BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan pertumbuhan penduduk di Indonesia yang bertambah besar
dari tahun ke tahun dilihat dari data sensus penduduk oleh badan pusat statistik
tahun 2014 yang mencapai 252164.80 ribu jiwa sehingga kebutuhan akan obat di
Indonesia pun akan semakin besar pula. Untuk menunjang hal tersebut maka perlu
dilakukan berbagai penelitian tentang pengembangan obat-obatan, yang salah
satunya yaitu obat pereda nyeri atau obat analgetika. Analgetika adalah obat yang
menghilangkan rasa nyeri dengan cara menurunkan nilai ambang nyeri pada
susunan syaraf pusat di otak tanpa menekan kesadaran (Djamhuri, 1995).
Ada dua jenis analgetika yang dibagi berdasarkan struktur kimia dan nyeri
yang dapat dihilangkan, yaitu analgetika narkotik dan analgetika non narkotik.
Analgetika narkotik merupakan turunan opium yang berasal dari tumbuhan
Papaver somniferum atau dari senyawa sintetik yang dapat menghilangkan nyeri
dari skala sedang hingga berat yang bersumber dari organ viseral. Sedangkan,
analgetik non narkotik berasal dari golongan antiinflamasi non steroid (AINS)
yang menghilangkan nyeri ringan hingga sedang. AINS selain sebagai analgetik,
juga memiliki efek antiinflamasi dan penurun panas yang disebut antipiretik
(Priyanto,2010). Obat-obat pereda nyeri banyak digunakan masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari yang dimana pada obat pereda nyeri tersebut mempunyai
efek samping yang tergantung pada strukturnya. Obat pereda rasa nyeri yang
1
2
beredar dipasaran sangat banyak namun yang paling banyak digunakan adalah
parasetamol.
Parasetamol merupakan turunan senyawa sintetis dari p-aminofenol yang
memberikan efek analgetika dan antipiretika. Senyawa ini mempunyai nama
kimia N-asetil-p-aminofenol atau p-asetamidofenol atau 4’-hidroksiasetanilid,
bobot molekul 151,16 dengan rumus kimia C8H9NO2. Parasetamol mempunyai
kemampuan meredakan nyeri yang baik dan sedikit memberikan efek anti
inflamasi serta tidak mengiritasi lambung. Parasetamol bekerja dengan
menghambat sintesis prostaglandin di otak tetapi kecil aktivitasnya sebagai
inhibitor prostaglandin perifer. Metabolisme parasetamol terutama di hati dengan
membentuk konjugasi dengan asam glukoronat, sulfat dan glutation merupakan
metabolit non toksik yang akan diekskresikan melalui urin jika dikonsumsi dalam
jumlah normal. Namun jika parasetamol digunakan dalam jangka waktu yang
lama atau penggunaan diluar dosis lazimnya dapat menyebabkan terbentuknya
metabolit toksik NAPQI (N-asetil-p-benzoquinone imina)
yang bersifat
hepatotoksis (Chaerun,2005).
Oleh karena itu, maka dilakukan sintesis turunan p-aminofenol lain yang
akan memiliki aktivitas analgetika yang lebih baik dibanding parasetamol dan
efek samping yang lebih rendah pula dibanding parasetamol. Sintesis senyawa paminofenol yang akan disintesis adalah senyawa β-naftoil karbonil aminofenol
yang secara in-siliko dengan menggunakan aplikasi molecular docking PLANTS
didapatkan
score
docking
analgetika
-94.7624
hepatotoksisitasnya
-22.0585
sedangkan
skor
dan
docking
score
analgetika
docking
untuk
3
parasetamol adalah -67.4556 dan skor docking hepatotoksisitasnya parasetamol 61.6038. Dari hasil score docking tersebut, diketahui bahwa skor docking
senyawa β-naftoil karbonil aminofenol lebih kecil dibandingkan dengan
parasetamol maka ikatannya dengan enzim COX-2 akan lebih stabil yang
diharapkan senyawa β-naftoil karbonil aminofenol akan memiliki aktivitas
analgetika yang lebih tinggi dan efek samping yang lebih rendah dari turunan paminofenol seperti halnya parasetamol.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hasil sintesis β-naftoil karbonil aminofenol dari paminofenol, urea dan β-naftol?
2. Apakah senyawa β-naftoil karbonil aminofenol dapat meningkatkan
daya analgetika dibandingkan parasetamol?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mensintesis dan menguji aktivitas analgetik senyawa turunan paminofenol yang lebih baik dibanding parasetamol.
2. Tujuan khusus
1. Mensintesis senyawa β-naftoil karbonil aminofenol dari p-aminofenol
dan β-naftol.
2. Menentukan daya analgetik senyawa β-naftoil karbonil aminofenol
dengan metode geliat.
4
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan menghasilkan senyawa
baru yang berpotensi untuk dipatenkan.
E. Tinjauan Pustaka
1. Sintesis β-naftoil karbonil aminofenol
a. β-naftoil karbonil aminofenol
Gambar 1. Struktur β-naftoil karbonil aminofenol
Senyawa β-naftoil karbonil aminofenol merupakan senyawa yang
akan disintesis yang merupakan hasil reaksi dari urea, β-naftol dan paminofenol. β-naftoil karbonil aminofenol memiliki bobot molekul 279
gram/mol. Senyawa β-naftoil karbonil aminofenol ini diduga memiliki
aktivitas analgetik yang lebih baik dibanding turunan p-aminofenol yang
lain seperti parasetamol. Hal ini dilihat dari hasil molecular docking
dengan PLANTS yang didapatkan skor docking sebesar -94.7624
sedangkan parasetamol skor dockingnya -67.4556. Dari hasil tersebut
diketahui bahwa senyawa β-naftoil karbonil aminofenol mempunyai nilai
skor docking yang lebih kecil yang menandakan bahwa aktivitas
analgetiknya lebih baik dan angka minus (-) yang didapat menandakan
5
bahwa ikatan antara protein dan ligan kuat sehingga efek analgetiknya
lebih kuat.
b. p-aminofenol
Para
aminofenol
atau
p-hidroksianilin
atau
4-amino-1-
hidroksibenzena ini merupakan senyawa dengan adanya gugus amina dan
hidoksi pada posisi para dari inti benzena. Rumus molekul senyawa ini
yaitu C6H7NO dengan bobot molekul 109,13 gram/mol dan mempunyai
struktur pada gambar 4 (anonim, 1996).
c.
d.
e.
f.
g.
h.
Gambar 2. Struktur p-aminofenol
Senyawa p-aminofenol sedikit larut dalam air, larut dalam etil metil
keton, laut dalam etanol absolut, dan praktis tidak larut dalam benzena dan
kloroform. Titik lebur p-aminofenol 189,6oC – 190,2oC dan titik didihnya
284oC (Anonim, 1996).
Senyawa p-aminofenol bersifat amfoter, dapat membentuk garam
dengan penambahan asam maupun basa. Bentuk garam p-aminofenol ini
lebih mudah larut dalam air dibandingkan dengan bentuk utuh p-
6
aminofenol. Sifat amfoter p-aminofenol terlihat pada gambar 5 (Mitchell
dkk., 2003).
i.
Na p-aminofenol
p-aminofenol
p-aminofenol HCl
Gambar 3. Sifat amfoter dari p-aminofenol
Senyawa p-aminofenol memiliki aktivitas analgetik dan antipiretik
yang baik seperti parasetamol contohnya tetapi memiliki efek toksik yaitu
hepatotoksis. Oleh karena itu, diperlukan modifikasi dari struktur paminofenol untuk menambah aktivitasnya dan mengurangi efek toksiknya.
Contoh modifikasinya terdapat pada tabel I (Siswandono, 2000).
7
Tabel I. Modifikasi p-aminofenol
R1
NHR2
R1
R2
Nama Senyawa
OH
H
p-aminofenol
OCH3
H
Anisidin
OC2H5
H
Fenetidin
OH
COCH3
Parasetamol
OC2H5
COCH3
Fenasetin
COCH3
Fenetsal
O
C
O
HO
Senyawa
p-aminofenol
adalah
produk
metabolit
anilin,
toksisitasnya lebih kecil daripada orto dan meta aminofenol, mempunyai
aksi analgetika antipiretika kuat tetapi terlalu toksik untuk digunakan
sebagai obat, oleh karena itu dilakukan beberapa modifikasi untuk
mengurangi toksisitasnya. Modifikasi dilakukan pada gugus amina, fenol
atau keduanya dengan tujuan untuk mendapatkan senyawa yang lebih
poten dan kurang toksisitasnya dibanding paminofenol. Senyawa-senyawa
hasil modifikasi p-aminofenol diantaranya N,N-dipropionil-paminofenol
mempunyai aktivitas analgetik lebih rendah dibandingkan parasetamol dan
8
N-metil parasetamol mempunyai aktivitas analgetik setara dengan
parasetamol (Pudjono, 1984).
c. Urea
Gambar 4. Struktur Urea
Urea atau karbamida atau karbonildiamida mempunyai rumus
molekul CH4N2O dengan bobot molekul 60.06 gram/mol dengan titik
lebur 132.7oC. Urea mudah larut dalam air, alkohol absolut, metanol,
gliserol, sukar larut dalam kloroform dan eter, larut dalam kondisi asam
(HCl) (Anonim, 1996).
Urea sangat mudah terdekomposisi termal pada suhu diatas titik
lebur urea yaitu 132,7oC (Chen & Isa, 1998) juga dapat terhidrolisis
dengan adanya lingkungan berair dan etanol (Morrison & Boyd, 2002)
serta adanya katalis basa kuat seperti NaOH dapat bereaksi dengan urea
membentuk senyawa lain (Vogel, 2005). Maka ketika menggunakan urea
dalam sintesis harus dhindari hal-hal tersebut.
9
d. β-naftol
Gambar 5. Struktur β-naftol
β - naftol atau 2-naftol atau 2-naftalenol atau β – hidroksinaftalen
atau isonaftol merupakan senyawa dengan gugus hidroksi yang terikat
pada inti benzen dengan posisi nomor 2. Senyawa ini mempunyai rumus
molekul C10H8O dengan bobot molekul 144.17 gram/mol dan titik lebur
121oC – 123oC serta titik didih 285oC – 286oC. β - naftol sedikit larut
dalam air, mudah larut dalam alkohol, kloroform, eter, gliserol, olive oil,
dan alkali hidroksida (Anonim, 1996).
2. Uji Kemurnian
a.
Rekristalisasi
Rekristalisasi adalah teknik umum yang digunakan untuk
memurnikan padatan organik. Kebanyakan padatan organik mempunyai
bentuk kristal yang teratur. Semakin kristal, semakin baik juga penataan
dalam kristal. Hal ini memungkinkan untuk menata diri menjadi senyawa
yang sangat murni dengan jarak titim lebur yang tajam. Pengotor-pengotor
(impurities) dalam suatu sampel dapat menyebabkan suatu gangguan
10
dalam penataan bentuk kristal, akibatnya pembentukan kristal menjadi
tidak sempurna dan akan menurunkan titik lebur padatan organik.
Rekristalisasi bergantung pada penurunan kelarutan padatan dalam
suatu solven atau campuran pada suhu yang sangat rendah. Pada kasus
sederhana, rekristalisasi dilakukan dengan melarutkan sejumlah bahan
yang berbentuk padatan, minyak atau semipadat ke dalam solven, prosedur
ini berjalan lebih efektif dengan bantuan pemanasan untuk melarutkan
bahan tersebut secara sempurna. Larutan yang hangat tersebut kemudian
dibiarkan mendingin hingga temperatur kamar (atau lebih rendah lagi).
Kristal-kristal yang seragam dengan lambat bermunculan setelah semalam
atau lebih. Kristal yang ada diisolasi (dengan penyaringan dan pengeringan
udara,
sebagai
contoh
dengan
corong
Buchner)
dan
diperiksa
kemurniannya (dengan pemeriksaan titik lebur, GC, NMR, KLT, IR, dan
sebagainya). Pertimbangan pertama dalam merencanakan rekristalisasi
ialah pemilihan solven. Petunjuk praktis yang disarankan ialah bahwa
sampel padatan harus mempunyai kelarutan dalam solven panas lima kali
lebih besar daripada dalam solven dingin (Shriner et al., 1980).
b. Pemeriksaan Titik Lebur
Titik lebur suatu senyawa merupakan rentang suhu dimana fase
padat berubah menjadi cair. Titik lebur suatu senyawa murni sangat
bergantung pada tipe zatnya apakah atomik, molekuler, ionik, atau
metalitik dan juga atom-atom tertentu yang menyusun zat tersebut (Pipal,
11
1997). Titik lebur yang tajam mendukung kemurnian sampel. Adanya
pengotor dalam jumlah yang lebih kecil baik itu yang bercampur maupun
yang bercampur sebagian, akan menghasilkan suatu peningkatan jarak titik
lebur dan menyebabkan mulainya peleburan berada pada suhu di bawah
titik lebur senyawa murni (Vogel, 1964). Jika rentang titik lebur lebih dari
2oC, senyawa tersebut harus direkristalisasi (Shriner et al., 1980).
c.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan bentuk kromatografi
planar, selain kromatografi kertas dan elektroforesis. Berbeda dengan
kromatografi kolom yang mana fase diamnya diisikan atau dikemas di
dalamnya, pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang
seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh
lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat plastik. KLT digunakan secara
luas untuk analisis solut-solut organik terutama dalam bidang biokimia,
farmasi, klinis, forensik, baik untuk analisis kualitatif dengan cara
membandingkan nilai Rf solut dengan nilai Rf senyawa baku atau untuk
analisis kuantitatif dengan densitometer. Kromatografi lapis tipis dalam
pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah dibandingkan dengan
kromatografi kolom, peralatannya lebih sederhana dan dapat dilakukan
setiap saat secara cepat (Gandjar dan Rohman, 2007).
Pemisahan senywa berwarna biasanya diamati secara visual.
Senyawa tersebut menyerap sejumlah porsi tertentu dari cahaya
12
polikromatik (putih) yang berada pada rentang panjang gelombang visibel.
Sedangkan senyawa tak berwarna menyerap pada panjang gelombang
yang lebih rendah dari rentang panjang gelombang visibel (rentang UV
yang dipakai untuk analisis adalah 200-400 nm). Senyawa tersebut
biasanya dapat dideteksi dengan menggunakan detektor yang sensitif UV
(photomultiplier). Senyawa yang menyerap pada rentang UV dapat
distimulasi supaya terjadi fluoresensi atau fosforesensi (luminisensi)
sehingga dapat dideteksi secara visual ketika senyawa tersebut di-irradiasi
dengan lampu UV. Fluoresensi muncul pada senyawa-senyawa organik, di
lain pihak, fosforesensi terjadi pada senyawa anorganik (Jork et al., 1990).
Parameter dasar yang digunakan untuk menggambarkan migrasi
pada KLT adalah harga Rf, dimana :
Rf =
π‘—π‘Žπ‘Ÿπ‘Žπ‘˜ π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘‘π‘–π‘‘π‘’π‘šπ‘π‘’β„Ž π‘œπ‘™π‘’β„Ž π‘ π‘œπ‘™π‘’π‘‘
π‘—π‘Žπ‘Ÿπ‘Žπ‘˜ π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘‘π‘–π‘‘π‘’π‘šπ‘π‘’β„Ž π‘œπ‘™π‘’β„Ž π‘“π‘Žπ‘ π‘’ π‘”π‘’π‘Ÿπ‘Žπ‘˜
Harga Rf bervariasi dari 1 hingga 0, atau dari 100 hingga 0 jika
dikalikan dengan 100. Identifikasi senyawa pada KLT berdasarkan pada
harga Rf yang dibandingkan dengan standar yang otentik. Faktor yang
menyebabkan harga Rf antara lain ukuran dan jenis chamber, sifat dan
ukuran lapisan, arah aliran fase gerak, volume dan komposisi fase gerak,
kondisi kesetimbangan, kelembaban dan metode preparasi sampel
(Sherma, 1996).
13
3. Elusidasi struktur
a.
Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel (UV-VIS)
Spektra
visibel
dan
ultraviolet
senyawa-senyawa
organik
berhubungan dengan transisi di antara tingkat energi elekronik. Perubahan
tingkat energi elektronik pada suatu molekul memerlukan cahaya pada
daerah ultraviolet (70-300 kkal/mol) atau daerah visibel (40-70 kkal/mol).
Energi ini dibutuhkan untuk melakukan transisi elektronik yang
melibatkan elektron-elektron valensi. Transisi tersebut pada umumnya
antara suatu orbital ikatan atau pasangan bebas dengan suatu orbital
kosong atau anti-ikatan (Strreitwieser and Heathcock, 1976).
Irradiasi senyawa organik mungkin atau mungkin saja tidak
menyebabkan eksitasi elektron dari satu orbital (biasanya suatu orbital
pasangan bebas atau ikatan) menuju orbital yang lain (biasanya orbital
kosong atau anti-ikatan). Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan :
ε = 0,87x1020 x P . a
dimana P adalah probabilitas transisi (dengan nilai dari 0 hingga 1) dan a
adalah area target sistem pengabsorpsi, sistem pengabsorpsi ini biasanya
disebut kromofor. Semakin panjang kromofor, semakin intens absorpsinya.
Ketika lebih dari dua orbital ikatan π saling tumpang tindih, yaitu ketika
kromofor merupakan suatu sistem terkonjugasi yang panjang, pemisahan
tingkat-tingkat energi direduksi dan absorpsi akan terjadi pada panjang
gelombang yang lebih panjang. Adanya auksokrom pada suatu kromofor
akan menghasilkan suatu pergeseran merah (red shift), yaitu suatu
14
pergeseran absorpsi menuju panjang gelombang yang lebih panjang
(Williams and Fleming, 1997).
b. Spektroskopi Massa
Dalam bentuknya yang paling sederhana,spektrofotometer massa
didesain untuk melakukan tiga fungsi dasar : merupakan senyawa dengan
berbagai keatsiriannya, memproduksi ion-ion dari molekul fase gas yang
terjadi (kecuali dimana prose volatilisasi secara langsung menghasilkan
ion-ion daripada molekul netral) dan memisahkan ion menurut
perbandingan massa per muatan (m/z) dan secara urut mendeteksi dan
mencatatnya (Williams and Fleming, 1997). Ketika massa dari elektron
yang lepas itu sangat kecil maka massa ion molekul pada dasarnya sama
dengan massa molekul utuhnya. Sehingga, spektrofotometer massa
merupakan suatu alat untuk memproduksi dan mengukur ion-ion serta
mampu memberikan informasi bobot molekul (Pavia et al., 1979).
Keuntungan utama spektrofotometer massa sebagai teknik analisis
ialah pada sensitivitasnya yang lebih tinggi dibanding teknik analisis yang
lain, serta spesifisitasnya dalam mengenali senyawa tak diketahui.
Spektrofotometer massa telah memberikan pemahaman yang rinci
mengenai kinetik dan mekanisme dekomposisi unimolekuler suatu
molekul (willard et al., 1988).
15
c.
Spektroskopi Inframerah (IR)
Spektra
vibrasional
memberikan
informasi
tentang
gugus
fungsional dalam suatu molekul. Transisi vibrasional dalam molekulmolekul menyebabkan absorpsi pada daerah inframerah dalm spektrum
gelombang elektromagnetik, yang terbagi menjadi inframerah dekat
(13.000-4.000 cm-1), inframerah tengah (4.000-400 cm-1) dan inframerah
jauh (400-10 cm-1).
Tabel II. Data absorpsi gugus-gugus dalam inframerah
(Pavia, et al., 1979)
16
Spektrum pada bilangan panjang gelombang 1300-900 cm-1,
dikenal sebagai daerah fingerprint. Pola absorbsi pada daerah ini begitu
kompleks dengan pita-pita yang berasal dari mode vibrasional yang saling
berinteraksi. Absorbsi pada daerah ini adalah unik untuk setiap jenis
molekul (Silverstein and Webster, 1998). Karenanya, spektroskopi
inframerah dapat digunakan untuk mengidentifikasi berbagai senyawa.
d. Spektroskopi Resonansi Magnetik Inti (NMR)
Spektrofotometri resonansi magnetik inti pada dasarnya merupakan
bentuk lain dari spektrofotometri absorpsi, sama halnya dengan
spektrofotometri IR atau UV. Fenomena resonansi magnetik inti
didasarkan pada fakta bahwa inti-inti beberapa elemen tertentu mempunyai
suatu momentum spin sudut dan suatu momen magnetik yang berkaitan.
Ketika inti-inti tersebut ditempatkan pada suatu medan magnetik, inti-inti
itu akan mengambil salah satu dari beberapa orientasi terkuantisasi yang
tiap-tiap orientasinya berhubungan dengan suatu tingkay energi tertentu.
Orientasi dengan energi terendah adalah orientasi saat momen magnetik
inti paling sejajar dengan medan magnetik eksternal, sedangkan orientasi
yang berenergi paling tinggi adalah orientasi yang paling tidak sejajar
dengan medan magnetik eksternal.
Radiasi elektromagnetik dengan frekuensi yang sesuai akan
menimbulkan transisi menuju tingkat energi berikutnya. Hubungan antara
17
frekuensi elektromagnetik v dan kuat medan magnetik Bo diatur dengan
persamaan Larmor :
v=
π›Ύπ΅π‘œ
2πœ‹
dimana g adalah rasio giromagnetik dan merupakan suatu konstanta untuk
suatu inti tertentu. Frekuensi pada saat inti tertentu beresonansi bergantung
tidak hanya pada besarnya kuat medan eksternal dan rasio giromagnetik
suatu inti, namun juga oleh faktor ketiga yaitu lingkungan molekular inti.
Suatu inti tertentu akan memberikan sinyal NMR pada nilai yang berbeda
apabila inti tersebut berada pada lingkungan kimiawi yang berbeda. Salah
satu alasannya ialah adanya kabut elektron berputar di sekitar inti yang
bersifat melindungi (shield) atau memproteksi inti. Hal ini dapat dikatakan
bahwa inti tersebut memiliki geseran kimia (chemical shift) yang berbeda
(Atta-ur-Rahman, 1986).
Interpretasi spektra NMR dapat dikerjakan dengan mudah karena
mempunyai detail yang lebih baik daripada spektra IR atau massa. Hal ini
cukup untuk identifikasi suatu senyawa organik dengan objektif dan cepat
(Silverstein and Webster, 1998).
4. Molecular Docking PLANTS
Docking PLANTS (Protein-Ligand ANT-System) didasarkan pada
kelas algoritma optimasi stokastik yang disebut optimasi koloni semut
(ACO= Ant Colony Optimization). ACO terinspirasi oleh perilaku semut
nyata menemukan jalan terpendek antara sarang dan sumber makanan.
18
Semut menggunakan komunikasi langsung dalam bentuk jalur feromon
yang menandai jalur antara sarang dan sumber makanan. Dalam kasus
docking
protein-ligan, sebuah koloni semut buatan digunakan untuk
menemukan konformasi energi minimum ligan di situs mengikat. Semut
ini digunakan untuk meniru perilaku semut nyata dan menandai ligan
konformasi energi rendah melalui jalur feromon. Informasi jejak feromon
buatan yang diubah dalam pengulangan (iterasi) berikutnya digunakan
untik menghasilkan konformasi energi rendah dengan probabilitas yang
lebih tinggi.
Dalam
menggambarkan
molecular
energi
docking
total
akan
ikatan
menghasilkan
protein
skor
ligand.
yang
Dengan
membandingkan skor suatu senyawa dengan senyawa lainnya, maka akan
dapat dijelaskan kenapa senyawa yang satu lebih poten dibandingkan
senyawa lain. Makin kecil skor suatu hasil docking berarti komplek
protein-ligand makin stabil sehingga ligand (senyawa) makin poten.
Dengan visualisasi ini maka akan terlihat asam amino apa saja yang
berperan dalam menjaga stabilitas senyawa tersebut pada reseptornya (
bisa juga berupa enzim).
PLANTS adalah program aplikasi molecular docking gratis yang
diketahui memiliki kualitas seperti GOLD (aplikasi molecular docking
yang berbayar). Software ini banyak digunakan di Eropa dan Amerika.
PLANTS memiliki banysk kelebihsn, selain gratis, software ini sederhana
dan mudah diaplikasikan. Namun, PLANTS tidak menyediakan fungsi
19
preparasi protein, ligan, maupun visualisasi. PLANTS tidak memiliki
aplikasi untuk Windows, jadi hanya bisa dijalankan dengan LINUX
(Purnomo, 2011).
5.
Analisis diskoneksi
Analisis diskoneksi adalah suatu teknik analitik untuk memutuskan
ikatan-ikatan kimia pada molekul target sehingga diperoleh starting
material yang lebih sederhana dan murah. Dari hasil analisis diskoneksi
akan diperoleh sinton yang merupakan fragmen-fragmen dari molekul
target dan pada umumnya berupa ion. Selanjutnya dilakukan penentuan
ekivalen sintetik secara rasional untuk digunakan sebagai starting material.
Ekivalen sintetik adalah molekul-molekul yang melaksanakan fungsi dari
sinton.
20
Diskoneksi senyawa β-naftoil karbonil aminofenol :
Molekul Target
Sinton negatif
Sinton positif
p-aminofenol
Sinton positif
Sinton negatif
21
β-naftol
urea
Jadi, starting material senyawa β-naftoil karbonil aminofenol adalah :
β-naftol
urea
p-aminofenol
Gambar 6. Diskoneksi Senyawa β-naftoil karbonil aminofenol
6. Nyeri
Nyeri sebenarnya berfungsi sebagai tanda adanya penyakit atau
kelainan dalam tubuh dan merupakan bagian dari proses penyembuhan.
Nyeri perlu dihilangkan jika telah mengganggu aktivitas tubuh (Priyanto,
2010). Rasa nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang muncul
ketika ada jaringan rusak dan akan menyebabkan individu bereaksi dengan
cara memindahkan stimulus (Guyton,2006). Nyeri timbul ketika rangsang
mekanik, termal, kimia atau listrik melewati suatu nilai ambang tertentu
yang disebut dengan nilai ambang nyeri sehingga akan menyebabkan
kerusakan jaringan dengan pembebasan senyawa atau mediator-mediator
22
rasa nyeri (Mutschler, 1991). Ambang rasa nyeri individu tergantung pada
kondisi emosional, suasana hati, dan faktor psikologi lain. Pada keadaan
gangguan saraf, ambang rasa nyeri mungkin meningkat dan menurun
dengan nyata (Drill,1958).
Mediator-mediator
nyeri
yang
terpenting
adalah
histamin,
serotonin, plasmakinin yang antara lain bradikinin, prostaglandin, dan ion
kalium. Senyawa tersebut dapat mengakibatkan reaksi radang dan kejangkejang dari jaringan otot, yang selanjutnya mengaktivasi reseptor rasa
nyeri. Plasmakinin adalah peptida yang terbentuk dari protein plasma,
sedangkan prostaglandin adalah senyawa yang mirip asam lemak,
terbentuk dari asam-asam lemak esensial. Kedua jenis zat ini berkhasiat
sebagai vasodilatasi kuat dan memperbesar permeabilitas kapiler-kapiler
sehingga mengakibatkan radang dan udema (Tan dan Raharja, 1991).
Nyeri menurut tempat terjadinya dibagi atas nyeri somatik dan
nyeri dalam atau viseral. Nyeri somatik adalah nyeri yang berasal dari
kulit, otot, persendian, tulang atau jaringan ikat. Sedangkan nyeri dalam
atau viseral terjadi antara lain pada tegangan otot perut, kejang otot polos,
aliran darah kurang dan penyakit yang disertai radang (Mutschler, 1991).
Nyeri minimal disebabkan karena 2 hal yaitu iritasi lokal yang
menstimulasi saraf perifer dan adanya persepsi atau pengenalan nyeri oleh
sistem syaraf pusat (SSP). Pengenalan nyeri bersifat psikologis terhadap
adanya nyeri lokal yang disampaikan ke sistem syaraf pusat (Priyanto,
2010). Rasa sakit dapat dibagi menjadi dua macam rasa sakit utama yaitu
23
rasa sakit akut dan rasa sakit lambat. Bila diberikan stimulus sakit maka
rasa sakit akut akan timbul dalam waktu kira-kira 0,1 detik, sedangkan
rasa sakit lambat timbul setelah satu detik atau lebih kemudian secara
perlahan bertambah dalam beberapa detik dan kadangkala beberapa menit
(Guyton,2006).
Intensitas stimulus yang menimbulkan rasa sakit dapat diukur
dengan berbagai macam cara, namun yang umum dipakai adalah dengan
cara menusuk kulit dengan sebuah jarum yang tekanannya dapat diukur,
menekan sebuah benda padat pada tulang yang menonjol dan tekanannya
dapat diukur. Untuk beberapa titik pemeriksaan yang terakhir ini terbukti
akurat. Intensitas stimulus yang paling rendah menyatakan sensasi sakit
yang timbul sewaktu pemberian stimulus selama jangka waktu lama yang
disebut ambang rasa sakit. Pada umumnya rasa sakit mulai terasa bila suhu
kulit mencapai 45oC dan kebanyakan orang merasakan sakit sebelum
mencapai 47oC (Guyton,1986).
Nyeri dan proses peradangan serta timbulnya demam dan keluhan
nyeri yang lainnya seperti dismenorea terjadi karena teraktivasinya
reseptor nyeri yang akibatnya terlepasnya mediator nyeri yaitu
prstaglandin E2 (PGE2) yang merupakan prostaglandin yang paling lazim
ditemukan
dalam
tubuh.
PGE2
adalah
vasodilator
kuat
yang
merelaksasikan otot polos bronkus dan memodulasi pengaruh mediator
lain seperti histamin dan kinin dalam meningkatkan permeabilitas
pembuluh dan menghasilkan rasa nyeri (Mutschler, 1991).
24
Ada 2 macam enzim yang memacu pembentukan prostaglandin,
yaitu siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2).
Ekspresi dari COX-1 bersifat konstitutif yaitu selalu ada sedangkan
ekspresi COX-2 dapat diinduksi dan keberadaannya sangat tergantung
pada stimulus. COX-1 terdistribusi secara luas dengan fungsi sebagai
pemelihara misalnya sitoprotektif lambung. Sebaliknya, COX-2 adalah
produk gen yang cepat terjadi sebagai respon awal dalam inflamasi dan sel
imun serta dapat distimulasi 10-18 kali oleh faktor pertumbuhan, promoter
tumor, dan sitokin (Mutschler,1991).
Bagan biosintesis prostaglandin :
25
Trauma/ luka pada sel
Gangguan pada membran sel
Fosfolipid
Enzim fosfolipase
Dihambat kortikosteroid
Asam Arakhidonat
Enzim
lipoksigenase
Enzim
siklooksigenase
Dihambat oleh AINS
(serupa aspirin)
Hidroperoksida
Endoperoksida
PGG2/ PGH
Leukotrien
PGE2, PGF2, PGd2
Prostasiklin
Tromboksan A2
Gambar 7. Bagan biosintesis prostaglandin
(Wilmana, 1995)
Prostaglandin terbentuk dari asam-asam lemak esensial. Senyawa
ini dapat memberi vasodilatasi kuat dan memperbesar permeabilitas
kapiler-kapiler sehingga mengakibatkan radang dan udema. Prostaglandin
26
berfungsi melindungi mukosa lambung dan menurunkan produksi asam
lambung. Obat-obatan non narkotik bekerja pada COX-1 dan COX-2
sehingga pembentukan prostaglandin terhambat. Karena efeknya dan
inaktifasinya yang tinggi bersifat lokal, maka prostaglandin juga
merupakan mediator bagi demam. Demam merupakan reaksi pertahanan
tubuh terhadap infeksi. Pada keadaan demam, Prostaglandin E1 (PGE1)
dan prostaglandin E2 (PGE2) meningkatkan suhu tubuh, terutama apabila
diberikan ke dalam ventrikel serebral. Pirogen-pirogen merilis interleukin1 yang pada gilirannya akan meningkatkan sintesis dan pelepasan PGE2.
Sintesis ini dihambat oleh aspirin dan senyawa antipiretik seperti
parasetamol (Mutschler,1991).
Derajat reaksi seseorang terhadap rasa sakit sangat banyak
variasinya. Keadaaan ini sebagian disebabkan oleh kemampuan otak untuk
mengatur besarnya sinyal rasa sakit yang masuk ke dalam sistem saraf
dengan cara aktivasi sistem pengatur rasa sakit, yang disebut analgetika.
Ada beberapa macam bahan transmiter yang ikut dalam sistem analgetika,
khususnya bahan enkefalin dan serotonin. Sistem analgetika ini dapat
memblok sinyal sakit pada tempat masuknya ke dalam medula spinalis
(Guyton, 2006).
7. Parasetamol
Parasetamol atau asetaminofen yang mempunyai nama kimia N-(4Hydroxyphenyl) acetamide ini mempunyai rumus molekul C8H9NO2,
27
dengan bobot molekul 151,17 g/mol. Parasetamol mudah larut dalam air,
sangat
larut
dalam
air
panas,
larut
dalam
metanol,
etanol,
dimetilformamida, etilen diklorida, aseton, etil asetat, dan eter. Praktis
tidak larut dalam petroleum eter,pentana dan benzena dan mempunyai
struktur seperti gambar 2 (Anonim,1996).
Gambar 8. Struktur Parasetamol
Parasetamol mempunyai aktivitas sebagai analgesik dan antipiretik
dengan sedikit efek anti inflamasi (Chaerun, 2005). Parasetamol bekerja
dengan menghambat sintesis prostaglandin di susunan syaraf pusat
sehingga biasa digunakan untuk meredakan rasa sakit, nyeri, maupun
demam tetapi tidak dapat menghambat sintesis prostaglandin di perifer,
sehingga tidak efektif untuk radang, nyeri otot, dan arthritis (Priyanto,
2010). Mekanisme kerja parasetamol sebagai analgetika yaitu melalui
pengurangan kadar peroksida sitoplasma. Peroksida diperlukan untuk
mengubah senyawa ferro menjadi ferri sehingga akan mengaktifkan enzim
COX-2, yang selanjutnya berperan dalam pembentukan prostaglandin
sebagai mediator nyeri. Adanya penurunan kadar peroksida sitoplasma
28
maka enzim COX-2 yang aktif menjadi sedikit. Selain itu, parasetamol
bekerja secara selektif terhadap penghambatan enzim COX-2. Parasetamol
efektif sebagai analgetika dalam kondisi tidak ada atau sedikit infiltrasi
leukosit (Neal, 2009). Parasetamol memiliki aktivitas antipiretik dengan
cara pengaturan pusat panas atau termoregulasi di hipotalamus
mengakibatkan terjadinya vasodilatasi perifer diikuti dengan pengeluaran
panas dari dalam tubuh dan keringat (Tjay dan Rahardja, 2002).
Pada keadaan normal parasetamol berikatan lemah dengan protein
plasma dan sebagian dimetabolisme oleh enzim mikrosomal hati menjadi
konjugat sulfat dan glukoronat yang tidak mempunyai aktivitas
farmakologi. Parasetamol dimetabolisme di hati melalui reaksi fase II
yakni reaksi konjugasi glukoronidasi dan sulfatasi dengan presentase 6090% lebih besar dibandingan dengan fase I yaitu enzim sitokrom P-450
dan isoenzim CYP2E1. Sedangkan metabolisme parasetamol menjadi
NAPQI (N-Asetil Parabenzo-Quinon Imina) dikatalisis oleh sitokrom
P450. Dalam dosis besar, sebagian metabolit aktif (NAPQI) dapat
menyebabkan toksisitas pada hepar dan ginjal (Mutschler, 1986).
Pada over dosis akut, terjadi nekrosis hepatic fatal dan terlihat
setelah beberapa hari. Hepatitis toksik dapat terjadi pada pemakaian jangka
panjang 5-8 gram/hari selama beberapa minggu atau 3-4 gram per hari
selama satu tahun (Chaerun, 2005). Efek samping hepatotoksik
parasetamol terjadi karena adanya ikatan kovalen antara muatan positif
pada NAPQI dengan sel-sel hepar yang bersifat nukleofilik. Pada saat
29
konsentrasi NAPQI dalam darah lebih banyak dibandingkan konsentrasi
tripeptida GSH (darah yang ada di hepar) maka sisa NAPQI tersebut akan
diserang oleh nukleofil-nukleofil lain yang ada di dalam hepar namun
tidak berperan dalam proses metabolisme. Nukleofil tersebut berasal dari
adanya gugus –SH (thiol) yang terdapat di sel-sel hepar dan selanjutnya
mempunyai kemampuan untuk menyerang sisa NAPQI yang bersifat
elektrofil. Ikatan yang terbentuk antara NAPQI dan sel-sel hepar pada
posisi orto dari gugus fenol parasetamol bersifat irreversible (tidak dapat
diputus) dapat dilihat pada Gambar 3 (Roland, 1987).
Gambar 9. Mekanisme hepatotoksik yang diinduksi parasetamol
Secara klinik, keracunan parasetamol dapat meningkatkan kadar
SGPT dan SGOT. Untuk mengetahui efek hepatotoksiknya dapat
diminimalisir dengan pemberian asetilsistein, suatu obat yang juga
bermanfaat sebagai mukolitik. Maka dari itu, walaupun aman obat ini
30
sebaiknya hanya diminum jika memang diperlukan. Jika dipakai pada
dosis lazim tetapi dalam jangka panjang parasetamol juga dapat
meningkatkan enzim SGPT dan SGOT yang merupakan parameter
kerusakan hati (Priyanto, 2010).
Apabila gugus alkil dari parasetamol diganti dengan satu cincin
dengan lipofilisitas rendah, yaitu log P kurang dari 1,8 ternyata masih
mempunyai aktivitas analgetika. Akan tetapi bila lipofilisitas dinaikkan
diantara 1,8 sampai 4,4 maka akan memberikan aktivitas sebagai
antiinflamasi. Sebagai contoh adalah senyawa benorilat suatu ester aspirin
dengan parasetamol (logP = 1,97), mempunyai aktivitas sebagai analgetika
dan antiinflamasi (Dearden et al., 1976). Parasetamol mempunyai aktivitas
antiinflamasi yang sangat rendah diduga karena akan terhidrolisis menjadi
p-aminofenol yang akan berikatan dengan asam arakidonat sehingga jalur
menuju ke inflamasinya terhambat. Purnomo, et al., (2009) telah
mensintesis turunan aminofenol, yakni 1,3-bis- (4-hidroksifenil) urea yang
memberikan aktivitas analgetika 1,96 kali lebih poten dibandingkan
parasetamol.
8. Analgetika
Analgetika biasanya digunakan sendiri, tanpa saran dokter atau
farmasis. Walaupun banyak orang berpikir bahwa analgetika sebagai obat
tidak berbahaya yang lazim dipakai di rumah, penggunaan analgetika
secara berlebihan, terutama ketika dipakai dalam jangka waktu yang lama
31
dapat menimbulkan masalah kesehatan. Analgetik merupakan obat yang
digunakan untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran
(Priyanto,2010).
Secara garis besar, analgetika
dibagi menjadi 2 jenis yaitu
analgetik narkotik dan analgetik non narkotik. Selain berdasarkan struktur
kimianya, pembagian juga didasarkan pada nyeri yang dapat dihilangkan.
Analgetik narkotik dapat menghilangkan nyeri dari derajat sedang sampai
berat, seperti karena infark jantung, operasi, viseral (organ), dan nyeri
karena kanker. Analgetik narkotik merupakan turunan opium yang berasal
dari tumbuhan Papaver somniferum atau dari senyawa sintetik.
Penggunaan berulang dan tidak sesuai aturan dapat menimbulkan toleransi
dan ketergantungan. Toleransi ialah adanya penurunan efek, sehingga
untuk mendapatkan efek seperti semula perlu peningkatan dosis. Karena
dapat menimbulkan ketergantungan, obat golongan ini penggunaannya
diawasi secara ketat dan hanya untuk nyeri yang tidak dapat diredakan
oleh AINS. Analgetik narkotik mengurangi nyeri dengan menurunkan
persepsi nyeri atau menaikkan nilai ambang nyeri. Analgetik narkotik
tidak mempengaruhi syaraf perifer, nyeri tetap ada tapi dapat diabaikan
atau pasien dapat mentolerirnya. Untuk mendapatkan efek yang maksimal
analgetik narkotik harus diberikan sebelum nyeri hebat terjadi, seperti
sebelum tindakan bedah (Priyanto,2010).
Semua analgetika narkotik dapat mengurangi nyeri yang hebat,
tetapi potensi, onset, dan efek sampingnya berbeda-beda secara kualitatif
32
maupun kuantitatif. Efek samping yang paling sering adalah mual, muntah,
konstipasi, dan ngantuk. Dosis besar dapat menyebabkan hipotensi serta
depresi pernapasan. Morfin dan petidin merupakan analgetik narkotik yang
paling banyak digunakan untuk nyeri hebat walaupun menimbulkan mual
dan muntah. Selain menghilangkan nyeri, morfin dapat menimbulkan
euforia dan gangguan mental. Contoh analgetik narkotik yang sampai
sekarang masih digunakan di Indonesia yaitu : morfin HCl, kodein,
fentanil HCl, petidin, dan tramadol. Khusus untuk tramadol, secara
kimiawi memang tergolong narkotika tetapi menurut undang-undang tidak
sebagai narkotik, karena kemungkinan menimbulkan ketergantungan kecil
(Priyanto, 2010).
Analgetik non narkotik berasal dari golongan antiinflamasi non
steroid (AINS) yang menghilangkan nyeri ringan sampai sedang. Dibuat
AINS karena selain sebagai analgetik, sebagian anggotanya mempunyai
efek antiinflamasi dan penurun panas (antipiretik), dan secara kimiawi
bukan steroid. Oleh karena itu, AINS sering disebut sebagai 3 A
(analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi) namun ada beberapa AINS hanya
berefek analgetik dan antipiretik.
Hipotalamus merupakan bagian dari otak yang berperan dalam
mengatur nyeri dan temperatur. AINS secara selektif dapat mempengaruhi
hipotalamus menyebabkan penurunan suhu tubuh ketika demam.
Mekanismenya kemungkinan menghambat sintesis prostaglandin (PG)
yang menstimulasi SSP. PG dapat meningkatkan aliran darah ke perifer
33
(vasodilatasi) dan berkeringat sehingga panas banyak keluar dari tubuh.
Efek analgetik muncul untuk mempengaruhi baik hipotalamus atau tempat
yang cedera. Respon terhadap cedera umumnya berupa inflamasi, udem,
serta pelepasan zat aktif seperti bradikinin, PG, dan histamin. PG dan
bradikinin menstimulasi ujung syaraf perifer dengan membawa impuls
nyeri ke SSP. AINS dapat menghambat sintesis PG dan bradikinin
sehingga menghambat terjadinya aktivasi reseptor nyeri. Obat-obat yang
banyak digunakan sebagai analgetika dan antipiretik adalah golongan
salisilat dan asetaminofen (parasetamol). Aspirin adalah penghambat
sintesis PG paling efektif dari golongan salisilat (Priyanto, 2010).
Adapun penggolongan analgetika menurut Block dan Beale (2004)
yaitu sebagai berikut :
a. Morvin dan Derivatnya
Beberapa senyawa yang termasuk adalah : morfin sebagai
analgetik, kodein sebagai obat batuk untuk menekan batuk,
diasetilmorfin (heroin) sebagai analgetik dan lain-lain.
b. Antagonis Morfin
Yang termasuk antagonis morfin yaitu nalorfon HCl, nalokson
HCl, siklazosin, naltrekson, dan nalmefen HCl.
c. Analgetik Anti Inflamasi
Yang termasuk analgetik anti inflamasi adalah derivat asam
salisilat (seperti natruium salisilat, magnesium salisilat, natrium
tiosalisilat), asam N-arilantranilat (asam mefenamat dan natrium
34
meklofenamat), derivat asam arilasetat (indometasin, ibuprofen,
ketoprofen,
natrium
dan
kalium
diklofenak,
piroksikam,
meloksikam,slekoksib, dan sebagainya).
d. Derivat anilin dan p-aminofenol
Beberapa senyawa yang termasuk golongan ini : anisidin,
fenaldin, parasetamol, fenasetin, laktil fenetidil, fenakol, kriolin, pasetoksiasetanilid, fenetsal, dan pertonal.
e. Derivat Pirazolon dan Pirazolidin
Yang termasuk dalam golongan ini yaitu : antipirin, profifenason,
amidopirin, dan metamfirin. Golongan ini saat ini sudah jarang
digunakan.
9.
Metode Pengujian Daya Analgetika
Berbagai metode telah diusahakan untuk mengetahui besarnya rasa
sakit dengan menggunakan hewan uji sehingga dapat membantu manusia
dalam menemukan obat analgetika. Turner 1965 membagi metode
pengujian efek analgetika berdasarkan jenis analgetikanya, yaitu :
a. Analgetika golongan narkotika
1) Metode jepitan ekor
Metode ini ditemukan oleh Bianchi dan Franceschini
tahun 1954. Sekelompok tikus diinjeksi dengan senyawa uji dosis
tertentu secara subkutan atau intravena. 30 menit kemudian
jepitan arteri dari karet tipis dipasang pada pangkal ekor selama
35
30 menit. Tikus yang tidak diberi analgetika akan melepaskan diri
dari jepitan tersebut karena rasa sakit tidak begitu dirasakan.
Respon positif adanya daya analgetika dapat dicatat jika tidak ada
usaha dari tikus untuk melepaskan diri dari jepitan (selama 15
menit).
2) Metode pengukuran tekanan
Metode ini menggunakan alat untuk mengukur tekanan
yang diberikan pada tikus secara seragam. Ekor tikus diletakkan
di bawah penghisap syringe yang ketika diberikan tekanan akan
memberikan tekanan pada ekor tikus. Manometer akan membaca
ketika tikus memberikan respon. Respon tikus yang pertama
adalah meronta-ronta kemudian akan mengeluarkan suara
(mencicit) tanda kesakitan.
3) Metode rangsang panas
Metode ini menggunakan lempeng panas (hot plate) yang
terdiri dari silinder untuk mengendalikan. Hot plate
bersuhu
antara 50oC-55oC dilengkapi dengan pemanas yang berisi
campuran yang sebanding antara aseton dan etil format yang
mendidih. Tikus yang sudah diberi larutan uji secara subkutan
atau peroral, diletakkan pada hot plate yang sudah disiapkan.
Reaksi tikus adalah menjilat-jilat kakinya lalu akan melompat dari
silinder.
4) Metode potensi petidin
36
Pada metode ini, dibutuhkan hewan uji dalam jumlah
besar. Tiap kelompok tikus terdiri dri 20 ekor, setengah kelompok
dibagi menjadi 3 bagian, diberi petidin dosis berturut-turut 2, 4,
dan 8 mg/kgBB. Setengah kelompok lain diberi petidin dengan
senyawa uji dengan dosis 25% dari LD50. Persen analgetika
dihitung dengan bantuan rangsang panas.
5) Metode antagonis nalorfin
Uji analgetika ini dibuat untuk menunjukkan aksi dari
obat-obatan seperti morfin. Nalorfin memiliki kemampuan untuk
meniadakan aksi dari morfin. Hewan yang biasa dipakai tikus,
mencit, dan anjing. Hewan uji diberi obat dengan dosis toksik
kemudian segera diikuti dengan pemberian nalorfin (0,5-10,0
mg/kgBB) secara intravena. Secara teori, nalorfin dapat
menggantikan ikatan morfin dengan reseptornya. Peristiwa
tersebut menyebabkan ikatan antara morfin dengan reseptornya
terlepas sehingga meniadakan efek morfin.
6) Metode kejang oksitosin
Oksitosin merupakan hormon yang dihasilkan oleh
kelenjar pituitari posterior, yang dapat menyebabkan kontraksi
uterus sehingga menimbulkan kejang pada tikus. Respon kejang
ini meliputi kontraksi abdominal, sehingga menarik pinggang dan
kaki belakang. Pengurangan kejang diamati da ED50 dapat
37
diperkirakan. Selain morfin, senyawa analgetika yang dapat diuji
dengan metode ini adalah heroin, metadon, kofein, dan meperidin.
7) Metode pencelupan pada air panas
Pada metode ini, tikus disuntik secara intraperitoneal
dengan senyawa uji, kemudian ekor tikus dicelupkan dalam air
panas (58oC). Respon tikus terlihat dari hentakan ekornya yang
menghindari panas.
b. Analgetika golongan non narkotika
1) Metode geliat rangsang kimia
Dalam metode ini, rasa nyeri timbul dari rangsang kimia akibat
pemberian zat kimia secara intraperitoneal pada hewan uji. Zat
yang sering digunakan sebagai induktor rasa nyeri antara lain: asam
asetat dan fenilkuinon. Metode ini cukup peka untuk pengujian
senyawa-senyawa dengan daya analgetika lemah. Metode ini juga
sederhana, reprodusibel, dan hasilnya spesifik. Pemberian senyawa
analgetika akan mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri
sehingga jumlah geliat yang timbul berkurang atau tidak terjadi
sama sekali. Senyawa pembanding yang sering digunakan dalam
metode ini adalah analgetika non narkotik yaitu asetosal dan
sodium asetil asetat.
Efek analgetika yang digambarkan dengan % daya analgetka
dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
38
% Daya Analgetika = 100% - (𝐾𝑃 π‘₯ 100 %)
dimana,
P = Jumlah kumulatif geliat individu mencit kelompok
perlakuan
K = Jumlah kumulatif geliat rerata mencit kelompok kontrol negatif.
2) Metode pododolarimeter
Metode menggunakan aliran listrik untuk mengukur daya
analgetika. Alas kandang tikus terbuat dari kepingan metal yang
dapat mengalirkan arus listrik. Tikus diletakkan pada kandang
tersebut kemudian dialiri listrik. Respon ditandai teriakan dari tikus
tersebut. Pengukuran dilakukan setiap 10 menit selama 1 jam.
3) Metode rektodolarimeter
Tikus diletakkan dalam sebuah kandang yang dibuat
khusus dengan alas tembaga yang dihubungkan dengan sebuah
penginduksi yang berupa gulungan. Ujung lain dari gulungan
tersebut dihubungkan dengan silinder elektroda tembaga. Sebuah
voltmeter yang sensitif untuk mengubah 0,1 volt dihubungkan
dengan konduktor yang berada di gulungan atas. Tegangan sering
digunakan untuk menimbulkan teriakan mencit adalah 1 sampai 2
volt (Turner,1965).
39
F. Landasan Teori
Berdasarkan penelitian-penelitian yang sebelumnya oleh Purnomo, et al
yang memodifikasi turunan p-aminofenol menjadi senyawa 1,3-bis-(4-hidroksi
fenil) urea menunjukkan bahwa modifikasi gugus fungsi pada senyawa paminofenol dapat meningkatkan aktivitas analgetika yang lebih poten dan kurang
toksisitasnya jika dibandingkan dengan senyawa penuntun parasetamol. Senyawa
β-naftoil karbonil aminofenol ini diperoleh dengan mereaksikan antara paminofenol, urea, dan β-naftol. Senyawa β-naftoil karbonil aminofenol diprediksi
mempunyai daya analgetika yang lebih poten dibandingkan dengan parasetamol.
Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil skor docking terhadap 6COX.PDB yang
merupakan kompleks antara SC-58 (native ligand) dan enzim COX-2. Peran dari
reseptor 6COX adalah pada saat pembentukan prostaglandin, native ligand yaitu
SC-58 akan berikatan dengan reseptor 6COX sehingga akan mengaktifkan COX-2
dalam pembentukan prostaglandin yang dimana prostaglandin inilah yang akan
menjadi mediator nyeri. Skor docking untuk senyawa hasil sintesis yaitu β-naftoil
karbonil aminofenol adalah -94.7624 dan skor docking untuk parasetamol adalah 67.4556. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa senyawa β-naftoil karbonil
aminofenol memiliki nilai yang lebih rendah daripada parasetamol yang berarti
bahwa energi senyawa β-naftoil karbonil aminofenol lebih rendah daripada
parasetamol sehingga ikatan yang stabil antara β-naftoil karbonil aminofenol
dengan enzim COX-2 pada reseptor 6COX dapat meningkatkan potensi daya
analgetika dibandingkan dengan parasetamol. Oleh karena itu, perlu uji aktivitas
40
analgetika untuk membuktikan senyawa β-naftoil karbonil aminofenol memiliki
potensi analgetika yang lebih poten dibandingkan dengan paraetamol.
G. Hipotesis
1. Senyawa β-naftoil karbonil aminofenol dapat disintesis dari reaksi antara paminofenol, urea dan β-naftol.
2. Sintesis senyawa β-naftoil karbonil aminofenol mempunyai efek analgetika
yang lebih poten dibandingkan dengan parasetamol.
Download