1 AKTIVITAS MOHAMMAD HATTA Dian Safitri

advertisement
AKTIVITAS MOHAMMAD HATTA
Dian Safitri
Prodi Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Malang
Jl. Semarang 5 Malang
E-mail: [email protected]
Abtrak: Untuk menjelaskan dasar-dasar pemikiran Mohammad Hatta,
untuk menjelaskan keadaan politik Indonesia pada tahun 1950-1957,
untuk menjelaskan aktivitas Mohammad Hatta dan untuk menjelaskan
kontribusi penelitian terhadap pendidikan sejarah. Metode yang dipakai
dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Ada lima tahap yaitu
pemilihan topik, heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi.
Hasil pembahasan penelitian ini adalah Selama menjadi wakil presiden,
Hatta memang tidak memiliki kekuasaan untuk melakukan kebijakan
yang berarti, namun Hatta berusaha untuk membagun negeri ini ke arah
yang lebih baik. Ia melakukan tugasnya dengan baik dengan
memberikan arahan, saran, bahkan kritikan kepada pemerintah apabila
dirasa perlu. Selain aktif dalam pemerintahan dalam menjalankan tugas
negara, baik bidang ekonomi, politik luar negeri, militer, sosial dan
pendidikan. Hatta juga aktif membangun ekonomi Indonesia dengan
terjun langsung ke lapangan mengembangkan koperasi yang dianggap
mampu meningkatkan ekonomi Indonesia. Dengan jerih payah dan
usaha
untuk
membangun
koperasi
akhirnya
Hatta
berhasil
mengembangkan koperasi.
Kata Kunci: Aktivitas, Mohammad Hatta.
Abtrak: To clarify the premises of Mohammad Hatta, to explain the
political situation in Indonesia in 1950-1957, to describe the activities of
Mohammad Hatta, and to explain the contribution of research to the
study of history. The method used in this study is the historical method.
There are five stages: topic selection, heuristics, source criticism,
1
interpretation and historiography. Results During the discussion of this
research is to be vice president, Hatta did not have the power to make a
meaningful policy, but Hatta trying to membagun this country into a
better direction. He did his job well by providing guidance, advice, and
even criticism of the government if necessary. In addition to active duty
in the government in the state, both in economics, foreign policy,
military, social and educational. Hatta also actively building Indonesia's
economy to go directly to the field to develop cooperatives are
considered to improve the economy of Indonesia. With toil and effort to
build a cooperative Hatta finally succeeded in developing cooperative.
Key word: Activity, Mohammad Hatta.
Hatta merupakan tokoh besar Indonesia yang jasa-jasanya kepada bangsa
Indonesia tidak bisa dilupakan begitu saja. Hatta merupakan seorang administrator
yang ahli dalam penyelenggaraan negara namun tidak terampil dalam menghadapi
massa. Memasuki tahun 1950 kondisi Indonesia terpuruk baik dalam bidang
politik, ekonomi dan sosial. Jatuh bangunnya kabinet, selama periode demokasi
liberal keterpurukan tersebut sebagai akibat dari partai-partai politik yang lebih
mementingkan golongannya sendiri untuk memperoleh kekuasaan daripada
memikirkan keadaan negara.
Alasan pemilihan judul didasarkan pada keadaan Indonesia, terutama
dalam pemerintahan yang mengalami kebobrokan seperti dalam masalah korupsi
dan demoralisasi. Hampir semua pejabat dan politisi terlibat kasus korupsi dari
masa kolonialisme hingga saat ini. Indonesia memerlukan sosok pemimpin yang
bisa memimpin Indonesia menjadi lebih baik.
Mohammad Hatta adalah seorang demokrat, teguh dan konsekuen dengan
pendiriannya (misalnya Mohammad Hatta berketetapan hati tidak akan menikah
sebelum Indonesia merdeka, sumpah itu ditepati ketika Hatta menjadi wakil
presiden dan tidak segan-segan untuk meninggalkan jabatannya karena prinsip
hidupnya tidak mengijinkan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati
nuraninya), jujur, tidak pernah menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya
diri sendiri terlihat dari penolakan kenaikan gaji presiden dan wakil presiden pada
2
1951 mengingat perekonomian rakyat belum stabil dan Hatta adalah orang yang
sederhana, kesederhanaan itu tercetus dalam keinginannya untuk tidak
dimakamkan di Taman Pahlawan (Widjaja, 1990: 15). Selain pejuang dan
Proklamator Republik Indonesia Hatta adalah The Guardian of National
Conscience, penjaga hati nurani nasional bangsa Indonesia. Hatta adalah tokoh
yang berani mengingatkan apabila ada penyimpangan. Hatta sering menegur
perdana menteri yang melakukan penyimpangan, misalnya saat menegur dan
menolak kebijakan Ali-Baba pada masa Kabinet Ali I yang ditujukan atas Menteri
Perekonomian Iskaq Tjokroadisurjo (Yayasan Idayu, 1980: 169)..
Gagasan demokrasi mendominasi pemikiran para pemimpin bangsa pada
awal kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 sepanjang menyangkut peranan
negara dan peranan masyarakat. Hal ini dapat disimpulkan dari usul serta
dukungan atas usul itu di dalam BPUPKI menjelang kemerdekaan. Sejak semula
kecenderungan untuk lebih memberi porsi yang lebih besar bagi peranan rakyat
lebih mendapat tempat di kalangan pemimpin dan masyarakat Indonesia.
Pernyataan konsep kedaulatan rakyat telah tertuang di dalam konstitusi serta
pernyataaan bahwa pemerintah berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
MPR dapat dianggap sebagai gambaran pemberian posisi penting bagi peranan
rakyat ini pada waktu itu (Mahfud MD, 2000: 45).
Gagasan parlementarisme segera muncul dari Komite Nasional Indonesia
yang sebenarnya berkedudukan sebagai pembantu presiden dalam menjalankan
berbagai kekuasaan. Dalam rapatnya 16 Oktober 1945 KNIP mengusulkan agar
komite tersebut diserahi kekuasaan legislatif dan menetapkan Garis-Garis Besar
Haluan Negara dan Pemerintah supaya menyetujui dibentuknya badan pekerja
KNIP untuk melaksanakan fungsinya yang baru sebagai pemegang kekuasaan
legislatif. Atas desakan rapat KNIP itu maka Wakil Presiden Mohammad Hatta
yang bertindak atas nama Presiden waktu itu segera mengeluarkan maklumat yang
kemudian dikenal sebagai Maklumat No. X Tahun 1945 (Mahfud MD, 2000: 47).
Setelah dikeluarkan Maklumat 16 Oktober tersebut, BPKNIP mengajukan
usul pembentukan partai-partai politik, pemerintah menyetujuinya dengan
mengeluarkan Maklumat 3 November 1945, sistem parlementer terjadi dengan
keluarnya Maklumat Pemerintah pada tanggal 14 November 1945 Maklumat itu
3
dikeluarkan atas usul Badan Pekerja Komite Pusat ini berisi perubahan sistem
Kabinet Presidensil menjadi Parlementer, suatu sistem yang sifatya pluralisticliberal (Mahfud, 2000: 48). Dari tiga maklumat tersebut jelas bahwa paham
demokrasi yang memberi tekanan pada peranan rakyat daripada peranan negara
pada awal-awal kemerdekaan lebih menonjol dan tidak mendapat tantangan dari
aliran lain. Kesemuanya itu merupakan pertanda bahwa sistem politik authoriter
digeser oleh sistem libertarian (demokrasi liberal) dengan sistem multipartai.
(Mahfud, 2000: 48).
Sebagai sistem politik yang liberal UUDS 1950 juga menganut sistem
parlementarime secara konstitusional serta sistem multipartai seperti yang terjadi
pada kurun waktu 1945-1949. Sistem yang menyediakan saluran aspirasi politik
melalui partai politik ini ternyata menimbulkan instabilitas nasional, sehingga
dalam masa berlakunya UUDS 1950 tercatat tujuh kali jatuh bangunya kabinet
(Rusadi Kartaprawira 1977: 147). Sistem parlementer dianggap kurang cocok
untuk Indonesia, meskipun dapat berjalan secara memuaskan dalam beberapa
negara Asia lain. Persatuan yang dapat digalang selama menghadapi musuh
bersama menjadi kendur dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan
konstruktif setelah kemerdekaan tercapai. Lemahnya benih-benih demokrasi
sistem parlementer memberi peluang untuk dominasi partai-partai politik dan
Dewan Perwakilan Rakyat (Budiardjo, 1982: 69).
Umumnya kabinet sebelum pemilihan umum yang diadakan dalam tahun
1955 tidak dapat bertahan lebih lama dari rata-rata delapan bulan dan dalam hal
ini menghambat perkembangan ekonomi politik oleh karena pemerintah tidak
mendapat kesempatan untuk melaksanakan programnya. Setelah pemilihan umum
tahun 1955 tidak membawa stabilitas yang diharapkan, bahkan tidak dapat
menghindarkan perpecahan antara pemerintah pusat dan beberapa daerah.
Terdapat beberapa kekuatan sosial dan politik yang tidak memperoleh
saluran dan tempat yang realistis dalam konstelasi politik, padahal merupakan
kekuatan yang paling penting, yaitu presiden yang tidak mau bertindak sebagai
“rubberstamp president” (presiden yang membubuhi capnya) dan tentara yang
karena lahir dalam revolusi merasa bertanggung jawab untuk turut menyelesaikan
persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.
4
Faktor-faktor seperti ini ditambah dengan tidak mempunyai anggotaanggota partai yang tergabung dalam konstituante untuk mencapai konsensus
mengenai dasar negara untuk undang-undang dasar baru, mendorong Soekarno
sebagai presiden untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang
menentukan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian
masa demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir (Budiarjo, 1982: 70).
Tujuan dari penelitian ini Untuk menjelaskan dasar-dasar pemikiran
Mohammad Hatta, untuk menjelaskan keadaan politik Indonesia pada tahun 19501957, untuk menjelaskan aktivitas Mohammad Hatta dan untuk menjelaskan
kontribusi penelitian terhadap pendidikan sejarah. Pada penelitian ini peneliti
berharap, sebagai generasi muda sebagai penerus bangasa yang akan memimpin
bangsa ini, agar belajar nilai-nilai yang diajarkan Mohammad Hatta. Pada
penelitian selanjutnya dapat mengulas bagaimana kebijakan politik Hatta dari
sudut pandang lain, seperti ekonomi terutama ekonomi koperasi yang
dikembangkan Hatta di Indonesia atau aktivitas politik Mohammad Hatta setelah
mengundurkan diri sebagai wakil presiden karena meskipun Hatta tidak terlibat
lagi dalam panggung politik, namun ia tetap melakukan kritik terhadap kebijakan
pemerintah yang menyimpang.
METODE
Metode penelitian yang dipergunakan di dalam penelitian ini adalah
metode historis. Metode historis merupakan proses menguji dan menganalis
secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau (Gottschalk, 1975: 32).
Metode penelitian sejarah pada umumnya dilakukan dengan langkah-langkah di
antaranya : 1) Pemilihan topik, 2) Pengumpulan sumber (heuristik), 3) Kritik
sumber (kritik ekstern dan kritik intern), 4) Interpretasi (sintesis dan analisis), dan
5) Penulisan sejarah (Historiografi) yang dilakukan dengan serius, cermat, dan
hati-hati (Suplemen Penulisan Skripsi, 2007: 19). Dalam penulisan skripsi ini,
pemilihan topik berdasarkan pada kedekatan emosional dan kedekatan intelektual.
Kedekatan emosional dalam penelitian in didasarkan penulis pada ketertarikan
penulis terhadap keteguhan hati atau prinsip hidup Mohammad Hatta sebagai
founding father bangsa Indonesia. Sedangkan kedekatan intelektual dalam
5
penulisan skripsi ini, adalah penggambaran sejarah kontemporer pada masa 19501957, dalam hal ini aktivitas Mohammad Hatta dengan pemikiran-pemikirannya.
Berdasarkan sifatnya, sumber sejarah terdiri atas sumber primer dan
sumber sekunder. Sumber primer dalam penelitian ini adalah Arsip Nasional
Republik Indonesia (ANRI), buku-buku tulisan Mohammad Hatta sendiri, seperti
Ekonomi Terpimpin dan lain-lain dan koran-koran yang terbit pada tahun 1950-an
seperti Mimbar Indonesia dan Keng Po Koran-koran yang terbit pada tahun 1950an. Sedangkan sumber sekunder dalam penelitian ini adalah Sumber sekunder dari
penelitian ini adalah: buku-buku penunjang seperti, Pemikiran Politik Indonesia
karangan Herbert Feith, Indonesia dan Percaturan Politik Internasional karangan
H. Roeslan Abdulgani, sejarah politik Indonesia, pemahaman sejarah Indonesia,
foto-foto Hatta , lapiran UUDS tahun 1950.
Kritik ekstern menilai, apakah sumber itu benar-benar sumber yang
diperlukan, Apakah sumber itu asli, turunan, atau palsu. Dalam penelitian ini,
kritik eksternal dilakukan dengan cara melihat latar belakang penulis (sumber
buku), seperti pendidikannya serta kepentingan dia menulis. Penulis merasa perlu
mengetahui hal ini karena penjelasan yang diberikan oleh pengarang suatu buku
akan sangat dipengaruhi oleh subjektifitas pribadinya, misalnya pada buku yang
ditulis oleh I Wangsa Widjaja, mantan sekretaris Mohammad Hatta, pendidikan
Wangsa Widjaja meskipun tidak terlalu tinggi namun ia menjalin hubungan yang
sangat dekat dengan Hatta dan tulisannya tersebut berdasarkan fakta yang ia alami
selama menjadi sekretaris pribadinya. Penulis lain yang merupakan orang-orang
dari orang luar lingkungan Hatta, seperti Deliar Noer tetapi memiliki kemampuan
akademis dalam menulis kisah sejarah terutama tentang biografi Mohammad
Hatta karyanya layak digunakan, karena penulis tersebut menggunakan sumbersumber yang relevan. Tahun terbitan, artinya angka penerbitan tersebut dapat
menunjukkan informasi yang sesuai dengan kondisi saat terjadinya peristiwa
sejarah serta keaslian sumber, artinya kepustakaan tersebut ditulis oleh orang atau
lembaga yang dapat dipertanggung jawabkan. Dalam buku Mohammad Hatta,
Demokrasi Kita, yang terbit pada tahun 1960, buku berisi kritik terhadap
kebijakan Soekarno yang dianggap sebagai diktator karena melakukan
pelanggaran terdapat asas demokrasi. Buku terbitan tersebut dianggap valid
6
karena sesuai dengan peristiwa sejarah yang terjadi. Meskipun buku tersebut
larang terbit oleh rezim Orde Lama namun, terbit kembali pada tahun 1980-an.
Kritik internal dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara,
melakukan pengklasifisian terhadap sumber-sumber tertulis, berupa buku-buku,
arsip surat kabar yang terbit pada tahun 1950-an sehingga dapat diperoleh sumber
informasi yang relevan dengan permasalahan penelitian yang akan dikaji. Kritik
yang dilakukan oleh penulis adalah melihat isi buku, kemudian membandingkan
dengan buku yang lain. Apabila ada perbedaan dalam kedua sumber tersebut,
penulis mengambil dari sumber yang paling akurat. Buku yang dijadikan sebagai
buku utama bagi penulis antara lain Mohammad Hatta Biografi Singkat 19021980, Bung Hatta, Kumpulan Karangan Mohammad Hatta, Demokrasi Kita,
Mohammad Hatta, Biografi Politik, Indonesia Merdeka, Biografi Politik
Mohammad Hatta, Mohammad Hatta Kumpulan Pidato III, Islam Masyarakat
Demokrasi dan Perdamaian, Beberapa Fasal Ekonomi Djalan Keekonomi dan
Kooperasi, Ekonomi Terpimpin dan lain-lain. Dalam penelitian ini penulis
melakukan kritik intern pada buku Deliar Noer, Biografi Politik Mohammad
Hatta, isinya tentang aktivitas yang dilakukan Hatta selama menjadi wakil
presiden salah satunya melakukan perjalan di dalam maupun luar negeri. Penulis
kemudian membandingkan dengan Koran Mimbar Indonesia, 23 Desember 1950,
yang isinya tentang perjalanan Mohammad Hatta di Sumatra berarti kedua sumber
tersebut relevan karena memuat isi yang sama.
Interpretasi adalah melakukan analisa fakta yang diperoleh dari sumbersumber sejarah dengan mengkaitkan dengan kajian pustaka dari beberapa
penulisan sejarah yang telah ada sebelumnya dengan tema yang sama, maka
dengan begitu tersusunlah sebuah serangkaian fakta-fakta yang menyeluruh.
analisis data melalui reduksi data, dengan cara merangkum, memilih hal-hal yang
pokok, memfokuskan pada hal yang penting, dan membuang hal yang tidak perlu
dengan tujuan memberikan gambaran yang lebih jelas.
Historiografi, yaitu upaya penyusunan atau merangkaikan fakta yang
ditemukan berikut maknanya secara kronologis dan sistematis, menjadi satukesatuan dalam bentuk tulisan sejarah Untuk mendapat gambaran yang jelas
7
mengenai skripsi ini, penulis mencantumkan sistematika penulisannya, antara
lain:
Bab I, merupakan pendahuluan yang antara lain berisi latar belakang dan
permasalahan, ruang lingkup, tinjauan pustaka, kerangka teoritis dan pendekatan,
metode penelitian dan penggunaan sumber, serta sistematika penulisan.
Bab II menguraikan tentang Dasar-Dasar Pemikiran Mohammad Hatta
berisi tentang riwayat hidup Mohammad Hatta, pemikirannya tentang sosialime,
demokrasi, dan bentuk eegara yang kemudian berpengaruh pada kebijakankebijakan Mohammad Hatta baik dalam bidang ekonomi, politik, militer, maupun
konstitusi.
Bab II berisi tentang Gambaran kondisi Politik di Indonesia tahun 1950
1957, yang menguraikan konsisi politik Indonesia, pemilihan umum, sampai pada
pemunduran diri Hatta sebagai wakil presiden
Bab IV menguraikan tentang rumusan masalah yang terakhir yaitu
tentang Aktivitas Mohammad Hatta pada 1950-1957, baik di bidang ekonomi,
militer, politik, dan kontribusi penelitian terhadap pendidikan sejakan
Bab V adalah bab terakhir yang memuat kesimpulan hasil keseluruhan
penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemikiran-Pemikiran Hatta
Hatta termasuk pemikir Indonesia yang mempunyai pendapat bahwa
perkembangan suatu masyarakat memerlukan perencanaan yang rasional. Hatta
memilih cara yang bertahap tapi nyata. Ini tercermin jauh sebelum Indonesia
merdeka. Pemikiran Hatta adalah bukan hanya mencapai Indonesia merdeka,
tetapi juga mempersiapkan Indonesia untuk memperjuangkan dan mengisi
kemerdekaan itu sebaik-baiknya. dengan memperhatikan keperluan yang
dibutuhkan bangsa Indonesia untuk membangun suatu sistem perekonomian dan
politik yang layak dan handal.
Pemikiran Hatta dipengaruhi oleh berbagai latar belakang. Hatta
dibesarkan dalam zaman penjajahan, membuat Hatta melihat keprihatihatinan
8
akibat perlakuan Belanda terhadap rakyat Indonesia. Keadaan rakyat Indonesia
inilah kemudian Hatta menolak keras imperialisme dan kolonialisme dalam
bentuk apapun. Latar belakang pendidikan dan organisasi yang digeluti juga
mempengaruhinya menjadi seseorang yang rasional. Hatta menganut ideologi
sosialisme demokrat. Ideologinya tersebut
menjadi konsep dari setiap
pemikirannya baik dalam bidang politik, ekonomi dan sosial dijalankan dengan
konsep kedaulatan rakyat atau yang dikenal dengan istilah demokrasi.
Hatta sebagai seorang sosialis, sosialisme yang berhaluan Islam. Ia
memberikan pemahaman mengenai sosialisme yang berkaca dari kehidupan di
desa yang berupa gotong royong dan azas kekeluargaan yang merupakan
kesinambungan
dari
kolektivisme
yang
beraturan.
Pada
intinya
Hatta
menginginkan tidak adanya pemimpin yang besar yang tidak tekontrol untuk
melaksanakan segala keinginannya, sebaliknya menginginkan azas kekeluargaan
yang mufakat.
Sosialisme yang dianut Hatta tidak lepas juga dari pengaruh Barat, karena
ia memang menempuh studinya di Belanda sehingga sedikit banyak terpengaruh.
Ia banyak menimba ilmu dari Fabian Society (Inggris) yang merupakan
laboratorium yang mengolah masalah-masalah kemasyarakatan. Salah satu
pengaruh yang menonjol dalam diri Hatta adalah koperasi yang diterapkannya di
Indonesia yang merupakan hasil belajarnya selama di Scandinavia. Dengan
koperasi rupanya Hatta ada kecocokan untuk diterapkan di Indonesia, yang
merupakan paham sosialis (Noer, 1990:715-716).
Sosialisme Indonesia dipengaruhi oleh 3 (tiga) aliran yaitu dari Barat
berupa Marxisme atau sosialisme demokrasi, dari Islam, dan dari dasar hidup asli
bangsa Indonesia yang berbentuk kolektivisme. Persamaan yang ada pada diri
Hatta dan Soekarno dalam memandang tumbuhnya sosialisme tidak lepas dari
adanya cita-cita bersama untuk melawan kolonialisme dan kapitalismeimperialisme untuk mencapai kemerdekaan bersama (Hatta, 1957:106-116).
Hatta memberikan nama Kedaulatan Rakyat pada konsepsi demokrasinya
yang mengandung arti demokrasi politik, demokrasi ekonomi dan sosial. Istilah
Kedaulatan Rakyat konsepsi Hatta itu tercakup seluruh kehidupan masyarakat
untuk mencapai kemakmuran, beliau mengatakan, Volkssouveriniteit, Kedaulatan
9
Rakyat J.J. Rousseau, berlainan dengan Kedaulatan Rakyat konsepsinya.
Terdahulu berdasarkan individualisme, sedangkan konsepsi kedaulatan rakyat
Hatta berdasarkan rasa bersama atau kolektiviteit. Demokrasi atau Kedaulatan
Rakyat konsepsi Hatta bersendi pada demokrasi tua yang ada di Indonesia
(Widjaja, 1956:287). Azas kerakyatan mengandung arti bahwa kedaulatan ada
pada rakyat sehingga semua hukum harus bersandar pada keadilan dan kebenaran
hidup dalam hati rakyat banyak. Dengan kata lain, semua perekonomian negeri
harus diputuskan oleh rakyat dengan musyawarah. Demokrasi yang ada di
Indonesia digolongkan menjadi 3 (tiga) sendi yaitu (1) cita-cita rapat, yang
menekankan adanya musyawarah untuk mufakat. (2) cita-cita protes massa, yaitu
hak rakyat untuk membantah dengan cara umum segala peraturan negeri yang
dipandang tidak adil (3) cita-cita tolong-menolong, bahwa dalam hati sanubari
rakyat Indonesia penuh dengan rasa bersama, kolektivitas sehingga persekutuan
asli di Indonesia memakai asas kolektivisme, tetapi bukan kolektivisme yang
berdasarkan sentralisasi (satu pimpinan di atas) melainkan desentralisasi yaitu
tiap-tiap bagian berhak menentukan nasibnya sendiri (Hatta, 1957: 252).
Pemikiran Hatta tentang keadilan sosial dapat dilihat dan ditelusuri pada
saat ia berbicara tentang Pancasila. Salah satu jalan untuk mencapai keadilan
sosial ialah kooperasi, yang mewujudkan kerjasama dengan dasar tolongmenolong. Organisasi kooperasi sesuai dengan cita-cita Islam, karena Islam
meletakkan tanggung jawab pada individu untuk keselamatan masyarakat
seluruhnya. Untuk mencapai keadilan sosial menurut Islam, negara hendaknya
merupakan suatu welfare state (yang menjamin kemakmuran bagi semua orang).
Bukan hanya kemakmuran jasmani saja melainkan kemakmuran rohani.
Kesejahteraan hidup akan tercapai apabila ada keseimbangan antara kemakmuran
jasmani dan rohani (Hatta, 1957: 25).
Pemikiran Hatta dalam merumuskan pasal-pasal UUD 1945 yang kini
tertuang dalam UUD 1945 mencakup beberapa hal. Pertama, mengenai pasal yang
menyangkut hak-hak warga negara meliputi pasal 26 (sebelum diamandemen
pasal 26 terdiri dari 2 ayat, setelah diamandemen pasal 26 terdiri dari 3 ayat).
Pasal 27 ayat 2 (isinya sama dengan UUD 1945 sebelum dan sesudah
diamandemen yaitu Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan yang layak bagi
10
kemanusiaan) dan pasal 28 (tentang Hak Asasi Manusia, yaitu Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang). Kedua, berkaitan dengan jaminan
negara untuk masalah kesejahteraan rakyat (demokrasi ekonomi), meliputi pasal
33 (sebelum diamandemen terdiri dari 3 ayat dan setelah amandemen terdiri dari 5
ayat) dan pasal 34 (setelah amandemen terdiri dari 5 ayat). Ketiga, kepiawaian
Hatta dalam mempengaruhi tokoh-tokoh Islam agar mencabut tujuh anak kalimat
bersyarat dalam naskah pembukaan UUD 1945 yang semula berbunyi, “Dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi kata
“Ketuhanan Yang Maha Esa”
Khusus mengenai butir keempat, Hatta memiliki pertimbangan objektif
dan subjektif, yang dapat menjadi bahan pemikiran anggota MPR sekarang.
Pertimbangan objektifnya karena berdasarkan aspirasi yang berkembang antar lain
didukung oleh laporan intelijen Jepang. Di wilayah yang bukan merupakan basis
Islam seperti Sulawesi Utara, sebagian Maluku dan Nusa Tenggara Timur, tidak
akan menggabungkan diri ke wilayah Indonesia apabila tujuh kata itu tidak
dihapus dari pembukaan UUD 1945 dan pasal 29 UUD 1945 (Bangun 2003: 239240).
Hatta lebih mementingkan tujuan, sedangkan persatuan dipandangnya
sebagai alat. Hatta menolak negara kesatuan dan lebih menganjurkan dibentuknya
negara serikat, sebagai sebuah konsekuensi dari konsep kedaulatan rakyat yang
digulirkannya.
Keadaan Politik 1950-1957
Usaha-usaha untuk kembali ke negara kesatuan disuarakan di berbagai
daerah. Rakyat menuntut pembubaran negara bagian dan penggabungan dengan
Republik Indonesia di Yogyakarta. Penggabungan daerah ke daerah yang lain atau
negara bagian ke negara bagian yang lain secara konstitusional dimungkinkan
oleh Pasal 43 dan 44 Konstitusi RIS dengan ketentuan bahwa penggabungan
tersebut dikehendaki oleh rakyat dan diatur dengan Undang-Undang Federal
(Sekretariat Negara RI, 1981: 42).
11
Dalam Undang-Undang Dasar Sementara juga menganut sistem kabinet
parlementer sama seperti dalam Konstitusi RIS. Presiden hanya sebagai Kepala
Negara (pasal 45) dan bukan kepala pemerintahan. Pemerintahan di tangan Dewan
Menteri yang diketuai oleh seorang Perdana Menteri (Joeniarto,1990: 83).
Sistem pemerintahan parlementer yang diikuti oleh sistem multipartai,
menimbulkan instabilitas pemerintahan. Dalam periode ini ada tujuh buah kabinet,
hal ini disebabkan usaha membentuk kabinet seringkali menemui kegagalan
dalam membentuk kabinet, sehingga masa demisioner menjadi terulur-ulur.
Dengar pendapat antara presiden dengan berbagai pimpinan/tokoh kekuatan
politik mengukur waktu dan tidak selalu diakhiri dengan keberhasilan untuk
membentuk kabinet.
Partai-partai politik yang yang lebih mementingkan partai atau
golongannya
daripada
memperjuangkan
kepentingan
rakyat
banyak,
penyalahgunaan kekuasaan seperti pemberian lisensi istimewa kepada kawankawan segolongan atau separtai, baik untuk kepentingan partai maupun untuk
kepentingan pribadi, timbulnya demokrasi tanpa batas dalam parlemen. Yang
paling memberatkan ialah bahwa belaiau sebahai wakil presiden tidak dapat
berbuat apa-apa, karena menurut konstitusi wakil presiden tidak mempunyai
kekuasaan, menyebabkan Hatta memundurkan diri sebagai Wakil Presiden.
Aktivitas Mohammad Hatta pada 1950-1957
Selama menjabat sebagai wakil presiden Konstitusional, Hatta tidak aktif
dalam mengatur pemerintahan. ia merupakan tempat orang bertanya, baik oleh
orang pemerintah, dan masyarakat pada umumnya. Ia juga memberi teguran, saran
dan pendapat dalam banyak hal yang dirasanya perlu untuk dikemukakan. Sebagai
wakil presiden konstitusional, bila tidak setuju dengan keputusan kabinet, Hatta
hanya melayangkan surat mempertanyakan keputusan tersebut, dan tidak
mendesak keinginannya. Jika turut dalam sidang kabinet, paling banyak ia hanya
memberi saran. Ia juga sering melayangkan saran lewat surat sebagai bahan
pertimbangan.
12
Pada saat Hatta akan menunaikan ibadah Haji ke Mekah, Ia memadukan
kunjungan kenegaraan ke Mesir dan Timur Tengah dengan tugas keagamaan)
berdasarkan pertimbangan politik, karena menteri agama dikecam akibat
mismanajemen dalam mengurus angkutan ibadah haji pada tahun 1951. Hatta
mengajukan saran perbaikan kepada pemerintah Saudi Arabia, dalam rangka
memperbaiki kelemahan-kelemahan penyelenggaraan ibadah Haji. pembentukan
Kabinet Boerhanuddin Harahap (Masyumi), diresmikan oleh Hatta. Bung Hatta
dalam melaksanakan salah satu ketentuan (pasal 51) dalam UUD Sementara
Republik Indonesia. Selama menjabat menjadi wakil presiden Bung Hatta hanya
mendapat sekali kesempatan untuk langsung sendiri memenuhi kewajiban dalam
UUD tersebut (Farida, 1980: 436).
Bersamaan dengan hasil pemilihan umum, pada Juli 1956 Hatta mengirim
surat kepada DPR (hasil pemilihan umum) bahwa ia akan mengundurkan diri
sebagai wakil presiden setelah DPR baru tersusum. Hatta menganggap bahwa
dengan pemilihan umum pimpinan negara hendaknya diperbaharui juga (Noer,
2012: 149)
Dalam bidang ekonomi Hatta aktif dan terjun langsung dalam koperasi,
sehingga memperoleh gelar bapak koperasi, Selain menekuni koperasi, dalam
pembangunan ekonomi lainnya, Hatta merasa perlu melakukan pinjaman luar
negeri untuk mengusahakan kemakmuran. Dan memberikan nasehat, saran, dan
teguran terhadap kebijakan pemerintah yang dirasa perlu.
Keinginan Hatta agar kemerdekaan itu benar-benar diisi dengan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, terlihat dari berbagai anjurannya kepada
kabinet atau menteri ataupun pada konferensi-konferensi. Baginya yang utama
ialah rakyat banyak. Pemimpin termasuk dirinya sendiri, bisa diminta
pengorbanannya. Juga pembangunan gedung yang kurang perlu dikebelakangkan,
apalagi kalau gedung yang ada masih bisa dipergunakan.
Dalam masalah pembinaan ekonomi selama pemerintah Ali I, Hatta benarbenar tidak dapat mentolerirnya. Terutama kebijaksanaan Menteri Iskaq
Tjokroadisurjo ditolaknya. Kebijaksanaan itu merusak tata tertib kepegawaian
dalam Kementerian Perekonomian, karena jawatan-jawatan dapat dilangkahi
begitu saja oleh pengusaha dalam berhubungan dengan menteri. Pengusaha-
13
pengusaha yang dibina pun merupakan pengusaha-pengusaha aksentas yang
bertamengkan pribumi tetapi sekedar menjual lisensi atau diatur oleh pengusaha
Cina dari belakang, yang dikenal dengan istilah Ali Baba (Noer, 1990: 420).
Pada masalah modal asing , Hatta mencap undang-undang modal asing
yang dihasilkan pada masa Kabinet Ali II itu menuju liberalisme, memperkuat
inisiatif dan kedudukan pengusaha asing di Tanah Air, pendeknya menempuh
jalan kembali ke kapitalisme. Menurut Hatta, politik perekonomian yang lebih
efektif dan sepadan dengan UUD kita ialah mengadakan eksploitasi sendiri
dengan bantuan kapital pinjaman dan managemen dari luar negeri. Pinjaman ini
diangsur membayarnya dari hasil industri yang bersangkutan, sedangkan
manajemen yang disewa dari luar negeri diharuskan juga mendidik bangsa kita
agar ia (manajemen luar itu) kemudian digantikan oleh orang Indonesia Asli
(Noer, 1990: 422).
Peran dan pengaruh Hatta sangat mengesankan dalam menggagas politik
luar negeri. Hatta termasuk pencetus politik luar negeri, “bebas aktif, dan
berlanjut pada masa demokrasi parlementer. Dengan politik luar negeri bebas aktif
Indonesia memainkan peranan yang cukup besar di panggung internasional dalam
dua dekade pertama kemerdekaan. Indonesia turut menggalang negara-negara
Asia dan Afrika untuk meningkatkan daya tawar negara-negara berkembang
dalam percaturan global yang didominasi Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Doktrin politik luar negeri bebas aktif ini sejak awal dianggap sebagai
komitmen nasional yang harus dipegang teguh, sehingga pelanggaran terhadap
doktrin tersebut mengundang kritik yang tajam. Pemerintahan Perdana Menteri
Sukiman Jatuh pada tahun 1952 ketika diketahui bahwa Menteri Luar Negeri
Subardjo secara diam-diam sepakat menerima bantuan ekonomi Amerika
berdasarkan syarat-syarat yang tertuang dalam Mutual Secuity Act Of 1951.
Berdasarkan akta ini negara menerima bantuan ekonomi dan teknis dari Amerika
Serikat terikat dalam perjanjian pertahanan keamanan dengan negara adidaya
tersebut. Dengan demikian Kabinet Soekiman telah menjadikan Indonesia sebagai
negara sekutu Amerika Serikat, sehingga secara jelas telah melanggar doktrin
politik luar negeri bebas aktif. Hal tersebut mengakibatkan kejatuhan Kabinet
Sukiman. Sejak saat itu diputuskan bahwa setiap perjanjian internasional harus
14
diratifikasi parlemen, sehingga eksekutif tidak dapat lagi menjalankan diplomasi
rahasia (Bangun, 2003: 264-265).
Penandatanganan perjanjian MSA (Mutual Security Act) dengan Amerika
Serikat oleh Subardjo sebagai Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Sukiman,
disalahkan oleh Hatta, menurut kesimpulannya,
Subardjo bersalah dalam hal ini, ia telah mengetahui segala
implikasi perjanjian tersebut yang diperolehnya dari Duta Besar
Amerika Serikat M. Cocchran, dan ia tidak membicarakan
perssetujuan itu sebelumnya dengan kabinet, padahal kepada
Duta Besar Cochran, Subardjo mengaku telah sudah
membicarakannya dengan kabinet. Subardjo telah menjalankan
diplomasi rahasia dengan sendirinua (seorang diri) dengan tidak
menginsyafi bahwa soal semacam ini tidak dapat dirahasiakan.
Ini merupakan kelalaian Subardjo yang kurang periksa dan
kurang perhatian seperti biasanya pekerjaan Subardjo (Noer,
1990: 449).
Pada tahun 1953, Republik Indonesia menggandengkan politif bebas
aktifnya dengan politik bertetangga baik (good neighbor policy). Perkembangan
baru dalam pelaksanaan politik bebas-aktif ini terjadi pada masa Kabinet Ali
Sastroamidjojo I. Kabinet ini tidak menitikberatkan hubungannya ke Barat, tetapi
lebih mendekatkan diri dengan negara Asia-Afrika yang diwujudkan dengan
menggalang solidaritas negara-negara Asia dan Afrika yang bertujuan untuk
menghapuskan
kolonialisme dan untuk meredakan ketegangan dunia yang
ditimbulkan oleh ancaman perang nuklir antara kedua negara raksasa Amerika
Serikat dan Uni Sovyet. Indonesia kemudian berhasil menyelenggarajan
Konferensi Asia-Afrika di Bandung, pada April 1955.
Hatta tampak sangat berhati-hati dalam menghadapi masalah tentara.. Pada
umumnya dalam soal-soal yang timbul dalam tentara, Hatta tidak turut
menyelesaikannya secara langsung, juga tidak secara terbuka. Ia lebih
membiarkan pimpinan angkatan dan Kementerian Pertahanan menyelesaikan hal
ini, paling-paling ia hanya menyampaikan pendapat, nasihat, atau anjuran. Ia pun
tidak ingin tentara campur dalam politik secara langsung.
Maka baik dalam hal penyelesaian Peristiwa 17 Oktober 1952 yang
inisiatifnya diambil oleh sebagian perwira, peristiwa pembangkangan pimpinan
Angkatan Darat tehadap keputusan pemerintah mengangkat Kolonel Bambang
15
Utoyo sebagai KSAD tahun 1955 atau pun peristiwa AURI di Cililitan tahun itu
juga, ia lebih banyak di belakang dengan menyerahkan penyelesaiannya pada
pemerintah/pimpinan
angkatan.
Kedudukan
konstitusionalnya
memang
mengikatnya juga.
Sumbangan Hatta dalam menciptakan pondasi negara demokrasi pada awal
berdirinya Republik Indonesia, sebelum dan sesudah proklamasi. Sejumlah
langkah yang memperlihatkan keterlibatan Hatta dalam mendekatkan cita-cita
menuju negara demokrasi konstitusional yaitu:
a. Mengeluarkan Maklumat X 16 Oktober 1945, yang melepaskan penumpukan
kekuasaan MPR, DPR di tangan presiden yang memegang kendali eksekutif,
ke lembaga Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
b. Manifesto Politik 1 November yang berisi asas-asas dasar negara yang telah
disetujui oleh Badan Pekerja KNIP.
c. Maklumat 3 November 1945 tentang seruan pembentukan partai-partai politik.
d. Dekrit pemerintah 14 November 1945 tentang pembentukan Kabinet
Perlementer.
e. Janji untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum 1953 yang kemudian diundur
pada tahun 1955.
Pada masa demokrasi parlementer Hatta dan Soekarno diundang untuk
memainkan peran sebagai penasihat. Mereka tidak bisa menghindarkan diri untuk
terlibat dalam pertentangan terus-menerus yang muncul antarkelompok politik,
agama, militer, dan kedaerahan selama periode ini. Persaingan antar partai dengan
mengorbankan pemerintahan yang stabil sangat menyakitkan hati Hatta. “Partaipartai politik dimaksudkan untuk menjadi sarana yang teratur dalam menyalurkan
pandangan umum”, kata Hatta pada tahun 1951, “tetapi dalam perkembangan
kepartaian kita, partai merupakan tujuan dan Negara menjadi alatnya”. Tetapi
Hatta tidak pernah menyarankan agar sistem kepartaian dibubarkan, melainkan
sekadar dirampingkam dan direformasikan. “Demokrasi tidak bisa berlangsung
tanpa partai politik, Hatta menegaskan (Rose, 1991: 298-299).
Menurut Hatta, dalam perjuangan menuju masyarakat adil dan makmur,
harus disadari secara realistis bahwa diawal kemerdekaan daerah-daerah (terutama
di luar Jawa) hampir tak tersentuh secara konkrit oleh kebijakan perekonomian
16
dari pusat. Harus diakui pula bahwa Indonesia muda adalah kawasan yang amat
luas untuk ukuran alat transportasi dan komunikasi waktu itu. Akan dengan
mudah daerah-daerah itu tercecer dari perhatian para petinggi pemerintah yang
juga baru aja mulai dalam mengurus negara. Hatta menekankan bahwa
pembangunan masyarakat daerah hanya akan berhasil dengan adanya otonomi dan
desentralisasi pada daerah itu. Memberikan otonomi kepada daerah, menurut
Hatta, tidak saja berarti melaksanakan demokrasi tetapi juga mendorong
berkembangnya oto-aktivitas, artinya bertindak sendiri, melaksanakan sendiri apa
yang dianggap penting bagi lingkungan sendiri. Dengan berkembangnya otoaktivitas tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi, yakni pemerintahan
yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat. Demokrasi, bagi Hatta, berlawanan
dengan dasar sentralisme yang membulatkan segala kekuasaan di tangan
Pemerintah Pusat dan DPR. Semakin luas daerah negara, semakin banyak
diferensiasi kepentingan hidup, semakin banyak masalah khusus yang mengenai
berbagai daerah masing-masing yang semuanya tidak dapat diurus dari pusat
pemerintahan negara (Subianto: 2004: 153).
Dalam bidang pendidikan, sejak tahun 1951, Hatta memberi kuliah pada
Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD, kemudian bernama
Seskoad) di Bandung. Tahun 1954 Hatta mulai mengajar di Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta. Hatta juga memberi kuliah pada Akademi Dinas Luar Negeri
(ADLN) yang dibina oleh Kementerian Luar Negeri, dan kadang-kadang beliau
memberikan ceramah, seperti di Universitas Parahyangan, Bandung.
Sejarah dianggap salah satu sarana utama untuk mewujudkan cita-cita
nasional, maka pada hakekatnya merupakan sumber kekuatan bagi berfungsinya
sarana tersebut dengan efektif. Melalui pendidikan manusia mendapatkan unsurunsur peradaban masa lampau dan memungkinkan baik untuk mengambil peranan
dalam peradaban masa kini maupun untuk membentuk peradaban di masa datang.
Proses pendidikan tidak akan berjalan sebagaimana mestinya tanpa dukungan
sejarah, sebab sejarah pada hakekatnya memberikan bahan-bahan agar
terlaksanakannya proses pengembangan daya-daya manusia yang menjadi inti
pendidikan tersebut (Widja, 1989 : 102).
17
Seperti pengajaran lain, sejarah merupakan salah satu wahana untuk
mencerdaskan bangsa dalam arti luas. Dengan sifatnya yang unik, sejarah berpijak
pada fakta masa lampau yang dianalisis untuk memahami masa kini. Tujuan
sejarah ialah mempelajari hal-hal yang unik, tunggal, idiografis, dan sekali terjadi;
sedangkan ilmu-ilmu sosial tertarik kepada yang umum, ajeg, nomotetis, dan
merupakan pola. Pendekatan sejarah juga berbeda dengan ilmu-ilmu social.
Sejarah itu diakronis memanjang dalam waktu, sedangkan ilmu-ilmu sosial itu
sinkronis, melebar dalam ruang. Sejarah mementingkan proses, sementara ilmuilmu sosial menekankan struktur (Kuntowijoyo, 2001:109).
Pendidikan tidak hanya melibatkan pengajaran di sekolah tetapi, juga
melibatkan pendidikan nilai yaitu penanaman nilai-nilai pada diri seseorang serta
menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya. pendidikan nilai
tidak hanya merupakan program khusus yang diajarkan melalui sejumlah mata
pelajaran, tetapi mencakup pula keseluruhan proses pendidikan. Dalam penelitian
ini, penulis mencoba menunjukkan pendidikan nilai yang ada dalam diri
Mohammad Hatta. Nilai-Nilai Pendidikan dari Sosok Mohammad Hatta antara
lain:
Nilai cinta tanah air (Patriotisme) pendidikan yang menanamkan nilai-nilai
patriotisme secara mendalam. Memperjuangkan kedaulatan Indonesia melaui
diplomasi Konferensi Meja Bundar yang dilakukan Hatta merupakan sebuah
semangat patriotisme mendalam yang merupakan ekspresi dari cinta tanah air
sendiri. Tidak hanya memperjuangkan, tetapi Hatta mengisi kemerdekaan itu
sebaik-baiknya, yaitu dengan memperhatikan keperluan yang dibutuhkan bangsa
Indonesia untuk membangun suatu sistem perekonomian dan politik yang layak
dan handal.
Nilai demokrasi, nilai demokrasi termasuk di dalamnya, kesediaan untuk
berdialog, berunding, bersepakat, dan mengatasi permasalahan dan konflik dengan
cara-cara damai, bukan dengan kekerasan, melainkan melalui sebuah dialog bagi
pembentukan tata masyarakat yang lebih baik.. Kemampuan berunding dalam
menengahi konflik, mengutamakan dialog daripada kekerasan senjata, telah
menjadi jiwa bagi perjalanan bangsa ini. Nilai demokrasi telah mendarah daging
dalam diri Hatta, bahkan dalam pembuatan Undang-undang menganggap bahwa
18
sangatlah penting untuk memasukkan hak-hak individu tersebut. karena usaha
gigih Bung Hatta itulah kita memiliki pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang
Nilai moral Mohammad Hatta adalah seorang pemimpin yang jujur,
antikorupsi, memegang teguh prinsip, tegas, terampil berorganisasi, memiliki
intelektual yang taktertandingkan, dan pemegang sosialis yang setia yang
berpihak pada rakyatnya. Hatta adalah seorang pemimpin yang sederhana yang
mampu mengayomi rakyatnya.
Nilai-nilai kemanusiaan seperti loyalitasnya terhadap prinsip-prinsip
demokrasi dan keberpihakannya terhadap nasib rakyat, kemudian dituangkan
dalam bentuk pemikiran tentang ekonomi kerakyatan, peran daerah, serta masalah
hak asasi manusia (HAM) termasuk di dalamnya keadilan sosial.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uraian di atas Hatta termasuk pemikir Indonesia yang
mempunyai pendapat bahwa perkembangan suatu masyarakat memerlukan
perencanaan yang rasional. Riwayat hidup Hatta terutama pendidikan dan
organisasi yang ia geluti mempengaruhi pemikirannya-pemikirannya seperti
tentang sosialisme, demokrasi, keadilan sosial, ketatanegaraan dan bentuk negara.
Pemikirannya merupakan ide yang cemerlang dari seorang pemimpin yang besar
dan bisa dijadikan cerminan bagi pemimpin di masa mendatang. Dalam masalah
politik masa demokrasi parlementer, banyak terjadi penyimpangan yang dilakukan
oleh pemimpin-pemimpin yang berusaha mengejar kekuasaan. Presiden Soekarno
juga telah melakukan penyimpangan saat menjadi kepala negara. Hal tersebut
yang menyebabkan Mohammad Hatta mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden.
Hatta telah berusaha melakukan tugasnya dengan baik sebagai Wakil Kepala
Negara baik itu dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan pendidikan.
Kontribusi terhadap pendidikan sejarah dalam penelitian ini, penulis
mencoba menunjukkan pendidikan nilai yang ada dalam diri Mohammad Hatta.
Nilai-Nilai Pendidikan dari Sosok Mohammad Hatta antara lain: Nilai Cinta Tanah
Air (Patriotisme), nilai Demokrasi, nilai moral dan nilai-nilai kemanusiaan.
19
Pada penelitian selanjutnya dapat mengulas bagaimana kebijakan politik
Hatta dari sudut pandang lain, seperti ekonomi terutama ekonomi koperasi yang
dikembangkan Hatta di Indonesia atau aktivitas politik Mohammad Hatta setelah
mengundurkan diri sebagai wakil presiden karena meskipun Hatta tidak terlibat
lagi dalam panggung politik, namun ia tetap melakukan kritik terhadap kebijakan
pemerintah yang menyimpang.
DAFTAR RUJUKAN
Bangun, Rikard. (ed). 2003. Bung Hatta. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Budiardjo, Miriam. 1977. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia
.
Gottschalk, Louis.1983. Mengerti Sejarah. (terjemahan Nugroho Notosusanto).
Jakarta: UI Press.
Hatta, Mohammad. 1957. Islam Masyarakat Demokrasi dan Perdamaian. Jakarta:
Tintamas.
Joeniarto. 1990. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jakarta: Bumi
Aksara.
Kartaprawira, Rusadi. 2006. Sistem Politik Indonesia (suatu model pengantar).
Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya.
Mahfud MD, Moh. 2000. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia (studi tentang
interaksi dan kehidupan ketatanegaraan). Jakarta: Rineka Cipta.
Noer, Deliar. 1987. Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965. Jakarta: PT.
Pustaka Utama Grafiti.
Noer, Deliar. 1990. Mohammad Hatta, Biografi Politik. Jakrta: LP3ES.
Noer, Deliar. 2012. Mohammad Hatta Hati Nurani Bangsa. Jakarta: Kompas
Media Nusantara.
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. 2010. Malang: Universitas Negeri Malang.
Rose, Mavis. 1991. Indonesia Merdeka, Biografi Politik Mohammad Hatta.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
20
Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1975. 30 Tahun Indonesia Merdeka 19501964. Jakarta: Menteri/Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Swasono, Meutia Farida. 1980. Bung Hatta Pribadinya dalam Kenangan. Jakarta:
Sinar Harapan dan Universitas Indonesia Press.
Widja, I Gde. 1989. Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah.
Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
21
Download