BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertengahan tahun 2012 lalu, saya menghadiri diskusi buku yang ditulis oleh aktivis feminis Irshad Manji di Yogyakarta. Di tengah-tengah diskusi, sekelompok organisasi masyrakat (ormas) yang mengatasnamakan agama datang dan membubarkan secara paksa diskusi tersebut. Alasannya, diskusi tersebut dianggap berpotensi melecehkan agama dan menyebarkan homoseksual. Setelah kejadian tersebut, saya melihat banyak sekali pernyataan yang menolak keberadaan kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender). Perdebatan tentang LGBT ini semakin menjadi ketika pada 26 Juni 2015, Amerika melegalkan pernikahan sejenis untuk warganya. Kebijakan Amerika tersebut memicu berbagai komentar masyarakat Indonesia. Sebagian orang yang tak keberatan dengan keberadaan kelompok LGBT turut menyambut gembira, sementara tak sedikit yang memberikan komentar negatif mengenai kebijakan tersebut. Beberapa komentar masyarakat yang tidak setuju dengan keberadaan kaum LGBT berpendapat bahwa LGBT bukanlah budaya Indonesia melainkan budaya liberal. Pernyataan ini membuat saya tergelitik karena sebelum Amerika ramai melegalkan pernikahan sejenis, di sekitar saya banyak saya jumpai rekan-rekan yang termasuk dalam kelompok LGBT. Tak sedikit pula kesenian tradisional Indonesia yang menggunakan LGBT sebagai pemerannya, salah satunya kesenian ludruk yang beberapa kali saya tonton ketika kecil. Keberadaan ludruk sebagai salah satu kesenian tradisional di Jawa Timur masih cukup popular dan banyak dijumpai di panggung-panggung desa khususnya di daerah sekitar Surabaya, Malang, Jombang, yang disebut sebagai daerah segitiga, 1 jantung Jawa Timur. Meski demikian, pertunjukan ludruk juga di jumpai di kawasan pesisir Jawa Timur, seperti daerah tapal kuda, Situbondo, Bondowoso, Jember, Banyuwangi. Secara umum pertunjukan ini merupakan pertunjukan drama yang mempertontonkan kondisi sosial politik masyarakat kecil di Jawa Timur dengan gaya Jawa Timuran. Berbeda dengan pertunjukan ketropak asal Jawa Tengah yang menggunakan bahasa jawa halus dan mengangkat kisah legenda, ludruk sangat identik dengan cerita keseharian masyarakat pedesaan. Pementasan ludruk selalu identik dengan laki-laki yang berperan dan berdandan sebagai perempuan atau dalam seni pertunjukan dikenal dengan crossdressing. Semakin lama, peran ini dimainkan oleh pemain yang dalam kesehariannya dikenal sebagai crossgender oleh masyarakat. Ada beragam versi tentang asal usul mengapa pertunjukan ludruk identik dengan crossgender. Pada saat ini pemain perempuan sudah banyak digunakan dalam pementasan ludruk. Tak jarang dalam pementasan ludruk saat ini perempuan yang tampil dalam pementasan ludruk. Meski demikian, hal tersebut tidak menghilangkan posisi transgender dalam dunia ludruk. Ludruk masih identik dengan pementasan transgender. Ada banyak literatur ilmiah yang membahas mengenai ludruk sebagai seni pertunjukan tradisional namun secara khusus masih sedikit yang membahas mengenai eksistensi transgender dalam dunia ludruk. Melalui penelitian dapat disimak secara objektif tentang latar belakang munculnya partisipasi, dan bagaimana peran transgender dalam sebuah pementasan ludruk dan pandangan masyarakat terhadap pertunjukan ludruk. Pemahaman peran transgender dalam ludruk dan pandangan masyarakat terhadap pertunjukan ludruk tersebut dapat menjelaskan fungsi ludruk bagi transgender dan juga sebaliknya. B. Permasalahan 2 Penelitian ini akan memfokuskan perhatian pada peranan transgender dalam pertunjukan ludruk di Jawa Timur pada era globalisasi seperti saat ini. Pada masa saat ini, seni pertunjukan di Jawa Timur sudah tidak lagi dibatasi aturan-aturan seperti pemisahan laki-laki dan perempuan, sehingga dalam pementasan ludruk saat ini sangat diperbolehkan untuk perempuan ikut bermain. Namun, kondisi tersebut tidak menggeser keberadaan transgender. Untuk itu penelitian tertarik untuk membahas lebih lanjut tentang eksistensi transgender pada masa saat ini. Dengan mengetahui peran transgender dalam ludruk, maka akan mengetahui pula hal-hal apa saja yang membuat seorang transgender tersebut diterima baik di panggung kesenian maupun di masyarakat. Terdapat beragam versi mengenai alasan penggunaan transgender di dalam ludruk. Seperti yang sudah di sebutkan di awal, ada yang menganggap keberadaan transgender dalam ludruk ini karena pengaruh kehidupan pesantren yang melarang laki-laki dan perempuan berada dalam satu panggung yang sama, sehingga digunakanlah laki-laki yang ber-crossdressing. Seorang laki-laki yang dalam peranannya dalam pertunjukan ludruk selalu menjadi wanita ini kemudian terbawa dalam kehidupan nyata. Maka, dalam penelitian ini, tertarik untuk mengamati seorang pemain ludruk yang menjadi transgender setelah melakukan cross dressing dalam pertunjukan ludruk. Di sisi lain, ada pendapat yang menyatakan bahwa penggunaan transgender dalam ludruk tersebut karena durasi ludruk yang sangat panjang, sampai dini hari, sehingga tidak sanggup jika dimainkan oleh wanita. Pentas ludruk biasanya dimulai dari sekitar jam 10 malam hingga pagi, dan karena perannya yang sangat berat secara fisik, ludruk biasanya hanya dipentaskan oleh laki-laki atau waria (Brandon, 1967: 49). Ini berarti seorang pemarin ludruk yang melakukan cross dressing tersebut telah 3 terlebih dahulu menjadi transgender, kemudian karena perawakannya yang pas untuk peran wanita dalam ludruk tersebut, maka dia ikut atau diajak untuk ikut dalam pertunjukan ludruk. Penelitian ini juga akan melakukan pengamatan terhadap pemain ludruk yang telah menjadi transgender terlebih dahulu sebelum ikut pementasan ludruk. Sejarah kehidupan (life history) dari kedua transgender yang tergabung dalam komunitas atau sanggar ludruk (yang menjadi transgender sebelum bermain ludruk dan sesudah bermain ludruk) tersebut akan menjadi kekuatan dalam penelitian ini. Mengingat pertunjukan ludruk merupakan kesenian tradisional dan bukanlah suatu pertunjukan yang mampu dijadikan sebagai pegangan hidup, penelitian ini juga tertarik untuk mengulas alasan transgender tersebut bertahan dalam dunia ludruk. Penelitian ini juga tertarik menyimak persespi masyarakat penonton ludruk dan pengelola pementasan ludruk terhadap keberadaan transgender dalam ludruk. Dengan demikian, bahasan tentang eksistensi dalam studi ini adalah dalam konteks munculnya suatu peran dalam komunitas yang dapat memberikan kontribusi lebih terhadap komunitas tersebut. Dalam hal ini, tulisan ini diharapkan dapat menangkap peranan yang dilakukan transgender dalam sebuah pementasan ludruk dan melihat makna ludruk bagi transgender. Dari situ, akan didapat juga jawaban tentang penerimaan transgender dalam bermasyarakat. Dari uraian di atas, penelitian ini merumuskan beberapa pertanyaan: 1. Mengapa terdapat perbedaan penerimaan keberadaan transgender pelaku thandhak ludruk di kalangan komunitas ludruk maupun masyarakat? 2. Bagaimana kaitan antara penerimaan yang berbeda itu dengan sejarah kesenian ludruk dan sejarah pribadi transgender pelaku thandhak ludruk? 4 C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan menjelaskan peranan dan fungsi transgender dalam seni pertunjukan tradisional di era globalisasi. Melalui penelitian ini diharapkan dapat membuat rumusan mengenai peranan transgender dalam seni pertunjukan, yang dalam penelitian ini adalah kesenian ludruk. Kesenian dan relasi sosial memiliki keterkaitan yang sangat erat. Untuk itu, dalam studi transgender dalam pertunjukan ludruk ini diharapkan dapat menjabarkan pola relasi sosial yang ada dalam masyarakat asal ludruk tersebut. Pemahaman seputar persepsi masyarakat terhadap suatu pertunjukan seni menjadi hal yang juga menarik untuk diketahui dalam penelitian ini. Sebagai suatu karya ilmiah yang akan digunakan untuk tesis pascasarjana jurusan antropologi, tulisan ini bertujuan untuk dapat mengembangkan mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu humaniora. Dengan adanya penelitian ini, tentu saja juga diharapkan mampu memberikan kontribusi di dunia akademik. Dengan menggunakan pendekatan antropologi, penelitian ini diharapkan dapat menjawab rumusan pertanyaan mengenai keterkaitan antara cross-gender dengan seni pertunjukan. Cross-gender merupakan bagian dari seni pertunjukan, sementara transgender merupakan perilaku sehari-hari. Penelitian ini ingin melihat apakah cross-gender merupakan tahapan seseorang menjadi transgender. D. Kajian Kepustakaan Tulisan mengenai pementasan ludruk telah cukup banyak. Sekitar tahun 1962, seorang antropolog dari Amerika, James L. Peacock, mengadakan penelitian mengenai ludruk. Belum banyak peneliti, khususnya antropolog yang menulis tentang 5 ludruk. Menurut pengamatan saya, Peacock adalah antropolog yang pertama menuliskan ludruk. Tulisan pertamanya dibukukan pada tahun 1968 berjudul Rites of Modernization: Symbolic & Social Aspects of Indonesian Proletarian Drama. Buku tersebut menjadi salah satu rujukan utama pertunjukan kesenian di Jawa Timur. Dalam buku ini, Peacock menganalogikan kesenian ludruk sebagai suatu ritus modernisasi. Dalam buku tersebut, menurut Peacock (1968), ludruk menjadi sarana untuk masyarakat pedesaan di Jawa Timur menetapkan gerak peralihan dari suatu kondisi ke kondisi lain. Kondisi yang dimaksud Peacock di sini adalah dari masyarakat tradisional (desa yang mata pencahariannya berbasis pertanian) ke modern (kota yang mata pencahariannya berbasis industri atau pabrik). Melalui ludruk, Peacock mencoba menggambarkan kondisi masyarakat Jawa Timur pada tahun enam puluhan. Tulisan Peacock tentang ludruk yang lain berjudul ‘Comedy and Centralization in Java: The Ludruk Plays’ tersebut, Peacock berusaha mengisahkan rincian adegan pada 83 pertunjukan Ludruk di Surabaya yang telah dia tonton. Peacock menyimpulkan bahwa lelucon yang digunakan dalam Ludruk terkesan sarkas, mengintimidasi, dan sering kali menggunakan kata makian. Lawakan tersebut begitu diterima oleh penontonnya. Menurut Peacock, hal tersebut karena mayoritas penonton ludruk merupakan masyarakat kelas pekerja yang tinggal di kampung di Surabaya. “The actors, produsers, and spectators of Surabaja ludruk are of the working class. They live in kampung, which are shantytowns of a special character. A kampung, in many ways like a rural Javanese village, is a cluster of bamboo and cement houses whose residents are governed by a headman whom they elect; the residents engage in various collecitive and coorperative rites and activities, such as joint guard duty against thieves…” (Peacock, 1967:346) “The victimization is marked off from the dialogue in that it always begin or ends in an urban kampung or rural village domicile, whereas the dialogue is always outside these locales, usually on the street or in the market, as we have seen. The victim is always shown at home in his kampung or village, whereas the reprobates of the dialogue are almost never shown at home. We may divide victimization sequels 6 into two kinds: those that begin at the victim’s home and those that conclude at the victim’s home.” (Peacock, 1967: 350-351) Melalui ludruk, Peacock ingin mencoba menggambarkan kehidupan masyarakat Jawa Timur pada tahun 1960-an. Tulisan Peacock ini pun kemudian disambut oleh Katlheeh Azali yang menuliskan artikel berjudul “Ludruk, Masikah sebagai Ritus Modernisasi?”. Dalam artikel yang di tulis tahun 2011 tersebut, Azali mencoba memperbandingkan keberadaan pementasan ludruk di tahun 2000-an dengan era Peacock1. Selain Peacock, kajian akademis lainnya seputar ludruk ditulis oleh Henricus Supriyanto yang dikenal sebagai doktor ludruk Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Beberapa tulisannya berjudul: “Lakon-lakon Ludruk di Malang” (1984), “Lakon Ludruk Jawa Timur” (1992), “Sandiwara Ludruk di Jawa Timur: Yang Tersingkir dan Terssungkur” (1994), “Ludruk Jawa Timur: Pemaparan Sejarah, Tonel Direksi, Himpunan Lakon” (2001), “Membedah Tantangan dan Peluang Revitalisasi dan Renovaasi Sandiwara Ludruk Milenium XXI (Makalah Sarasehan dan Kepelatihan Sandiwara Ludruk se Jawa Timur)” (2003), “Lakon Sarip Tambakyasa dalam Pertunjukan Ludruk: Analisis Wacana Poskolonial” (2006). Melalui tulisantulisannya tersebut, Supriyanto banyak menganalisis ludruk dari segi lakon (cerita) yang dikaitkan dengan berbagai perubahannya sesuai zaman. Tulisan terbarunya yang dengan judul “Transformasi seni pesisir Using ke Ludruk Madura di Jember” mengungkapkan kiat-kiat yang digunakan kelompok teater tradisional Jawa Timur untuk mempertahankan eksistensinya. Di sini, Supriyanto menjelaskan bahwa perkembangan teknologi tidak membuat teater tradisional terpinggirkan. Hal tersebut 1 Dipublikasikan melalui http://c2o-library.net/wp-content/uploads/2012/01/Ludruk-kazali-201201.pdf dan diakses pada Sabtu, 10 Januari 2015 7 justru membuat kelompok seni tradisi semakin kreatif dalam memanfaatkan perkembangan teknologi2. Literatur lain yang membahas pertunjukan ludruk secara akademik adalah Ayu Sutarto, yang dikenal sebagai profesor sastra lisan di Universitas Negeri Jember. Artikelnya yang berjudul, “Reog dan Ludruk: Dua Pusaka Budaya dari Jawa Timur yang Masih Bertahan3,” menceritakan kesenian tradisional Jawa Timur yang masih bertahan hingga saat ini. Lebih lanjut, Sutarto menjelaskan keberlangsungan kesenian tradisional tersebut dapat bertahan karena adanya pewaris yang meneruskan kesenian tersebut. Kajian lainnya mengenai ludruk berjudul “Ludruk di Tengah Prahara Perubahan Sosial dan Budaya” (2002), merupakan sebuah makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional di Surabaya pada tanggal 4 Juli 2002. Fokus yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah transgender dalam pertunjukan ludruk. Dalam dunia seni pertunjukan, crossgender bukanlah sesuatu yang baru. Beberapa daerah pun memiliki kesenian tradisional yang diperankan dengan crossgender. Di Jepang, ada onnagata yang menjadi bagian dari teater kabuki. Tahun 1629, pejabat pemerintah melarang pemain teater perempuan profesional mengikuti kabuki. Sampai pada akhir kesembilan belas, larangan tersebut dicabut, meski demikian onnagata masih diperankan oleh pemain laki-laki hingga saat ini4. Keberadaan crossgender dalam dunia seni pertunjukan sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Ada begitu banyak kesenian tradisional Indonesia yang menggunakan crossgender sebagai pemainnya. Seniman tari yang terkenal dengan crossdressing-nya, Didik Ninik Thowok, membuat sebuah buku berjudul “Cross 2 Supriyanto, H. 2006. “Tranformasi seni pesisir Using ke Ludruk Madura di Jember”. Pustaka Vol IV No. 12. Denpasar: Universitas Udayana. 3 Diunduh dari http://www.javanologi.info/main/themes/images/pdf/Reog_Ludruk-Sutarto.pdf pada Sabtu, 10 Januari 2015 4 Brandon, J.R. 2012. Reflection of Onnagata. Asian Theatre Journal, vol. 29, no. 1 8 Gender” di tahun 2002. Buku tersebut berisi kumpulan artikel-artikel mengenai cross gender di dalam seni pertunjukan di berbagai daerah. Salah satu tulisan dalam buku tersebut berjudul “Bissu: Waria-Waria Sakti Bugis” yang bercerita tentang bissu, seorang seniman yang juga pendeta agama Bugis kuno (Sulawesi Selatan, Indonesia) pra-Islam. Mereka adalah pria yang bersifat kewanitaan (calabai/waria) dan dalam kehidupan keseharian mereka lebih suka tampil sebagai wanita. Tidak seperti para waria yang menjadi bahan ejekan pria Bugis, bissu justru disegani karena kesaktian dan fungsinya dalam setiap upacara ritual atau upacara adat5. Di Bali, tradisi silang gender masih terus dipertahankan dalam beberapa jenis seni pertunjukan. Dramatari Arja adalah sebuah seni pertunjukan tradisional Bali yang dalam pertunjukannya banyak menampilkan peran-peran secara silang gender. Saat ini dalam pertujukan Arja terdapat peralihan peran-peran utama yang semula dibawakan oleh laki-laki, kini diperankan oleh perempuan6. Masih dalam buku “Cross Gender”, I Wayan Dibia (2005) menuliskan sebuah artikel tentang silang gender dalam seni tradisi Bali. Dalam pembahasannya, Dibia mengkaitkan silang gender pada dramatari Arja dengan perubahan budaya Bali. Melalui tulisan yang berjudul “Cross Gender: Antara Rekayasa Kultural dan Sosial”, Widaryanto (2005) membahas mengenai penggambaran sosok maskulinitas suatu tokoh pewayangan yang justru diperankan oleh penari perempuan. Widaryanto mencontohkan, pada wayang orang Surakarta misalnya, peran Arjuna sering kali diperankan oleh perempuan. “Yang menarik di sini yakni persepsi gambaran cross gender yang dilakukan pada wayang orang panggung, yang kemudian perwujudan tokoh maskulin tersebut justru dilakukan oleh tokoh penari perempuan. Meskipun hal itu tidak terjadi pada wayang wong gaya Yogyakarta, namun fenomena tokoh Arjuna oleh penari laki-laki 5 Latief, H. 2005. Bissu: Waria-Waria Sakti Bugis. dalam Cross Gender, Didik Nini Thowok. Malang: Bayu Media 6 Dibia, I.W. 2005. Silang Gender dalam Dramatari Arja di Bali. Dalam Cross Gender, Didik Nini Thowok. Malang: Bayu Media 9 pun juga sulit diperoleh model idealnya. Pada beberapa generasi, tokoh dengan kemampuan kepenarian ini mungkin nyaris hanya bisa dihitung tidak lebih dari jari tangan yang kita miliki. Lalu apa artinya? Hal itu bisa dipahami sebagai sebuah fenomena, Surakarta maupun Yogyakarta, tidak mudah dipelajari sehingga tidak banyak yang mampu menjadi master dalam penguasaan teknik kepenariannya. Kalaupun kemudian ada beberapa yang mampu menguasainya, mereka kemudian dipuja sebagai sebuah ikon yang mampu memberikan nilai-nilai baru dalam intensitas empati dari sebuah proses kepenontonan.” (Widaryanto, 2005: 42) Penggunaan silang jender ini, menurut Widaryanto, bertujuan agar tampak lebih artistik. Selain itu, silang jender dilakukan untuk memperkecil konflik sosial yang terjadi di luar pementasan saat terdapat adegan bermesraan laki-laki dan perempuan. Widyanto mencontohkan emosi yang timbul dalam seni peran, kerap kali berdampak perselingkuhan antar sesama pemain. Untuk itu, jika peran tersebut dimainkan oleh dua pemain yang berjenis sama, maka konflik sosial tersebut dapat dihindari. Tak hanya membuat buku, pembahasan crossgender dalam seni pertunjukan juga dilakukan Didik Nini Thowok dengan mengadakan sebuah seminar internasional dan pertunjukan tari. Seminar yang diadakan di Yogyakarta tersebut membahas secara khusus crossgender dalam seni tari. Ahmad Tohari, salah seorang pembicara yang hadir pada seminar itu, bercerita mengenai gejala silang jender dalam seni tradisi di Banyumas. Tinjauan sederhana mengenai cross gender tersebut dibuka dengan tokoh-tokoh pewayangan yang dikenal di Banyumas. Orang Banyumas mengenal kata ‘wandu’ yang dalam Indonesia kira-kira sama artinya dengan ‘banci’ dari cerita pewayangan. Sosok Kenya Wandu adalah raksasa perempuan berdandan laki-laki dan punya istri tiga raksasa laki-laki. Gejala persilangan pun muncul dalam seni tradisi di Banyumas seperti pada lengger atau ronggeng, ebeg atau kuda kepang, menore, kethoprak, dan wayang wong. Menurut Tohari, Seni lengger memiliki sejarah persilangan jender yang cukup tua di Banyumas.7 7 Tohari, A. 2014. Gejala Silang Jender Dalam Seni Tradisi di Banyumas (sebuah tinjauan ringan). dalam Makalah Seminar Internasional Dancer Performance 5 Desember 2015 di Yogyakarta 10 Dari sekian banyak tulisan mengenai cross gender dalam seni pertunjukan di Indonesia. Belum banyak yang berbicara mengenai cross gender dalam ludruk secara mendalam. Ada beberapa pembahasan mengenai hal tersebut, namun hanya sebagai salah satu bagia studi kasus. Dalam media Srintil edisi Oktober 2003 yang bertemakan waria, Novi Anoegrajekti bercerita tentang ambiuguitas dalam thandak ludruk. Menurut Anoegrajekti, keberadaan laki-laki yang berdandan dan tampil sebagai perempuan dimulai karena adanya penolakan perempuan sebagai pemeran panggung oleh sejumlah pemuka agama Islam. Seiring berjalannya waktu, ketika maraknya perilaku biseksualitas dan homoseksualitas, ada beberapa pemain thandak ludruk yang diperistri oleh pengagumnya. Hingga pada akhirnya maraklah mereka yang dalam kesehariannya dikenal sebagai waria masuk dalam kesenian ludruk. Pada akhirnya tampilan yang semula hanya ‘akting’ tersebut benar-benar diperankan oleh pemain yang dalam kesehariannya telah menjadi waria8. Ambiguitas yang dimaksud Anoegrajekti ini adalah ketika thandak waria harus bertolak belakang dengan realitas demi mengikuti persepsi penonton (masyarakat umum). Disertasi mengenai berbagai macam unsur jender dalam tarian di Malang, Jawa Timur, pernah ditulis oleh Christina Michelle Sunardi untuk ujian doktoralnya. Sunardi (2007) mengkaji kreasi budaya yang musisi dan penari lakukan melalui tarian-tarian jender untuk menghasilkan cita rasa identitas tertentu. Fokus penelitiannya ditujukan pada artis, musik, dan penari di Malang, Jawa Timur. Melalui kajiannya ini, Sunardi berpendapat bahwa rasa identitas lokal yang ia sebut sebagai ‘Malangness’ dihasilkan melalui wacana jender, termasuk gerak tari, suara musik, dan wacana lisan pemain. Tarian yang dibahas dalam disertasi ini fokus pada tarian wanita dan pria tarian, yaitu: Beskalan Putri, Beskalan Lanang, Ngremo Lanang, 8 Anoegrajekti, N. 2003. Thandak Ludruk: Ambiguitas dan Panggung Identitas. Dalam majalah Srinthil Oktober 2003. 11 Ngremo Putri, dan Ngremo Tayub. Perempuan atau laki-laki dapat melakukan Beskalan atau Ngremo yang itu berarti bahwa tarian ini dapat dilakukan baik sebagai "sesama jenis" atau "cross gender" tarian. Dalam beberapa sub-bab, Sunardi membahas juga mengenai thandak ludruk sebagai perbandingan dengan tari Beskalan Putri. Secara estetika, ada anggapan bahwa Beskalan Putri tidak cocok dibawakan oleh laki-laki, sebaliknya thandak ludruk lebih pas bila dibawakan oleh laki-laki. E. Kerangka Teori Telah banyak dibahas perbedaan mengenai seks dan gender, meski demikian dalam penerapannya masih banyak orang yang bias dengan pemahaman gender, sehingga menyamakannya dengan seks. Berbeda dengan seks, gender merupakan suatu bentukan dari masyarakat. Seks merupakan pembagian dua jenis kelamin yang melekat pada manusia yang ditentukan secara biologis. Sementara, konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap: kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain (Fakih, 1999: 8-9). Konsep gender ini kemudian melekat pada persepsi setiap masyakat tentang bagaimana seorang laki-laki dan perempuan seharusnya bersikap dan berperilaku. Dalam pandangan masyarakat, laki-laki haruslah tampil gagah, kuat, dan perkasa,. Sebaliknya, seorang perempuan harus tampak lembut, lemah, dan gemulai. Jika seorang laki-laki atau perempuan berlaku di luar dari yang dipersepsikan oleh 12 masyarakat, maka orang tersebut dianggap aneh, tak wajar, bahkan menyalahi aturan. Sebutan-sebutan khusus diberikan oleh masyarakat kepada orang-orang yang berperilaku berlawanan dengan konsep gender yang melekat pada persepsi masyarakat. Lelaki yang dalam keseharian berperilaku dan berdandan seperti perempuan sering disebut sebagai ‘banci’ atau ‘waria’. Dalam ilmu sosial, gejala ini dikenal dengan istilah transgender. Transgender: A term for people whose gender identity, expression or behavior is different from those typically associated with their assigned sex at birth. Transgender is a broad term and is good for non-transgender people to use. “Trans” is shorthand for “transgender.” (Note: Transgender is correctly used as an adjective, not a noun, thus “transgender people” is appropriate but “transgenders” is often viewed as disrespectful.)9. Perspektif gender yang melekat pada pikiran masyarakat ini pun terbawa dalam seni pertunjukan. Ted Polhemus dalam tulisannya berjudul Dance, Gender, and Culture10 menyatakan bahwa kultur yang pertama kali dipelajari manusia adalah bahasa penubuhan. Lebih lanjut, tarian merupakan bahasa penubuhan yang telah diselaraskan dan diatur menurut koreografinya. Gerak dalam tarian yang berasal dari kultur tersebut, tak lepas dari perspektif kultur laki-laki dam kultur perempuan. Because of this fact of life we must slightly revise our understanding of the interface between culture and dance. A culture is that which is shared by all of the members of a society. In practice, however, the possibilities of such intersubjectivity will always be limited by differences of gender. For this reason, it is necessary to distinguish between of gender. For this reason, it is necessary to distinguish between male and female cultural realities within the context of any social group. For both male and female cultural realities the processes of cultural expression and signification will be the same as those discussed above; culture in its broadest sense is embodied in the form of physical culture and this in turn is stylised and schematised in the form of dance. However, while this process itself may be unrelated to gender, the end result always are: the cultural reality which, for example, Masai (etc.) men express in their dance will be a different cultural reality than that which Masai (etc.) women express in their dance (Polhemus, 1993: 11). 9Sumber: Transgender Terminology diakses melalui http://transequality.org/Resources/TransTerminology_2014.pdf pada 20 Januari 2015. 10 dalam buku Dance, Gender and Culture, editor Helen Thomas. 1993. London: The Macmillan Press Ttd 13 Dalam seni pertujukan terdapat istilah cross dressing yakni seorang laki-laki yang berperan dengan dandanan seperti perempuan atau sebaliknya. Istilah cross dressing ini muncul ketika Theater Shakespeare di Inggris mementaskan suatu pertunjukan dengan tidak menggunakan pemeran wanita, dan digantikan dengan lakilaki muda. Mereka tampil dengan pakaian wanita dan bertingkah selayaknya wanita. Pertunjukan semacam ini terus berjalan selama bertahun-tahun dan bahkan dijadikan contoh untuk pertunjukan lain, tanpa ada penolakan. Hingga para feminis melakukan kritik terhadap pertunjukan tersebut. Antropolog sejarah telah mengungkapkan bahwa cross dressing adalah tidak hanya sebuah perangkat teater tetapi juga praktik sosial yang luas, namun itu tidak lebih baik dihargai dalam kehidupan nyata secara tepat. Kritikus feminis telah menekankan, penolakan ini karena fakta bahwa untuk perwakilan dominan wacana laki-laki cross dressing berarti subversi yang ada (dan normatif) tatanan sosial diwujudkan dalam peran gender tetap dan tidak berubah. Prinsip utamanya tentu saja, bahwa laki-laki lebih unggul sementara perempuan yang subordinat11. Sejarah kehidupan seorang pemain ludruk yang bertransformasi menjadi transgender setelah memerankan peran cross dressing dalam ludruk dan seorang pemain ludruk yang telah menjadi transgender terlebih dahulu sebelum ber-cross dressing dalam ludruk menjadi fokus dalam penelitian ini. Penulisan sejarah hidup ini berkaitan dengan orientasi sosial seseorang. Coleman dalam Roland D Martinson (1994) ada sembilan dimensi seksualitas manusia yang membentuk orientasi seksual manusia, salah satunya adalah persepsi individu di masa lalu. 11 Szonyi, Gyogy E. “Order Its Subversion in Dress-Code: Crossdressing”. dalam The Iconology of Law and Order. Szeged: JATEPress, 2012 (PEAS 21), 110-22. 14 “While one’s “sexual orientation” is primarily determined by the object(s) of ones sexual fantasies and desires, by the focus of one’s inner sexual fantasies and affection, Eli Coleman understands sexual orientation to be even more complex. Coleman asserts one must consider nine dimensions of human sexuality when discerning sexual orientation: current relationship status, self-identification identity, ideal self-identification identity, global acceptance of one’s current sexual orientation identity, physical sexual identity, gender identity, sex-role identity and sexual orientation identity as measured by behavior, fantasies, and emotional attachments, and lastly the individual’s past and present perception of their sexual identity compared to their idealized future. Even though on this basis men and women are said to be hetero-, bi-, or homosexual, Coleman asserts this to be an oversimplification. It is possible to be an anatomical male, have male gender identification, live in societally expected modes of masculine being and behavior, and be exclusively focused on another male as the object of one’s sexual desire and fantasies.” (Martinson, 1994: 241) Ludruk yang identik dengan thandhak transgender ini hidup di tengah-tengah masyarakat. Keberterimaan sosial (social acceptance) transgender dalam seni pertunjukan menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji. Dalam kajian ini, keberterimaan sosial adalah bagaimana respon masyarakat terhadap keberadaan suatu individu. Dalam artikelnya, DeWall dan Bushman (2011), mendefinisikan social acceptance dalam kaca mata ilmu psikologi dengan merumuskan catatan beberapa pakar. Social acceptance means that other people signal that they wish to include you in their groups and relationships (Leary, 2010). Social acceptance occurs on a continuum that ranges from merely tolerating another person’s presence to actively pursuing someone as a relationship partner. Social rejection means that others have little desire to include you in their groups and relationships (Leary, 2010). Social rejection also is a complex construct, consisting of behaviors that can range from ignoring another person’s presence to actively expelling him or her from a group or existing relationship. People can experience acceptance and rejection chronically or acutely. People experience social acceptance and rejection in numerous ways. Examples of acceptance include being chosen for a desirable job or having a romantic partner say “yes” to a marriage proposal. Examples of rejection include divorce or being ignored by one’s coworkers. Psychologists have devised several innovative manipulations of social acceptance and rejection, including leading participants to believe that everyone or no one chose them to be in their group (Maner, DeWall,Baumeister, & Schaller, 2007) or having confederates (real or virtual) include or exclude them in a ball-tossing game 15 (Williams, Cheung, & Choi, 2000).12 Transgender merupakan kelompok masyarakat marginal. Merujuk pada kondisi tersebut, untuk menjelaskan mengapa transgender tetap bertahan dalam dunia ludruk digunakanlah teori-teori yang berkaitan dengan marginalitas. Kelompok marjinal mengalami inti dari pengucilan dari kehidupan. Orang-orang yang terpinggirkan memiliki relatif sedikit kontrol atas kehidupan mereka dan sumber daya yang tersedia bagi mereka. Mereka dapat menjadi tersingkir dan sering di ujung menerima sikap negatif publik. Peluang mereka untuk membuat kontribusi sosial terbatas dan mereka dapat memiliki kepercayaan diri dan harga diri yang rendah. Jika mereka tidak memiliki pekerjaan dan hidup dengan bantuan, mereka semakin memiliki kesempatan terbatas untuk bertemu dengan orang lain, dan dapat menjadi terisolasi. Lingkaran yang sudah diatur ini dimana kurangnya hubungan yang positif dan mendukung berarti mereka dilarang berpartisipasi dalam kehidupan lokal, yang pada gilirannya menyebabkan isolasi lebih lanjut. Akses kebijakan dan praktekpraktek sosial yang mereka miliki relatif terbatas sumber daya sosial dihargai seperti pendidikan dan pelayanan kesehatan, perumahan, pendapatan, kegiatan rekreasi dan bekerja13. F. Metode Penelitian Penggambaran seni pertunjukan dan relasi sosial yang terjadi di dalamnya menjadi hal yang utama yang akan dibahas dalam penelitian ini. Mengingat kebutuhan penelitian ini memerlukan data yang rinci, yang dapat digambarkan 12 DeWall, C Nathan and Bushman, Brad J. 2011. Social Acceptance and Rejection: The Sweet and the Bitter. University of Kentucky and The Ohio State University and VU University, Amsterdam 13 Burton and Kagan. Marginalization. diunduh dari http://www.compsy.org.uk/Chapter13all.PDF pada Selasa, 13 Januari 2015 16 tentang apa yang ditangkap oleh seluruh panca indra, seperti setting tempat, kondisi yang terjadi di atas dan belakang panggung, kondisi penonton, dan lain sebagainya, maka metode etnografi baik secara penulisan maupun sebagai penelitian merupakan metode yang paling tepat. Dengan menggunakan etnografi, penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan berbagai penjelasan yang dikemukakan oleh tineliti. “Etnografi sendiri tidak lepas dari ikatan-budaya. Namun, etnografi memberi deskripsi yang mengungkapkan berbagai model penjelasan yang diciptakan oleh manusia. Etnografi dapat berperan sebagai penuntun untuk menunjukkan sifat dasar ikatan-budaya dari teori-teori ilmu sosial. Etnografi mengatakan kepada semua peneliti perilaku manusia, bahwa ‘Sebelum Anda menerapkan teori Anda pada orang yang Anda pelajari, terlebih dahulu temukanlah bagaimana orang-orang itu mendefinisikan dunia’. Etnografi dapat mendeskripsikan secara detail teori-teori penduduk asli yang telah diuji dalam situasi kehidupan aktual selama beberapa generasi. Dan setelah kita memahami kepribadian masyarakat, individu-individu, dan lingkungan dari perspektif yang lain dari perspektif kebudayaan ilmiah profesional, maka kita akan sampai pada sikap epitemologis yang rendah hati. Kita akan menyadari sifat sementara dari teori kita. Sikap seperti ini memungkinkan kita untuk memperbaiki teori-teori itu agar tidak terlalu etnosentris.” (Spradley, 1997:16) Untuk menangkap persepsi mengenai pengalaman pelaku seni pertunjukan, dalam penelitian ini digunakan pula life history. Pendekatan life historiy yang dilakukan dengan narasi personal sejarah dapat mengungkapkan pengalaman seseorang. Pendekatan sejarah hidup mempertimbangkan pendekatan realis dan konstruksionis. Pendekatan realis tertarik pada proses sejarah seperti mobilitas sosial, generasi, pengalaman kelas sosial dan profesi. Pendekatan konstruksionis cenderung fokus pada presentasi ide, identitas dan konfigurasi narasi. Life history seorang individu menjadi ‘entry point’ dalam memahami struktur sosial dan ekonomi yang membentuk kehidupan individu. Ada banyak hal yang membuat pendekatan sejarah hidup begitu menarik. Pendekatan life history menekankan pentingnya mendengarkan 17 pendapat dari informan yang sedang diteliti, utamanya pada kajian kelompok marjinal14. “The life history approach has underlined the importance of listening to the voices of the subject being studied, especially subjects who belong to marginal groups. Life history approach aims to penetrate deeper than any other approaches by allowing the subjects to tell their stories and present their views. Generally speaking, it can be said that life history approach explores the subject's experience and the meanings he/she attributes to the experiences. Apart from voice, the idea of marginality is also important in our research. The process of collecting information is typically to start with a broad overview then to narrow down to the area of interest. A discussion guide is prepared to ensure all the important points are covered and to ensure that spontaneous opinion can be gathered.” (Rahmah & Yusuf, 2008: 4) Dengan menggunakan life historis, cerita kehidupan individu diintegrasikan ke dalam sejarah sosial yang lebih luas. Penelitian ini akan dilakukan pada transgender yang bermain ludruk di Jawa Timur. Mulanya, penelitian ini akan dilakukan pada beberapa kelompok ludruk yang ada di Jawa Timur, namun karena ternyata satu orang pemain ludruk sangat fleksibel untuk bermain di beberapa kelompok ludruk di Jawa Timur, maka penelitian ini akan fokus pada individu. Sebagai model, pengumpulan informasi akan fokus pada dua orang transgender, yang satu adalah yang menjadi transgender setelah bermain ludruk, sedangkan yang satu lagi adalah telah menjadi transgender sebelum bermain ludruk. Penelitian ini akan menggunakan data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui obeservasi partisipasi dan wawancara mendalam dengan transgender yang bermain ludruk sebagai key informan. Ada dua informan utama yang akan digunakan dalam penelitian ini dengan kriteria masing-masing: pemain ludruk transgender yang menjadi transgender sebelum bermain ludruk dan pemain ludruk transgender yang menjadi transgender setelah bermain ludruk. Selain itu juga akan dilakukan wawancara kepada pengelola kelompok ludruk dan pengamatan terhadap masyarakat 14 Noor Rahamah Hj. Abu Bakar & Mohd. Yusof Hj. Abdullah. 2008. “The Life History Approach: Fieldwork Experience” . dalam Jurnal E-Bangi. Volume 3, Number 1, 09. 18 yang menonton pertunjukan ludruk. Penelitian ini juga menggunakan data sekunder dalam bentuk rekaman pementasan ludruk, dokumentasi kegiatan dan berbagai sumber-sumber yang relevan. Sebagai penelitian deskriptif-eksploratif, penelitian ini menggali data partisipasi untuk menemukan pola eksistensi yang spesifik setiap bentuk peran individu dan untuk menjelaskan pola itu digunakan pendekatan emik dan etik. Pendekatan emik mendasarkan penjelasan berbasis pada pengetahuan lokal, sedangkan pendekatan etik berbasis pada pengetahuan ilmiah. 19