Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Indonesia : Tantangan

advertisement
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Indonesia : Tantangan Globalisasi
Azyumardi Azra
Deputi Sekretaris Wakil Presiden Bidang Kesejahteraan Rakyat
Mengawali makalah ini sebuah pertanyaan yang sering diajukan orang patut kembali saya kemukakan di sini;
benarkah ‘nasionalisme' sudah mati? Atau setidaknya, apakah betul ‘nasionalisme' tidak relevan lagi? Dan pertanyaan
lebih lanjut; apakah hubungan antara nasionalisme dengan agama-dalam hal ini Islam-dan bahkan dengan etnisitas?
Menjawab pertanyaan pertama, menurut saya "secara imperatif tidak". Orang yang menyatakan riwayat
"nasionalisme"-yang dipahami sebagai suatu ideologi-telah tamat, sering mengutip karya klasik Daniel Bell, The End of
Ideology (1960); atau lebih akhir lagi, karya Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man (1992).
Kesimpulan Bell yang secara implisit menyatakan bahwa nasionalisme, sebagai ideologi-telah berakhir adalah
kekeliruan yang cukup fatal dan distortif. Pendapat Bell justru bertolak belakang. Ringkasnya, menurut Bell, ketika
ideologi-ideologi intelektual lama abad ke-19-khususnya Marxisme-telah exhausted (kehabisan tenaga, lumpuh) dalam
masyarakat Barat, terutama Eropa Barat dan Amerika, ideologi-ideologi "baru" semacam industrialisasi, modernisasi,
Pan-Arabisme, warna kulit (etnisitas), dan nasionalisme justru menemukan momentumnya, khususnya di negaraÂ-negara
yang baru bangkit di Asia Afrika seusai Perang Dunia II.3
Lebih jauh, dalam pandangan Bell, ideologi-ideologi lama sebagai sistem intelektual yang dapat mengklaim
‘kebenaran' atas pandangan dunia mereka, telah kehilangan raison d'etre-nya di tengah perubahan sosial masyarakat
barat yang amat kompleks, khususnya menjelang dan terus berlanjut sampai usainya Perang Dunia II. Ideologi lama
kehilangan tenaga karena lenyapnya semangat yang menyala-nyala (passion), sebagai akibat proses rasionalisasi dan
antromorfisasi. Pendeknya, ideologi-ideologi lama yang dalam segi-segi tertentu bersifat universalistik, humanistik yang
dikonseptualisasikan kaum intelektual, kehilangan "kebenaran" dan kekuatan untuk memikat banyak orang di barat.
Pada pihak lain, ideologi-ideologi baru yang sedang bangkit itu bersifat parokial dan instrumental. Ia dirumuskan,
dikonseptualisasikan dan dibentuk para politisi. Impulsi-impulsi yang melatarbelakangi pertumbuhannya terutama adalah
pembangunan ekonomi dan kekuatan nasional. Hal ini melibatkan koersi atas seluruh penduduk dan berbarengan
dengan muncul dan berkuasanya elit penguasa baru yang menggiring dan memaksa rakyat atas nama kepentingan
nasional. Justifikasi pun diberikan; bahwa tanpa koersi dan ‘stabilitas nasional', kemajuan ekonomi tidak bisa dicapai.
Tentu saja, di sini muncul persoalan klasik: Apakah negara-negara baru dapat tumbuh dengan mengembangkan institusiinstitusi demokratis dan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk membuat pilihan-pilihan sendiri atau apakah elit
penguasa baru dengan kekuasaan yang mereka genggam sebaliknya menggunakan cara-cara otoriter memaksakan
transformasi masyarakat mereka atas nama kepentingan nasional?
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 19 July, 2017, 07:42
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Karya Bell, The End of Ideology, mungkin sudah terlalu klasik; lagi pula, ia tidak secara khusus membahas subyek
nasionalisme. Namun jelas, ‘nasionalisme' tidak mati; walau pun ia memang kelihatan surut di negara-negara maju.
Simaklah pendapat Hobsbawm, ahli nasionalisme Marxis, dalam bukunya Nations and Nationalism since 1780:
Programme, Myth, Reality (1990). Menurutnya, nasionalisme kini memang tidak lagi menjadi kekuatan utama dalam
perkembangan historis masyarakat dunia. Ia tidak lagi menjadi program politik global sebagaimana pernah terjadi pada
abad XIX dan XX. Namun, ini tidak berarti bahwa nasionalisme tidak lagi mengemuka dalam politik dunia sekarang ini,
atau sudah sangat berkurang dibandingkan masa sebelumnya. Nasionalisme dapat menjadi satu faktor yang rumit atau
katalis bagi perkembangan lain.4
Namun penting dicatat, pada saat Hobsbawm menulis karyanya tadi, Uni Soviet sedang ambruk; mendorong
akselarasi gerakan-gerakan nasionalisme yang amat kuat di berbagai wilayahnya, atau bahkan di Eropa Timur secara
keseluruhan. Pada saat yang sama, negara-negara di Timur Tengah juga mengalami gejolak nasionalisme yang lebih
hebat dibandingkan masa-masa sebelumnya. Lagi-lagi, pada saat yang sama, jumlah negara-negara baru yang menjadi
anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terus bertambah sebagai akibat kristalisasi nasionalisme.
Semua gejala ini menjelaskan bahwa nasionalisme sedang mengalami kebangkitan kembali, khususnya di
kalangan masyarakat yang berada dalam transisi ke arah kebudayaan industrial. Ini juga merupakan argumen
Fukuyama dalam karya terkenalnya, The End of History and The Last Man (1992). Dengan nada mirip Bell dan
Hobsbawn, Fukuyama menilai, nasionalisme tidak lagi menjadi kekuatan signifikan dalam sejarah. Ia melihat semakin
surutnya nasionalisme ‘lama' di negara-negara demokrasi paling liberal dan maju di Eropa. Kalau pun mereka masih
berpegang pada ‘nasionalisme', itu lebih bersifat kultural ketimbang politik, dan karenanya lebih toleran.5
Akan tetapi, Fukuyama juga berargumen, ‘nasionalisme baru' yang lebih politis kini juga sedang bangkit,
khususnya di wilayah-wilayah yang baru mulai atau berada pada tingkat pembangunan sosial ekonomi yang relatif
rendah. Nasionalisme baru ini cenderung primitif, yakni tidak toleran, chauvinistik, dan secara internal agresif. Ini
mempunyai presedennya dalam sejarah. Sebagai contoh, Jerman dan Italia-dua negara paling akhir dalam proses
industrialisasi dan bersatu secara politik di Eropa-merupakan tempat tumbuhnya nasionalisme radikal dalam bentuk
gerakan fascist ultra-nasionalis. Nasionalisme baru itu juga tumbuh paling kuat di wilayah-wilayah Dunia Ketiga bekas
koloni Eropa yang berada dalam tahap awal modernisasi dan industrialisasi. Tidak heran kalau nasionalisme terkuat
dewasa ini juga dapat ditemukan di bekas wilayah Uni Soviet dan Eropa Timur, saat industrialisasi datang begitu
terlambat, dan identitas-identitas nasional begitu lama terlindas.
Kesimpulannya, nasionalisme tetap bergelora di banyak bagian Dunia Ketiga dan Eropa Timur. Bahkan, dalam
segi-segi tertentu, dapat diprediksikan kekuatan gelombangnya hampir sama dengan kebangkitan nasionalisme pada
abad ke-19 dan 20. Dan ia akan bertahan lebih lama dibandingkan pengalaman nasionalisme di Eropa Barat dan
Amerika. Proses globalisasi yang berlangsung demikian cepat belakangan ini memang kelihatan cenderung
melenyapkan batas-batas nasionalisme; namun, pada saat yang sama, ia juga mendorong peningkatan nasionalisme
yang diekspresikan dalam berbagai cara dan medium.
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 19 July, 2017, 07:42
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Nasionalisme, Modernisme, dan Globalisasi
Bagaimana perkembangan nasionalisme kontemporer di Indonesia? Agak sulit memberikan peta yang pasti dan
akurat. Harus diakui, terdapat semacam kelangkaan studi tentang nasionalisme di Indonesia dalam dasawarsa terakhir.
Masih langkanya studi tentang subyek ini mengisyaratkan bahwa umumnya para ahli tentang Asia Tenggara agaknya
menganggap nasionalisme bukan lagi isu penting bagi kawasan ini. Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa gejolak
dan gemuruh nasionalisme yang begitu menyala-nyala sejak awal abad 20 sampai akhir dekade 1960-an, kini semakin
menyurut di Asia Tenggara.
Memang, dalam beberapa dasawarsa terakhir, salah satu isu sentral di kawasan ini adalah modernisasi dan
industrialisasi atau pembangunan, khususnya di Indonesia. Namun, sejauhmana dampak atau pengaruh modernisasi
terhadap nasionalisme?
Modernisasi dan industrialisasi kelihatannya merupakan salah satu faktor penting yang bertanggung jawab bagi
menyurutnya nasionalisme di Indonesia. Namun, bertolak belakang dengan argumen Fukuyama tadi, ideologi
modernisasi dan developmentalism, secara de facto, menggantikan nasionalisme (politik) yang menjadi ideologi dominan
di kawasan ini sebelum tahun 1970-an. Kebutuhan dan pertimbangan-pertimbangan pragmatis untuk mencapai tingkat
pertumbuhan ekonomi yang direncanakan seolah memaksa Indonesia dan banyak negara berkembang lainnya
mengorbankan sentimen nasionalisme mereka vis-Ã -vis kekuatan-kekuatan dominan internasional. Dengan meminjam
teori "ketergantungan" (dependency theory), kita melihat Indonesia dan banyak negara yang termasuk ke dalam Dunia
Ketiga-atau lebih baik, negara-negara tengah berkembang (developing countries)-terseret ke dalam orbit kapitalisme
internasional.
Gejala ini kian menguat dengan meningkatnya globalisasi sejak 1980-an. Bermula dengan globalisasi pasar dan
ekonomi yang berintikan liberalisasi pasar dan ekonomi, globalisasi juga dengan segera mengimbas ke dalam bidang
politik, sosial, budaya dan seterusnya. Dalam bidang politik, globalisasi berarti liberalisasi politik yang memunculkan
gelombang-gelombang demokrasi, yang pada akhirnya membuat berakhirnya negara-negara dengan rejim-rejim otoriter.
Dan Indonesia pun mengalami liberalisasi politik ini sejak 1998.
Pada saat yang sama, secara kontradiktif globalisasi yang mendorong terjadinya liberalisasi politik, juga
memunculkan nasionalisme etnis (ethnic nationalism) dan bahkan tribalism yang bernyala-nyala, sebagaimana bisa
dilihat pada kasus negara-negara bekas Uni Soviet, dan Yugoslavia sampai sekarang ini. Indonesia-dalam krisis
ekonomi dan politik 1998 dan seterusnya-bahkan juga sempat dicemaskan banyak pengamat asing sebagai segera
mengalami proses Balkanisasi, persisnya disintegrasi. Tetapi, prediksi itu tidak terbukti; dan, sebaliknya, negara-bangsa
Indonesia tetap bertahan hingga kini.
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 19 July, 2017, 07:42
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Dengan bertahannya negara-bangsa Indonesia, nasionalisme juga jelas tidak sepenuhnya berakhir di Indonesia.
Bahkan, dengan modernisasi dan developmentalism-seperti dikemukakan di atas-kita melihat terjadinya transisi atau
pergeseran bentuk-bentuk nasionalisme. Nasionalisme politik-kecuali dalam bentuk kedaulatan dan keutuhan wilayahmemang terlihat semakin menyurut, apalagi dengan berakhirnya perang dingin. Dalam konteks itu, kita melihat lenyap
atau semakin berkurangnya konflik-konflik yang berakar dari nasionalisme politik di Indonesia.
Sekali lagi, di tengah arus globalisasi, nasionalisme ekonomi dan kultural kelihatan menemukan momentum baru.
Modernisasi dan industrialisasi yang berlangsung dalam ukuran relatif cepat dan berdampak luas mengakibatkan
Indonesia dan negara-negara berkembang umumnya harus menemukan dan mempertahankan pasar untuk produkproduk industri ekonomi, khususnya di negara-negara maju. Di sini nasionalisme ekonomi Indonesia dan negara-negara
berkembang harus berhadapan dengan proteksionisme negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat dan Eropa
Barat.
Di lain pihak, globalisasi informasi dan budaya yang dikendalikan negara-negara maju semakin dirasakan
mengancam budaya Indonesia dan negara-negara berkembang. Memang tidak seluruh sistem nilai dan budaya yang
disebarkan melalui globalisasi itu memiliki dampak negatif bagi perkembangan sistem nilai budaya tradisional dan
nasional Indonesia, yang mengandung banyak kearifan local (local wisdom). Namun, rasa terancam dan kekhawatiran
akan pelunturan nilai-nilai lokal jelas terus kian meningkat pula. Dalam hal ini, nasionalisme budaya Indonesia memang
masih kalah, misalnya dibandingkan nasionalisme budaya Prancis dan sejumlah negara Eropa Barat lainnya, yang
sempat mengancam untuk memboikot program-program TV buatan Amerika yang semakin mendominasi tayangan TV di
negara mereka. Indonesia dan negara-negara berkembang umumnya, tampak masih berada dalam tahap
"keterpesonaan" menyaksikan dan menerima globalisasi sistem nilai dan gaya hidup Amerika.6
Tiga Fase Nasionalisme
Mempertimbangkan survei kasar ini, kita melihat bahwa konsep nasionalisme Indonesia bukanlah sesuatu yang
baku. Ia merupakan konsep dinamis yang mengalami perubahan sebagai hasil dialektika, baik dengan perubahan sosial,
politik, dan ekonomi dalam negeri maupun dengan perubahan-perubahan pada tingkat global. Dalam kerangka itu, kita
melihat setidaknya tiga tahap perkembangan nasionalisme di Indonesia dan banyak negara berkembang lainnya. Tahap
pertama adalah pertumbuhan awal dan kristalisasi gagasan nasionalisme. Fase ini ditandai penyerapan gagasan
nasionalisme yang selanjutnya diikuti pembentukan organisasi-organisasi yang disebut Benda dan McVey7 atau
Hobsbawn8 sebagai "proto-nasionalisme". Kemunculan dan pertumbuhan proto-nasionalisme, dalam banyak hal,
merupakan konsekuensi dari perubahan-perubahan cepat dan berdampak luas yang berlangsung di Indonesia dan
banyak negara lain umunmya pada dekade-dekade awal abad 20. Dalam periode ini, sebagaimana kita ketahui,
kolonialis Belanda di Indonesia melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan sosial dan ekonomi ‘liberal'. Di Indonesia,
dalam bidang sosial, pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan politik etis yang, antara lain, menghasilkan ekspansi
pendidikan bagi pribumi. Dalam bidang ekonomi, kebijaksanaan liberal mendorong pertumbuhan sektor ekonomi
modern, yang mempunyai dampak meluas terhadap ekonomi tradisional; Indonesia dengan segera dibawa ke dalam
orbit ekonomi pasar.
Semua perubahan cepat ini menimbulkan disrupsi dalam keseimbangan tatanan masyarakat tradisional; antara lain
mengakibatkan terjadinya kemerosotan kepemimpinan tradisional dan melonggarnya ikatanÂ-ikatan komunal dan etnis.
Namun, anomali atau malaise semacam ini di kalangan masyarakat, tidak sepenuhnya negatif. Keadaan ini justru
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 19 July, 2017, 07:42
Sekretariat Negara Republik Indonesia
mendorong munculnya kesadaran baru tentang dunia yang tengah berubah, dengan tantangan baru yang membutuhkan
respons baru pula.
‘Liberalisasi' dalam bidang pendidikan betapa pun terbatasnya, seperti dalam kasus Indonesia, berhasil
memunculkan kelas terdidik baru, sekaligus kepemimpinan baru yang mempunyai peran sentral dalam kelahiran dan
pertumbuhan awal proto-nasionalisme yang pada gilirannya menjadi nasionalisme yang lebih sempurna. Elit baru ini
sangat berperan dalam menumbuhkan persepsi baru tentang nasionalitas berdasarkan pengalaman bersama
menghadapi penjajah. Mereka merekat berbagai potensi yang genuine dalam masyarakat. Tradisi mereka menjadi
bagian integral nasionalisme. Lagi-lagi dengan mengambil Indonesia sebagai contoh, kaum terpelajar mengambil inisiatif
menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa ‘nasional' tanahair Indonesia-dalam lingkup geografis kekuasaan Belandasebagai batas-batas wilayah nasionalisme. Demikian pula berbagai suku bangsa di kepulauan Nusantara terikat dengan
pengalaman sejarah yang sama sebagai "bangsa Indonesia."9 Inilah salah satu tahap paling krusial dalam pembentukan
negara-bangsa Indonesia; inilah tahapan sejarah yang secara logis berkaitan dengan Kebangkitan Nasional 1908, yang
pada 2008 ini kita rayakan sebagai Seratus Tahun atau Seabad Kebangkitan Nasional.
Tema sentral yang sama yang dikembangkan pada fase proto-nasionalisme atau nasionalisme awal ini, seperti bisa
diduga, adalah penciptaan dan penggalangan semangat nasionalitas vis-Ã -vis penjajah; inilah tahapan-seperti barusan
dikemukakan-sebagai Kebangkitan Nasional. Represi dan koersi yang dilakukan pemerintah kolonial mengakibatkan
dimensi politis nasionalisme dalam fase ini tidak bisa mekar secara sempurna. Karena itulah yang lebih menonjol dalam
pertumbuhan nasionalisme pada tahap ini adalah penggalangan dimensi-dimensi sosial dan kultural. Bahkan, organisasiorganisasi proto-nasionalis yang muncul dan berkembang lebih bersifat kultural, sosial, pendidikan, dan ekonomi
ketimbang politis. Hal ini dapat dilihat dari organisasi-organisasi sejak Budi Utomo, Jong Java, Jong Islamieten Bond,
sampai pada SDI dan SI, misalnya. Melalui organisasiÂ-organisasi inilah "an imagined political community" mulai
mengambil bentuknya dalam masyarakat Indonesia.10 Karena, seperti dikatakan Gellner, nasionalisme sebenarnya
tidak mempunyai akar begitu kuat dalam psike manusia. Ia harus diciptakan dan ditumbuhkan.11
Masa pendudukan Jepang (interregnum) yang singkat (1940-1945) merupakan periode katalis dalam mengakselerasi
pertumbuhan nasionalisme di Asia Tenggara. Pendudukan Jepang otomatis menghambat kepentingan dan tujuan
pemerintahan kolonial Eropa. Selain itu, sebagai bagian dari kebijaksanaan anti-Baratnya, Jepang dengan sengaja
mendorong pertumbuhan nasionalisme lokal di Indonesia dan wilayah-wilayah lainnya. Bahkan, Jepang memberikan
peluang-betapa pun terbatasnya-kepada para pemimpin lokal untuk membicarakan masa depan wilayah dan bangsa
mereka masing-masing.
Dengan demikian, nasionalisme di Indonesia dan banyak negara lain segera memasuki fase kedua. Dalam fase ini,
seperti bisa diduga, nasionalisme sangat sarat dengan muatan politis ketimbang sosial dan kultural. Tema pokok
nasionalisme di sini adalah apa yang disebut pemimpin nasionalis, semacam Soekarno, sebagai "nation and character
building", yakni memupuk keutuhan dan integritas negara dan bangsa yang akan segera terwujud, sebagaimana
dijanjikan Jepang. Pembinaan nasionalisme dalam konteks ini, sesuai dengan kebijakan Jepang, bertujuan mencegah
dengan cara apapun kembalinya kolonialisme dan imperialisme Eropa ke berbagai wilayah Asia.
Pendudukan Jepang menciptakan perkembangan-perkembangan yang sangat kompleks bagi pertumbuhan
nasionalisme Indonesia. Golongan nasionalis yang memegang kendali sejak pertumbuhan awal nasionalisme, dengan
sengaja, dialienasikan penguasa Jepang. Jepang lebih memberi kesempatan dan ruang gerak kepada para pemimpin
agama dan ulama. Hal ini sekadar langkah-antara untuk memobilisasi umat Islam dari tingkat paling bawah, ‘akar rumput'
(grassroot). Langkah ini pada gilirannya menciptakan konflik antara kepemimpinan nasionalis dan kepemimpinan yang
berakar pada sentimen keagamaan. Hanya beberapa saat menjelang berakhirnya pendudukan, Jepang kembali
menoleh kepada kelompok nasionalis ‘sekuler'. Dengan sengaja, kelompok ini berhasil mengkonsolidasi diri untuk
kemudian memegang kendali dalam proses pembentukan ‘nation state' Indonesia. Kepemimpinan agama pada akhirnya
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 19 July, 2017, 07:42
Sekretariat Negara Republik Indonesia
harus melakukan kompromi untuk meratakan jalan bagi pembentukan negara kebangsaan Indonesia, dengan menerima
Pancasila sebagai ideologi nasional.12
‘Puncak' nasionalisme Indonesia-sesuai dengan kerangka Bell di atas-tercapai pada masa Soekarno. Berkat
kemampuan intelektual dan retorikanya, presiden pertama Indonesia ini berhasil menggelorakan nasionalisme
Indonesia, khususnya vis-Ã -vis kekuatan-kekuatan yang disebutnya sebagai neo-kolonialisme dan imperialisme
(Nekolim). Soekarno bahkan bukan hanya menjadi perumus nasionalisme Indonesia yang eklektik, melainkan juga
menjadi ‘juru bicara' nasionalisme paling artikulatif, baik bagi Indonesia mau pun bagi negara-negara yang baru bebas
dari cengkeraman imperialisme dan kolonialisme Barat.
Bagi Soekarno, nasionalisme merupakan konsep sentral untuk membangun Indonesia yang mandiri dan terhormat di
tengah percaturan internasional. Ia mengutuk eksklusivisme dan chauvinisme nasionalisme Eropa, yang justru
menciptakan eksploitasi terhadap bangsa-bangsa Asia Afrika. Bagi Soekarno, nasionalisme harus berdasarkan rasa
cinta kepada seluruh manusia. Namun, masyarakat Indonesia jelas terlalu majemuk dalam banyak hal untuk bisa
diakomodasi dalam satu konsep nasionalisme. Baginya, konsep nasionalisme harus mampu memikat dan mengikat
seluruh bagian masyarakat Indonesia. Kecenderungan eklektiknya memungkinkan dia untuk merumuskan konsep
nasionalisme semacam itu berdasarkan sejumlah sumber yang bisa bertolak belakang satu sama lain. Dalam
perumusan nasionalismenya, ia dapat mengambil dan menerapkan ‘analisis Marxis tentang penindasan imperialisme.
Pada saat yang sama, ia juga menggunakan sikap permusuhan kaum Muslimin terhadap penjajah kafir. Dengan
melakukan hal seperti itu, ia dapat mengembangkan gagasan sentral tentang nasion sebagai sebuah entitas yang dapat
mendamaikan berbagai elemen yang bertentangan dalam masyarakat Indonesia dan mensubordinasikannya ke bawah
tujuan-tujuan jangka panjang. Dalam kerangka itulah pada 1960-an, ia kemudian menggelindingkan konsep Nasakom
untuk menyimbolkan kesatuan nasionalisme, agama, dan komunisme.13
Nasionalisme Soekarno yang kental dengan sikap anti-Barat (atau Nekolim) itu dicapai melalui pembangkitan
sentimen dan penggalangan massa dengan menggunakan retorik dan jargon-jargon yang mempesona. Nekolim
merupakan versi 1960-an dari sikap anti-imperialisme pada 1920-an, yang dirancangnya agar cocok dengan situasi di
mana kekuasaan kolonial langsung berakhir; sementara kolonialisme dalam bentuk dominasi ekonomi Barat tetap
berlangsung. Masih dalam konteks nasionalisme semacam ini, Soekarno memperkenalkan konsep New Emerging
Forces (Nefos), kekuatan kebebasan, dan keadilan; dan Old Established Forces (Oldefos), kekuatan lama, penindasan.
Atas nama kepentingan bangsa, nasionalisme, dan Nefos, Soekarno kemudian mengembalikan Irian Barat ke pelukan
Indonesia dan melakukan kampanye ‘Ganyang Malaysia!'.
Berakhirnya kekuasaan Soekarno menyusul kegagalan kudeta berdarah PKI pada 30 September 1965 menandai
berakhirnya fase kedua nasionalisme yang gegap gempita di Indonesia. Bangkitnya pemerintah Orde Baru di Indonesia
di bawah pimpinan Jenderal Soeharto membuka kemunculan fase baru, yakni fase ketiga nasionalisme, tidak hanya di
Indonesia, tetapi juga dalam konteks regional Asia Tenggara, bahkan dalam hubungannya dengan dunia internasional
lebih luas. Soeharto dan militer yang merasa traumatis dengan pengalaman politik Indonesia pada masa Soekarno,
dengan segera melancarkan program modernisasi dan industrialisasi, yang lebih dikenal dengan istilah pembangunan
(dengan ideologi ‘developmentalism'). Di sini, sebagaimana diungkapkan pada bagian awal, nasionalisme politikkhususnya dalam konteks regional Asia Tenggara dan internasional-mulai disurutkan. Konfrontasi dengan Malaysia
segera ditamatkan. Slogan Soekarno yang terkenal "go to hell with your aid" dilipat ke balik lembaran sejarah.
Penekanan kini diberikan pada nasionalisme ekonomi yang tidak jarang mengharuskan Indonesia meredam
nasionalisme politiknya yang pernah berkobar-kobar.
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 19 July, 2017, 07:42
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama
Kebangkitan nasionalisme kultural dewasa ini, seperti disinggung di atas, dalam sejumlah kasus, tumbuh
berbarengan dengan peningkatan sentimen etnisitas, bahkan sentimen keagamaan, yang pada gilirannya memunculkan
nasionalisme politik yang amat kental. Seperti dikemukakan Nodia, nasionalisme ibarat satu koin yang mempunyai dua
sisi. Sisi pertama adalah politik, dan sisi lainnya adalah etnik. Tidak ada nasionalisme tanpa elemen politik; tetapi
substansinya tak bisa lain kecuali sentimen etnik. Hubungan elemen ini ibarat jiwa politik yang mengambil tubuhnya
dalam etnisitas.14 Semua ini terlihat jelas melalui latar belakang kemunculan negara-negara di bekas Uni Soviet,
Yugoslavia, Kurdistan, atau Eritrea, dan terakhir Kosovo. Nasionalisme yang muncul merupakan perpaduan sentimen
etnisitas dan politik yang kemudian beramalgamasi dengan semangat keagamaan. Hasil dari perpaduan ini adalah
nasionalisme yang sangat chauvinisme dan fascis, seperti terlihat jelas dalam kasus Serbia.
John Naisbitt dalam buku, Global Paradox (1994), secara tersirat menyebut etnisitas chauvinistik dan radikal itu sebagai
‘new tribalism". Tribalisme baru ini secara sempurna mewujudkan diri dalam berbagai tindak kebrutalan, perkosaan,
pembunuhan, dan bentuk-bentuk lain ‘ethnic cleansing' di wilayah bekas Yugoslavia. Dan ini merupakan kecenderungan
yang sangat berbahaya. Di sini Naisbitt mengutip laporan The Economist, yang menyatakan bahwa "virus tribalisme . . .
mengandung risiko menjadi AIDS politik internasional, yang diam selama bertahun-tahun, tetapi tibaÂ-tiba membara
untuk menghancurkan berbagai negara." Naisbitt memprediksikan, pada masa depan kebanyakan konflik bersenjata
akan bermotif etnik dan tribalisme ketimbang bermotif ekonomi dan politik.15
Teori tentang ‘tribalisme baru' sesungguhnya tidaklah terlalu baru. Konsep tentang ‘tribalisme baru' ini pertama kali
dikembangkan Greely16 dan Novak17 dengan sebutan ‘new ethnicity'. Keduanya berargumen, sejak 1970-an di Amerika
Serikat terjadi semacam kebangkitan minat dan kesadaran etnisitas, sehingga sebutan Amerika sebagai melting pot
semakin kehilangan maknanya. Namun, berbeda dengan ‘tribalisme baru' kontemporer yang disebut Naisbitt, Novak
melihat adanya dua elemen dasar etnisitas atau tribalisme baru itu, yaitu sensitifitas terhadap pluralisme etnik yang
dipadukan dengan sikap respek terhadap perbedaan kultural antara berbagai kelompok etnis, dan pengujian secara
sadar terhadap warisan kultural kelompok etnis sendiri.18
Sejauh mana relevansi teori Naisbitt atau Greely dan Novak dengan pengalaman Indonesia? Negara ini tentu saja
memiliki potensi etnisitas atau tribalisme yang luar biasa besar. Namun, harus diingat bahwa kebangkitan ‘tribalisme
baru' yang relatif ‘modern' seperti terjadi di Amerika Serikat atau ‘tribalisme baru primitif' di bekas Yugoslavia mempunyai
konteks sosial dan historis tertentu, yang dalam banyak segi berbeda dengan Asia Tenggara.
Pengalaman historis Indonesia dengan nasionalisme, khususnya dalam hubungan dengan etnisitas dan agama sangat
kompleks. Kompleksitas itu tidak hanya disebabkan perbedaan-perbedaan pengalaman historis dalam proses
pertumbuhan nasionalisme, tetapi juga oleh realitas Indonesia yang sangat pluralistik, baik secara etnis mau pun agama.
Peta etnografis Indonesia sangat kompleks, antara lain sebagai hasil dari tipografi kawasan ini. Indonesia dihuni
kelompok-kelompok etnis dalam jumlah besar yang, selain mempunyai kesamaanÂ-kesamaan fisik-biologis, juga memiliki
perbedaan-perbedaan linguistik dan kultural yang cukup substansial.
Meski pun demikian, dalam pertumbuhan nasionalisme di Indonesia umumnya, etnisitas dapat dikatakan tidak sempat
sepenuhnya mengalami kristalisasi menjadi dasar nasionalisme. Terdapat beberapa faktor yang menghalangi terjadinya
kristalisasi sentimen etnisitas tersebut. Yang terpenting di antara faktor-faktor itu adalah agama dan kesadaran tentang
pengalaman kesejarahan yang sama.
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 19 July, 2017, 07:42
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Dalam pengalaman Indonesia, kemajemukan etnisitas beserta potensi divisif dan konfliknya dengan segera dijinakkan
faktor Islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas penduduk Islam menjadi "supra-identity" dan fokus kesetiaan yang
mengatasi identitas dan kesetiaan etnisitas. Dengan demikian, kedatangan dan perkembangan Islam di Indonesia tidak
hanya menyatukan berbagai kelompok etnis dalam pandangan keagamaan dan dunia yang sama, tetapi juga dalam
aspek-aspek penting-yang bahkan menjadi dasar nasionalisme-khususnya bahasa. Berkat Islam, bahasa Melayu yang
kemudian menjadi bahasa Indonesia, menjadi lingua franca berbagai kelompok etnis di Indonesia.19
Kesetiaan pada Islam di Indonesia pada gilirannya memperkuat kesadaran pengalaman kesejarahan yang sama. Dalam
pengertian ini, penjajahan Belanda-yang secara teologis menurut ajaran Islam, adalah kafir-merupakan semacam
blessing in disguise. Dengan kata lain, penjajahan Belanda mendorong berbagai kelompok etnis di Indonesia bersatu
pada tingkat teologis keagamaan. Di sinilah kemudian sentimen etnisitas menjadi sesuatu yang tidak relevan. Lihatlah
misalnya pengalaman Abd al-Shamad al-Palimbani (1704-1789), ularna besar asal Palembang yang mengirim suratsurat dari Mekah kepada penguasa Jawa Mataram untuk melakukan jihad melawan Belanda.20
Dengan demikian, dalam kasus Indonesia, Islam menjadi unsur qenuine, pendorong munculnya nasionalisme Indonesia.
Pada saat yang sama, Islam juga mampu menjinakkan sentimen etnisitas untuk menumbuhkan loyalitas kepada entitas
lebih tinggi. Kenyataan ini juga terlihat dari kemunculan Sarekat Islam (SI) yang merefleksikan nasionalisme keislamankeindonesiaan, sekaligus sebagai respons terhadap kebangkitan nasionalisme di kalangan masyarakat Cina Hindia
Belanda-baik Cina keturunan maupun Cina totok.21 Walau pun SI pada esensinya merupakan amalgamasi dari
berbagai aspirasi-dari gagasan Ratu Adil sampai ke tandingan terhadap dominasi Cina-ia mampu menjadi organisasi
yang melewati batas-batas etnisitas dan wilayah.
Dengan demikian, pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa etnisitas tidak menjadi faktor penghambat yang signifikan
dalam pertumbuhan nasionalisme Indonesia. Bahkan, etnisitas cenderung kehilangan relevansinya sebagai sebuah
tema politik. Hanya ada sebuah contoh yang agak langka, Gerakan Hasan Tiro di Aceh yang memang berusaha
mengeksploitasi sentimen etnisitas Aceh vis-à -vis apa yang disebutnya sebagai ‘kolonialisme Jawa'. Ternyata tema
"etnisitas" seperti ini tidak mendapatkan dukungan historis, sosiologis dan kultural dari kelompok-kelompok etnis lainnya.
Sebab itu, Hasan Tiro mencoba mengeksploitasi sentimen lain yang menurutnya mungkin lebih ampuh, yakni dengan
mengangkat nasionalisme Sumatera melalui apa yang disebutnya sebagai "Sumatera Merdeka". Ini jelas sudah keluar
dari etnisitas dalam pengertian sesungguhnya. Bisa dipastikan, tidak banyak orang Sumatera yang menganggap serius
tema ini.
Saya sependapat dengan Himmelfarb, adalah ironi yang pahit bagi sejarah bahwa sekarang ini ketika nasionalisme lebih
baru menjadi lebih agresif dan brutal, nasionalisme lama menjadi lebih pasif, jinak, bahkan menolak kaitannya dengan
agama. Agama dipandang tidak hanya sekadar kendala, tetapi bahkan merendahkan nasionalisme itu sendiri. Ini terlihat,
misalnya, dari pandangan Fukuyama yang menganggap agama hanya menimbulkan dampak negatif terhadap
nasionalisme.22
Pengalaman pertumbuhan dan kebangkitan nasionalisme Indonesia dalam hubungannya dengan etnisitas dan agama,
seperti dikemukakan di atas, cukup bertolak belakang dengan pandangan Fukuyama. Fukuyama benar ketika
menyatakan bahwa nasionalisme awal (tepatnya proto-nasionalisme) pada abad ke-16 di Eropa yang begitu kental
dengan sentimen keagamaan, hanya menghasilkan fanatisme keagamaan dan perang agama. Anggapan ini juga
mungkin benar dalam hubungannya dengan brutalitas nasionalisme Serbia beberapa tahun lalu. Namun, dalam kasus
Islam di Indonesia, justru kebalikannya. Dengan wajah yang lebih toleran dan ramah, Islam Indonesia justru
merangsang, menumbuhkan, dan berperan amat positif dalam pertumbuhan nasionalisme.
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 19 July, 2017, 07:42
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Revitalisasi Nasionalisme: Kebangkitan Nasional Kedua
Seabad Kebangkitan Nasional pada 2008 merupakan waktu yang tepat untuk merefleksikan kembali pengalaman
Indonesia dengan Kebangkitan Nasional dan nasionalisme di masa kontemporer sekarang ini. Banyak kalangan menilai
baik semangat Kebangkitan Nasional mau pun nasionalisme Indonesia itu sendiri tengah mengalami kemerosotan
secara signifikan. Di tengah hiruk pikuk liberalisasi politik dan demokratisasi dalam satu dasawarsa terakhir-sejak 1998tema Kebangkitan Nasional dan bahkan nasionalisme bahkan tidak lagi menjadi wacana publik.
Dalam pandangan saya, nasionalisme tetap relevan. Di tengah arus globalisasi yang terus meningkat, justru
nasionalisme perlu revitalisasi-kembali digelorakan setiap anak bangsa; jika Indonesia tetap bertahan. Hanya dengan
menggelorakan nasionalisme, semangat keindonesiaan, kita boleh berpikir tentang Kebangkitan Nasional kedua dalam
masa-masa Milenium Kedua Kebangkitan Nasional negara-bangsa Indonesia.[]
------
-
3 Lihat, Daniel Bell, The End of Ideology. Illinois: The Free Press, 1960, h. 373.
- 4 Saya hanya bisa memperoleh edisi bahasa Indonesia karya ini. Lihat, E.J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang
Abad 21. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992, h. 193, 214.
- 5 Lihat, Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man. New York: The Free Press, 1992, h. 266-275.
- 6 Bandingkan, John Naisbitt & Patricia Aburdene, “Global Lifestyles and Cultural Nationalism―, dalam Mega Trends
2000: Ten New Directions for the 1990’s. New York: Avon Books, 1990, h. 116-156.
- 7 Lihat esai pendahuluan H.J. Benda dan Ruth McVey dalam The Communist Uprisings of 1926-1927 in Indonesia:
Key Documents. Ithaca: Cornell Modem Indonesia Project, 1960, h.
-8
Lihat, E.J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI. h. 57-93.
- 9 Lihat, Robert van Niel, The Emergence of the Modern Indonesian Elite. Den Haag: van Hoeve, 1960.
- 10 Lihat, B. Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso,
1991, khususnya h. 5-7.
- 11 Lihat, Ernest Gellner, Nations and Nationalism. Ithaca: Cornell University Press, 1983, h. 34.
- 12 Lihat, misalnya, H.J. Benda, The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation
1942-1945. Den Haag & Bandung: Van Hoeve, 1958, khususnya Bab 4 sampai 8; lihat pula, Azyumardi Azra, “Japan,
Indonesia, Islam and the Muslim World―, Jakarta: The Japan Foundation―, 2006.
- 13 Lebih lengkap tentang nasionalisme Soekarno, lihat, J.D. Legge, Soekarno: A Political Biography. New York:
Praeger, 1972, terutama, h. 31-76, 337-384.
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 19 July, 2017, 07:42
Sekretariat Negara Republik Indonesia
- 14 Ghia Nodia, “Nationalism and Democracy―, dalam Journal of Democracy, Vol. 3, No.4, 1992, h. 14-15.
- 15 Lihat, John Naisbitt, Global Paradox: The Bigger the World Economy, the More Powerful Its Smallest Players. New
York: William Morrow, 1994, h. 21-25.
- 16 Lihat, Andrew Greeley, Why Can’t They be Like Us? New York: E.P. Dutton, 1975.
- 17 Lihat, Michael Novak, The Rise of the Unmeltable Ethnics. New York: Macmillan, 1971).
- 18 Novak, Ibid, 17.
- 19 Lihat, S.M.N. al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Bandung: Mizan, 1977. Untuk pembahasan
lebih rinci tentang peran Islam dalam pertumbuhan nasionalisme Indonesia, lihat studi klasik Fred R. von der Mehden,
Religion and Nationalism in Southeast Asia: Burma, Indonesia, the Philippines. Madison: The University of Wisconsin
Press, 1963.
- 20 Lihat, Azyumardi Azra, “The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Networks of Middle Eastern and
Malay-Indonesian ‘Ulama’ in the Seventeenth and Eighteenth Century―, Ph.D. Dissertation. Columbia University, 1992,
552-558; Azra, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia, Crows Nest, Australia, Honolulu, Leiden: AAAS,
Hawaii University Press, dan KITLV Press, 2005.
- 21 Tentang ini lihat, Azyumardi Azra, “The Indies Chinese and the Sarekat Islam: An Account of the Anti-Chinese Riots
in Colonial Indonesia―, dalam Studia Islamika, Vol. 1, No.1, 1994.
- 22 Lihat, Gertrude Himmelfarb, “The Dark and Bloody Crossroads: Where Nationalism and Religion Met―, The National
Interest, (Summer 1993), 61. Cf. F. Fukuyama, “The End of History?―, The National Interest (Summer, 1989).
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 19 July, 2017, 07:42
Download