BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) Teori agensi adalah teori yang menjelaskan hubungan antara pihak agen (manajemen) dengan prinsipal (pemegang saham). Menurut Jensen dan Meckling (1976) hubungan manajer dan pemilik dalam kerangka hubungan keagenan. Dalam hal ini pihak prinsipal sebagai pemilik akan memberikan informasi kepada pihak agen sebagai manajer untuk melakukan pengolahan informasi. Hasil pengolahan informasi dapat digunakan dalam pengambilan keputusan bagi pihak prinsipal. Dalam hubungan prinsipal dan agen tidak selalu terjadi kesesuaian informasi diantara kedua pihak tersebut. Ketidaksesuaian informasi ini disebut asymmetric information antara pihak agen dengan prinsipal. Asymmetric information yaitu distribusi informasi antara pihak agen dengan prinsipal tidak seimbang. Oleh karena itu pihak ketiga dibutuhkan dalam memeriksa tanggung jawab yang telah dilakukan manajemen Pihak ketiga yang independen yang dimaksud adalah auditor eksternal. Dengan adanya auditor eksternal yang independen maka pihak prinsipal tidak akan disalahgunakan kepercayaannya. Prinsipal juga dapat memiliki keyakinan yang lebih besar kepada agen dan dapat mengetahui sebaik apa kondisi perusahaan dibawah pengambilan keputusan agen. Manajemen adalah pihak yang menunjuk seorang auditor sehingga terjadi pengalihan tanggung jawab untuk melakukan audit atas laporan keuangan yang dibuat oleh manajemen, dan berguna bagi pemegang saham. Dibutuhkan hubungan kerja yang erat dengan manajemen perusahaan sebagai pihak klien dalam melakukan proses audit. Hubungan perikatan audit dengan manajemen perusahaan (klien) disebut dengan audit tenure. Jika jangka waktu perikatan audit semakin panjang maka menimbulkan ketergantungan yang menyebabkan auditor mulai kehilangan independensinya. Oleh karena itu auditor harus menyadari bahwa ancaman terhadap independensi dan objektivitas membutuhkan pengamanan yang sesuai. Reputasi adalah faktor yang dapat meningkatkan kepercayaan dan independensi auditor. Auditor memiliki insentif mempertahankan independensi untuk melindungi reputasi mereka, dengan demikian membantu mereka untuk memberikan kualitas audit yang baik. Faktor penting yang perlu diperhatikan dalam pengimplementasian teori agensi adalah audit delay. Audit delay dalam penelitian ini merupakan variabel dependen yang mempunyai definisi jangka waktu penyelesaian audit atas laporan keuangan. Audit delay mempunyai hubungan erat dengan ketepatan waktu publikasi laporan keuangan, karena manfaat laporan keuangan menjadi berkurang apabila tidak disampaikan secara tepat waktu. Ketepatan waktu menunjukan rentang waktu antara informasi yang ingin disajikan dengan pelaporan, apabila informasi tersebut tidak disampaikan tepat waktu mengakibatkan nilai dari informasi menjadi berkurang. Berkurangnya nilai informasi yang disampaikan kepada prinsipal menimbulkan asimetris informasi. Asimetris informasi merupakan salah satu elemen teori keagenan, dalam hal ini pihak agen lebih banyak mengetahui informasi internal perusahaan secara detail dibandingkan pihak prinsipal yang hanya mengetahui informasi perusahaan secara eksternal melalui hasil kinerja yang dibuat oleh manajemen. Oleh karena itu, hal ini memerlukan ketepatan waktu mengurangi adanya asimetris infomasi antara pihak agen atau manajemen dengan pihak prinsipal atau pemegang saham, sehingga laporan keuangan dapat disampaikan secara transparan kepada prinsipal. 2.1.2 Stakeholder Theory Perusahaan dapat dipandang dari dua teori, yaitu Shareholder Theory dan Stakeholder Theory. Arifin (2005) dalam Karang (2015) menyebutkan, Shareholder Theory atau Teori Pemegang Saham menyatakan bahwa perusahaan didirikan dan dijalankan untuk memaksimumkan kesejahteraan pemilik atau pemegang saham sebagai akibat dari investasi yang dilakukannya. Stakeholder Theory diperkenalkan oleh Freeman (1984) dalam Karang (2015), menyatakan bahwa perusahaan adalah organ yang berhubungan dengan pihak lain yang berkepentingan, baik yang ada di dalam maupun di luar perusahaan. Definisi stakeholder ini termasuk karyawan, pelanggan, kreditur, supplier, dan masyarakat sekitar di mana perusahaan tersebut beroperasi. Penelitian ini lebih mengacu kepada Stakeholder Theory, yang jika diteliti lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa tidak hanya perusahaan yang berkepentingan terhadap laporan keuangan, namun juga kepada karyawan, masyarakat sekitar, pemerintah dan pihak-pihak lain. Salah satu bentuk pertanggungjawaban tersebut dapat berupa laporan keuangan, yang dalam prakteknya memerlukan pihak ketiga guna menjamin akuntabilitas penyampaiannya. Pihak ketiga ini diwakili oleh auditor independen yang menjamin agar akuntabilitas, responsibilitas, fairness (kewajaran) dan transparansi laporan keuangan terpenuhi. Auditor tersebut akan mengaudit laporan keuangan yang telah dibuat oleh pihak manajemen perusahaan. Dalam pengauditan ini, penyelesaian proses yang tepat waktu merupakan salah satu cara untuk mengurangi timbulnya asimetri informasi. Stakeholder Theory dinyatakan bahwa kegiatan operasional yang dilakukan perusahaan dipertanggungjawabkan tidak hanya untuk pemegang saham tapi juga stakeholders lain (Rustiarini, 2012). Oleh karena itu, ketepatwaktuan dalam penyampaian laporan keuangan mutlak diperlukan untuk menjamin terciptanya proses pelaporan keuangan yang wajar dan sebagai bentuk pertanggungjawaban agen atas pengelolaan perusahaan kepada pemegang saham dan pihak lain yang berkepentingan. 2.1.3 Audit Delay Secara sederhana audit delay dapat didefinisikan sebagai rentang waktu dalam menyelesaikan pekerjaan audit hingga tanggal diterbitkannya laporan audit. Audit delay diukur berdasarkan lamanya hari yang dibutuhkan untuk memperoleh laporan auditor independen atas audit laporan keuangan tahunan perusahaan, sejak tanggal tutup buku perusahaan yaitu per 31 Desember sampai tanggal yang tertera pada laporan auditor independen. Kewajiban penyampaian laporan keuangan emiten diatur oleh Peraturan Bapepam No. Kep-346/BL/2011 tentang Penyampaian Laporan Keuangan Berkala Emiten Atau Perusahaan Publik. Laporan keuangan tahunan wajib disertai laporan akuntan dalam rangka audit dan disampaikan kepada Bapepam paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah tanggal laporan keuangan tahunan perusahaan. Laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan dapat berguna sebagai penyedia informasi para pemakainya. Di samping itu laporan keuangan juga dapat menjadi bahan pertimbangan untuk membuat keputusan ekonomi. Laporan keuangan perlu diterbitkan tepat waktu agar keputusan ekonomi dapat dibuat dengan cepat dan tepat. Keterlambatan publikasi laporan keuangan memberikan dampak terhadap harga saham yang tidak pasti dan investor menjadi lebih sulit dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian salah satu faktor untuk menghindari adanya lamanya audit delay, adalah menyediakan informasi yang handal dan relevan bagi stakeholder. Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2012) menyatakan bahwa informasi mungkin relevan tetapi jika tidak dapat diandalkan maka penggunaan informasi tersebut secara potensial dapat menyesatkan. Hal ini semakin didukung oleh penelitian Bambers et al. (1993) bahwa semakin panjang dalam publikasi laporan keuangan maka akan mengurangi relevansi dan keandalan dari informasi yang ada pada laporan keuangan. Oleh karena itu secara langsung akan mempengaruhi pengambilan keputusan investor yang semakin lebih sulit. Hal ini dapat disimpulkan informasi andal dan relavan saling berkesinambungan, sehingga dalam mencapai informasi yang relevan dan andal maka pentingnya fokus pada penyampaian publikasi laporan keuangan secara tepat waktu. 2.1.4 Audit Tenure Audit tenure adalah jangka waktu sebuah kantor akuntan publik melakukan perikatan terhadap kliennya dalam memberikan jasa audit laporan keuangan. Definisi lain audit tenure menurut Geiger dan Rughunandan (2002) adalah lamanya hubungan auditor dan klien yang diukur dengan jumlah tahun. Seorang auditor yang memiliki penugasan cukup lama dengan perusahaan klien akan mendorong terciptanya pengetahuan bisnis sehingga memungkinkan auditor untuk merancang program audit yang efektif dan laporan keuangan audit yang berkualitas tinggi. Regulasi yang mengatur audit tenure berdasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.01/2008 yakni mengenai pembatasan masa pemberian jasa oleh Akuntan Publik dan KAP. Hal ini sesuai dengan yang tertera pada pasal 3 ayat 1 yang menyatakan bahwa pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan suatu entitas oleh KAP tertentu adalah selama 6 (enam) tahun buku berturut-turut, serta 3 (tiga) tahun berturut-turut oleh seorang Akuntan Publik. Penelitian khusus mengenai pengaruh audit tenure terhadap jangka waktu penyelesaian audit atau audit delay, sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti namun jumlahnya tidak banyak mengenai topik ini. Berdasarkan referensi yang peneliti peroleh penelitian Ashton et al. (1987), merupakan peneliti perintis mengenai pengaruh audit tenure terhadap audit delay. Dalam penelitian Lee et al. (2009) kemudian menguji kembali penelitian Ashton et al. (1987), mengenai pengaruh audit tenure terhadap audit delay, pada perusahaan yang menjadi klien KAP di Amerika Serikat dengan menambahkan lingkup penelitian yang lebih luas, dari tahun 2000 hingga 2005. Dalam penelitian tersebut menemukan bahwa audit tenure yang panjang terkait dengan efisiensi audit yang lebih tinggi, menghasilkan audit delay yang lebih pendek. Dalam penelitian Wiguna (2012), meneliti kembali pengaruh audit tenure terhadap audit delay dengan variabel moderasi spesialisasi industri auditor pada bank umum konvensional di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tenure KAP memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap audit delay. Sama halnya dalam penelitian Dewi (2014) yang meneliti pengaruh audit tenure terhadap audit report lag yang dimoderasi dengan variabel spesialisasi auditor industri pada perusahaan manufaktur menunjukan bahwa audit tenure memberikan audit report lag lebih pendek dibandingkan auditor non-spesialis. Berbeda dengan penelitian Permata (2013) menemukan bahwa audit tenure berpengaruh negatif pada penyampaian informasi laporan keuangan. Semakin lama masa penugasan antara KAP dengan perusahaan klien yang memberikan penugasan, maka memungkinkan auditor untuk mengenali industri klien sehingga akan memperpendek masa penyelesaian audit dan dapat menyelesaikan laporan keuangan auditan secara tepat waktu. 2.1.5 Pergantian Auditor (Auditor Switching) Auditor switching merupakan perilaku yang dilakukan oleh perusahaan untuk berpindah auditor baik disebabkan oleh aturan yang ada maupun secara sukarela. Pergantian auditor secara wajib atau dengan secara sukarela bisa dibedakan atas dasar pihak mana yang menjadi fokus perhatian dari isu independensi auditor. Auditor switching yang bersifat wajib (mandatory) perhatian utamanya beralih kepada auditor (Febrianto, 2009 dalam Andra, 2012). Aturan mengenai auditor switching secara mandatory telah ditetapkan oleh banyak Negara. Hal tersebut dipelopori oleh regulator pemerintahan Amerika yang membuat The Sarbanas Oxley Act (SOX) yang memuat aturan mengenai wajibnya perusahaan melakukan auditor switching. Jika auditor switching terjadi karena sukarela (voluntary), maka perhatian utama adalah pada sisi klien. Ketika klien mengganti auditornya pada saat tidak ada aturan yang mengharuskannya (secara voluntary), yang terjadi adalah salah satu dari dua hal yaitu auditor mengundurkan diri atau auditor dipecat oleh klien. Karena alasan pengunduran diri auditor atau pemecatan auditor, fokus yang menjadi masalah adalah pada pihak klien yang mana menyebabkan voluntary audit switching. Jika alasan switching tersebut adalah karena ketidaksepakatan atas praktik akuntansi tertentu, maka diekspektasi klien akan pindah ke auditor yang sepakat dengan klien (Febrianto, 2009 dalam Latifah, 2013). Pergantian auditor juga didukung oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor 359/KMK.06/2003 pasal 2 tentang “Jasa Akuntan Publik” di Indonesia. Peraturan tersebut merupakan perubahan jasa atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 423/KMK.06/2002, yang mengatur bahwa pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan dari suatu entitas dapat dilakukan oleh seorang akuntan publik paling lama untuk 3 (tiga) tahun buku berturut-turut. Kemudian peraturan tersebut diperbaharui dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 17/PMK.01/2008 tentang “Jasa Akuntan Publik” yaitu tentang pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan dari suatu entitas sebagaimana maksud dalam pasal 2 ayat (1) huruf a dilakukan oleh KAP paling lama untuk 6 (enam) tahun buku berturut-turut dan oleh seorang Akuntan Publik paling lama untuk 3 (tiga) tahun buku berturut-turut. Dikeluarkannya peraturan-peraturan diatas, maka timbul perilaku perusahaan untuk melakukan audit switching. Jika pergantian audit berfokus pada auditor maka perusahaan akan melakukan auditor switching sesuai dengan masa perikatan audit (audit tenure) yang telah diatur oleh Keputusan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia. Tetapi jika pergantian audit berfokus pada klien, maka perusahaan akan melakukan auditor switching berdasarkan kondisi-kondisi perusahaan klien. 2.1.6 Financial Distress Berbagai pihak dapat menggunakan laporan keuangan sebagai dasar pengambilan keputusan untuk melakukan aktifitas investasi dan pendanaan, baik pihak internal maupun eksternal perusahaan. Pelaporan keuangan merupakan suatu mekanisme penyampaian informasi mengenai sumberdaya yang dimiliki perusahaan, yang meliputi pengukuran secara ekonomis serta pengelolaan sumberdaya secara kualitatif melalui kinerja operasional manajemen. Laporan keuangan merupakan sarana utama yang digunakan oleh perusahaan untuk menyampaikan informasi keuangan perusahaan kepada pihak luar. Pihak-pihak eksternal perusahaan biasanya bereaksi terhadap sinyal distress seperti penundaan pengiriman barang, masalah kualitas produk, tagihan dari bank dan lain sebagainya yang menyebabkan perubahan terhadap biaya operasi sehingga perusahaan tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya. Baldwin dan Scoot (1983), menyatakan bahwa suatu perusahaan mengalami financial distress apabila perusahaan tersebut tidak dapat memenuhi kewajiban finansialnya. Financial distress merupakan suatu kondisi di mana keuangan perusahaan dalam keadaan tidak sehat atau sedang krisis. Dengan kata lain financial distress merupakan suatu kondisi di mana perusahaan mengalami kesulitan keuangan untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya. Gamayuni (2011) menyatakan financial distress adalah kesulitan keuangan atau likuiditas yang mungkin sebagai awal kebangkrutan. Ada beberapa definisi mengenai kesulitan keuangan menurut Gamayuni : 1) Economic Failure, yaitu kegagalan ekonomi yang berarti bahwa pendapatan perusahaan tidak dapat menutup biayanya sendiri. Ini berarti tingkat labanya lebih kecil dari biaya modal. 2) Bussines Failure, didefenisikan sebagai usaha yang menghentikan operasinya dengan akibat kerugian bagi kreditur, dan kemudian dikatakan gagal meskipun tidak melalui kebangkrutan secara normal. 3) Technical insolvency, sebuah perusahaan dapat dinilai mengalami kesulitan keuangan apabila tidak memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo. Technical insolvency ini menunjukkan kekurangan likuiditas yang sifatnya sementara di mana pada suatu waktu perusahaan dapat mengumpulkan uang untuk memenuhi kewajibannya dan tetap beroperasi. 4) Insolvency in bankcrupy, sebuah perusahaan dapat dikatakan mengalami kesulitan keuangan bilamana nilai buku dari total kewajiban melebihi nilai pasar dari asset perusahaan. 5) Legal Bankcrupy, sebuah perusahaan dikatakan sebagai bangkrut secara hukum, kecuali diajukan tuntutan secara resmi dengan undang-undang. Fenomena mengenai financial distress dan bagaimana cara memprediksinya mulai intensif dijadikan sebagai obyek penelitian. Area terkait yang sering digunakan dalam penelitian adalah penggunaan informasi laporan keuangan dalam memprediksi kemungkinan terjadinya kondisi financial distress pada suatu perusahaan. Platt dan Platt (2002) menyatakan kegunaan informasi jika suatu perusahaan mengalami financial distress adalah: 1) Dapat mempercepat tindakan manajemen untuk mencegah masalah sebelum terjadinya kebangkrutan. 2) Pihak manajemen dapat mengambil tindakan merger atau takeover agar perusahaan lebih mampu untuk membayar hutang dan mengelola perusahaan dengan lebih baik. 3) Memberikan tanda peringatan dini atau awal adanya kebangkrutan pada masa yang akan datang. 2.1.7 Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan Aruningrum dan Wirakusuma (2013) yang meneliti pengaruh profitabilitas, leverage, kompleksitas operasi, reputasi kap dan komite audit pada audit delay menunjukkan hasil bahwa leverage berpengaruh terhadap audit delay, sedangkan profitabilitas, kompleksitas operasi perusahaan, reputasi KAP, dan komite audit tidak memengaruhi audit delay. Secara simultan ukuran perusahaan (variabel kontrol), profitabilitas, leverage, kompleksitas operasi perusahaan, reputasi KAP dan komite audit berpengaruh terhadap audit delay. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 194 perusahaan industrial manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode 2010-2011 dan menggunakan teknik analisis regresi linier berganda Penelitian yang telah dilakukan oleh Latifah (2013) adalah mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi voluntary audit switching. Dengan menggunakan teknik analisis regresi logisik penelitian ini menghasilkan ukuran KAP dan opini audit berpengaruh signifikan terhadap voluntary audit switching, sedangkan ukuran klien, pertumbuhan perusahaan, dan financial distress tidak berpengaruh secara signifikan terhadap voluntary auditor switching. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini merupakan perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode 2009-2011. Kartika (2011) dengan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi audit delay pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI menunjukkan hasil penelitian total aset dan solvabilitas berpengaruh signifikan terhadap audit delay, sedangkan operasi kerugian dan keuntungan, profitabilitas, opini auditor dan reputasi auditor tidak memiliki pengaruh terhadap audit delay. Penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi linier berganda dengan sampel 256 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta Tahun 2006-2009. Penelitian dari Permata (2013) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi audit lag meggunakan teknik analisis regresi linier berganda dan sampel sebanyak 56 perusahaan yang terdaftar di Bura Efek Indonesia periode 2007-2011, menunjukkan hasil penelitian bahwa ukuran KAP dan perusahaan multinasional berpengaruh negatif terhadap audit lag tetapi penelitian ini belum dapat menemukan pengaruh negatif antara KAP tenure, partner tenure, profitabilitas dan solvabilitas terhadap audit lag. Penelitian yang dilakukan Prameswari (2012) mengenai analisis faktorfaktor yang mempengaruhi terjadinya audit delay pada perusahaan consumer goods industry di Bursa Efek Indonesia (periode tahun 2008-2010) menggunakan sampel sebanyak 93 perusahaan dengan teknik analisis regresi berganda menunjukkan hasil variabel profitabilitas, opini audit dan lamanya perusahaan menjadi klien KAP tidak berpengaruh terhadap audit delay. Variabel solvbilitas, perusahaan holding memiliki pengaruh terhadap audit delay. Rustiarini dan Mita (2013) telah melakukan penelitian mengenai pengaruh karakteristik auditor, opini audit, audit tenure, dan pergantian auditor pada audit delay. Menggunakan sampel sebanyak 72 perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2010-2011, penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi berganda dan menunjukkan hasil variabel spesialisasi auditor berpengaruh negatif pada audit delay, sedangkan pergantian auditor berpengaruh positif pada audit delay. Variabel reputasi auditor, opini audit dan lamanya waktu penugasan tidak memiliki pengaruh pada audit delay. Penelitian yang dilakukan Primadita (2012) mengenai pengaruh tenure dan auditor spesialisasi terhadap informasi asimetri, menggunakan sampel sebanyak 274 perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 20092011. Hasil penelitian menunjukkan terdapat adanya u-shaped atau hubungan kuadratik pada tenure audit terhadap informasi asimetri dan pada variabel auditor spesialis terbukti dapat menurunkan tingkat informasi asimetri. Tambunan (2014) dengan penelitian mengenai pengaruh opini audit, pergantian auditor dan ukuran kantor akuntan publik terhadap audit report lag, menggunakan sampel sebanyak 89 perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2010-2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa opini audit dan pergantian auditor tidak berpengaruh terhadap audit report lag. Ukuran Kantor Akuntan Publik berpengaruh signifikan negatif terhadap audit report lag. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis regresi berganda. Widyantari dan Wirakusuma (2012) melakukan penelitian mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi audit delay, menggunakan sampel 39 perusahaan manufaktur BEI periode 2008-2011. Dengan teknik analisis regresi berganda menunjukkan hasil variabel ukuran kantor akuntan publik saja yang berpengaruh dan signifikan terhadap audit delay. Ukuran perusahaan, solvabilitas, profitabilitas, dan opini auditor tidak berpengaruh dan signifikan terhadap audit delay. Penelitian yang dilakukan oleh Wiguna (2012) adalah mengenai pengaruh tenure audit terhadap audit report lag dengan spesialisasi industri auditor sebagai variabel pemoderasi. Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 49 bank umum konvensional di Indonesia tahun 2008-2010. Uji regresi model data panel menunjukkan hasil tenure KAP memiliki hubungan positif signifikan terhadap audit report lag. Pengaruh spesialisasi industri auditor terhadap hubungan tenure KAP dengan audit report lag belum konsisten antara hasil pengujian utama dan pengujian tambahan. Julien (2013) dengan penelitian mengenai pengaruh tingkat profitabilitas, financial distress, dan pelaporan rugi bersih klien terhadap audit report lag perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Dengan menggunakan teknik analisis regresi berganda dan jumlah sampel sebanyak 100 perusahaan manufaktur periode 2008-2011, hasil penelitian menunjukkan tingkat profitabilitas berpengaruh negatif terhadap audit report lag. Financial distress dan pelaporan rugi bersih tidak memiliki pengaruh terhadap audit report lag. Penelitian yang dilakukan oleh Karang (2015) adalah mengenai pengaruh faktor internal dan eksternal pada audit delay. Penelitian ini menggunakan 115 sampel perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2009-2013 dengan alat analisis regresi berganda, menghasilkan ukuran perusahaan dan solvabilitas berpengaruh positif pada audit delay, sedangkan profitabilitas, kualitas auditor dan opini auditor berpengaruh negatif pada audit delay. Lase dan Sutaryo (2014) dengan penelitian mengenai pengaruh karakteristik auditor terhadap audit delay, menggunakan teknik analisis regresi dengan uji univariat dan multivariate. Sampel penelitian sebanyak 127 pemerintah daerah yang diperoleh dari BPK-RI dan dari situs Direktorat Jendral Otonomi Daerah, Kementrian Dalam Negeri RI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecakapan professional auditor dan latar belakang pendidikan auditor mempengaruhi audit delay laporan keuangan pemerintah daerah. Variabel audit tenure tidak memiliki pengaruh terhadap audit delay laporan keuangan pemerintah daerah. Interaksi antara kecakapan professional auditor dan penugasan berulang auditor dan interaksi antara kecakapan professional auditor dengan latar belakang pendidikan auditor mempengaruhi audit delay. Penelitian yang telah dilakukan oleh Arasy (2014) mengenai analisis current ratio, debt to asset ratio, return on asset, inventory turn over, dan sales growth untuk memprediksi financial distress,s menggunakan sampel sebanyak 56 perusahaan tekstil dan garmen yang terdaftar di BEI periode 2009-2012. Hasil penelitian dengan menggunakan teknik analisis regresi logistik menunjukkan rasio likuiditas dan pertumbuhan mempunyai pengaruh yang positif dan tidak signifikan. Profitabilitas memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap kondisi financial distress, sedangkan rasio solvabilitas atau leverage memiliki pengaruh positif dan signifikan. Rasio solvabilitas atau leverage berpengaruh dominan terhadap kondisi financial distress. Berdasarkan uraian diatas mengenai penelitian sebelumnya, tabel ringkasan hasil penelitian sebelumnya dilampirkan pada Lampiran 9. 2.2 Hipotesis Penelitian 2.2.1 Pengaruh Audit Tenure Pada Audit Delay Auditor yang memiliki penugasan cukup lama dengan klien perusahaan tertentu akan mendorong terciptanya pengetahuan bisnis yang lebih baik sehingga memungkinkan auditor untuk merancang program audit yang lebih efektif dan laporan audit yang berkualitas tinggi. Meskipun demikian, pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.01/2008 mengatur tentang pembatasan lamanya penugasan auditor dengan perusahaan kliennya. Pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan dari perusahaan publik oleh KAP paling lama enam tahun berturut-turut dan oleh seorang akuntan publik paling lama tiga tahun buku berturut-turut. Pembatasan lamanya masa penugasan audit dipandang sangat penting untuk pihak internal maupun pihak eksternal perusahaan untuk tetap menjaga independensi auditor dalam melaksanakan tugasnya. Penelitian Primadita (2012) menyatakan bahwa jangka waktu audit berpengaruh terhadap informasi asimetri. Informasi asimetri yang bisa menyebabkan masalah keagenan bisa diatasi dengan mencegah terjadinya audit delay. Penelitian Permata (2013) menemukan bahwa audit tenure berpengaruh negatif pada penyampaian informasi laporan keuangan. Lain halnya dalam penelitian Wiguna (2012), menunjukkan bahwa tenure KAP memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap audit delay. Penelitian yang dilakukan oleh Rustiarini dan Mita (2013) menunjukkan tidak adanya pengaruh lamanya waktu penugasan (audit tenure) terhadap audit delay. Berbeda dalam penelitian Dewi (2014) yang meneliti pengaruh audit tenure terhadap audit report lag yang dimoderasi dengan variabel spesialisasi auditor industry pada perusahaan manufaktur menunjukan bahwa audit tenure memberikan audit report lag lebih pendek dibandingkan auditor non-spesialis. Semakin lama masa penugasan antara KAP dengan perusahaan klien yang memberikan penugasan, maka memungkinkan auditor untuk mengenali industri klien sehingga akan memperpendek masa penyelesaian audit dan dapat menyelesaikan laporan keuangan auditan secara tepat waktu. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H1: Audit tenure berpengaruh negatif pada Audit delay. 2.2.2 Pengaruh Pergantian Auditor Pada Audit Delay Salah satu negara yang mewajibkan dilakukannya pergantian auditor dengan batas waktu yang ditentukan adalah Indonesia, pemerintah telah mengatur kewajiban rotasi auditor melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 17/PMK.01/2008 tentang Jasa Akuntan Publik. Peraturan ini mengatur tentang pemberian jasa audit umum enam tahun berturut-turut oleh kantor akuntan dan tiga tahun berturut-turut oleh seorang akuntan publik oleh satu klien yang sama. Akuntan publik dan kantor akuntan boleh menerima kembali penugasan setelah satu tahun buku tidak memberikan jasa audit kepada klien yang sama. Perusahaan diharapkan bisa memilih auditor pengganti yang berkompeten dibidangnya sesuai dengan kebutuhan perusahaan masing-masing sehingga proses penyelesaian audit atas laporan keuangan bisa dilaksanakan tepat waktu (Giri, 2010). Pergantian auditor mendapat perhatian yang serius bagi perusahaan saat ini karena perusahaan mengalami kekhawatiran pada auditor baru yang melakukan pemeriksaan terhadap sistem pembukuan dan menilai rendah standar mutu pembukuan perusahaan. Beberapa hal yang dapat menyebabkan pergantian auditor seperti berakhirnya kontrak kerja tanpa adanya perpanjangan penugasan baru, konflik kepentingan antara pemilik perusahaan dan manajemen perusahaan yang memicu pergantian manajemen dan pergantian auditor, ataupun penggantian auditor dilakukan agar bisa bekerjasama dan mendapatkan opini sesuai dengan keinginan manajemen untuk dipertanggungjawabkan dalam RUPS (Srimindarti, 2006). Pergantian auditor secara wajib dan sukarela bisa dibedakan atas dasar pihak yang menjadi fokus perhatiannya. Jika pergantian auditor terjadi secara sukarela, maka perhatian utama adalah pada sisi klien, sebaliknya jika pergantian auditor secara wajib, maka perhatian utama beralih kepada auditor (Febrianto, 2009 dalam Andra 2012). Apabila perusahaan mengalami pergantian auditor, tentunya auditor baru membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengenali karakteristik usaha klien dan sistem yang ada di dalamnya sehingga hal ini menyita waktu auditor dalam melaksanakan proses auditnya. Hasil penelitian Ettredge et.al (2005), membuktikan bahwa adanya pergantian auditor dapat memperpanjang audit delay. Berbeda dalam penelitian Putra (2014) menyatakan bahwa variabel auditor switching tidak berpengaruh pada audit delay. Rustiarini dan Mita (2013) membuktikan bahwa pergantian auditor berpengaruh secara positif pada audit delay. Sedangkan hasil penelitian Tambunan (2014) menyatakan pergantian auditor tidak memiliki pengaruh terhadap audit delay. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H2: Pergantian auditor berpengaruh positif pada Audit delay. 2.2.3 Pengaruh Financial Distress Pada Audit delay Kesulitan keuangan (financial distress) merupakan salah satu berita buruk yang akan mempengaruhi kondisi perusahaan di mata publik. Perusahaan dengan tingkat rasio gearing yang tinggi menggambarkan risiko keuangan yang tinggi. Pihak manajemen membutuhkan waktu untuk menghapus berita buruk ini dari laporan keuangan. Schwartz dan Soo (1996) dalam Kadir (2011) menyatakan bahwa perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan (financial distress) cenderung menyampaikan laporan keuangannya tidak tepat waktu dibandingkan perusahaan yang tidak mengalami kesulitan keuangan. Kondisi financial distress yang terjadi pada perusahaan dapat meningkatkan risiko audit pada auditor independen khususnya risiko pengendalian dan risiko deteksi. Dengan meningkatnya risiko itu maka auditor harus melakukan pemeriksaan risiko (risk assessment) sebelum menjalankan proses audit, tepatnya pada fase perencanaan audit (audit planning). Sehingga hal ini dapat mengakibatkan lamanya proses audit dan berdampak pada bertambahnya audit delay. Aziz dan Dar (2006) dalam Julien (2013) mengungkapkan ciri-ciri perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan yaitu terdapat perubahan signifikan dalam komposisi aset dan kewajiban dalam neraca, arus kas negatif, nilai perbandingan yang tinggi antara hutang dengan asset. Penelitian oleh Na’im (1999) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ketepatan waktu pelaporan keuangan perusahaan-perusahaan di Indonesia menunjukkan hasil penelitian bahwa financial distress tidak secara signifikan mempengaruhi ketepatan waktu pelaporan keuangan. Penelitian yang dilakukan oleh Julien (2013) juga menunjukkan bahwa financial distress tidak berpengaruh terhadap audit report lag. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H3: Financial Distress berpengaruh positif pada Audit delay.