PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi pedaging merupakan salah satu ternak yang secara nasional telah ditetapkan sebagai komoditas unggulan terutama dalam memproduksi daging. Selain itu, keuntungan lain yang diperoleh adalah hasil sampingan dari pemeliharaan sapi berupa kotoran. Hasil sensus sapi pedaging pada Juni 2011 tercatat sebanyak 14.805.053 ekor dengan jumlah kotoran rata-rata 16-20 kg/ekor/hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa sapi pedaging cukup menguntungkan dalam memenuhi kebutuhan daging sebagai sumber protein hewani dan hasil kotoran sapi pedaging yang dapat dimaanfaatkan sebagai pupuk organik berkualitas tinggi. Penggunaan pupuk kimia dalam pertanian modern saat ini mulai dikurangi bahkan sebaiknya dihilangkan dan diganti dengan pupuk organik. Pengurangan dan penghilangan pupuk kimia karena cenderung merusak ekosistem dan menyebabkan rusaknya struktur tanah. Tanah sangat penting peranannya bagi usaha pertanian karena kehidupan dan perkembangan tumbuh-tumbuhan dan makhluk hidup. Bagi usaha pertanian tanah mempunyai arti yang penting selain iklim dan air. Keadaaan tanah yang baik dimana tata air, udara dan unsur hara dalam keadaan cukup, seimbang dan tersedia sesuai kebutuhan tanaman. Penggunaaan pupuk merupakan suatu kebutuhan bagi tanaman untuk mencukupi kebutuhan nutrisi dan menjaga keseimbangan hara yang tersedia selama siklus pertumbuhan tanaman. Revolusi hijau dengan program Bimas yang dikembangkan di Indonesia telah mampu mengubah sikap petani untuk menggunakan teknologi pertanian modern seperti pemakaian pupuk kimia, pestisida, dan bibit unggul. Revolusi hijau yang dikembangkan tersebut mampu mencapai tujuan makronya yaitu peningkatan produktivitas, khususnya pada sub sektor pangan sedangkan pada tingkat mikro dapat menimbulkan dampak negatif pada kondisi tanah diantaranya gangguan keseimbangan unsur hara tanah dan kandungan residu pestisida dalam produk pangan. Oleh karena itu, terdapatnya alternatif dari permasalahan tersebut yaitu dengan penggunaan pupuk organik yang sekarang sedang dikembangkan. Tingginya harga pupuk makin meresahkan masyarakat, terutama sekali masyarakat yang tinggal di pedesaan. Untuk mengatasi hal-hal yang demikian perlu dicari sumber-sumber alternatif agar produksi pertanian tetap dapat dipertahankan 1 dan kebutuhan bahan bakar dapat dipenuhi tanpa merusak lingkungan. Pemanfaatan limbah peternakan (kotoran ternak) merupakan salah satu alternatif yang sangat tepat untuk mengatasi naiknya harga pupuk. Namun sampai saat ini pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk belum dilakukan oleh petani secara optimal, terkecuali di daerah-daerah sentral produk sayuran. Sedangkan di daerah-daerah yang banyak ternak dan bukan daerah sentral produksi sayuran, kotoran ternak banyak yang tertumpuk di sekitar kandang dan belum banyak yang dimanfaatkan sebagai sumber pupuk. Pembuatan pupuk organik padat maupun cair yang efesien sudah dapat diproduksi sebagai akibat dari perkembangan teknologi pertanian dan bioteknologi. Dengan proses fermentasi dan pengayaan unsur-unsur hara, efesiensi pupuk organik padat dan cair dapat ditingkatkan. Penggunaannya tidak lagi harus dalam volume yang cukup besar dan waktu yang diperlukan lebih singkat dibandingkan dengan proses secara alami yang memerlukan waktu lebih lama. Pupuk organik tersebut dapat diaplikasikan dengan dosis yang setara dengan pupuk kimia (anorganik) dengan kelebihan-kelebihan pupuk organik yang tidak dapat diperoleh dengan aplikasi pupuk anorganik (kimia). Fungsi bahan organik menurut Leiwakabessy et al (2003) adalah (1) memperbaiki struktur tanah, (2) menambah ketersediaan unsur N, P dan S, (3) meningkatkan kemampuan tanah mengikat air, (4) memperbesar kapasitas tukar kation (KTK) dan (5) mengaktifkan mikroorganisme. Penambahan bahan organik yang berasal dari sisa tanaman dan kotoran hewan selain menambah bahan organik tanah juga memberikan kontribusi terhadap ketersediaan hara N, P dan K, serta mengefesienkan penggunaan pupuk anorganik. Bahan organik dari jenis kotoran hewan (pupuk kandang) umumnya mudah terurai karena C/N rasio yang rendah. Selain itu, penggunaan bahan organik (pupuk kandang) secara ekonomis murah, mudah diperoleh dan tanpa pendekatan teknologi yang tinggi sehingga relatif mudah dijangkau oleh petani. Salah satu cara menggugah kemandirian petani yaitu dengan memberdayakan pembuatan mikroorganisme lokal (MOL) yang dapat digunakan sebagai dekomposer maupun pupuk organik cair dilahan pertaniannya sehingga mampu menekan biaya produksi dan meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil pertaniannya. 2 Starter yang sering digunakan dalam pembuatan pupuk organik adalah effective Mikroorganisme4 (EM4) yang merupakan suatu inokulum mengandung 90% bakteri fermentasi dari genus Lactobacillus (bakteri asam laktat), bakteri fotosintetik, Actinomycetes, jamur fermentasi dan ragi. Untuk menekan biaya produksi maka EM4 bisa digantikan dengan starter yang dapat dibuat sendiri. Starter ini disebut dengan nama mikroorganisme lokal (MOL) yang harganya lebih murah dibandingkan EM4 yang berfungsi untuk mempercepat proses pengomposan. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kualitas pupuk organik cair dari kotoran sapi pedaging hasil fermentasi dengan menggunakan mikroorganisme lokal (MOL). Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan tentang pengolahan limbah padat dari kotoran sapi pedaging menjadi pupuk organik cair melalui teknologi alternatif biokonversi (digestera) anaerob dan memberi saran kepada masyarakat pada umumnya serta para peternak khususnya untuk menggunakan mikroorganisme lokal sebagai starter dalam pengolahan limah yang dihasilkannya sehingga pencemaran limbah organik dapat dikurangi. Pemanfaatan mikroorganisme lokal sebagai starter dapat menjadi salah satu upaya untuk menekan biaya produksi dibandingkan dengan penggunaan starter komersial yang relatif mahal. 3