BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan pertumbuhan penduduk di Indonesia yang bertambah besar dari tahun ke tahun dilihat dari data sensus penduduk oleh badan pusat statistik tahun 2014 yang mencapai 252164.80 ribu jiwa sehingga kebutuhan akan obat di Indonesia pun akan semakin besar pula. Untuk menunjang hal tersebut maka perlu dilakukan berbagai penelitian tentang pengembangan obat-obatan, yang salah satunya yaitu obat pereda nyeri atau obat analgetika. Analgetika adalah obat yang menghilangkan rasa nyeri dengan cara menurunkan nilai ambang nyeri pada susunan syaraf pusat di otak tanpa menekan kesadaran (Djamhuri, 1995). Ada dua jenis analgetika yang dibagi berdasarkan struktur kimia dan nyeri yang dapat dihilangkan, yaitu analgetika narkotik dan analgetika non narkotik. Analgetika narkotik merupakan turunan opium yang berasal dari tumbuhan Papaver somniferum atau dari senyawa sintetik yang dapat menghilangkan nyeri dari skala sedang hingga berat yang bersumber dari organ viseral. Sedangkan, analgetik non narkotik berasal dari golongan antiinflamasi non steroid (AINS) yang menghilangkan nyeri ringan hingga sedang. AINS selain sebagai analgetik, juga memiliki efek antiinflamasi dan penurun panas yang disebut antipiretik (Priyanto,2010). Obat-obat pereda nyeri banyak digunakan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari yang dimana pada obat pereda nyeri tersebut mempunyai efek samping yang tergantung pada strukturnya. Obat pereda rasa nyeri yang 1 2 beredar dipasaran sangat banyak namun yang paling banyak digunakan adalah parasetamol. Parasetamol merupakan turunan senyawa sintetis dari p-aminofenol yang memberikan efek analgetika dan antipiretika. Senyawa ini mempunyai nama kimia N-asetil-p-aminofenol atau p-asetamidofenol atau 4’-hidroksiasetanilid, bobot molekul 151,16 dengan rumus kimia C8H9NO2. Parasetamol mempunyai kemampuan meredakan nyeri yang baik dan sedikit memberikan efek anti inflamasi serta tidak mengiritasi lambung. Parasetamol bekerja dengan menghambat sintesis prostaglandin di otak tetapi kecil aktivitasnya sebagai inhibitor prostaglandin perifer. Metabolisme parasetamol terutama di hati dengan membentuk konjugasi dengan asam glukoronat, sulfat dan glutation merupakan metabolit non toksik yang akan diekskresikan melalui urin jika dikonsumsi dalam jumlah normal. Namun jika parasetamol digunakan dalam jangka waktu yang lama atau penggunaan diluar dosis lazimnya dapat menyebabkan terbentuknya metabolit toksik NAPQI (N-asetil-p-benzoquinone imina) yang bersifat hepatotoksis (Chaerun,2005). Oleh karena itu, maka dilakukan sintesis turunan p-aminofenol lain yang akan memiliki aktivitas analgetika yang lebih baik dibanding parasetamol dan efek samping yang lebih rendah pula dibanding parasetamol. Sintesis senyawa paminofenol yang akan disintesis adalah senyawa β-naftoil karbonil aminofenol yang secara in-siliko dengan menggunakan aplikasi molecular docking PLANTS didapatkan score docking analgetika -94.7624 hepatotoksisitasnya -22.0585 sedangkan skor dan docking score analgetika docking untuk 3 parasetamol adalah -67.4556 dan skor docking hepatotoksisitasnya parasetamol 61.6038. Dari hasil score docking tersebut, diketahui bahwa skor docking senyawa β-naftoil karbonil aminofenol lebih kecil dibandingkan dengan parasetamol maka ikatannya dengan enzim COX-2 akan lebih stabil yang diharapkan senyawa β-naftoil karbonil aminofenol akan memiliki aktivitas analgetika yang lebih tinggi dan efek samping yang lebih rendah dari turunan paminofenol seperti halnya parasetamol. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana hasil sintesis β-naftoil karbonil aminofenol dari paminofenol, urea dan β-naftol? 2. Apakah senyawa β-naftoil karbonil aminofenol dapat meningkatkan daya analgetika dibandingkan parasetamol? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mensintesis dan menguji aktivitas analgetik senyawa turunan paminofenol yang lebih baik dibanding parasetamol. 2. Tujuan khusus 1. Mensintesis senyawa β-naftoil karbonil aminofenol dari p-aminofenol dan β-naftol. 2. Menentukan daya analgetik senyawa β-naftoil karbonil aminofenol dengan metode geliat. 4 D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan menghasilkan senyawa baru yang berpotensi untuk dipatenkan. E. Tinjauan Pustaka 1. Sintesis β-naftoil karbonil aminofenol a. β-naftoil karbonil aminofenol Gambar 1. Struktur β-naftoil karbonil aminofenol Senyawa β-naftoil karbonil aminofenol merupakan senyawa yang akan disintesis yang merupakan hasil reaksi dari urea, β-naftol dan paminofenol. β-naftoil karbonil aminofenol memiliki bobot molekul 279 gram/mol. Senyawa β-naftoil karbonil aminofenol ini diduga memiliki aktivitas analgetik yang lebih baik dibanding turunan p-aminofenol yang lain seperti parasetamol. Hal ini dilihat dari hasil molecular docking dengan PLANTS yang didapatkan skor docking sebesar -94.7624 sedangkan parasetamol skor dockingnya -67.4556. Dari hasil tersebut diketahui bahwa senyawa β-naftoil karbonil aminofenol mempunyai nilai skor docking yang lebih kecil yang menandakan bahwa aktivitas analgetiknya lebih baik dan angka minus (-) yang didapat menandakan 5 bahwa ikatan antara protein dan ligan kuat sehingga efek analgetiknya lebih kuat. b. p-aminofenol Para aminofenol atau p-hidroksianilin atau 4-amino-1- hidroksibenzena ini merupakan senyawa dengan adanya gugus amina dan hidoksi pada posisi para dari inti benzena. Rumus molekul senyawa ini yaitu C6H7NO dengan bobot molekul 109,13 gram/mol dan mempunyai struktur pada gambar 4 (anonim, 1996). c. d. e. f. g. h. Gambar 2. Struktur p-aminofenol Senyawa p-aminofenol sedikit larut dalam air, larut dalam etil metil keton, laut dalam etanol absolut, dan praktis tidak larut dalam benzena dan kloroform. Titik lebur p-aminofenol 189,6oC – 190,2oC dan titik didihnya 284oC (Anonim, 1996). Senyawa p-aminofenol bersifat amfoter, dapat membentuk garam dengan penambahan asam maupun basa. Bentuk garam p-aminofenol ini lebih mudah larut dalam air dibandingkan dengan bentuk utuh p- 6 aminofenol. Sifat amfoter p-aminofenol terlihat pada gambar 5 (Mitchell dkk., 2003). i. Na p-aminofenol p-aminofenol p-aminofenol HCl Gambar 3. Sifat amfoter dari p-aminofenol Senyawa p-aminofenol memiliki aktivitas analgetik dan antipiretik yang baik seperti parasetamol contohnya tetapi memiliki efek toksik yaitu hepatotoksis. Oleh karena itu, diperlukan modifikasi dari struktur paminofenol untuk menambah aktivitasnya dan mengurangi efek toksiknya. Contoh modifikasinya terdapat pada tabel I (Siswandono, 2000). 7 Tabel I. Modifikasi p-aminofenol R1 NHR2 R1 R2 Nama Senyawa OH H p-aminofenol OCH3 H Anisidin OC2H5 H Fenetidin OH COCH3 Parasetamol OC2H5 COCH3 Fenasetin COCH3 Fenetsal O C O HO Senyawa p-aminofenol adalah produk metabolit anilin, toksisitasnya lebih kecil daripada orto dan meta aminofenol, mempunyai aksi analgetika antipiretika kuat tetapi terlalu toksik untuk digunakan sebagai obat, oleh karena itu dilakukan beberapa modifikasi untuk mengurangi toksisitasnya. Modifikasi dilakukan pada gugus amina, fenol atau keduanya dengan tujuan untuk mendapatkan senyawa yang lebih poten dan kurang toksisitasnya dibanding paminofenol. Senyawa-senyawa hasil modifikasi p-aminofenol diantaranya N,N-dipropionil-paminofenol mempunyai aktivitas analgetik lebih rendah dibandingkan parasetamol dan 8 N-metil parasetamol mempunyai aktivitas analgetik setara dengan parasetamol (Pudjono, 1984). c. Urea Gambar 4. Struktur Urea Urea atau karbamida atau karbonildiamida mempunyai rumus molekul CH4N2O dengan bobot molekul 60.06 gram/mol dengan titik lebur 132.7oC. Urea mudah larut dalam air, alkohol absolut, metanol, gliserol, sukar larut dalam kloroform dan eter, larut dalam kondisi asam (HCl) (Anonim, 1996). Urea sangat mudah terdekomposisi termal pada suhu diatas titik lebur urea yaitu 132,7oC (Chen & Isa, 1998) juga dapat terhidrolisis dengan adanya lingkungan berair dan etanol (Morrison & Boyd, 2002) serta adanya katalis basa kuat seperti NaOH dapat bereaksi dengan urea membentuk senyawa lain (Vogel, 2005). Maka ketika menggunakan urea dalam sintesis harus dhindari hal-hal tersebut. 9 d. β-naftol Gambar 5. Struktur β-naftol β - naftol atau 2-naftol atau 2-naftalenol atau β – hidroksinaftalen atau isonaftol merupakan senyawa dengan gugus hidroksi yang terikat pada inti benzen dengan posisi nomor 2. Senyawa ini mempunyai rumus molekul C10H8O dengan bobot molekul 144.17 gram/mol dan titik lebur 121oC – 123oC serta titik didih 285oC – 286oC. β - naftol sedikit larut dalam air, mudah larut dalam alkohol, kloroform, eter, gliserol, olive oil, dan alkali hidroksida (Anonim, 1996). 2. Uji Kemurnian a. Rekristalisasi Rekristalisasi adalah teknik umum yang digunakan untuk memurnikan padatan organik. Kebanyakan padatan organik mempunyai bentuk kristal yang teratur. Semakin kristal, semakin baik juga penataan dalam kristal. Hal ini memungkinkan untuk menata diri menjadi senyawa yang sangat murni dengan jarak titim lebur yang tajam. Pengotor-pengotor (impurities) dalam suatu sampel dapat menyebabkan suatu gangguan 10 dalam penataan bentuk kristal, akibatnya pembentukan kristal menjadi tidak sempurna dan akan menurunkan titik lebur padatan organik. Rekristalisasi bergantung pada penurunan kelarutan padatan dalam suatu solven atau campuran pada suhu yang sangat rendah. Pada kasus sederhana, rekristalisasi dilakukan dengan melarutkan sejumlah bahan yang berbentuk padatan, minyak atau semipadat ke dalam solven, prosedur ini berjalan lebih efektif dengan bantuan pemanasan untuk melarutkan bahan tersebut secara sempurna. Larutan yang hangat tersebut kemudian dibiarkan mendingin hingga temperatur kamar (atau lebih rendah lagi). Kristal-kristal yang seragam dengan lambat bermunculan setelah semalam atau lebih. Kristal yang ada diisolasi (dengan penyaringan dan pengeringan udara, sebagai contoh dengan corong Buchner) dan diperiksa kemurniannya (dengan pemeriksaan titik lebur, GC, NMR, KLT, IR, dan sebagainya). Pertimbangan pertama dalam merencanakan rekristalisasi ialah pemilihan solven. Petunjuk praktis yang disarankan ialah bahwa sampel padatan harus mempunyai kelarutan dalam solven panas lima kali lebih besar daripada dalam solven dingin (Shriner et al., 1980). b. Pemeriksaan Titik Lebur Titik lebur suatu senyawa merupakan rentang suhu dimana fase padat berubah menjadi cair. Titik lebur suatu senyawa murni sangat bergantung pada tipe zatnya apakah atomik, molekuler, ionik, atau metalitik dan juga atom-atom tertentu yang menyusun zat tersebut (Pipal, 11 1997). Titik lebur yang tajam mendukung kemurnian sampel. Adanya pengotor dalam jumlah yang lebih kecil baik itu yang bercampur maupun yang bercampur sebagian, akan menghasilkan suatu peningkatan jarak titik lebur dan menyebabkan mulainya peleburan berada pada suhu di bawah titik lebur senyawa murni (Vogel, 1964). Jika rentang titik lebur lebih dari 2oC, senyawa tersebut harus direkristalisasi (Shriner et al., 1980). c. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan bentuk kromatografi planar, selain kromatografi kertas dan elektroforesis. Berbeda dengan kromatografi kolom yang mana fase diamnya diisikan atau dikemas di dalamnya, pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat plastik. KLT digunakan secara luas untuk analisis solut-solut organik terutama dalam bidang biokimia, farmasi, klinis, forensik, baik untuk analisis kualitatif dengan cara membandingkan nilai Rf solut dengan nilai Rf senyawa baku atau untuk analisis kuantitatif dengan densitometer. Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah dibandingkan dengan kromatografi kolom, peralatannya lebih sederhana dan dapat dilakukan setiap saat secara cepat (Gandjar dan Rohman, 2007). Pemisahan senywa berwarna biasanya diamati secara visual. Senyawa tersebut menyerap sejumlah porsi tertentu dari cahaya 12 polikromatik (putih) yang berada pada rentang panjang gelombang visibel. Sedangkan senyawa tak berwarna menyerap pada panjang gelombang yang lebih rendah dari rentang panjang gelombang visibel (rentang UV yang dipakai untuk analisis adalah 200-400 nm). Senyawa tersebut biasanya dapat dideteksi dengan menggunakan detektor yang sensitif UV (photomultiplier). Senyawa yang menyerap pada rentang UV dapat distimulasi supaya terjadi fluoresensi atau fosforesensi (luminisensi) sehingga dapat dideteksi secara visual ketika senyawa tersebut di-irradiasi dengan lampu UV. Fluoresensi muncul pada senyawa-senyawa organik, di lain pihak, fosforesensi terjadi pada senyawa anorganik (Jork et al., 1990). Parameter dasar yang digunakan untuk menggambarkan migrasi pada KLT adalah harga Rf, dimana : Rf = πππππ π¦πππ πππ‘ππππ’β πππβ π πππ’π‘ πππππ π¦πππ πππ‘ππππ’β πππβ πππ π πππππ Harga Rf bervariasi dari 1 hingga 0, atau dari 100 hingga 0 jika dikalikan dengan 100. Identifikasi senyawa pada KLT berdasarkan pada harga Rf yang dibandingkan dengan standar yang otentik. Faktor yang menyebabkan harga Rf antara lain ukuran dan jenis chamber, sifat dan ukuran lapisan, arah aliran fase gerak, volume dan komposisi fase gerak, kondisi kesetimbangan, kelembaban dan metode preparasi sampel (Sherma, 1996). 13 3. Elusidasi struktur a. Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel (UV-VIS) Spektra visibel dan ultraviolet senyawa-senyawa organik berhubungan dengan transisi di antara tingkat energi elekronik. Perubahan tingkat energi elektronik pada suatu molekul memerlukan cahaya pada daerah ultraviolet (70-300 kkal/mol) atau daerah visibel (40-70 kkal/mol). Energi ini dibutuhkan untuk melakukan transisi elektronik yang melibatkan elektron-elektron valensi. Transisi tersebut pada umumnya antara suatu orbital ikatan atau pasangan bebas dengan suatu orbital kosong atau anti-ikatan (Strreitwieser and Heathcock, 1976). Irradiasi senyawa organik mungkin atau mungkin saja tidak menyebabkan eksitasi elektron dari satu orbital (biasanya suatu orbital pasangan bebas atau ikatan) menuju orbital yang lain (biasanya orbital kosong atau anti-ikatan). Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan : ε = 0,87x1020 x P . a dimana P adalah probabilitas transisi (dengan nilai dari 0 hingga 1) dan a adalah area target sistem pengabsorpsi, sistem pengabsorpsi ini biasanya disebut kromofor. Semakin panjang kromofor, semakin intens absorpsinya. Ketika lebih dari dua orbital ikatan π saling tumpang tindih, yaitu ketika kromofor merupakan suatu sistem terkonjugasi yang panjang, pemisahan tingkat-tingkat energi direduksi dan absorpsi akan terjadi pada panjang gelombang yang lebih panjang. Adanya auksokrom pada suatu kromofor akan menghasilkan suatu pergeseran merah (red shift), yaitu suatu 14 pergeseran absorpsi menuju panjang gelombang yang lebih panjang (Williams and Fleming, 1997). b. Spektroskopi Massa Dalam bentuknya yang paling sederhana,spektrofotometer massa didesain untuk melakukan tiga fungsi dasar : merupakan senyawa dengan berbagai keatsiriannya, memproduksi ion-ion dari molekul fase gas yang terjadi (kecuali dimana prose volatilisasi secara langsung menghasilkan ion-ion daripada molekul netral) dan memisahkan ion menurut perbandingan massa per muatan (m/z) dan secara urut mendeteksi dan mencatatnya (Williams and Fleming, 1997). Ketika massa dari elektron yang lepas itu sangat kecil maka massa ion molekul pada dasarnya sama dengan massa molekul utuhnya. Sehingga, spektrofotometer massa merupakan suatu alat untuk memproduksi dan mengukur ion-ion serta mampu memberikan informasi bobot molekul (Pavia et al., 1979). Keuntungan utama spektrofotometer massa sebagai teknik analisis ialah pada sensitivitasnya yang lebih tinggi dibanding teknik analisis yang lain, serta spesifisitasnya dalam mengenali senyawa tak diketahui. Spektrofotometer massa telah memberikan pemahaman yang rinci mengenai kinetik dan mekanisme dekomposisi unimolekuler suatu molekul (willard et al., 1988). 15 c. Spektroskopi Inframerah (IR) Spektra vibrasional memberikan informasi tentang gugus fungsional dalam suatu molekul. Transisi vibrasional dalam molekulmolekul menyebabkan absorpsi pada daerah inframerah dalm spektrum gelombang elektromagnetik, yang terbagi menjadi inframerah dekat (13.000-4.000 cm-1), inframerah tengah (4.000-400 cm-1) dan inframerah jauh (400-10 cm-1). Tabel II. Data absorpsi gugus-gugus dalam inframerah (Pavia, et al., 1979) 16 Spektrum pada bilangan panjang gelombang 1300-900 cm-1, dikenal sebagai daerah fingerprint. Pola absorbsi pada daerah ini begitu kompleks dengan pita-pita yang berasal dari mode vibrasional yang saling berinteraksi. Absorbsi pada daerah ini adalah unik untuk setiap jenis molekul (Silverstein and Webster, 1998). Karenanya, spektroskopi inframerah dapat digunakan untuk mengidentifikasi berbagai senyawa. d. Spektroskopi Resonansi Magnetik Inti (NMR) Spektrofotometri resonansi magnetik inti pada dasarnya merupakan bentuk lain dari spektrofotometri absorpsi, sama halnya dengan spektrofotometri IR atau UV. Fenomena resonansi magnetik inti didasarkan pada fakta bahwa inti-inti beberapa elemen tertentu mempunyai suatu momentum spin sudut dan suatu momen magnetik yang berkaitan. Ketika inti-inti tersebut ditempatkan pada suatu medan magnetik, inti-inti itu akan mengambil salah satu dari beberapa orientasi terkuantisasi yang tiap-tiap orientasinya berhubungan dengan suatu tingkay energi tertentu. Orientasi dengan energi terendah adalah orientasi saat momen magnetik inti paling sejajar dengan medan magnetik eksternal, sedangkan orientasi yang berenergi paling tinggi adalah orientasi yang paling tidak sejajar dengan medan magnetik eksternal. Radiasi elektromagnetik dengan frekuensi yang sesuai akan menimbulkan transisi menuju tingkat energi berikutnya. Hubungan antara 17 frekuensi elektromagnetik v dan kuat medan magnetik Bo diatur dengan persamaan Larmor : v= πΎπ΅π 2π dimana g adalah rasio giromagnetik dan merupakan suatu konstanta untuk suatu inti tertentu. Frekuensi pada saat inti tertentu beresonansi bergantung tidak hanya pada besarnya kuat medan eksternal dan rasio giromagnetik suatu inti, namun juga oleh faktor ketiga yaitu lingkungan molekular inti. Suatu inti tertentu akan memberikan sinyal NMR pada nilai yang berbeda apabila inti tersebut berada pada lingkungan kimiawi yang berbeda. Salah satu alasannya ialah adanya kabut elektron berputar di sekitar inti yang bersifat melindungi (shield) atau memproteksi inti. Hal ini dapat dikatakan bahwa inti tersebut memiliki geseran kimia (chemical shift) yang berbeda (Atta-ur-Rahman, 1986). Interpretasi spektra NMR dapat dikerjakan dengan mudah karena mempunyai detail yang lebih baik daripada spektra IR atau massa. Hal ini cukup untuk identifikasi suatu senyawa organik dengan objektif dan cepat (Silverstein and Webster, 1998). 4. Molecular Docking PLANTS Docking PLANTS (Protein-Ligand ANT-System) didasarkan pada kelas algoritma optimasi stokastik yang disebut optimasi koloni semut (ACO= Ant Colony Optimization). ACO terinspirasi oleh perilaku semut nyata menemukan jalan terpendek antara sarang dan sumber makanan. 18 Semut menggunakan komunikasi langsung dalam bentuk jalur feromon yang menandai jalur antara sarang dan sumber makanan. Dalam kasus docking protein-ligan, sebuah koloni semut buatan digunakan untuk menemukan konformasi energi minimum ligan di situs mengikat. Semut ini digunakan untuk meniru perilaku semut nyata dan menandai ligan konformasi energi rendah melalui jalur feromon. Informasi jejak feromon buatan yang diubah dalam pengulangan (iterasi) berikutnya digunakan untik menghasilkan konformasi energi rendah dengan probabilitas yang lebih tinggi. Dalam menggambarkan molecular energi docking total akan ikatan menghasilkan protein skor ligand. yang Dengan membandingkan skor suatu senyawa dengan senyawa lainnya, maka akan dapat dijelaskan kenapa senyawa yang satu lebih poten dibandingkan senyawa lain. Makin kecil skor suatu hasil docking berarti komplek protein-ligand makin stabil sehingga ligand (senyawa) makin poten. Dengan visualisasi ini maka akan terlihat asam amino apa saja yang berperan dalam menjaga stabilitas senyawa tersebut pada reseptornya ( bisa juga berupa enzim). PLANTS adalah program aplikasi molecular docking gratis yang diketahui memiliki kualitas seperti GOLD (aplikasi molecular docking yang berbayar). Software ini banyak digunakan di Eropa dan Amerika. PLANTS memiliki banysk kelebihsn, selain gratis, software ini sederhana dan mudah diaplikasikan. Namun, PLANTS tidak menyediakan fungsi 19 preparasi protein, ligan, maupun visualisasi. PLANTS tidak memiliki aplikasi untuk Windows, jadi hanya bisa dijalankan dengan LINUX (Purnomo, 2011). 5. Analisis diskoneksi Analisis diskoneksi adalah suatu teknik analitik untuk memutuskan ikatan-ikatan kimia pada molekul target sehingga diperoleh starting material yang lebih sederhana dan murah. Dari hasil analisis diskoneksi akan diperoleh sinton yang merupakan fragmen-fragmen dari molekul target dan pada umumnya berupa ion. Selanjutnya dilakukan penentuan ekivalen sintetik secara rasional untuk digunakan sebagai starting material. Ekivalen sintetik adalah molekul-molekul yang melaksanakan fungsi dari sinton. 20 Diskoneksi senyawa β-naftoil karbonil aminofenol : Molekul Target Sinton negatif Sinton positif p-aminofenol Sinton positif Sinton negatif 21 β-naftol urea Jadi, starting material senyawa β-naftoil karbonil aminofenol adalah : β-naftol urea p-aminofenol Gambar 6. Diskoneksi Senyawa β-naftoil karbonil aminofenol 6. Nyeri Nyeri sebenarnya berfungsi sebagai tanda adanya penyakit atau kelainan dalam tubuh dan merupakan bagian dari proses penyembuhan. Nyeri perlu dihilangkan jika telah mengganggu aktivitas tubuh (Priyanto, 2010). Rasa nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang muncul ketika ada jaringan rusak dan akan menyebabkan individu bereaksi dengan cara memindahkan stimulus (Guyton,2006). Nyeri timbul ketika rangsang mekanik, termal, kimia atau listrik melewati suatu nilai ambang tertentu yang disebut dengan nilai ambang nyeri sehingga akan menyebabkan kerusakan jaringan dengan pembebasan senyawa atau mediator-mediator 22 rasa nyeri (Mutschler, 1991). Ambang rasa nyeri individu tergantung pada kondisi emosional, suasana hati, dan faktor psikologi lain. Pada keadaan gangguan saraf, ambang rasa nyeri mungkin meningkat dan menurun dengan nyata (Drill,1958). Mediator-mediator nyeri yang terpenting adalah histamin, serotonin, plasmakinin yang antara lain bradikinin, prostaglandin, dan ion kalium. Senyawa tersebut dapat mengakibatkan reaksi radang dan kejangkejang dari jaringan otot, yang selanjutnya mengaktivasi reseptor rasa nyeri. Plasmakinin adalah peptida yang terbentuk dari protein plasma, sedangkan prostaglandin adalah senyawa yang mirip asam lemak, terbentuk dari asam-asam lemak esensial. Kedua jenis zat ini berkhasiat sebagai vasodilatasi kuat dan memperbesar permeabilitas kapiler-kapiler sehingga mengakibatkan radang dan udema (Tan dan Raharja, 1991). Nyeri menurut tempat terjadinya dibagi atas nyeri somatik dan nyeri dalam atau viseral. Nyeri somatik adalah nyeri yang berasal dari kulit, otot, persendian, tulang atau jaringan ikat. Sedangkan nyeri dalam atau viseral terjadi antara lain pada tegangan otot perut, kejang otot polos, aliran darah kurang dan penyakit yang disertai radang (Mutschler, 1991). Nyeri minimal disebabkan karena 2 hal yaitu iritasi lokal yang menstimulasi saraf perifer dan adanya persepsi atau pengenalan nyeri oleh sistem syaraf pusat (SSP). Pengenalan nyeri bersifat psikologis terhadap adanya nyeri lokal yang disampaikan ke sistem syaraf pusat (Priyanto, 2010). Rasa sakit dapat dibagi menjadi dua macam rasa sakit utama yaitu 23 rasa sakit akut dan rasa sakit lambat. Bila diberikan stimulus sakit maka rasa sakit akut akan timbul dalam waktu kira-kira 0,1 detik, sedangkan rasa sakit lambat timbul setelah satu detik atau lebih kemudian secara perlahan bertambah dalam beberapa detik dan kadangkala beberapa menit (Guyton,2006). Intensitas stimulus yang menimbulkan rasa sakit dapat diukur dengan berbagai macam cara, namun yang umum dipakai adalah dengan cara menusuk kulit dengan sebuah jarum yang tekanannya dapat diukur, menekan sebuah benda padat pada tulang yang menonjol dan tekanannya dapat diukur. Untuk beberapa titik pemeriksaan yang terakhir ini terbukti akurat. Intensitas stimulus yang paling rendah menyatakan sensasi sakit yang timbul sewaktu pemberian stimulus selama jangka waktu lama yang disebut ambang rasa sakit. Pada umumnya rasa sakit mulai terasa bila suhu kulit mencapai 45oC dan kebanyakan orang merasakan sakit sebelum mencapai 47oC (Guyton,1986). Nyeri dan proses peradangan serta timbulnya demam dan keluhan nyeri yang lainnya seperti dismenorea terjadi karena teraktivasinya reseptor nyeri yang akibatnya terlepasnya mediator nyeri yaitu prstaglandin E2 (PGE2) yang merupakan prostaglandin yang paling lazim ditemukan dalam tubuh. PGE2 adalah vasodilator kuat yang merelaksasikan otot polos bronkus dan memodulasi pengaruh mediator lain seperti histamin dan kinin dalam meningkatkan permeabilitas pembuluh dan menghasilkan rasa nyeri (Mutschler, 1991). 24 Ada 2 macam enzim yang memacu pembentukan prostaglandin, yaitu siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2). Ekspresi dari COX-1 bersifat konstitutif yaitu selalu ada sedangkan ekspresi COX-2 dapat diinduksi dan keberadaannya sangat tergantung pada stimulus. COX-1 terdistribusi secara luas dengan fungsi sebagai pemelihara misalnya sitoprotektif lambung. Sebaliknya, COX-2 adalah produk gen yang cepat terjadi sebagai respon awal dalam inflamasi dan sel imun serta dapat distimulasi 10-18 kali oleh faktor pertumbuhan, promoter tumor, dan sitokin (Mutschler,1991). Bagan biosintesis prostaglandin : 25 Trauma/ luka pada sel Gangguan pada membran sel Fosfolipid Enzim fosfolipase Dihambat kortikosteroid Asam Arakhidonat Enzim lipoksigenase Enzim siklooksigenase Dihambat oleh AINS (serupa aspirin) Hidroperoksida Endoperoksida PGG2/ PGH Leukotrien PGE2, PGF2, PGd2 Prostasiklin Tromboksan A2 Gambar 7. Bagan biosintesis prostaglandin (Wilmana, 1995) Prostaglandin terbentuk dari asam-asam lemak esensial. Senyawa ini dapat memberi vasodilatasi kuat dan memperbesar permeabilitas kapiler-kapiler sehingga mengakibatkan radang dan udema. Prostaglandin 26 berfungsi melindungi mukosa lambung dan menurunkan produksi asam lambung. Obat-obatan non narkotik bekerja pada COX-1 dan COX-2 sehingga pembentukan prostaglandin terhambat. Karena efeknya dan inaktifasinya yang tinggi bersifat lokal, maka prostaglandin juga merupakan mediator bagi demam. Demam merupakan reaksi pertahanan tubuh terhadap infeksi. Pada keadaan demam, Prostaglandin E1 (PGE1) dan prostaglandin E2 (PGE2) meningkatkan suhu tubuh, terutama apabila diberikan ke dalam ventrikel serebral. Pirogen-pirogen merilis interleukin1 yang pada gilirannya akan meningkatkan sintesis dan pelepasan PGE2. Sintesis ini dihambat oleh aspirin dan senyawa antipiretik seperti parasetamol (Mutschler,1991). Derajat reaksi seseorang terhadap rasa sakit sangat banyak variasinya. Keadaaan ini sebagian disebabkan oleh kemampuan otak untuk mengatur besarnya sinyal rasa sakit yang masuk ke dalam sistem saraf dengan cara aktivasi sistem pengatur rasa sakit, yang disebut analgetika. Ada beberapa macam bahan transmiter yang ikut dalam sistem analgetika, khususnya bahan enkefalin dan serotonin. Sistem analgetika ini dapat memblok sinyal sakit pada tempat masuknya ke dalam medula spinalis (Guyton, 2006). 7. Parasetamol Parasetamol atau asetaminofen yang mempunyai nama kimia N-(4Hydroxyphenyl) acetamide ini mempunyai rumus molekul C8H9NO2, 27 dengan bobot molekul 151,17 g/mol. Parasetamol mudah larut dalam air, sangat larut dalam air panas, larut dalam metanol, etanol, dimetilformamida, etilen diklorida, aseton, etil asetat, dan eter. Praktis tidak larut dalam petroleum eter,pentana dan benzena dan mempunyai struktur seperti gambar 2 (Anonim,1996). Gambar 8. Struktur Parasetamol Parasetamol mempunyai aktivitas sebagai analgesik dan antipiretik dengan sedikit efek anti inflamasi (Chaerun, 2005). Parasetamol bekerja dengan menghambat sintesis prostaglandin di susunan syaraf pusat sehingga biasa digunakan untuk meredakan rasa sakit, nyeri, maupun demam tetapi tidak dapat menghambat sintesis prostaglandin di perifer, sehingga tidak efektif untuk radang, nyeri otot, dan arthritis (Priyanto, 2010). Mekanisme kerja parasetamol sebagai analgetika yaitu melalui pengurangan kadar peroksida sitoplasma. Peroksida diperlukan untuk mengubah senyawa ferro menjadi ferri sehingga akan mengaktifkan enzim COX-2, yang selanjutnya berperan dalam pembentukan prostaglandin sebagai mediator nyeri. Adanya penurunan kadar peroksida sitoplasma 28 maka enzim COX-2 yang aktif menjadi sedikit. Selain itu, parasetamol bekerja secara selektif terhadap penghambatan enzim COX-2. Parasetamol efektif sebagai analgetika dalam kondisi tidak ada atau sedikit infiltrasi leukosit (Neal, 2009). Parasetamol memiliki aktivitas antipiretik dengan cara pengaturan pusat panas atau termoregulasi di hipotalamus mengakibatkan terjadinya vasodilatasi perifer diikuti dengan pengeluaran panas dari dalam tubuh dan keringat (Tjay dan Rahardja, 2002). Pada keadaan normal parasetamol berikatan lemah dengan protein plasma dan sebagian dimetabolisme oleh enzim mikrosomal hati menjadi konjugat sulfat dan glukoronat yang tidak mempunyai aktivitas farmakologi. Parasetamol dimetabolisme di hati melalui reaksi fase II yakni reaksi konjugasi glukoronidasi dan sulfatasi dengan presentase 6090% lebih besar dibandingan dengan fase I yaitu enzim sitokrom P-450 dan isoenzim CYP2E1. Sedangkan metabolisme parasetamol menjadi NAPQI (N-Asetil Parabenzo-Quinon Imina) dikatalisis oleh sitokrom P450. Dalam dosis besar, sebagian metabolit aktif (NAPQI) dapat menyebabkan toksisitas pada hepar dan ginjal (Mutschler, 1986). Pada over dosis akut, terjadi nekrosis hepatic fatal dan terlihat setelah beberapa hari. Hepatitis toksik dapat terjadi pada pemakaian jangka panjang 5-8 gram/hari selama beberapa minggu atau 3-4 gram per hari selama satu tahun (Chaerun, 2005). Efek samping hepatotoksik parasetamol terjadi karena adanya ikatan kovalen antara muatan positif pada NAPQI dengan sel-sel hepar yang bersifat nukleofilik. Pada saat 29 konsentrasi NAPQI dalam darah lebih banyak dibandingkan konsentrasi tripeptida GSH (darah yang ada di hepar) maka sisa NAPQI tersebut akan diserang oleh nukleofil-nukleofil lain yang ada di dalam hepar namun tidak berperan dalam proses metabolisme. Nukleofil tersebut berasal dari adanya gugus –SH (thiol) yang terdapat di sel-sel hepar dan selanjutnya mempunyai kemampuan untuk menyerang sisa NAPQI yang bersifat elektrofil. Ikatan yang terbentuk antara NAPQI dan sel-sel hepar pada posisi orto dari gugus fenol parasetamol bersifat irreversible (tidak dapat diputus) dapat dilihat pada Gambar 3 (Roland, 1987). Gambar 9. Mekanisme hepatotoksik yang diinduksi parasetamol Secara klinik, keracunan parasetamol dapat meningkatkan kadar SGPT dan SGOT. Untuk mengetahui efek hepatotoksiknya dapat diminimalisir dengan pemberian asetilsistein, suatu obat yang juga bermanfaat sebagai mukolitik. Maka dari itu, walaupun aman obat ini 30 sebaiknya hanya diminum jika memang diperlukan. Jika dipakai pada dosis lazim tetapi dalam jangka panjang parasetamol juga dapat meningkatkan enzim SGPT dan SGOT yang merupakan parameter kerusakan hati (Priyanto, 2010). Apabila gugus alkil dari parasetamol diganti dengan satu cincin dengan lipofilisitas rendah, yaitu log P kurang dari 1,8 ternyata masih mempunyai aktivitas analgetika. Akan tetapi bila lipofilisitas dinaikkan diantara 1,8 sampai 4,4 maka akan memberikan aktivitas sebagai antiinflamasi. Sebagai contoh adalah senyawa benorilat suatu ester aspirin dengan parasetamol (logP = 1,97), mempunyai aktivitas sebagai analgetika dan antiinflamasi (Dearden et al., 1976). Parasetamol mempunyai aktivitas antiinflamasi yang sangat rendah diduga karena akan terhidrolisis menjadi p-aminofenol yang akan berikatan dengan asam arakidonat sehingga jalur menuju ke inflamasinya terhambat. Purnomo, et al., (2009) telah mensintesis turunan aminofenol, yakni 1,3-bis- (4-hidroksifenil) urea yang memberikan aktivitas analgetika 1,96 kali lebih poten dibandingkan parasetamol. 8. Analgetika Analgetika biasanya digunakan sendiri, tanpa saran dokter atau farmasis. Walaupun banyak orang berpikir bahwa analgetika sebagai obat tidak berbahaya yang lazim dipakai di rumah, penggunaan analgetika secara berlebihan, terutama ketika dipakai dalam jangka waktu yang lama 31 dapat menimbulkan masalah kesehatan. Analgetik merupakan obat yang digunakan untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran (Priyanto,2010). Secara garis besar, analgetika dibagi menjadi 2 jenis yaitu analgetik narkotik dan analgetik non narkotik. Selain berdasarkan struktur kimianya, pembagian juga didasarkan pada nyeri yang dapat dihilangkan. Analgetik narkotik dapat menghilangkan nyeri dari derajat sedang sampai berat, seperti karena infark jantung, operasi, viseral (organ), dan nyeri karena kanker. Analgetik narkotik merupakan turunan opium yang berasal dari tumbuhan Papaver somniferum atau dari senyawa sintetik. Penggunaan berulang dan tidak sesuai aturan dapat menimbulkan toleransi dan ketergantungan. Toleransi ialah adanya penurunan efek, sehingga untuk mendapatkan efek seperti semula perlu peningkatan dosis. Karena dapat menimbulkan ketergantungan, obat golongan ini penggunaannya diawasi secara ketat dan hanya untuk nyeri yang tidak dapat diredakan oleh AINS. Analgetik narkotik mengurangi nyeri dengan menurunkan persepsi nyeri atau menaikkan nilai ambang nyeri. Analgetik narkotik tidak mempengaruhi syaraf perifer, nyeri tetap ada tapi dapat diabaikan atau pasien dapat mentolerirnya. Untuk mendapatkan efek yang maksimal analgetik narkotik harus diberikan sebelum nyeri hebat terjadi, seperti sebelum tindakan bedah (Priyanto,2010). Semua analgetika narkotik dapat mengurangi nyeri yang hebat, tetapi potensi, onset, dan efek sampingnya berbeda-beda secara kualitatif 32 maupun kuantitatif. Efek samping yang paling sering adalah mual, muntah, konstipasi, dan ngantuk. Dosis besar dapat menyebabkan hipotensi serta depresi pernapasan. Morfin dan petidin merupakan analgetik narkotik yang paling banyak digunakan untuk nyeri hebat walaupun menimbulkan mual dan muntah. Selain menghilangkan nyeri, morfin dapat menimbulkan euforia dan gangguan mental. Contoh analgetik narkotik yang sampai sekarang masih digunakan di Indonesia yaitu : morfin HCl, kodein, fentanil HCl, petidin, dan tramadol. Khusus untuk tramadol, secara kimiawi memang tergolong narkotika tetapi menurut undang-undang tidak sebagai narkotik, karena kemungkinan menimbulkan ketergantungan kecil (Priyanto, 2010). Analgetik non narkotik berasal dari golongan antiinflamasi non steroid (AINS) yang menghilangkan nyeri ringan sampai sedang. Dibuat AINS karena selain sebagai analgetik, sebagian anggotanya mempunyai efek antiinflamasi dan penurun panas (antipiretik), dan secara kimiawi bukan steroid. Oleh karena itu, AINS sering disebut sebagai 3 A (analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi) namun ada beberapa AINS hanya berefek analgetik dan antipiretik. Hipotalamus merupakan bagian dari otak yang berperan dalam mengatur nyeri dan temperatur. AINS secara selektif dapat mempengaruhi hipotalamus menyebabkan penurunan suhu tubuh ketika demam. Mekanismenya kemungkinan menghambat sintesis prostaglandin (PG) yang menstimulasi SSP. PG dapat meningkatkan aliran darah ke perifer 33 (vasodilatasi) dan berkeringat sehingga panas banyak keluar dari tubuh. Efek analgetik muncul untuk mempengaruhi baik hipotalamus atau tempat yang cedera. Respon terhadap cedera umumnya berupa inflamasi, udem, serta pelepasan zat aktif seperti bradikinin, PG, dan histamin. PG dan bradikinin menstimulasi ujung syaraf perifer dengan membawa impuls nyeri ke SSP. AINS dapat menghambat sintesis PG dan bradikinin sehingga menghambat terjadinya aktivasi reseptor nyeri. Obat-obat yang banyak digunakan sebagai analgetika dan antipiretik adalah golongan salisilat dan asetaminofen (parasetamol). Aspirin adalah penghambat sintesis PG paling efektif dari golongan salisilat (Priyanto, 2010). Adapun penggolongan analgetika menurut Block dan Beale (2004) yaitu sebagai berikut : a. Morvin dan Derivatnya Beberapa senyawa yang termasuk adalah : morfin sebagai analgetik, kodein sebagai obat batuk untuk menekan batuk, diasetilmorfin (heroin) sebagai analgetik dan lain-lain. b. Antagonis Morfin Yang termasuk antagonis morfin yaitu nalorfon HCl, nalokson HCl, siklazosin, naltrekson, dan nalmefen HCl. c. Analgetik Anti Inflamasi Yang termasuk analgetik anti inflamasi adalah derivat asam salisilat (seperti natruium salisilat, magnesium salisilat, natrium tiosalisilat), asam N-arilantranilat (asam mefenamat dan natrium 34 meklofenamat), derivat asam arilasetat (indometasin, ibuprofen, ketoprofen, natrium dan kalium diklofenak, piroksikam, meloksikam,slekoksib, dan sebagainya). d. Derivat anilin dan p-aminofenol Beberapa senyawa yang termasuk golongan ini : anisidin, fenaldin, parasetamol, fenasetin, laktil fenetidil, fenakol, kriolin, pasetoksiasetanilid, fenetsal, dan pertonal. e. Derivat Pirazolon dan Pirazolidin Yang termasuk dalam golongan ini yaitu : antipirin, profifenason, amidopirin, dan metamfirin. Golongan ini saat ini sudah jarang digunakan. 9. Metode Pengujian Daya Analgetika Berbagai metode telah diusahakan untuk mengetahui besarnya rasa sakit dengan menggunakan hewan uji sehingga dapat membantu manusia dalam menemukan obat analgetika. Turner 1965 membagi metode pengujian efek analgetika berdasarkan jenis analgetikanya, yaitu : a. Analgetika golongan narkotika 1) Metode jepitan ekor Metode ini ditemukan oleh Bianchi dan Franceschini tahun 1954. Sekelompok tikus diinjeksi dengan senyawa uji dosis tertentu secara subkutan atau intravena. 30 menit kemudian jepitan arteri dari karet tipis dipasang pada pangkal ekor selama 35 30 menit. Tikus yang tidak diberi analgetika akan melepaskan diri dari jepitan tersebut karena rasa sakit tidak begitu dirasakan. Respon positif adanya daya analgetika dapat dicatat jika tidak ada usaha dari tikus untuk melepaskan diri dari jepitan (selama 15 menit). 2) Metode pengukuran tekanan Metode ini menggunakan alat untuk mengukur tekanan yang diberikan pada tikus secara seragam. Ekor tikus diletakkan di bawah penghisap syringe yang ketika diberikan tekanan akan memberikan tekanan pada ekor tikus. Manometer akan membaca ketika tikus memberikan respon. Respon tikus yang pertama adalah meronta-ronta kemudian akan mengeluarkan suara (mencicit) tanda kesakitan. 3) Metode rangsang panas Metode ini menggunakan lempeng panas (hot plate) yang terdiri dari silinder untuk mengendalikan. Hot plate bersuhu antara 50oC-55oC dilengkapi dengan pemanas yang berisi campuran yang sebanding antara aseton dan etil format yang mendidih. Tikus yang sudah diberi larutan uji secara subkutan atau peroral, diletakkan pada hot plate yang sudah disiapkan. Reaksi tikus adalah menjilat-jilat kakinya lalu akan melompat dari silinder. 4) Metode potensi petidin 36 Pada metode ini, dibutuhkan hewan uji dalam jumlah besar. Tiap kelompok tikus terdiri dri 20 ekor, setengah kelompok dibagi menjadi 3 bagian, diberi petidin dosis berturut-turut 2, 4, dan 8 mg/kgBB. Setengah kelompok lain diberi petidin dengan senyawa uji dengan dosis 25% dari LD50. Persen analgetika dihitung dengan bantuan rangsang panas. 5) Metode antagonis nalorfin Uji analgetika ini dibuat untuk menunjukkan aksi dari obat-obatan seperti morfin. Nalorfin memiliki kemampuan untuk meniadakan aksi dari morfin. Hewan yang biasa dipakai tikus, mencit, dan anjing. Hewan uji diberi obat dengan dosis toksik kemudian segera diikuti dengan pemberian nalorfin (0,5-10,0 mg/kgBB) secara intravena. Secara teori, nalorfin dapat menggantikan ikatan morfin dengan reseptornya. Peristiwa tersebut menyebabkan ikatan antara morfin dengan reseptornya terlepas sehingga meniadakan efek morfin. 6) Metode kejang oksitosin Oksitosin merupakan hormon yang dihasilkan oleh kelenjar pituitari posterior, yang dapat menyebabkan kontraksi uterus sehingga menimbulkan kejang pada tikus. Respon kejang ini meliputi kontraksi abdominal, sehingga menarik pinggang dan kaki belakang. Pengurangan kejang diamati da ED50 dapat 37 diperkirakan. Selain morfin, senyawa analgetika yang dapat diuji dengan metode ini adalah heroin, metadon, kofein, dan meperidin. 7) Metode pencelupan pada air panas Pada metode ini, tikus disuntik secara intraperitoneal dengan senyawa uji, kemudian ekor tikus dicelupkan dalam air panas (58oC). Respon tikus terlihat dari hentakan ekornya yang menghindari panas. b. Analgetika golongan non narkotika 1) Metode geliat rangsang kimia Dalam metode ini, rasa nyeri timbul dari rangsang kimia akibat pemberian zat kimia secara intraperitoneal pada hewan uji. Zat yang sering digunakan sebagai induktor rasa nyeri antara lain: asam asetat dan fenilkuinon. Metode ini cukup peka untuk pengujian senyawa-senyawa dengan daya analgetika lemah. Metode ini juga sederhana, reprodusibel, dan hasilnya spesifik. Pemberian senyawa analgetika akan mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri sehingga jumlah geliat yang timbul berkurang atau tidak terjadi sama sekali. Senyawa pembanding yang sering digunakan dalam metode ini adalah analgetika non narkotik yaitu asetosal dan sodium asetil asetat. Efek analgetika yang digambarkan dengan % daya analgetka dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : 38 % Daya Analgetika = 100% - (πΎπ π₯ 100 %) dimana, P = Jumlah kumulatif geliat individu mencit kelompok perlakuan K = Jumlah kumulatif geliat rerata mencit kelompok kontrol negatif. 2) Metode pododolarimeter Metode menggunakan aliran listrik untuk mengukur daya analgetika. Alas kandang tikus terbuat dari kepingan metal yang dapat mengalirkan arus listrik. Tikus diletakkan pada kandang tersebut kemudian dialiri listrik. Respon ditandai teriakan dari tikus tersebut. Pengukuran dilakukan setiap 10 menit selama 1 jam. 3) Metode rektodolarimeter Tikus diletakkan dalam sebuah kandang yang dibuat khusus dengan alas tembaga yang dihubungkan dengan sebuah penginduksi yang berupa gulungan. Ujung lain dari gulungan tersebut dihubungkan dengan silinder elektroda tembaga. Sebuah voltmeter yang sensitif untuk mengubah 0,1 volt dihubungkan dengan konduktor yang berada di gulungan atas. Tegangan sering digunakan untuk menimbulkan teriakan mencit adalah 1 sampai 2 volt (Turner,1965). 39 F. Landasan Teori Berdasarkan penelitian-penelitian yang sebelumnya oleh Purnomo, et al yang memodifikasi turunan p-aminofenol menjadi senyawa 1,3-bis-(4-hidroksi fenil) urea menunjukkan bahwa modifikasi gugus fungsi pada senyawa paminofenol dapat meningkatkan aktivitas analgetika yang lebih poten dan kurang toksisitasnya jika dibandingkan dengan senyawa penuntun parasetamol. Senyawa β-naftoil karbonil aminofenol ini diperoleh dengan mereaksikan antara paminofenol, urea, dan β-naftol. Senyawa β-naftoil karbonil aminofenol diprediksi mempunyai daya analgetika yang lebih poten dibandingkan dengan parasetamol. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil skor docking terhadap 6COX.PDB yang merupakan kompleks antara SC-58 (native ligand) dan enzim COX-2. Peran dari reseptor 6COX adalah pada saat pembentukan prostaglandin, native ligand yaitu SC-58 akan berikatan dengan reseptor 6COX sehingga akan mengaktifkan COX-2 dalam pembentukan prostaglandin yang dimana prostaglandin inilah yang akan menjadi mediator nyeri. Skor docking untuk senyawa hasil sintesis yaitu β-naftoil karbonil aminofenol adalah -94.7624 dan skor docking untuk parasetamol adalah 67.4556. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa senyawa β-naftoil karbonil aminofenol memiliki nilai yang lebih rendah daripada parasetamol yang berarti bahwa energi senyawa β-naftoil karbonil aminofenol lebih rendah daripada parasetamol sehingga ikatan yang stabil antara β-naftoil karbonil aminofenol dengan enzim COX-2 pada reseptor 6COX dapat meningkatkan potensi daya analgetika dibandingkan dengan parasetamol. Oleh karena itu, perlu uji aktivitas 40 analgetika untuk membuktikan senyawa β-naftoil karbonil aminofenol memiliki potensi analgetika yang lebih poten dibandingkan dengan paraetamol. G. Hipotesis 1. Senyawa β-naftoil karbonil aminofenol dapat disintesis dari reaksi antara paminofenol, urea dan β-naftol. 2. Sintesis senyawa β-naftoil karbonil aminofenol mempunyai efek analgetika yang lebih poten dibandingkan dengan parasetamol.