bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejarah merupakan suatu kejadian yang benar-benar terjadi di masa
lampau1. Sejarah memiliki bukti nyata yang dapat diteliti atau dipelajari
sehingga setiap orang dapat mengenal asal usul atau sejarah itu sendiri dari
adanya suatu tempat, bangunan, dan berbagai kejadian lainnya. Dalam
mempelajari ilmu sejarah, setiap orang dapat mengenal budaya, yaitu
suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok dan diwariskan dari generasi ke generasi2. Sebagai contoh
adalah adanya bangunan Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo
Kabupaten Purbalingga yang merupakan salah satu bentuk budaya Arab
berupa tempat ibadah umat muslim yang terlihat nyata serta dapat
dipelajari.
Masjid berasal dari bahasa Arab sajada yang berarti tempat sujud
atau tempat menyembah Allah SWT. Bumi yang kita tempati ini adalah
masjid bagi kaum muslimin. Setiap muslim boleh melakukan shalat di
wilayah mana pun di bumi ini, kecuali diatas kuburan, di tempat yang
bernajis, dan tempat-tempat yang menurut ukuran syariat Islam tidak
1
http://www.zonasiswa.com/2014/05/pengertian-sejarah-istilah-bahasa-para.html, diakses pada
Rabu, 18 Maret 2015, pukul 16:03
2
http://www.academia.edu/3992935/Pengaruh_Budaya_Terhdap_Lingkungan_Pemerintahan_di_I
ndonesia, diakses pada Kamis, 26 Maret 2015, pukul 14:00
1
sesuai untuk dijadikan tempat shalat. Rasulullah bersabda bahwa “Setiap
bagian dari bumi Allah adalah tempat sujud (masjid).” (HR Muslim).
Pada hadis yang lain Rasulullah bersabda pula: “Telah dijadikan bagi kita
bumi ini sebagai tempat sujud dan keadaannya bersih.” (HR Muslim).
Masjid tidak bisa dilepaskan dari masalah shalat. Berdasarkan sabda Nabi
saw. diatas, setiap orang bisa melakukan shalat di mana saja seperti di
rumah, di kebun, di jalan, di kendaraan, dan tempat lainnya3.
Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo merupakan masjid yang
dibangun oleh salah seorang mualaf dengan gaya arsitektur yang berbeda
seperti masjid pada umumnya. Masjid ini memiliki nuansa Tionghoa yang
identik dengan warna merah dan hijau. Nama “Jami’ PITI” pada penamaan
Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo diambil dari nama sebuah
organisasi yang mengelola Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo itu
sendiri. Jami’ berarti sekelompok orang atau jamaah, sedangkan PITI
merupakan sebuah singkatan dari Persatuan Islam Tionghoa Indonesia.
Sedangkan nama “Muhammad Cheng Hoo” diambil dari seorang
bahariwan asal Tiongkok yang telah berlayar ke Asia-Afrika dengan
memimpin kurang lebih 208 kapal yang tidak tertandingi oleh pelaut mana
pun sampai saat ini. Tujuan Laksamana Cheng Hoo melakukan pelayaran
ini selain bersilaturahmi juga ingin menyebarkan dan memperkenalkan
agama Islam kepada penduduk setempat bahwa Islam merupakan agama
yang rasional dan universal. Dalam setiap pelayarannya, Cheng Hoo pun
3
Drs. Mohammad E. Ayub, Manajemen Masjid, Gema Insani, Depok. 1996. Hlm. 1
2
telah melakukan manajemen strategi Nabi Muhammad SAW., manajemen
Tao Zhugong, manajemen Confusiusme, dan manajemen Lautze yang luar
biasa sempurnanya, yang telah diterapkan 600 tahun yang lalu. Dengan
menerapkan empat manajemen tersebut,
Cheng Hoo dapat mengatur
dengan apik sistem kerja dari awak kapalnya sesuai dengan tugas masingmasing4.
Gaya arsitektur pada bangunan Masjid Jami’ PITI Muhammad
Cheng Hoo merupakan salah satu bagian yang paling menarik yang
mengundang minat masyarakat untuk berkunjung ke tempat tersebut.
Arsitektur adalah ilmu dan seni perencanaan dan perancangan lingkungan
binaan (artefak), mulai dari lingkup makro, seperti perencanaan dan
perancangan kota, kawasan, lingkungan, dan lansekap (landscape), hingga
lingkup mikro, seperti perencanaan dan perancangan bangunan, interior,
perabot, dan produk. Dalam arti sempit, arsitektur sering kali diartikan
sebagai ilmu dan seni perencanaan dan perancangan bangunan. Dalam
pengertian lain, istilah “arsitektur” sering juga dipergunakan untuk
menggantikan istilah “hasil-hasil proses perancangan”. Arsitektur sebagai
suatu seni, tidak dapat dilepaskan dari berbagai kaidah seni. Prinsipprinsip keindahan yang merupakan kaidah dasar di dalam bidang seni
seperti kesatuan, keseimbangan, keserasian, irama yang juga dipergunakan
sebagai kaidah dasar di dalam arsitektur. Oleh karena itu, perwujudan
arsitektur merupakan hasil manifestasi nilai-nilai seni. Sedangkan
4
Prof. Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara,
Pustaka Populer Obor, Jakarta. 2007
3
arsitektur sebagai suatu ilmu tidak dapat dilepaskan dari berbagai kaidah
keilmuan maupun bidang ilmu lainnya. Karena merupakan ilmu
perencanaan dan perancangan lingkungan binaan yang menjadi wadah
bagi kegiatan manusia yang lengkap dengan seluruh sifat manusiawinya.
Maka arsitektur tidak dapat dilepaskan dari kaidah berbagai ilmu yang
menyangkut
aspek
kemanusiawian
seperti
psikologi,
sosiologi,
antropologi, filsafat, ergonomi, dan ekonomi. Perwujudan hasil karya
arsitektur merupakan penerapan kaidah berbagai ilmu yang menyangkut
aspek kemanusiawian tersebut5.
Dalam
perancangan
pembangunannya,
Masjid
Jami’
PITI
Muhammad Cheng Hoo memiliki gaya arsitektur yang berbeda seperti
bangunan masjid pada umumnya. Jika pada umumnya bangunan masjid di
wilayah nusantara ini identik dengan rancang bangun yang megah dan
lebih berkiblat dengan gaya arsitektur masjid di wilayah timur tengah,
Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo memiliki pola rancang
bangunan seperti kelenteng (tempat ibadah umat Kong Hu Chu) dan
identik dengan warna merah dan hijau.
Arsitektur mengembangkan dirinya untuk memenuhi kebutuhankebutuhan fisik dan sekaligus metafisik, memenuhi unsur raga maupun
kejiwaan masyarakat. Keindahan bentuk arsitektur menjawab keinginan
emosional, intelektual seraya menuntun ke arah perenungan. Bentuk
arsitektur bangunan adalah rajutan makna dari rujukan dasar mitologis,
5
http://ft.uajy.ac.id/arsitek/dunia-ars/, diakses pada Rabu, 18 Maret 2015, pukul 20:19
4
ritual hingga doktrinal. Menatap bentuk arsitektur dapat dipahami sebuah
kerangka bagaimana konsep tradisi berlaku nyata di masyarakat. Melewati
jembatan intelektual, arsitektur menjadi pintu masuk yang teraga menuju
gagasan kehidupan yang abstrak6.
Selain menyerupai bangunan kelenteng, bangunan Masjid Jami’
PITI Muhammad Cheng Hoo juga merupakan perpaduan antar budaya
Arab, Jawa, dan Tiongkok. Budaya Arab dapat terlihat secara jelas pada
bangunan masjid ini, yaitu sebagai tempat ibadah orang muslim yang
didalamnya terdapat berbagai tulisan kaligrafi menggunakan bahasa Arab.
Didirikannya masjid ini ditengah-tengah masyarakat yang berbudaya
Jawa, budaya Jawa pun tidak terlupakan untuk diikutsertakan dalam pola
rancang bangunan masjid. Budaya Jawa dapat terlihat dari bagian atap
masjid yang menjorok keluar yang disebut usuk (dalam bahasa Jawa).
Sedangkan budaya Tiongkok dapat terlihat sebagai pola rancang yang
digunakan secara menyeluruh di sebagian besar bangunan Masjid Jami’
PITI Muhammad Cheng Hoo, yaitu dapat terlihat dari warna bangunan
masjid itu sendiri yang menonjolkan warna merah dipadu dengan warna
hijau. Keunikan masjid ini mengundang dampak yang datang dari
masyarakat sekitar, baik dampak positif maupun dampak negatif. Oleh
karena itu, sejarah yang merupakan peristiwa pada masa lampau
khususnya sejarah Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo sangat
menarik untuk dibahas lebih jelas pada penulisan tugas akhir ini. Terlebih
6
Ir. Achmad Fanani, Arsitektur Masjid, PT Bentang Pustaka, Yogyakarta. 2009. Hlm. 11
5
lagi tentang perkembangan dan pengaruh yang muncul dari keberadaan
masjid serta kegiatan-kegiatan rutin yang dilakukan di masjid.
Berdasarkan gambaran di atas, penulis tertarik untuk mengangkat
bahasan tentang sejarah dan perkembangan serta kegiatan umum maupun
khusus Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo Kabupaten
Purbalingga. Oleh karena itu, penulis memilih “Keberadaan Masjid Jami’
PITI Muhammad Cheng Hoo Ditengah Lingkungan Masyarakat
Berbudaya Jawa di Mrebet Purbalingga” sebagai judul Tugas Akhir ini.
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimana sejarah dan perkembangan Masjid Jami’ PITI Muhammad
Cheng Hoo Kabupaten Purbalingga?
2. Apa saja kegiatan rutin yang dilaksanakan didalam Masjid Jami’ PITI
Muhammad Cheng Hoo?
3. Apa makna gaya arsitektur Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo
yang bernuansa Tionghoa?
1.3 Tujuan penulisan
1. Mengetahui sejarah dan perkembangan Masjid Jami’ PITI Muhammad
Cheng Hoo Kabupaten Purbalingga.
2. Mengetahui kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara rutin di Masjid
Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo.
6
3. Mengetahui makna gaya arsitektur yang bernuansa Tionghoa dalam
bangunan Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo.
1.4 Manfaat Penulisan
a. Bagi Tempat Penelitian (Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo)
1. Dapat mengenalkan Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo
kepada khalayak umum.
2. Dapat mendokumentasikan sejarah dibangunnya Masjid Jami’ PITI
Muhammad Cheng Hoo.
3. Dapat mengevaluasi seluruh kegiatan yang terjadi di Masjid Jami’
PITI Muhammad Cheng Hoo.
b. Bagi Mahasiswa
1. Menambah wawasan dan keterampilan, khususnya dalam bidang
yang berkaitan dengan budaya Tionghoa.
2. Mampu mempraktikan ilmu pengetahuan yang diperoleh di
perguruan tinggi, baik secara langsung maupun tidak langsung.
3. Menambah relasi yang baik dengan masyarakat di sekitar tempat
penelitian.
c. Bagi Program Studi
1. Sebagai bahan evaluasi dalam peningkatan mutu kurikulum
pendidikan.
7
2. Memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menerapkan
dan mengaplikasikan ilmu yang didapat dalam bidang sosial
budaya.
3. Mengenalkan salah satu bangunan bernuansa Tionghoa yang
berupa tempat ibadah orang muslim di Jawa Tengah.
1.5 Metode Penulisan
a. Pengumpulan Data
a) Data Primer
Data primer merupakan data yang diambil dari saksi mata
orang atau pegawai yang berada di Masjid Jami’ PITI
Muhammad Cheng Hoo tersebut. Data primer biasanya dapat
dilakukan dengan metode sebagai berikut:
1. Metode Survey yaitu dengan melakukan wawancara dengan
pembimbing, penanggung jawab, pengunjung, atau pegawai
masjid.
2. Metode Observasi yaitu dengan melakukan pengamatan
secara langsung dilapangan dan melakukan dokumentasi
atau pencatatan dengan memberikan kuesioner kepada
pegawai atau pengunjung Masjid Jami’ PITI Muhammad
Cheng Hoo.
b) Data Sekunder
8
Data sekunder yaitu data yang dihasilkan secara tidak
langsung. Data sekunder meliputi:
1. Data Internal yaitu data yang diperoleh dari pengamatan
melalui buku, data, atau laporan yang terdapat di Masjid
Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo.
2. Data Eksternal yaitu data yang diperoleh dari referensi lain
di luar masjid yang berkaitan dengan tema.
b. Pengolahan Data
Pengolahan
data
yang
dilakukan
yaitu
dengan
cara
mengevaluasi data yang sudah tersedia mengenai sejarah
dibangunnya Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo
Kabupaten Purbalingga ditengah-tengah lingkungan masyarakat
yang berbudaya jawa. Adapun teknik yang dilakukan adalah
sebagai berikut:
a) Wawancara
Wawancara yaitu teknik tanya jawab yang dilakukan secara
langsung dengan orang yang bersangkutan atau orang yang
berpengaruh
dalam
pembangunan
Masjid
Jami’
PITI
Muhammad Cheng Hoo. Teknik ini dapat pula dilakukan
secara langsung dengan pengunjung masjid.
b) Kuesioner
Kuesioner yaitu menyebarkan atau memberikan daftar
pertanyaan kepada pengunjung atau masyarakat setempat
9
sebagai survey mengenai pengetahuannya tentang sejarah
dibangunnya Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo.
c) Observasi
Dalam teknik observasi ini, penulis dituntut untuk
melakukan penelitian atau pengamatan secara langsung,
sehingga dapat pula mendapatkan gambaran secara langsung
mengenai obyek yang akan diteliti.
d) Pencatatan
Teknik pencatatan ini dilakukan setelah penulis melakukan
beberapa teknik seperti wawancara, menyebarkan kuesioner,
atau observasi, dimana hasilnya akan dicatat dan dianalisa
sehingga dapat diketahui secara detail obyek yang telah diteliti.
1.6 Sistematika Penulisan
Penulisan tugas akhir dengan judul “Keberadaan Masjid Jami’ PITI
Muhammad Cheng Hoo Ditengah Lingkungan Masyarakat Berbudaya
Jawa di Mrebet Purbalingga” terdiri dari lima bab, yaitu:
Bab I Pendahuluan, berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika
penulisan.
Bab II Muslim Tionghoa di Kabupaten Purbalingga, berisi sekilas
tentang muslim Tionghoa di Kabupaten Purbalingga dan sejarah
10
berdirinya
organisasi
PITI
di
Kabupaten
Purbalingga
serta
perkembangannya.
Bab III Sejarah dan Perkembangan Masjid Jami’ PITI Muhammad
Cheng Hoo Kabupaten Purbalingga, berisi tentang sejarah dibangunnya
Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo Kabupaten Purbalingga, tujuan
didirikannya Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo, latar belakang
nama “Muhammad Cheng Hoo”, makna gaya arsitektur pada bangunan
Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo, kegiatan rutin yang dilakukan
didalam Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo, dan pengaruh yang
timbul dari adanya Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo.
Bab IV Penutup, merupakan bagian akhir dari tugas akhir ini yang
akan berisikan kesimpulan dan saran.
11
BAB II
MUSLIM TIONGHOA DI KABUPATEN PURBALINGGA
2.1 Sejarah Berdirinya Organisasi PITI (Persatuan Islam Tionghoa
Indonesia) di Kabupaten Purbalingga
PITI adalah suatu organisasi yang didirikan oleh sekelompok orang
dari etnis Tionghoa di Indonesia yang beragama Islam. PITI merupakan
kependekan kata dari Persatuan Islam Tionghoa Indonesia. Dulu, pada
awal munculnya gerakan G30S PKI 1965, pemerintah memberlakukan
gerakan pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa. Saat itu, simbol atau
identitas yang dianggap bersifat menghambat pembauran bangsa seperti
bahasa dan budaya asing dilarang dan dibatasi penggunannya. Akibatnya,
nama Tionghoa pada kepanjangan PITI (Persatuan Islam Tionghoa
Indonesia) dilarang untuk digunakan. Karena dakwah Islam terhadap
masyarakat Tionghoa yang menjadi misi umat muslim Tionghoa tidak
boleh dihentikan, maka pada saat itu pula pengurus PITI (Persatuan Islam
Tionghoa Indonesia) mengubah kepanjangan PITI menjadi Pembina Iman
Tauhid Islam. Namun, berakhirnya rezim orde baru dan diperbolehkannya
penggunaan istilah nama “Tionghoa" di ruang publik, maka pada tahun
2000 kepanjangan PITI kembali menjadi Persatuan Islam Tionghoa
Indonesia melalui rapat pimpinan organisasi.
12
Organisasi PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) didirikan di
Jakarta pada 14 April 1961. PITI merupakan gabungan dari Persatuan
Islam Tionghoa (PIT), pimpinan H. Abdusomad (Yap A Siong) dan
Persatuan Tionghoa Muslim (PTM), pimpinan Kho Goan Tjin. PIT dan
PTM mula-mula didirikan di Medan dan Bengkulu sebelum kemerdekaan
Indonesia, masing-masing bersifat lokal, sehingga pada saat itu
keberadaan keduanya belum banyak dirasakan oleh masyarakat luas.
Untuk menyebarkan dan mengembangkan Islam di kalangan etnis
Tionghoa, maka PIT dan PTM pindah dan bergabung dalam satu wadah,
yakni
PITI.
Berdirinya
PITI merupakan
saran
dari
Ketua
PP
Muhammadiyah, KH. Ibrahim kepada H. Abdul Karim Oei agar muslim
Tionghoa menyampaikan syiar agama Islam kepada etnis Tionghoa di
kalangan mereka.
Berdirinya organisasi PITI di Kabupaten Purbalingga diawali
dengan adanya pendekatan yang dilakukan oleh H.R.T Gunawan Santosa
terhadap umat Tionghoa di Kabupaten Purbalingga. Beliau adalah seorang
pengusaha sukses yang berasal dari Kota Purwokerto dan merupakan
koordinator wilayah PITI Kabupaten Banyumas. Akhirnya melalui
pendekatan-pendekatan yang dilakukan secara terus menerus serta
dukungan Bupati pada saat itu yaitu Drs. H. Triyono Budi Sasongko, M.Si,
organisasi PITI Kabupaten Purbalingga resmi berdiri pada Ahad, 9 Maret
2003M/6 Muharram 1424H ditandai dengan pelantikan Dewan Pimpinan
Cabang PITI Kabupaten Purbalingga yaitu Bapak Hery Susetio (Tyo Hwa
13
Kong) oleh Wakil Ketua DPP PITI Bidang Dakwah dan Ketua DPD PITI
Jawa Tengah.
Sebagai salah satu organisasi yang telah terdaftar di Kejaksaan
Agung dan berbagai lembaga tertinggi negara lainnya, PITI memiliki asas,
sifat, visi, dan misi sebagaimana yang tertuang dalam Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga PITI:
a. Asas dan Sifat PITI
PITI berasaskan Islam dan berdasarkan Pancasila serta bersifat
terbuka, demokratis, mandiri, dan bebas.
b. Visi PITI
Mewujudkan Islam sebagai ajaran yang rohmatan lil alamin (dirahmati
Allah) secara utuh dan menyeluruh.
c. Misi PITI
1. Melaksanakan dakwah Islamiyah berupa amar ma’ruf nahi munkar
untuk meningkatkan kualitas pemahaman dan pengalaman ajaran
Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Menyelenggarakan
pendidikan
berupa
pengajaran
dan
pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam guna
membina umat muslim yang taqwa, berbudi luhur, terampil, dan
berpengetahuan luas.
3. Menjalin kerja sama dengan organisasi kemasyarakatan lain guna
meningkatkan kesejahteraan sosial dalam rangka mewujudkan
ukhuwah Islamiyah.
14
Adapun susunan kepengurusan organisasi PITI Kabupaten
Purbalingga adalah sebagai berikut:
Pelindung
: 1. Bupati Purbalingga
2. Kepala Kantor Kementrian Agama Kabupaten
Purbalingga
Dewan Pakar
: 1. Drs. H. Munir
2. Ketua MUI Kabupaten Purbalingga
3. Ketua Cabang NU Kabupaten Purbalingga
4. Ketua PD. Muhammadiyah Kabupaten
Purbalingga
5. H. Andi Arslan Junaid, S.E.
6. Ir. Ong Umaryadi, M.M.
7. H. Barosyad IM
8. H. Eling Purwoko, S.E.
Ketua
: Hery Susetio
Wakil Ketua Umum: Fembriarto, S.Pd.
Wakil Ketua
: Pimpinan Cabang Kospin Jasa Purbalingga
Sekretaris
: H. Untung Supardjo, B.A.
15
Wakil Sekretaris
: Arif Budiyanto
Bendahara
: Amto Runajah, S.Pd. M.Pd.
Wakil Bendahara
: Pimpinan Cabang Kospin Jasa Bobotsari
Bagian Departemen:
1. Organisasi dan Keanggotaan
-
Sugito
-
Tony Supriyadi
2. Dakwah
-
H. Abdullah Sidiq AH
-
Drs. H. Achmad Sulaeman FP
3. Pendidikan
-
H. Budiman, S.Pd.
-
H. Moch. Nur Faizin, S.Pd.I.
4. Pemberdayaan Peranan Wanita
-
Dwi Esti Suryaningsih
-
Mok Fung Khamdani
5. Umum
-
Margi Yuwono
-
Winanto
-
Edi Sugiharto
-
Eko Setiono
16
2.2 Perkembangan Organisasi PITI di Kabupaten Purbalingga
Dalam lima tahun pertama, organisasi PITI Purbalingga dibawah
pimpinan Hery Susetio atau yang dikenal dengan Hery Wakong belum
dapat memperlihatkan adanya perkembangan yang menonjol. Akibatnya,
banyak orang berspekulasi bahwa kehadiran organisasi PITI hanya sebatas
nama organisasi tanpa meninggalkan cerita atau catatan yang dapat
dijadikan sejarah. Tidak tampaknya perkembangan organisasi PITI
mengundang banyak komentar tentang berdirinya organisasi PITI
Kabupaten Purbalingga terutama sekelompok orang yang pada awalnya
memang tidak menyukai keberadaan organisasi PITI. Namun, walau
demikian, Hery Wakong dan segenap jajarannya menyikapi hal tersebut
dengan pikiran dingin dan hanya dianggap sebagai hambatan yang wajar
bagi seseorang dalam menggapai cita-citanya.
Kepengurusan dalam organisasi PITI tidak hanya beranggotakan
umat muslim Tionghoa saja, tetapi juga termasuk sebagian umat muslim
Jawa setempat. Keberadaannya pun tidak lain untuk mengajak secara
bersama-sama
melangkah
memajukan
peradaban
dunia
terutama
peradaban agama Islam. Organisasi PITI bersifat terbuka dan toleran. Hal
ini dapat diketahui melalui hubungan sosial yang terjalin antar umat
beragama dari ruang lingkup yang sempit hingga ruang lingkup yang luas.
Salah satu contoh hubungan antar umat beragama dalam ruang lingkup
sempit adalah dalam keluarga. Latar belakang keluarga yang memiliki
sikap toleransi tinggi dapat kita lihat pada keluarga sang pendiri masjid
17
yaitu Hery Susetio yang mampu membimbing putra-putranya hingga
dewasa untuk saling menghargai satu sama lain walaupun berbeda
keyakinan. Sedangkan contoh hubungan antar umat beragama yang toleran
dalam ruang lingkup yang luas adalah dalam keorganisasian PITI itu
sendiri.
Persatuan Islam Tionghoa Indonesia yang akrab disapa dengan
PITI merupakan organisasi lintas paham/golongan yang bertujuan untuk
merekatkan hubungan kemanusiawian antar golongan itu sendiri. PITI
tidak memiliki batasan dengan siapa atau golongan apa untuk menjalin
suatu hubungan persaudaraan. Oleh karena itu, sebagai organisasi yang
membawahi keberadaan Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo,
pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan masjid selalu
dihadiri oleh sekelompok orang dari berbagai golongan tanpa terkecuali.
Salah satu bentuk kegiatan rutin yang dilakukan adalah kajian lintas
golongan yang dilaksanakan di kantor Masjid Jami’ PITI Muhammad
Cheng Hoo setiap bulan. Kegiatan ini memiliki tujuan untuk memelihara
hubungan yang baik antar golongan serta bersama-sama menjunjung tinggi
nilai keterbukaan dan nilai toleran antar golongan.
Selain membawahi Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo
Kabupaten Purbalingga, PITI juga melakukan pemberdayaan dalam
bidang pendidikan. Pemberdayaan dalam bidang pendidikan ini telah
dibangun sejak tahun 2014 dengan nama Yayasan Muhammad Cheng Hoo
Purbalingga. Yayasan ini berupa taman pendidikan yang diberi nama
18
Taman Pendidikan KH. Achmad Zaky Arslan Djunaid. Nama tersebut
diambil dari salah satu tokoh yang memiliki peran besar saat
pembangunan Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo. Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan, sang pendiri menggunakan nama KH.
Achmad Zaky Arslan Djunaid karena ingin mengenang jasa sang tokoh
atas kesanggupannya menyelesaikan pembangunan masjid yang megah
dan unik tersebut. Taman pendidikan KH. Achmad Zaky Arslan Djunaid
membuka dua tingkatan pendidikan yaitu TK dan PAUD Muhammad
Cheng Hoo Purbalingga. Lokasinya terletak tepat di belakang Masjid
Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo Purbalingga, Jl. Raya Selaganggeng
Km. 08 Mrebet, Purbalingga.
19
BAB III
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN MASJID JAMI’ PITI
MUHAMMAD CHENG HOO KABUPATEN PURBALINGGA
3.1 Sejarah Dibangunnya Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo
Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo merupakan salah satu
masjid bernuansa Tionghoa yang berada di wilayah Kecamatan Mrebet,
Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Masjid ini didirikan oleh salah
seorang mualaf yang bernama Hery Susetio (Thio Hwa Kong) yang
merupakan salah satu jamaah mualaf pada tahun 2002. Setelah sekitar 2,5
tahun mempelajari ajaran agama Islam, mulai dari belajar membaca
Alquran, shalat, dan belajar tentang berbagai ilmu agama Islam, Hery
Susetio mulai berpikir bahwa karya apa lagi yang harus dilakukan untuk
Islam. Sehingga muncul suatu pemikiran untuk mendirikan masjid dengan
gaya bangunan yang berbeda seperti bangunan masjid pada umumnya
yaitu dengan memadukan gaya arsitektur khas Tiongkok dan Arab.
Hery Susetio (Thio Hwa Kong) yang lebih dikenal dengan
panggilan Hery Wakong adalah seorang mualaf 2002 yang dilantik
sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang Persatuan Islam Tionghoa
Indonesia Kabupaten Purbalingga pada tanggal 9 Maret 2003 Masehi atau
6 Muharram 1424 Hijriah yang bertepatan juga dengan tahun baru Islam
1424 Hijriah di Taman Kota Purbalingga. Beratnya amanat yang diemban
sebagai ketua PITI menjadikan beban bagi dirinya. Bagi seorang mualaf
20
baru, hal tersebut memang sangat menjadi beban, terlebih akan
kemampuan dirinya yang sangat jauh dari kondisi maksimal untuk
mengemban jabatan tersebut. Namun kondisi tersebut tidak membuat
dirinya merasa putus asa. Hery Susetio yakin bahwa Allah akan membantu
hamba-Nya dalam segala masalah yang sedang dihadapi sehingga terucap
dari lisannya, “Ya Allah hanya kepada-Mu aku menyembah dan hanya
kepada-Mu aku meminta pertolongan”.
Sejak itu Hery Wakong bangkit dari keterpurukannya. Kemudian
mulai banyak bertanya kepada orang-orang muslim disekitarnya yang
berpengaruh tentang ajaran agama Islam karena ia sendiri merasa masih
sangat awam. Seperti yang telah dijelaskan dalam Al’quran yang berbunyi
“fasaluu Ahladzdkri inkuntum La Ta’lamun” yang artinya, “Bertanyalah
kalian kepada orang-orang yang berilmu seandainya kalian tidak
mengerti”. Beranjak dari sinilah sang mualaf menemukan jati dirinya
bahwa beliau telah menjadi seorang muslim, dimana sebagai seorang
muslim harus bertindak melakukan sesuatu yang berguna, baik bagi
dirinya maupun orang lain. Pada akhirnya beliau berangan-angan ingin
membangun sebuah tempat ibadah orang muslim (masjid) yang memiliki
ciri khas Tionghoa sebagai penyatu dan pengikat antar umat beragama.
Pada tahun 2003, sejak Hery Susetio diberi kepercayaan sebagai
Ketua Dewan Pimpinan Cabang Persatuan Islam Tionghoa Indonesia
Kabupaten Purbalingga, Hery Susetio mengakui bahwa dirinya baru
menekuni
serta
aktif
dalam
21
menjalankan
ajaran
agama
Islam.
Keinginannya untuk membangun masjid pun mulai terencana. Hery
Susetio menginginkan bangunan masjid yang unik dan istimewa, yaitu
dengan memadukan gaya arsitektur dari budaya Jawa, Arab, dan
Tiongkok. Kemudian keunikan gaya arsitektur dari tiga budaya akan
diperlihatkan melalui ornamen-ornamen dan seni kaligrafi yang masingmasing memiliki simbol atau makna tersendiri.
Terkait dengan pembangunan masjid yang telah direncanakan oleh
sang pendiri, langkah pertama yang dilakukan adalah mengunjungi tokoh
masyarakat yang berpengaruh dalam bidang agama, pendidikan dan
politik, yaitu H. Untung Supardjo. Pada kunjungan tersebut Hery Susetio
menyampaikan bahwa rencana pembangunan masjid masih berada pada
tahap awal yaitu pencairan lahan untuk dijadikan sebagai lokasi
pembangunan masjid. Kemudian Hery Susetio juga menyampaikan kepada
sang tokoh agar dapat berkenan bersama-sama membantu menyampaikan
apa yang direncanakannya kepada seluruh warga masyarakat sekitar. Hery
Susetio berharap agar warga dapat memenuhi ajakannya untuk ikut andil
dalam pembangunan masjid tersebut yang semata-mata merupakan ajakan
mulia untuk membangun tempat ibadah, terutama dalam pengadaan lahan
bangunan masjid.
Pada
pertemuan
bersama
warga
masyarakat,
pihak
PITI
menawarkan dua pilihan, yaitu pertama, melakukan kerjasama yang saling
menguntungkan yaitu warga menyediakan lahan dan pihak PITI
melaksanakan pembangunan fisik. Kedua, melalui proses transaksi jual
22
beli lahan dengan ketentuan dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh
PITI. Kemudian setelah dilakukan pembahasan yang cukup panjang,
akhirnya disepakati oleh kedua belah pihak bahwa pilihan yang diterima
adalah pilihan pertama yaitu melakukan kerjasama yang saling
menguntungkan dengan syarat warga menyiapakan lahan dan PITI
melaksanakan pembangunan fisik. Kesepakatan inilah yang kemudian
dapat dijadikan langkah pertama sebagai dasar acuan untuk melanjutkan
langkah-langkah berikutnya.
Langkah berikutnya adalah membentuk tim untuk menjalankan
survei lapangan di Masjid Muhammad Cheng Hoo Indonesia, Surabaya.
Kajian lapangan ini dilakukan sebagai acuan dasar untuk merancang
bangunan masjid yang akan didirikan di Purbalingga. Pada minggu keempat bulan Januari, tim yang terdiri dari 9 orang dan dipimpin langsung
oleh Hery Susetio melakukan perjalanannya ke Surabaya. Kemudian pada
bulan Februari, setelah tim pengkaji lapangan selesai menjalankan
tugasnya, terbentuklah tim penggalang dana yang hanya terdiri dari 5
orang. Tim penggalang dana melakukan perjalanan ke Jakarta untuk
menemui Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Islam Tionghoa
Indonesia yaitu Yos Sutomo, dengan tujuan untuk memohon restu
sehubungan dengan rencana pembangunan Masjid Jami’ PITI Muhammad
Cheng Hoo di Kabupaten Purbalingga. Kemudian Yos Sutomo atas nama
DPP PITI bersamaan dengan mengucapkan selamat dan sukses untuk
pembangunan masjid PITI di Kabupaten Purbalingga, juga bersedia
23
memberikan dukungan berupa materi atau dana kepada tim penggalang
dana yang pencairannya akan diproses secara bertahap. Dukungan dana ini
membuat perjalanan tim penggalang dana semakin semangat dan optimis.
Perjalanan pun dilanjutkan untuk mengunjungi putra-putra daerah yang
berada di Jakarta serta mengunjungi relasi dan rekan yang berada di
Cirebon.
Upaya penggalangan dana selanjutnya diarahkan kepada jajaran
Jamaah PITI yang berada disetiap kota, seperti Semarang, Surabaya, dan
Cirebon. DPRD dan Pemerintah Daerah Tingkat Kabupaten juga sangat
mendukung rencana pembangunan Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng
Hoo di kotanya, sehingga peran serta dukungan pun diberikan melalui
dana yang dapat melancarkan proses penyelesaian pembangunan masjid.
Hingga pada tahap akhir, pembangunan Masjid Jami’ PITI Muhammad
Cheng Hoo Kabupaten Purbalingga juga terkenang oleh bantuan dari
hartawan yang dermawan sehingga hatinya terpanggil untuk mengulurkan
dana demi kelancaran pembangunannya.
Pada tanggal 20 Maret 2005 tepatnya pukul 10.00 WIB, upacara
peletakkan batu pertama pembangunan Masjid Jami’ PITI Muahmmad
Cheng Hoo Kabupaten Purbalingga dimulai. Peletakkan batu pertama ini
dilaksanakan oleh Ketua DPP PITI, Yos Sutomo dan Bupati Purbalingga,
Drs. H. Triyono Budi Sasongko, M.Si. dengan diawali ucapan takbir
sebanyak 3x. Seluruh warga masyarakat dan tamu undangan yang hadir
dari berbagai kalangan menyambut pelaksanaan upacara peletakkan batu
24
pertama dengan sangat meriah serta rasa syukur dan suka cita. Upacara ini
juga dimeriahkan oleh beberapa grup kesenian daerah seperti barongsai,
hadrah7, dan seni musik angklung. Sehingga menciptakan suasana upacara
pelaksanaan batu pertama pembangunan masjid lebih indah dan berwarna.
Kegiatan pembangunan masjid dilaksanakan setelah enam hari
berselang dari hari peletakkan batu pertama, yaitu dimulai dengan gotong
royong warga masyarakat sekitar untuk membersihkan lahan dengan rasa
senang dan semangat. Hampir seluruh lapisan masyarakat terdekat ikut
berpartisipasi membantu proses pembersihan lahan. Dengan hanya
memiliki bekal semangat para pekerja, proses pembangunan masjid pun
berlangsung lancar hingga tahun 2007. Namun keadaan ini tidak bertahan
lama bahkan jalannya pembangunan ini berbalik menjadi terhambat,
kadang berjalan kadang tidak. Hingga pada akhir tahun 2007,
pembangunan pun terhenti tanpa ada satu aktivitas yang berjalan.
Akibatnya, banyak orang yang mencaci keadaan tersebut, baik dari
kalangan yang memang awalnya tidak menyukai adanya pembangunan
masjid bernuansa Tionghoa di Kabupaten Purbalingga maupun kalangan
yang merasa kecewa atas terhentinya pembangunan masjid yang
berlangsung cukup lama. Tidak lama kemudian sebagian besar panitia
merasa enggan untuk melanjutkan pembangunan ini. Hingga ada diantara
anggota panitia yang mengundurkan diri dan tidak aktif dalam kepanitiaan.
Oleh karena itu, adanya permasalahan yang terjadi di dalam kepanitiaan,
7
Hadrah adalah salah satu kesenian tradisi di kalangan umat Islam
25
maka pada awal tahun 2008 dilakukan pembentukan panitia baru. Tujuan
pembentukan panitia baru ini adalah semata-mata agar pembangunan
masjid dapat dilanjutkan kembali dengan lancar tanpa ada salah satu pihak
yang kurang mendorong kelanjutan pembangunannya.
Selama kurang lebih 2 tahun pembangunan masjid terhenti, pada
tahun 2010 atas bantuan dari pemilik sekaligus Ketua Umum Koprasi
Simpan Pinjam Jasa (Kospin Jasa) Pekalongan yaitu H. Achmad Zaky
Arslan Junaid, pembangunan Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo
pun dapat dilajutkan kembali. Ketika melewati daerah yang merupakan
lokasi sedang dibangunnya masjid, H. Achmad Zaky Arslan Junaid
bertanya kepada salah satu penduduk sekitar, kemudian bertemulah
dengan sang pendiri untuk menanyakan kelanjutan pembangunan masjid
secara lebih jelas. Disitulah akhirnya H. Achmad Zaky Arslan Junaid
bersedia mendanai seluruh pembangunan Masjid Jami’ PITI Muhammad
Cheng Hoo, sehingga pada tahun 2010, tepatnya setelah Hari Raya Idul
Fitri 1431H, pembangunan masjid pun dilanjutkan kembali. Dalam jangka
waktu kurang lebih 1 tahun, pembangunan masjid dapat terselesaikan.
Sehingga pada 5 Juli 2011M/ 3 Sya’ban 1432H, Masjid Jami’ PITI
Muhammad Cheng Hoo diresmikan oleh Ketua Umum Koperasi Simpan
Pinjam Jasa, H. Achmad Zaky Arslan Djunaid dalam suatu rangkaian
upacara yang dilaksanakan secara protokoler.
Keberadaan Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo Kabupaten
Purbalingga hingga saat ini telah tercatat sebagai bagian dari obyek wisata
26
daerah ke-2 Kabupaten Purbalingga berupa rumah ibadah setelah Masjid
Agung Darussalam Purbalingga. Hal ini merupakan suatu kebanggaan
tersendiri bagi pemerintahan daerah Purbalingga serta masyarakat
setempat. Berdasarkan hasil pengamatan melalui data kuesioner yang
ditujukan kepada para pengunjung masjid, sebagian besar pengunjung
merupakan masyarakat luar daerah yang berasal dari berbagai macam
daerah,
seperti
Pekalongan,
Batang,
Tegal,
Cilacap,
Banyumas,
Purwokerto, Banjarnegara, Pemalang, Jakarta, dan Banten. Tidak hanya
dari kalangan orang tua saja, tetapi juga banyak dari kalangan pemuda/
pemudi, pelajar, mahasiswa, dan pekerja yang tertarik untuk mengunjungi
masjid. Tujuannya tidak lain adalah untuk melaksanakan ibadah shalat.
Namun karena kenyamanan yang tercipta dari keindahan dan keunikan
seni bangunannya, para pengunjung pun sering kali tidak hanya singgah
untuk melakukan ibadah shalat saja, tetapi sembari menikmati keindahan
masjid, mereka juga asik berfoto.
Ada yang sudah beberapa kali mengunjungi Masjid Jami’ PITI
Muhammad
Cheng
Hoo,
ada
juga
yang
baru
pertama
kali
mengunjunginya. Kesan dan pesan yang sempat disampaikan oleh para
pengunjung pun terekam positif. Sebagian besar pengunjung mengaku
bahwa kesan yang pertama kali terasa ketika berkunjung adalah keindahan
serta keunikan bangunannya. Tentu saja, karena Masjid Jami’ PITI
Muhammad Cheng Hoo merupakan masjid pertama dan satu-satunya yang
27
didirikan dengan gaya arsitektur Tiongkok di wilayah Provinsi Jawa
Tengah, tepatnya di Kabupaen Purbalingga.
3.2 Tujuan Didirikannya Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo
Fungsi utama masjid adalah tempat sujud kepada Allah SWT,
tempat shalat, dan tempat beribadah kepada-Nya. Lima kali sehari
semalam umat Islam dianjurkan mengunjungi masjid guna melaksanakan
shalat berjamaah. Masjid juga merupakan tempat yang paling banyak
dikumandangkan nama Allah melalui azan, iqamat, tasbih, tahmid, tahlil,
istigfar, dan ucapan lain yang dianjurkan dibaca di masjid sebagai bagian
lafaz yang berkaitan dengan pengagungan asma Allah. Selain itu fungsi
masjid adalah tempat kaum muslimin beribadat dan mendekatkan diri
kepada Allah SWT; tempat kaum muslimin beriktikaf, membersihkan diri,
menggembleng batin untuk membina kesadaran dan mendapatkan
pengalaman batin/ keagamaan sehingga selalu terpelihara keseimbangan
jiwa dan raga serta keutuhan keprbadian; tempat bermusyawarah kaum
muslimin guna memecahkan persoalan-persoalan yang timbul dalam
masyarakat; tempat kaum muslimin berkonsultasi, mengajukan kesulitankesulitan, meminta bantuan dan pertolongan; dan tempat mengumpulkan
dana, menyimpan, dan membagikannya8.
Tidak hanya digunakan untuk hal yang berkaitan dengan ibadah,
masjid juga digunakan sebagai tempat menuntut ilmu, sebagai tempat
8
Drs. Mohammad E. Ayub, Manajemen Masjid, Gema Insani, Jakarta. 1996. Hal. 7
28
pendidikan, dan tempat menunjang kegiatan-kegiatan sosial dalam hidup
bermasyarakat. Sebagai contoh yaitu masjid di pesantren-pesantren9 selain
digunakan untuk salat berjamaah, juga digunakan sebagai tempat
menuntut ilmu oleh para santrinya. Biasanya para santri 10 datang
berbondong-bondong ke masjid dengan membawa Alkitab sesuai jadwal
kemudian belajar memahami isi kitab bersama sang ustadz. Pada
umumnya masjid juga digunakan sebagai tempat pengajian yang bersifat
rutin dan berbentuk ceramah serta tanya jawab. Kegiatan ini biasanya diisi
oleh ustadz atau ustadzah di wilayah perkomplekan desa atau kota yang
dikenal alim11.
Tujuan didirikannya Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo
tidak lain juga sebagai sarana untuk melangsungkan kegiatan beribadah
khususnya bagi umat muslim setempat. Adapun didirikannya masjid
dengan arsitektur seperti kelenteng, tentu memiliki tujuan khusus yang
tidak lain adalah untuk menjembatani muslim Tionghoa agar tidak
memiliki rasa minder atau canggung ketika hendak melakukan ibadah
shalat ke masjid. Selain itu, didirikannya Masjid Jami’ PITI Muhammad
Cheng Hoo ditengah masyarakat berbudaya Jawa di Kabupaten
Purbalingga juga sebagai media dakwah serta pendekatan terhadap warga
Tionghoa di Indonesia.
9
Pesantren adalah asrama tempat santri atau murid-murid belajar mengaji dsb
Santri adalah orang yang mendalami agama Islam
11
Alim dalam bahasa Arab berarti orang yang berilmu
10
29
3.3 Latar Belakang Nama “Muhammad Cheng Hoo”
Nama Cheng Hoo diambil dari nama seorang tokoh besar
legendaris Laksamana Muhammad Cheng Hoo yang telah melanglang
buana mengarungi samudra hindia sebanyak tujuh kali. Cheng Hoo adalah
seorang bahariawan terkenal yang telah mengeliling tujuh kali ekspedisi
keliling dunia dan selalu melintasi kawasan nusantara Indonesia. Adapun
daerah-daerah yang dilewatinya antara lain, Jawa, Palembang, Aceh,
Kalimantan, Pulau Karimata, Belitung, dan lain-lain. Di Pulau Jawa,
tepatnya di kota Semarang, Ancol Jakarta, Cirebon, Tuban, Gresik,
Surabaya, Bangil, dan Pasuruan, Muhammad Cheng Hoo dan anak
buahnya sempat mendirikan masjid dan mushola. Salah satu masjid yang
didirikan di Semarang yaitu sekarang menjadi Kelenteng Sam Po Kong.
Tidak hanya di Semarang, kelenteng-kelenteng Sam Po Kong juga
ditemukan di Surabaya, Ancol, Ayuthya, Penang, Malaka, Kuala Lumpur,
dan Trengganu. Masjid Muhammad Cheng Hoo di Surabaya diberi nama
Cheng Hoo pada 2003. Di Malaka, terdapat Bukit Sam Po Kong tempat
lokasi Kelenteng Sam Po Kong dan sumur Sam Po Kong. Sebuah Museum
Budaya dan Pusat Penelitian Cheng Hoo juga telah dibangun pada 2005
untuk memperingati ulang tahun ke-600 pelayaran pertama Cheng Hoo12.
Cheng Hoo (1371-1433) adalah bahariawan besar bukan hanya di
dalam sejarah pelayaran Tiongkok, tetapi juga di sepanjang sejarah
pelayaran dunia. Selama 28 tahun (1405-1433) ia memimpin armada
12
Tan Ta Sen, Cheng Ho Penyebar Islam dari China ke Nusantara, PT Kompas Media Nusantara.
Jakarta. 2010. Hlm. 287
30
raksasa untuk mengunjungi lebih dari 30 negara dan kawasan yang terletak
di Asia Tenggara, Samudra Hindia, Laut Merah, Afrika Timur, dan lainlain. Bila dilihat dari waktu, pelayaran Cheng Ho ke Samudra Barat jauh
lebih awal daripada pelayaran bahariawan-bahariawan Eropa seperti
Christoforus Colombus (± 1451-1506), Vasco da Gama (± 1460-1524),
dan Ferdinand Magellan (± 1480-1521). Sedangkan pelayaran pertama
dilakukan oleh Cheng Ho pada tahun 1405. Selain itu, pelayaran-pelayaran
Cheng Ho dilakukan berturut-turut 7 kali selama 28 tahun lamanya. Begitu
lama kegiatan pelayarannya sehingga tak terbanding oleh bahariawanbahariawan Eropa pada masanya13.
Adapun nama Masjid jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo
Kabupaten Purbalingga ditetapkan berdasarkan Surat Kospin Jasa
Pekalongan yang ditandatangani oleh Ketua Umum Kospin Jasa, H.A.
Zaky Arslan Djunaid selaku penyandang dana penyelesaian proyek
pembangunan masjid yang disampaikan kepada Ketua Dewan Pimpinan
Cabang PITI Kabupaten Purbalingga pada tanggal 13 Mei 2011, nomor
023/SekrJS/G/V/2011.
13
Prof. Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara,
Pustaka Populer. Jakarta. 2007. Hlm. 3
31
3.4 Makna Gaya Arsitektur Pada Bangunan Masjid Jami’ PITI
Muhammad Cheng Hoo
Belakangan ini bermunculan masjid yang menampakkan gaya dan
bentuk arsitektur yang beraneka ragam. Terutama di kota-kota besar,
banyak masjid yang berdiri dengan kemewahan dan keindahan. Dalam
masalah bangunan fisik masjid, Islam tidak menentukan dan mengaturnya.
Artinya, umat Islam diberikan kebebasan, sepanjang bangunan masjid itu
berperan sebagai rumah ibadah dan pusat kegiatan jamaah/umat.
Menyadari sepenuhnya peran masjid sebagai tempat ibadah dan
pusat kegiatan umat, tujuan pendiriannya pun harus ditetapkan secara jelas
dan benar-benar disadari sejak awal. Karena itu, keberadaan sebuah masjid
tidak mubazir. Kita harus benar-benar khawatir (jika sampai) tergolong ke
dalam kaum (zaman) yang disebut dalam peringatan Nabi Muhammad
saw.: “masaajiduhum ‘aamirotun wahiya khoroobun minal huda” yang
artinya, “Masjid-masjid dibangun megah, tetapi sepi dari pelaksanaan
petunjuk Allah” (HR baihaqi)14.
Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo dibangun di atas tanah
wakaf15 seluas 50 ubin16 yang dalam pengembangannya telah mencapai ±
100 ubin. Adapun mengenai tanah wakaf 100 ubin ini adalah berasal dari
berbagai kalangan yang dengan sukarela memberikan sumbangan untuk
kepentingan umum yang bersifat suci.
14
Drs. Mohammad E. Ayub, Manajemen Masjid, Gema Insani, Jakarta. 1996. Hal. 11
Wakaf adalah benda bergerak atau tidak bergerak yang disediakan untuk kepentingan umum
(Islam) sebagai pemberian yang ikhlas
16
Ubin adalah petak (tentang sawah)
15
32
Arsitektur adalah kristalisasi17 dari pandangan hidup sehingga
arsitektur bukan semata-mata teknik dan estetika bangunan, atau terpecahpecah menjadi kelompok-kelompok seperti ranah keteknikan, ranah seni,
atau ranah sosial. Meskipun yang menjadi ranah dalam praktik profesi
perancang adalah materialisasi dari kehidupan, dimana bentuk arsitektur
dijelaskan melalui spesifikasi elemen-elemen strukturnya, bahan, ukuran
permukaan, dan sudut-sudutnya, karena melalui sepesifikasi inilah
kontraktor pelaksana dapat mewujudkan sebuah desain, arsiktektur tidak
hanya dapat di artikan sebagai produk, tetapi juga suatu proses18.
Bentuk gaya arsitektur pada bangunan Masjid Jami’ PITI
Muhammad Cheng Hoo juga merupakan sebuah kristalisai dari pandangan
hidup manusia, dimana rancang bangun yang diterapkan merupakan
perpaduan arsitektur tiga budaya yang meliputi budaya Arab, Jawa, dan
Tiongkok. Keindahan serta keelokan masjid terlihat sangat mengemuka,
sehingga menambah daya tarik tersendiri. Selain itu, keindahan masjid
juga ditopang dengan nilai seni dan budaya melalui sentuhan tangan para
ahli dalam bidang teknik arsitektur. Adapun nilai seni yang diciptakan
adalah berupa ornamen-ornamen19 dan kaligrafi yang sengaja dirancang
untuk memperlihatkan ciri khas masing-masing budaya.
Perpaduan seni arsitektur budaya Arab, Jawa, dan Tiongkok yang
diterapkan dalam rancang bangun Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng
17
Kristalisasi adalah penjernihan atau penegasan (biasanya berupa kesimpulan singkat); perihal
menjadi jernih dan jelas (tentang suatu gagasan dsb)
18
Joyce Marcella Laurens, Arsitektur dan Perilaku Manusia, PT Grasindo, Jakarta. 2004. Hal. 26
19
Ornamen adalah hiasan dalam arsitektur, kerajinan tangan, dsb; hiasan yang dibuat (digambar
atau dipahat) pada candi (gereja atau gedung lain)
33
Hoo merupakan suatu bentuk akulturasi20 budaya yang memiliki
keterkaitan satu sama lain. Atap masjid berbentuk persegi delapan yang
dalam filsafat Tiongkok memiliki makna keberuntungan dan kejayaan.
Selain itu, segi delapan juga menggambarkan kisah Nabi Muhammad
SAW saat ditolong laba-laba, sarang laba-laba itu menyerupai persegi
delapan. Sedangkan budaya Jawa terlihat dengan pemasangan usuk-usuk
di dalam masjid, sementara budaya Arab terakomodasi melalui untaian
kaligrafi yang menghiasi dalam masjid21. Masing-masing memiliki simbol
atau makna tersendiri yang dapat dipahami melalui pengamatan terhadap
bagian-bagian masjid, seperti pada bagian teras, pintu, jendela, ventilasi,
pilar-pilar, atap, serta beberapa hiasan/ dekorasi masjid.
Pada bagian teras masjid yang berupa lantai bersusun tiga seperti
tangga memiliki makna Iman, Islam, dan Ihsan yang merupakan pokokpokok ajaran agama (Islam). Iman artinya percaya. Percaya dengan cara
membenarkan sesuatu dalam hati, kemudian diucapkan oleh lisan dan
dikerjakan dengan amal perbuatan. Dalam Alquran dan hadis ditegaskan
bahwa umat manusia harus beriman kepada rukun iman yang enam.
Adapun Islam berarti ketundukan (taslim), kepasrahan, menerima, tidak
menolak, tidak membantah, dan tidak membangkang. Yaitu penyerahan
diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Sedangkan ihsan adalah sebuah
kebaikan yang lahir dari kesadaran batin terdalam. Ihsan adalah berbuat
20
Akulturasi adalah percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling
mempengaruhi
21
Ibnu Novel Hafidz, Hati Seribu Masjid, Perintis Jasa Grafika, Pekalongan. 2014. Hal. 204
34
kebaikan dengan ukuran lebih dari yang telah dilakukan orang lain kepada
kita22.
Dengan demikian, hubungan antara Iman, Islam, dan Ihsan adalah
iman dapat dipandang sebagai pembenaran hati (secara batin) bahwa Allah
adalah Zat yang tidak ada bandingannya, Islam dipandang sebagai
ketundukan lahir dengan melaksanakan rukun yang lima, sedangkan ihsan
adalah hasil akhir (implikasi otomatis) dari sebuah proses keimanan dan
keislaman seseorang. Ihsan lahir dari keyakinan dan ketundukan bahwa
motivasi yang muncul hanya karena Allah semata23.
Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo memiliki 3 pintu yang
terdapat pada bagian depan, samping kanan, dan samping kiri masjid.
Pintu pada bagian depan merupakan pintu utama masjid yang memiliki
pola atau desain yang unik. Berbeda dengan pintu masjid pada umumnya
yang berbentuk persegi panjang ke atas, Masjid Jami’ PITI Muhammad
Cheng Hoo memiliki desain pintu yang berpola melingkar seperti
lingkaran pada bagian atas dan pola datar/ lurus seperti persegi pada
bagian bawahnya. Pintu masjid terbuat dari kayu yang kuat dan memiliki
nilai daya yang tahan lama serta mewah. Pada permukaan pintu terdapat
lafadz “Allah” menggunakan tulisan berbahasa Arab yang dipahat secara
elok dan rapi serta memiliki nilai seni tersendiri. Oleh karena itu, tidak
heran jika sepasang pintu utama masjid ini menghabiskan biaya sebesar
16jt.
22
23
Taofik Yusmansyah, Akidah dan Akhlak, Grafindo Media Pratama, Bandung. 2006. Hal. 12
Taofik Yusmansyah, Akidah dan Akhlak, Grafindo Media Pratama, Bandung. 2006. Hal. 14
35
Sedangkan sepasang pintu pada samping kanan dan kiri masjid
didesain seperti pintu rumah/ masjid pada umumnya yang berbentuk
persegi panjang ke atas. Material pintu yang digunakan pada pintu
samping kanan dan kiri masjid ini tidak seperti material pintu pada bagian
depan masjid yang terbuat dari kayu dan berukirkan lafadz “Allah”
bertuliskan bahasa Arab. Akan tetapi, material yang digunakan adalah
selain kayu, terdapat pula tambahan aksen kaca tebal yang berlukiskan
sebuah pola yang unik didalamnya pada setiap sisi pintu di bagian atas dan
bawah. Perpaduan material kayu dan kaca inilah yang dapat menambah
daya tarik masjid yang memiliki gaya arsitektur khas Tiongkok ini.
Berbeda dengan bagian pintu dengan desain yang cukup mewah,
bagian jendela pada Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo terlihat
biasa. Hanya pada bagian kaca jendela ini terdapat lukisan-lukisan
berwarna merah dan kuning keemasan yang memperlihatkan warna khas
budaya Tiongkok. Lukisan pada kaca jendela ini tentu saja dirancang
untuk menambah keindahan suasana masjid agar terasa lebih nyaman dan
tentram ketika melaksanakan ibadah shalat didalamnya.
Jika mengunjungi masjid ini, tentu tidak menyadari bahwa ada
beberapa bagian masjid yang sengaja dirancang pada setiap bagiannya
berjumlah delapan. Dalam keyakinan orang Tionghoa, angka 8 merupakan
angka kejayaan dan kemuliaan. Harapannya, dengan didirikannya Masjid
Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo ini dapat memunculkan kejayaan
36
khususnya untuk kejayaan masjid itu sendiri dan seluruh umat muslim
yang mengagungkan rumah ibadah (masjid) tersebut.
Sebagian besar orang Asia, khususnya keturunan Tiongkok yang
percaya dengan “supertisius”24, menganggap angka bisa membawa
keberuntungan. Terlebih angka-angka yang dalam pengucapannya hampir
sama dengan pengucapan kata keberuntungan, rezeki, hoki, atau
kemudahan. Beberapa angka yang menjadi incaran misalnya 8 atau
gabungan beberapa angka delapan, 168, 28 atau angka yang mengandung
nilai, makna, sejarah, dan momentum25. Pada bangunan Masjid Jami’ PITI
Muhammad Cheng Hoo, bagian-bagian yang memiliki jumlah delapan
adalah jumlah sisi pada ventilasi masjid, jumlah pilar-pilar di dalam dan di
luar masjid, dan jumlah sisi pada atap masjid.
Selain merupakan angka keberuntungan, jumlah delapan pada
bagian-bagian
masjid
juga
dilatarbelakangi
oleh
peristiwa
Nabi
Muhammad saw. ketika dikejar oleh kaum quraisy kemudian bersembunyi
di dalam Gua. Suatu hari, Nabi Muhammad saw. dan sahabatnya, Abu
Bakar Ash-Shiddiq pergi dari kota Mekah untuk menghindari serangan
musuh Islam. Nabi Muhammad dan Abu Bakar bersembunyi di Goa Tsur.
Keduanya memutuskan untuk menginap di sana hingga keadaan menjadi
aman. Sebenarnya Nabi Muhammad sedih harus meninggalkan kota
Mekah, tapi hal itu dilakukannya untuk menyelamatkan diri dari serangan
24
Kata supertisius berasal dari bahasa Inggris yaitu superstitious yang berarti takhayul
(kepercayaan kepada sesuatu yang dianggap ada atau sakti, tetapi sebenarnya tidak ada atau tidak
sakti)
25
Leman, The Best of Chinese Strategies: Memenangkan Kompetisi Bisnis dengan 36 Strategi
yang Telah Teruji Selama Ribuan Tahun, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2007. Hal. 49
37
kaum kafir quraisy yang akan membunuh Nabi. Atas perintah Allah, di
depan pintu goa tumbuh beberapa pohon. Di rantingnya terdapat dua ekor
burung merpati yang sedang membangun sangkarnya. Kemudian atas
perintah Allah juga jaring laba-laba menutup pintu goa. Jaring laba-laba
inilah yang dijadikan dasar dari makna jumlah delapan pada bagian-bagian
masjid yang berjumlah delapan.
Rupanya makna jumlah delapan pada sisi ventilasi masjid, pilarpilar masjid, dan sisi atap masjid tidak hanya memiliki dua alasan di atas.
Ada satu hal lagi yang perlu kita ketahui bahwa jumlah delapan juga
memiliki makna sebagai penjuru dunia (arah mata angin). Dengan dasar
ini, diharapkan agar berdirinya Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo
dapat memberi cahaya bagi seluruh umat muslim di seluruh dunia.
Pada bagian atap masjid, selain berbentuk segi delapan, setiap sisi
pada ruang atap juga terdapat lukisan dengan lafadz “Allah” bertuliskan
bahasa Arab. Warna yang digunakan pada atap ini adalah perpaduan warna
hijau, kuning, dan merah. Hal ini menunjukkan bahwa antara tulisan
berbahasa Arab dan warna cat yang digunakan pada ruang atap merupakan
salah satu perpaduan gaya arsitektur khas budaya Arab dan Tiongkok.
Ada beberapa perbedaan yang ditemukan antara bentuk gaya
arsitektur Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo Kabupaten
Purbalingga dan Masjid Muhammad Cheng Hoo Indonesia Surabaya
diantaranya, bentuk arsitektur teras masjid, keberadaan beduk, relief
38
Laksamana Cheng Hoo, lukisan atap masjid, dan keunikan khas yang
dimiliki oleh kedua masjid.
a. Bagian teras Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo Kabupaten
Purbalingga terdapat tiga sisi tangga berundak yang memiliki makna
Iman, Islam, dan Ihsan yang merupakan pokok ajaran agama Islam.
Sedangkan Masjid Muhammad Cheng Hoo Indonesia Surabaya tidak
ditemukan arsitektur teras masjid yang memiliki makna seperti yang
terdapat pada Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo Kabupaten
Purbalingga.
b. Beduk adalah gendang besar yang terdapat di surau atau masjid yang
dipukul untuk memberitahukan waktu shalat. Di Masjid Muhammad
Cheng Hoo Indonesia Surabaya terdapat sebuah beduk yang digantung
pada sisi utara masjid. Beduk bunyikan sebagai penanda masuk waktu
shalat. Namun, tidak setiap waktu shalat beduk dibunyikan, hanya
pada saat menjelang waktu shalat subuh saja beduk dibunyikan. Hal ini
dikarenakan Masjid Muhammad Cheng Hoo Indonesia Surabaya
mempunyai kebiasaan tidak mengumandangkan azan menggunakan
pengeras suara karena akan mengganggu penduduk sekitar yang
sebagian besar bukan merupakan umat muslim. Sedangkan di Masjid
Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo Kabupaten Purbalingga tidak
terdapat beduk yang menghiasi masjid setiap harinya. Beduk di Masjid
Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo Kabupaten Purbalingga hanya
39
dijumpai pada bulan Ramadhan saja yang biasanya dipukul sebagai
penanda masuknya waktu berbuka puasa.
c. Di Masjid Muhammad Cheng Hoo Indonesia Surabaya terdapat relief
Laksamana Cheng Hoo lengkap dengan replika kapal yang digunakan
Laksamana Cheng Hoo saat melakukan ekspedisi ke Indonesia.
Pembuatan relief Laksamana Cheng Hoo dimaksudkan untuk
mengenang jasa Laksamana Cheng Hoo dalam menyebarkan agama
Islam di Jawa. Relief Laksamana Cheng Hoo juga menjadi dekorasi
masjid yang menambah nilai seni bangunan, sehingga terlihat lebih
indah dan unik. Sedangkan di Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng
Hoo Kabupaten Purbalingga tidak dijumpai relief Laksamana Cheng
Hoo di sekitar masjid.
d. Berbeda dengan atap Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo
Kabupaten Purbalingga yang disusun dengan kayu usuk (khas budaya
Jawa) untuk memperkuat bangunannya, Masjid Muhammad Cheng
Hoo
Indonesia
Surabaya
menggunakan
kerangka
atap
yang
menyerupai kerangka atap pada bangunan kelenteng, yaitu terbuat dari
kayu yang disusun hingga tercipta susunan atap yang kuat. Selain itu,
simbol yang digunakan untuk melukis atap juga merupakan simbol
khas budaya Tiongkok. Sehingga dapat disimpulkan bahwa arsitektur
yang digunakan pada bagian atap Masjid Jami’ PITI Muhammad
Cheng Hoo Kabupaten Purbalingga adalah budaya khas Jawa,
40
sedangkan pada Masjid Muhammad Cheng Hoo Indonesia Surabaya
adalah budaya khas Tiongkok.
e. Keunikan khas yang dimiliki Masjid Muhammad Cheng Hoo
Indonesia Surabaya adalah terdapat pada bentuk arsitektur pintu masjid
menyerupai bentuk pintu pada bangunan kelenteng. Pintu terbuka
dengan sisi bagian atas yang membentuk setengah lingkaran. Pada sisi
kanan dan kiri pintu tengah/ utama terdapat hiasan kaligrafi berwarna
emas yang menyatu dengan dinding masjid yang berwarna merah
maroon. Hiasan kaligrafi berbentuk lingkaran dengan diameter satu
meter. Begitu juga dengan arsitektur pintu di Masjid Jami’ PITI
Muhammad Cheng Hoo Kabupaten Purbalingga yang tidak lain adalah
berbentuk setengah lingkaran saat terbuka serta terdapat hiasan berupa
keligrafi. Namun, yang berbeda adalah hiasan kaligrafi pada pintu
Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo Kabupaten Purbalingga
tidak berwarna emas, tetapi hanya ukiran kayu yang rapi dan
ditambahkan dengan warna yang mengkilap dan terkesan mewah. Hal
ini juga menjadi keunikan tersendiri yang dimiliki Masjid Jami’ PITI
Muhammad Cheng Hoo Kabupaten Purbalingga.
41
3.5 Kegiatan Rutin Yang Dilakukan Didalam Masjid Jami’ PITI
Muhammad Cheng Hoo
Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo adalah salah satu
tempat ibadah umat muslim dengan gaya arsitektur khas Tiongkok yang
didirikan ditengah lingkungan masyarakat berbudaya Jawa di Provinsi
Jawa Tengah, tepatnya di Kabupaten Purbalingga. Gaya rancang bangun
pada masjid yang merupakan perpaduan arsitektur Arab, Jawa, dan
Tiongkok menjadikan Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo dapat
dikenal oleh masyarakat luas. Sebagai tempat ibadah, masjid sebagaimana
mestinya juga hendak didirikan dengan baik, megah, dan indah, sehingga
jamaah yang masuk ke dalamnya akan merasa nyaman dan damai serta
dapat melaksanakan ibadah dengan khusyuk.
Kegiatan rutin yang dilaksanakan di masjid tentunya adalah shalat
5 waktu, begitu pula di Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo. Setiap
waktu azan berkumandang jamaah datang berbondong-bondong baik
jamaah dari warga setempat maupun jamaah para pengendara di jalan yang
singgah untuk melangsungkan kewajibannya. Jamaah shalat pada waktu
Zuhur dan Asar berkisar pada angka 15 hingga 25 orang. Sedangkan pada
waktu Magrib biasanya jumlah jamaah lebih banyak yaitu berkisar pada
angka 50 sampai 75 orang. Bahkan ketika hari libur, jumlah jamaah shalat
Magrib dapat mencapai 75 hingga 100 orang. Dengan demikian, dapat
diperkirakan jumlah jamaah ketika pelaksanaan shalat Jumat mencapai
angka 500 sampai 600 orang, sedangkan jumlah jamaah shalat Idulfitri dan
42
Iduladha biasanya lebih sedikit yaitu sekitar 400 orang. Hal ini
dikarenakan terdapat masjid lain yang letaknya tidak jauh dari keberadaan
Masjid jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo.
Fungsi masjid selain sebagai tempat ibadah juga sebagai tempat
kegiatan sosial. Kegiatan rutin yang dilaksanakan di Masjid Jami’ PITI
Muhammad Cheng Hoo diantaranya ada beberapa kegiatan. Kegiatan
pengajian yang diikuti oleh jamaah para muslimah (kaum muslim wanita)
dilakukan setiap Senin malam dan Kamis malam setelah waktu shalat
Magrib. Kegiatan ini dipimpin oleh imam masjid atau ustadz terdekat.
Selain kegiatan pengajian setelah waktu shalat Magrib, ada juga kegiatan
pengajian yang dilaksanakan setiap hari setelah waktu shalat Subuh.
Khusus pengajian setelah waktu shalat Subuh adalah kajian tentang ilmu
hadis. Biasanya jamaah pengajian pada waktu Subuh berkisar 20 sampai
25 orang. Adapun kegiatan pengajian anak-anak dilaksanakan setiap
malam setelah waktu shalat Magrib.
Beberapa perbedaan mengenai kebiasaan yang dilaksanakan di
Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo Kabupaten Purbalingga dan
Masjid Muhammad Cheng Hoo Indonesia Surabaya adalah ketika
mengumandangkan azan shalat subuh dan ketika pelaksanaan shalat
tarawih. Di Masjid Muhammad Cheng Hoo Indonesia Surabaya tidak
menggunakan pengeras suara ketika mengumandangkan azan. Hal ini
dikarenakan sebagian besar penduduk sekitar masjid merupakan umat nonmuslim, sehingga cara untuk tidak mengumandangkan azan menggunakan
43
pengeras suara bertujuan untuk saling menghormati umat beragama.
Sedangkan di Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo Kabupaten
Purbalingga tidak ada pengecualian untuk mengumandangkan azan tanpa
menggunakan pengeras suara, karena penduduk di sekitar masjid
merupakan umat muslim.
Pelaksanaan shalat tarawih di Masjid Muhammad Cheng Hoo
Indonesia Surabaya terbilang unik dan sangat jarang dilakukan di masjidmasjid pada umumnya. Beberapa aliran dalam agama Islam seperti
Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama melaksanakan shalat tarawih dengan
jumlah rakaat yang berbeda. Kaum Muhammadiyah melaksanakan shalat
tarawih sebanyak 11 rakaat (termasuk shalat witir), sedangkan kaum
Nahdatul Ulama melaksanakan shalat tarawih sebanyak 23 rakaat
(termasuk shalat witir). Masjid Muhammad Cheng Hoo Indonesia
Surabaya yang mempunyai visi sebagai masjid yang terbuka bagi
siapapun, memperbolehkan jamaah untuk melaksanakan shalat tarawih
sesuai keyakinan masing-masing. Sedangkan, pelaksanaan shalat tarawih
di Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo Kabupaten Purbalingga
mengikuti imam masjid.
44
3.6 Pengaruh Yang Timbul Dari Adanya Masjid Jami’ PITI Muhammad
Cheng Hoo
Pengaruh yang muncul dari adanya Masjid Jami’ PITI Muhammad
Cheng Hoo tentu memiliki dua sisi yang berbeda, yaitu sisi positif dan sisi
negatif. Menurut penjelasan salah satu pengelola Masjid Jami’ PITI
Muhammad Cheng Hoo, H. Untung Supardjo, “pada awal berdirinya
Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo ini memang ada saja
masyarakat sekitar yang kontra terhadap bangunan Masjid Jami’ PITI
Muhammad Cheng Hoo. Sebagian besar mereka mengolok-olok warna
merah pada bangunan Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo ini,
karena menurut pandangan mereka tidak ada bangunan masjid yang
berwarna merah, apalagi dengan gaya bangunan yang berbeda dengan
masjid pada umumnya”.
Menurut H. Untung Supardjo, tanggapan negatif masyarakat
seperti yang disebutkan di atas merupakan salah satu bentuk ketidaktahuan
masyarakat terhadap perpaduan akulturasi budaya yang diperlihatkan pada
arsitektur bangunan Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo, yaitu
akulturasi budaya antara budaya Arab, Jawa, dan Tiongkok. Sehingga
arsitektur masjid memang sudah diatur agar setiap ciri khas budaya
tersebut dapat terlihat mengemuka pada bangunan masjid yang mewah itu.
Budaya Arab pada bangunan Masjid Jami’ PITI Muhammad
Cheng Hoo dapat terlihat dari tempat ibadah umat muslim itu sendiri dan
lafadz “Allah” yang tertulis dalam tulisan bahasa Arab di dinding masjid
45
bagian depan atas. Selain itu, terdapat pula lukisan bertuliskan bahasa
Arab yang berupa rangkaian ayat suci Alquran di sekeliling dinding pada
bagian dalam masjid. Kemudian budaya Jawa yang dapat terlihat dari
bangunan masjid tersebut yaitu pada bagian pilar-pilar masjid. Selain itu
juga dapat terlihat dari kayu/usuk yang terdapat pada bagian atap masjid
yang menjorok ke depan sehingga dapat terlihat dari luar. Budaya
Tiongkok yang terdapat pada bangunan Masjid Jami’ PITI Muhammad
Cheng Hoo dapat terlihat sangat jelas. Dari perpaduan warna merah, hijau,
dan kuning pada bangunan Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng Hoo
sudah sangat memperlihatkan khas budaya Tiongkok. Terlebih pada
lukisan berbahasa Mandarin yang bertuliskan “祝你假平安“ di dinding
depan bagian atas pintu utama masjid.
Namun,
pengaruh
negatif
yang
muncul
pada
saat
awal
pembangunan masjid tidak membuat Masjid Jami’ PITI Muhammad
Cheng Hoo tidak dapat diterima oleh masyarakat. Sebaliknya, justru
masjid yang bernuansa Tionghoa ini selalu terlihat ramai oleh para
pengunjung yang datang dari berbagai kota. Tujuannya tidak lain adalah
untuk melaksanakan ibadah salat. Tidak hanya itu, berdasarkan
pengamatan yang dilakukan, para pengunjung juga terlihat asik berfoto
dengan memperlihatkan keindahan suasana masjid bergaya arsitektur khas
Tiongkok ini. Oleh karena itu, tidak heran jika banyak orang yang
berdatangan karena ingin sesekali melaksanakan ibadah serta merasakan
46
keindahan dan keelokan suasana Masjid Jami’ PITI Muhammad Cheng
Hoo.
47
Download