. Kedua fosil itu diperkirakan berusia sekitar 62.000 tahun yang
lalu. Selain itu, manusia robust yang diwakili oleh WLH-50 diperkirakan berusia
sekitar 14.000 tahun yang lalu, dan manusia robust Kow swamp berusia sekitar
19.000-22.000 tahun yang lalu (Stringer 2002; Stone & Cupper 2003). Hal ini
menunjukkan bahwa manusia pertama yang menghuni Australia bukanlah
manusia robust, melainkan manusia gracile.
Penemuan ini juga didukung oleh studi Curnoe (2009) yang berpendapat
bahwa manusia gracile WLH1 dan WLH3 merupakan manusia pertama yang
menghuni Australia sekitar 50.000-70.000 tahun yang lalu. Kedua fosil ini
dianggap merupakan manusia modern tertua yang berasal dari Afrika. Kemudian,
kelompok kedua merupakan manusia robust yang diwakili oleh WLH-50 sekitar
14.000 BP, dan beberapa fosil dari Kow Swamp, Cohuna, dan Nacurrie
diperkirakan menghuni Australia sekitar 20.000 tahun yang lalu.
Selain bukti arkeologi, pandangan lain tentang migrasi ke Australia adalah
bukti genetik yang menerangkan bahwa manusia modern tertua yang menghuni
Australia berasal dari Afrika melalui lebih dari dua migrasi. Multiple dispersal
model ini menekankan bahwa keturunan yang berasal dari migrasi yang lebih awal
berasimilasi atau digantikan oleh populasi yang bermigrasi lebih akhir. Dari
Afrika, nenek moyang Aborigin Australia kemudian terpisah dari populasi Eropa
sekitar 62.000-75.000 tahun yang lalu, sebelum populasi Eropa dan populasi Asia
terpisah sekitar 25.000-38.000 tahun yang lalu. Kemudian sekitar 50.000 tahun
yang lalu, nenek moyang Aborigin Australia menghuni Australia. Penemuan ini
juga menunjukkan bahwa terdapat aliran gen antara populasi Asia dan Aborigin
Australia, namun tidak terdapat bukti adanya percampuran dengan populasi Eropa
(Rasmussen et al. 2011).
Penelitian Curnoe (2009) lebih mendukung teori asal usul manusia modern
Out of Africa bahwa manusia modern Australia berasal dari manusia modern
Afrika yang paling awal bermigrasi ke daerah Asia Timur/Asia Tenggara sekitar
<100.000 tahun yang lalu. Hal ini berdasarkan bukti perkembangan dan fungsi
morfologi kranial manusia robust yang menghuni Australia pada masa
10
Pleistosen/awal Holosen. Studi ini berbeda dari teori multiregional evolution
model (Stringer 2002). Teori itu menekankan peran kontinuitas genetik yang
terjadi dari waktu ke waktu di berbagai daerah dan adanya aliran gen antara
populasi yang hidup pada masa yang sama. Karena itu, manusia modern tidak
hanya berasal dari Afrika (seperti penjelasan teori Out of Africa), melainkan juga
berasal dari Asia dan Eropa.
Asal Usul Ras Papua
Sejak zaman prasejarah terdapat beberapa kelompok imigran yang datang ke
berbagai daerah di dataran New Guinea, kemudian menghuni daerah New Guinea
dan tinggal terpisah satu dari yang lain. Karena itulah karakter morfologi fisik
orang Papua saat ini beraneka ragam (Koentjaraningrat 2007). Verneau (1881)
dan Lawes (1882) menjelaskan bahwa orang Papua berasal dari ras campuran.
Pernyataan ini berdasarkan beberapa perbedaan pada 12 tengkorak yang
ditemukan di daerah pedalaman New Guinea, Amberbaken (Manokwari), Rawak,
Boni, dan Kep. Toud, dari tengkorak dari ras Negrito yang dijumpai di daerah
Kepulauan Filipina, Kepulauan Sunda, Semenanjung Malaka, dan Kepulauan
Andaman. Tengkorak dari ras intermediet ini sedikit lebih memanjang, dengan
indeks kepala rata-rata menurun hingga 60,15; sedangkan indeks wajahnya
meningkat hingga 67,17, dan maxillary prognathism lebih runcing daripada ras
Negrito. Dalam beberapa hal, Negrito-Papua juga membentuk transisi antara ras
Negrito asli dengan ras Tasmania.
Nama Papua diberikan oleh orang Melayu yang mengacu pada ras Negrito
Papua. Sebutan itu ditujukan kepada suatu kelompok orang dengan ciri rambut
menyemak (keriting). Ras ini banyak dijumpai di keseluruhan Melanesia dan
sebagian Australia. Tengkorak yang dipilih sebagai tipikal ras Papua berasal dari
Port Dorei (sekarang Doreri, Manokwari) yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
kepala berbentuk dolichochephalus. Indeks cephalic menurun hingga 71,03
bahkan hingga 70,32 pada tengkorak laki-laki. Diameter vertikal melebihi
diameter transversal sehingga kepala bercirikan hypsistenocephalus (atau kepala
lebih panjang daripada lebar). Bentuk kepala ras ini memiliki indeks horizontal
71,55 dan indeks vertikal 105,51 dengan kapasitas kranial sekitar 1,350 cm3.
11
Bentuk kepala dicirikan panjang, sempit, dan tinggi. Dahi sempit menyebabkan
tulang pipi sangat menonjol. Secara keseluruhan, wajah berbentuk panjang/tinggi
dan sempit, tulang hidung agak panjang dan sedikit melengkung. Prognathisme
ras ini sangat tajam. Sudut fasial bervariasi antara 73o dan 76o. Perempuan Papua
umumnya kurang dolichocephalus dan hypsistenocephalus daripada prianya
(Verneau 1881, Morris 1900).
Papua murni atau Papua campuran ditemukan hidup di Ternate, Seram
Timor, dan Malaysia. Tipe murni terdapat di New Britain dan Yanikoro di New
Hebrides, tetapi di bagian lain dari Melanesia terjadi percampuran dengan
Negrito-Papua atau tipe Polinesia. Jejak Negrito Papua campuran dijumpai di
Kep. Toud (Selat Torres), namun sebagian besar penduduk dari pulau-pulau
tersebut dan daerah New Guinea adalah Papua asli (Verneau 1881).
Lawes (1882) telah melihat adanya bukti variasi yang besar pada fisiognomi
wajah dan bentuk tengkorak kepala orang Papua, yang didukung oleh pernyataan
Prof Giglioli dari Florence. Ia mengatakan bahwa telah melihat sebagian besar
koleksi tengkorak yang dibuat oleh Signor D‟Albertis dalam perjalanannya
menyusuri sungai Fly (Merauke, Papua) dan Ia mengatakan adanya keragaman
yang tinggi dalam bentuk cranium dari beberapa penduduk asli pedalaman.
Dengan demikian, hanya satu kemungkinan penjelasan tentang hal tersebut, yaitu
telah terjadi percampuran antarras di daerah tersebut. Salah satu indikasinya
adalah perbedaan warna kulit yang sangat nyata. Ke arah Barat dijumpai
penduduk asli dengan warna kulit hitam, sedangkan dari Teluk Redscar ke arah
timur, yaitu ras yang tinggal di daerah pantai, memiliki warna kulit cokelat terang.
Penduduk di daerah pegunungan dan daerah pedalaman memiliki warna kulit di
antara keduanya. Ia kemudian menyimpulkan bahwa orang-orang di daerah
pegunungan dan pedalaman merupakan penduduk asli Papua, sedangkan
penduduk yang mendiami daerah pantai dengan warna kulit cokelat dan hitam
kemungkinan adalah pendatang (Lawes 1882).
Suku Arfak
Masyarakat Arfak adalah penduduk asli daerah pedalaman dataran tinggi
daerah Manokwari, Provinsi Papua Barat. Kata Arfak berasal dari Bahasa Biak
12
Numfor dan juga digunakan oleh orang Biak pantai untuk menyebut penduduk
asli di pedalaman Pulau Biak (Craven & de Fretes 1987). Mereka terdiri atas
empat subsuku, yaitu Hattam, Sougb, Moile, dan Meyah, yang dikenal dengan
istilah „Suku Besar Arfak”. Hattam merupakan kelompok suku yang dominan di
Pegunungan Arfak (Sumule 1994; Laksono et al. 2001).
Secara geografi, asal suku keempat subsuku itu berbeda-beda. Craven & de
Fretes (1987) membagi Suku Arfak menjadi tiga subsuku, yaitu Hattam, Meyah,
dan Sougb. Kemudian subsuku Hattam terbagi lagi menjadi tiga kelompok
(rumpun), yaitu Moile di sebelah utara dan daerah pantai; Tinam di daerah hulu
sungai Ingamou dan sisi timur sungai Ransiki sampai sejauh Sower di sebelah
selatannya; dan Urwam sebuah kelompok di daerah pantai sebelah utara
Oransbari. Rumpun ini terbagi lagi ke dalam marga yang berbeda-beda.
Suku Sougb umumnya dikenal orang luar sebagai Suku Manikion. Kata
Manikion berasal dari bahasa Biak. Daerah kekuasaan suku ini terletak di sebelah
barat daerah suku rumpun Tinam. Suku Meyah berlokasi di sebelah barat daerah
rumpun Moile dan tanah sukunya membentang jauh sampai ke pedalaman kepala
burung. Oleh orang Hattam mereka disebut orang Arfak asli (Craven & de Fretes
1987).
Identitas subsuku awalnya dibedakan menurut lokasi pemukiman, bahasa
dan marga, namun saat ini keempat subsuku tersebut mulai sulit untuk dibedakan.
Karena itu, bahasa yang digunakan sebagai sarana komunikasi antarsuku adalah
bahasa campuran sehingga umumnya setiap orang menguasai lebih dari satu
dialek. Secara keseluruhan, kehidupan Suku Arfak masih jauh tertinggal dengan
fasilitas air bersih, listrik, transportasi, dan sarana kesehatan yang terbatas. Di
samping itu, tempat tinggal sebagian besar Suku Arfak adalah semi-permanen.
Wajah Suku Arfak
Berdasarkan penelusuran literatur, hanya Verneau (1881) yang secara ilmiah
mendeskripsikan bentuk kraniofasial orang Arfak. Secara umum, bentuk
kepalanya adalah dolicochephalus, namun bentuk kepala wanita Arfak kurang
panjang bila dibandingkan dengan laki-laki Arfak. Dahinya sempit menyebabkan
tulang pipi sangat menonjol, wajah berbentuk panjang dan sempit, tulang hidung
13
agak panjang dan sedikit melengkung, prognathisme sangat tajam. Untuk
memperjelas dan mengupdate bentuk wajah Suku Arfak yang telah terdeskripsi
secara visual, maka penelitian ini menggunakan metode yang relatif baru
berdasarkan koordinat titik anatomi wajah, yaitu morfometrika geometris.
Morfometrika
geometris
merupakan
suatu
metode
statistik
yang
berkembang sekitar tahun 1990. Pada tahun sebelumnya, yaitu sekitar tahun 1960
dan 1970, perangkat statistika multivariat digunakan sebagai alat dalam
menggambarkan pola variasi bentuk dan kovariatnya di dalam maupun
antarkelompok. Pendekatan ini dikenal dengan istilah morfometrika tradisional
atau morfometrika multivariat. Mulanya, morfometrika diaplikasikan untuk
menggambarkan secara kuantitatif suatu organisme. Biasanya pengukuran jarak
linear, sudut, rasio, dan area yang homolog yang digunakan dalam analisis
multivariat. Oleh karena itu, pengukuran ini menggambarkan ukuran suatu
organisme tanpa mempertimbangkan bentuk. Melalui pendekatan ini, kovariasi
dalam pengukuran morfologi dapat dikuantifikasi dan pola variasi di dalam dan di
antara kelompok dapat dinilai. Sayangnya, pendekatan ini tidak mampu
menggambarkan secara grafis perbedaan antara bentuk-bentuk yang ada, akan
tetapi memiliki keunggulan karena mampu memetakan data individu ke ruang
karakter hiper-dimensional. Analisis statistika yang termasuk dalam metode ini
meliputi Analisis Komponen Utama (AKU), analisis faktor, Canonical Variat
Analysis (CVA), dan analisis fungsi diskriminan (Adams et al. 2004).
Pada akhir tahun 1980 dan awal tahun 1990 terjadi perubahan dalam
menganalisis data kuantitatif struktur morfologi suatu organisme. Pendekatan baru
ini, yang membawa paradigma baru dalam morfometrika, dikenal dengan istilah
morfometrika geometris atau analisis bentuk geometri. Pada metode ini, kerangka
analisis koleksi data bergeser dari pengukuran skalar menjadi pembangkitan
koordinat Kartesius (x, y, dan z untuk 3 dimensi) dari titik-titik anatomis suatu
bentuk biologis. Dengan jumlah titik anatomis yang optimum pada suatu bentuk,
data koordinat akan mewakili bentuk tersebut secara baik. Metode ini disebut
morfometrika geometris (Rohlf & Marcus 1993; Richtsmeier et al. 2002).
Pada 20 tahun terakhir, penelitian dalam bidang ini banyak dipelopori oleh
Bookstein dan Kendall. Bookstein (1989; 1991) menyumbangkan hasil
14
pemikirannya tentang analisis bentuk geometri, terutama aplikasinya dalam
bidang biologi. Dia memperkenalkan serangkaian teknik analisis statistik dalam
menganalisis variasi bentuk. Kendall (1989) mereview kembali teori tentang
bentuk dan perkembangannya yang diperkenalkan olehnya pada tahun 1977.
Penelitian lain yang berkaitan dengan pengembangan metode dan aplikasinya juga
banyak disumbangkan oleh Rohlf (2000); Slice (2001); Richtsmeier et al. (2002);
Rohlf (2003) dan Von Cramon-Taubadel et al. (2007). Selain itu, Dryden &
Mardia (1998) memberikan ulasan tentang bentuk dari sudut pandang ilmu
statistik.
Beberapa metode dikembangkan untuk digunakan pada morfometrika
geometris, yaitu perangkat superimposisi dan deformasi. Metode superimposisi
mengeliminasi variasi tak sebentuk di dalam konfigurasi titik-titik anatomis
dengan menumpukkan bentuk-bentuk yang ada pada sentroid umumnya menurut
beberapa kriteria optimasi. Setiap koordinat kemudian diputar dengan kriteria
tertentu untuk meminimalisasi variasi bentuk antara mereka. Metode ini disebut
Generalized Procrustes Analysis (GPA) yang dahulu disebut Generalized Least
Square (GLS). Formula ini dapat digunakan untuk menghitung bentuk rata-rata
dari suatu kelompok biologis. Bentuk rata-rata ini kemudian dapat digunakan
sebagai bentuk tipe kelompok tersebut, atau dapat digunakan sebagai bentuk
referensi saat analisis deformasi. Beberapa metode superimposisi yang telah
dikembangkan, masing-masing menggunakan protokol dan kriteria optimasi yang
berbeda. Two-point registration (koordinat bentuk Bookstein) merupakan metode
superimposisi sederhana yang meletakkan dasar bagi pengembangan teori bentuk
Bookstein pada akhir tahun 1980 (Rohlf & Marcus 1993; Dryden & Mardia 1998;
Zeldich et al. 2004)
Setelah metode superimposisi, perbedaan bentuk dapat digambarkan sebagai
perbedaan koordinat titik-titik anatomi di antara objek. Perbedaan ini dapat juga
digunakan sebagai data dalam menganalisis variasi bentuk dengan analisis
perbandingan multivariat. Formula thin-plate spline (TPS) mampu memetakan
deformasi dari suatu bentuk objek (biasanya bentuk referensi) ke bentuk lainnya
dengan
menggunakan
pergerakan
titik-titik
anatomis.
Proses
ini
akan
membangkitkan grid yang menggambarkan pemetaan titik-titik anatomis homolog
15
dari dua bentuk yang ada (Adams et al. 2004). Analisis deformasi bermula ketika
Thompson pada tahun 1917 mengembangkan metode untuk menghasilkan grid
deformasi, dimana suatu grid kotak beraturan diletakkan pada suatu bentuk.
Kemudian bentuk tersebut dideformasikan ke bentuk selanjutnya secara halus.
Perubahan bentuk grid menggambarkan perubahan bentuk yang ada. Thompson
menggambarkan grid tersebut dengan tangan sehingga sangat subjektif. Namun
Bookstein (1991) memberikan formula statistik yang memunginkan grid
deformasi digambarkan secara objektif, yaitu Thin-Plate Spline.
Grid deformasi yang dihasilkan dari metode TPS dapat ditransformasi
melalui analisis pelekukan relatif (relative warp) (Rohlf & Marcus 1993).
Parameter hasil transformasi tersebut dapat digunakan sebagai variabel dalam
statistik multivariat analisis komponen utama (Principal Component Analysis,
PCA). Analisis relative warp sebenarnya berkaitan dengan analisis PCA. Metode
ini berguna dalam mengeksplorasi variasi di dalam sampel, dengan cara
mereduksi total variasi menjadi dimensi independen dengan jumlah yang lebih
kecil. Umumnya, beberapa komponen pertama (relative warp) merangkum
sebagian besar variasi dari suatu sampel.
Titik anatomi landmark memiliki peran penting dalam morfometrika
geometris, terutama dalam analisis bentuk. Landmark merupakan lokus-lokus
yang memiliki pengertian yang sama dengan koodinat kartesius. Landmark
menyatakan homologi sesungguhnya (yang berkaitan dengan biologi) dari suatu
bentuk ke bentuk lain. Ini berarti titik anatomi landmark tidak hanya berhubungan
dengan lokasinya sendiri tapi juga berhubungan dengan lokasi dari setiap bentuk
yang lain dan rata-rata dari keseluruhan bentuk. Terdapat beberapa kriteria dalam
menentukan landmark sehingga semua informasi ciri biologi yang diamati
terwakili. Idealnya landmark merupakan titik anatomi yang homolog, posisi
tipologinya tidak berubah dengan landmark yang lain, menyediakan informasi ciri
morfologi yang cukup, dapat diulang, dan dipercaya. (Adams et al. 2004; Zeldich
et al. 2004). Dryden & Mardia (1998) menentukan 3 tipe landmark, yaitu (1) titik
yang menghubungkan jaringan atau tulang, (2) titik yang didefenisikan
berdasarkan local properties, dan (3) titik terluar. Terdapat tipe lain titik anatomi
16
yaitu semi-landmark. Pada tipe ini, sebuah titik ditempatkan di dalam sebuah
bentuk kurva.
Tahap-tahap Pertumbuhan Manusia
Pertumbuhan dan perkembangan terjadi secara simultan, akan tetapi proses
biologi keduanya berlangsung secara berbeda. Pertumbuhan merupakan
peningkatan besar tubuh secara kuantitatif dalam jumlah dan massa, sedangkan
perkembangan didefinisikan sebagai perubahan organik secara kualitatif dan
kuantitatif dari bentuk yang belum terdiferensiasi atau belum matang ke bentuk
yang matang, terorganisasi, dan terspesialisasi. Pertumbuhan manusia sesudah
kelahiran (pascanatal) terbagi menjadi 5 tahap yang berbeda, yaitu fase bayi,
anak-anak, yuwana, remaja, dan dewasa. Pertumbuhan dan perkembangan di masa
anak, yuwana, dan remaja merupakan proses dinamis yang ditandai oleh
perubahan fisik, perkembangan seksual, dan perubahan fisiologi yang berkaitan
(Marshall 1978; Bogin 1999).
Fase bayi merupakan fase ketika individu bergantung pada makanan dari
ibunya dalam bentuk air susu. Setelah masa sapih (12 bulan hingga 36 bulan),
individu memasuki masa anak-anak di mana penyiapan makanannya masih
bergantung pada bantuan orang lain karena sistem pencernaanya belum matang.
Ketika geraham pertamanya tumbuh, pada usia 6-7 tahun, ia memasuki masa
yuwana (Bogin 1999) yang merupakan tahap seseorang mulai independen.
Periode Pertumbuhan Anak-anak
Fase anak dicirikan oleh pola pertumbuhan, perilaku makan, perkembangan
motorik, dan kematangan kognitif yang spesifik. (Robison 1968; Malina et al.
2004). Dua kejadian penting yang berkaitan dengan perkembangan fisik pada
masa anak adalah munculnya gigi permanen yang pertama dan penyelesaian
pertumbuhan berat otak (Bogin 1999). Saat awal fase anak terjadi penurunan laju
pertumbuhan yang drastis. Di lain pihak, kemampuan lokomosi berkembang dan
matang. Selain itu, perkembangan tinggi badan anak laki-laki lebih cepat
dibandingkan anak perempuan, dan struktur skeletal menjadi lebih padat. Akhir
masa anak-anak ditandai oleh laju pertumbuhan yang kecil. Perkembangan otot
17
sangat cepat, terutama pertumbuhan otot yang berukuran besar lebih cepat
dibandingkan otot yang mengontrol koordinasi. Sistem respirasi dan jantung
menjadi lebih teregulasi dan berkembang. Pada pertengahan masa anak-anak
perkembangan pertumbuhan fisik, kematangan, dan perkembangan perilaku relatif
tetap (Robison 1968; Malina et al. 2004).
Pertumbuhan anak merupakan indikator terbaik untuk memonitor status gizi
dan kesehatan suatu populasi. Indeks antropometri yang umumnya digunakan
secara internasional untuk menilai pertumbuhan dan status gizi, serta kondisi
kesehatan pada anak-anak adalah berat terhadap tinggi (weight-for-height), tinggi
terhadap umur (height-for-age), dan berat terhadap umur (weight for age) (de
Onis & Habicht 1996; de Onis & Blossner 2003)
Periode Pertumbuhan Yuwana
Periode yuwana didefinisikan sebagai masa prapubertas dan anak tidak lagi
bergantung sepenuhnya pada orang lain untuk bertahan hidup. Pada anak
perempuan, akhir masa yuwana diperkirakan sekitar usia 10 tahun, yaitu dua
tahun sebelum akhir masa yuwana pada anak laki-laki. Perbedaan ini
merefleksikan anak perempuan memiliki masa remaja yang lebih awal. Masa ini
ditandai oleh laju pertumbuhan yang menurun namun dalam waktu yang relatif
singkat. Laju pertumbuhan yang lambat terlihat pada tinggi dan berat badan,
jaringan, organ, dan sistem tubuh. Pertumbuhan pada fase yuwana dapat
diprediksi karena stabil dan seimbang (Bogin 1999).
Periode Pertumbuhan Remaja
Masa remaja merupakan suatu periode transisi dari masa anak-anak ke masa
dewasa. Pada masa ini seorang anak mengalami beberapa perubahan unik yang
berkaitan dengan pertumbuhan fisik, sosial, intelektual, perkembangan seksual,
dan aktivitas hipotalamus-pituitari yang berhenti pada masa anak-anak dan
yuwana diinisiasi kembali untuk memproduksi hormon yang berkaitan dengan
sistem gonad (Bogin 1999; Unicef 2006).
Masa remaja merupakan suatu periode yang lebih sulit untuk didefinisikan
dalam pengertian kronologi umur, karena terdapat variasi waktu saat awal dan
18
akhir masa remaja. WHO mendefinisikan usia remaja berkisar antara 10-18 tahun,
akan tetapi kisaran usia antara 8-19 tahun pada anak perempuan dan 10-22 tahun
pada anak laki-laki merupakan kisaran usia yang lebih sesuai untuk
mendefinisikan usia masa remaja (Malina et al. 2004).
Pada periode remaja, sebagian besar sistem tubuh menjadi dewasa secara
struktural dan fungsional. Secara struktural, masa remaja diawali dengan
peningkatan laju pertumbuhan besar tubuh, yang ditandai dengan lonjakan
pertumbuhan masa remaja (adolescent growth spurt). Secara fungsional, masa
remaja dipandang sebagai masa kematangan seksual, yaitu dimulai dengan
perubahan sistem neuroendokrin sebelum terjadi perubahan fisik, dan diakhiri
dengan pencapaian pematangan fungsi reproduksi (Malina et al. 2004).
Secara struktural, laki-laki dan perempuan pada masa remaja menunjukkan
peningkatan kecepatan pertumbuhan pada semua jaringan skeletal, massa otot,
tulang, dan lemak. Perubahan kecepatan dan lonjakan pertumbuhan pada masa
remaja mempengaruhi hampir semua bagian tubuh, meliputi panjang tulang,
tulang belakang, tulang wajah dan tengkorak, jantung, paru-paru, dan organ
visceral lain (Bogin 1999; Malina et al. 2004).
Indeks antropometri yang umumnya digunakan secara internasional untuk
menilai pertumbuhan dan status gizi, serta kondisi kesehatan pada remaja adalah
tinggi menurut umur (height-for-age), indeks massa tubuh menurut umur (Body
Mass Index, BMI, for age), serta tebal lipatan kulit trisep dan subscapula menurut
umur (tricep dan subscapular skinfold thicknesses-for-age). Indeks antropometri
tersebut
biasanya
ditampilkan
dalam
bentuk
kurva
persentil.
WHO
merekomendasikan kurva pertumbuhan dengan persentil antara 3,2%-97,7% yang
dikembangkan oleh National Center for Health Statistics (NCHS) untuk populasi
Amerika sebagai kurva referensi yang dijadikan acuan secara internasional. Usia
dan laju pertumbuhan maksimum tinggi badan, berat badan, dan indeks massa
tubuh, serta usia, dan laju saat take off pada masa lonjakan pertumbuhan
merupakan parameter yang paling umum digunakan sebagai indikator kematangan
somatik (de Onis & Habicht 1996; Abbassi; 1998; de Onis & Blossner 2003;
Malina et al. 2004).
19
Secara fungsional, kematangan seksual biasanya dinilai berdasarkan
perkembangan ciri-ciri kelamin sekunder. Pada anak laki-laki penanda masa
pubertas adalah perubahan ukuran pada penis dan skrotum, pertumbuhan rambut
pubis, rambut axilla, rambut wajah, dan perubahan suara. Pada anak perempuan
ciri-ciri kelamin sekunder meliputi pertumbuhan payudara, munculnya rambut
pubis dan rambut axilla, dan perkembangan uterus, vagina, dan vulva mencapai
ukuran dewasa (Kulin & Muller 1996; Bogin 1999). Selain itu, usia menarke
(kejadian menstruasi pertama kali) dan usia spermarke (kejadian mimpi basah
pertama kali) merupakan dua parameter yang digunakan untuk menilai
kematangan gonad dan secara fisiologi juga merupakan indikator pubertas pada
anak laki-laki dan anak perempuan (Malina et al. 2004; Guzman 2007).
Pubertas
Kata pubertas berasal dari bahasa Latin pubescere artinya, “to become
covered in hair”. Masa ini ditandai oleh kemampuan untuk bereproduksi dan
berkembangnya ciri-ciri seksual sekunder (Rochebrochard 2000), juga ditandai
oleh kejadian fisiologi yang berkaitan dengan pertumbuhan manusia (Abbassi
1998). Sering kali istilah pubertas dan masa remaja digunakan secara sinonim
untuk menunjukkan masa transisi dari masa anak ke masa dewasa. Istilah pubertas
berbeda dari masa remaja, karena pubertas merupakan bagian dari masa remaja
yang khusus berkaitan dengan suatu proses kematangan sistem reproduksi,
sedangkan pada masa remaja, tidak hanya sistem repoduksi yang mengalami
kematangan, akan tetapi juga kognitif, emosi, dan sosial (Sisk & Zher 2005).
Meskipun pubertas terjadi pada masa remaja, perubahan internal mulai terjadi
lebih awal dibandingkan dengan perubahan eksternal (Guszman 2007).
Pubertas normal pada manusia terbagi menjadi dua proses, yaitu adrenarke
dan gonadarke. Adrenarke merupakan maturasi korteks adrenal yang ditandai oleh
meningkatnya sekresi androgen adrenal, dan manifestasinya tampak pada
munculnya rambut-rambut seksual, yang disebut pubarke. Pada masa ini sekresi
androgen adrenal meningkat secara bertahap dan terus meningkat pada masa
pubertas dan mencapai optimal pada akhir masa remaja. Sementara gonadarke
berkaitan dengan aktivasi ovarium atau testis pada akhir fase prapubertal yang
20
menyebabkan meningkatnya produksi steroid gonad dan penyelesaian proses
gametogenesis. Testosteron adalah hormon seksual laki-laki yang diproduksi oleh
gonad, sedangkan estrogen dan progresteron adalah hormon seksual perempuan.
Hormon ini bertanggung jawab atas perkembangan ciri kelamin sekunder
(Domine et al. 2006).
Menarke
Menarke merupakan peristiwa menstruasi pertama yang dialami oleh
seorang anak perempuan. Kejadian ini paling umum diteliti sebagai indikator
kematangan seksual dan merupakan manifestasi terakhir masa pubertas pada
perempuan (Parent et al. 2003; Malina et al. 2004). Umur menarke berkaitan erat
dengan distribusi leptin dalam lemak tubuh. Leptin dalam darah yang diproduksi
oleh sel lemak dan disandikan oleh gen ob atau gen leptin merupakan
proteohormon dengan berat molekul 16 kDa (Blum et al. 1997). Nilai kritis kadar
leptin sangat penting dalam merangsang kemampuan reproduktif seorang
perempuan, karena leptin merupakan mediator antara jaringan adiposa dan
gonadal-hypothalamic axis pada perempuan (Matcovic et al. 1997). Hormon ini
berperan dalam meregulasi berat badan, dan lebih berhubungan erat dengan lemak
di bagian gluteofemoral dibandingkan dengan lemak pada tubuh bagian atas. Ini
menunjukkan bahwa hormon leptin membawa informasi tentang distribusi lemak
ke hipotalamus selama pubertas (Lassek & Gaulin 2007). Sebelum pubertas, kadar
leptin pada anak laki-laki dan perempuan tidak terdapat perbedaan yang
signifikan. Akan tetapi pada masa pubertas, kadar leptin pada anak perempuan
meningkat, sedangkan pada anak laki-laki menurun. Ini berarti dimorfisme
seksual terhadap kadar leptin terjadi selama masa pubertas (Matkovic et al. 1997;
Blum et al. 1997; Ahmed et al. 1999).
Kecenderungan penurunan usia menarke banyak dilaporkan terjadi pada
abad ini. Fenomena ini menunjukkan proses adaptasi terhadap kondisi
lingkungan. Studi saat ini belum dapat melaporkan kecenderungan kematangan
gonad yang lebih cepat pada Suku Arfak, karena usia menarke pada generasi
sebelumnya belum pernah dilaporkan. Namun, sejumlah studi di beberapa negara
memperlihatkan fenomena tersebut.
21
Penelitian di Maharashtra India menunjukkan rata-rata laju penurunan usia
menarke sekitar 6 bulan selama tiga dekade terakhir (Bagga & Kulkarni 2000).
Studi Khanna & Kapoor (2004) di New Delhi dan Aryal (2004) di Nepal
(pedesaan) menunjukkan usia menarke ibu (13,3 dan 15 tahun) dan anaknya (12,8
dan 14 tahun). Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan penurunan usia
menarke, dengan rata-rata perbedaan usia menarke antara ibu dan anak sekitar 0,5
atau 1 tahun. Kejadian yang sama terjadi pada wanita Indonesia. Dalam kurun
waktu 25 tahun (1973-2008), usia menarke menurun dari 13,98 tahun menjadi
12,71 tahun (Sukmaningrasa 2009). Di Perancis, usia menarke menurun sebanyak
3 tahun dari sekitar 16 tahun pada abad ke-18 menjadi sekitar 13 tahun pada abad
ke-20 (Rochebrochard 2000). Penurunan usia menarke juga terjadi pada wanita di
negara Israel (Chodick et al. 2005); di Cina (Graham et al.1999); Eropa, Amerika
Utara, dan Jepang (Malina et al. 2004). Di Inggris (Dann & Robert 1973; Robert
& Dann 1975), usia menarke menunjukkan angka yang stabil sehingga dikatakan
bahwa kecenderungan penurunan usia menarke telah berhenti. Akan tetapi di
Perancis, fenomena stabilisasi usia menarke masih menimbulkan perdebatan
(Rochebrochard 2000).
Spermarke
Spermarke
didefinisikan
sebagai
kejadian
spermaturia
(ekskresi
spermatozoa dalam urin) pertama pada anak laki-laki. Peristiwa ini menandakan
kematangan gonad dan merefleksikan berfungsinya eksokrin testis pada masa
pubertas (Kulin et al. 1982; Schaefer et al. 1990).
Umumnya usia spermarke ditentukan berdasarkan jumlah spermatozoa
dalam spesimen urin dan personal interview (Kulin et al. 1989; Schaefer et al.
1990; Pedersen et al. 1993; Yan et al. 1999; Ji 2001). Studi usia spermarke
berdasarkan jumlah spermatozoa dalam urin bermanfaaat untuk uji screening
secara kualitatif dalam menginvestigasi potensi kerusakan pada pematangan testis,
dan juga berguna dalam mendeteksi cepat atau lambatnya masa pubertas seorang
anak (Schaefer et al. 1990).
Penelitian tentang penentuan usia spermarke cenderung sulit dilakukan
karena terhambat oleh pertimbangan kultur, sosial, dan etik. Peristiwa mimpi
22
basah masih dianggap fenomena kultur yang tidak umum untuk dibicarakan
(Janssen 2007). Hal ini menyebabkan penelitian tentang usia spermarke lebih
sedikit dilakukan bila dibandingkan dengan studi tentang usia menarke (Kulin et
al. 1989; Schaefer et al. 1990; Papadimitriou et al. 2002).
Faktor genetik dan faktor lingkungan turut berperan dalam menentukan
variasi usia spermarke antarpopulasi. Studi usia spermarke secara longitudinal dan
cross sectional menunjukkan rata-rata usia spermarke anak laki-laki berkisar
antara 13-14 tahun (Pedersen et al. 1993). Beberapa faktor lingkungan yang
mempengaruhi usia spermarke antara lain tingkat sosioekonomi, ekologi, tempat
tinggal di daerah pedesaan dan perkotaan (Yan et al. 1999 ; Ji 2000). Namun,
pengaruh kecenderungan sekuler (secular trend) terhadap usia spermarke dalam
suatu populasi belum pernah dilaporkan, yang berbeda bila dibandingkan dengan
efek kecenderungan sekuler terhadap usia menarke yang relatif telah banyak
dilaporkan.
Komposisi Tubuh
Berdasarkan pengukuran antropometrik (pengukuran tubuh manusia), yang
mengawali munculnya penelitian komposisi tubuh sekitar 100 tahun yang lalu,
setiap orang memiliki bentuk fisik tertentu. Melalui teknik antropometri, maka
ukuran, bentuk, proporsi, dan komposisi tubuh manusia dapat dievaluasi karena
setiap individu memiliki biotipe atau somatotipe yang berbeda, dan dapat
diklasifikasi berdasarkan bentuknya. Meskipun setiap individu memiliki
komponen yang sama, proporsinya berbeda (Henche & Pellico 2005).
Tubuh manusia terbagi menjadi beberapa komponen. Sekitar 35 komponen
utama komposisi tubuh diorganisasikan dalam 5 tingkatan, yaitu atom, molekul,
seluler, sistem jaringan, dan organ tubuh secara keseluruhan. Tingkatan tubuh
secara keseluruhan berkaitan dengan karakteristik fisik, eksterior, ukuran, dan
bentuk tubuh. Terdapat 10 dimensi tingkatan tubuh yang berhubungan secara
keseluruhan, yaitu tinggi badan, panjang segmen, lebar tubuh, lingkar tubuh, tebal
lipatan kulit, area permukaan tubuh, volume tubuh, total berat badan, indeks
massa tubuh, dan densitas tubuh (Wang et al. 1992; Heymsfield et al. 2000).
23
Beberapa model komposisi tubuh telah digunakan untuk membagi massa
tubuh menjadi beberapa komponen atau kompartemen, meliputi model tradisional
dua komponen sampai model yang terdiri atas tiga, empat, dan lebih
kompartemen. Berdasarkan model tradisional, tubuh manusia terbagi atas massa
lemak dan massa bebas lemak. Model tiga komponen meliputi massa lemak,
namun membagi massa bebas lemak menjadi total air dalam tubuh dan massa
kering bebas lemak. Air merupakan komponen terbesar dalam tubuh dan sebagian
besar berada di jaringan yang tidak berlemak. Massa bebas lemak kering meliputi
protein, glikogen, mineral tulang, dan mineral jaringan lunak. Model empat
komponen merupakan perkembangan dari model tiga komponen. Pengukuran
volume tubuh, total air dalam tubuh, dan mineral tulang diusulkan dalam model
empat kompartemen. Massa kering bebas lemak meliputi mineral tulang dan
residu. Saat ini, model multikomponen lebih diterima dalam penelitian komposisi
tubuh (Heymsfield et al. 2000; Henche & Pellico 2005; Malina et al. 2004).
Metode yang digunakan untuk mengukur komposisi tubuh secara in vivo
dapat dilakukan secara langsung (direct), tidak langsung (indirect), dan tidak
langsung ganda (doubly indirect). Metode langsung dapat dilakukan dengan
mengukur secara langsung komponen tubuh, misalnya pada metode in-vivo
neutron activation analysis (IVNAA) yang dapat mengukur jumlah elemen kimia
dalam tubuh. Metode ini cukup mahal dan hanya beberapa laboratorium yang
memiliki alat ini. Metode tidak langsung, misalnya densitometri, deuterium oxide
dilution, dan dual energy Xray absorptiometry (DXA). Metode doubly indirect
didasarkan pada pengukuran variabel tubuh dan pengukuran komposisi tubuh.
Contohnya, pengukuran antropometri (tebal lipatan kulit, lingkar pinggang,
Indeks Massa Tubuh, dan persen lemak tubuh) dan bioelectric impedance analysis
(BIA). Kedua metode ini dapat diaplikasikan secara langsung di lapangan (WHO
2004).
Selain itu, Vehrs & Hager (2006) berpendapat, metode yang digunakan
untuk menilai komposisi tubuh juga dapat dikategorikan sebagai metode
laboratorium dan metode lapangan. Beberapa metode, antara lain DXA dan
hidrodensitometri, biasanya digunakan secara terbatas di dalam laboratorium. Ini
disebabkan oleh ukuran, biaya, portabilitas, dan penggunaan teknologi.
24
Pengukuran antropometri dan bio-electrical impedance (BIA) merupakan metode
lapangan. Kedua metode ini tidak terlalu mahal, mudah dibawa, dan tidak
membutuhkan keahlian khusus dalam proses pengoperasiannya. Malina et al.
(2004) secara ringkas dan lengkap menyajikan beberapa metode (Tabel 1) yang
digunakan dalam menilai komposisi tubuh.
Tabel 1. Beberapa metode yang digunakan dalam menilai komposisi tubuh
(Malina et al. 2004)
Metode
Underwater weighing, gas
displacement
40
K whole-body counting
Isotop dilution
Neutron activation analysis
Bioelectric impedance
Uptake of fat-soluble gas
Ekskresi kreatin urin 24 jam
Ekskresi 3-metilhistidin
Dual-Energy X-ray Absorptiometry
(DEXA)
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Computerized axial tomography
Ultrasound
Radiography
Antropometri
Penggunaan
Menilai volume tubuh dan densitas;
dikonversi menjadi persen lemak tubuh
Menilai kandungan potasium dalam tubuh;
dikonversi menjadi massa lemak bebas
Menilai total air dalam tubuh yang
dikonversi menjadi massa lemak bebas,
kompartemen total air dalam tubuh juga
dapat ditentukan
Menggunakan isotop nitrogen dan kalsium
untuk menduga jaringan tanpa lemak dan
mineral
Menilai massa lemak bebas karena
jaringan tanpa lemak lebih baik dalam
menghantarkan elektrisitas dibandingkan
lemak
Menilai massa lemak
Menilai massa otot
Menilai massa otot
Menilai mineral tulang, juga jaringan
lemak, dan tanpa lemak
Menilai lemak, otot, dan tulang tanpa
radiasi ion dan komposisi kimia
Menilai tulang, otot, dan lemak
Menilai lemak, otot, dan tulang
Menilai lemak, otot, dan tulang
Menilai lemak subkutan dan memprediksi
massa lemak dan massa lemak bebas
Indeks Massa Tubuh
Indeks Massa Tubuh (BMI; dalam kg/m2) menurut umur merupakan metode
yang paling umum direkomendasikan untuk mengklasifikasikan dan menentukan
kelebihan berat berat badan dan obesitas pada anak-anak dan remaja (Wang et a.l
25
2000; Bielicki et al. 2000; Malina & Katmarzyk 2000; Widhalm et al. 2001;
Abalkhail & Shawky 2002; Sweeting & West 2002; Halmie 2006; Toseli et al.
2006; Hermawan 2007; Sood et al. 2007; Goldani et al. 2007; Miharja 2008),
bahkan BMI juga dapat memprediksi kekurangan berat badan pada anak-anak usia
2-19 tahun (Mei et al. 2002).
BMI pada anak-anak mengalami perubahan menurut umur. BMI mengalami
penurunan pada masa bayi sampai awal masa anak-anak, dengan nilai terendah
pada umur 5-6 tahun. Selanjutnya BMI mengalami peningkatan secara linear
setelah umur 6 tahun selama masa anak-anak dan masa remaja, sampai masa
dewasa (Malina et al. 2004; Wang et al. 2007). Perbedaan BMI pada anak lakilaki dan anak perempuan relatif kecil pada masa anak-anak, namun meningkat
pada masa remaja. Meningkatnya BMI sesudah mencapai titik terendah pada usia
5-6 tahun disebut dengan istilah “adiposity rebound”. Terdapat hipotesis yang
mengatakan bahwa anak-anak yang mengalami adiposity rebound lebih awal
kemungkinan mengalami kelebihan berat badan pada akhir masa remaja dan
dewasa (Malina et al. 2004).
Asosiasi antara BMI dan komponen komposisi tubuh pada anak-anak dan
remaja mengindikasikan variabilitas yang tinggi. Meskipun BMI telah digunakan
secara luas karena relatif akurat dalam pengukuran dasar, BMI cenderung
memiliki spesifitas yang tinggi dan sensitivitas yang bervariasi pada anak-anak
dan remaja (Malina & Katzmarzyk 2000; Malina et al, 2004). Anak-anak dengan
nilai BMI yang sama memiliki persen lemak dan total lemak tubuh yang berbeda.
Hal ini menunjukkan keterbatasan penggunaan BMI sebagai indikator lemak
tubuh. BMI lebih sesuai sebagai indikator berat badan dan tidak secara langsung
sebagai indikator lemak tubuh (Malina et al. 2004). Sood et al. (2007)
menemukan nilai BMI meningkat sejalan dengan tahap kematangan seksual anak
perempuan, namun nilai lemak tubuh bervariasi terutama pada anak-anak yang
telah mengalami menarke.
Pada orang dewasa, BMI memiliki korelasi dengan massa lemak tubuh.
Akan tetapi belakangan ini, sejumlah penelitian menunjukkan perbedaan
hubungan antara BMI dengan persen lemak tubuh. Sebagai contoh, Wang et al.
(1994) menemukan orang Asia (China) yang tinggal di New York memiliki nilai
26
BMI lebih rendah, tetapi % lemak tubuh lebih tinggi dibandingkan dengan orang
kulit putih (orang Kaukasus). Guricci et al. (1998; 1999) melaporkan bahwa orang
Indonesia memiliki BMI tiga unit lebih rendah dan % lemak tubuh lebih tinggi
dibandingkan dengan orang Belanda. Perbedaan BMI dan % lemak tubuh juga
ditunjukkan oleh 2 kelompok etnis yang tinggal di Indonesia. Piers et al. (2003)
melaporkan bahwa laki-laki Aborigin memiliki nilai BMI lebih rendah
dibandingkan dengan orang Eropa Australia. Perbedaan BMI dan % lemak tubuh
juga ditemukan oleh Deurenberg-Yap et al. (2000) pada populasi China
Singapura, India, dan Melayu, bila menggunakan formula yang dikembangkan
untuk populasi Kaukasus. Serangkaian penelitian yang dilakukan oleh WHO
(2004) berkaitan dengan BMI dan % lemak tubuh juga menunjukkan variasi di
antara populasi Asia. Populasi Cina Hongkong, Indonesia, Singapura, Thailand
kota, dan Jepang memiliki BMI lebih rendah dibandingkan dengan populasi
Eropa, sementara Beijing, Thailand perdesaan memiliki nilai BMI yang sama
dengan populasi Eropa. Demikian pula di antara orang kulit putih, misalnya orang
Amerika Serikat memiliki % lemak tubuh lebih rendah (dengan BMI yang sama)
dibandingkan dengan orang Eropa. Laki-laki dan perempuan Asia (kecuali
perempuan China dan laki-laki Thailand pedesaan) umumnya memiliki BMI lebih
rendah bila dibandingkan dengan laki-laki dan perempuan kulit putih (WHO
2004)
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perbedaan hubungan antara BMI
dan % lemak tubuh disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin, etnis/ras, perbedaan
gaya hidup, body build (misalnya aktivitas fisik dan massa otot), dan atau frame
size, dan metode yang digunakan (Guricci 1999; Deurenberg-Yap et al. 2000;
WHO 2004). Seseorang yang memiliki aktivitas fisik yang lebih tinggi
menghasilkan jaringan otot yang lebih banyak dengan berat badan yang sama. Hal
ini akan menghasilkan perbedaan antara BMI dan % lemak tubuh. Demikian
pula, seseorang yang memiliki sedikit massa otot dan jaringan ikat menghasilkan
bentuk badan yang ramping. Bentuk badan yang ramping menghasilkan nilai BMI
yang sama, namun % lemak tubuh lebih tinggi. Bogin dan Beydoun (2007)
menemukan bahwa perbedaan korelasi antara BMI dan % lemak tubuh juga
dipengaruhi oleh rasio tinggi badan. Orang dewasa dengan kaki yang relatif lebih
27
panjang memiliki BMI dan lemak tubuh lebih rendah pada kedua jenis kelamin
dan semua kelompok etnis. Norgan (1995) menemukan, nilai BMI yang tinggi
berkorelasi positif dengan panjang kaki yang pendek pada penduduk Aborigin di
Australia.
Download