BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pergerakan ekonomi dunia dan naik turunnya harga minyak mempunyai dampak yang besar terhadap perekonomian Indonesia. Dalam periode 2005 sampai 2009, salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja ekonomi Indonesia adalah kenaikan harga minyak. Kenaikan harga minyak ini mempengaruhi banyak hal, termasuk tekanan pada defisit anggaran, alokasi anggaran, inflasi, kestabilan ekonomi makro, dan juga dampaknya terhadap kemiskinan (Abimanyu dkk, 2009: 362). Nilai subsidi pada tahun 2012 mencapai Rp 346,4 triliun atau 34,33 persen dari belanja pemerintah pusat. Tidak kurang dari 61,17 persen dari total subsidi dialokasikan untuk BBM (Rp 211,9 triliun) dan 27,30 persen untuk listrik (Rp 94,6 triliun). Subsidi pangan, pupuk, benih, kredit program, dan lain-lain hanya Rp 39,9 triliun atau 11,53 persen dari total subsidi. Subsidi idealnya disalurkan langsung dan hanya diberikan kepada kelompok sasaran. Salah satu kelompok sasaran tentu saja masyarakat berpenghasilan rendah atau miskin. Tingkat kemiskinan per September 2012 mencapai 11,66 persen atau sekitar 28,6 juta orang dengan tingkat garis kemiskinan Rp 280.000/orang/bulan (BPS). Dengan total subsidi Rp 346,4 triliun dan subsidi 1 disalurkan tepat sasaran, idealnya tidak ada lagi masyarakat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan itu1. Subsidi adalah pembayaran yang dilakukan pemerintah kepada perusahaan atau rumah tangga untuk mencapai tujuan tertentu yang membuat mereka dapat memproduksi atau mengkonsumsi suatu produk dalam kuantitas yang lebih besar atau pada harga yang lebih murah. Secara ekonomi, tujuan subsidi adalah untuk mengurangi harga atau menambah keluaran (output). (Spencer dan Amos, 1993: 464). Menurut Suparmoko (2003: 34), subsidi (transfer) adalah salah satu bentuk pengeluaran pemerintah yang juga diartikan sebagai pajak negatif yang akan menambah pendapatan mereka yang menerima subsidi atau mengalami peningkatan pendapatan riil apabila mereka mengkonsumsi atau membeli barang-barang yang disubsidi oleh pemerintah dengan harga jual yang rendah. Subsidi dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu subsidi dalam bentuk uang (cash transfer) dan subsidi dalam bentuk barang atau subsidi innatura (in kind subsidy). Teori Keynesian menunjukkan manajemen kebijakan makro ekonomi di mana subsidi dapat meningkatkan pengeluaran atau permintaan agregat. Pengurangan atau peningkatan subsidi dapat mempengaruhi aktivitas ekonomi meskipun hal ini tergantung terhadap cara pandang dari keseimbangan anggaran (Amegashie, 2006: 7). Menurut Stren dan Cleveland (2004), energi (bahan bakar minyak) diperlukan dalam produksi dan pertumbuhan ekonomi, maka produk ini harganya perlu dikendalikan oleh negara atau pemerintah 1 Rimawan Pradiptyo, Hitung-Hitungan Subsidi BBM, Kompas cetak, 18 Juni 2013. 2 diantaranya dengan model subsidi. Meskipun demikian, subsidi perlu kajian lebih lanjut untuk menentukan model dan besarannya, serta kondisi-kondisi yang berkembang. Kuncoro (2013) mengatakan bahwa meningkatnya harga minyak dunia merupakan faktor eksternal yang perpengaruh terhadap subsidi BBM. Masalah yang muncul akibat naiknya harga minyak dunia terhadap APBN adalah membengkaknya subsidi energi, membesarkan defisit Anggaran, melambatnya pertumbuhan ekonomi yang berdampak terhadap kemiskinan dan pengangguran. Lebih lanjut, Pradiptyo & Sahadewo (2012a) menyampaikan beban (APBN) yang semakin besar ini akan menyebabkan tekanan secara terus-menerus pada aspek fiskal yang pada akhirnya akan menghambat prospek pertumbuhan ekonomi. Kenaikan harga BBM dipengaruhi oleh besarnya konsumsi yang selalu mengalami peningkatan dari tahun-ketahun. Misal konsumsi BBM di Negara Malaysia meningkat tajam sejak bulan Juni tahun 2005. Kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2007 dan 2008 telah secara substansial meningkatkan anggaran subsidi pemerintah (subsidi BBM) telah membuat beban anggaran di negara ini bertambah. Anggaran memberikan kontribusi defisit yang mencapai 4 persen dari PDB pada tahun 2008 dan meningkat 4,7 persen pada tahun 2009 sehingga hal ini mendorong pemerintah Malaysia untuk meninjau kembali kebijakan subsidi yang diberlakukan (Yusman & Nurul, 2013). Kondisi yang hampir sama juga terjadi di India, dimana kenaikan anggaran subsidi BBM telah memberikan kontribusi terhadap tekanan fiskal di 3 Negara India. Reformasi kebijakan mengenai subsidi menimbulkan dampak negatif terhadap kesejahteraan rumah tangga khususnya rumah tangga miskin. Meskipun reformasi (perubahan) menghasilkan penghematan fiskal yang cukup besar namun akibat yang ditimbulkan dari penghematan tersebut akan menurunkan pendapatan riil rumah tangga dari semua kelompok masyarakat yang berpendapatan. Pemerintah India berencana berkomitmen untuk mengendalikan subsidi BBM dan mengeluarkan langkah-langkah baru untuk menurunkan subsidi demi menyelamatkan ruang fiskal dengan cara: menggunakan harga BBM sesuai dengan harga minyak dunia, penghapusan subsidi diesel dalam jangka pendek, penghapusan minyak tanah dan subsidi LPG, dan pemberian subsidi dalam bentuk tunai yang ditargetkan kepada kaum miskin (Anand dkk., 2013). Demikian juga yang terjadi di Indonesia, anggaran subsidi di Indonesia sendiri sejak tahun 2008 sampai 2014 mengalami peningkatan yang signifikan. Dalam bentuk grafik, kenaikan tersebut dapat dilihat pada gambar berikut: (Triliun) Sumber: Nota Keuangan, APBN 2008 - 2014. Gambar 1.1. Anggaran Subsidi di Indonesia Tahun 2008 - 2014 (Triliun) 4 Berdasarkan grafik di atas, dapat diketahui bahwa besarnya anggaran subsidi cenderung meningkat setiap tahunnya. Total anggaran subsidi energi pada tahun 2014 telah mencapai 341,8 Triliun, sedangkan untuk subsidi non energi berjumlah 50,2 Triliun saja. Jumlah ini sangat besar, terutama untuk subsidi energi sehingga subsidi untuk non energi cenderung stagnan atau peningkatannya tidak signifikan seperti halnya subsidi energi. Khusus untuk subsidi BBM, tahun 2014 mencapai 240 triliun. Berbagai kalangan menilai bahwa subsidi yang terlalu besar membahayakan anggaran negara. Anggaran dapat defisit jika subsidi tidak dikendalikan. Pengendalian dalam hal ini adalah lebih kepada pengurangan subsidi atau menaikkan harga BBM. Ada beberapa argumentasi yang melandasi kebijakan terhadap pengurangan atau penurunan biaya subsidi BBM. Argumentasi termaksud antara lain (Dartanto, 2005): 1). Perbedaan harga jual domestik dengan harga luar negeri yang timpang, perbedaan harga ini menjadikan pembengkakan subsidi BBM dalam APBN dan juga mendorong terjadinya penyelundupan BBM ke luar negeri; 2). Penyesuaian harga BBM telah di lakukan oleh hampir semua negara-negara yang berpendapatan lebih rendah dari Indonesia seperti India, Bangladesh, dan negara-negara di Afrika; 3). Harga domestik yang rendah, cenderung mendorong pertumbuhan, tingkat konsumsi yang sangat tinggi; 4). Subsidi BBM ternyata lebih banyak di nikmati oleh kelompok 40 persen masyarakat yang berpendapatan tinggi, termasuk subsidi untuk minyak tanah. 5). Pemerintah mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk program 5 penanggulangan kemiskinan dan investasi di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur di pedesaan. Fakta menunjukkan bahwa subsidi yang selama ini dilakukan pemerintah terhadap harga BBM memang tidak tepat sasaran. Subsidi energi dalam bentuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) selama ini lebih banyak dinikmati oleh masyarakat dengan kelompok masyarakat berpendapatan menengah dan atas. Berikut adalah hasil perhitungan BPS terkait hubungan kelompok pendapatan dengan konsumsi atau distribusi BBM subsidi: Tabel 1.1. Distriusi Pemanfaatan Subsidi BBM Menurut Kelompok Pendapatan Kelompok Pendapatan 20 % Teratas 20 % Kedua Teratas 20 % Menengah 20 % Kedua Terbawah 20 % Terbawah Jumlah Distribusi Subsidi BBM (%) 48,44 % 22,48 % 15,16 % 8,77 % 5,15 % 100 % Dalam Triliun (Rp) 61,43 22,48 15,16 8,77 5,15 126,8 Sumber : BPS, 2007. Berdasarkan Tabel 1.1 di atas, dapat dilihat bahwa 20 persen masyarakat kelompok terkaya menikmati 48,44 persen ( hampir 50 persen ) subsidi BBM yang senilai dengan 61,42 Triliun. Urutan kedua adalah 20 persen masyarakat kedua terkaya menikmati subsidi BBM 22,48 persen dengan nilai 28,50 Triliun. Sementara 20 persen masyarakat termiskin hanya menikmati 5.15 persen subsidi BBM dengan nilai 6,53 Triliun. Dengan demikian subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kelompok pendapatan masyarakat menengah ke atas. Masyarakat miskin yang seharusnya menjadi tujuan diberikannya subsidi BBM justru tidak memperolehnya. Ketidakadilan ini terjadi pada struktur 6 sosial ekonomi antara yang kaya dan yang miskin, yang kaya semakin dimanjakan dengan subsidi BBM yang mampu mereka manfaatkan, sedangkan kalangan miskin hanya mampu memanfaatkannya sedikit. Selain itu, dengan semakin besarnya subsidi BBM mengakibatkan berbagai program untuk masyarakat miskin menjadi tidak dapat dilaksanakan. Anggaran akan habis untuk alokasi subsidi BBM, apalagi jika harga BBM sedang naik di pasar internasional. Hasil serupa ditemukan dalam kajian lain yang dilakukan oleh Agustina dkk., (2008). Kajian tersebut menemukan bahwa hampir 90 persen subsidi BBM di Indonesia menguntungkan 50 persen kalangan terkaya. Sedangkan menurut data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2009 terkait sektor penggunaan BBM, menunjukkan bahwa keperluan rumah tangga dan pribadi mengkonsumsi sepertiga dari total subsidi BBM. Dua pertiga sisanya tersalur ke penggunaan transportasi komersial dan kegiatan usaha. Kedua hasil tersebut menegaskan bahwa baik secara sasaran maupun secara sektor penggunaan, subsidi BBM sudah tidak relevan lagi. Pemerintah Indonesia menyadari bahwa subsidi BBM sudah tidak tepat sasaran dan dapat menghabiskan APBN. Sehingga subsidi BBM sudah tidak efektif lagi dan seharusnya dialihkan untuk subsidi non-energi. Peningkatan subsidi non-energi ditujukan untuk mencapai tujuan pemerintah dalam menciptakan APBN yang pro growth, pro job, dan pro poor sehingga yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. 7 BBM yang di subsidi dan dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat diantaranya adalah premium, solar, dan minyak tanah (namun saat ini telah dikonversi ke gas) dan LPG. Solar merupakan salah satu jenis dari BBM yang menjadi obyek subsudi atau pengurangan subsidi. Minyak solar ialah fraksi minyak bumi yang mendidih sekitar 175-370° C dan yang digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel. Umumnya, solar mengandung belerang dengan kadar yang cukup tinggi. Penggunaan solar pada umumnya adalah untuk bahan bakar pada semua jenis mesin diesel dengan putaran tinggi (diatas 1000 rpm), yang juga dapat digunakan sebagai bahan bakar pada pembakaran langsung dalam dapur-dapur kecil yang terutama diinginkan pembakaran yang bersih. Minyak solar ini biasa disebut juga Gas Oil, Automotive Diesel Oil, High Speed Diesel. Konsumsi minyak solar cenderung stabil, tetapi diantara jenis BBM lainnya, konsumsi minyak solar ternyata yang paling banyak. Solar banyak dibutuhkan oleh industri untuk bahan bakar mesin-mesinnya serta sektor angkutan. Tahun 2005 konsumsi solar mencapai 175 juta barrel dan hingga tahun 2011 konsumsinya sedikit menurun menjadi 169 juta barel (Ditjen Migas – ESDM: 2012). Namun dari segi pola konsumsi, maka telah terjadi perubahan pola konsumsi energi menurut jenisnya. Pada tahun 2000, konsumsi minyak solar mempunyai pangsa terbesar (42 persen) disusul minyak tanah (23 persen), bensin (23 persen), minyak bakar (10 persen), dan avtur (2 persen). Selanjutnya pada tahun 2012 urutannya berubah menjadi bensin (50 persen), 8 minyak solar (37 persen), avtur (7 persen), minyak tanah (4 persen), dan minyak bakar (2 persen). (BPPT, 2014). Tabel 1.2. Perubahan Pola Konsumsi BBM No 1 2 3 4 5 Jenis BBM Minyak Solar Minyak Tanah Bensin Minyak Bakar Avtur 2000 42% 23% 23% 10% 2% 2012 37% 4% 50% 2% 7% Sumber: BPPT, 2014 Perubahan pola konsumsi BBM tersebut disebabkan oleh tingginya laju konsumsi bensin kendaraan pribadi terjadi karena jumlah mobil pribadi dan motor yang sangat pesat, tingginya laju konsumsi avtur/avgas oleh pesawat udara karena perkembangan mobilitas kehidupan manusia yang semakin tinggi dan majunya industri penerbangan, terjadinya diversifikasi energi di sektor industri yang memungkinkan industri menggunakan sumber enargi yang lain, dan adanya program substitusi minyak tanah dengan LPG di sektor rumah tangga yang membuat peralihan besar-besaran dari minyak tanah ke LPG. Peningkatan luar biasa terjadi pada konsumsi jenis BBM bensin yang naik dari 23 persen menjadi 50 persen, sedangkan penurunan yang besar ada pada konsumsi jenis minyak tanah dari 23 persen menjadi hanya 4 persen. Hal-hal tersebut terjadi dan mempengaruhi pola konsumsi jenis BBM yang ada. Solar memang paling banyak digunakan pada industri untuk keperluan mesin pabrik dan angkutan komersial seperti kapal, truck dan kendaraan berat lainnya. Hal ini diperkuat survei Nasional oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) 2014 yang dilakukan pada tataran keluarga atau rumah tangga diseluruh 9 Indonesia, dimana pengguna solar dalam rumah tangga jumlahnya sangat kecil, yaitu hanya mencapai angka 6 persen saja yang mengkonsumsi solar dalam waktu 30 hari terakhir. Sumber: Surnas LSI 2014, diolah. Gambar 1.2. Konsumsi Solar pada Rumah Tangga . Penggunaan solar yang kecil pada sektor rumah tangga seharusnya membuat pemerintah mengurangi atau mencabut subsidi bagi solar, sebab dapat dipastikan tidak tepat sasaran karena penggunanya sebagian besar adalah sektor industri dan transportasi komersial. Untuk sektor rumah tangga, konsumsi solar sangat kecil, bahkan menurut survei LSI di atas tidak mencapai angka 10 persen. Karena tujuan subsidi diantaranya adalah untuk membantu warga yang miskin, maka sangat kurang tepat melakukan subsidi pada solar. Solar penggunaannya didominasi dunia usaha dan dunia bisnis, jika subsidi dijalankan maka akan mengalir pada pelaku bisnis yang notabennya tidak miskin. Pembatasan subsidi solar yang pernah dilakukan bukan untuk dunia industri juga tidak berjalan efektif, karena masih banyak kasus penyelundupan 10 solar subsidi digunakan untuk sektor industri. Idealnya subsidi tersebut didistribusikan kepada rumah tangga yang ditargetkan berdasarkan data nama dan alamat atau by name by address (Pradiptyo & Sahadewo, 2012a), karena dengan demikian subsidi lebih mudah disampaikan secara tepat sasaran dan dapat dikontrol jumlah dan sasarannya. Pengurangan subsidi solar menjadi penting karena volume konsumsi solar yang besar. Dengan pengurangan subsidi solar secara bertahap dan tetap memperhatikan kondisi perekonomian dalam negeri, diharapkan tekanan APBN terhadap biaya subsidi berkurang. Selanjutnya dana tersebut dapat dimanfaatkan untuk program-program yang lebih urgensi dan menyangkut kesejahteraan rakyat seperti kesehatan dan pendidikan. Untuk itu survei tentang profil rumah tangga pengguna BBM bersubsidi terutama solar perlu dilakukan untuk memetakan bagaimana karakteristik dan perilaku ekonomi masyarakat Indonesia. Di samping itu survei juga dapat digunakan untuk mengetahui bagaimana perilaku dan pemahaman masyarakat terkait harga solar subsidi, serta opini mereka terkait program kompensasi dan realokasi anggaran subsidi solar. Analisis empiris terhadap hasil survei perlu dilakukan untuk memberikan bagaimana data tersebut bermakna dan berguna dalam pertimbangan kebijakan terkait subsidi solar. Kajian kebijakan subsidi solar yang berdasarkan data empiris beserta data opini masyarakat tentang perlunya program realokasi anggaran dan kompensasi yang tepat diperlukan agar kebijakan dapat dijalankan. Penelitian ini mempunyai posisi yang strategis dalam memetakan perilaku, pengetahuan dan 11 opini para pengguna solar di Indonesia. Pemetaan hal-hal tersebut dapat menjadi dasar pengambilan keputusan oleh pemerintah terkait kebijakan subsidi solar dan program realokasi dan kompensasi subsidi BBM. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi empiris dan akademis bahwa kebijakan pengurangan subsidi solar adalah langkah tepat untuk mengurangi beban APBN pada pos subsidi yang nantinya dapat direalokasikan anggarannya untuk sektor yang lebih penting, misal pembangunan infrastruktur, kesehatan dan pendidikan. Hasil penelitian juga dapat menjadi literature yang memberikan dasar pengetahuan tentang perilaku konsumen solar secara spesifik, karena selama ini literature yang ada lebih pada konsumen BBM secara umum atau konsumen solar. Penelitian ini mempunyai keterbatasan diantaranya adalah penelitian dilakukan dalam sekali waktu, sehingga data yang tersedia tidak dapat dibandingkan dengan perkembangan persepsi dari responden. Data yang ada tersebut belum mewakili seluruh karakteristik dari perilaku konsumen solar bersubsidi di Indonesia. Beberapa pertanyaan penting juga belum terakomodir dalam survei LSI ini, misalkan persepsi masyarakat terhadap pilihan penghapusan subsidi solar secara bertahap atau sekali kebijakan. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah: 1. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap pengetahuan harga resmi solar bersubsidi di SPBU pada masyarakat? 12 2. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap opini terkait program realokasi dan kompensasi subsidi BBM? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengetahuan harga resmi solar bersubsidi di SPBU. 2. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap opini terkait program kompensasi dan realokasi subsidi BBM. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Akademis Penelitian ini dapat menjadi salah satu studi empiris yang mengangkat kondisi kebijakan energi untuk mengembangkan wacana keilmuan dalam hal perilaku ekonomi. 1.4.2. Manfaat Praktis Penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi sekaligus acuan kebijakan energi nasional pada waktu yang akan datang. Dengan melihat karakteristik dan respon masyarakat terkait pengurangan subsidi khususnya solar dan umumnya BBM, maka dapat memberikan arahan terkait kebijakan subsidi yang dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat. 13 1.5. Data, Model dan Analisis Data 1.5.1 Data Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari Survei Sosial Kemasyarakatan yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada awal bulan Agustus 2014. Survei tersebut menggunakan jumlah sampel sebanyak 2.899 responden untuk seluruh wilayah Indonesia yang dibagi sesuai proporsi populasi tiap provinsi. Penelitian ini menggunakan data-data demografi responden seperti, gender, usia, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, wilayah tempat tinggal, desa-kota, dan lain sebagainya. Sesuai dengan tema penelitian, data yang dieksplorasi adalah data-data yang terkait dengan konsumsi solar bersubsidi, data tentang pengetahuan harga solar disubsidi dan data tentang opini responden terkait kompensasi dan realokasi dana subsidi BBM. 1.5.2 Model Penelitian ini bersifat eksplorasi dengan model yang dikembangkan untuk mengeksplorasi variabel yang terkait dengan variabel penelitian. Sistem persamaan yang digunakan mengacu pada model yang dibentuk dengan mengadopsi teori ekonomi dan sosial dalam penentuan variabel independen. Model penelitian ini merupakan modifikasi minor dari Pradiptyo et al. (2015). Modifikasi minor yang dimaksud adalah jika pada penelitian terdahulu, model mengeksplore tentang premium dengan variabel-variabel bebas aspek kepemilikan kendaraan bermotor, namun pada penelitian ini ekplorasi data lebih pada konsumen solar dan variabel bebas 14 yang terkait dengan tempat tinggal (region), desa-kota, lama pendidikan yang diinteraksikan dengan konsumen solar serta dummy tempat tinggal (region) antara Jawa dengan Luar Jawa. Model tersebut direplikasi dan dimodifikasi untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan konsumen untuk mengkonsumsi solar bersubsidi, faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan konsumen terhadap harga eceran resmi dan opini tentang kompensasi dan realokasi subsidi BBM. 1.5.3 Analisis Data Model dalam penelitian ini dianalisis dengan mengunakan survei logistik regresi. survei logistik regresi berbeda dengan regresi logistik. Perbedaannya diantaranya adalah Survei logistik regresi digunakan untuk data yang lebih komplek dibandingkan regresi logistik yaitu multinominal serta dapat mengolah data kualitatif dan kuantitatif serta parametrik dan non-parametrik. Survey logit juga memerlukan desain sampel yang lebih kompleks yang mencakup bobot sampling, strata, dan Primary Sampling Unit (PSU), karena simple random sample akan memiliki dampak estimasi dari standard error akan menjadi bias (Skinner dan Vieira 2007). Data yang dikumpulkan akan diolah dengan menggunakan program statistik stata 13. 1.6. Sistematika Pembahasan Penelitian Penulisan laporan penelitian ini secara garis besar akan mengikuti format penulisan laporan sebagai berikut: 15 BAB I. PENDAHULUAN Bab I membahas tentang latar belakang masalah penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, data, model dan analisis data, serta sistematika pembahasan penelitian. BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Bab II membahas kajian pustaka terkait teori subsidi, teori pengetahuan, dan teori tentang kompensasi dan relokasi, penelitian terdahulu dan keaslian penelitian, serta hipotesis penelitian. BAB III. METODOLOGI Bab III membahas alat analisis, jenis dan sumber data, definisi operasional variabel, metode analisis data serta keterbatasan penelitian. BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN Bab IV membahas hasil-hasil penelitian berupa hasil deskriptif dan hasil estimasi data berdasarkan metode yang digunakan dalam penelitian ini. BAB V. PENUTUP Bab V berisi kesimpulan dalam penelitian ini dan saran dari hasil penelitian. 16