11. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Latar Belakang Penyakit Gumboro pertama kali ditemukan tahun 1 9 6 2 d i d a e r a h peternakan ayam d i Gumboro, D e l a w a r e , Amerika Serikat. Penyakit ini d i s e b a b k a n o l e h v i r u s dan menimbulkan nekrosis t e r u t a d a p a d a organ limfoid b u r s a F a b r i c i u s meskipun organ ~ i m f o i d ' l a i n n ~j uag a mengalami nekrosie yang ringan. Karena kerusakan p a d a organ b u r s a virus ini Fabricius menyerang dan menimbulkan maka penyakitnya dinamakan Infectious Bursal Disease (IBD) (Lukert dan Saif, 1991). Tahun 1972, A l l a n et al. melaporkan b a h w a infekei virue p a d a ayam berumur muda mengakibatkan imunosupresi. Pengendalian penyakit Gumboro d i s e b a b k a n o l e h munculnya bentuk ini menemui kesulitan yang v a r i a n s e r o t i p e I yang mempunyai p e r b e d a a n s i f a t biologik dengan g a l u r v i r u s standar (Lukert d a n Saif, 1991). 2.2. Virua Penyebab Penyakit Gumboro Penyakit Gumboro yang disebut j u g a Infectious Bursal Disease (IBD) atau Lymphocytolytic Disease p a d a ayam di sebabkan o l e h v i r u s dari famili Birnaviridae, yang hanya mempunyai satu genus. Birnavirus (Kibenge et al.,, 1988a; Lukert dan Saif, 1 9 9 1 dan Cavanagh, 1992). Birnavirus berkisar berbentuk antara 55-65 eimetri ikosahedran, dengan diameter nm dan tidak memiliki amplop. P a d a p a r t i k e l virue IBD ditemukan 4 struktur protein yang berhasil d u a komponen yang diidentifikasi, b e s a r yaitu VP2 d a n VP3 eedang komponen yang k e c i i d a r i v i r i o n ( p i n o r internal component) a d a l a h VP, dan VP4. Virus F ini terlihat memiliki genom bersegmen dun : A dan B yang tersusun dari dun untai R N A sehingga dinamai Bfrnavfrus. Segmen genom B mempunyai 2 800 pasangan basa yang mengkode protein VP, segmen A kurang pembentukan dan lebih 3 300 pasangan poliprotein yang akan VP4 (Azad er al., 1985; Becht basa dan membentuk komponep sedang mengkode VPZ, VP, dan Mf.lller, 1991; Lukert dan Saif, 1991; Fahey et al., 1991b dan Liu et al., 1994). Tabel 1. Genom virus Infectious bursa1 h e u s e (Azad et al,1985) Segmen Protein virus A B Berat molekul w3 32 Kd wz w 4 40 Kd 28 Kd w~ 90 Kd Keterangan Ag penentu kelompok. sifat: wtigenik sebagei enzim protease virus komponen internal virion terkecil Berat molekul yang dimiliki empat jenis protein VP,, VP,, VP,. dan VP4 adalah 90, 40, 3 2 dan 28 Kd. VP2 dan VP3 merupakan protein utama dalam virus IBD, berturut-turut terdiri dari 5 1 dan 40 9 ' 0 pada virus IBD serotipe I. VP, merupakan antigen penentu serotipe sedangkan VP3 merupakan antigen penentu Struktur protein VP, ae&Brnidr*.&) kelompok (Lukert dan Saif 1991). pada genom segmen A (kurang lebih mempunyai antara lain rnemiliki determinan antigen yang sebagian n! besar dapat mer&gqang pembentukan antibodi yang memberi *r daya lindung (protektif) (Becht et al., 1988; Lukert dan Saif, 1991). Selain itu serotipe I mempunyai epitop speeifik pada bagian VP, yang dapat mengadakan reaksi silang dengao struktur protein serotipe 11, namun tidak mampu melakukan netralisasi eempurna terhadap antibodi yang terbentuk (Becht, 1980; Fahey et al.. 1989; Azad et al,, 1991; Oppling et a1 . 1991; Ture dan Saif, 1992; Wu et al., el992 dan Hsine dan Boyle, 1993). Perbedaan lain adalah pada ukuran eegmen genom A yang pada serotipe I mengandung sekitar lebih 70 pasangan baea eedang regmen B mengandung 20 pasangan basa lebih panjang dibanding eerotipe I1 (Becht dan MUller, 1988). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Ture dan Saif (1992) s e r t a Kibenge et al. (1988~)diketahui bahwa dalam serotipe I yaitu isolat virne lapang dan virus klaaik mempunyai perbedaan pada struktur protein VP2 yaitu pada virus varian dua pita : 45 Kd d m 41 Kd sedang virus klasik hanya 40 Kd. Kedua serotipe ( I dan 11), virus IBD memiliki keeamaan antigen kelompok (common group antigens). Antigen kelompok itu berada pada VP2 dan VP3- P a d a VP, juga terdapat antigen spesifik untuk serotipbe yang merangeang pembentukan antibodi pada netralisaai virus (Becht e t a . 1988; Kibenge e t at., 1988a dan Jagadieh et al., 1990). Fahey et al. (1985) menyatakan bphwa VP, bersifat antigenik dan bertanggung jawab pada produkai antibodi dan merupakan imunogen atau zat kebal yang sangat protektif sedangkan VP3 bertindak sebagai antigen kelompok karena mengenal antibodi monoklonal VP3 baik serotipe I maupun 11. VPl merupakan eebagian kecil komponen internal d a r l v i r i o &n ~ akhirnya VP4 merupakan enzim protease pada virus IBD I (Kibenge et al., 1984%; Ture dan Saif, 1992 dan Schnitzler et al.. 1993). (I Sedangkan Becht dan et al. (1988) melaporkan kedua protein kapsid VP2 VP3 mengandung epitop yang bertanggung jawab terhadap antigenisitas kelompok. peneliti Beberapa telah melakukan uji menggunakan antibodi monoklonal (Mobu) nerologik yang dengan fmmunoblottlng , seIain uji netralisasi terhadap inolat lapang, untuk membednkan virus dari serotipe I dan atau virus varian (Snyder et al., 1988; Fahey IBD e t ai., 1991a dan Becht dan MUller, 1991) 2.3. Serotipe dan Subtipe Virur Gumboro. McFerran e t al. (1980) melaporkan bahwa virus IBD asal Eropa dari serotipe I dan I1 eelain itu juga diketahui ada variasi terdiri (keragaman) susunan asam amino antigen d i antara isolat virus IBD Eropa, sedangkan d i USA menurut Jackwood dan Saif (1983) asal ditemukan dua serotipe (I dan 11) . Dalam serotipe I1 juga kemudian dapat diketahui ada variasi dalam susunan antigen d i antara galur, dan galur yang berbeda kemudian direbut subtipe atau varian. Isolat dapat memperbanyak diri tanpa menimbulkan virus serotipe itu I1 ini gejala klinik dan tidak membuat kerusakan pada sel limfoid bursa Fabricius. Respon antibodi terhadap serotipe I1 dapat ditemukan baik pada ayam maupun pada kalkun (Jackwood et a!., 1982). Seperti juga penelitian yang dilakukan oleh Jackwood e t (11. (1983) telah berhasil mengidentifikaai isolat aral Amerika yang terdiri dari 2 serotipe yang disebut sebagai serotipe I dan 11 ; sedangkan infeksi alam akibat virus IBD serotipe I1 yang biasanya menyerang kalkun ternyata secara serologik dapat ditemukan pada peternakan ayam pedaging dan pembibitan. Sedangkan serotipe I banyak ditemukan pada peternakan pembibitan (breeder farm). Seperti yang diketahui selama ini bahwa induk semang alamiah (inang primer) virus IBD serotipe I1 adalah kalkun, baik itu di Amerika maupun di Eropo (McNulty d m Saif, 1988). Kedua serotipe ini dapat dibedakan dengan uji netralisasi (Mahardika dan Becht, 1995). Telah diketahui pula bahwa virus IBD mempunyai dua serotipe yaitu serotipe I yang sangat patogen terhadap ayam sedang serotipe I1 dapat mengiafeksi namun tidak menimbulkan perubahan klinik karena patogen bagi ayam dan kalkun, atau bersifat sedikit tidak patogen sama sekali (Cumminge e t al., 1986 ; Kibenge e t at., 198Ba; Mahardika dan Becht, 1995). Eddy (1990) melaporkan bahwa itik merupakan hewan percobaan yang sangat peka terhadap infeksi virus IBD baik serotipe I maupun I1 namun tanpa menimbulkan gejala klinik, meskipun terjadi respon antibodi. Kadang-kadang serotipe I1 dapat bertindak sebagai penyebab infeksi d a m . Sampai saat ini, baru diketahui dua serotipe virus IBD yang patogen meskipun McFerran et al. (1980) telah berhasil menelaah hubungan aotigenik virus IBD asal ayam, kalkun dan itik. Satu serotipe lainnya yaitu serotipe I1 ternyata bersifat tidak patogen. Beberapa peneliti melakukan uji netralisaei silang terhadap galpr virus vaksin eerotipe I dan haail uji tersebut memperoleh 6 subtips virus IBD. Adanya subtipe atau varian iai, diduga disebabkan karena telah terjadi mutaei gen virus IBD (Saif er al., 1985 dan Jackwood dan Saif, 1987). Subtipe atau varian tereebut dapat dibedakan dari eubtipe lainnya dalam serotipe yang sama dengan menggunakan uji serologik (Giambrone, 1990). Sedangkan Snyder et (11. (1986) dengan menggunakan antibodi monoklonal dapat menentukan isolat serotipe I di lapang. Para peneliti di Amerika, melaporkan bahwa virus varian ini mempunyai pengaruh pada kekebalan berperantara eel febih ganae dari virus klasik, tetapi keduanya berperan juga dalam kekebalan humoral. Kejadian kasus penyakit Oumboro di Eropa, Afrika d m Israel berbeda dengan yang di Amerika; wabah tersebut digolongkan sebagai akibat bukan yang antigenik. Virus varian tipe virus varian yang patogenik patogenik ini menyebabkan kematian sampai 80-100% pada ayam SPF , (Lukert, 1992 dan Van den Berg et al., 1991). Selain daripada itu untuk membedakan antara virus etandar (baku) d a r i virus varian dapat dilakukan dengan uji netralisasi silaag (Oiambrone dan Closser, 1990) P a d a peternakan ayam di Delmarva, usoha pengendalian penyakit Gumboro ini sangat sulit dengan ditemukannya bentuk virus varisn yang berbeda dari galur virus IBD terdahulu .Virus varian tersebut menyebabkan pengecilan bursa Fabricius lebih cepat dan menimbulkan efek uegatif lebih berat terhadap organ timus. Selain daripada itu virus varian tereebut tidak dapat dinetralkan oleh antibodi anal induk maupun antibodi hasil vaksinasi dengan vaksin virus standar. Ternyata virus varian itu mempunyai sifat biologik yang berbeda dari virus standar (Rosenberger et a l . , 1985 dan Lukert dan Saif. 1991). 2.4. Kelainan Patologik Akibat Virur Gumboro Telah dilnporkan juga kerusakan yang terjadi dalam organ target akibat infeksi virus serotipe I1 pada anak ayam seperti juga akibat infeksi virus serotipe I, hanya kerusakan tidak terjadi pada organ tonsilsekum, timus dan limpa. Sel folikel limfoid bursa pada anak ayam hanya mengalami sedikit keruoakan serta sedikit gangguan pada proses pematangan sel B dari limfoid perifer, sedang kerusakan berat pada dilepaskan burrra Fabricius yang akan menuju ke organ pada ayam umur 4 minggu meskipun terjadi organ bursa Pabricius namun eel B telah sempat p a d a organ limfoid perifer; akibatnya meskipun virus serotipe I1 b e r s i f a t infeksius dan kontagius namun tidak patogen t e r h a d a p ayam (Becht d a n M u l l e r , 1 9 9 1 ) . T e l a h d i l a p o r k a n o l e h Burkhardt d a n M l l l l e r (1987) dan KallferW e i s s & W e i s s ( 1 9 8 0 ) b a h w a v i r u s Oumboro ternyata menyerang s e l limfosit B d a n t e l a h dilaporkan p a d a anak ayam yang mengalami bursektomi s a a t s e d a n g tumbuh (umur 1 minggu dan 4 mingku) ternyata tahan t e r h a d a p serangan v i r u s IBD. H a l ini telah dibuktikan dengan p e n e l i t i a n p a d a ayam yang diinfeksi v i r u s IBD melalui mulut (oral), t e r l i h a t p a d a p e r j a l a n a n infeksi yang mula-mula v i r u s b e r e p l i k a s i dalam ael limfoid s a l u r a n pencernaan; selanjutnya r e p l i k a s i kedua terjadi p a d a o r g a n b u r s a F a b r i c i u s yang menyebabkan peningkatan jumlah ( t i t e r ) v i r u s dan kemudian akan diikuti dengan p r o s e s kematian ayam. T e r n y a t a infeksi s e l limfosit B p a d a organ b u r s a F a b r i c i u s b e r s i f a t cytolytlc yang akan menyebabkan r e a k s i imunosupresi. S e l a i n itu kematian dan timbulnya g e j a l a klinik s e l a l u dihubungkan dengan sistem kekebalan dan penurunan sel-sel s i s t e m haemolitik (Becht, S h a r m a d m Frederickson, 1986; Kibenge et al., 1 9 8 8 a dan 1980; D a Silva et ai., 1992). S e b a l i k n y a S c h a t et al. (1981) d a n Okoye d a n Uzoukwu (1990) telah melakukan bursektomi s a a t embrional dan ayam tersebut diinfeksi dengan virun IBD p a d a umur 2 d a n 3 minggu maka terlihat l e s i o yang patognomonik b e r u p a perdarahan p a d a lainnya dm akan diikuti kematian otot d a d a disertai ayam tersebut t a n d a klinik akibat tidak terbentuknya kekebalan dalam tubuh ayam. Sedangkan p a d a ayam yang t i d a k dibursektomi maka terlihat depresi yang berat, diare, nekrosis limfatik yang ganas p a d a bursa, timus, ginjal dan tonsil-sekum. D a p a t dikatakan b a h w a organ target v i r u s IBD ini adalah s e l B meskipun v i r u s j u g a d a p a t b e r e p l i k a s i dalam s e l makrofag d a n s e l granulosit p a d a s a l u r a n pencernaan namun organ yang disukai v i r u s ini adalah bursa Pabricius terutama s e l limfosit pembawa Ig M. Jadi viru8 ini dengan cepat akan memperbanyak diri dalam bursa Fabricius. Selain itu virus akan menyebar ke seluruh organ tubuh, meskipun sel limfosit T dan eel null kurang peka terhadap virue tersebut dibandingkan sel B. Meskipun demikian virus IBD tetap memperbanyaU diri dalam jumlah yang sedang dan dapat diketahui t h b u l reaksi pertahanan tubuh yaitu dengan ditemukannya antibodi dalam darah sehingga virus akan cepat dinetralkan. Tidak mengherankan apabila antibodi terhadap IBD dapat diketahui 5 hari setelah infeksi (KBufer-Weis dan Weiss, 1980; Hirai et al., 1981; Ley et al., 1984 dan Jackwood et al., 1987). 2.5. Masa Inkubari dan Tanda Klinik Penyakit Gumboro Masa inkubasi penyakit h i sangat singkat, 18-24 jam nedang tanda klinik yang &an terlihat dalam 2-3 hari. Helmbotdt dan a a r n e r (1964) dan Ley et af. (1984) secara histologik menemukan virus dalam bursa 24 jam setelah infekri, sedang MUller et al. (1979) dengan uji imunofluoresen menemukan virus dalam sel limfoid dan s e l makrofag. 45 jam setelah infeksi melalui mulut. Menurut Weiss d m Kaufer-Weies (1994) setelah masa inkubaei maka &an terjadi viremia pertama (primary viraemia) dan virus ditemukan dalam sel makrofag dan sel limfoid saluran pencernaan, 4-5 jam pascainfeksi. dilanjutkan terjadinya replikasi virus dan menyebabkan nekroeie pada bursa 11 jam setelah infeksi. Keadaan ini akan bersamaan dengan terjadinya viremia sekunder dan juga mengakibatkm lesio pada organ tubuh lainnya yaitu limpa, timus, toneil-sekum, hati, ginjal dan sumsum tulang Tanda klinik oral) berupa . yang ditimbulkan setelah infeksi, 24-48 jam (per ayam terlihat lesu, bulu sayap sangat kusam, serta bulu tampak berdiri (tegak), diare yang bercampur air serta kotoran berwarna putih kekuningan, anoreknia, ayam mengalami depreei, gemetaran dan kadang-kadang disertai kematian dalam waktu 3 hari akibat ayam mengalami dehidrataei dan suhu badan menjadi subnormal (Chui dan Thorsen, 1983; Lukert dan Saif. 1991 d m Da S i l v a et al., 1992). Setelah ayam mati maka oecara patologik pada otot dada dan otot 'paha bagian dalam terlihat bercak kemerahan (heemorrhagi), p&da daerah perbatasan organ proventrikulus titik-titik dan perdarahan perut lambung Cgtzard) dan tanda khas yang terlihat adalah nekrosis pada bursa Fab- ricius disertai dengan perbarahan d m edema peribursal (Metz d m Harrison, 1986; Da Silva et al., 1992 dan Weies dan Kanfer-Weies, 1994). Pada ayam yang peka, angka kesakitan dapat meningkat mencapai loo%, sedang kematian terjadi pada hari ke 3 setelah infeksi, mulai meningkat dan diikuti penurunan pada hari ke 5-7. Ada kalanya angka kematian 0% namun dapat berubah menjadi 20-30Y0. Qarnbaran penyakit tersebut mempunyai kurva m o r b i d i t a ~ yang meningkat secara cepat. dengan cepat pula menurun. Selanjutnya b i l a dibiarkan tanpa diobatipun s e c a r a cepat pula ayam menjadi sehat kembali. Angka kematian anak ayam yang terinfeksi saat berumur 1 haria mencapai kurang lebih 30% dan kematian itu ditandai antara lain dengan tidak terserapnya kantung kuning telur (yolk sac), nekrosis dan perbarahan bursa Fabricius, jaringan peribursal dan ureter. Perbarahan dan edema ureter disebabkan retensi urin serta nephrohidrosis (Weise dan KBufer-Weiss, 1994). Kejadian wabah penyakit Oumboro di Jepang menyebabkaa kematian ayam mencapai 70%, dapat dibuktikan berbeda dengan virus IBD varian asal USA (Tsukamoto et al., 1992). Menurut Lukert dan Hitchner (1984), ayam yang peka adalah umur 3 dan 6 minggu, penyakit ini menyebabkan penurunan berat badan bahkan sampai terjadi kematian; selain daripada itu juga dapat mengakibatkan perdarahan pada otot paha d m dada (Kibenge et al., 1988a) Virus Ciumboro dapat menimbulkan penyakit bentuk subklinik b i l a menyerang ayam umur kurang dari 3 minggu tanpa menimbulkan gejala klinik. Pada umumnya ayam tersebut akan kehilangan k e m p p u a n daya k e b a l seoara permanen eehingga mudah tersernhg baik oleh virus, bakteri maupun cendawan (Rosenberger et al., 1975 dan aiambrone, 1990). Pada penyakit bentuk subklinik, virus Ciumboro menimbulkan kerusakan bursa secara kronik dan mampu meastimulaei rintesis antibodi anti IBD (McIlroy et al., 1992 dan Amstrong et al., 1981). Beberapa isolat virus IBD dapat memperbanyak diri pada biakan eel primer embrio ayam, termasuk s e l ginjal dan eel fibroblas, sebab virus dapat beradaptasi dengan baik pada eel-sel tersebut (Kibenge et al., 1988b). s e d a n g k q virus varian yang ditumbuhkan pada membran khorio-alantoik dari telur berembrio tidak mengakibatkan kematian embrio tersebut (Kibenge dan Mc Kennan, 1992). Ture dan Saif (1992) mengemukakan bahwa organ bursa merupakan tempat yang sangat baik untuk perbanyakan virus IBD s e c a r a sempurna dibandingkan dengan pada biakan jaringan fibroblas embrio ayam. Wabah penyakit Ciumboro ini eering dijumpai d i daernh yang padat peternakan ayamnya dan kejadian infeksi virus IBD sangat tinggi terutama pada ayam yang berumur muda. Ciejala klinik p a d a ayam tidak tampak jelae karena ayam masih mempunyai antibodi asal induk atau akibat infeksi virue varian. Virus varian ternyata menimbulkan perubahan subklinik berupa reaksi imunosupreei (Lukert. 1977; Lukert dan Saif, 1991). Pada beberapa kasus kejadian 'penyakit d i peternakan ayam dilaporkan tidak menimbulkan maealnh, tetapi secara uji netralieasi maupun dengan uji agar presipitasi ternyata serum ayam-ayam termebut mengandung antibodi terhadap IBD. Meskipun demikian virus IBD tidak dapat diiaolasi dari kasue tereebut di atas (Lukert, 1977). Peroah dilaporkan bahwa penyakit aumboro mengakibatkan jumlah kematian yang cukup tinggi pada anak ayam petelur dibandingkan dengan anak ayam pedaging menkipua efek imunorupreni yang ditimbulkan r m a 1) pada kedua jenis ayam tsrrebut (Lukert, 1977; Van den Berg 1991 dan Bumetead e t al., 1993). Sedangkan menurut antibodi anal induk pada ayam pedagiag akan et al., Box (1989). cepat menurun dibandingkan pada ayam petelur (Bumstead et ai., 1993). Dilaporkan pula oleh Saif (1991) bahwa organ bursa Fabricius mengalami pembeearan akibat proses perbarahan yang &an segera diikuti dengan terjadinya atrofi. P a d a beberapa isolat lapang yang dianggap sebagai virus varian tidak mengakibatkan perbarahan tetapi atrofi bursa. Kerusakan eel limfosit mengakibatkan atrofi burea Fabriciue; kelainan tersebut juga terjadi pada limpa, timua, toasil-~ekum dan glandula Harderian, hanya derajat keruealrannya tidak parah. Nunoya e t al. (1992) melaporkan di Jepang, bahwa isolat lapang mampu merangeang terjadinya nekrosis berat pada timun dan aplasia sumsum tulang. Selain daripada itu menimbulkan reakei p e r a d a n g h eistemik yang ditandai dengan meningkatnya aktifitas eistcm fagoeitosin s e l moaonuklear. Keadaan ini dihubungkan dengan adanya penekanan perkembangan eistem kekebalan tubuh berperantara sel. Akibatnya terjadi kerusakan nel limfosit T nehingga ayam kehilangan rerpon kekebalan yang ditimbulkan oleh vaksinasi. Virue IBD yang virulen akan menimbulkan nekroeis pada eel folikel limfoid bursa, atrofi bursa secara permanen, nekrosis korteks timua dan nekrosis ael limfosit medula timus (Fadly dan Nazerian, 1983) Amstrong et a l . (1981) bersifat kronik yang mengemukakan bahwa kerusakan bursa pada stadium infeksi lanjut, mengakibatkan penurunan berat bursa Fabricius . et al. (1972) menyatakan Winterfield bahwa pada ayam umur kurang dari 3 minggu, infeksi IBD hanya dapat diketahui perubabannya , secara mikroskopik pada bursa Fabricius. Sedangkan pada pemerikaaan secara histopatologikpun aangat sulit infeksiua atau non infeksiuspun diketahui karena agen penyebab menimbulkan penurunan jumiah sel limfosit d m nekrosis bursa Fabricius. Selain itu infeksi virus varian tidak menyebabkan infeksi lainnya. serotipe I serologik tidak sedang imflnmaai heterofilik pada bursa seperti pada Pada awal infeksi virus IBD, secara j e l a s karena pada masa tersebut respon terbentuk dan saat itu ayam masih induk (Sharma et 41.. 1986; dan Jackwood Sejak beberapa kekebalan mempunyai antibodi anal et al., 1992). tahun yang lalu sudah dilaporkan bahwa ada isolat virus ganas yang merupakan virus varian atau subtipe baru dalam serotipe yang a d a di lapang (Rosenberger dan Cloud, 1986; Snyder, 1986 dan Rosales et at., 1989). Virus varian yang dikenal di USA mempunyai bentuk antigenik yang tidak dapat dinetralkao oleh antibodi asal induk. Karena antibodi tersebut tidak mengenal virus varian baru maka anak terserang penyakit Ctumboro. Virus varian perdarahan atrofi d m berdampak virue klasik. lebih mudah ini tidak mengakibatkan pada otot dada namun menyebabkan bursa Fabricius yang bereifat permanen ayam kerueakan sel pada sehingga bursa mengalami imunosupresif dibandingkan infeksi oleh Infeksi pada embrio ayam sedikit menimbulkan kematian tetapi mengakibatkan kekerdilan (Lukert, 1992). Sharma et al. (1989) melaporkan berdasarkan pemeriksaan histopatologik terhadap organ bursa Fabricius dan timus; pada hari ke 3 setelah infeksi virus varian terjadi nekrosis dan deplesi sel limfoid folikuler meskipun tingkat kejadian dan keganasannya lebib berat dibanding virus baku (klasik). Infeksi virus varian menyebabkan kerusakan eel limfoid bursa yang selanjutnya juga menyebabkan atrofi lipatan (plicae) bursa dan organ bursa mengecil eedangkan infekei virus klasik menyebabkan perbarahan pada bursa dengan ditandai adanya infiltraei sel heterofil dan edema pada lipatan bursa, dinding b u h a dan lapisan aerosa bursa. Selain itu pada awal minggu pertama b i l a terjadi infeksi 01th virus klaaik maka terlihat perubahan patologik berupa nekrosia sel limfosit timus yang ditandai dengan pengecilan organ timua dan ha1 teraebut tidak terjadi pada infeksi infeksi oleh virus varian. 2.6. Imunorupreri Keadaan imunosupresi sulit diketahui apabila ayam berumur muda tereerang penyakit Gumboro subklinik, juga bila terinfeksi oleh virus varian yang tidak menimbulkan perubahan yang jelas p a d a organ bursa Pabricius. Selain itu Faragher ef 01. (1972) mengamati adanya hubungan antara virulensi virua , umur ay.am dan efek imunosupresi yang timbul akibat infeksi virus IBD. Telah dibuktikan pada penelitiannya j i k a infeksi virus IBD terjadi pada anak ayam (DOC) maka ayam akah menderita imunosupresi yang jelas memperlihatkan kegagalan pem- bentukan antibodi pada program vaksinasi ND, eedangkan infeksi virus IBD yang menyerang ayam berumur 7 hari menunjukkan bentuk subklinik malahan aulit diketahui dibandingkan apabila terjadi pada umur 14 hari ntau lebih. Penelitian yang dilakukan oleh S h a r m a e t at. (1989), Mazariegos e t a l . (1990), dan Craft et at. (1990) membuktikan mempunyai tingkat virulensi dan aifat imunoaupresi beragam, misalkan b i l a galur virus sangat bahwa virus IBD yang virulen maka sangat akan rnenimbulknn reaksi imunoeupresi yang sangat berat, aedang pada yang virulensinya sedang dan rendah maka masing-masingpun menimbulkan reaksi imunosupresi sedang dan rendah. Mekanisme imunosupresi terutama disebabkan oleh penurunan jumlah s e l limfosit B. Penurunan jumlah eel tersebut disebabkan antara lain oleh lisisnya sel B, yang bekerja pada re1 T penolong (T helper c e l l ) dan respon imun aehingga keadaah sel-eel tersebut mengakibatkan imunosupresi yang persisten merkipun virus IBD sudah tidak ditemukan. Walaupun demikian ayam masih mampu membentuk antibodi yang cukup tinggi terhadap virus IBD itu sendiri dan antibodi tersebut tetap persisten dalam jangka waktu yang panjang (Ismail dan Saif, 1991; Saif, 1991). Ha1 tersebut di ataa telah dilaporkan oleh Allan et al. (1972), Hirai e t al. (1974a) dan Meulemans e t al. (1977) bahwa infekei virus IBD mengakibatkan penurunan daya kekebalan. Mekanisme penurunan daya kekebalan tersebut (imunosupresi) disebabkan oleh lisisnya sel limfosit B (Van den Berg et al., 1991; Lam, 1991; Narita e t al., 1991 dan Saif, 1994). Lnporan lain menunjukkan bahwa penekanan respon antibodi itu terjadi pula pada vaksin selain ND (Wood et at., 1988 dan Nakamura et al., 1992). Chui dan Thorsen (1983) melaporkan pada kalkun, virus IBD ternyata dapat menimbulkan reaksi imunosupresi baik humoral maupun seluler; mekanisme imunoeupresi tersebut tidak diketahui j e l a s namun kemungkinan alcibat degenerasi bursa yang cukup ringan meskipun tetap tidak dapat berespon humoral recara normal. Reepon kekebalan yang terjadi akibat infekai virus IBD, bersamaan dengan proses imunosupresi terhadap beberapa antigen malahan menyebabkan stimulasi antibodi yang eangat tinggi terhadap virus IBD sendiri. Atau dapat dikatakan bahwa virus IBD menyebabkan reaksi imunosupresi terhadap virus lain tetapi tidak terhadap dirinya sendiri (Lukert, 1977; Faragher et al., 1974 dan Kaufer-Weiss dan Weirs, 1980). Hal demikian dapat dijelaskan pada anak ayam yang mengalami bursektomi maka respon kekebalan dihasilkan oleh organ limpa dan organ limfoid lainnya, redangkan imunosupresi itu sendiri diakibatkan oleh kerusakan bursa Fabricius (Cummings et al., 1986). Di samping itu ayam yang terinfeksi pada umur dini oteh virus IBD mengalami penekanan respon antibodi namun tidak menimbulkan gejala klinik. Hal ini diakibatkan oleh timbulnya kerusakan s e l bursa Fabricius oleh virus IBD yang menghambat pelepasan sel limfoeit B dari bursa Fabricius ke organ periferi. Respon kekebalan tetap dihasilkan oleh jaringan limfoid sekunder walaupun respon kekebalan yang terbaik pada saat ayam berumur dini dihasilkan oleh jaringan limfoid primer adalah Ig M dan Ig G (Skeeles et al., 1979). Selain daripada itu penekanan respon antibodi tereebut tidak hanya terhadap vaksin, tetapi juga terhadap infeksi patogen lain, baik oleh virus ataupun bakteri yang mengakibatkan ayam lebih rentan (Uiambrone et al., 1976 dan Lister d m Stuart, 1991). Infeksi dengan virus IBD yang terjadi pada ayam berumur kurang dari 3 minggu, secara ekonomik eangat merugikan karena menyebabkae imunosupresi yang berat (Lukert dan Saif, 1991). Hirai e t al. (1974b) menyatakan bahwa proses penurunan respon kekebalan humoral terhadap berbagai vaksin sangat jelas. Selain itu juga anak ayam yang terinfeksi virus IBD, akan peka terhadap virus inclusion body hemoragika, hepatitis, koksidiosis, dermatitis gangrenosa, penyakit Marek, laryngotracheitis anemia menular, bronchitis menular, salmonellosis dan colibacillosir. Pada penelitian ternyata yang infeksi reovirus dilakukan oleh Moradian et al. (1990) yang bersamaan dengan infeksi virus IBD mengakibatkan imunosupresi yang eangat berat dibandingkan akibat infeksi reovirus rendiri. Demikian juga infeksi oleh virus IBD meningkatkan kepekaan ayam terhadap infeksi septisemia yang dioebabkan oleh 8. coll. Infeksi campuran antara virus IBD dan B. colf makin merangsang penurunan jumlah eel limfosit dalam bursa Pabriciue maupun organ timus (Nakamura et al., 1990; Okoye et el., 1991). Faragher et al. (1974). aiambrone et al. (1978) aan Oiambrone (1979) juga telah membuktikan bahwa anak ayam petelur yang tidak memiliki antibodi anal induk terhadap penyakit Ciumboro d m diinfekai oleh virus terhadap tersebut tidak sanggup mengadakan reaksi kekebalan infeksi penyakit lain malahan ayam tersebut eangat mudah terserang misalnya oleh penyakit ND . Telah diketahui bahwa irolat virus varian mengakibatkan sakan bursa Fabricius walau ayam yang keru- bersangkutan telah mendapat vakainasi dengan serotipe I. Akibat infeksi virun v a r i m baik pada ayam petelur maupun ayam pedaging tidak menimbulkan pembesaran bursa Fabricius yang b e r ~ i f a takut, maupun pembentukan eksudat gelatinous. Kedua ha1 itu merupakan tanda patognomonik akibat infeksi virus baku (Metz dan Harrison, 1986). Dengan uji netralisasi sitang dapat dibedakan virus varian dari virun vakein yang beredar dan digunakan d i peternakan ayam pedaging di Amerika (Ismail et al., 1990). Virus varian ini perlu mendapat perhatian karena meskipun ayam telah divakeinasi dengan vaksin serotipe I imunosupresi. Selain itu kedua bereamaan dapat ditemukan tipe maoih virus dapat menyebabkan tersebut di atas secara di suatu peternakan ayam (Sharma e t al., 1989). 2.7. Vaksin dan Vaksinasi terhadap Penyakit Gumboro Sampai rant ini pengendalian penyakit Oumboro dapat dilakukan dengan program vakeinasi yang teratur oleh peternak pembibit sehingea antibodi asal induk pada anak ayam yang berasal daripadanya cukup untuk menahan serangan virus lapang sampai saat vnksinasi berikutnya dilakukan (Lucio dan Hitchner, 1979). Vaksin inaktif den &if yang dibuat dari galur varinn dapat melindungi ayam terhadap IBD yang disebabkan oleh varian atau galur , baku (Jackwood et al., 1987). Imunisasi terhadap serotipe I1 tidtik dapat melindungi ayam terhadap serotipe I, sedangkan keadaan sebaliknya tidak dapat dilihat karena virus IBD oerotipe I1 tidak a d a yang virulen yang dapat digunakan aebagai uji tantang. Pada saat ini bermacam vaksin IBD telab diproduksi dari galur tidak ganas sampai ganas dan sudah banyak beredar (Mazariegos et a$., 1990). Berbagai metode (1987) untuk mendetekoi dapat digunakan oleh Meulemans et al. titer kekebalan terhadap IBD d m hasil nntara uji ELISA dun uji netralieasi serum tidak berbeda banyak (Parede et a . 1994). Rooenberger et a!. (1986) melaporkan bahwa vaksin yang dibuat dari virus standar tidak dapat menahan infekni ysng diaebabksn oleb virus varian ganae . Di earnping itu juga ternyata bahwa penggunaan vakSin IBD yang tidak tepat pada anak ayam dapat mernsak nel limfoid bursa Fabricius eehingga meskipun ayam kebal terhadap Gumboro, ayam tidak dapat mempunyai kekebalan terhadap infeksi oleh organisma lainnya, misalnya j i k a terkena infeksi pada kulit (Parede et al., 1994). Pada peneiitian yang dilakukan oieh Solano et al. (1985) disimpulkan bahwa vaksinasi pada anak ayam sebaiknya menggunakan vaksin aktif sebelum pemberian vakain inaktif dalam larutan Freund's adjuvan komplit. Cara vaksinasi tersebut telah menghaoilkan titer antibodi yang cukup tinggi pada ayam petclur maupun pada anak ayam yang induknya telah mendapat vaksinasi. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu dianjurkan bahwa untuk menghindari penurunan titer antibodi anal induk maka dapat model vaksinasi sebagai berikut : 1 ) pada dilakukan vaksinasi pertama anak dilakukan ayam umur 2 hari, dengan vaksin d t i f Intermediate y m g diberikan melalui a i r minum ; 2) namun antibodi anal induk (AAI) S log26 apabila dapat diketahui titer maka diberikan v a k h n a s i pertama p a d a an& ayam berumur antara 10-12 hari, dengan menggunakan vaks i n aktif intermediate sedangkan b i l a titer AAI 2 sinasi pertama p a d a malt ayam tersebut hari, melalui a i r minum . logz10 maka vak- dilakukan antara umur 20-25 Vaksinaei kedua dilakukan pada umur antara 18-22 minggu dengan vakein inaktif dalam adjuvan minyak (Solano e t a l . , 1985 dan Kibenge e t al., 1988b). Lukert (1992) menyatakan bahwa untuk mengendalikan penyakit Qumboro dianjurkan melakukan vaksinasi pertama pada ayam DOC melalui snntikan. Apabila virus lapang dapat menginfeksi ayam dengan t i t e r Ab < 500 dan walaupun vaksinasi kedua dan ketiga diberikan tetapi masih tergantung pada derajat wabah IBD yang terjadi. P a d a umur 7-9 hari dan 14-16 hari diberikan vaksinasi kedua dan ketiga melalui a i r minum, namun apabila tidak terjadi wabah penyakit maka vaksinasi ketiga dapat dihilangkan. Pada vakeinaei intermediate, dan ini lebih menguntungkan digunakan vaksin jenis a p a b i l a digunakan vaksin kombinasi antara virus standar dan virus varian. Dari laporan penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antigenik yang sangat nyata yang menyebabkan virus varian yang diinaktivasi akan merangsang pertahanan tubuh lebih tinggi dibandingkan galur standar yang diinaktivasi terhadap uji tantang virus di alam (Cavanagh. 1992). Dari uraian d i atas jelaslah bahwa penyakit Gumboro itu sangat qerugikan bagi industri perunggasan. Di Eropa, Afrika dan beberapa negara di Asia kini dikenal varian virus yang patogen. Virus varian ini mampu mematahkan kekebalan poda ayam yang telah divaksinasi dtngan vakein IBD yang biananya mampu melindungi ayam dari serangan virur homolog IBD (Lukert. 1992). Akibat terbentuknya varian baru ini, baik di Eropa maupun di Amerika kejadian wabah penyakit Oumboro akhir-akhir ini sangat menghebat, meskipun ayam-ayam tersebut telah mendapatkan vakainasi sebelumnya (Jackwood et a l . , '1992).