1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pergerakan ekonomi dunia dan naik turunnya harga minyak mempunyai
dampak yang besar terhadap perekonomian Indonesia. Dalam periode 2005
sampai 2009, salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja ekonomi Indonesia
adalah kenaikan harga minyak. Kenaikan harga minyak ini mempengaruhi
banyak hal, termasuk tekanan pada defisit anggaran, alokasi anggaran, inflasi,
kestabilan ekonomi makro, dan juga dampaknya terhadap kemiskinan
(Abimanyu dkk, 2009: 362).
Nilai subsidi pada tahun 2012 mencapai Rp 346,4 triliun atau 34,33
persen dari belanja pemerintah pusat. Tidak kurang dari 61,17 persen dari total
subsidi dialokasikan untuk BBM (Rp 211,9 triliun) dan 27,30 persen untuk
listrik (Rp 94,6 triliun). Subsidi pangan, pupuk, benih, kredit program, dan
lain-lain hanya Rp 39,9 triliun atau 11,53 persen dari total subsidi. Subsidi
idealnya disalurkan langsung dan hanya diberikan kepada kelompok sasaran.
Salah satu kelompok sasaran tentu saja masyarakat berpenghasilan rendah atau
miskin. Tingkat kemiskinan per September 2012 mencapai 11,66 persen atau
sekitar
28,6
juta
orang
dengan
tingkat
garis
kemiskinan
Rp
280.000/orang/bulan (BPS). Dengan total subsidi Rp 346,4 triliun dan subsidi
1
disalurkan tepat sasaran, idealnya tidak ada lagi masyarakat Indonesia yang
berada di bawah garis kemiskinan itu1.
Subsidi adalah pembayaran yang dilakukan pemerintah kepada
perusahaan atau rumah tangga untuk mencapai tujuan tertentu yang membuat
mereka dapat memproduksi atau mengkonsumsi suatu produk dalam kuantitas
yang lebih besar atau pada harga yang lebih murah. Secara ekonomi, tujuan
subsidi adalah untuk mengurangi harga atau menambah keluaran (output).
(Spencer dan Amos, 1993: 464). Menurut Suparmoko (2003: 34), subsidi
(transfer) adalah salah satu bentuk pengeluaran pemerintah yang juga diartikan
sebagai pajak negatif yang akan menambah pendapatan mereka yang menerima
subsidi atau mengalami peningkatan pendapatan riil apabila mereka
mengkonsumsi atau membeli barang-barang yang disubsidi oleh pemerintah
dengan harga jual yang rendah. Subsidi dapat dibedakan dalam dua bentuk
yaitu subsidi dalam bentuk uang (cash transfer) dan subsidi dalam bentuk
barang atau subsidi innatura (in kind subsidy).
Teori Keynesian menunjukkan manajemen kebijakan makro ekonomi di
mana subsidi dapat meningkatkan pengeluaran atau permintaan agregat.
Pengurangan atau peningkatan subsidi dapat mempengaruhi aktivitas ekonomi
meskipun hal ini tergantung terhadap cara pandang dari keseimbangan
anggaran (Amegashie, 2006: 7). Menurut Stren dan Cleveland (2004), energi
(bahan bakar minyak) diperlukan dalam produksi dan pertumbuhan ekonomi,
maka produk ini harganya perlu dikendalikan oleh negara atau pemerintah
1
Rimawan Pradiptyo, Hitung-Hitungan Subsidi BBM, Kompas cetak, 18 Juni 2013.
2
diantaranya dengan model subsidi. Meskipun demikian, subsidi perlu kajian
lebih lanjut untuk menentukan model dan besarannya, serta kondisi-kondisi
yang berkembang.
Kuncoro (2013) mengatakan bahwa meningkatnya harga minyak dunia
merupakan faktor eksternal yang perpengaruh terhadap subsidi BBM. Masalah
yang muncul akibat naiknya harga minyak dunia terhadap APBN adalah
membengkaknya subsidi energi, membesarkan defisit Anggaran, melambatnya
pertumbuhan
ekonomi
yang
berdampak
terhadap
kemiskinan
dan
pengangguran. Lebih lanjut, Pradiptyo & Sahadewo (2012a) menyampaikan
beban (APBN) yang semakin besar ini akan menyebabkan tekanan secara
terus-menerus pada aspek fiskal yang pada akhirnya akan menghambat prospek
pertumbuhan ekonomi.
Kenaikan harga BBM dipengaruhi oleh besarnya konsumsi yang selalu
mengalami peningkatan dari tahun-ketahun. Misal konsumsi BBM di Negara
Malaysia meningkat tajam sejak bulan Juni tahun 2005. Kenaikan harga
minyak dunia pada tahun 2007 dan 2008 telah secara substansial meningkatkan
anggaran subsidi pemerintah (subsidi BBM) telah membuat beban anggaran di
negara ini bertambah. Anggaran memberikan kontribusi defisit yang mencapai
4 persen dari PDB pada tahun 2008 dan meningkat 4,7 persen pada tahun 2009
sehingga hal ini mendorong pemerintah Malaysia untuk meninjau kembali
kebijakan subsidi yang diberlakukan (Yusman & Nurul, 2013).
Kondisi yang hampir sama juga terjadi di India, dimana kenaikan
anggaran subsidi BBM telah memberikan kontribusi terhadap tekanan fiskal di
3
Negara India. Reformasi kebijakan mengenai subsidi menimbulkan dampak
negatif terhadap kesejahteraan rumah tangga khususnya rumah tangga miskin.
Meskipun reformasi (perubahan) menghasilkan penghematan fiskal yang
cukup besar namun akibat yang ditimbulkan dari penghematan tersebut akan
menurunkan pendapatan riil rumah tangga dari semua kelompok masyarakat
yang berpendapatan. Pemerintah India berencana berkomitmen untuk
mengendalikan subsidi BBM dan mengeluarkan langkah-langkah baru untuk
menurunkan subsidi demi menyelamatkan ruang fiskal dengan cara:
menggunakan harga BBM sesuai dengan harga minyak dunia, penghapusan
subsidi diesel dalam jangka pendek, penghapusan minyak tanah dan subsidi
LPG, dan pemberian subsidi dalam bentuk tunai yang ditargetkan kepada kaum
miskin (Anand dkk., 2013).
Demikian juga yang terjadi di Indonesia, anggaran subsidi di Indonesia
sendiri sejak tahun 2008 sampai 2014 mengalami peningkatan yang signifikan.
Dalam bentuk grafik, kenaikan tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:
(Triliun)
Sumber: Nota Keuangan, APBN 2008 - 2014.
Gambar 1.1. Anggaran Subsidi di Indonesia Tahun 2008 - 2014 (Triliun)
4
Berdasarkan grafik di atas, dapat diketahui bahwa besarnya anggaran
subsidi cenderung meningkat setiap tahunnya. Total anggaran subsidi energi
pada tahun 2014 telah mencapai 341,8 Triliun, sedangkan untuk subsidi non
energi berjumlah 50,2 Triliun saja. Jumlah ini sangat besar, terutama untuk
subsidi energi sehingga subsidi untuk non energi cenderung stagnan atau
peningkatannya tidak signifikan seperti halnya subsidi energi. Khusus untuk
subsidi BBM, tahun 2014 mencapai 240 triliun.
Berbagai
kalangan
menilai
bahwa
subsidi
yang
terlalu
besar
membahayakan anggaran negara. Anggaran dapat defisit jika subsidi tidak
dikendalikan. Pengendalian dalam hal ini adalah lebih kepada pengurangan
subsidi atau menaikkan harga BBM. Ada beberapa argumentasi yang
melandasi kebijakan terhadap pengurangan atau penurunan biaya subsidi
BBM. Argumentasi termaksud antara lain (Dartanto, 2005): 1). Perbedaan
harga jual domestik dengan harga luar negeri yang timpang, perbedaan harga
ini menjadikan pembengkakan subsidi BBM dalam APBN dan juga
mendorong terjadinya penyelundupan BBM ke luar negeri; 2). Penyesuaian
harga BBM telah di lakukan oleh hampir semua negara-negara yang
berpendapatan lebih rendah dari Indonesia seperti India, Bangladesh, dan
negara-negara di Afrika; 3). Harga domestik yang rendah, cenderung
mendorong pertumbuhan, tingkat konsumsi yang sangat tinggi; 4). Subsidi
BBM ternyata lebih banyak di nikmati oleh kelompok 40 persen masyarakat
yang
berpendapatan
tinggi,
termasuk
subsidi
untuk
minyak
tanah.
5). Pemerintah mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk program
5
penanggulangan kemiskinan dan investasi di bidang pendidikan, kesehatan,
dan infrastruktur di pedesaan.
Fakta menunjukkan bahwa subsidi yang selama ini dilakukan pemerintah
terhadap harga BBM memang tidak tepat sasaran. Subsidi energi dalam bentuk
subsidi bahan bakar minyak (BBM) selama ini lebih banyak dinikmati oleh
masyarakat dengan kelompok masyarakat berpendapatan menengah dan atas.
Berikut adalah hasil perhitungan BPS terkait hubungan kelompok pendapatan
dengan konsumsi atau distribusi BBM subsidi:
Tabel 1.1. Distriusi Pemanfaatan Subsidi BBM Menurut Kelompok Pendapatan
Kelompok Pendapatan
20 % Teratas
20 % Kedua Teratas
20 % Menengah
20 % Kedua Terbawah
20 % Terbawah
Jumlah
Distribusi
Subsidi
BBM (%)
48,44 %
22,48 %
15,16 %
8,77 %
5,15 %
100 %
Dalam
Triliun
(Rp)
61,43
22,48
15,16
8,77
5,15
126,8
Sumber : BPS, 2007.
Berdasarkan Tabel 1.1 di atas, dapat dilihat bahwa 20 persen masyarakat
kelompok terkaya menikmati 48,44 persen ( hampir 50 persen ) subsidi BBM
yang senilai dengan 61,42 Triliun. Urutan kedua adalah 20 persen masyarakat
kedua terkaya menikmati subsidi BBM 22,48 persen dengan nilai 28,50
Triliun. Sementara 20 persen masyarakat termiskin hanya menikmati 5.15
persen subsidi BBM dengan nilai 6,53 Triliun. Dengan demikian subsidi BBM
lebih banyak dinikmati oleh kelompok pendapatan masyarakat menengah ke
atas. Masyarakat miskin yang seharusnya menjadi tujuan diberikannya subsidi
BBM justru tidak memperolehnya. Ketidakadilan ini terjadi pada struktur
6
sosial ekonomi antara yang kaya dan yang miskin, yang kaya semakin
dimanjakan dengan subsidi BBM yang mampu mereka manfaatkan,
sedangkan kalangan miskin hanya mampu memanfaatkannya sedikit. Selain
itu, dengan semakin besarnya subsidi BBM mengakibatkan berbagai program
untuk masyarakat miskin menjadi tidak dapat dilaksanakan. Anggaran akan
habis untuk alokasi subsidi BBM, apalagi jika harga BBM sedang naik di
pasar internasional.
Hasil serupa ditemukan dalam kajian lain yang dilakukan oleh Agustina
dkk., (2008). Kajian tersebut menemukan bahwa hampir 90 persen subsidi
BBM di Indonesia menguntungkan 50 persen kalangan terkaya. Sedangkan
menurut data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2009 terkait
sektor penggunaan BBM, menunjukkan bahwa keperluan rumah tangga dan
pribadi mengkonsumsi sepertiga dari total subsidi BBM. Dua pertiga sisanya
tersalur ke penggunaan transportasi komersial dan kegiatan usaha. Kedua hasil
tersebut menegaskan bahwa baik secara sasaran maupun secara sektor
penggunaan, subsidi BBM sudah tidak relevan lagi. Pemerintah Indonesia
menyadari bahwa subsidi BBM sudah tidak tepat sasaran dan dapat
menghabiskan APBN. Sehingga subsidi BBM sudah tidak efektif lagi dan
seharusnya dialihkan untuk subsidi non-energi. Peningkatan subsidi non-energi
ditujukan untuk mencapai tujuan pemerintah dalam menciptakan APBN yang
pro growth, pro job, dan pro poor sehingga yang diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan.
7
BBM yang di subsidi dan dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat
diantaranya adalah premium, solar, dan minyak tanah (namun saat ini telah
dikonversi ke gas) dan LPG. Solar merupakan salah satu jenis dari BBM yang
menjadi obyek subsudi atau pengurangan subsidi. Minyak solar ialah fraksi
minyak bumi yang mendidih sekitar 175-370° C dan yang digunakan sebagai
bahan bakar mesin diesel. Umumnya, solar mengandung belerang dengan
kadar yang cukup tinggi. Penggunaan solar pada umumnya adalah untuk bahan
bakar pada semua jenis mesin diesel dengan putaran tinggi (diatas 1000 rpm),
yang juga dapat digunakan sebagai bahan bakar pada pembakaran langsung
dalam dapur-dapur kecil yang terutama diinginkan pembakaran yang bersih.
Minyak solar ini biasa disebut juga Gas Oil, Automotive Diesel Oil, High
Speed Diesel.
Konsumsi minyak solar cenderung stabil, tetapi diantara jenis BBM
lainnya, konsumsi minyak solar ternyata yang paling banyak. Solar banyak
dibutuhkan oleh industri untuk bahan bakar mesin-mesinnya serta sektor
angkutan. Tahun 2005 konsumsi solar mencapai 175 juta barrel dan hingga
tahun 2011 konsumsinya sedikit menurun menjadi 169 juta barel (Ditjen Migas
– ESDM: 2012). Namun dari segi pola konsumsi, maka telah terjadi perubahan
pola konsumsi energi menurut jenisnya. Pada tahun 2000, konsumsi minyak
solar mempunyai pangsa terbesar (42 persen) disusul minyak tanah (23
persen), bensin (23 persen), minyak bakar (10 persen), dan avtur (2 persen).
Selanjutnya pada tahun 2012 urutannya berubah menjadi bensin (50 persen),
8
minyak solar (37 persen), avtur (7 persen), minyak tanah (4 persen), dan
minyak bakar (2 persen). (BPPT, 2014).
Tabel 1.2. Perubahan Pola Konsumsi BBM
No
1
2
3
4
5
Jenis BBM
Minyak Solar
Minyak Tanah
Bensin
Minyak Bakar
Avtur
2000
42%
23%
23%
10%
2%
2012
37%
4%
50%
2%
7%
Sumber: BPPT, 2014
Perubahan pola konsumsi BBM tersebut disebabkan oleh tingginya laju
konsumsi bensin kendaraan pribadi terjadi karena jumlah mobil pribadi dan
motor yang sangat pesat, tingginya laju konsumsi avtur/avgas oleh pesawat
udara karena perkembangan mobilitas kehidupan manusia yang semakin tinggi
dan majunya industri penerbangan, terjadinya diversifikasi energi di sektor
industri yang memungkinkan industri menggunakan sumber enargi yang lain,
dan adanya program substitusi minyak tanah dengan LPG di sektor rumah
tangga yang membuat peralihan besar-besaran dari minyak tanah ke LPG.
Peningkatan luar biasa terjadi pada konsumsi jenis BBM bensin yang naik dari
23 persen menjadi 50 persen, sedangkan penurunan yang besar ada pada
konsumsi jenis minyak tanah dari 23 persen menjadi hanya 4 persen. Hal-hal
tersebut terjadi dan mempengaruhi pola konsumsi jenis BBM yang ada.
Solar memang paling banyak digunakan pada industri untuk keperluan
mesin pabrik dan angkutan komersial seperti kapal, truck dan kendaraan berat
lainnya. Hal ini diperkuat survei Nasional oleh Lembaga Survei Indonesia
(LSI) 2014 yang dilakukan pada tataran keluarga atau rumah tangga diseluruh
9
Indonesia, dimana pengguna solar dalam rumah tangga jumlahnya sangat kecil,
yaitu hanya mencapai angka 6 persen saja yang mengkonsumsi solar dalam
waktu 30 hari terakhir.
Sumber: Surnas LSI 2014, diolah.
Gambar 1.2. Konsumsi Solar pada Rumah Tangga
.
Penggunaan solar yang kecil pada sektor rumah tangga seharusnya
membuat pemerintah mengurangi atau mencabut subsidi bagi solar, sebab
dapat dipastikan tidak tepat sasaran karena penggunanya sebagian besar adalah
sektor industri dan transportasi komersial. Untuk sektor rumah tangga,
konsumsi solar sangat kecil, bahkan menurut survei LSI di atas tidak mencapai
angka 10 persen. Karena tujuan subsidi diantaranya adalah untuk membantu
warga yang miskin, maka sangat kurang tepat melakukan subsidi pada solar.
Solar penggunaannya didominasi dunia usaha dan dunia bisnis, jika subsidi
dijalankan maka akan mengalir pada pelaku bisnis yang notabennya tidak
miskin. Pembatasan subsidi solar yang pernah dilakukan bukan untuk dunia
industri juga tidak berjalan efektif, karena masih banyak kasus penyelundupan
10
solar subsidi digunakan untuk sektor industri. Idealnya subsidi tersebut
didistribusikan kepada rumah tangga yang ditargetkan berdasarkan data nama
dan alamat atau by name by address (Pradiptyo & Sahadewo, 2012a), karena
dengan demikian subsidi lebih mudah disampaikan secara tepat sasaran dan
dapat dikontrol jumlah dan sasarannya.
Pengurangan subsidi solar menjadi penting karena volume konsumsi
solar yang besar. Dengan pengurangan subsidi solar secara bertahap dan tetap
memperhatikan kondisi perekonomian dalam negeri, diharapkan tekanan
APBN terhadap biaya subsidi berkurang. Selanjutnya dana tersebut dapat
dimanfaatkan untuk program-program yang lebih urgensi dan menyangkut
kesejahteraan rakyat seperti kesehatan dan pendidikan. Untuk itu survei tentang
profil rumah tangga pengguna BBM bersubsidi terutama solar perlu dilakukan
untuk memetakan bagaimana karakteristik dan perilaku ekonomi masyarakat
Indonesia. Di samping itu survei juga dapat digunakan untuk mengetahui
bagaimana perilaku dan pemahaman masyarakat terkait harga solar subsidi,
serta opini mereka terkait program kompensasi dan realokasi anggaran subsidi
solar. Analisis empiris terhadap hasil survei perlu dilakukan untuk memberikan
bagaimana data tersebut bermakna dan berguna dalam pertimbangan kebijakan
terkait subsidi solar.
Kajian kebijakan subsidi solar yang berdasarkan data empiris beserta data
opini masyarakat tentang perlunya program realokasi anggaran dan kompensasi
yang tepat diperlukan agar kebijakan dapat dijalankan. Penelitian ini
mempunyai posisi yang strategis dalam memetakan perilaku, pengetahuan dan
11
opini para pengguna solar di Indonesia. Pemetaan hal-hal tersebut dapat
menjadi dasar pengambilan keputusan oleh pemerintah terkait kebijakan
subsidi solar dan program realokasi dan kompensasi subsidi BBM.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi empiris dan
akademis bahwa kebijakan pengurangan subsidi solar adalah langkah tepat
untuk mengurangi beban APBN pada pos subsidi yang nantinya dapat
direalokasikan anggarannya untuk
sektor yang lebih penting, misal
pembangunan infrastruktur, kesehatan dan pendidikan. Hasil penelitian juga
dapat menjadi literature yang memberikan dasar pengetahuan tentang perilaku
konsumen solar secara spesifik, karena selama ini literature yang ada lebih
pada konsumen BBM secara umum atau konsumen solar.
Penelitian ini mempunyai keterbatasan diantaranya adalah penelitian
dilakukan dalam sekali waktu, sehingga data yang tersedia tidak dapat
dibandingkan dengan perkembangan persepsi dari responden. Data yang ada
tersebut belum mewakili seluruh karakteristik dari perilaku konsumen solar
bersubsidi di Indonesia. Beberapa pertanyaan penting juga belum terakomodir
dalam survei LSI ini, misalkan persepsi masyarakat terhadap pilihan
penghapusan subsidi solar secara bertahap atau sekali kebijakan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini
adalah:
1. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap pengetahuan harga
resmi solar bersubsidi di SPBU pada masyarakat?
12
2. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap opini terkait program
realokasi dan kompensasi subsidi BBM?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengetahuan harga
resmi solar bersubsidi di SPBU.
2. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap opini terkait
program kompensasi dan realokasi subsidi BBM.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Akademis
Penelitian ini dapat menjadi salah satu studi empiris yang
mengangkat kondisi kebijakan energi untuk mengembangkan wacana
keilmuan dalam hal perilaku ekonomi.
1.4.2. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi sekaligus acuan
kebijakan energi nasional pada waktu yang akan datang. Dengan melihat
karakteristik dan respon masyarakat terkait pengurangan subsidi
khususnya solar dan umumnya BBM, maka dapat memberikan arahan
terkait kebijakan subsidi yang dapat diterima oleh sebagian besar
masyarakat.
13
1.5. Data, Model dan Analisis Data
1.5.1 Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari Survei
Sosial Kemasyarakatan yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI)
pada awal bulan Agustus 2014. Survei tersebut menggunakan jumlah
sampel sebanyak 2.899 responden untuk seluruh wilayah Indonesia yang
dibagi sesuai proporsi populasi tiap provinsi. Penelitian ini menggunakan
data-data demografi responden seperti, gender, usia, pendidikan, pekerjaan,
pendapatan, wilayah tempat tinggal, desa-kota, dan lain sebagainya. Sesuai
dengan tema penelitian, data yang dieksplorasi adalah data-data yang terkait
dengan konsumsi solar bersubsidi, data tentang pengetahuan harga solar
disubsidi dan data tentang opini responden terkait kompensasi dan realokasi
dana subsidi BBM.
1.5.2 Model
Penelitian ini bersifat eksplorasi dengan model yang dikembangkan
untuk mengeksplorasi variabel yang terkait dengan variabel penelitian.
Sistem persamaan yang digunakan mengacu pada model yang dibentuk
dengan mengadopsi teori ekonomi dan sosial dalam penentuan variabel
independen. Model penelitian ini merupakan modifikasi minor dari
Pradiptyo et al. (2015). Modifikasi minor yang dimaksud adalah jika pada
penelitian terdahulu, model mengeksplore tentang premium dengan
variabel-variabel bebas aspek kepemilikan kendaraan bermotor, namun pada
penelitian ini ekplorasi data lebih pada konsumen solar dan variabel bebas
14
yang terkait dengan tempat tinggal (region), desa-kota, lama pendidikan
yang diinteraksikan dengan konsumen solar serta dummy tempat tinggal
(region) antara Jawa dengan Luar Jawa. Model tersebut direplikasi dan
dimodifikasi
untuk
menganalisis
faktor-faktor
yang mempengaruhi
keputusan konsumen untuk mengkonsumsi solar bersubsidi, faktor-faktor
yang mempengaruhi pengetahuan konsumen terhadap harga eceran resmi
dan opini tentang kompensasi dan realokasi subsidi BBM.
1.5.3 Analisis Data
Model dalam penelitian ini dianalisis dengan mengunakan survei
logistik regresi. survei logistik regresi berbeda dengan regresi logistik.
Perbedaannya diantaranya adalah Survei logistik regresi digunakan untuk
data yang lebih komplek dibandingkan regresi logistik yaitu multinominal
serta dapat mengolah data kualitatif dan kuantitatif serta parametrik dan
non-parametrik. Survey logit juga memerlukan desain sampel yang lebih
kompleks yang mencakup bobot sampling, strata, dan Primary Sampling
Unit (PSU), karena simple random sample akan memiliki dampak estimasi
dari standard error akan menjadi bias (Skinner dan Vieira 2007). Data yang
dikumpulkan akan diolah dengan menggunakan program statistik stata 13.
1.6. Sistematika Pembahasan Penelitian
Penulisan laporan penelitian ini secara garis besar akan mengikuti
format penulisan laporan sebagai berikut:
15
BAB I. PENDAHULUAN
Bab I membahas tentang latar belakang masalah penelitian,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, data,
model dan analisis data, serta sistematika pembahasan penelitian.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab II membahas kajian pustaka terkait teori subsidi, teori
pengetahuan, dan teori tentang kompensasi dan relokasi, penelitian
terdahulu dan keaslian penelitian, serta hipotesis penelitian.
BAB III. METODOLOGI
Bab III membahas alat analisis, jenis dan sumber data, definisi
operasional variabel, metode analisis data serta keterbatasan
penelitian.
BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Bab IV membahas hasil-hasil penelitian berupa hasil deskriptif dan
hasil estimasi data berdasarkan metode yang digunakan dalam
penelitian ini.
BAB V. PENUTUP
Bab V berisi kesimpulan dalam penelitian ini dan saran dari hasil
penelitian.
16
Download