kajian modal sosial untuk kebijakan remunerasi.

advertisement
Kajian Modal Sosial untuk Kebijakan Remunerasi
MEDIA INDONESIA, Kamis, 27 Mei 2010 00:01 WIB
Sejak April 2007, pemerintah mengeluarkan kebijakan remunerasi yang direncanakan baru
akan selesai pada 2011. Adapun inti pokok kebijakan remunerasi adalah penggajian
berdasarkan kinerja, semakin tinggi prestasi kerja semakin tinggi gaji yang akan didapat.
Melalui kebijakan tersebut pemerintah berharap dapat mewujudkan birokrasi yang bersih
dari korupsi.
Pertanyaannya, apakah ada kaitan antara gaji yang tinggi dan produktivitas kerja yang
mengarah pada birokrasi yang bersih dari korupsi?
Jika ditengok proses digulirkannya kebijakan remunerasi, yang tampak adalah kurangnya
kajian ilmiah yang bersifat holistik, sebagai bahan analisis sebelum kebijakan tersebut
digulirkan. Padahal dalam tataran teori kebijakan publik, salah satu tahap penting dalam
proses penyusunan kebijakan adalah aktivitas studi atau kajian kebijakan yang mencakup
banyak aspek. Salah satu yang sangat penting adalah aspek sosial.
Ketika kita coba mencari di internet lewat mesin pencari Google, misalnya, nyaris tidak ada
hasil studi kebijakan remunerasi yang diterbitkan. Kalaupun ada, jumlahnya sangat sedikit.
Bahkan analisis kajian masih bersifat parsial serta semata berkisar pada permasalahan
teknis, seperti penentuan metodologi perhitungan remunerasi, sistem reward and
punishment, ataupun sistem pengawasan dan evaluasi.
Bisa dikatakan bahwa gaji yang tinggi dapat menurunkan tingkat korupsi tidak sepenuhnya
benar. Kasus yang menimpa pegawai pajak Gayus Tambunan merupakan salah satu contoh
betapa lemahnya sistem pengawasan internal pada seorang individu. Gaji yang tinggi
dengan sistem punishment yang ada saat ini belum efektif mencegah seseorang melakukan
tindakan korupsi.
Seperti diketahui, kajian-kajian pendukung dari aspek sosial sangat penting bagi
keberhasilan dan keberlanjutan suatu kebijakan. Sering kali kegagalan suatu kebijakan
bukan pada faktor konten atau substansinya, melainkan karena analisis yang parsial pada
tahap proses penyusunan terutama terhadap aspek-aspek sosial.
Dan di antara poin yang sangat penting dalam kajian sosial adalah masalah modal sosial,
terutama terkait dengan perannya dalam meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Hal ini
selaras dengan salah satu sasaran dari kebijakan remunerasi adalah meningkatkan
produktivitas pegawai pemerintah. Secara singkat, kekuatan modal sosial sangat
bergantung pada integritas tiga elemen utama modal sosial, yaitu nilai, institusi, dan
mekanisme.
Proses instalisasi elemen-elemen modal sosial di atas sangat penting dalam meningkatkan
produktivitas tenaga kerja. Berdasarkan hasil penelitian kualitatif yang pernah penulis
lakukan terhadap 26 KK warga miskin di Jakarta Timur pada 2008, tidak adanya network
terhadap organisasi serta tidak adanya keterlibatan dalam organisasi tersebut telah
menyebabkan perbedaan tingkat produktivitas. Warga miskin yang memiliki network dan
terlibat dengan organisasi setempat, dalam hal ini RT dan RW, lebih produktif jika
dibandingkan dengan warga miskin lainnya. Hal ini diperparah ketika terjadi kasus
penggelapan uang arisan yang dilakukan oleh salah seorang oknum di antara mereka.
Kepercayaan yang sebelumnya terjalin disebabkan perasaan senasib sebagai warga
rantauan, lambat laun runtuh. Kondisi tersebut semakin menyebabkan kesenjangan
ekonomi di antara mereka semakin tajam. Singkatnya, hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa kondisi elemen-elemen modal sosial, bahkan pada satu komunitas
masyarakat miskin pun, masih sangat lemah.
Kisah sukses lainnya yang menjadi anutan dunia adalah keberhasilan Dr Muhammad
Yunus membangun 'kelompok lima' yang kelak menjadi embrio lahirnya Grameen Bank.
Dr Yunus berhasil memberdayakan modal sosial yaitu gotong royong dan kerja keras
kepada seluruh nasabah Grameen Bank melalui pembentukan 'kelompok lima'.
Pembentukan 'kelompok lima' yang berdasarkan nilai gotong royong dan kerja keras
merupakan kunci keberhasilan program kredit Grameen Bank. Pemikiran M Yunus bisa
menjadi pendorong bagi negara-negara yang sedang menghadapi krisis ekonomi untuk
membantu masyarakat miskin menjadi mandiri.
Berdasarkan kisah sukses Grameen Bank serta hasil penelitian sebelumnya, paling tidak
ada tiga unsur yang mendukung penguatan elemen-elemen modal sosial, yaitu pertama,
lembaga yang menerima remunerasi. Mekanisme monitoring dan evaluasi yang
berlandaskan nilai kerja sama dan kerja keras seharusnya diadopsi oleh lembaga penerima
remunerasi. Kedua, pemerintah perlu menetapkan lembaga yang akan berperan sebagai
leader dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Dan leader itu sanggup menjadi
'agen pembaruan' dan memastikan supaya target kebijakan lembaga-lembaga yang dipimpin
dapat tercapai. Ketiga, adanya linkage atau network formal sebagai suatu instrumen
punishment. Pemerintah harus menetapkan bentuk sanksi yang jelas terhadap lembaga yang
tidak berhasil menunjukkan kinerja yang baik. Misalnya dalam bentuk pemotongan gaji
atau pemberhentian sementara dari insentif remunerasi. Sebaliknya terhadap lembaga yang
menunjukkan kinerja lebih baik, pemerintah harus memberikan bentuk reward seperti
kenaikan gaji atau lainnya.
Penguatan elemen-elemen tersebut dalam setiap individu pegawai khususnya atau
masyarakat umumnya akan melahirkan mekanisme pengawasan internal yang sangat
efektif. Karena modal sosial dapat mengambil bentuk kerja sama, bersinergi, saling
mengingatkan, dan seterusnya. Mekanisme tersebut sebagai upaya penyesuaian dan
koordinasi tingkah laku yang diperlukan untuk mengatasi konflik serta pelanggaran-
pelanggaran terhadap suatu norma atau hukum.
Terungkapnya kasus Gayus membuktikan telah terjadi krisis modal sosial di Indonesia
sehingga korupsi terus berkembang mulai dari organisasi RT bahkan sampai pada level
lembaga atau institusi pemerintah. Oleh karena itu, penulis menyarankan supaya studi-studi
kebijakan yang komprehensif termasuk studi modal sosial bisa menjadi bagian penting dari
setiap proses penyusunan kebijakan, termasuk di dalam mengevaluasi kebijakan
remunerasi. Jika mekanisme ini telah berjalan, terwujudnya masyarakat yang adil dan
sejahtera adalah suatu keniscayaan.
Oleh M Athar Ismail Muzakir SSi, ME
Staf Kedeputian Bidang Program Riptek-Kementerian Ristek
Download