BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan penghasil kopi ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Vietnam. Kopi sumatera menjadi kopi yang banyak digemari oleh masyarakat Indonesia maupun luar negeri. Kopi sumatera berasal dari Aceh, Sumatera Utara, Bengkulu, Lampung, dan Riau. Kopi yang dikenal dari Sumatera Utara adalah kopi lintong, kopi mandaeling, dan kopi sidikalang.Tradisi minum kopi menjadi suatu kebudayaan bagi masyarakat baik di perkotaan maupun perdesaan. Hal ini didukung oleh semakin banyaknya usaha kafe dan perusahaan pengolahan kopi mulai dari skala home industry sampai skala multinational. Salah satu perusahaan kopi multinasional yang sangat terkenal di dunia adalah Starbucks Coffee. Berdasarkan website Starbucks Coffee tersebut, salah satu wilayah pemasok kopi di Starbucks Coffeeadalah Pulau Sumatera yang disebut dengan Sumatran Coffee. Salah satu wilayah yang menyumbang pasokan kopi di Sumatera adalah Kabupaten Dairi. Kopi ini dikenal dengan kopi sidikalang untuk menyatakan identitas wilayah karena ibukota dari Kabupaten Dairi adalah Sidikalang. Kopi sidikalang merupakan komoditas unggulan pertanian yang berbasis ekspor di Kabupaten Dairi. Kabupaten Dairi berada pada ketinggian 1.066 mdpl dan merupakan dataran tinggi - berbukit dengan lahan yang sangat suburdan sangat potensial untuk pertanian. Hasil pertanian yang banyak ditemukan daerah ini adalah padi, buahbuahan, sayur-sayuran, dan hasil perkebunan. Berdasarkan data Kabupaten Dairi Dalam Angka 2012 perkebunan kopi di daerah ini seluas 18.999 Ha atau 9,86 persen dari luas wilayah (luas wilayah 192.780 Ha). Perkebunan kopi ini merupakan perkebunan rakyat dimana sebagian besar kebun kopi dimiliki dan dikelola oleh masyarakat setempat. Oleh sebab itu, hasil perkebunan ini dapat dinikmati langsung oleh petani kopi. Kabupaten Dairi memproduksi dua jenis kopi yaitu arabika dan robusta. Kedua jenis kopi ini memiliki cita rasa yang berbeda. Kopi robusta memiliki 1 kafein yang lebih tinggi daripada kopi arabika, yaitu sekitar 70-80 persen. Kopi sidikalang yang telah dikenal oleh masyarakat luas adalah kopi jenis robusta. Sebagian besar home industry di kabupaten ini hanya mampu mengolah kopi robusta saja, sedangkan kopi arabika diekspor. Kopi robusta sebagian besar tidak diekspor melainkan untuk memenuhi kebutuhan lokal saja. Hal ini disebabkan karena banyak masyarakat yang mengganti tanaman kopi robusta dengan tanaman kopi arabika, sehingga produksi kopi robusta dari waktu ke waktu semakin menurun. Peralihan tanaman kopi robusta ke kopi arabika disebabkan karena produksi kopi rabika yang lebih tinggi dan harga kopi robusta yang jatuh pada sekitar tahun 2000. Saat ini, tanaman kopi robusta di Kabupaten Dairi merupakan tanaman tua saja. Peralihan tanaman kopi ini tentu berdampak terhadap rantai tataniaga kopi di Kabupaten Dairi, dimana terjadi perbedaan jalur distribusi. Kopi sumatera merupakan kopi yang telah diakui kualitasnya, sehingga banyak digemari oleh pasar dunia. Namun, popularitas kopi ini tidak menjadikan petani kopi menjadi lebih sejahtera. Hal ini disebabkan karena harga kopi yang sangat murah di tingkat petani. Rendahnya harga pasar kopi di tingkat petani disebabkan oleh panjangnya rantai distribusi kopi yang melibatkan banyak pelaku usaha kopi. Pelaku-pelaku usaha kopi ini tentu mengambil keuntungan dari setiap pemasaran kopi tersebut. Petani kopi memiliki peran yang sangat besar dalam menyediakan kopi di pasar. Apabila rantai distribusi kopi dipotong di tingkat petani, maka usaha dagang di tingkat atasnya pun akan terhenti. Walaupun petani memiliki peran utama dalam distribusi kopi ini, petani tetap tidak dapat menciptakan harga pasar yang sesuai dengan biaya produksinya karena harga kopi di pasar dunia ditentukan oleh International Coffee Organization (ICO). Harga pasar kopi arabika ditentukan oleh New York Board of Trade (NYBT) dan harga kopi robusta ditentukan oleh London International Finansial and Options Exchange (LIFFE). 2 1.2. Perumusan Masalah Salah satu permasalahan pertanian dalam tataniaga hasil pertanian adalah ketidakstabilan harga. Harga yang tidak stabil ini sangat dirasakan oleh petani kopi yang berperan sebagai produsen kopi. Sistem tataniaga kopi memiliki pola yang panjang dan pendek. Panjang – pendeknya pola tataniaga ini berpengaruh terhadap harga yang diterima petani. Harga kopi dunia ditentukan oleh suatu organisasi di Amerika yaituInternational Coffee Organization (ICO). Harga kopi di tingkat petani sangat berbeda dengan harga yang telah ditentukan oleh ICO. Harga kopi arabika di tingkat petani berkisar Rp 10.000,00 sampai Rp 13.000,00 per kg dan harga kopi robusta berkisar Rp 16.000,00 sampai Rp 17.000,00 per kg. Harga rata-rata kopi arabika Bulan Juni 2013 di pasar dunia adalah 123,6 US $/ lbs atau setara dengan Rp 27.006,00/ kg dan harga kopi robusta adalah 1786 US $/ ton atau setara dengan Rp 17.860,00/ kg. Petani kopi arabika memiliki produksi, proses pengolahan, dan harga yang berbeda dengan kopi robusta. Oleh sebab itu, pendapatan petani kopi arabika dan kopi robusta juga berbeda. Jenis kopi di Kabupaten Dairi yang sangat digemari oleh masyarakat adalah kopi robusta. Kopi robusta memiliki cita rasa yang khas, sehingga petani kopi robusta mengalami kejayaan pada masa lalu. Pada dekade terakhir ini, harga kopi robusta semakin menurun karena penurunan kualitas dan kuantitas kopi robusta.Usahatani kopi robusta dianggap tidak menguntungkan lagi, sehingga banyak petani mengganti tanaman kopi robusta dengan tanaman kopi lain. Petani mengganti tanaman kopi robusta dengan kopi arabika dan coklat. Data BPS 2012 menunjukkan bahwa produksi kopi arabika jauh lebih banyak dibanding kopi robusta (arabika 8.570,2 ton dan robusta 2.753,9 ton). Berkurangnya produksi kopi robusta di Kabupaten Dairi menjadikan kopi robusta bukan lagi komoditas ekspor melainkan menjadi konsumsi lokal saja. Jenis kopi banyak diusahatanikanpetani di Kabupaten Dairi adalah kopi arabika. Berkembangnya usahatani kopi arabika memacu berkembangnya usaha dagang kopi arabika yang berfungsi sebagai pelaku usaha distribusi kopi arabika. Berkembangnya usaha dagang kopi arabika ini dilihat dari banyaknya gudang- 3 gudang penyimpanan kopi. Gudang penyimpanan kopi arabika ini dimiliki oleh pedagang besar (toke). Kopi arabika yang disimpan dalam gudang ini akan distribusikan ke eksportir. Semua kopi arabika yang dihasilkan di Kabupaten Dairi didistribusikan keluar daerah karena sebagian besar masyarakat tidak tahu bagaimana untuk mengolah kopi arabika tersebut. Berdasarkan permasalahan di atas, maka timbul pertanyaan penelitian berikut : 1. Bagaimana rantai distribusi kopi arabika dan kopi robusta di Kabupaten Dairi ? 2. Bagaimana peran kopi terhadap kesejahteraan petani kopi di Kabupaten Dairi ? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi aliran distribusi kopi arabika dan kopi robustadi Kabupaten Dairi. 2. Mengidentifikasiperanan kopi terhadap kesejahteraan petani kopi di Kabupaten Dairi. 1.4. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut: 1. Penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi untuk penelitian selanjutnya. 2. Petani dapat menjadikan penelitian ini sebagai sumber informasi untuk melihat peluang dalam usahatani dan distribusi kopi . 3. Analisis tataniaga komoditas kopi dapat digunakan sebagai rekomendasi kepada pemerintah agar pemerintah turut berperan dalam tataniaga kopi. 4. Penelitian ini bermanfaat untuk mengangkat citra kopi sidikalang yang mulai menurun. 4 1.5. Tinjauan Pustaka 1.5.1. Karakteristik Lahan Kopi Kopi merupakan salah satu komoditas penting di Indonesia, dimana kopi telah berbasis ekspor sehingga berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Kopi dapat tumbuh dengan baik di wilayah sekitar garis khatulistiwa. Indonesia merupakan salah satu wilayah yang sesuai untuk ditumbuhi tanaman kopi. Kopi arabika dapat tumbuh baik pada daerah yang memiliki : Ketinggian 700-1700 mdpl Suhu 16-20 derajat C Iklim kering 3 bulan/ tahun yang mendapat hujan kiriman Peka terhadap serangan penyakit HIV terutama pada tanaman kopi dengan ketinggian lebih rendah dari 500 mdpl Rata-rata produksi sedang sekitar 4,5 sampai 5 ku kopi beras/ ha/ tahun. Apabila kopi dikelola dengan intensif, rata-rata produksi bias mencapai 15 sampai 20 ku/ ha/ tahun. Rendemen ± 18 %. Kopi robusta dapat tumbuh baik pada derah yang memiliki : Ketinggian 400-700 mdpl Suhu 21-24 derajat C Iklim kering 3-4 bulan/ tahun yang mendapat hujan kiriman sebanyak 3-4 kali Rata-rata produksi tinggi sekitar 9 sampai 13 ku kopi beras/ ha/ tahun. bila dikelola dengan intensif, maka rata-rata produksi bias mencapai 20 ku/ ha/ tahun. Rendemen ± 22 %. 5 1.5.2. Produksi, Konsumsi dan Ekspor Kopi di Indonesia Indonesia merupakan produsen kopi terbesar urutan keempat di dunia setelah Brazil, Vietnam, dan Colombia. Berdasarkan data dari Asosiasi Ekspotir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI), Indonesia mengekspor kopi sekitar 350 ribu ton/ tahun yang terdiri dari 85 persen kopi robusta dan 15 persen kopi arabika. Indonesia mengekspor kopi ke lebih 50 negara. Menurut AEKI negara yang paling banyak mengimpor kopi dari Indonesia adalah USA, Jepang, Jerman, Italia, dan Inggris. Produksi kopi di Indonesia diperoleh dari perkebunan rakyat, perkebunan besar Negara, dan perkebunan besar swata. Berdasarkan data yang diperoleh dari AEKI(2012) produksi kopi Indonesia diperoleh dari 96,1 persen perkebunan rakyat, 1,9 persen perkebunan besar negara dan 2 persen perkebunan besar swasta. Data ini menunjukkan bahwa produksi kopi di Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat. Menurut data dari Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (2013), produksi kopi di Indonesia pada tahun 2011 sekitar 638.647 ton dan pada tahun 2012 sekitar 657.138 ton. Dengan demikian pertumbuhan kopi di Indonesia 2011 – 2012 adalah 2,9 persen. Sumatera Utara merupakan salah satu daerah pemasok kopi di Indonesia. Pada tahun 2012 Sumatera Utara memiliki produksi kopi sebanyak 57.479 ton atau sekitar 8,9 persen produksi kopi Indonesia. Produksi kopi di Indonesia tahun 2012 terdiri dari 601.092 ton (80,4 persen) kopi robusta yang sebagian besar diperoleh dari Lampung, Sumatera Selatan dan Bengkulu dan 147.017 ton ( 19,6 persen) kopi arabika yang diperoleh dari Aceh, Sumatera Utara, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Indonesia mengekspor kopi sekitar 69 persen dari total produksi kopi, sedangkan 31 persen digunakan memenuhi kebutuhan lokal (dalam negeri). Indonesia mengekspor kopi dengan tiga jenis kopi yaitu kopi biji, kopi instan, dan kopi olahan lainnya. Tahun 2012 Indonesia mengekspor kopi sebanyak 520.275 ton yang terdiri dari 446.279 kopi biji, 274.604 kopi instan, dan 7.005 kopi olahan lain. 6 Mengkonsumsi kopi telah menjadi sebuah budaya dimana kemajuan teknologi yang semakin meningkat telah mengubah cara masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi kopi. Sebagian besar kopi dengan kualitas bagus diekspor ke luar negeri, sedangkan kopi dengan kualitas terbatas atau rendah menjadi konsumsi dalam negeri. Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia mengklasifikasikan industri kopi di Indonesia dalam tiga kelompok, yaitu : a. Industri kopi olahan kelas kecil (Home Industry) Industri kopi kelas ini bersifat rumah tangga yang terdiri dari tenaga kerja kurang dari 3 orang atau yang merupakan anggota keluarga. Industri rumah tangga kopi kelas keci ini banyak ditemukan di seluruh daerah penghasil kopi. Biasanya industri kelompok belum mendapat ijin dari Dinas Perindustrian atau Dinas POM. b. Industri kopi olahan kelas menengah Industri pengolahan kopi kelompok ini mengolah kopi menjadi kopi bubuk atau produk kopi olahan lain yang kemudian dipasarkan di berbagai wilayah seperti wilayah kecamatan atau kabupaten tempat produk tersebut dihasilkan. Produk kopi dalam kemasan sederhana biasanya telah mendapat ijin dari Dinas Perindustrian. c. Industri kopi olahan kelas besar Industri pengolahan kopi kelompok ini mengolah kopi dalam produksi besar seperti kopi bubuk, kopi instant (kopimix) dan kopi olahan lain yang dipasarkan di berbagai daerah dan ekspor. Pada umumnya, produk dalam kemasan ini telah memiliki nomor merek dagang atau label lain. Contoh industri ini adalah PT. Nescafe. 7 1.5.3. Pemasaran (Tataniaga) Pertanian Pemasaran pertanian merupakan proses yang dilakukan petaniterhadap hasil pertanian setelah panen maupun setelah pengolahan hasil panen. Pemasaran menurut Bell (1996) adalah suatu perencanaan strategis yang diterapkan untuk mencapai keuntungan dalam memenuhi kebutuhan konsumen secara integrasi usaha ke belakang (backward linkage) dan integrasi usaha ke depan (forward linkage). Integrasi usaha ke belakang bertujuan untuk menjamin ketersediaan bahan baku, sedangkan integrasi ke depan lebih menekankan proses pemasaran. Mc. Charthy dan Jr. Perceaunt (1996) membagi pemasaran dalam dua jenis yaitu pemasaran mikro dan pemasaran makro. Pemasaran mikro adalah perilaku-perilaku yang dilakukan untuk memperoleh tujuan organisasi atau perusahan dalam memenuhi kebutuhan konsumen dengan cara mengontrol aliran barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Pemasaran makro adalah proses sosial dalam mengatur arus barang dan jasa dari produsen ke konsumen melalui interaksi permintaan dan penawaran, sehingga mencapai tujuan masyarakat. Menurut Downey dan Erikson (1989) pemasaran merupakan ilmu yang mengidentifikasi aliran barang dan jasa secara fisik dan ekonomis dari produsen ke konsumen melalui lembaga pemasaran. Pemasaran pertanian menurut FAO (1958) merupakan kegiatan-kegiatan ekonomi yang terjadi selama proses perjalanan suatu komoditi pertanian dari prosusen sampai ke tangan konsumen. Thomson (1951) mendefinisikan bahwa pemasaran pertanian merupakan aktivitas agen perdagangan dalam menghubungkan pergerakan hasil pertanian baik dalam bentuk baku maupun bentuk olahan berdasarkan aspek permintaan dan penawaran dari produsen dengan konsumen. Aktivitas pemasaran ini berpengaruh terhadap pelakupelaku pemasaran seperti petani, pedagang perantara dan pengolahan, dan industri. Menurut Abbott dan Makeham (1979) pemasaran pertanian dimulai dari tingkat usahatani dimana hasil pertanian yang diperoleh petani biasanya tidak 8 dapat langsung memenuhi kebutuhan konsumen. Hasil pertanian memiliki sifat musiman, sementara kebutuhan konsumen bersifat kontinyu dari tahun ke tahun. Hasil pertanian biasanya masih dalam bentuk bahan mentah, sehingga hasil pertanian tersebut perlu untuk diolah lebih lanjut sesuai kebutuhan konsumen. Lokasi produksi pertanian memiliki jarak yang jauh dengan lokasi konsumen, sehingga dibutuhkan sarana transportasi dalam mendistribusikan hasil pertanian tersebut. Kondisi yang terjadi dalam pemasaran pertanian ini akan berpengaruh terhadap biaya pemasaran, sehingga terjadi perbedaan biaya di setiap tingkat pelaku usaha. Menurut Mubyarto (1989) sistem pemasaran (tataniaga) dianggap efisien apabila memenuhi dua kategori yaitu pertama, produsen (petani) mampu menyampaikan hasil-hasil pertanian kepada konsumen dengan biaya keluar yang semurah-murahnya. Kedua, adanya pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen (pelaku terakhir) terhadap semua pelaku yang ikut dalam produksi dan tataniaga hasil/ barang tersebut. Lembaga pemasaran pertanian adalah badan usaha atau individu yang melakukan pemasaran dalam mendistribusikan komoditi atas jasa dari produsen ke konsumen yang juga memiliki hubungan dengan badan usaha atau individu lain. Lembaga pemasaran dibedakan dalam tiga kelompok berdasarkan penguasaan terhadap komoditi yang dipasarkan. Lembaga pemasaran pertanian tersebut adalah 1. Lembaga yang tidak memiliki tetapi menguasai produk seperti agen perantara dan makelar (broker, selling broker, dan buying broker). 2. Lembaga yang memiliki dan menguasai produk pertanian yang dipasarkan seperti pengumpul, tengkulak, eksportir dan importir. 3. Lembaga pemasaran yang tidak memiliki dan menguasai produk pertanian yang dipasarkan seperti perusahaan – perusahaan penyedia fasilitas transportasi, asuransi pemasaran, dan perusahaan penentu kualitas hasil pertanian. 9 Setiap lembaga pemasaran pertanian melakukan fungsi pemasaran yang dapat meningkatkan keuntungan dari pemasaran hasil pertanian. Fungsi utama pemasaran (tataniaga) adalah pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan. Fungsi pemasaran yang dilakukan oleh lembaga tersebut dikelompokkan dalam tiga tipe fungsi pemasaran yaitu 1. Fungsi pertukaran (Exchange function) Fungsi ini terdiri dari fungsi pembelian dan penjualan. Dalam menjalankan fungsi penjualan, produsen atau lembaga pemasaran pada rantai sebelumnya harus memperhatikan kondisi produk seperti kualitas, kuantitas, bentuk, waktu dan harga yang diinginkan konsumen atau lembaga pemasaran berikutnya. Fungsi pembelian ini meliputi pemilikan komoditi pertanian untuk dikonsumsi atau digunakan untuk proses produksi selanjutnya. Fungsi pertukaran adalah agar pembeli memperoleh barang pada waktu, tempat, bentuk, dan harga yang tepat. 2. Fungsi fisik (Physical function) Fungsi fisik merupakan kegiatan yang dilakukan terhadap komoditi pertanian untuk meningkatkan nilai tambah guna tempat dan guna waktu. Dalam fungsi fisik ini terjadi kegiatan penyimpanan dan pengangkutan barang. Fungsi pengangkutan ini meliputi perencanaan, pemilihan dan pergerakan alat-alat transportasi dalam pemasaran produk. Pemindahan produk ini harus memperhatikan kualitas produk tersebut melalui kondisi transportasi dan waktu pengangkutan, sehingga tingkat kerusakan produk dapat diminimalisir. Fungsi penyimpanan bertujuan untuk mengurangi fruktuasi harga yang berlebihan dan menghindari hama penyakit selama proses pemasaran. Contoh, harga apel di tempat dimana apel tersebut diproduksi lebih murah dibandingkan tempat yang tidak memproduksi apel, sehingga peran transportasi dan penyimpanan sangat berperan pada fungsi fisik. 10 3. Fungsi penyediaan fasilitas (Facilitating function) Fungsi penyediaan fasilitas bertujuan untuk memperlancar fungsi pertukaran dan fungsi fisik. Fungsi penyediaan fasilitas ini terdiri dari usahausaha perbaikan sistem pemasaran yang meliputi standarisasi, penggunaan resiko, informasi harga dan penyediaan dana. 1.5.4. Manajemen Rantai Pasokan/ Supply Chain Management (SCM) Menurut Heizer & Rander (2004), manajemen rantai pasokan merupakan suatu kegiatan yang terdiri dari pengelolaan kegiatan-kegiatan dalam menjadikan bahan mentah menjadi barang dalam proses, barang setengah jadi, dan barang jadi, sehingga dapat didistribusikan ke konsumen. Supply Chain Management (SCM) berkaitan langsung dengan siklus lengkap bahan baku dari pemasok ke produksi, gudang, dan distribusi kemudian sampai kepada konsumen. Kegiatan ini mencakup fungsi pembelian tradisional ditambah kegiatan penting lainnya yang berhubungan dengan pemasok dan distributor. SCM dapat meliputi penetapan pengangkutan, pentransferan kredit dan tunai, pemasok, distributor dan bank, utang dan piutang, penggudangan, pemenuhan pesanan, dan membagi informasi mengenai ramalan permintaan, produksi, dan kegiatan pengendalian persediaan. Supply Chain Management (SCM) menurut Simchi-Levi, et al. (2003) merupakan serangkaian pendekatan yang digunakan untuk mengintegrasikan pemasok, pengusaha, gudang, dan tempat penyimpanan lainnya secara efisien, sehingga produk yang dihasilkan dapat didistribusikan dengan kuantitas, lokasi, dan waktu yang tepat guna untuk memperkecil biaya dan memuaskan kebutuhan pelanggan. SCM bertujuan untuk membuat seluruh sistem menjadi efisien dan efektif, meminimalisasi biaya dari transportasi dan distribusi bahan mentah, bahan dalam proses, dan produk jadi. Pendekatan SCM berorientasi di sekitar integrasi pemasok, pabrik, gudang, dan toko-toko secara efisien, dan mencakup kegiatan-kegiatan perusahaan dari level strategis dan taktis sampai operasional. 11 Definisi rantai pasokan/ Supply Chain menurut Indrajit dan Djokopranoto (2003) adalah suatu sistem dimana organisasi menjual barang produksi dan jasanya kepada pelanggan. Rantai ini merupakan jaringan dari berbagai organisasi yang saling berintegrasi dan memiliki tujuan yang sama yaitu menyelenggaraan pengadaan dan penyaluran barang sebaik mungkin. Strategi adalah rencana aksi suatu organisasi dalam mencapai misi. Strategi SCM dapat digunakan untuk mencapai tujuan suatu organisasi, dengan demikian produk yang dihasilkan unggul dan mampu bersaing. Strategi SCM memiliki tujuan sebagai berikut : a. Cost reduction, strategi SCM dapat digunakan untuk meminimalisasi biaya logistik b. Capital reduction, strategi SCM digunakan untuk meminimalisasi tingkat investasi dalam strategi logistik, dengan demikian biaya variable menjadi lebih tinggi dibanding strategi dengan level yang lebih tinggi untuk investasi. Namun pengembalian investasi diharapkan dapat meningkat. c. Service improvement, perbaikan dan pengembangan pelayanan yang berbeda dari para pesaing untuk memperoleh pendapatan pada tiap level pelayanan. 1.5.5. Masalah Pertanian Menurut Moehar Daniel (2001), ada empat masalah pokok dalam ekonomi pertanian yaitu waktu usaha tani, biaya usahatani, tekanan penduduk, dan sistem usahatani. Waktu usaha tani merupakan waktu yang dibutuhkan petani untuk melakukan usaha tani. Waktu ini terdiri dari persiapan lahan pertanian, penanaman, perawatan, sampai pemanenan. Semua kegiatan ini membutuhkan waktu yang tidak singkat dan hasil pertanian juga dipengaruhi oleh musim. Dengan demikian, petani memiliki masalah dalam hal pemenuhan kebutuhan karena pertanian yang bersifat musiman. Biaya usaha tani terdiri dari biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Besarnya biaya tetaptidak dipengaruhi oleh banyak sedikitnya produksi, sehingga biaya tetap dikeluarkan untuk membayar bibit, pupuk, 12 obat-obatan, tenaga kerja, transportasi, pengepakan, dan lain-lain. Biaya tidak tetap dipengaruhi oleh besar kecilnya produksi yang diperoleh seperti sewa tanah, pajak, alat-alat pertanian, dll. Petani cenderung memiliki masalah dengan biaya (modal) yang sedikit, sehingga hasil pertanian menjadi tidak optimal bahkan mengalami kerugian. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkatkan akan mempengaruhi pengalihanfungsi lahan pertanian. Penduduk yang banyak juga akan membutuhkan kebutuhan pangan yang meningkat. Dengan demikian lahan pertanian yang semakin berkurang akan mengalami penurunan hasil untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang banyak. Sistem usaha tani merupakan sistem yang dilakukan petani untuk mencapai tujuannya yaitu memenuhi kebutuhan keluarga. Sistem usaha tani dapat dilihat dari pendistribusian hasil pertanian pasca panen. Petani menjual hasil pertaniannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan harga jual yang ditentukan oleh pasar, dimana harga pasar tersebut bersifat fruktuatif. 1.5.6. Kesejahteraan Petani Pengertian kemiskinan ada dua yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah suatu keadaan dimana tingkat pendapatan tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, kesehatan, pendidikan, dan permukiman. Kemiskinan relatif adalah perbandingan antara persen pendapatan nasional yang diteriam penduduk berdasarkan kelas pendapatan tertentu dengan proporsi pendapatan nasional yang diterima penduduk berdasarkan kelas pendapatan lain. Kemiskinan menurut Sajogyo (1996)adalah suatu tingkat kehidupan yang berada di bawah standar kebutuhan hidup minimum yang ditetapkan berdasarkan atas pengeluaran rumah tangga terhadap kebutuhan pokok panganyang dilihat dari kebutuhan beras dan kebutuhan gizi. 13 Garis kemiskinan menurut Sajogyo (1996) ditentukan berdasarkan pengeluaran rumah tangga karena pengeluaran sudah mencakup penghasilan rumah tangga. Garis kemiskinan ini dirinci sebagai berikut : 1. Spesifikasi atas tiga garis kemiskinan yang mencakup konsepsi “nilai ambang kecukupan pangan” (food threshold) 2. Hubungan antara tingkat pengeluaran rumah tangga dengan ukuran kecukupan pangan (kalori dan protein) Berdasarkan ciri-ciri garis kemiskinan di atas, maka Sajogyo (1996) mengklasifikasikan garis kemiskinan di perdesaan dan perkotaan. Klasifikasi kemiskinan menurut Sajogyo untuk perdesaan adalah : a. Miskin, pengeluaran rumah tangga di bawah 320 kg nilai tukar beras/ kapita/ tahun. b. Miskin sekali, pangan tidak cukup di bawah 240 kg nilai tukar beras/ kapita/ tahun. c. Paling miskin, pengeluaran di bawah 180 kg nilai tukar beras/ kapita/ tahun. Klasifikasi kemiskinan menurut Sajogyo untuk perkotaan adalah : a. Miskin, pengeluaran rumah tangga di bawah 480 kg nilai tukar beras/ kapita/ tahun b. Miskin sekali, pengeluaran rumah tangga di bawah 380 kg nilai tukar beras/ kapita/ tahun c. Paling miskin, pengeluaran rumah tangga di bawah 270 kg nilai tukar beras/ kapita/ tahun BPS mengukur kemiskinan berdasarkan kemampuan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Jadi, penduduk miskin adalah penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan secara ekonomi yang diukur dari pengeluaran dimana ratarata pengeluaran/ kapita/ bulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan merupakan penjumlahan antara Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Garis 14 Kemiskinan Makanan (GKM) adalah nilai pengeluaran minimum makanan yaitu 2100 kkal/ kapita/ hari yang diwakili oleh 52 jenis komoditi (padipadian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Berdasarkan Data Sosial Ekonomi (2013), BPS menentukan garis kemiskinan penduduk di perdesaan dan perkotaan sebagai berikut : Tabel 1.1. Garis Kemiskinan Penduduk Perdesaan dan Perkotaan Menurut Badan Pusat Statistik 1.5.7. Kemiskinan Perdesaan Hadi Prayitno dan Lincolin Arsyad dalam bukunya (1986) menjelaskan lima ciri-ciri kemiskinan. Pertama, mereka yang hidup di garis kemiskinan biasanya tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, dan keterampilan. Mayarakat miskin tersebut biasanya memiliki pendapatan yang terbatas. Kedua, penduduk miskin biasanya tidak memiliki kemungkinan untuk memiliki faktor produksi karena keterbatasan pendapatan. Penduduk ini juga tidak memiliki syarat agunan untuk penjam modal di perbankan, sehingga mereka cenderung meminjam ke “lintah darat” dengan syarat yang tinggi. 15 Ketiga, pendidikan mereka cenderung rendah karena sibuk untuk mencari nafkah, sehingga tidak memiliki waktu untuk belajar. Demikian juga dengan pendidikan anak yang rendah karena anak-anak tersebut sibuk membantu orangtuanya mencari nafkah. Keempat, sebagian besar mereka tidak memiliki lahan pertanian sendiri, sehingga mereka bermatapencaharian sebagai pekerja upahan di lahan orang lain. Hasil pertanian yang bersifat musiman menjadikan penghasilan mereka tidak tetap, sehingga mereka juga bekerja sebagai tenaga upah selain di pertanian. Namun, kesempatan bekerja yang dimiliki penduduk miskin ini dihargai dengan upah yang sedikit. Dan kelima, banyak penduduk yang memiliki pendidikan dan skill yang rendah berpindah ke kota untuk memperoleh kehidupan yang lebih layak di perkotaan. Sebagaimana diketahui bahwa perkotaan tidak mampu menampung gerak urbanisasi dari desa ke kota. Oleh sebab itu, kemiskinan di perdesaan akan berdampak pada kemiskinan di perkotaan. 1.6. Landasan teori Lyn Square (1982) mengatakan bahwa tenaga kerja sektor pertanian di negara sedang berkembang mengalami tekanan karena ketidakpastian harga dan ketidakmerataan distribusi modal investasi. Hal ini sangat berpengaruh terhadap petani kopi, dimana harga kopi sangat dipengaruhi oleh harga pasar dunia. Pada rantai tataniaga kopi, petani berada pada posisi paling hulu dimana petani tertekan karena ketidaksesuaian harga antar tingkatan distribusi. Pelaku usaha yang berada di tingkat paling hilir memiliki kekuatan untuk memperoleh keuntungan sebanyak-besarnya karena mereka memiliki modal yang besar untuk menyesuaikan harga dengan petani. Menurut Arman Sudiono (2001) lemahnya posisi petani dalam sistem tata niaga disebabkan oleh 6 hal yaitu : - Bagian pangsa pasar (market share) yang dimiliki petani umumnya sangat kecil, sehingga petani bertindak sebagai penerima harga (price taker). 16 - Produk pertanian diproduksi secara masal dan homogen, sehingga apabila petani menaikkan harga komoditi yang dihasilkan akan menyebabkan konsumen beralih ke petani lain. - Komoditi yang dihasilkan mudah rusak (perishable), sehingga harus secepatnya dijual tanpa memperhitungkan harga. - Lokasi produksi terpencil dan sulit dicapai oleh transportasi yang mudah dan cepat. - Petani kekurangan informasi harga dan kualitas serta kuantitas yang diinginkan konsumen, sehingga petani mudah diperdaya oleh lembagalembaga pemasaran yang berhubungan langsung dengan petani. - Adanya kredit dan pinjaman dari lembaga pemasaran kepada petani yang bersifat mengikat. Dilihat dari sisi selain harga pasar, pelaku-pelaku usaha yang memperpanjang rantai tataniaga pertanian tidaklah selalu memberi kerugian bagi petani. Menurut Mubyarto (1989) pelaku usaha seperti tengkulak desa atau kecamatan justru membantu petani untuk menjual hasil pertaniannya karena petani memiliki hasil pertanian dengan waktu utuh yang terbatas, jarak yang jauh dengan konsumen, dan transportasi yang kurang memadai. Apabila hasil pertanian ini tidak disalurkan, maka hasil pertanian tersebut hanya akan menjadi konsumsi petani saja. Selain itu, panjangnya tataniaga pertanian juga memberi penghidupan kepada pelaku usaha yang tidak memiliki lahan pertanian. Harga kopi yang diberlakukan kepada petani mempengaruhi kesejahteraan petani tersebut. Apabila kesejahteraan petani semakin ditekan maka produksi kopi akan semakin menurun karena petani merupakan produsen kopi yang membutuhkan biaya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kopi. Menurut Sajogyo (1996), kesejahteraan petani dapat dilihat dari pengeluaran terhadap kebutuhan minimum pangan per kapita yang disetarakan dengan nilai tukar beras di daerah tertentu. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Sajogyo mengklasifikasikan kemiskinan menjadi tiga kelas yaitu miskin, miskin sekali, dan paling miskin. 17 1.7. Kerangka pemikiran Ilmu geografi memiliki tiga pendekatan yaitu pendekatan keruangan (spatial approach), pendekatan ekologis (ecological approach), dan pendekatan kompleks wilayah (regional approach). Pembangunan wilayah merupakan aplikasi dari ilmu georgrafi. Pembangunan wilayah meliputi wilayah perdesaan (rural) dan wilayah perkotaan (urban). Wilayah perdesaan (rural) identik dengan sektor pertanian. Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, sektor pertanian merupakan sektor yang paling besar dalam menyumbang PDRB. Namun, pertanian di perdesaan mengalami berbagai permasalahan. Salah satu masalah tersebut adalah tataniaga hasil pertanian. Panjangnya tataniaga pertanian ini mempengaruhi harga di tingkat petani. Rendahnya penghasilan petani dari sektor pertanian akan mempengaruhi kesejahteraan petani di perdesaan. Tiga pilar pembangunan di Kabupaten Dairi adalah pertanian, pendidikan, dan kesehatan. Kabupaten Dairi memiliki lahan pertanian yang luas. Komoditas pertanian unggulan di kabupaten ini adalah padi, buah-buahan, sayur-sayuran, dan komoditas ekspor seperti kopi, sawit, karet, kemenyan, dll. Suburnya tanah di kabupaten ini sangat mendukung produktivitas pertanian. Salah satu hasil pertanian yang sangat diunggulkan di kabupaten ini adalah kopi yang terdiri dari kopi arabika dan kopi robusta. Kopi ini dikenal dengan “kopi sidikalang” atau “kopi sigarar utang”. Luasnya perkebunan kopi rakyat di kabupaten ini tentu memberi kontribusi terhadap pendapatan daerah karena kopi sidikalang (arabika) adalah berbasis ekspor. Kebun kopi di Kabupaten Dairi merupakan perkebunan rakyat. Peran komoditas kopi dalam memberi kontribusi terhadap pendapatan daerah tentu memiliki pelaku-pelaku usaha yang mendistribusikan kopi tersebut sampai ke luar negeri. Secara garis besar pelaku-pelaku usaha pendistribusian kopi arabika di Kabupaten Dairi adalah petani, pengumpul, pedagang, dan eksportir. Sedangkan pelaku-pelaku usaha pendistribusi kopi robusta di Kabupaten Dairi adalah petani, pengumpul, industri kopi bubuk, dan konsumen. Selain pelaku-pelaku usaha tersebut, perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam untuk mengetahui pelaku-pelaku usaha lain yang ikut terlibat dalam mendistribusikan kopi tersebut. 18 Melalui penelitian tersebut, maka dapat diketahui bagaimana proses pendistribusian kopi arabika mulai dari petani sampai kepada eksportir dan proses pendistribusian kopi robusta mulai dari petani sampai kepada konsumen. Proses distribusi kopi ini diperoleh dari hasil wawancara dari setiap pelaku usaha yang terlibat, sehingga diketahui kemana arah dan tujuan pelaku usaha mendistribusikan komoditas tersebut. Pelaku-pelaku usaha yang berperan dalam mendistribusikan komoditas kopi tentu memperoleh keuntungan yang berbeda. Perbedaan keuntungan ini dipengaruhi oleh perbedaan harga jual kopi di setiap tingkat pelaku usaha. Perbedaan harga kopi di setiap tingkat pelaku usaha tentu akan sangat mempengaruhi pelaku usaha tingkat paling bawah yaitu petani. Petani yang berperan sebagai produsen kopi justru mendapat keuntungan yang rendah akibat panjangnya rantai distribusi kopi. Apabila hasil kopi tidak dapat meningkatkan kesejahteraan petani, maka petani akan mengalihfungsikan lahan kopi menjadi lahan pertanian lainnya. Pengalihanfungsi lahan kopi ini sudah marak terjadi di Kabupaten Dairi. Banyak petani yang mengganti tanaman robusta menjadi arabika karena robusta yang dianggap sudah tidak menguntungkan lagi. Petani robusta di Kecamatan Silima Pungga-Pungga telah mengantitanaman robusta menjadi tanaman coklat. Hal ini menunjukkan bahwa petani cenderung mengikuti trend pertanian dalam hal pengalihan fungsi lahan kopi untuk memenuhi kebutuhan keluarga tani dan meningkatkan kesejahteraan petani. 19 Geografi Pembangunan Wilayah Rural Urban Masalah pertanian (tataniaga pertanian) Komoditas Unggulan Pertanian di Kab. Dairi Kopi (Robusta dan Arabica) Permintaan - Penawaran Eksportir Pedagang Proses Kesejahteraan petani Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran 20 Petani 1.8. Keaslian Penelitian Tabel 1.2. Penelitian Sebelumnya Nama Peneliti Novianti Prihatiningsih (2007) Judul Penelitian Tujuan Penelitian Analisis Efisiensi Rantai Pasokan Komoditas Bawang Merah : Studi Kasus di Kotamadya Bogor 1. Menganalisis pengelolaan rantai pasokan (Supply Chain) komoditas bawang merah di Kota Bogor 2. Menganalisis efisiensi saluran rantai pasokan bawang merah di Kota Bogor Hella Mayang Shinta (2010) Efisiensi Saluran Perdagangan Komoditas Gambir dengan Analisis Value – Chain di Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat 1. Mengidentifikasi saluran perdagangan komoditas gambir 2. Mengidentifikasi efisiensi saluran perdagangan komoditas gambir 3. Mengidentifikasi alasan pelaku usaha melakukan penjualan gambir 4. Mengidentifikasi nilai tambah komoditas gambir Maimun (2009) Analisis Pendapatan Usahatani dan Nilai Tambah Saluran Pemasaran Kopi Arabika Organik dan Non Organik 1. Menganalisis pendapatan usahatani kopi arabika organik dan non organik berdasarkan penerimaan petani dan total biaya yang dikeluarkan dalam usahatani. 2. Menganalisis lembaga pemasaran Metode Penelitian Hasil Penelitian Wawancara terstruktur 1. Aliran rantai komoditas bawang merah di Kota Bogor terdiri dan tidak terstruktur, dari anggota primer (pengirim, pedagang besar, pedagang Analisis Deskriptif, pengecer, konsumen rumah tangga dan industri) dan anggota Analisis Efisiensi sekunder (lembaga pengangkutan/ jasa transportasi, produsen Rantai Pasokan kemasan, buruh angkut dan produsen atau pedagang mesin pengiris bawang). 2. Berdasarkan analisis marjin pemasaran, saluran pemasaran yang paling efisien adalah pengirim – pedagang besar pasar induk Kemang – pedagang pengecer pasar baru Bogor – konsumen. Wawancara semi 1. Pola saluran perdagangan komoditas gambir terdiri dari petani terstruktur, Analisis gambir, pengumpul, dan eksportir. Deskriptif 2. Saluran perdagangan komoditas gambir masih berada pada koridor efisien. 3. Alasan pelaku usaha memilih tujuan penjualan karena faktor sistem berlangganan yang berlaku, keterikatan finansial, kecocokan, sistem kekeluargaan, dan faktor kepercayaan. 4. Peningkatan nilai tambah petani berada pada proses pengempaan. Pada tingkat pedagang pada proses pengeringan, pemisahan kualitas, dan pengepakan. Pada tingkat eksportir pengeringan, pengelompokan jenis, pengepakan, dan pemberian merk. Wawancara, Analisis 1. Pendapatan usahatani kopi arabika organik lebih besar deskriptif kuantitatif dibanding arabika non organik. dan kualitatif 2. Saluran pemasaran kopi arabika organik dan non organik adalah petani – pengumpul desa – pengumpul kota (besar) – industri bubuk kopi Ulee Kareng. 3. Margin pemasaran kopi arabika organik lebih besar dibanding 21 (Studi Kasus Pengolahan Bubuk Kopi Ulee Kareng di Banda Aceh) Veronika Reni Wijayanti (2010) Usahatani Kakao dan Tingkat Ekonomi Petani di Desa Banjarasri Kecamatan Kalibawang Kabupaten Kulon Progo Erick Sitanggang (2008) Analisis Usahatani dan Tataniaga Lada Hitam (Studi Kasus : Desa Lau Sireme, yang terlibat dalam pemasaran kopi arabika organik dan non organik dan peranan dari setiap lembaga yang terlibat. 3. Menganalisis efisiensi pemasaran kopi arabika organik dan non organik dnegan menghitung marjin dan farmer‘s share. 4. Menganalisis nilai tambah bubuk kopi organik dan non organik industri pengolahan bubuk kopi Ulee Kareng. 1. Mengidentifikasi faktor fisik dan non fisik yang berkaitan dengan usahatani kakao 2. Mengetahui pengelolaan usahatani kakao di Desa Banjarasri Kecamatan Kalibawang 3. Mengetahui produksi kakao di Desa Banjarasri Kecamatan Kalibawang Kabupaten Kulon Progo 4. Mengetahui tingkat ekonomi petani kakao di Desa Banjarasri Kecamatan Kalibawang Kabupaten Kulon Progo 1. Mengetahui keadaan teknologi budidaya dan ketersediaan input produksi di daerah penelitian. 2. Mengetahui kelayakan usahatani lada di daerah penelitian. non organik, sedangkan farmer’s share kopi arabika non organik lebih besar dibanding organik. 4. Nilai tambah kopi arabika organik lebih besar dibanding non organik. Observasi, wawancara, analisis deskriptif kuantitatif. Wawancara, kuesioner, analisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif 22 1. Kondisi fifik sesuai untuk budidaya tanaman kakao dan kondisi non fisik yang berkaitan bagi usahatani kakao adalah modal, tenaga kerja, transportasi, pemasaran, fasilitas kredit, dan teknologi. 2. Pengelolaan usahatani kakao di Desa Banjarasri adalah pembibitan tanaman kakao, pengolahan lahan pertanaman, penanaman, pemupukan, pemeliharaan tanaman, pengendalian hama dan penyakit, panen dan pengolahan pasca panen. 3. Sebanyak 34,28 % responden memproduksi kurang dari 50 kg kakao kering/ tahun per 1000 m² dengan pendapatan bersih petani sebesar Rp 1.536.100,00. 4. Tingkat kemiskinan rumah tangga petani kakao Desa Banjarasri terdiri dari 74,29 % di atas garis kemiskinan, 15,71 % paling miskin, 2,86% miskin sekali, dan 7,14 miskin.Tingkat kesejahteraan rumah tangga petani kakao Desa Banjarasri terdiri dari 61,43% sejahtera tahap I, 14,29% pra sejahtera, 17,14 % sejahtera tahap II, 1,43% sejahtera tahap III, dan 5,71% sejahtera tahap III plus. 1. Teknologi budidaya usahatani lada masih bersifat tradisional dan ketersediaan input produksi cukup tersedia. 2. Usahatani lada di daerah penelitian layak untuk diusahakan berdasarkan nilai (per petani) NPV = 3.130.502,39 ; Net B/C = 4,47 ; IRR = 48,85 %. Kecamatan Tiga Lingga, Kabupaten Dairi) Sriulina Shinta Lingga (2013) 3. Mengetahui saluran tataniaga lada hitam di daerah penelitian. 4. Mengetahui biaya tataniaga dan share margin pada setiap saluran pemasaran lada di daerah penelitian. 5. Mengetahui pengaruh harga di tingkat produsen terhadap pedagang dan konsumen. Rantai Distribusi 1. Mengidentifikasi aliran distribusi kopi Kopi Dalam arabika dan kopi robusta di Kabupaten Peningkatan Dairi Kesejahteraan Petani 2. Mengidentifikasi bagaimana peran Kopi di Kabupaten kopi terhadap kesejahteraan petani Dairi kopi di Kabupaten Dairi Kuesioner, Wawancara terstruktur, Analisis deskriptif 23 3. Saluran tataniaga lada adalah petani – pengumpul kecamatan – pedagang besar di Medan – pedagang pengecer – konsumen. 4. Biaya pemasaran yang dikeluarkan pengumpul sebesar Rp 398,2/ kg ; pedagang besar Rp 74,5/ kg ; dan pedagang pengecer Rp 60,4 %. 5. Nilai elastisitas transmisi harga sebesar 1,67 % (setiap perubahan harga 1 % di tingkat pengecer akan mengakibatkan kenaikan harga sebesar 1,67 % di tingkat petani). 1. Rantai distribusi kopi arabika lebih panjang dan bervariasi dibanding kopi robusta di Kabupaten Dairi. Kopi arabika didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan global sedangkan kopi robusta didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan lokal. Pelaku usaha yang terlibat dalam distribusi kopi arabika adalah petani, pengumpul kecamatan, pengumpul kabupaten, pedagang besar (toke), pabrik (PT. Wahana), dan eksportir. Pelaku usaha yang terlibat dalam distribusi kopi robusta adalah petani, pengumpul kecamatan, pengumpul kabupaten, industri kopi bubuk, dan konsumen. 2. Kesejahteraan petani kopi arabika lebih tinggi dibanding kesejahteraan petani kopi robusta. Petani arabika yang berada pada rantai distribusi pendek terdiri dari 91,67 persen tidak miskin dan 8,33 persen miskin, sedangkan petani arabika yang berada pada rantai distribusi panjang terdiri dari 76 persen tidak miskin dan 24 persen miskin. Petani robusta yang berada pada rantai distribusi pendek terdiri dari 50 persen tidak miskin dan 50 persen miskin, sedangkan petani robusta yang berada pada rantai distribusi panjang terdiri dari 37,5 persen tidak miskin dan 62,5 persen miskin. Persentase kemiskinan petani lebih tinggi pada rantai distribusi kopi panjang.