Oleh SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS - USU-IR

advertisement
PENYELESAIAN SENGKETA UTANG PIUTANG PERUSAHAAN
DENGAN PERDAMAIAN DI DALAM ATAU DI LUAR
PROSES KEPAILITAN
(STUDI MENGENAI LEMBAGA PENUNDAAN
KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG)
DISERTASI
Untuk memperoleh Gelar Doktor dalam Program Studi Ilmu Hukum
Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Di bawah pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara
Prof. Chairuddin P. Lubis DTM&H, Sp.A(K)
Untuk dipertahankan dihadapan
Sidang Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara
Oleh
MANAHAN M.P SITOMPUL
028101005/S3 HK
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Disertasi
: PENYELESAIAN SENGKETA UTANG
PIUTANG PERUSAHAAN DENGAN
PERDAMAIAN DI DALAM ATAU DI LUAR
PROSES KEPAILITAN (STUDI MENGENAI
LEMBAGA PENUNDAAN KEWAJIBAN
PEMBAYARAN UTANG)
Nama Mahasiswa
: Manahan MP. Sitompul
Nomor Pokok
: 028101005
Program
: Doktor (S3) Ilmu Hukum
Menyetujui
Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, S.H.)
Promotor
(Prof. Dr. Amiruddin Abdul Wahab, S.H.) (Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H.,M.H.)
Co. Promotor
Co. Promotor
Ketua Program Doktor Ilmu Hukum,
(Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H.,M.H.)
Tanggal Lulus
Direktur,
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B,Msc.)
: 21 Januari 2009
Tim Penguji Luar Komisi :
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
(Prof. Dr. M. Solly Lubis, S.H.)
(Prof. Dahlan, S.H., M.H.)
(Dr. Zulkarnain Sitompul, S.H., LLM)
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan dengan
Perdamaian di dalam atau di luar Proses Kepailitan
(Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)
Manahan M.P.Sitompul 1
Mariam Darus Badrulzaman 2
Amiruddin Abdul Wahab 3
Bismar Nasution 4
INTISARI
Hukum Kepailitan adalah bahagian dari Hukum Ekonomi yang memiliki
sifat Hukum Perdata maupun sifat Hukum Publik. Kepailitan merupakan suatu
penyitaan umum atas seluruh kekayaan debitor untuk kepentingan para kreditor
secara bersama-sama. Hukum Kepailitan fungsinya mengatur kepentingan
individu (subjek hukum) dan kepentingan masyarakat yang seimbang untuk
mencapai kemakmuran bersama.
Hukum Kepailitan Indonesia semula diatur dalam Faillisements
Verordening (Staatblad Tahun 1905 Nomor 217 jo. Staatblad Tahun 1906 Nomor
348). Peraturan dari zaman Belanda ini tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam
menghadapi perkembangan terutama untuk mengatasi krisis moneter. Salah satu
akibat krisis moneter ini adalah sulitnya dunia usaha untuk membayar utangutangnya baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri, bahkan mengalami
kesulitan untuk mempertahankan kelangsungan kegiatan usahanya.
Situasi dan kondisi perekonomian Indonesia ini mempunyai dampak
negatif terhadap kepercayaan luar negeri. Untuk memulihkan kepercayaan ini,
dengan alasan dan pertimbangan kegentingan yang memaksa, Pemerintah telah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1
Tahun 1998, dan Perpu ini telah ditetapkan menjadi Undang-Undang oleh
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 yang selanjutnya disebut Undang-Undang
Kepailitan (UUK).
Fenomena Globalisasi nampak nyata dalam bidang ekonomi dilihat dari
adanya kebebasan gerak perusahaan dan uang melintasi batas-batas negara
bangsa, sehingga dunia tanpa batas sangat dirasakan dalam kegiatan
perekonomian Internasional. Dalam bidang Hukum bisnis perlu adanya peraturan
Hukum Kepailitan yang menciptakan keadaan kondusif bagi kehidupan
perekonomian Nasional dan dapat mempertahankan perusahaan debitor yang
terancam pailit akibat kesulitan membayar utang-utangnya. Komentar masyarakat
terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 1998 jo. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998,
yang minta agar segera disempurnakan menjadi lebih komprehensif dan
representatif, telah direspons oleh pemerintah melalui program legislasi
membentuk dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (UUK dan PKPU).
Perkembangan kepailitan dan penyebutan PKPU dalam judul Undang-Undang
1
Ketua Pengadilan Negeri Cilacap
Guru Besar (Emeritus) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Medan
3
Guru Besar Fakultas Hukum Unisyiah Darussalam di Banda Aceh
4
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Medan
2
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
menunjukan bahwa PKPU merupakan sarana penting dalam penyelesaian utang
piutang yang intinya perdamaian.
Sejak terjadinya krisis moneter tahun 1998, Pemerintah juga telah
membentuk Prakarsa Jakarta sebagai Lembaga Khusus yang berfungsi sebagai
Mediator sekaligus fasilitator dalam penyelesaian utang piutang swasta diluar
pengadilan. Khusus untuk pembayaran utang luar negeri swasta nasional dibentuk
INDRA (Indonesian Debt Restructuring Agency) untuk menyediakan Skema
Adiministrasi penyelesaian utang piutang. Prakarsa Jakarta telah mengakhiri
tugasnya pada tahun 2003 yang lalu, sedang INDRA telah dibubarkan kemudian
setelah mencapai tugas-tugasnya. Hal ini telah memberi pengalaman bagi
Indonesia dalam menanggulangi masalah utang piutang terutama akibat
perubahan kurs dollar AS terhadap rupiah yang signifikan.
PKPU sebagai lembaga yang fleksibel dapat difungsikan menyelesaikan
sengketa utang piutang perusahaan antara debitor dengan para kreditornya. Pada
umumnya dilakukan kombinasi antara moratorium (penundaan) dengan
restrukturisasi utang dalam suatu perjanjian perdamaian yang harus dicapai dalam
jangka waktu 270 (dua ratus tujuh puluh) hari.
Dari hasil penelitian di 5 (lima) Pengadilan Niaga di Indonesia, dari 600
(enam ratus) perkara Kepailitan dan PKPU yang masuk, hanya 92 (sembilan
puluh dua) perkara atau 15% (lima belas persen) yang diselesaikan dengan
perdamaian, sedang dalam 297 (dua ratus sembilan puluh tujuh) perkara atau 49%
(empat puluh sembilan persen) debitor dinyatakan pailit dan dilikuidasi.
Seyogianya dari 297 (dua ratus sembilan puluh tujuh) debitor dinyatakan pailit
dan dilikuidasi, masih banyak yang dapat diselamatkan apabila Undang-Undang
Kepailitan dan PKPU berkiblat pada reorganisasi perusahaan dengan berpedoman
pada Reorganization Chapter 11 USBC. Dalam hal Pengadilan Niaga diberi
kewenangan memerintahkan perusahaan debitor yang terancam pailit untuk
direorganisasi adalah salah satu ide yang ditawarkan. Oleh karena itu perubahan
“UUK dan PKPU” menjadi “UUK dan Reorganisasi Perusahaan” adalah
merupakan suatu harapan “futuristic View” dalam mewujudkan suatu Hukum
Kepailitan Modern di Indonesia.
Kata kunci
:-
Sengketa utang piutang
Perdamaian
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
RESOLUTION OF RECEIVABLE AND LIABILITY DISPUTE OF A
CORPORATE BY AGREEMENT IN AND OUT OF BANKRUPTCY
(A Study of an Institution for Suspension of Payment )
Manahan M.P.Sitompul 1
Mariam Darus Badrulzaman 2
Amiruddin Abdul Wahab 3
Bismar Nasution 4
ABSTRACT
Bankruptcy is a part of Economical Law having characteristics of civil and
public laws. Bankruptcy is a public seizure over all the properties of debtors for
satisfaction of creditors collectively. The law of bankruptcy functions to govern
proportionally interests of individual (subject of law) and public to reach
collective welfare.
The Indonesian law of bankruptcy is initially stipulated in Faillisements
Verordering (Staatblad of 1905 No. 217 related to Staatblad of 1906 No. 348).
The rule of Netherlands cannot meet requirements of advances need especially to
overcoming monetary crisis. One consequence of the monetary crisis not only the
distress faced by any company to repay liability either domestic or foreign, further
even to maintain the survival of their business.
Such economic circumstances of Indonesia have negative impact on
foreigners confidence. To recover this with the crucial reason and consideration,
the Government has issued the Governmental Rule for substitution of the Laws
(Perpu) No.1 of 1998 and this Rule has been established to be the Laws by the
Laws No 4 of 1998 hereinafter referred to as The Laws of Bankruptcy (UUK)
The globalization phenoment of economic is seem obviously, in terms of
transfer of financial and resources as if there’s no world’s disparities. In Law of
Business, the UUK can create condusive, circumstances for national economy and
help any debtor led to bankruptcy with is due to failure to repay liability. The
public comment on the Substituting Rule No. 1 of 1998 related to the Laws No. 4
of 1998 that claimed to immediately make it more comprehensive and
representative has been responded by the Government through a legislation to
establish and validate the Laws No 37 of 2004 regarding Bankruptcy and
Suspension of Payment hereinafter referred to as the Laws of Bankruptcy and
Suspension of Payment (UUK & PKPU). The progress of bankruptcy and citation
of Suspension of Payment (PKPU) in the title of Laws shows that the Suspension
of Payment (PKPU) is an important facility for recovery of receivable and liability
which has an essence of agreement.
Since the monetary crisis in 1998, the Government has established
Prakarsa Jakarta as a Special Institution functioning to be a mediator and
facilitator for resolution of private receivable and liability out of court. In
particular, in repayment of foreign liability of the national private, INDRA
1
The Chief of Civil Court, Cilacap
Professor (Emeritus) of Faculty of Law, Sumatra Utara University, Medan
3
Professor of Faculty of Law, Unsyiah Darussalam, Banda Aceh
4
Professor of Faculty of Law, Sumatra Utara University, Medan
2
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
(Indonesian Debt Restructuring Agency) has been established to provide an
Administrative Scheme of Receivable and Liability Resolution. Both Prakarsa
Jakarta and INDRA have completed their task in 2003 ago. It had given a
valuable experience for Indonesia in dealing with the receivable and liability
especially due to the significantly exchange rate of USA dollar to rupiah.
PKPU as a flexible institution can function to resolute any dispute of
receivable and liability of a corporate between debtor and creditor. In general, the
combination of moratorium and restructurization of liability in an agreement
should be accomplished no more than 270 (two hundred and seventy) days.
From the study carried out at 5(five) Commercial Courts in Indonesia
resulting from 600 (six hundred) cases of bankruptcy and Suspension of Payment
(PKPU), there were only 92 (ninety two) cases or 15% (fifteen percents) that had
been resolved in an agreement, whereas the remaining 297 (two hundred and
ninety seven) cases or 49% (forty nine percents) of debtors were bankrupt and
liquidated. Should the Laws of Bankruptcy and Suspension of Payment (PKPU)
have been oriented, some would still be restructured out of 297 (two hundred and
ninety seven) bankrupt and liquidate, referring to the Reorganization Chapter 11
of USBC. It become an idea offered to order those debtors leading to bankruptcy
to reorganize. Therefore, the change “UUK dan PKPU” into “UUK dan
Reorganisasi Perusahaan” is an expectation of futuristic view for realization of a
modern law of bankruptcy in Indonesia.
Keywords
: Dispute of Receivable and Liability
Agreement
Bankruptcy and Suspension of Payment
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
Kata Pengantar
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Besar dan Pengasih
yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga penelitian dan
penulisan disertasi ini dapat diselesaikan dengan judul : “ Penyelesaian Sengketa
Utang Piutang Perusahaan dengan Perdamaian di Dalam atau di Luar Proses
Kepailitan (Studi Mengenai Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)”.
Penelitian ini dapat dilakukan berkat bimbingan dan arahan serta masukan
dari Tim Promotor, yaitu yang terhormat Ibu Prof. Dr. Mariam Darus
Badrulzaman, S.H. selaku ketua, yang terhormat Bapak Prof. Dr. Amiruddin
A.Wahab, S.H. selaku anggota Tim Promotor, dan yang terhormat Bapak Prof.
Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H. selaku Anggota Tim Promotor sekaligus sebagai
Ketua Program Study Doktor (S3) Ilmu Hukum. Kepada beliau disampaikan rasa
terima kasih yang tulus atas budi baik yang telah memberikan curahan ilmu
pengetahuan kepada penulis. Juga diucapkan terima kasih kepada Tim Penguji
Luar Komisi yaitu : yang terhormat Bapak Prof. Dr. M. Solly Lubis, S.H., yang
terhormat Bapak Prof. Dahlan, S.H., M.H., yang terhormat Bapak Dr. Zulkarnain
Sitompul, S.H., LLM, yang telah memberi arahan, petunjuk dan koreksi dalam
menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini ;
Dalam kesempatan ini disampaikan ucapan terima kasih yang khusus kepada
yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., MCL, mantan Ketua Mahkamah
Agung RI. atas restu dan simpati beliau pada setiap kegiatan akademik
sehingga telah memotivasi penulis dalam menyelesaikan disertasi ini;
2. Bapak H. Suryanto, S.H., mantan Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di
Semarang, Bapak M. Siringoringo, S.H., mantan Ketua Pengadilan Tinggi
Sumatera Utara di Medan, Bapak Bagus Sugiri, S.H., Ketua Pengadilan
Tinggi Semarang, atas izin dan restu beliau bagi penulis mengikuti pendidikan
Program Doktor (S3) Ilmu Hukum sampai selesai.
Disadari bahwa penelitian dan penulisan disertasi ini hanya dapat
diselesaikan berkat dorongan, budi baik dan bantuan berbagai pihak. Dalam
kesempatan ini diucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada yang
terhormat :
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
1. Bapak Prof. Dr. H. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K), Rektor/Ketua
Senat Guru Besar Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis mengikuti Pendidikan pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, Msc, Direktris Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Ir. Sumono, M.S., mantan
Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, serta seluruh
Bapak/ Ibu Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Disampaikan juga terima kasih dan permohonan maaf kepada isteri tercinta
Hartaty C.N. Malau, B.A., atas doa dan kesetiaannya mendampingi penulis dalam
segala upaya untuk menyelesaikan disertasi ini. Kepada anak-anakku tersayang :
Juristama Partogi Sitompul, S.P, Lawina Meiharti Sitompul, S.Psi, Junistira
Herawati Sitompul dengan pesan agar tetap bertekad untuk menyelesaikan studi
dan menambah ilmunya walau ada kendala akibat kegiatan penyelesaian disertasi
ini.
Terima kasih juga disampaikan kepada segenap sahabat seperjuangan dalam
suka dan duka yang telah banyak berjasa memberi semangat dalam menyelesaikan
studi dan penulisan disertasi ini khususnya : Bapak Prof. Dr. H. Abdul Manan,
S.H., SiP, M.Hum, (Hakim Agung RI), Dr. Supandi, S.H., M.Hum, Dr. Iman
Jauhari, S.H.,M.Hum, Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum, Dr. Soleman
Mantayborbir, S.H., M.Hum, Dr. Triono Edy, S.H., M.Hum, Dr. Januari Siregar,
S.H., M.Hum, Dr Purnama T. Sianturi, S.H.,, M.Hum dan teman-teman lainnya
yang tidak dapat disebutkan satu persatu ;
Atas segala kekeliruan dan kekurangan yang terdapat dalam disertasi ini
penulis mohon maaf dan akan dapat diperbaiki kelak, semoga ada manfaaat dari
penulisan disertasi ini.
Medan,
Januari 2009
Penulis
Manahan M.P. Sitompul
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
RIWAYAT HIDUP
IDENTITAS :
1. Nama Lengkap dan Gelar : Manahan Malontige Pardamean Sitompul, SH. M.Hum
2. Tempat, Tanggal lahir
: Tarutung, 8 Desember 1953
3. Jenis Kelamin
: Laki-laki
4. Agama
: Kristen Protestan
5. Fakultas/Program Studi
: Hukum/Ilmu Hukum
6. Pekerjaan/Jabatan Sekarang: Hakim/Ketua Pengadilan Negeri Cilacap Jawa Tengah
7. NIP
: 040046014
8. Pangkat/Golongan
: Pembina Utama Muda/Hakim Madya Utama (IV/c)
9. Nama Orang Tua
:
a. Ayah
: Ds. S.M.S. Sitompul
b. Ibu
: T.M. br. Panggabean
10. Status
: Kawin tahun 1984
11. Isteri
: Hartaty C.N. Malau, BA
12. Anak
: a. Juristama Partogi Sitompul, S.P
b. Lawina Meiharti Sitompul, S.Psi
c. Junistira Herawati Sitompul
13. Alamat
a. Rumah
: 1). Jln. Setiabudi Psr. II. Komp. Taman Perkasa Indah
BL.C No. 12 Medan.
2). Jln. Ir. Juanda Komp. Gumilir Indah BL 23. No 1 A
Cilacap
b. Kantor
: Pengadilan Negeri Klas IB Cilacap
Jln. Letjen Suprapto 67 Cilacap
RIWAYAT PENDIDIKAN :
1. Sekolah Dasar (SD) Negeri 9, Sibolga 1966
2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Nasrani Medan 1969
3. Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri I Medan 1972
4. Akademi Penerbangan/LPPU, Curug-Tangerang 1974
5. Lembaga Indonesia Amerika (LIA), Tingkat Intermediate, Medan 1982
6. Fakultas Hukum USU (Hukum Internasional) Tamat tahun 1982
7. Pelatihan Calon Hakim Peradilan Umum 1984
8. Pelatihan Calon Hakim Niaga 1999
9. Pascasarjana (S2) Ilmu Hukum, USU, Tamat tahun 2001
10. Program Doktor (S3) Ilmu Hukum, USU, Masuk tahun 2002
RIWAYAT PEKERJAAN :
1. Tenaga Tehnis Keselamatan Penerbangan Pelud Polonia Medan
2. Calon Hakim di Pengadilan Negeri Medan
3. Hakim Pengadilan Negeri Kabanjahe
4. Hakim Pengadilan Negeri Stabat
5. Hakim Pengadilan Negeri Binjai
1975-1983
1984-1985
1986-1991
1992-1997
1998-1999
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
6. Wakil Ketua Pengadilan Negeri Simalungun
7. Ketua Pengadilan Negeri Simalungun
8. Hakim Pengadilan Negeri Pontianak
9. Wakil Ketua Pengadilan Negeri Sragen
10. Ketua Pengadilan Negeri Cilacap
1999-2000
2000-2003
2003-2004
2005-2007
2007-Sekarang
PENGALAMAN LUAR NEGERI :
1. Studi banding Sistem Peradilan Bankruptcy di Mahkamah Dagang Tinggi,
Kuala Lumpur, penjelajahan perpustakaan di University Malaya (UM) dan
Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur (Nopember 2004)
2. Studi banding Sistem Hukum dan penjelajahan perpustakaan di National
University Singapura dan Kedutaan Besar RI di Singapura (Nopember 2004)
KARYA TULIS :
1. Syarat-syarat Pernyataan Pailit menurut Pasal 1 ayat (1) UU. No. 4 tahun
1998 dan Penerapannya oleh Peradilan Niaga, Tesis, PPs, USU, 2001.
2. Perbuatan Melawan Hukum (onrecht matigedaad) dalam Penyelesaian
Sengketa Utang Piutang melalui Reorganisasi dan Restrukturisasi
Perusahaan, PPs. USU,. 2003
3. Strategi Menyelesaikan Sengketa secara damai di Pengadilan, PPs, USU,
2003
4. Eksistensi Hak Ulayat menurut UU. No.5 tahun 1960 (UUPA), Studi kasus :
Penyerahan Tanah Adat kepada Pemerintah Daerah TK II Ngada, Bajawa
(NTT). PPs, USU, 1999
5. Perlindungan Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dalam
Perdagangan Internasional, PPs, USU, 2000.
6. Penerapan Metode Syllogisme dalam Penemuan Hukum, PPs, USU, 1999
7. Penegakan Supermasi Hukum di Indonesia, Pidato Ilmiah dalam “Adi Prima
karya Award” tahun 2000
8. Peranan dan Wibawa Hakim sebagai tuntutan Reformasi, PPs, USU, 1998.
9. Evaluasi Politik Hukum Nasional, PPs, USU, 2003
10. Metode Penemuan Hukum di Indonesia dibandingkan dengan Sistem Common
Law dan Civil Law, PPs, USU, 2003
11. Kajian Epistemologi Keilmuan terhadap Perpu nomor 1 Tahun 1998 Tentang
Kepailitan, PPs, USU, 1998
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
12. Kedudukan Dogmatika Hukum menurut Teori Ilmu Hukum dan
Pengembangannnya melalui Penemuan Hukum di Indonesia, PPs, USU, 2003
13. Status Keilmuan Ilmu Hukum menurut Filsafat Ilmu Hukum, PPs, USU, 2003
14. Aspek Hukum Search and Rescue (SAR) Indonesia, ditinjau dari Segi Hukum
Internasional, Skripsi, USU, 1982
Medan, Januari 2009
Penulis
Manahan MP. Sitompul, SH, M.Hum
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
DAFTAR SINGKATAN
AAI
ADB
ADR
APP
AS
BHP
BI
BJDA
BPK
Bapepam
BPPN
BUMN/D
BV
BW
CAR
CBA
CV
CVA
DEPKEU
DPR
Fa
IBRA
IKAPI
IMF
INDRA
IPO
JITF
KEPRES
KKSK
KUHPerdata
LPJ
MA
MOU
MPR
MRA
NIM
NO
NV
PERMA
PERPU
PK
PKPU
PKPUS
PMN
PP
PSA
: Assosiasi Advokat Indonesia
: Asia Development Bank
: Alternative Dispute Resolution
: Asia Pulp and Paper
: Amerika Serikat
: Balai Harta Peninggalan
: Bank Indonesia
: Barang Jaminan Diambil Alih
: Badan Pemeriksa Keuangan
: Badan Pengawas Pasar Modal
: Badan Penyehatan Perbankan Nasional
: Badan Usaha Milik Negara/Daerah
: Besloten Vennootschap
: Burgerlijk Wetboek
: Capital Adequacy Ratio
: Collective Bargaining Agreement
: Comanditaire Vennootschap
: Company Voluntary Arrangement
: Departemen Keuangan
: Dewan Perwakilan Rakyat
: Firma
: Indonesian Bank Restructuring Agency
: Ikatan Kurator dan Pengurus Indonesia
: International Monetary Fund
: Indonesia Debt Restructuring Agency
: Initial Public Offering
: Jakarta Inisiative Task Force
: Keputusan Presiden
: Komite Kebijakan Sektor Keuangan
: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
: Laporan Pertanggung Jawaban
: Mahkamah Agung
: Memorandum Of Understanding
: Majelis Permusyawarahan Rakyat
: Master Restructuring Agreement
: Master Restructuring Agreement
: Niet Ontvankelijke Verklaard
: Naamloze Vennootschap
: Peraturan Mahkamah Agung
: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
: Peninjauan Kembali
: Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
: Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara
: Pusat Mediasi Nasional
: Peraturan Pemerintah
: Penyelesaian Sengketa Alternatip
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
PT
RI
RUU
RUPS
SE
SEMA
STPJ
US
USBC
UU
UUD 1945
UUK
UUPT
VOF
WVK
: Perseroan Terbatas
: Republik Indonesia
: Rancangan Undang-Undang
: Rapat Umum Pemegang Saham
: Surat Edaran
: Surat Edaran Mahkamah Agung
: Satuan Tugas Prakarsa Jakarta
: United State
: United State Bankruptcy Code
: Undang-Undang
: Undang-Undang Dasar 1945
: Undang-Undang Kepailitan
: Undang-Undang Perseroan Terbatas
: Vennootschap Onder Firma
: Wetboek Van Koophandel
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
DAFTAR SKEMA
Skema I.
Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan dengan Perdamaian
di dalam atau di luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga
PKPU).
Skema II. Perbandingan Penyelesain Sengketa Utang Piutang Perusahaan dengan
Filosofi: Efisiensi.
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
DAFTAR TABEL (LAMPIRAN)
Tabel 1 :
Data Perkara Actio Pauliana di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Tahun
1999-2006
Tabel 2 :
Data Perkara Actio Pauliana di Pengadilan Niaga Semarang Tahun
2002-2006.
Tabel 3 :
Data Perkara Kepailitan dan PKPU di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
1998-2006.
Tabel 4 :
Data Perkara Kepailitan dan PKPU di Pengadilan Niaga Medan Tahun
2003-2006.
Tabel 5 :
Data Perkara Kepailitan dan PKPU di Pengadilan Niaga Semarang
Tahun 2002-2006.
Tabel 6 :
Data Perkara Kepailitan dan PKPU di Pengadilan Niaga Makasar
Tahun 2002-2006.
Tabel 7 :
Data Perkara Kepailitan dan PKPU di Pengadilan Niaga Surabaya
Tahun 2001-2006.
Tabel 8 :
Jumlah Perkara Permohonan Pailit dan dicounter dengan PKPU di
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dari Tahun 1999-2006.
Tabel 9 :
Hasil Wawancara dengan Para Praktisi Peradilan Niaga (1).
Tabel 10:
Hasil Wawancara dengan Para Praktisi Peradilan Niaga (2).
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………
i
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………..
ii
INTISARI ………………………………………………………………….
iv
ABSTRACT ………………………………………………………………..
vi
KATA PENGANTAR .................................................................................. viii
RIWAYAT HIDUP ………………………………………………………..
x
DAFTAR SINGKATAN ………………………………………………….. xiii
DAFTAR SKEMA ………………………………………………………...
xv
DAFTAR TABEL, (LAMPIRAN)………………………………………..
xiii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….
xvii
BAB
BAB
I
II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................
1
B. Perumusan Masalah ............................................................
19
C. Tujuan Penelitian ................................................................
21
D. Kegunaan Penelitian ...........................................................
22
E. Kerangka Teori dan Konsepsi ............................................
23
F. Metodologi Penelitian ........................................................
47
G. Asumsi ................................................................................
53
H. Sistematika Penulisan .........................................................
54
PENYELESAIAN SENGKETA UTANG PIUTANG
56
A. Di Pengadilan (in-court) .....................................................
56
1. Gugatan Perdata Biasa ...................................................
56
2. Arbitrase ........................................................................
66
3. Proses Kepailitan dan atau PKPU..................................
70
B. Di Luar Pengadilan (out-court) ..........................................
95
1. Menggunakan ADR (Alternative Dispute Resolution)...
95
2. Menggunakan jasa Mediator “Prakarsa Jakarta” ........... 111
3. Menggunakan Skema INDRA........................................ 117
4. BPPN dan Kewenangannya ........................................... 119
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
BAB III IMPELEMENTASI KETENTUAN PKPU DALAM UU
KEPAILITAN DAN PKPU OLEH PERADILAN NIAGA
135
A. Asas-asas Hukum dalam Kepailitan ................................... 135
B. Penerapan Azas Itikad Baik dalam Praktik Kepailitan ....... 139
C. Sifat Hukum Publik dari Hukum Kepailitan ......................
187
D. Kedudukan Kreditor Separatis dalam Kepailitan dan
PKPU ............................................................................
191
E. Peranan Peradilan Niaga dalam menyelesaikan Perkara
Kepailitan dan PKPU .........................................................
198
F. Peranan Para Praktisi dalam Kepailitan dan PKPU ...........
200
G. Faktor-faktor Penghambat Pelaksanaan PKPU ..................
219
BAB IV PENGATURAN KEPAILITAN DAN REORGANISASI
239
PERUSAHAAN DI BEBERAPA NEGARA
i.
Reorganisasi Perusahaan menurut Chapter 11 US
Bankruptcy Code ................................................................
i.
Reorganisasi Perusahaan Menurut Ketentuan
Perundang-undangan di Beberapa Negara Common Law ..
i.
255
Reorganisasi Perusahaan Menurut Ketentuan Perundangundangan di Beberapa Negara Civil Law ...........................
v.
239
269
Persamaan dan Perbedaan Pengaturan Reorganisasi
dengan ketentuan PKPU ..................................................... 279
v.
BAB
V
Undang-Undang Kepailitan Modern ..................................
UPAYA
PERDAMAIAN
SENGKETA
281
UTANG
PIUTANG PERUSAHAAN DI DALAM ATAU DI LUAR
PROSES
KEPAILITAN
SERTA
DAMPAKNYA
TERHADAP LEMBAGA PKPU
294
A. Kinerja Prakarsa Jakarta dan INDRA ..................................
294
B. Putusan Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung tentang
Kepailitan
dan
PKPU
serta
Penyebab
Gagalnya
Perdamaian ………………………………........................... 299
C. Putusan Pengadilan dan Langkah-langkah Reorganisasi
Perusahaan
di
Amerika
Serikat
Serta
Manfaatnya
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
Terhadap Sistem PKPU .......................................................
BAB VI PENUTUP
380
390
A. Kesimpulan ………………………………………………..
390
B. Saran ………………………………………………………
393
LAMPIRAN
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada era reformasi yang sedang berlangsung dewasa ini tentu akan
membawa kita pada perubahan-perubahan di bidang hukum maupun di bidang
ekonomi. Reformasi ini tidak mudah dilaksanakan, karena sebagaimana diketahui
bahwa pada tahun 1997 terjadi gejolak ekonomi dan moneter di Indonesia yang
mempengaruhi kehidupan perekonomian nasional 1. Keadaan ini membawa negara
kita dalam kesulitan besar di bidang perekonomian dan dunia usaha. Indonesia
harus berjuang lebih keras lagi untuk benar-benar dapat mengatasi krisis yang
melanda tersebut. Proses penyebaran krisis berkembang cepat mengingat
tingginya keterbukaan perekonomian Indonesia dan ketergantungan pada sektor
luar negeri yang sangat besar 2. Fenomena globalisasi tampak dengan nyata dalam
bidang ekonomi, berbagai bukti dengan jelas mendukung semboyan ‘satu dunia,
satu ekonomi’. Globalisasi ekonomi tampak dari adanya kebebasan gerak
perusahaan dan uang melintasi batas-batas negara bangsa, sehingga ungkapan
‘dunia tanpa batas’ dalam kaitannya dengan perekonomian internasional bukanlah
ungkapan yang berlebihan 3. Untuk itu sangat diperlukan dukungan yang kuat dari
berbagai pihak khususnya yang terkait dalam bidang hukum bisnis. Dalam bidang
1
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002), h. 20
2
Syamsul Arifin dalam Komentar terhadap Makalah : Krisis Moneter Indonesia : Sebab,
Dampak, Peran IMF dan Saran, sebagaimana dikutip oleh : Zulkarnain Sitompul, dalam
Perlindungan Dana Nasabah Bank, Suatu Gagasan tentang pendirian Lembaga Penjamin di
Indonesia. FH.UI Program Pasca Sarjana 2003, h.3
3
Ichlasul Amal, Globalisasi, Demokasi dan Wawasan Nussantara : Perspektif
Pembangunan Jangka Panjang, Kumpulan Tulisan dalam Buku : Wawasan Nusantara Indonesia,
Pusat Kajian Kebudayaan, (Universitas Bung Hatta, 1992), h. 96
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
hukum ini perlu adanya kepastian hukum yang dapat menciptakan keadaan yang
kondusif bagi kehidupan perekonomian nasional, sehingga memungkinkan
munculnya perusahaan yang produktif dan sehat yang membawa manfaat bagi
masyarakat dan negara.
Perusahaan-perusahaan dapat melakukan kegiatan usahanya dengan baik
dan sukses bila didukung oleh modal yang kuat dengan organisasi yang solid serta
perangkat hukum yang lengkap. Modal akan diperoleh terutama dari setoran para
pendiri atau persero, tetapi juga dapat berasal dari pinjaman atau kredit dari bank,
lembaga pembiayaan, pasar modal dari dalam maupun luar negeri. Para kreditor
sebagai pemberi pinjaman tentunya akan bersedia memberi kredit dengan loan
agreement apabila ada suatu kepastian bahwa uang yang dipinjamkan akan
dikembalikan oleh debitor tepat pada waktunya.
Krisis moneter yang berkepanjangan dan tidak diduga sebelumnya itu
mengakibatkan dunia usaha tidak mampu mengembangkan usahanya, bahkan
untuk mempertahankan kelangsungan kegiatan usahanya sendiri menjadi sangat
sulit, seperti dikatakan oleh Sutan Remy Sjahdeini : “Krisis moneter itu diawali
dengan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap mata uang Dollar AS. Hal ini
telah mengakibatkan utang-utang para pengusaha Indonesia dalam valuta asing,
terutama terhadap para kreditor luar negeri menjadi membengkak luar biasa
sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya”. 4
Keadaan ini sangat mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk
memenuhi kewajibannya untuk membayar utang baik yang berasal dari pinjaman
4
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002), h.29
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
kredit maupun kewajiban untuk memenuhi prestasi lainnya. Utang merupakan
kewajiban yang timbul karena perjanjian atau oleh undang-undang yang harus
dipenuhi oleh debitor kepada kreditornya, dan bila debitor tidak dapat memenuhi
kewajibannya tersebut maka timbullah hak para kreditor untuk mendapat
pemenuhannya dari harta debitor melalui kepailitan. Kepailitan adalah suatu
lembaga hukum yang mempunyai fungsi penting di bidang hak kebendaan
hubungannya dengan hak dan kewajiban subjek hukum. Lembaga ini merupakan
realisasi dari ketentuan pasal 1131 KUH Perdata dan pasal 1132 KUH Perdata
yang mengatur tentang tanggung jawab subjek hukum (perseorangan maupun
badan hukum) terhadap perikatan-perikatan yang dilakukannya.
Sebagai maksud dan tujuan dari kepailitan (bankruptcy) dapat dikutip
dalam “Introduction” dari Australia Bankruptcy Law yang menyatakan : “When a
person is unable to pay her or his debts and is in a hopeless financial position, the
law should enable proceedings to be taken, either by the debtor or by a creditor,
so that most kinds of the debtor’s property can be taken and used to pay the
creditors in proportion to the amounts owed to each of them”. 5
Apabila debitor tidak memenuhi kewajiban membayar utangnya, di
samping hak menagih (vorderingsrecht), kreditor mempunyai hak menagih atas
kekayaan debitor (verhaalsrecht) sebesar piutangnya pada debitor. 6
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan utang dalam hukum
perdata, haruslah lebih dahulu kita lihat pengertian dari perikatan. “Perikatan
adalah hubungan yang terjadi diantara 2 (dua) orang atau lebih yang terletak
5
Dennis Rose QC, Australian Bankruptcy Law (Introduction). Tenth Edition, (Canbera:
The Law Book Company Ltd., 1994), h.1
6
Mariam Darus Badrulzaman. Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), h.3
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
dalam harta kekayaan dengan pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak
lainnya wajib memenuhi prestasi itu. 7
Pada mulanya dipahami bahwa prestasi itu haruslah berbentuk uang, tetapi
perkembangan selanjutnya prestasi itu diartikan tidak selalu berupa uang, tetapi
bisa juga berupa barang atau jasa. Hak atas prestasi itu lazim disebut dengan
piutang dan kewajiban untuk prestasi itu disebut utang. Menurut Pasal 1234 KUH
Perdata, setiap perikatan itu adalah untuk memberi sesuatu, berbuat sesuatu atau
tidak berbuat sesuatu. Berarti prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan yang
wujudnya dapat berupa uang, barang atau jasa. Menurut Pasal 1233 KUH Perdata,
sumber perikatan tidak saja perjanjian melainkan juga undang-undang termasuk
perbuatan melawan hukum yang mewajibkan debitor untuk memenuhi prestasi
tertentu. Sehingga dasar terjadinya utang piutang antara debitor dan kreditor
adalah perjanjian ataupun perbuatan melawan hukum berdasarkan Undangundang. Pengertian utang ini adalah dalam arti luas yang berpendapat bahwa
utang tidak saja timbul dari perjanjian utang piutang, tetapi juga yang berasal dari
perjanjian lainnya bahkan perbuatan melawan hukum yang prestasinya dapat
dinilai dengan uang. Utang dalam arti sempit adalah yang berasal dari perjanjian
utang piutang saja.
Dalam menghadapi permasalahan utang ini, dilihat dari sikap dan
tindakannya terhadap
kreditor terdapat 2 (dua) golongan debitor. Golongan
debitor yang beritikad baik (debtor good faith) dibedakan dengan golongan
debitor yang beritikad tidak baik (debtor bad faith). Asas hukum “beritikad baik”
perlu diterapkan untuk melindungi para kreditor dari kemungkinan manipulasi7
Ibid, h. 3
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
manipulasi utang dari pihak “debtor bad faith” 8. Debitor yang beritikad tidak
baik dapat dilihat dari usaha-usaha debitor dalam mengelola perusahaannya
dengan tidak berpedoman pada prinsip duty of care, sedang debitor yang beritikad
baik dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan bisnis (business judgement) yang
dilakukan benar-benar berpedoman pada prinsip duty of care sehingga tidak
menimbulkan kerugian bagi perusahaan maupun para kreditornya. Bila terjadi
sengketa utang piutang antara debitor dengan kreditor, terhadap debtor bad faith
ini tidak ada pilihan lain dari mengajukannya ke pengadilan (in court) dengan
acara perdata biasa (kreditor tunggal) atau melalui proses kepailitan jika ada dua
atau lebih kreditor. Bagi debtor good faith sebelum upaya in court diterapkan
perlu dicari upaya lain yang dapat menyelamatkan perusahaan si debitor sehingga
menguntungkan kedua belah pihak.
Peraturan kepailitan di Indonesia idealnya harus mendukung terhadap
kepentingan dunia usaha di samping mendukung kepastian hukum. Berdasarkan
Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UndangUndang Tentang Kepailitan (Faillisements Verordening, Staatsblad Tahun 1905
Nomor 217 Jo. Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348. “Dengan berlakunya Perpu
Nomor 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan, pemerintah telah memenuhi salah satu
persyaratan yang diminta oleh kreditor-kreditor luar negeri (baca : IMF) agar para
kreditor luar negeri memperoleh jaminan kepastian Hukum” 9 dan tanggapan lain
menyebutkan : “Perpu ini merupakan usaha bersama antara pemerintah Indonesia
8
H.P. Panggabean, Penerapan Asas-asas Peradilan dalam Kasus Kepailitan, Ulasan
Hukum, Jurnal Hukum Bisnis, (Vol.7, 1999), h.33
9
Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan, (Bandung: Mandar Maju, 1999), h.1
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
dengan The International Monetary Fund (IMF) dalam rangka stand by
arrangement”. 10 Perpu Nomor 1 ini kemudian ditetapkan menjadi undang-undang
yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, dan sebagai hasil legislasi telah
diterbitkan UU No. 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU. Latar belakang
dilakukannya
penyempurnaan
“Faillessements
Verordening”,
pemerintah
menjadikan salah satu pertimbangannya:
Bahwa untuk mengatasi gejolak moneter beserta akibatnya yang berat
terhadap perekonomian saat ini, salah satu persoalan yang sangat mendesak
dan memerlukan pemecahan adalah penyelesaian utang-piutang perusahaan,
dan dengan demikian adanya peraturan kepailitan dan penundaan kewajiban
pembayaran yang dapat digunakan oleh para debitor dan kreditor secara adil,
cepat, terbuka dan efektif menjadi sangat perlu untuk segera diwujudkan 11.
Berdasarkan pasal 281 Perpu Nomor 1 Tahun 1998 jo. UU No. 4 Tahun
1998 untuk pertama kali dibentuk Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat dan kemudian dibentuk Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Medan,
Semarang, Surabaya, Makasar.
Bila diperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Perpu No. 1 Tahun 1998 jo.
UU No. 4 Tahun 1998 jo. Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, secara teknis
banyak sekali perusahaan besar dan menengah akan memenuhi syarat (qualified)
untuk dipailitkan di seluruh Indonesia, akibatnya ialah akan banyak perusahaan
yang gulung tikar, proyek terbengkalai, karyawan terpaksa diputuskan hubungan
kerjanya dengan perusahaan, perusahaan lain akan kekurangan bisnis, yang
membawa dampak negatif terhadap perekonomian negara12. Para pihak yang maju
10
J. Djohansah, Kumpulan Makalah Calon Hakim Pengadilan Niaga, (Mahkamah Agung
RI, 1998), h.56
11
Perpu Nomor 1 Tahun 1998, Menimbang butir c.
12
T. Mulya Lubis. Komentar terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 1998. dalam Penyelesaian
Utang Piutang Melalui Pailit atau PKPU, Rudhy A. Lontoh et.al (ed) (Bandung: Alumni, 2001),
h.XV-XVI
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
ke muka pengadilan adalah perusahaan-perusahaan skala nasional dan
internasional dengan nilai transaksi/ utang yang luar biasa 13. Hal ini akan
berdampak besar terhadap tingkat pengangguran di Indonesia, yang menurut
perhitungan pada akhir tahun 2003 akan mencapai 40 juta orang dengan 9,3 juta
diantaranya pengangguran terbuka, sedang sisanya pengangguran semu 14.
Pailitnya perusahaan besar dan menengah tersebut akan mengakibatkan
penderitaan sosial dengan meningkatnya angka pengangguran secara nasional,
karena yang dirugikan bukan hanya para debitor itu saja, tetapi juga para stake
holders dari para debitor yang terdiri dari :
a. Negara yang hidup dari pajak yang dibayar oleh perusahan-perusahaan para
debitor yang pailit.
b. Masyarakat yang memerlukan kesempatan kerja, para pegawai dan buruh
yang bekerja di perusahaan-perusahaan para debitor yang pailit.
c. Para pedagang-pedagang kecil dan menengah yang memasok barang dan jasa
kepada perusahaan-perusahaan para debitor yang pailit.
d. Para pengusaha-pengusaha kecil dan menengah yang tergantung hidupnya dari
pasokan barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan para
debitor pailit.
e. Para nasabah, penyimpan dana pada bank-bank yang dinyatakan pailit. (atas
permohonan BI berdasarkan pasal 2 ayat 3. UU No. 37 tahun 2004).
13
Aria Suyudi, Eryanto Nugroho, Herni Sri Nurbayanti, Kepailitan di Negeri Pailit, Analsis
Hukum Kepailitan Indonesia, (Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, 2003), h.21.
14
Jacob Nuwa Wea (Menakertrans) dalam berita berjudul “Pengangguran tahun 2003 akan
bertambah 1,6 juta orang”. Harian Kompas 29-4-2003
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
f. Para pengusaha, termasuk para pengusaha kecil dan menengah, yang
memperoleh kredit dari bank-bank yang dinyatakan pailit 15.
Penyelesaian sengketa utang piutang melalui kepailitan akan merugikan
debitor karena kehilangan asetnya, sementara kreditor tidak akan menerima
piutangnya kembali dengan utuh. Perusahaan besar (debitor) sedapat mungkin
diselamatkan karena magnitude yang ditimbulkannya sangat besar terhadap
perekonomian negara termasuk kesempatan kerja 16. Bila semua perusahaanperusahaan besar debitor yang qualified untuk dinyatakan pailit, diajukan oleh
para kreditornya ke pengadilan niaga, maka dapat dibayangkan akibat yang
ditimbulkannya adalah keguncangan yang besar di bidang ekonomi dan sosial
secara nasional. Untuk mengatasi keadaan ini perlu dicari solusi agar perusahaanperusahaan tersebut tidak segera dimohon untuk dinyataklan pailit. Oleh karena
itu negara berkepentingan agar suatu perusahaan yang berutang (debitor) tidak
mudah begitu saja dapat dinyatakan pailit. Dunia perbankan dan lembaga-lembaga
pembiayaan lainnya juga sangat menginginkan dan berkepentingan agar
perusahaan-perusahaan seyogianya tidak langsung dipailitkan apabila masih ada
kemungkinan untuk diselamatkan dan disehatkan kembali. “Dalam praktek
perbankan, bank bersedia memberikan kredit baru yang lazim disebut kredit
injeksi demi mempertahankan kehidupan kegiatan usaha debitor apabila masih
memiliki prospek yang baik” 17. Potensi dan prospek usaha debitor harus
dilindungi karena hal itu merupakan tunas-tunas yang mampu berkembang
15
Mariam Darus Badrulzaman, Ruang Lingkup UU Kepailitan, Makalah dalam seminar
Hukum Kepailitan oleh AEKI-SUMUT dan STIH Graha Kirana, Medan 19-10-1998
16
Jusuf Anwar (Ketua Satgas Prakarsa Jakarta), pendapatnya dalam berita judul
“Perusahaan debitor kakap tidak dipailitkan” Harian SIB, 29-4-1999.
17
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, h. 48
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
apabila diberi kesempatan untuk hidup dan berkembang sehingga penjatuhan
pailit haruslah merupakan “ultimum remidium”
Perusahaan debitor dapat mengajukan permohonan penundaan kewajiban
pembayaran utang ke Pengadilan Niaga yang tujuannya mewujudkan suatu
persetujuan dalam bentuk perdamaian antara debitor dan para kreditor.
Penyelesaian sengketa utang piutang perusahaan yang didasarkan pada
itikad baik dari debitor, cara yang tepat demi kepentingan semua pihak adalah
menggunakan negosiasi, dengan harapan akan memperoleh penyelesaian yang
berpedoman pada prinsip win-win solution.
Hasil negosiasi berdasarkan musyawarah secara bilateral antara para
kreditor dan debitor ini dituangkan dalam suatu bentuk persetujuan bersama yang
disebut collective bargaining agreement. Dalam praktek bisnis berkembang
bentuk kesepakatan penundaan pembayaran utang secara informal yang dilakukan
satu paket dengan reorganisasi (restrukturisasi) perusahaan. Reorganisasi
(restrukturisasi) perusahaan memiliki banyak segi antara lain : 18
1. Restrukturisasi objek usaha bisnis, yakni mengundang restrukturisasi sampai
batas-batas tertentu.
2. Restrukturisasi institusional (corporate restructuring), yakni restrukturisasi
perusahaan secara kelembagaan.
3. Restrukrurisasi modal (financial restructuring), yakni restrukturisasi terhadap
modal perusahaan.
18
Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek. Buku kedua, (Bandung: Citra
Aditya Bakti 1994), h.16
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
4. Restrukrurisasi utang (debt restructuring), yakni restrukturisasi utang
perusahaan yang dilakukan dengan : rescheduling, reconditioning atau
refinancing.
Maksud dari kesepakatan ini adalah bahwa pihak kreditor memberi
kesempatan kepada debitor untuk membenahi perusahaannya baik dari segi
institusinya, permodalannya maupun
dari jumlah utangnya dengan harapan
debitor akan mampu kelak membayar utangnya dan kembali bangkit
mengembangkan usahanya. Apabila upaya mutual understanding berupa
restrukturisasi utang tidak bisa terwujud karena tidak tercapai kata sepakat di
antar kreditor dan debitor, maka apabila debitor berkeyakinan bahwa suatu masa
utangnya dapat dibayar, dapat menggunakan permohonan penundaan kewajiban
pembayaran utang secara formal dalam proses kepailitan.
Di Amerika Serikat telah diatur Reorganization
yang termuat dalam
Chapter 11 Bankruptcy Reform Act of 1978 biasa disebut Bankruptcy Code.
Ketentuan reorganisasi perusahaan di Amerika Serikat adalah suatu bagian dari
ketentuan tentang kepailitan, sebagaimana dianut dalam sistem hukum common
law. Reorganisasi perusahaan yang diatur dalam Chapter 11 Bankruptcy Code
merupakan proses gabungan antara proses peradilan, negosiasi, dan rencana
perjanjian ke dalam suatu jalur praktek hukum yang khusus, hal ini dirumuskan
sebagai berikut : Chapter 11 business reorganization combine litigation,
negotiation, and transactional planning into one process an intense microcosm of
legal practice 19. Chapter 11 Bankruptcy Code ini sangat dikenal dan menjadi
19
Mark S Scarberry, et.al, Business Reorganization In Bankruptcy, Case and
Materials,(St.Paul. Minnesota: 1996) h.v
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
acuan penyusunan ketentuan atau undang-undang tentang restrukturisasi utang
dari berbagai negara di dunia 20.
Surseance van betaling atau Suspension of payment yang dianut dalam
sistem hukum civil law, adalah suatu lembaga penundaan pembayaran dalam ilmu
hukum dagang yang diatur dalam peraturan kepailitan 21. Debitor dapat
mengajukan permohonan penundaan pembayaran utangnya tersebut melalui
pengadilan bila debitor berada dalam keadaan sulit untuk membayar utangnya
secara penuh, misalnya perusahaan yang dikelola oleh debitor menderita kerugian,
kebakaran yang menimpa pabrik, resesi ekonomi (krisis moneter) dan lain-lain
peristiwa overmacht 22.
Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat
melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), dengan
maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi
pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditor konkuren 23. PKPU ini
diberikan oleh pengadilan untuk paling lama 270 hari, apabila sampai dengan
batas waktu tersebut belum tercapai persetujuan terhadap rencana perdamaian,
maka pengadilan harus menyatakan debitor pailit 24. Permasalahan utama dalam
hal ini adalah apakah dalam waktu 270 hari itu debitor memperoleh cukup
kesempatan membenahi perusahaannya dengan melaksanakan reorganisasi dan
restrukturisasi hingga dapat melanjutkan usahanya yang sedang mengalami
20
Sutan Remy Sjahdaeni, op.cit.h.360
Lee A Weng, Hukum Kepailitan (Faillisement) dan Penundaan Pembayaran (Surseance
van betalling), bahan ceramah, Pengadilan Tinggi Medan, April 1998, h.131
22
Ibid. h.132
23
Pasal 212 UU Nomor 4 Tahun 1998
24
Pasal 217 ayat (4) jo. Pasal 217 A ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 1998
21
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
kesulitan dan kembali mampu membayar utang-utangnya kepada para
kreditornya. Permasalahan lainnya adalah permohonan pernyataan pailit dan
permohonan PKPU tidak dapat diperiksa pada saat yang bersamaan, permohonan
PKPU harus diputuskan lebih dahulu 25. Ketentuan ini penyebab banyaknya
permohonan PKPU yang diajukan semata-mata hanya untuk menghindarkan
kepailitan, karena PKPU harus segera diberikan untuk sementara 26 tanpa
memandang ada tidaknya prospek bahwa debitor dapat melunasi utang-utangnya.
Hasil maksimum yang diperoleh dari proses kapailitan dan PKPU adalah
perdamaian dan bila tidak tercapai perdamaian perusahaan debitor harus
dinyatakan pailit dan assetnya dilikuidasi. Dari 363 perkara kepailitan dan PKPU
yang masuk ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat hingga tahun 2003 hanya 58
perkara (21%) yang diakhiri dengan perdamaian, sedang khusus perkara PKPU
sejumlah 132 perkara hanya 33 perkara (25%) yang diakhiri dengan perdamaian 27.
Apakah tidak seharusnya ada suatu aturan lain lagi yang ditujukan bagi dunia
usaha untuk menyelamatkan perusahaan-perusahaan yang sedang mengalami
kesulitan 28. Untuk itu diperlukan aturan reoganisasi dan restrukturisasi perusahaan
agar terhindar dari likuidasi akibat kepailitan.
Tujuan utama dari reorganisasi perusahaan itu adalah untuk mencegah
likuidasi : The fundamental purpose of reorganization is to prevent a debitor from
25
Pasal 217 ayat (6) UU Nomor 4 Tahun 1998
Pasal 213 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 1998
27
Kesimpulan Data yang diperoleh dari Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
28
J.B. Huizink, Insolvensi, Kluwer-Deventer, Cetakan Kedua 1995, h.3
26
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
going into liquidation, with an attendant loss of jobs and possible misuse of
economic resources 29.
Suatu perusahaan yang menghendaki suatu reorganisasi harus dilakukan
lebih dahulu pemeriksaan yang menyeluruh terhadap perusahaannya berdasarkan
asas due diligence, berdasarkan itu dapat diketahui layak atau tidaknya
perusahaan itu direorganisasi. Kemudian debitor menawarkan pengaturan berupa
rencana reorganisasi kepada para kreditornya. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan para kreditor tertarik untuk menyetujui rencana reorganisasi si
debitor dari pada menunggu hasil likuidasi proses kepailitan yakni :
1. Rencana yang ditawarkan dibantu oleh pendukung keuangan baik oleh
keluarga maupun para relasi debitor 30.
2. Dengan tersedianya dana bagi rencana debitor, para kreditor akan menerima
pelunasan akhir yang lebih menguntungkan daripada kepailitan si debitor,
sehingga debitor yang sedang berada dalam kesulitan sering dapat mengubah
posisinya di dalam perundingan dengan para kreditornya menjadi suatu
keuntungan yang strategis 31.
3. Para kreditor ingin tetap menjaga adanya hubungan bisnis dengan debitor di
masa depan 32.
Reorganization plan yang ditawarkan memerlukan komitmen waktu yang
memungkinkan
untuk
membangun
konsensus
yang
diperlukan
dengan
29
Mark S Scarberry, et.al. op.cit. h.3
J.B. Huizink. op.cit. h.27
31
Ibid h.26
32
Ibid h.8
30
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
menggunakan negosiasi sesuai dengan bargaining position yang dimiliki masingmasing pihak.
Para pengusaha Indonesia cenderung menyelesaikan utang diluar
pengadilan dan menjualnya, kecenderungan ini pada umumnya adalah untuk
menghindari konfrontasi dan persepsi kesulitan penanganan hukum di pengadilan
khususnya pengadilan niaga, dan sebagai tujuan praktisnya adalah agar dapat
bernegosiasi dalam penyelesaiannya. Hal ini merupakan salah satu poin penting
yang termuat dalam buku “Asia Pasific Restructuring and Insolvency Guide
2003-2004” 33. Dalam buku ini juga diuraikan bentuk restrukturisasi yang umum
digunakan di Indonesia yakni penjadwalan kembali utang (rescheduling),
pertukaran utang menjadi kepemilikan (debt to equity swap), pembiayaan kembali
(refinancing), pembelian kembali utang (debt buy back), pemotongan utang
(haircut), pemotongan tingkat suku bunga dan pengurangan tingkat suku bunga.
Nilai suatu perusahaan sering lebih tinggi daripada jumlah nilai dari masingmasing unitnya. Jika suatu perusahaan dibekukan, karyawannya diberhentikan
serta aktivanya dilikuidasi, maka hasil yang diperoleh jelas akan lebih sedikit
daripada jika perusahaan itu dijual sebagai suatu going concern, nilai lebih dari
penjualan suatu going concern adalah bahwa utang-utang harta pailit akan berada
pada batas-batas yang ada 34. Pihak-pihak terkait akan menegosiasikan persetujuan
restrukturisasi dan keluar melalui penjualan utang tersebut, maka para pedagang
utang menjadi aktif dan terjadi pembelian kembali utang secara langsung atau
33
Harian Kompas 26-2-2004 berjudul “Penyelesaian utang lebih banyak di luar
pengadilan” dalam berita peluncuran buku : Asia Pasific Restructuring and Insolvency Guide
2003-2004.
34
J.B. Huizink, loc.cit. h.8-9
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
tidak langsung oleh para debitor dan para pemegang saham, sehingga kinerja
bisnis semakin membaik seiring dengan diikutinya persetujuan restrukturisasi dan
penjualan utang. Proses restrukturisasi utang ini menjadi suatu kebutuhan bagi
perusahaan-perusahaan di Indonesia 35, dan proses ini akan menjadi lebih luas dan
lebih besar karena persaingan tingkat dunia yang ketat sebagai hasil ekspansi
cepat yang menyebabkan struktur dari pasar utang itu sendiri. Penerapan
pengaturan pendanaan keuangan yang semakin rumit ini akan melahirkan kelaskelas pemegang saham baru yang juga akan mengubah dinamika dari
restrukturisasi, sehingga restrukturisasi
besar akan tetap berlanjut dan
menyibukkan para praktisi insolvensi di seluruh dunia.
Peranan seorang business lawyer sangat penting dalam proses negosiasi
untuk menjembatani perbedaan yang ada antara para kreditor dan debitor. Praktisi
hukum yang bertindak sebagai negosiator harus mengerti tentang usaha bisnis
yang dijalankan oleh debitor yang sedang kesulitan dan perlu diselamatkan.
Membantu pelaksanaan reorganisasi dan restrukturisasi salah satu diantaranya
adalah menghindari tantangan atas upaya tersebut dari pihak kreditor yang tidak
yakin bahwa perusahaan debitor yang sedang sakit dapat diselamatkan. Tugas
utama business lawyer si debitor adalah meyakinkan pihak kreditor bahwa
perusahaan debitor yang gagal akan dapat berubah menjadi usaha yang
menguntungkan apabila reorganization plan yang ditawarkan debitor disetujui
oleh para kreditor.
35
Adalah Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
Penyelesaian sengketa utang piutang berdasarkan UU Kepailitan ditempuh
melalui Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan Peradilan Umum.
Pengadilan Niaga (Commercial Court) berwenang mengadili perkara permohonan
pailit dan PKPU. Pengadilan Niaga yang pertama dibentuk di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat (Pasal 281 ayat (1) UU Kepailitan) dan berdasarkan Kepres Nomor
97 Tahun 1999 telah dibentuk Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Medan,
Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Ujung Pandang dan Pengadilan
Negeri Semarang.
Selain penyelesaian utang piutang melalui pengadilan (in-court),
Pemerintah juga telah membentuk Jakarta Initiative Task Force (JITF) atau
Prakarsa Jakarta dan Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA) untuk
menangani masalah utang piutang di luar pengadilan (out-court). Prakarsa Jakarta
adalah sebagai wahana yang memungkinkan perusahaan-perusahaan yang sedang
menghadapi masalah utang dapat bersepakat dengan para kreditornya untuk
melakukan restrukturisasi, baik terhadap perusahaan maupun utang mereka,
sehingga perusahaan tersebut memperoleh kembali akses untuk mendapatkan
modal kerja serta penyetoran modal baru 36. Pemerintah menjadi fasilitator
didalam proses negosiasi antara kreditor dan debitor, dan untuk itu pemerintah
telah membentuk INDRA berdasarkan Kepres Nomor 95 Tahun 1998, dimana
Skema INDRA hanya dapat digunakan terbatas untuk penyelesaian utang luar
negeri swasta nasional yang memenuhi syarat (eligible) dan penggunaannya
36
Sutan Remy Sjahdeini, Prakarsa Jakarta (The Jakarta Initiative), Makalah dalam Seminar
Hukum Kepailitan oleh AEKI-SUMUT dan STIH Graha Kirana, Medan, 19-10-1998
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
bersifat sukarela (voluntary) 37. Proses restrukturisasi utang yang dilakukan
melalui kedua lembaga mediasi tersebut adalah sebagai pelengkap terhadap
pelaksanaan UU Kepailitan.
Pembentukan Pengadilan Niaga, Prakarsa Jakarta dan INDRA yang
memperoleh dukungan dari IMF dan Bank Dunia, diharapkan dapat mempercepat
pemulihan ekonomi Indonesia yang jatuh akibat krisis moneter yang melanda
Indonesia. Globalisasi telah menyusupi semua aspek kehidupan baik sosial,
ekonomi, politik, budaya dan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga
ketergantungan antar bangsa semakin meningkat dan pengaruh negara maju
terhadap negara berkembang semakin kuat.
Keberadaan globalisasi tersebut dikuatkan oleh pendapat : 38
Globalisasi ekonomi sekarang ini adalah manifestasi yang baru dari
pembangunan kapitalisme sebagai sistem ekonomi internasional. Seperti pada
waktu yang lalu, untuk mengatasi krisis, perusahaan multinasional mencari
pasar baru dan memaksimalkan keuntungan dengan mengeksport modal dan
reorganisasi struktur produksi. Globalisasi menyebabkan berkembangnya
saling ketergantungan pelaku-pelaku ekonomi dunia.
Khusus terhadap penyehatan bank yang dinyatakan tidak sehat oleh Bank
Indonesia, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN) berdasarkan Kepres Nomor 27 Tahun 1998, jo Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 1999 yang salah satu tugasnya adalah melalukan restrukturisasi
bank dalam upaya penyehatan.
Prakarsa Jakarta merupakan lembaga mediasi yang dibentuk pemerintah
pada Nopember 1998 sebagai mediator penyelesaian utang piutang swasta pada
37
Sutan Remy Sjahdeini, Skema INDRA, Makalah dalam Seminar Hukum Kepailitan oleh
AEKI-SUMUT dan STIH Graha Kirana, Medan, 19-10-1998
38
Erman Rajagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi :
Implikasinya bagi Pendidikan Hukum di Indonesia, Pidato pengukuhan Guru Besar dalam bidang
Hukum pada FH UI, Jakarta, 4-1-1997, h.12-13.
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
krisis yang pembentukannya adalah merupakan salah satu persyaratan dari IMF,
menjelang akhir tugasnya media Desember 2003 lembaga tersebut telah
menyelesaikan 70 persen kasus utang piutang yang ditangani lembaga tersebut 39.
Ruang lingkup kepailitan sebenarnya adalah perdata, karena menyangkut
tentang harta kekayaan debitor dengan pihak lain (para kreditor), namun bila
dilihat dari karakternya yang harus melindungi kepentingan seluruh kreditor,
maka disinilah terlihat sifat hukum publik dari kepailitan. Putusan pernyataan
pailit harus diumumkan kepada publik yakni diumumkan dalam Berita Negara R.I
dan surat kabar harian (Pasal 13 ayat (4) UU Kepailitan).
Dalam rangka upaya efisiensi dan demi kepentingan publik termasuk stake
holders, perlu dikemukakan pendapat sebagai berikut 40 :
Prosedur mempailitkan debitor seharusnya merupakan the last resort atau
ultimum remidium dan prosedur untuk merestrukturisasi utang merupakan the
prime resort atau primum remidium, sehingga skema penyelesaian hubungan
debitor dan kreditor dalam dunia usaha harus diubah sehingga memiliki
implikasi terhadap kebijakan hukum dalam proses legislasi yaitu dengan
penyusunan RUU Restrukturisasi Utang dan sekaligus penyusunan RUU
Perubahan Atas UU Kepailitan.
Terciptanya keadilan dalam keseimbangan antara para kreditor dan debitor
merupakan das sollen, karena dalam kenyataannya banyak perusahaan yang
dinyatakan pailit dan insolvent (likuidasi) karena tidak memperoleh hak yang
sepantasnya (das sein) akibat kelembagaan dan peraturan kepailitan dan PKPU
yang belum memadai (sempurna).
39
Denaldy Mauna, Raymond Lee, (Staff Manajer Prakarsa Jakarta) dalam berita : Prakarsa
Jakarta Selesaikan 70 Persen Restrukturisasi Utang, Harian Kompas 28-11-2003
40
Romli Atmasasmita, Editor : Aman Sembiring Meliala et.al., Reformasi Hukum, Hak
Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2001), h.37
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
Menggali nilai-nilai keadilan berdasarkan musyawarah mufakat yang telah
disosialisasikan dalam sejumlah norma hukum dalam praktek dunia usaha
menyelesaikan sengketa utang piutang perusahaan dengan perdamaian, kiranya
perlu dijadikan bahan serta pedoman untuk merevisi kelembagaan dan peraturan
kepailitan dan PKPU. Upaya tersebut sekaligus memperoleh suatu ‘futuristic
view’ politik hukum dalam bidang Hukum Bisnis khususnya Kepailitan dan
PKPU.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, penelitian ini menjadi
penting sebagai ide perspektif hukum dalam upaya pemikiran yakni mengambil
alih norma-norma penyelesaian utang piutang perusahaan di luar pengadilan
menjadi kewenangan pengadilan niaga berdasarkan ketentuan PKPU dalam UU
Kepailitan dan PKPU dengan maksud hasil musyawarah (perdamaian) di luar
pengadilan tersebut disahkan melalui penetapan (putusan) hakim pengadilan niaga
dalam konteks perdamaian.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka
dapat diketahui :
1. Salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam perundang-undangan di bidang
perekonomian nasional yang menyangkut penyelesaian sengketa utang
piutang, secara filosofis adalah meletakkan dasar-dasar perlindungan yang
seimbang antara debitor dan kreditor, sehingga dapat memberikan keadilan
bagi kedua belah pihak. Debitor yang diancam pailit tetapi masih punya
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
harapan untuk berjalan terus asalkan diberi kesempatan dan dukungan untuk
memperbaiki usahanya, karena hal ini sangat penting bagi seluruh pihak
sekaligus meningkatkan perekonomian nasional untuk mencapai masyarakat
adil dan makmur.
2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan juga mengatur
tentang PKPU (surseance van betaling atau suspension of payment) dengan
maksud agar lembaga penundaan ini dapat dimanfaatkan oleh debitor dan para
kreditor berdasarkan persetujuan bersama dengan
syarat-syarat yang
ditentukan dalam undang-undang tersebut. Para debitor dapat mengajukan
permohonan PKPU ke pengadilan niaga, namun dimungkinkan pula debitor
memanfaatkan lembaga lain di luar pengadilan atas kesepakatan bersama
dengan para kreditornya, dalam hal ini Prakarsa Jakarta dan INDRA sebagai
lembaga mediasi yang telah berperan (eksis) selama ini.
3. Pelaksanaan reorganisasi dan restrukturisasi perusahaan di Amerika Serikat
telah diatur dalam Chapter 11 Bankruptcy Code, sedang di Indonesia hanya
diatur tentang PKPU dan lembaga ini hanyalah merupakan salah satu aspek
dari reorganisasi dan restrukrurisasi.
Guna menemukan perumusan masalah dalam penelitian ini perlu
dipertanyakan apakah yang menjadi masalah yang perlu dikaji lebih lanjut untuk
menemukan suatu pemecahan terhadap masalah yang telah dirumuskan itu. Dalam
melaksanakan perumusan masalah yang akan diketengahkan dalam penelitian ini
juga harus diselaraskan dengan karakter serta metode yang digunakan dalam
penelitian ini.
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bagian latar belakang,
serta hal-hal yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan tiga
perangkat pertanyaan seperti dirumuskan di bawah ini :
1. Bagaimana kinerja lembaga mediasi “Prakarsa Jakarta” dan INDRA dalam
menyelesaikan sengketa utang piutang perusahaan.
2. Mengapa terjadi kegagalan dalam upaya penyelesaian sengketa utang piutang
perusahaan dengan perdamaian melalui Kepailitan dan PKPU.
3. Bagaimana pengaturan reorganisasi perusahaan di Amerika Serikat menurut
Chapter 11 US Bankruptcy Code dibandingkan dengan PKPU dalam UU
Kepailitan dan PKPU.
C. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperjelas pemahaman
serta memberi gambaran konkrit terhadap masalah-masalah yang dirumuskan.
Berpedoman pada hal tersebut diharapkan dapat memperluas cakrawala pemikiran
mengenai penyelesaian sengketa utang-piutang perusahaan. Dalam rumusan yang
lebih luas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kinerja lembaga mediasi “Prakarsa Jakarta” dan INDRA
dalam menyelesaikan sengketa utang piutang perusahaan.
2. Untuk mengetahui sebab-sebab kegagalan upaya penyelesaian sengketa utangpiutang perusahaan dengan perdamaian melalui Kepailitan dan PKPU.
3. Untuk memperbandingkan pengaturan reorganisasi perusahaan di Amerika
Serikat menurut Chapter 11 US Bankruptcy Code dengan PKPU dalam UU
Kepailitan dan PKPU.
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
D. Kegunaan Penelitian
Dengan ditemukannya berbagai hal dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan arahan dan informasi tentang penyelesaian sengketa utang piutang
perusahaan, yang pada gilirannya penelitian ini dapat memberikan manfaat secara
teoritis maupun praktis antara lain :
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu
pengetahuan di bidang hukum yang dapat mengembangkan disiplin ilmu
hukum, khususnya memberikan masukan bagi kalangan akademisi dan
praktisi
dalam
rangka
penyusunan
RUU
tentang
reorganisasi
dan
restrukturisasi perusahaan dan RUU Perubahan Atas UU Kepailitan.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran kepada :
a. Masyarakat secara umum agar lebih memahami cara penyelesaian
sengketa utang piutang perusahaan
b. Para pelaku usaha yang tersangkut dengan sengketa utang piutang untuk
mendapat
suatu
pemahaman
mengenai
penyelesaiannya
sehingga
memperoleh suatu pertimbangan dalam mengambil keputusan cara
bagaimana yang paling tepat dan efisien untuk menyelesaikan sengketa
yang dihadapinya.
c. Pemerintah, instansi terkait dalam pembinaan perusahaan yang sedang
mengalami masalah utang piutang, sebagai masukan dalam menyusun dan
merumuskan peraturan-peraturan maupun kebijakan yang menyangkut
penyelesaian sengketa utang piutang perusahaan.
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
E. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Perkembangan ilmu selalu dipengaruhi oleh penemuan baru dalam hal
metodologi, kontinuitas penelitian dan kesinambungan eksistensi ilmu itu sendiri.
Untuk itu diperlukan adanya suatu teori yang menjelaskan hubungan diantara data
dan fakta walaupun tidak begitu sempurna tetapi memberi pedoman tentang cara
penelitian, tujuan penelitian serta pengumpulan data. Seperti dikemukakan oleh
James E.Mauch, Jack W. Birch: ”Theory explains the relations among facts,
though not completely. In turn, they guide research procedures, objectives and
data collection. In (this) general sense, every thesis or disertation proposal should
be based on theory”. 41 Teori akan berfungsi untuk memberikan petunjuk atas
gejala-gejala yang timbul dalam penelitian. Teori ilmu merupakan suatu
penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu
penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta
empiris untuk dapat dinyatakan benar 42. Teori sebenarnya merupakan suatu
generalisasi yang dicapai setelah mengadakan pengujian dan hasilnya menyangkut
ruang lingkup faktor yang sangat luas. Kadang-kadang dikatakan orang, bahwa
teori itu sebenarnya merupakan an elaborate hypothesis, suatu hukum akan
terbentuk apabila suatu teori telah diuji dan diterima oleh ilmuwan, sebagai suatu
keadaan yang benar dalam keadaan-keadaan tertentu 43.
Kerangka teori dan kerangka konsep dalam penelitian ini akan
dikemukakan beberapa teori yang dapat memberikan pedoman dan arahan untuk
41
James E. Mauch, Jack W. Birch, Guide to the successful thesis and dissertation, Books in
Library and Information Science, (New York: Marcel Dekker Inc, 1993), h.102
42
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), h.27.
43
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1996), h. 126-127.
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
tercapainya tujuan penelitian ini yang berasal dari pendapat para ilmuwan dan
selanjutnya disusun beberapa konsep yang bersumber dari berbagai peraturan dan
perundang-undangan yang menunjang tercapainya tujuan penelitian ini, yaitu :
Sebagai Grand Theory yang dapat digunakan sebagai pisau analisis dalam
disertasi ini adalah teori yang dikemukakan oleh Leonard J. Theberge dalam
tulisannya “Law and Economic Development” berpendapat ada 5 (lima) fungsi
atau kualitas hukum dalam pembangunan ekonomi yaitu 44 :
1. Predictability; kualitas hukum dapat menciptakan prediktabilitas terhadap
perubahan dengan adanya globalisasi di bidang ekonomi, sehingga menjamin
adanya kepastian hukum dalam dunia usaha khususnya pengembalian utang
atas pemberian pinjaman (investasi).
2. Stability;
kualitas
hukum
untuk
menciptakan
keseimbangan
antara
kepentingan para kreditor dan debitor dalam rangka persaingan dalam
pengembangan dunia usaha.
3. Fairness; kualitas hukum dalam mengatur prosedur yang menciptakan
perlakuan yang sama antara kepentingan pemerintah di satu pihak dan
kepentingan masyarakat dunia usaha di pihak lain, sehingga tercapai keadilan
atau perlakuan yang seimbang di bidang hukum publik dan bidang hukum
perdata.
4. Education;
fungsi
edukasi
melalui
program
sosialisasi
menjelaskan
perubahan/ perkembangan peraturan perundang-undangan kepada masyarakat.
44
Leonard J. Theberge, Law and Economic Development, dalam “Peranan Hukum dalam
Pembangunan Ekonomi 2”, dikumpulkan oleh : Erman Rajaguguk, (Jakarta: UI , 1995), h. 352
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
5. Special development abilities of the lawyer; hukum dapat berperan bilamana
tersedia sarjana hukum yang memiliki kemampuan melihat hubungan hukum
dan pembangunan dunia usaha untuk kesejahteraan masyarakat.
Sebagai Middle Theory dapat dikemukakan 2 (dua) teori yang relevan dan
dapat menjelaskan lebih jauh Grand Theory di atas.
Pertama : The Globalization of Law dari Richard C. Breedon 45,
mengemukakan : “Competition for trade and capital is not restricted by the
boundaries of the nation-state, it has become an international pursuit as never
before. The nation-state, and the laws it enacts, have not become suddenly
obsolete. However the globalization laws while considering not only the needs of
its companies and traditions, but also success in the international market place”.
Di dalam era globalisasi, persaingan dalam bidang perdagangan dan
ekonomi telah melampaui batas-batas suatu negara, maka negara yang memiliki
posisi tawar atau bergaining power yang lebih kuat dapat mempengaruhi
perubahan undang-undang di suatu negara lain berdasarkan kepentingankepentingan ekonomi dalam negerinya. Oleh karena itu undang-undang suatu
negara dapat berubah karena tekanan dari luar maupun dari dalam negeri,
sehingga suatu negara secara sadar mengubah undang-undangnya untuk mendapat
akses kepada pasar internasional.
45
Richard C Breeden, The Globalization of Law and Business in the 1990’s, (volume 28,
1993 number 3) dalam Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi 2, dikumpulkan oleh
Erman Rajagukguk, (UI Jakarta: 1995), h, 706-709.
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
Kedua : Teori Keadilan dari Aristoteles yang menyatakan Adil itu dapat
berarti menurut hukum dan apa yang sebanding dan mengemukakan ada 2 (dua)
bagian keadilan yakni 46 :
1. Keadilan Komutatif, yaitu keadilan yang memberikan pada setiap orang sama
banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan dalam hubungan
individu dengan orang lain.
2. Keadilan Distributif yaitu kepantasan adalah suatu bentuk ‘sama’ dengan
prinsip bahwa kasus yang sama seharusnya diperlakukan dalam cara yang
sama dan kasus yang berbeda diperlakukan dalam cara yang berbeda.
Keadilan memberikan tiap-tiap orang jatah menurut jasanya, tidak menuntut
supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya melainkan
kesebandingan (kesamaan yang sebanding atau persamaan yang proporsional).
Jika pembentuk undang-undang memerintahkan hakim supaya keputusannya
memperhatikan keadilan adalah untuk menghindari pemakaian peraturan
umum dalam hal-hal yang khusus yaitu dengan berpedoman pada kepantasan
(redelijkheid) dan itikad baik.
Teori Keadilan Distributif ini diperluas pengertiannya oleh Morris
Ginsberg 47, dengan pemahaman bahwa keadilan itu berlawanan dengan :
a. Pelanggaran
hukum,
penyimpangan,
ketidak-tetapan,
ketidak-pastian,
keputusan yang tidak terduga, tidak dibatasi oleh peraturan.
46
Aristoteles, dikutip oleh I J Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1981), h. 23-24, bandingkan dengan Thomas Aquino membedakan keadilan : 1.
Keadilan umum atau keadilan legal (Legal Justice) yaitu keadilan menurut undang-undang yang
harus ditunaikan demi kepentingan umum, 2. Keadilan Khusus yaitu keadilan atas dasar
kesamaan/proporsional yang dibedakan dalam : a. Keadilan distributif, yaitu keadilan yang secara
proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik, b. Keadilan komutatif, keadilan yang
mempersamakan antara prestasi dan kontra prestasi, c. Keadilan vindikatif, yaitu keadilan dalam
hal menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana, lihat : Darji Darmodiharjo,
et.al, Pokok-pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia, 1996), h. 154
47
Morris Ginsberg, Keadilan dalam Masyarakat, (Bantul: Pondok Edukasi, 2003), h. 41
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
b. Sikap memihak dalam penerapan aturan
c. Aturan yang memihak atau sewenang-wenang, melibatkan diskriminasi yang
tidak berdasarkan perbedaan-perbedaan yang tidak relevan.
Kesebandingan antara kepentingan kedua belah pihak antara para kreditor
dan debitor haruslah didasarkan kepada hubungan timbal balik yang saling
menguntungkan, dengan demikian diperlukan adanya “mutual understanding”
untuk mencapai kesepakatan akhir. Untuk itu perlu dikemukakan beberapa
“Operational Theory” :
Bargaining Theory (Calr M.Stevens) 48 : “Bargaining in its simplest format is the
communication by both parties of the terms they require for consummation of
transaction and the subsequent acceptance or rejection by both of the bargain.
Negotiation is the set of techniques used to translate bargaining power into the
ultimate settlement”.
Teori Moratorium (J.B. Huizink) 49, menyatakan pendapatnya :
Bahwa penundaan pembayaran itu bukan suatu figur hukum yang
digunakan oleh pembentuk undang-undang untuk menghindarkan agar ganti
kerugian kreditor tidak berubah menjadi suatu sarang ular juridis, tetapi
adalah suatu upaya bagi debitor yang karena keadaan tertentu menjadi tidak
mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya pada waktunya. Melalui
moratorium, debitor memperoleh kesempatan untuk menata urusan-urusannya
dengan baik. Setelah berlalu beberapa waktu, ia akan mampu lagi untuk
melunasi para kreditornya. Ia dapat pula mencoba untuk mengadakan
pengaturan (pelunasan ) pembayaran.
Teori Keadaan Memaksa (Force Majeur) Relatif atau De Subjectieve
Overmaachtsleer menyatakan: “Keadaan memaksa itu ada, apabila debitor masih
mungkin
melaksanakan
prestasi,
tetapi
praktis dengan kesukaran atau
48
John. A.Fossum, Labour Relation, Development, Structure, Process, (Business
Publication: 1982) h. 211
49
J.B. Huizink, op.cit. h.2
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
pengorbanan yang besar (ada unsur diffikultas), sehingga dalam keadaan yang
demikian itu kreditor tidak dapat menuntut pelaksanaan prestasi”. 50
Pada saat ini masih relevan untuk dikemukakan pendapat yang
memberikan komentarnya terhadap Perubahan Hukum Perdata Indonesia dengan
menyatakan 51:
Apapun yang akan terjadi, pada masa sekarang baik pemerintah ataupun
sektor swasta amat memperhatikan anggaran dasar. Kesuksesan usaha mereka
lebih terjamin dengan ikatan hubungn keluarga dan keinginan yang sama
daripada suatu sistem hukum yang tidak dapat dipaksakan. Untuk saat ini
pembuat UU tidak dapat berharap untuk membuat rasa hukum dari keadaan
ini. Sangatlah sulit membuat UU di sekeliling industri dan perusahaan dagang,
karena pada prakteknya tidak jelas, tidak konsisten dan sering kali di bawah
tangan. Dan kebijakan pemerintah juga tidak memberikan bimbingan yang
memadai. Untuk meletakkan dasar bagi hukum yang baru pada perusahaan
swasta adalah hal yang mustahil, karena alasan ideologi dan karena praktek
dari perusahaan swasta tidak mudah disusupi. Konsekwensinya, tidak
mungkin akan muncul suatu sistem hukum yang efektif untuk beberapa tahun
mendatang. UU yang baru akan mengakibatkan kebingungan.
Teori-teori tersebut diatas relevan jika dihubungkan dengan pendapat dari
Prof. DR. M. Solly Lubis, SH yang menyatakan : Demi terpeliharanya dan
tercapainya sistem hukum yang serasi dengan cita-cita dan moral pembangunan
dalam Pancasila, kedua aliran juridis dogmatis dan sosial pragmatis harus dipadu
dan bekerjasama. Keterpaduan inilah yang merupakan ciri khas hukum Indonesia
50
Mariam Darus Badrulzaman et.al. Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya
Bhakti, 2001), h.27, lihat juga, Abdul R. Salman et.al., Essensi Hukum Bisnis Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2004), h. 19-20, bahwa : keadaan memaksa (overmarht) yang bersifat tidak mutlak
(relatief), contohnya berupa suatu keadaan dimana kontrak masih dapat dilaksanakan, tapi dengan
biaya yang lebih tinggi, perubahan harga tinggi secara mendadak akibat regulasi pemerintah
terhadap produk tertentu dan juga karena krisis ekonomi.
51
Daniel S.Lev, The Lady and The Banyan Tree : Civil Law Change in Indonesia,
diterjemahkan oleh Satjipto Rahardjo “Sosok Wanita dan Pohon Beringin” dalam The American
Journal of Comparative Law, Vol.20. 1972
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
sebagai bangsa yang sedang membangun dan membedakannya dari hukum barat
yang liberal individualistis materialistis 52.
Masalah keadilan (kesebandingan) merupakan masalah rumit, persoalan
atau sengketa dapat dijumpai hampir pada setiap masyarakat bisnis di Indonesia.
Hukum mempunyai 2 (dua) tugas utama yakni mencapai suatu kepastian hukum
serta mencapai kesebandingan bagi semua warga masyarakat. Masalah kepastian
hukum maupun kesebandingan hingga kini masih merupakan masalah yang sulit
terpecahkan di bidang hukum sejak tahun 1942. Hukum Ekonomi (Economic law)
perlu diperhatikan perubahannya karena peraturan yang bertalian dengan ekonomi
seperti badan-badan usaha, orang perantara, surat-surat berharga, transportasi dan
lain-lain sudah banyak yang usang justru beberapa hukum warisan kolonial sudah
ditinggalkan oleh Belanda sendiri karena dipandang sudah usang 53. Namun di lain
pihak, pada umumnya masyarakat Indonesia mempunyai suatu kecenderungan
untuk menyelesaikan suatu perselisihan dengan cara yang sehalus mungkin, suatu
kompromi lebih disukai dari pada jatuhnya suatu keputusan dengan harapan untuk
menyelesaikan perselisihan secara efektif tanpa menimbulkan keteganganketegangan sosial karena ada shame culture (budaya malu), “cara-cara
menyelesaikan perselisihan dengan damai masih dianggap sebagai cita-cita
masyarakat Indonesia” 54.
Nilai-nilai keadilan dan azas demokrasi yang terkandung dalam Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945 adalah sebagai dasar paradigmatik bagi Politik
52
M. Solly Lubis, Sistem Nasional, (Bandung: Mandar Maju, 2002), h.25-26
M. Solly Lubis, Pembentukan Undang-undang secara terpadu dan demokratis
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, Makalah dalam Serasehan Bidang Hukum, oleh Poldasu
Medan Februari 1996.
54
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003), h. 12
53
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
Hukum Perdata dan Dagang khususnya Kepailitan dan PKPU, apakah peraturan
perundang-undangan tentang Kepailitan dan PKPU sudah merupakan interaksi
ideal antara Potensi Nasional diperhadapkan dengan lingkungan Nasional,
Regional terutama pengaruh Globalisasi Ekonomi yang terus berlangsung.
Untuk memberikan arahan dan panduan terhadap pembentukan hukum
nasional di bidang perekonomian khususnya hukum Kepailitan dan PKPU
kaitannya dengan Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan, perlu
dituangkan dalam skema berikut ini :
Manahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam
Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009
USU Repository © 2008
SKEMA I : PENYELESAIAN SENGKETA UTANG PIUTANG PERUSAHAAN DENGAN PERDAMAIAN DI DALAM ATAU DI LUAR PROSES KEPAILITAN
(STUDI MENGENAI LEMBAGA PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG)
8
UMPAN BALIK
POTENSI NASIONAL
- Perangkat dan Kehadiran Dunia Usaha
- Perpu no 1/1998 jo.UU No. 4/1998 jo. No. 37/2004
- Lembaga Yudikatif dan Lembaga Penengah
(INDRA, JITF, BPPN)
2
- Perdamaian Sebagai Solusi Penyelesaian Masalah di
Dunia Usaha
- Sistem Eropah Kontinental (Civil Law) tentang
Kepailitan
Wawasan dan
Pradigma
Nilai-nilai keadilan
4
Kebijakan Ekonomi
dan asas demokrasi
INTERAKSI
khususnya kepailitan
berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945
sebagai dasar
1 paradigmatik bagi
LINGKUNGAN NASIONAL/
Politik Hukum Perdata
REGIONAL/GLOBAL
dan Dagang,
- Krisis Moneter yang Mempengaruhi Dunia Usaha
khususnya Kepailitan.
- Utang Swasta Nasional
- Utang Swasta Luar Negeri dan Effeknya
- Peranan PMA
3
Lembaga Asing (IMF)
Praktek ADR (PSA)
- Sistem Anglo Saxon (common law) dari
(US.B.CODE) & pengaruhnya di Indonesia
Ket :
-
INDRA (Indonesia Debt Restructuring Agency)
JITF (Jakarta Inisiative Task Force)
BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional)
PMA (Penanaman Modal Asing)
IMF (International Monetery Fund
ADR (Alternative Dispute Resolution)
5
Kebijakan Nasional
di Bidang
Perekonomian/
Usaha khususnya
kepailitan
UMPAN BALIK
-
-
6
Legislasi/law
making dan law
enforcement
mengenai
Peraturan
Perudangundangan
Tentang
Kepailitan dan
PKPU serta
Restrukturisasi
utang &
Perusahaan
7
Terciptanya
penyelesaian
sengketa utang
piutang
Perusahaan
secara adil dan
saling
menguntungkan
semua pihak
(Masyarakat)
8
PSA (Penyelesaian Sengketa Alternative
US.B.CODE (United State Bankruptcy Code)
PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)
Sumber : derivasi yang dimodifikasi dari Prof.Dr.M.Solly Lubis, SH, Skema Sistem Kehidupan Nasional Dalam Serba Serbi Politik dan Hukum, ,
(Bandung: Mandar Maju, 1989), h.233.
2. Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari Teori. Konsepsi
diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang
konkrit, yang disebut operational definition. 55
Pada umumnya “perusahaan” adalah organisasi usaha yang dapat dilihat
dalam bentuk badan hukum disebut Perseroan Terbatas. Bentuk-bentuk badan
usaha dikenal juga Perseroan Firma (Fa). Perseroan Komanditer atau
Comanditaire Vennotschap (CV). Selain itu masih ada bentuk usaha lain yang
disebut maatschap atau persekutuan perdata sebagaimana diatur dalam KUH
perdata. Bentuk Perseroan Terbatas (PT) merupakan yang lazim dan banyak di
pakai alam dunia usaha di Indonesia karena PT merupakan asosiasi modal dan
badan hukum mandiri. Bentuk PT ini berasal dari Hukum Dagang Belanda (WvK)
dengan istilah Naamloze Vennotschap (NV).
Pengertian perusahaan menurut John A. Shubin adalah : “A firm is an
ownership organization which combines the factors of production in plant for the
purpose of producing goods or services and selling them at a profit.”
56
(Perusahaan adalah suatu bentuk organisasi kepemilikan yang menggabungkan
faktor-faktor produksi di suatu tempat dengan maksud memproduksi barang atau
jasa dan menjualnya untuk memperoleh laba).
Berdasarkan pengertian ini, suatu organisasi itu haruslah bertujuan untuk
memperoleh laba. Bila organisasi itu tidak bertujuan memperoleh laba, maka
organisasi itu bukan perusahaan.
55
Sutan Remy Sjaehdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang seimbang bagi
para pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institute Bankir Indonesia, 1993),
h. 10
56
Jhon A. Shubin dalam Wasis, Pengantar Ekonomi Perusahaan, (Bandung: Alumni,
1992), h.209-210
Perusahaan dalam bentuk-bentuk organisasi bisnis dapat diklasifikasikan
sebagai berikut : 57
1. Perusahaan Persekutuan; terdiri dari :
a. Badan Hukum : Perseroan Terbatas, Koperasi, Perkumpulan Saling
Menanggung
b. Badan Non Hukum : Persekutuan Perdata, Firma, CV
2. Perusahaan Perseorangan : Perusahaan Dagang
Mengenai perusahaan ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang memuat definisi sebagai berikut : 58
Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan
hukum yang merupakan persekutuan modal didirikan berdasarkan
perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
Berdasarkan pengertian yang diberikan tersebut, ada lima hal yang pokok
yang menjadi perhatian dalam PT :
1. PT Merupakan suatu badan hukum
2. Didirikan berdasarkan perjanjian
3. Menjalankan usaha tertentu
4. Memiliki modal yang dibagi dalam saham-saham
5. Memenuhi persyaratan undang-undang. 59
Perseroan terbatas juga didefinisikan sebagai kumpulan orang-orang yang
diberi hak dan diakui oleh hukum untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Kekayaan
57
Abdul Kadir Muhammad, Dikutip oleh Abdul R. Saliman, Essensi Hukum Bisnis
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 61
58
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
59
Ahmad Yani, Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis : Perseroan Terbatas, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000), h.7
Perseroan Terbatas terpisah dari pemilik-pemiliknya 60. Sebagai badan hukum,
perseroan memenuhi unsur-unsur badan hukum seperti ditentukan dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1995, unsur-unsur tersebut adalah : 61
1. Organisasi yang teratur
2. Harta kekayaan sendiri
3. Melakukan hubungan hukum sendiri
4. Mempunyai tujuan sendiri
Perseroan Terbatas mempunyai organ yang disebut organ perseroan,
gunanya untuk menggerakan perseroan agar badan hukum dapat berjalan sesuai
dengan tujuannya. Organ perseroan terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS), Direksi dan Komisaris.
Menurut Weston, J. Fred, bentuk-bentuk restruksisasi perusahaan adalah
: 62
1. Expansion
: Mergers and Acquisitions, Tender Offers,
Joint ventures.
2. Sell-Offs
: Spin-Offs
(Split-offs
and
Split-ups)
Divestitures (Equity Carve-outs)
3. Changes in Ownership Stucture : Exchange
offers,
Share
Repurchases,
Going Private, Leveraged Buy-outs
Dalam menjalankan suatu proses reorganisasi perusahaan, ada beberapa
karakteristik yang harus diperhatikan sebagai berikut : 63
60
Sukanto Reksohadiprojo, et.al., Pengantar Ekonomi Perusahaan. (Jogyakarta: BPFE,
1991), h.75.
61
Ibid. h.8
62
Weston, J. Fred dalam Munir Fuady, Hukum Tentang Merger, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1999), h.5-6
63
Munir Fuady, Hukum Tentang Merger, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), h.6
1. Adanya kebutuhan akan dana baru (new funds) yang akan dipergunakan untuk
modal kerja dan rehabilitasi properti.
2. Haruslah diketemukan dan diminimalkan sebab-sebab kegagalan operasi dan
kegagalan managerial dari perusahaan yang direstrukturisasi.
3. Adanya kegagalan dari perusahaan tersebut, baik karena ketidakmampuannya
menunaikan kewajiban finansialnya pada saat jatuh tempo ataupun karena
jumlah kewajiban finansial melebihi aset-asetnya.
Dalam setiap tindakan reorganisasi suatu perusahaan haruslah berkiblat
kepada performance perusahaan yang lebih baik di masa depan setelah
reoganisasi, artinya tindakan reorganisasi perusahaan haruslah feasible, yakni
dapat meningkatkan earning power dari perusahaan yang bersangkutan.
Untuk dapat meningkatkan earning power harus mempertimbangkan
tindakan-tindakan tertentu dengan berbagai konsekuensi hukumnya masingmasing tindakan-tindakan tersebut adalah sebagai berikut : 64
1. Restrukturisasi sumber daya manusia
2. Restrukturisasi peralatan produksi atau peralatan kantor yang sudah out of
date
3. Restrukturisasi utang, seperti dengan melakukan : reschedulling, refinancing
haircut, converted debt dan lain-lain.
4. Improvisasi beberapa sektor penting seperti improvisasi bidang produksi
pemasaran, iklan dan lain-lain.
5. Improvisasi atas produk yang akan dihasilkan atau bahkan memproduksi
produk baru yang lebih sesuai dengan perkembangan dan permintaan pasar.
64
Ibid. h.6-7
Pendapat lain mengemukakan bahwa reorganisasi (restrukturisasi)
perusahaan terdiri dari : 65
1
Reorganisasi juridis, yakni perubahan mengenai bentuk dari suatu perusahaan
2. Reorganisasi intern, yakni perubahan struktur organisasi intern
3. Reorganisasi finansial, yakni merupakan “Capital Restructuring” yang
menyangkut perubahan menyeluruh dari struktur modal karena perusahaan
telah
atau
sangat
cenderung
untuk
insolvable,
jadi
merupakan
“recapitalization” yang sangat drastis dan menyeluruh.
Ada 4 (empat) syarat suksesnya Reorganisasi dalam Chapter 11 US
Bankruptcy Code, yakni : 66
1. Mempertahankan agar usaha tetap jalan dengan cara :
a. Mencegah gangguan terhadap usaha
b. Mendapat dana untuk menjalankan usaha
2. Menggerakan Usaha
3. Menentukan tuntutan baik oleh debitor maupun terhadap kreditor.
4. Restrukturisasi utang dan pembagian keuntungan perusahaan.
a. Perlunya restrukturisasi utang
b. Berapa besar keuntungan diberikan kepada kreditor dalam rencana
reorganisasi
c. Penentuan nilai dalam hal kreditor diberi hak atas nilai likuidasi atau nilai
reorganisasi
65
Bambang Riyanto, Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan, (Jogyakarta: Yayasan
Penerbit Gajah Mada, 1991), h.240.
66
Mark S. Scarberry et. al. op.cit. h.17-48
d. Menentukan nilai debitor dan nilai milik yang dibagikan berdasarkan
rencana.
Sebelum rencana reorganisasi disusun harus dilakukan lebih dahulu
“Feasibility Study” untuk mengetahui apakah suatu perusahaan itu layak
direorganisasi atau tidak. Hal ini dapat dilakukan dengan berpedoman pada asas
“due diligence” yakni penelitian secara menyeluruh dan tuntas untuk memperoleh
penilaian akhir. Untuk maksud tersebut debitor harus membuka semua “kartunya
diatas meja”, artinya seluruh kekayaan dan utangnya diinventarisasi dengan jujur
dan objektif. 67
Dapat diasumsikan bahwa penyebab utama dari insolvensi (kepailitan)
adalah kesalahan manajemen, dan manajemen yang bersangkutanlah yang dapat
diminta tanggung jawabnya 68, kecuali pihak manajemen dalam mengambil
keputusannya telah berpegang teguh pada prinsip “duty of care”. Pihak
manajemen suatu perusahaan telah dapat dikatakan melaksanakan prinsip duty of
care apabila :
1. Membuat keputusan bisnis (business judgement) dengan tidak ada unsur
kepentingan pribadi, berdasarkan informasi yang mereka percaya didasari oleh
keadaan yang tepat.
2. Secara rasional mempercayai bahwa keputusan bisnis tersebut dibuat untuk
kepentingan terbaik bagi perusahaan. 69
67
J.B. Huizink, op.cit. h.27
Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori Praktek, Buku Kesatu, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1994), h.23
69
Heidi Madanis Schooner, dalam Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah
Bank, Suatu Gagasan tentang pendirian Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia, FH UI,
Program Pasca Sarjana, 2002, h.35
68
Pihak manajemen telah melakukan keputusan bisnis yang tepat dan tidak
melakukan pelanggaran prinsip duty of care apabila dalam membuat keputusan
itu:
1. Memperoleh informasi yang cukup tentang masalah yang akan diputuskan
sehingga percaya bahwa tindakkannya telah tepat
2. Tidak ada kepentingan dengan keputusan dan memutuskan berdasarkan itikad
baik
3. Mempunyai dasar alasan yang kuat untuk mempercayai bahwa keputusan
yang diambil adalah yang terbaik bagi perusahaan. 70
Secara tradisionil, aturan kebijakan bisnis (business judgement rule)
melindungi para pihak manajemen dari tanggungjawab atas keputusan-keputusan
bisnis tertentu yang merugikan perusahaan. 71
Apa yang dimaksud dengan “Business Judgment Rule” Charles
R.O’Kelley, Jr. merumuskan sebagai berikut : 72
The business judgment rule is a principle of corporate governance that
has been part of the common law for at least one hundered fifty years. It has
traditionaly operated as a shield to protect directors from liability for they
decisions. If the director are not entitled to the protection of the rule, then the
court scrutinize the decision as to its intrinsic fairness to the coporation and
the coporation’s minority shareholders. The rule is a rebuttable presumption
the director are better equipped than the courts to make business judgement
and that the directors acted without self-dealing or personal interest and
exercised reasonable deligence and acted with good faith. A party chalengging
a board of drector’s decision bears the burden of rebutting the presumption
that the decision was a proper exercise of the business judgement of the board.
70
Detlev F. Vagts, Basic Corporation Law, (New York: The Foundation Press Inc.,
Westbury, 1989), h.211
71
Lewis D.Solomon, et.al. Corporations Law and Policy, Materials and Problems, Third
Edition, American Casebook Series, (St. Paul, Minn.: West Publising Co., St., 1994), h.695.
72
Charles R.O’Kelley, et.al. Corporations and Other Business Associations, (Boston,
Toronto, London, 1992), h.257.
Seorang direktur perusahaan tidak akan bertanggung jawab atas kerugian
yang terjadi jika telah melaksanakan tugas-tugasnya dengan memperhatikan
prinsip-prinsip “due care”, “good faith”, dan mempunyai “rational bases”
terhadap keputusan-keputusan bisnis yang dilakukan. 73
Para direksi perusahaan dan manajer lainnya dikatakan adalah sebagai
pemegang fiducia yang harus bertindak jujur demi kepentingan pemberi fiducia
(beneficiary) dalam satu hubungan “fiduciary duty”. Fiduciary duty adalah suatu
doktrin yang berasarl dari sistem hukum Common Law yang mengajarkan bahwa
antara direktur dengan perseroan terdapat hubungan fiduciary, sehingga sebagai
trustee atau agen direktur berkewajiban mengabdi sepenuhnya kepada perusahaan
dengan sebaik-baiknya. 74
Prinsip fiduciary ini tidak lazim digunakan dalam hubungan kontraktual,
karena sebenarnya dalam kontrak telah diatur hubungan keduanya secara jelas,
sehingga tidak diperlukan lagi hubungan kepercayaan ini, hal ini dapat dilihat dari
uraian berikut ini : Fiduciary principle are uncommon in contractual relations. If
contracts can be written in enough detail, there is no need for “fiduciary” duties
as well. Workers and bond holders alike must look their contractual right rather
than invoke fiduciary claims. 75
Dasar dari kewajiban fiducia adalah untuk loyal kepada pemberi fiducia
(duty of loyal), sehingga seorang pemegang fiducia (beneficiary) dengan tidak
73
Munir Fuady, op.cit, h.50
Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku ketiga, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1999), h.7
75
Frank H. Easterbrook, et.al., The Economic Structure of Corporate Law, (Combridge,
Massachusetts, England : Harvard University Press, 1996) h. 90-91
74
mendahulukan kepentingan sendiri. Pemegang Fiducia wajib melaksanakan duty
of care, kegagalan melaksanakan duty of care dengan sendirinya merupakan
pelanggaran terhadap fiduciary duty tanpa memperhatikan apakah perbuatan
tersebut sebenarnya menimbulkan kerugian pada pemberi fiducia.76 Fiduciary
duty adalah kewajiban agent untuk memperlakukan prinsipalnya dengan jujur,
hati-hati, loyal dan itikad baik serta memperlakukan prinsipalnya sebagaimana
memperlakukan diri sendiri. 77
Untuk menghindarkan salah pengertian mengenai istilah-istilah yang
digunakan dalam disertasi ini, maka definisi operasional dari istilah-istilah
tersebut adalah sebagai berikut :
Utang adalah kewajiban yang dinytakan atau dapat dinyatakan dalam
jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang Asing, baik
secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang
timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan wajib dipenuhi oleh debitor
dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapatkan
pemenuhannya dari harta kekayaan debitor. 78.
Sengketa adalah konflik yang terjadi antara para kreditor dengan debitor
mengenai utang piutang yang dapat diselesaikan di Pengadilan (Niaga) atau di
luar pengadilan.
76
Edward L. Symons dalam Zulkarnaen Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank,
suatu gagasan tentang pendirian Lembaga Penjamin Simpanan di Bank Indonesia, FH UI
Program Pasca Sarjana, 2002, h.33.
77
Henry Campbell Black dalam Yunus Husein, Rahasia Bank, Privasi versus Kepentingan
Umum, FH UI, Pasca Sarjana, 2003, h.33.
78
A. Abdurrachman, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan, (Jakarta:
Pradnya Pramita, cetakan keenam, 1991), h.303.
Piutang adalah sejumlah uang, barang-barang atau jasa yang timbul dari
perjanjian tertentu atau karena undang-undang yang menjadi hak kreditor untuk
menagih dan menerima pembayarannya dari debitor.
Perusahaan adalah semua organisasi kepemilikan baik berbentuk badan
hukum maupun non badan hukum yang bertujuan untuk memperoleh laba.
Kepailitan adalah sita umum atas seluruh kekayaan debitor pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan kurator dibawah pengawasan hakim
pengawas. 79
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) adalah penundaan yang
diberikan oleh Pengadilan Niaga berdasarkan permohonan yang diajukan oleh
debitor yang memperkirakan tidak dapat melanjutkan pembayaran utangnya yang
sudah jatuh waktu dan dapat ditagih dengan maksud untuk mengajukan rencana
perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang
kepada kreditor.
Perdamaian adalah kesepakatan yang diambil dalam suatu rapat para
kreditor yang dipimpin oleh Hakim Pengawas berdasarkan rencana perdamaian
yang diajukan oleh debitor denga maksud untuk mengakhiri sengketa utang
piutang dalam proses kepailitan maupun PKPU, baik dengan membayar
sebahagian atau seluruh utang debitor kepada para kreditor, dan harus mendapat
pengesahan dari Pengadilan Niaga.
Restrukturisasi utang : modifikasi syarat-syarat utang piutang seperti satu
atau lebih kombinasi berikut ini : 80
79
Hendry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, sixth edition, 1990, h.403.
1. Pengurangan tingkat bunga untuk sisa masa utang
2. Perpanjangan jangka waktu pelunasan atau pengunduran tanggal jatuh tempo
dengan tingkat bunga yang lebih rendah dari pada tingkat bunga yang berlaku
di pasar untuk utang baru dengan resiko yang sama.
3. Pengurangan (absolut atau kontinjen) jumlah pokok atau jumlah yang harus
dibayar pada saat jatuh tempo utang piutang sebagaimana yang tercantum
dalam instrumen utang piutang atau dokumen perjanjian.
4. Pengurangan (absolut atau kontinjen) bunga yang terutang.
Tender offer adalah suatu penawaran fomal untuk membeli sejumlah
tertentu saham-saham suatu perusahaan pada tingkat harga tertentu atau suatu
bentuk pengambil alihan suatu perseroan, dimana sebuah perusahaan atau
individu menawarkan untuk membeli sejumlah atau seluruh saham perusahaan
target pada tingkat harga yang ditentukan. 81
Divestitures adalah salah satu cara yang ditempuh oleh suatu perusahaan
dengan melepaskan atau meniadakan sejumlah aktiva atau investasi melalui
penjualan langsung, atau distribusi suaru blok besar saham perseroan lain yang
teratur suatu perseroan yang disimpan sebagai investasi dengan motif untuk
menghasiakan kas untuk ekspansi lini produksi, menghilangkan kinerja operasi
yang tidak baik, untuk meningkatkan efisiensi perseroan atau untuk
merestrukturisasi bisnis perseroan agar konsisten dengan tujuan-tujuan strategis. 82
Going concern adalah suatu asumsi yang menyatakan bahwa tiap
perusahaan mempunyai umur yang tidak terbatas, sehingga tersedianya waktu
80
Agnes Sawir, Kebijakan Pendanaan dan Restrukturisasi Perusahaan, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2004), h.237
81
Ardiyos, Kamus Besar Akuntansi, (Jakarta:Citra Harta Prima), h. 920.
82
Ibid. h.335
untuk menyelesaikan usaha, melakukan kontrak-kontrak dan perjanjian dagang
lainnya. 83
Bargaining atau tawar menawar adalah proses dimana dua pihak atau lebih
berusaha untuk menetapkan apa yang dapat diberikan dan diperoleh atau apa yang
harus dilakukan dan diterima dalam suatu transaksi diantara mereka. 84
Likuidasi adalah usaha pembubaran suatu bisnis, melunasi semua utang
berdasarkan urutan prioritas, dan mendistribusikan aktiva-aktiva yang terssisa
dalam bentuk tunai/kas kepada para pemiliknya, atau pembubaran suatu
perusahaan dengan menjual semua bisnis atau aktivanya. 85
Moratorium : Legal authorization to delay payment of debt. 86
Mediasi : proses penyelesaian masalah dimana satu pihak luar tidak
berpihak, netral tidak bekerja bersama para pihak yang bersengketa untuk
membantu mereka guna mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang
memuaskan. 87
Negosiasi : bentuk komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai
kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang
sama maupun yang berbeda. 88
Leveraged buy-out (LBO) adalah pengambilalihan suatu perusahaan
dengan menggunakan dana pinjaman dengan cara perusahaan yang akan
83
Ibid. h.467
John. A. Fossum, op.cit. h.211.
85
Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, buku Kedua, (Jakarta: Citra
Aditya Bakti, 1994, h.22.
86
The advanced Learner’s Dictionary of Current English, second edition by. A.S Hornby
at.al, Oxford University Press, 1963.
87
Gary Goodpaster dalam Suyud Margono, ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan
Aspek Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), h.59
88
Oppenhaim dalam Huala Adolf et.al, Masalah-masalah Hukum dan Perdagangan
Internasional, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1994), h.186.
84
mengakuisisi, kemudian membayar kembali pinjaman dari aliran kas perusahaan
yang diakuisisi. 89
Sell-off adalah suatu perusahaan yang tidak sehat menjual saham kepada
pihak lain dengan murah.
Spin-off adalah pemisahaan anak perusahaan dari induk perusahaannya
tanpa merubah kepemilikan ekuiti, dimana perusahaan induk menyerahkan
kendali
operasi
kepada
anak
perusahaan
namun
pemegang
saham
mempertahankan persentase kepemilikan yang sama pada kedua perusahaan. 90
Joint venture adalah suatu bentuk kerja patnership atau persekutuan
diantara dua orang, perseroan atau satuan usaha lainnya yang didirikan untuk
melaksanakan suatu proyek tertentu dan bila proyek tersebut rampung maka
persekutuan tersebut dibubarkan, sehingga persekutuan bersifat sementara. 91
Erning Power adalah nilai sekarang yang didiskontokan dari keuntungan
suatu bisnis dimasa yang akan datang. 92
Merger atau penggabunganadalah perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan
perseroan lain yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari perseroan yang
menggabungkan diri beralih karena hukum kepada perseroan yang menerima
penggabungan dan selanjutnya status badan hukum perseroan yang
menggabungkan diri berakhir karena hukum. 93
Akuisisi atau pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan
oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alihan perseroan
yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas perseroan tersebut. 94
Konsolidasi atau peleburan adalah perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh dua perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara
89
ardiyos, op. cit. h.548.
Ibid. h.863
91
Ibid. h.521
92
Ibid. h.351
93
Pasal 1 angka 9 UU No. 40 Tahun 2007
94
Pasal 1 angka 9 UU No. 40 Tahun 2007
90
mendirikan satu perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan
pasiva dari perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum perseroan
yang meleburkan diri berakhir karena hukum. 95
Dari teori dan konsep yang telah dikemukakan perlu dibuatkan suatu
skema perbandingan penyelesaian sengketa utang piutang perusahaan yang
dilaksanakan di luar pengadilan (out-court) dan di dalam pengadilan (in-court),
yang akhirnya dapat diperoleh suatu tipe ideal penyelesaiannya sebagaimana pada
skema berikut ini:
95
Pasal 1 angka 9 UU No. 40 Tahun 2007
SKEMA II : PERBANDINGAN PENYELESAIAN SENGKETA UTANG PIUTANG PERUSAHAAN
DENGAN FISLOSOFI : EFISIENSI
TEMPAT
LEMBAGA
Out-court 1. ADR:
a. Mediasi
b. Negosiasi
c. Konsiliasi
d. Arbitrase
PELAKSANA
-
Mediator
Negosiator
Konsiliator
Arbitrator
Contoh
APP (SMG) →negosiasi -
In-court
R
E
S
U
M
E
2. Restrukturisasi Utang
- Rescheduling
- Refinancing
- Haircut
- Converted debt
1. PKPU → Damai
- Moratorium
J Pailit
2. Kepailitan
3. Reorganization (USA)
Mediator swasta
(PMN)
- JITF
- INDRA
- BPPN
(Pemerintah/fasilitator
-
Hakim + Pengurus
+ Rapat Kreditor
Hakim + Pengurus
+ Rapat Kreditor
Hakim + Kurator
Hakim + Bargaining
Power
PERSETUJUAN/
PENETAPAN
Agreement
SIFAT
SOLUSI AKHIR
KREDITOR DEBITOR
Voluntair
Win
(tidak mengikat)
mengikat
Win
Win
Master Restructuring
Agreement (MRA)
Agreement
Agreement
Putusan sepihak
Voluntair
Win
Win
Voluntair
Voluntair
Mengikat
Win
Win
Win
Win
Win
Lose
Putusan Pengadilan
Mengikat
Win
Win
Putusan Pengadilan
Mengikat
Lose
Lose
Putusan Pengadilan
Mengikat
Lose
Lose
Putusan Pengadilan
Mengikat
Win
Win
Putusan arbitrase
Win
PENYELESIAN SENGKETA UTANG PIUTANG PERUSAHAAN YANG IDEAL
In-court
Restrukturisasi utang
J PKPU J Damai
Hakim + Bargaining
Power
Putusan Pengadilan
Mengikat
Win
Win
Metodologi Penelitian
Berdasarkan perbedaan konsep hukum, ada 5 (lima) tipe kajian hukum
yaitu :
1. Filsafat Hukum, kajian hukum dengan orientasi kefilsafatan.
2. Ajaran Hukum Murni, dengan kajian “Law as it is written in the books”
3. American Sociological Jurisprudence, yang mengkaji “Law as it is decided
by judges through judicial process”.
4. Sosiologi Hukum, yang mengkaji “Law as it is in society”
5. Sosiologi dan / atau Antropologi Hukum, yang mengkaji “Law as it is in
(human) actions”. 96
Tipe kajian Filasafat Hukum, Ajaran Hukum Murni dan American
Jurisprudence termasuk tipe penelitian hukum yang mengacu konsep hukum
sebagai kaidah yang disebut penelitian Normatif.97 Penelitian normatif pada
umumnya adalah bersifat deduktif yakni dari hal-hal yang umum (norma-norma)
kepada hal-hal khusus dalam peristiwa atau pelaksanaannya.
Penelitian ini menggunakan pendekatan juridis normatif, yang artinya
penelitian mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan dan keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku
dan mengikat masyarakat atau juga menyangkut kebiasaan yang berlaku di
masyarakat 98. Penelitian juridis normatif yang diterapkan dalam penelitian ini
adalah menggunakan metode kualitatif karena didasarkan atas pertimbangan,
96
Soetandyo Wignyo Subroto dalam Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu
Hukum, (Bandung: Mandar Maju 2000), h.158-159
97
Sunaryati Hartono dalam Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum,
(Bandung: Manadar Maju), 2000. h.159.
98
Lawrence M. Friedman, American Law an Introduction, (New York: W.W. Norton and
Co., 1984), h.6.
pertama : menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan
dengan kenyataan ganda, kedua : metode ini menyajikan secara langsung hakekat
hubungan antara peneliti dan responden dan ketiga : metode ini lebih peka dan
lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh dan terhadap
pola-pola nilai yang dihadapi. 99
Penelitian disertasi ini akan menganalisa Kepailitan dan PKPU sebagai
“Law as is written in the books” maupun sebagai “Law as it decided by the judge
through judicial process” hubungannya dengan filosofi yang terkandung dalam
upaya penyelesaian sengketa utang piutang secara efisien untuk mencapai “winwin solution” bagi para pihak.
Salah satu jenis penelitian hukum adalah perbandingan hukum 100, karena
perbandingan hukum adalah suatu metode penyelidikan bukan suatu cabang
ilmu 101. Comparative law is the comparison of the different legal system of the
world. 102
Penelitian disertasi ini juga menggunakan metode perbandingan hukum,
maka penelitian ini akan menganalisa perbandingan pengaturan dan pelaksanaan
reorganisasi perusahaan di Indonesia dengan pengaturan reorganisasi dan
restrukturisasi perusahaan di Amerika Serikat. Dipilihnya sebagai perbandingan
hukum pada sistim hukum Kepailitan Amerika Serikat, karena Chapter 11 US
Bankruptcy Code tersebut sangat dikenal dan menjadi acuan penyusunan
99
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya,
Cetakan Kesebelas, 2000), h.5
100
Soerjono Soekanto, Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: UI Press, 1986),
h.14
101
Sunaryati Hartono, Capita Selecta Perbandingan Hukum, (Bandung: Alumni, 1970),
h.1, bandingkan dengan Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1998), h.101.
102
Konrad Zwigert, Hein Kotz, Introduction to Comparative Law, (Oxford, Vol.1,
Clarendom Press, 1987), h.2.
ketentuan dan undang-undang tentang restrukturisasi utang dari berbagai negara
di dunia.
Dalam melakukan perbandingan sistem hukum ada tiga komponen yang
dapat dilihat, yaitu substansi (substance), struktur (structure) dan budaya
(culture) 103. Namun dalam penelitian ini perbandingan hukum yang dilakukan
hanyalah dalam arti sempit saja atau lebih dikenal dengan “Micro
Comparison” 104 yaitu hanya mempelajari masalah reorganisasi saja atas dasar
metode perbandingan dengan pengaturan reorganisasi di Amerika Serikat.
Perbandingan Hukum ini menekankan pada sistem common law di Amerika
Serikat (karena negara ini cukup representatif mewakili negara common law).
Sedang peraturan PKPU (Kepailitan) Indonesia berasal dari Hukum Belanda yang
menganut sistem civil law (Eropa Kontinental).
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data ini dilakukan dengan mempergunakan langkah-langkah
sebagai berikut :
a. Penelitian Kepustakaan (Library Reseach)
Untuk memperoleh data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan tersier (penunjang) dilakukan penelitian kepustakaan. 105
Bahan hukum primer yang diteliti yaitu bahan hukum yang mengikat :
Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh UUD 1945, Peraturan Perundang-
103
Lawrence Friedman, op.cit. h. 6-8
Yunus Husein, Rahasia Bank, Privasi versus Kepentingan Umum, FH UI, Program
Pasca Sarjana, 2003, h.54.
105
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan ketiga, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2001), h. 116-117
104
undangan, Hukum Adat dan Jurisprudensi. 106 Bahan hukum sekunder yakni
bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer berupa
Rancangan Undang-undang (RUU), buku atau hasil karya ilmiah ahli hukum
dan hasil penelitian atau pendapat pakar hukum. Bahan hukum tersier
(penunjang) yakni bahan-bahan yang memberikan informasi dan penjelasan
tentang bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum,
ensiklopedia.
b. Penelitian Lapangan
Untuk memperoleh data primer dilakukan penelitian lapangan yaitu untuk
memperoleh data tentang implementasi proses hukum kepailitan dan PKPU di
Pengadilan Niaga yakni melalui putusan dan penetapan hakim niaga, data ini
akan diperkuat dengan hasil wawancara secara mendalam dengan
menggunakan kuisioner terhadap para hakim pengadilan niaga, pengacara,
kurator, debitor, kreditor yang langsung terlibat dalam kasus-kasus yang
relevan sehingga akurat datanya dan aktual masalahnya.
Penelitian ini dititikberatkan pada penelitian Kepustakaan, sehingga data
sekunder atau bahan pustaka lebih diutamakan dari pada data primer yang
sifatnya sebagai pendukung.
2. Analisis Data
Analsis data menurut Patton adalah proses mengatur urutan data,
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola kategori dan satuan uraian dasar 107.
Analisis pengolahan data, pertama-tama dilakukan adalah proses pemeriksaan
106
Amiruddin et.al, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 118-119
107
Michael Quin Patton dalam Lexy J. Moleong, Metodologi penelitian kualitatif,
(Bandung: Remana Rosdakarya, Cetakan kesebelas, 2000), h.103.
data dengan cara memilah-milah data, kemudian data tersebut di edit guna
memastikan kesempurnaan pengisian setiap instrumen pengumpulan data.
Selanjutnya dilakukan proses kategorisasi yakni memasukkan data ke dalam
kategori-kategori yang telah ditentukan sesuai dengan kriteria-kriteria yang
terkandung dalam tujuan penelitian. Baik bahan hukum primer, sekunder tersier
serta informasi dari para ahli kemudian dianalisis hasilnya secara normatif
berdasarkan metode analisis kualitatif dan hasilnya dapat dipaparkan dalam
bentuk preskriptif analitis.
Penelitian yang menyangkut sengketa utang piutang perusahaan akan
dianalisis secara kualitatif. Analisa kuailtatif dilakukan terhadap paradigma
hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan
balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data
yang dikumpulkan. Hal ini dilakukan sehubungan data yang dianalisis beraneka
ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya,
serta tidak mudah dilakukan kuantifikasi terhadapnya. Penelitian kualitatif juga
disebut bersifat holistic karena menganalisis data secara komprehensif dan
mendalam, oleh karena itu disertasi ini pun membahas doktrin atau teori yang
mendasari lahirnya peraturan atau putusan pengadilan yang menyangkut tentang
Kepailitan dan PKPU.
3. Lokasi Penelitian dan Responden
Untuk mengkaji bagaimana penerapan peraturan Kepailitan dan PKPU
dengan jalan perdamaian di Pengadilan Niaga, maka akan dilakukan penelitian
pada 5 (lima) Pengadilan Niaga di Indonesia yang telah dibentuk yaitu :
1. Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, berdasarkan Pasal 281
Perpu Nomor 1 Tahun 1998 Jo. UU Nomor 4 Tahun 1998 wilayah hukumnya
meliputi seluruh wilayah RI, namun kemudian berdasarkan Kepres Nomor 97
Tahun 1999 wilayah hukumnya hanya meliputi wilayah : DKI Jakarta,
Propinsi Jawa Barat, Propinsi Sumatera Selatan, Propinsi Lampung, dan
Propinsi Kalimantan Barat.
2. Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Ujung Pandang, berdasarkan Kepres
Nomor 97 tahun 1999 wilayah hukumnya meliputi wilayah : Propinsi
Sulawesi Selatan, Propinsi Sulawesi Tenggara, Propinsi Sulawesi Tengah,
Propinsi Sulawesi Utara, Propinsi Maluku dan Propinsi Irian Jaya.
3. Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Medan, berdasarkan Kepres Nomor
97 tahun 1999 wilayah hukumnya meliputi wilayah : Propinsi Sumatera Utara,
Propinsi Riau, Propinsi Sumatera Barat, Propinsi Bengkulu, Propinsi Jambi
dan Daerah Istimewa Aceh.
4. Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Surabaya, berdasarkan Kepres Nomor
97 tahun 1999 wilayah hukumnya meliputi wilayah : Propinsi Jawa Timur,
Propinsi Kalimantan Tengah, Propinsi Kalimantan Selatan, Propinsi
Kalimantan Timur, Propinsi Bali, Propinsi NTB, Propinsi NTT, Dan Propinsi
Timor Timur.
5. Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Semarang, berdasarkan Kepres
Nomor 97 tahun 1999 wilayah hukumnya meliputi wilayah : Propinsi Jawa
Tengah dan D.I Jogjakarta.
Jakarta Inisiative atau Prakarsa Jakarta sebagai Lembaga Penengah dan
INDRA sebagai lembaga khusus yang dibentuk oleh pemerintah untuk
menyelesaikan sengketa utang piutang swasta di luar pengadilan, juga akan
dijadikan sebagai objek/tempat penelitian dalam penelitian ini.
Populasi 108 dalam penelitian ini adalah 5 (lima) pengadilan niaga, para
hakim peradilan niaga, putusan-putusan/penetapan hakim peradilan niaga dan
para praktisi hukum kepailitan. Penentuan sampel dilakukan secara purposive
sampling 109, dan kemudian ditentukan sampel responden adalah sebagai berikut :
1. 15 (lima belas) orang hakim pengadilan niaga/hakim pengawas
2. 3 (tiga) orang hakim Mahkamah Agung
3. 5 (lima) orang ahli hukum Kepailitan
4. 5 (lima) orang Pengacara Kepailitan
5. 3 (tiga) debitor dan 3 (tiga) kreditor kasus Kepailitan
6. 300 (tiga ratus) kasus yang telah diputus peradilan niaga, dan sebagai bahan
analisis dipilih ± 10 kasus yang menyangkut tentang perdamaian.
F. Asumsi
Untuk memfokuskan penelitian, maka disusunlah asumsi sebagai berikut :
1. Para pelaku usaha selalu memperhitungkan untung rugi dalam menjalankan
usaha sehingga proses pengadilan yang memakan waktu relatif lama dan
proseduril akan memerlukan dana yang besar, para pelaku usaha cenderung
memilih acara diluar pengadilan yang lebih cepat, tidak bertele-tele sehingga
lebih efisien dan bersifat win-win solution.
108
Populasi adalah keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri yang sama, populasi dapat
berupa himpunan orang, benda (hidup atau mati), kejadian, kasus-kasus, waktu atau tempat
dengan sifat atau ciri yang sama. Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT
Raja Grafindo persada, 1997), h. 121
109
Purposive Sampling adalah sampel yang dipilih dengan cermat hingga relevan dengan
desain penelitian, supaya dalam sampel itu terdapat wakil-wakil dari segala lapisan populasi dan
sampel itu memiliki ciri-ciri yang essensial dan cukup representatif. Lihat C. Nasution, Metode
Research (Penelitian Ilmiah), (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 98
2. Peraturan Kepailitan dan PKPU masih banyak kelemahannya karena hanya
berupa penyempurnaan dari peraturan Kepailitan produk kolonial, Perpu
Nomor 1 Tahun 1998 Jo. UU Nomor 4 Tahun 1998 dibuat atas desakan pihak
asing (IMF), belum mencerminkan rasa keadilan masyarakat di bidang
perekonomian dan dunia usaha secara nasional.
3. Lembaga penengah (Prakarsa Jakarta dan INDRA) tidak populer dalam
menyelesaikan sengketa utang piutang karena pelaksanaannya yang tidak
menuju kepada efisiensi, karena sifatnya yang tidak wajib (Voluntary).
4. Sistem hukum Anglo Saxon yang dianut di Amerika Serikat tercermin dalam
Chapter 11 US Bankcruptcy Code sehingga pengaturan dan pelaksanaannya
lebih bersifat individualistis, lebih luas serta terperinci dalam mengatur hakhak dan kewajiban kreditor dan debitor dalam upaya reorganisasi suatu
perusahaan, sedang PKPU yang diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 1998
Tentang Kepailitan hanya menganut satu aspek saja dari reorganisasi
perusahaan yaitu penundaan pembayaran (surseance van betaling), berasal
dari sistem Hukum Eropah Kontinental.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan desertasi ini dibagi dalam 6 (enam) bab, yakni sebagai berikut :
Bab pertama, merupakan pendahuluan membahas tentang latar belakang,
perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teori dan
konsepsi, metode penelitian, asumsi dan sistematika penulisan.
Bab kedua, membahas tentang bentuk-bentuk penyelesaian sengketa utang
piutang dalam peraktek di Indonesia, bab ini akan menguraikan dan membahas
lebih lanjut mengenai penyelesaian sengketa utang piutang melalui pengadilan
(in-court), diluar pengadilan (out-court), yang keduanya akan menjelaskan
bentuk-bentuk pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku serta bagaimana peraktek secara nyata dilaksanakan, baik melalui
Kepailitan (PKPU), maupun lembaga mediator (Penengah).
Bab ketiga, membahas dan menguraikan pelaksanaan peraturan Kepailitan
dan PKPU oleh Peradilan Niaga serta bagaimana perdamaian tercapai dan faktorfaktor apa penyebab gagalnya perdamaian tersebut;
Bab keempat, membahas dan menguraikan tentang persamaan maupun
perbedaan antara Reorganisasi menurut Chapter 11 US Bankcruptcy Code dengan
PKPU menurut UU Kepailitan dan PKPU, dan selanjutnya diuraikan tentang
bagaimana pengaturan reorganisasi perusahaan secara umum dibandingkan
dengan PKPU di Indonesia.
Bab kelima, mengemukakan kasus-kasus sebagai bahan analisis untuk
mengetahui pendapat pengadilan tentang PKPU.
Bab keenam, sebagai penutup akan mengemukakan beberapa saran dan
kesimpulan.
BAB II
PENYELESAIAN SENGKETA UTANG PIUTANG
A. DI PENGADILAN (IN-COURT)
1. Gugatan Biasa
Kreditor berhak mengajukan tuntutan hak ke pengadilan yang didasarkan
adanya perjanjian utang piutang atau perjanjian lainnya, karena kreditor
memerlukan perlindungan hukum akibat perbuatan debitor yang dianggap
merugikan kreditor. Perlindungan ini adalah untuk menghindari perbuatan
“eigenrichting” dari pihak-pihak bersengketa.
Proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan dengan gugatan ini
disebut juga litigasi (litigation) yakni gugatan berdasarkan adanya sengketa,
dimana gugatan dan jawaban merupakan simbol pengganti dari konflik yang
terjadi. Kemudian oleh para pihak mempercayakan kepada pihak ketiga (hakim)
untuk mengambil keputusan yang mungkin satu pihak dinyatakan menang dan
pihak lain dinyatakan kalah (win-lose solution). Keputusan hakim ini harus
dituruti para pihak bersengketa karena dalam mengambil keputusan, litigasi
dalam batas-batas tertentu menjamin bahwa kekuasaan tidak dapat mempengaruhi
hasil keputusan itu. Melalui adjudikasi publik ini para pihak dapat mempelajari
kelemahan dan kekuatan pihak lawan karena adanya suatu prosedur standar
berupa hukum acara untuk mengemukakan dalil-dalil, bantahan-bantahan serta
data yang menurut para pihak perlu diajukan sebelum pengambilan keputusan.
Prinsip perlakuan yang adil kepada para pihak ditunjukkan dengan memberi
kesempatan yang sama untuk didengar dan untuk mengajukan sesuatu adalah
dijamin oleh hukum formil maupun hukum materil. Fungsi dari litigasi adalah
untuk
menyelesaikan
sengketa
dengan
menjaga
ketertiban
umum,
mempertahankan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat berdasarkan ketentuan
hukum yang berlaku. Jadi litigasi tidak hanya menyelesaikan sengketa, tetapi juga
menjamin suatu bentuk ketertiban umum yang tertuang dalam undang-undang,
baik secara eksplisit maupun implisit. 110 Namun litigasi ini memaksa para pihak
berada dalam posisi yang sulit karena menyangkut seluruh persoalan materil
(hukum materil) maupun masalah formalitas (hukum formil). Oleh karena itu
dalam proses ini diperlukan tenaga pembelaan (advocacy) untuk menjaga
perlakuan yang sama maupun dalam hal melakukan penemuan fakta dalam
sengketa.
Dalam proses ini peranan hakim sebagai pihak netral sangat dibutuhkan
kebijaksanaannya agar proses litigasi ini berjalan pada proporsi yang diperlukan,
sehingga hakim boleh membuat penegasan-penegasan berupa penetapanpenetapan agar sengketa tidak meluas pada persoalan-persoalan yang tidak
relevan dengan pokok permasalahan, dan dengan demikian hakim dapat
mengetahui duduk sengketa, permasalahan hukumnya, hukum yang diperlakukan
dan bagaimana putusannya menurut hukum dan keadilan. Hakim memberi
putusan dengan berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa” 111. Proses litigasi menurut para pengamat memiliki banyak kekurangannya,
dimana pihak-pihak ada yang dengan sengaja memperlambat proses ini untuk
maksud-maksud tertentu sehingga penyelesaian perkara terkesan lambat dan
makan biaya yang banyak. Terhadap proses litigasi melalui pengadilan ini muncul
110
111
Suyud Margono, op.cit. h. 24
Pasal 4 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004, Tentang Kekuasaan Kehakiman
berbagai kritik yang dilontarkan oleh masyarakat pencari keadilan terutama dari
kelompok masyarakat ekonomi, wujud kritik tersebut menurut Suyud Margono
dapat diuraikan sebagai berikut 112 :
a. Penyelesaian sengketa “lambat” (waste of time), kelambatan tersebut
diakibatkan oleh pemeriksaan yang sangat formal dan sangat teknis,
menjadikan arus perkara semakin deras, beban terlalu banyak (over loaded).
b. Biaya perkara “mahal”, apabila diakitkan dengan lama penyelesaian perkara.
Biaya perkara mahal membuat orang berperkara menjadi lumpuh dan terkuras
waktu dan pikiran (litigation paralyze people).
c. Perkara tidak tanggap (unresponsive), karena dianggap sering mengabaikan
perlindungan hukum dan kebutuhan masyarakat, dan sering berlaku tidak adil
atau unfair.
d. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan sengketa, tidak mampu memberikan
penyelesaian
yang
memuaskan
yang
memberikan
kedamaian
dan
ketenteraman kepada pihak-pihak disebakan oleh :
1. Salah satu pihak pasti menang, dan pihak lain pasti kalah (win-lose)
2. Keadaan win-lose akan menumbuhkan bibit dendam, permusuhan serta
kebencian
3. Putusan pengadilan membingungkan
4. Putusan pengadilan sering tidak memberi kepastian hukum (uncertainty)
dan tidak bisa diprediksi (unpredictable)
e. Kemampuan para hakim bersifat “generalis”, memiliki pengetahuan yang
terbatas hanya di bidang hukum.
112
Suyud Margono, op.cit. h. 65-66
Selain kritik di atas yang paling menonjol adalah kritik terhadap sistem
perkara yang tidak sistematis dan tidak didesain untuk menyelesaikan sengketa
secara efisien karena hanya memberi putusan yang abstrak melalui proses
banding, kasasi dan peninjauan kembali yang kemudian sulit dieksekusi.
Masalah yang serius yang dihadapi peradilan Indonesia sekarang adalah
persidangan yang tidak tepat waktu dan proses yang rumit sangat sering
ditemukan. Bagi sektor bisnis khususnya pengusaha sangat berpedoman pada
efektifitas dan efisiensi, gambaran pengadilan seperti diuraikan di atas, jelas tidak
menarik bagi mereka. Adanya tuntutan sistem peradilan yang efektif dan efisien
dimaksudkan adalah pemeriksaan persidangan yang sederhana, cepat dan biaya
ringan. Dari segi teori dan praktek tidak mungkin mendesain peradilan yang
memberi kepuasan kepada semua pihak karena terlalu kompleks kepentingan
yang harus dilindungi. Upaya maksimal yang dapat dilakukan hanyalah agar
kepentingan para pihak dilindungi dengan cara diseimbangkan secara harmonis.
Tipe ideal yang dikehendaki masyarakat pencari keadilan (justiabelen)
adalah menghilangkan saling pertentangan antara tujuan efektifitas dan efisiensi
dengan perlindungan hak dan kepentingan. Dilemanya adalah bila mengutamakan
efektifitas dan efisiensi harus mengorbankan hak dan perlindungan kepentingan,
sebaliknya bila mengutamakan penegakan hak dan perlindungan kepentingan
harus mengenyampingkan efektifitas dan efisiensi. Salah satu sistem peradilan
yang sangat dirasakan masyarakat yang tidak mencerminkan kepastian hukum
adalah proses upaya banding, kasasi dan peninjauan kembali. Meniadakan upaya
hukum tersebut akan membuat sistem peradilan jadi efektif dan efisien, namun
sekaligus dapat dianggap memperkosa hak dan menghancurkan perlindungan hak
dan kesempatan membela kepentingan pihak-pihak. Walau ada berbagai kritik
atas proses litigasi ini sampai sekarang dipandang keberadaan pengadilan sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman tetap dibutuhkan. Kedudukan peradilan dalam
negara hukum dan masyarakat demokrasi masih dapat diandalkan antara lain
berperan sebagai :
a. Katup penekan (pressure valve) atas segala pelanggaran hukum ketertiban
masyarakat dan pelanggaran ketertiban umum
b. Tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan (the last resort), sehingga
peradilan masih berfungsi menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the
truth and enforce justice). 113
Berdasarkan kedudukan dan keberadaan pengadilan tersebut peradilan
masih tetap diakui memegang peranan, fungsi dan kewenangan sebagai :
a. Penjaga kemerdekaan masyarakat (in guarding the freedom of society)
b. Wali masyarakat (are regarding as custodian of society)
c. Pelaksana penegakan hukum yang lazim disebut judiciary as the upholders of
the rule of the law. 114
Oleh karena itu penyelesaian sengketa di pengadilan dengan “judicial
power” dianggap masih perlu dipertahankan, karena ajaran trias politica, badan
judikatif ditempatkan sebagai satu-satunya badan resmi dan formal dalam
peradilan. Lembaga ini masih dibutuhkan sebagai katup penekan dalam negara
hukum dan masyarakat demokrasi, namun diperlukan pula upaya pemberdayaan
lembaga yang terdapat pada proses ligitasi di peradilan Indonesia dengan
berpedoman pada prinsip sederhana, cepat dan biaya ringan. 115
113
M. Yahya Harahap dalam Suyud Margono, ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan
dan Aspek Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2000), h. 64
114
Ibid, h. 65
115
Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 2004. Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Untuk menyelesaikan sengketa agar lebih efektif dan efisien perlu
dilakukan inovasi terhadap peraturan dan lembaga-lembaga yang menyangkut
peradilan. Lembaga dading yang diatur dalam Pasal 130 HIR/154 RBG
mewajibkan hakim untuk mendamaikan kedua belah pihak sebelum memeriksa
pokok perkara. Mekanisme dading (damai) ini mempunyai beberapa keuntungan
karena bila tercapai perdamaian akan ditungkan dalam bentuk akta perdamaian
yang dibuat dan disetujui kedua belah pihak yang bersengketa dan selanjutnya
diajukan kepada hakim yang memeriksa lalu hakim membuat suatu keputusan
perdamaian yang memuat akta perdamaian itu sendiri ditambah perintah untuk
melaksanakan isi perdamaian. Putusan perdamaian ini bersifat final and binding
artinya terhadap putusan itu tidak dapat dilakukan upaya hukum dan putusan
mengikat bagi kedua belah pihak berperkara.
Proses dading ini belum berjalan sebagaimana mestinya, karena hakim di
persidangan masih membatasi diri hanya sekedar menyarankan para pihak untuk
berdamai di luar persidangan. Hakim tidak memantau sejauh mana sarannya itu
dilaksanakan dan dipenuhi para pihak karena perundang-undangan (HIR/RGB)
tidak memberikan ketentuan yang bersifat imperatif (memaksa) kepada hakim
untuk menerapkan lembaga dading. Karena tidak adanya peraturan perundangundangan yang menjelaskan metode dan prosedur tehnisnya sehingga hakim tidak
aktif mendukung upaya menggunakan dading karena pada umumnya dipandang
hanya sebagai suatu formalitas. 116
Dari kesimpulan Laporan Kegiatan Mahkamah Agung (MA) tahun 19992000 yang diajukan pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000, dipaparkan data
116
Ali Budiardjo, et.al, Reformasi Hukum di Indonesia (PT Siber konsultan, 1999), h. 123
perkara di MA menunjukkan bahwa kelebihan perkara yang dapat diselesaikan
dihubungkan dengan perkara yang masuk, angkanya relatif berimbang sehingga
“MA selalu akan menghadapi masalah penyelesaian perkara disebabkan jumlah
perkara yang diputus relatif sama dengan jumlah perkara baru yang masuk, pada
hal jumlah tunggakan perkara sebelumnya tidak sedikit, maka dengan demikian
seolah-olah telah terjadi kemandekan/stagnasi penyelesaian perkara di MA” 117.
Tunggakan perkara di MA diduga terjadi oleh dua sebab, pertama karena tidak
diterapkannya secara sungguh-sungguh (aktif) lembaga dading (perdamaian) yang
tersedia dalam hukum acara yang berlaku, kedua karena tidak diindahkannya oleh
peradilan tingkat pertama ketentuan hukum acara yang termuat dalam pasal 46
dan pasal 47 UU nomor 14 tahun 1985 yang secara tegas telah mencantumkan
syarat formal pengajuan berkas perkara kasasi dan peninjauan kembali ke MA.
Salah satu lembaga hukum
yang dapat dijadikan sarana penanggulangan
tunggakan perkara (management court) adalah dading (damai), karena hukum
acara sebagai hukum publik sebenarnya tidak dapat diabaikan karena sifatnya
memaksa (dwingen recht), maka seharusnya upaya damai dading harus
diupayakan semaksimal mungkin. 118
Dalam rangka tujuan pemberdayaan pengadilan tingkat pertama
menerapkan peraturan lembaga dading, MA telah mengeluarkan Surat Edaran
(SE) nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama
Menerapkan Lembaga Damai (Eks. Pasal 130 HIR/154 RGB). Dalam SE tersebut
Hakim diperintahkan agar sungguh-sungguh mengusahakan perdamaian, tidak
117
H.P. Panggabean, Upaya Perdamaian menurut Pasal 130 HIR, Makalah Rakernas MA,
Yogyakarta, September 2001, h. 2
118
Ibid, h. 18
hanya sekedar formalitas, dapat bertindak sebagai fasilitator yang membantu para
pihak mengumpulkan data dan argumentasi dalam rangka persiapan ke arah
perdamaian. Pada tahap selanjutnya apabila dikehendaki para pihak, hakim yang
ditunjuk dapat bertindak sebagai mediator yang akan mempertemukan para pihak
yang bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok persoalan serta
keinginan masing-masing, selanjutnya mencoba menyusun proposal perdamaian
yang kemudian dikonsultasikan dengan para pihak untuk memperoleh hasil yang
saling menguntungkan (win-win solution). Untuk mengemban kewajiban hakim
mengusahakan perdamaian diantara kedua belah pihak bersengketa di pengadilan,
maka metode mediasi sangat cocok dikembangkan dan diterapkan. Hakim sebagai
mediator diharapkan tidak menggunakan kewenangan atau pengaruhnya selama
melakukan tugas mediasi dan juga tidak berpihak namun mempunyai kemampuan
untuk membantu pemantauan dan implementasi kesepakatan diantara kedua belah
pihak bersengketa.
Di Indonesia telah dibentuk sejenis annexed court dengan dikeluarkannya
Peraturan Mahkamah Agung RI nomor 2 Tahun 2003 (PERMA No. 2 Tahun
2003) tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, tertanggal 11 September 2003.
Menurut PERMA tersebut semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan
tingkat pertama wajib untuk lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan
bantuan mediator. Para pihak dapat memilih seorang mediator dari daftar maupun
dari luar daftar yang disediakan oleh pengadilan, tetapi bila tidak dapat
menyepakatinya, maka ketua majelis hakim dapat menunjuk seorang mediator
dari daftar yang tersedia itu dengan penetapan, dan hakim yang memeriksa suatu
perkara dilarang bertindak sebagai mediator bagi pekara yang bersangkutan.
Mediator pada setiap pengadilan berasal dari kalangan hakim dan bukan hakim
yang memiliki sertifikat sebagai mediator, dan setiap pengadilan memiliki
sekurang-kurangnya dua orang mediator. Jika dalam waktu yang ditentukan
menurut pasal 9 ayat (5) PERMA Nomor 2 Tahun 2003 mediasi tidak
menghasilkan kesepakatan, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa
proses mediasi telah gagal dan memberitahukannya kepada hakim, dan setelah
menerima pemberitahuan itu hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai
dengan hukum acara (ligitasi). Jika mediator berhasil dengan tercapainya
kesepakatan damai diantara pihak-pihak, maka mediator memberitahukan secara
tertulis kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan bahwa proses
mediasi telah berhasil dengan melampirkan akta perdamaian tersebut. Setelah
menerima pemberitahuan itu hakim (majelis) akan membuat putusan perdamaian
yang memuat akta perdamaian yang telah disepakati oleh para pihak berpekara.
Adapun beberapa pertimbangan Mahkamah Agung RI mengeluarkan
PERMA Nomor 2 Tahun 2003 ini adalah : bahwa pengintegrasian mediasi ke
dalam proses beracara di pengadilan menjadi salah satu instrumen efektif
mengatasi kemungkinan penumpukan perkara di pengadilan, karena mediasi
merupakan salah satu proses lebih cepat dan murah serta dapat memberikan akses
kepada para pihak yang bersengketa untuk memperolah keadilan atau
penyelesaian yang memuaskan atas sengketa yang dihadapi. Bahwa pelembagaan
mediasi dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi
pengadilan dalam penyelesian sengketa di samping proses pengadilan yang
bersifat memutus (adjudikatif). PERMA ini adalah menyempurnakan aturanaturan yang telah ditetapkan dalam SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks.
Pasal 130 HIR/154 RGB) sehingga dalam bagian penutupan PERMA ini telah
mencabut berlakunya SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tersebut.
PERMA ini
dikeluarkan adalah sementara menunggu adanya peraturan perundang-undangan
yang mengatur proses mediasi untuk mencapai perdamaian di pengadilan demi
kepastian, ketertiban dan kelacaran dalam proses perdamaian para pihak untuk
menyelesaikan suatu sengketa perdata.
Dengan diberlakukannya PERMA Nomor 2 Tahun 2003 ini, maka
terhadap pengadilan tingkat pertama telah ditambahkan (annexed) suatu acara
(proses) tambahan yakni hakim mempersilahkan lebih dahulu para pihak
menyelesaikan sengketanya melalui mediator yang disediakan oleh pengadilan
atau mediator lain dengan upaya mencari perdamaian sesuai dengan prosedur
yang diatur dalam PERMA tersebut. Untuk itu pengadilan tingkat pertama harus
mempersiapkan diri membangun annexed court ini dengan menyediakan
sedikitnya 2 (dua) mediator yang telah memiliki sertifikat, serta mempersiapkan
sarana gedung (ruangan) dan administrasinya dalam waktu segera mungkin.
Diberlakukannya PERMA Nomor 2 Tahun 2003 ini, secara umum adalah
untuk memenuhi 2 (dua) keinginan sekaligus yakni mengatasi penumpukan
perkara di pengadilan sekaligus merespons keinginan pencari keadilan
(justiabelen) untuk memperoleh keadilan dalam penyelesaian sengketa dengan
proses perdamaian dengan hasil yang lebih cepat, biaya ringan sehingga
memuaskan kedua belah pihak bersengketa. PERMA Nomor 2 Tahun 2003 ini
telah digantikan oleh PERMA Nomor 1 Tahun 2008 yang pada intinya berupa
revisi dan pendayagunaan mediasi di Pengadilan.
2.
Arbitrase
Arbitrase merupakan salah satu bentuk adjudikasi privat, dimana para
pihak menyetujui penyelesaian sengketanya diputuskan oleh pihak netral yang
dipilih mereka sendiri. Arbitrase adalah penyelesaian sengketa secara formal
berdasarkan kesepakatan para pihak, dimana arbiter mempunyai wewenang
memfasilitasi dan memutuskan sengketa melalui keputusan yang mengikat. 119
Pada prinsipnya arbitrase itu menghindari pengadilan karena arbitrase lebih
memberikan kebebasan, pilihan, otonomi dan kerahasiaan kepada para pihak yang
bersengketa. Dibanding dengan adjudikasi publik (pengadilan), arbitrase
memberikan keuntungan-keuntungan bagi para pihak. Walaupun putusan
arbitrase diperoleh dengan prosedur sederhana tapi sifatnya mengikat para pihak.
Klausula arbitrase merupakan dasar utama pemberlakuan prosedur arbitrase ini,
tetapi masih dimungkinkan dalam klausula perjanjian pengajuan sengketa ke
pengadilan jika arbitrase tidak berhasil.
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, pengertian Arbitrase telah dirumuskan sebagai
berikut: 120 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa berupa klausula arbitrase yang
tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul
sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah
timbul sengketa.
Sehubungan dengan putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai
kekuatan tetap dan mengikat para pihak, maka putusan itu sama kekuatannya
119
120
Suyud Margono, op.cit. h. 48
Pasal 1 ayat (1) dan ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999
dengan putusan pengadilan sehingga juga diberi berkepala : Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 121
Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak
yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase, dan wajib menolak dan tidak akan
campur tangan di dalam suatu sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase,
kecuali dalam hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999. 122 Ketentuan tersebut di atas telah dengan tegas membatasi
kewenangan mengadili bagi Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan
memutuskan sengketa perdata yang disertai perjanjian arbitrase. Jika kreditor
ataupun debitor membuat perjanjian dengan klausula arbitrase, maka penyelesaian
sengketa harus tunduk pada arbitrase, artinya pengadilan negeri tidak berwenang
menyelesaikan perkara tersebut melainkan arbitor yang telah disepakati bersama
itulah yang berwenang. Tetapi bila sengketa antara debitor dan kreditor tersebut
diajukan ke pengadilan niaga dengan proses kepailitan atau PKPU, maka hal ini
akan berbeda. Pengadilan Niaga bukan pengadilan negeri, sebab menurut
ketentuan Pasal 280 ayat (1) UU Nomor 4 tahun 1998, pengadilan niaga
berwenang memeriksa dan memutus perkara permohonan pernyataan pailit dan
PKPU. 123 Kewenangan mengadili pengadilan niaga terhadap sengketa perdata
dengan klausula arbitrase telah ditegaskan pula dalam undang-undang baru yaitu
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan & PKPU yang
menyatakan pengadilan niaga tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan
permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang
menurut klausula arbitrase sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang ini. 124
121
Pasal 60 dan Pasal 34 UU No. 30 Tahun 1999
Pasal 11 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999
123
Parwoto Wignjosumarto, Titik taut Arbitrase dan Kepailitan Indonesia, Makalah
Seminar Bankruptcy & Arbitration, Pusat pengkajian Hukum, Jakarta 8 Maret 2004, h. 3
124
Pasal 303 UU Nomor 37 Tahun 2004
122
Mahkamah Agung RI telah mengambil putusan dalam sengketa
kewenangan mengadili antara arbitrase dan Pengadilan Niaga tentang sengketa
perdata dengan perjanjian arbitrase yang pada pokoknya berpendapat bahwa
Pengadilan Niaga berwenang memeriksa dan memutus sengketa perdata dengan
perjanjian arbitrase. Sikap Mahkamah Agung tersebut dapat dilihat dalam
putusan No. 020 PK/N/1999 tanggal 18-10-1999 jo. No. 019/K/N/1999 tanggal 98-1999, dalam perkara antara PT. Megarimba Karyatama dan PT. Mitra Surya
Tatamandiri sebagai para pemohon peninjauan kembali/termohon kasasi/para
termohon pailit melawan PT Basuki Pratama Engineering sebagai termohon
peninjauan kembali/pemohon kasasi/pemohon pailit dengan pertimbangan
sebagai berikut dalam Putusan MA RI No. 020/PK/N/199 (Peninjauan Kembali)
: 125
Bahwa berdasarkan pasal 280 ayat (1) dan (2) UU Nomor 4 Tahun 1998,
status hukum dan kewenangan (legal status and power) pengadilan niaga
memiliki kapasitas hukum (legal Capacity) untuk menyelesaikan permohonan
pailit.
Bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 3 UU Nomor 14 Tahun 1970 jo. Pasal
377 dan Pasal 615-651 RV, telah menetapkan status hukum dan kewenangan
arbitrase memiliki kapasitas hukum untuk menyelesaikan sengketa yang
timbul dari perjanjian dalam kedudukan sebagai extra judicial berhadapan
dengan pengadilan negeri sebagai Pengadilan Negara biasa.
Bahwa dalam kedudukannya sebagai extra judicial, kewenangan absolut
arbitrase tidak bisa mengesampingkan kewenangan Pengadilan Niaga (extra
ordinary) yang secara khusus diberi kewenangan untuk memeriksa dan
mengadili penyelesaian insolvensi atau pailit oleh UU Nomor 4 tahun 1998
sebagai undang-undang khusus (special law).
Dalam perkara yang sama pada tingkat kasasi, MA telah mempertimbangkan
sebagai berikut dalam putusan No. 019 K/N/199 (Kasasi) : 126
Bahwa dari pendekatan ketentuan perundang-undangan dihubungkan
dengan praktek pengadilan yang bersumber dari yurisprundensi, yang
disingkirkan legal effect arbitrase sebagai extra judicial adalah kewenangan
125
Himpunan Putusan-putusan MA dalam Perkara kepailitan Jilid 4, (Jakarta : PT Tatanusa,
2000), h. 365
126
Himpunan Putusan-putusan MA dalam Perkara kepailitan Jilid 3, (Jakarta : PT
Tatanusa), h.124
pengadilan Negeri dalam kedudukan kapasitas hukumnya sebagai Pengadilan
Negara Biasa. Legal effect arbitrase tersebut sebagai extra judicial tidak dapat
menyingkirkan kedudukan dan kewenangan Pengadilan Niaga untuk
menyelesaikan permohonan berkategori insolvensi atau pailit berdasarkan UU
Nomor 4 Tahun 1998, meskipun lahirnya permasalahan insolvensi itu
bersumber dari perjanjian hutang yang mengandung klausula arbitrase
(arbitral clausa). Alasannya, tata cara penyelesaian (settlement method) yang
diajukan dalam bentuk permohonan insolvensi (pailit) kepada pengadilan
niaga adalah cara penyelesaian yang berkarakter extra ordinary court melalui
UU Nomor 4 tahun 1998, bukan tatacara penyelesaian yang bersifat
konvensional melalui gugat perdata kepada Pengadilan Negeri. Dengan
demikian status hukum (legal status) dan kapasitas hukum (legal capacity)
Pengadilan Niaga yang berkarakter extra ordinary court yang khusus
menyelesaikan permohonan pailit, tidak dapat disingkirkan kewenangannya
oleh arbitrase dalam kedudukan dan kapasitas hukum sebagai extra-judicial.
Pendapat maupun sikap Mahkamah Agung tersebut dapat juga dilihat pada
putusan No. 013 PK/N/1999 tanggal 2-8-1999 jo. No. 012 K/N/1999 tanggal 255-1999 dan putusan No. 01 K/N/2002 tanggal 13-2-2002, yang pada pokoknya
menyatakan
bahwa
klausula
arbitrase
dalam
perjanjian
tidak
dapat
mengesampingkan kewenangan Pengadilan Niaga untuk memeriksa dan memutus
perkara permohonan pernyataan pailit.127
Putusan pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga sebagai extra-ordinary
court mengandung sifat hukum publik , karena berlaku bagi semua kreditor
walaupun tidak sebagai pihak dalam perkara permohonan kepailitan. Untuk
melindungi kreditor lain sebagai pihak dalam perkara permohonan kepailitan.
Untuk melindungi kreditor lain yang tidak terikat perjanjian dengan klausula
arbitrase, seharusnyalah kewenangan luar biasa yang dimiliki Pengadilan Niaga
mengenyampingkan kewenangan arbitrase yang sifatnya party-contract saja.
Berdasarkan beberapa putusan Mahkamah Agung tersebut dan isi pasal
303 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, maka tidak ada lagi permasalahan
sengketa kewenangan mengadili antara arbitrase dan Pengadilan Niaga tentang
127
Ibid, h.45, h.266
sengketa perdata yang disertai perjanjian arbitrase, dengan kesimpulan bahwa
kepailitan tidak tunduk pada klausula arbitrase.
3.
Proses Kepailitan dan atau PKPU
a.
Tinjauan Umum Kepailitan
Kepailitan merupakan suatu penyitaan umum atas seluruh kekayaan
debitor untuk kepentingan kreditor-kreditor secara bersama-sama. Pailit hanya
mengenai kekayaan dan tidak mengenai pribadi dari orang yang dinyatakan pailit
(debitor). Faillissement adalah suatu usaha bersama untuk mendapatkan
pembayaran bagi semua orang berpiutang secara yang adil. 128
Sebagai maksud dan tujuan dari kepailitan (bankruptcy), dapat diuraikan
keadaan yang menggambarkan : Bilamana seseorang atau badan hukum tidak
sanggup membayar utang-utangnya dan dia berada dalam kesulitan keuangan,
dimungkinkan menurut hukum baik atas permintaan debitor itu sendiri atau oleh
satu kreditor, agar harta kekayaan tertentu dari debitor dapat diambil alih untuk
membayar kepada para kreditor secara seimbang sesuai jumlah piutanganya
masing-masing.
Kepailitan adalah suatu lembaga hukum yang mempunyai fungsi penting
di bidang hak kebendaan. Lembaga ini merupakan realisasi dari ketentuan Pasal
1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata yang mengatur tentang tanggungjawab subjek
hukum terhadap perikatan-perikatan yang dilakukannya.
Pasal 1131 KUH Perdata menentukan bahwa segala benda bergerak dan
tidak bergerak dari seorang debitor baik yang sekarang ada maupun yang akan
diperolehnya menjadi tanggungan atas perikatan-perikatan yang dilakukannya.
128
Victor M Situmorang et.al., Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta : Rineka
Cipta, 1994), h.11
Selanjutnya pasal 1132 KUH Perdata menentukan lagi, bahwa benda-benda itu
dimaksudkan sebagai jaminan bagi para kreditornya bersama-sama, hasil
penjualan benda-benda itu dibagi di antara mereka secara berimbang menurut
perbandingan tagihan-tagihan mereka, kecuali di antara para kreditor itu mungkin
terdapat alasan-alasan yang sah untuk didahulukan atau diprioritaskan.
Akibat hukum dari kepailitan adalah si pailit tidak memiliki kewenangan
untuk melakukan tindakan kepengurusan dan pemilikan terhadap harta kekayaan
atau asset. Tetapi kepailitan hanya mengenai harta benda debitor, bukan
pribadinya, jadi ia tetap cakap untuk melakukan perbuatan hukum di luar hukum
kekayaan.
129
Kepailitan tidak menghilangkan sama sekali kewenangan si pailit
untuk melakukan kepengurusan dan pemilikan harta yang berhubungan dengan
pribadinya. Jadi tindakan yang membawa akibat-akibat hukum terhadap boedel
pailit (asset) hanya dapat dilakukan oleh kurator yang ditunjuk dalam putusan
pailit. Dalam batas-batas tertentu si debitor pailit dapat melakukan perbuatan
hukum dalam bidang hukum kekayaan sepanjang perbuatan tersebut akan
mendatangkan keuntungan bagi harta pailit, sebaliknya apabila perbuatan hukum
tersebut akan merugikan harta pailit, kurator dapat meminta pembatalan atas
perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitor pailit. Selanjutnya lebih jauh diatur
tentang actio pauliana, yakni pembatalan atas segala perbuatan hukum debitor
yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditor, yang
dilakukan sebelum pernyataan pailit ditetapkan.
Jika si debitor dinyatakan pailit, semua hasil penjualan harta kekayaan
akan dibagi secara berimbang di antara semua kreditor. Lembaga kepailitan ada
rationya jika debitor memiliki lebih dari satu kreditor, sehingga konsep
129
Bernadette Waluyo, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
(Bandung : Mandar Maju, 1999), h.1
“concursus creditorium” merupakan kerangka dasar dalam kepailitan. Bila hanya
satu kreditor, dan debitor tidak membayar utangnya, maka tidak perlu
menggunakan lembaga kepailitan, sebab tidak ada persaingan yang menuntut
perimbangan, oleh karena itu penyelesaiannya cukup dengan gugatan biasa ke
pengadilan negeri dengan alasan cidera janji.
Setiap debitor baik perorangan maupun badan hukum tidak berwenang
menyatakan dirinya pailit, hanya pengadilan niaga yang bersangkutan yang
berhak menyatakan pailit si debitor. Demikian juga pihak kreditor harus
mangajukan permohonan pernyataan pailit ke pengadilan niaga untuk menyatakan
pailitnya si debitor.
Dari segi hukum formil (hukum acara), yang terjadi pada saat pernyataan
pailit adalah sitaan umum yang jatuh demi hukum atas semua harta si debitor.
Sebagai akibatnya adalah bahwa sita individu yang diletakkan sebelumnya atas
harta si debitor dengan sendirinya terangkat demi hukum.
Pembagian secara berimbang (pari passu prorata parte) dalam kepailitan
terdapat pengecualian terhadap kreditor yang mempunyai alasan-alasan yang sah
untuk didahulukan. Kreditor yang memiliki hak untuk didahulukan adalah
bersumber dari hak tanggungan dengan jaminan kebendaan yang dipegangnya.
Pada kreditor pemegang jaminan kebendaan ini berada di luar kepailitan dan
dapat menuntut pelunasan terlebih dahulu atas piutangnya dibanding dengan
kreditor lainnya. Pemahaman terhadap peraturan kepailitan tidak dapat dipisah-
pisahkan dengan pemahaman terhadap peraturan hukum tentang jaminan
(zekerheids rechten). 130
Insolvency sering dipersamakan dan dipertukarkan pemakaiannya dengan
kata bankruptcy, yang keduanya diartikan sebagai kepailitan. Istilah Belanda
“insolventie” memuat suatu makna tehnis yang berbeda dari istilah kepailitan,
insovensi terjadi dalam rapat verifikasi di antara para kreditor yang dilakukan
setelah putusan pernyataan pailit. Makna tehnis insolvensi sesuai ordonansi
kepailitan tahun 1905 sebenarnya adalah suatu periode setelah dijatuhkannya
putusan kepailitan yang tidak diikuti dengan perdamaian (accord) di antara pada
kreditornya ataupun perdamaian telah ditolak dengan pasti. 131
Dalam sistem hukum anglo saxon (common law), insolvensi itu terjadi
sebelum kepailitan, sedang dalam sistem hukum eropah kontinental (civil law),
dianut pengertian bahwa insolvensi itu terjadi setelah kepailitan.
Menurut
undang-undang
kepailitan, 132
putusan
pailit
itu
dapat
dilaksanakan serta merta (uit voerbaar bij voorraad), namun hal ini tidak
langsung mengakibatkan si debitor secara definitif menjadi pailit. Tiap putusan
pailit selalu diikuti dengan proses verifikasi atau pencocokan utang di antara para
kreditor. Jika dalam verifikasi itu tercapai kesepakatan tentang cara pembayaran
atau besarnya pembayaran utang debitor, maka masing-masing kreditor bersedia
menerima pelunasan sebahagian dari piutangnya dan merelakan sisanya kepada
debitor, oleh karena itu tercapailah apa yang dimaksud dengan accord. Sebagai
akibat hukum dari accord, maka kepailitan terangkat demi hukum. Sebaliknya
jika accord tidak tercapai, maka debitor pailit masuk dalam fase insolvensi dan
130
Setiawan, Kepailitan, Konsep-konsep Dasar Serta Pengertiannya, Ulasan Hukum (Varia
Peradilan No. 156, Sept. 1998), h. 94
131
Ibid, h.100
132
Pasal 12 UU No. 4 Tahun 1998 (Pasal 8 ay. 7 UU No. 37 tahun 2004)
kepailitan menjadi tetap. Insolvensi dapat terjadi dari peristiwa-peristiwa atau
keadaan :
1) Perdamaian (accord) tidak ada ditawarkan
2) Perdamaian (accord) ditawarkan tetapi ditolak
3) Perdamaian (accord) diterima tetapi tidak disyahkan (homologasi) oleh
Pengadilan niaga
b.
Undang-Undang Kepailitan yang Baru
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan PKPU (UUK Baru) sejak tanggal 18 Oktober 2004, maka undangundang ini sudah merupakan hasil legislasi sebagaimana dikehendaki berbagai
pihak. 133 Sebelumnya yang berlaku adalah Perpu nomor 1 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Kepailitan (faillissements verordening) yang
berlaku efektif tanggal 20 Agustus 1998, dan Perpu ini kemudian telah diterima
oleh DPR menjadi Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1998 (UUK Lama) yang berlaku sejak tanggal 9 September 1998. Perpu Nomor 1
Tahun 1998 dikeluarkan oleh Pemerintah yang didasarkan pada pertimbangan
kegentingan yang memaksa (Pasal 22 ayat 1 UUD 1945), terhadap
pengeluarannya sebagian kalangan masyarakat melontarkan kritik dengan melihat
ada kesan tergesa-gesa dalam penerbitan Perpu tersebut.
Sebagai tolok ukur untuk mengetahui apakah undang-undang kepailitan
sudah merupakan undang-undang yang baik, dapat dipedomani pertanyaan
mendasar sebagai berikut :
1) Seberapa jauh hukum pailit telah melindungi kepentingan kreditor.
2) Seberapa jauh hukum pailit telah melindungi kepentingan debitor.
133
Komentar : “DPR mengatakan agar segera mengajukan RUU kepailitan yang baru,
meskipun DPR telah mensyahkan Perpu menjadi UU, UUK harus segera disempurnakan dengan
RUU Kepailitan yang lebih komprehensif” (Harian Kompas, 22 Juli 1998),
3) Seberapa jauh hukum pailit telah memperhatikan kepentingan
masyarakat yang lebih luas dari pada hanya kepentingan debitor atau
kreditor semata-mata
4) seberapa jauh constraint dapat dieliminir dengan menerapkan aturanaturan yang bersifat prosedural dan substantif.
5) Seberapa jauh aturan kebangkrutan yang ada dapat mencapai tujuantujuannya. 134
Harapan masyarakat pada umumnya agar Undang-Undang Kepailitan dan
PKPU yang baru dapat bersifat antisipatif terhadap perkembangan ekonomi
global, dapat mencegah adanya debitor nakal (tidak beritikad baik) dan
selanjutnya memberi peluang bagi debitor beritikad baik dan masih punya
harapan untuk bangkit kembali dari kesulitannya.
Beberapa perubahan atau penambahan penting dalam UUK Baru antara
lain sebagai berikut :
1) Memuat ketentuan umum pada Bab I yang terdiri dari pasal 1 seluruhnya
berisikan 11 (sebelas) batasan atau pengertian yang salah satu memberi
pengertian tentang utang, 135 sedangkan dalam UU No. 4 Tahun1998 pada
bagian penjelasan, pengertian utang disebutkan sebagai utang pokok atau
bunganya.
2) Penambahan wewenang Badan Pengawas Pasar Modal (BPPM) untuk
mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap : Bursa Efek, Lembaga
Kliring dan Penjamin, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, yang
sebelumnya dalam UU No. 4 Tahun1998 hanya terhadap Perusahaan Efek. 136
3) Penambahan pengaturan yaitu permohonan pernyataan pailit terhadap :
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun atau BUMN yang
134
Douglas G. Baird dalam Munir Fuady, HukumKepailitan 1998 dalam Teori dan Praktek,
(Bandung : Citra Aditya bakti, 1998), h.2-3
135
Pasal 1 point 6 UU Nomor 37 Tahun 2004
136
Pasal 2 ayat (4) UU Nomor 37 Tahun 2004 jo. Pasal 1 ayat 4 UU Nomor 4 Tahun 1998.
bergerak di bidang kepentingan publik hanya dapat diajukan oleh Menteri
Keuangan. 137
4) Putusan Pengadilan Niaga/Mahkamah Agung harus diucapkan paling lambat
60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit
didaftarkan/ permohonan Kasasi atau Peninjauan Kembali diterima,
sebelumnya dalam UU No. 4 Tahun1998 jangka waktu tersebut hanya selama
30 (tiga puluh) hari. 138
5) Dimungkinkan memuat pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda
(decenting opinion) dari hakim menjelis dalam putusan pernyataan pailit. 139
6) Permohonan kasasi dapat dilakukan kreditor lain yang bukan merupakan
pihak pada persidangan tingkat pertama yang tidak puas dengan putusan atas
permohonan pernyataan pailit. 140
7) Pengajuan PKPU dapat juga dilakukan oleh kreditor, sedang dalam UU No. 4
Tahun1998 pengajuan PKPU hanya dapat dilakukan oleh debitor.141
8) Dalam pemberian PKPU tetap berikut perpanjangannya juga harus mendapat
persetujuan dari kreditor separatis (pemegang hak agunan atas keberadaan),
sedang dalam UU No. 4 Tahun1998 persetujuan itu hanya dari kreditor
konkuren. 142
137
Pasal 2 (5) UU Nomor 37 Tahun 2004
Pasal 8 ayat (5) jo. Pasal 13 ayat (3) UU Nomor 37 tahun 2004
139
Pasal 8 ayat (6) jo. Pasal 13 ayat (5) UU Nomor 37 tahun 2004
140
Pasal 11 ayat (3) UU Nomor 37 tahun 2004
141
Pasal 222 ayat (1), (3) UU Nomor 37 tahun 2004, bandingkan dengan pasal 212 ayat (1)
UU Nomor 4 Tahun 1998
142
Pasal 229 UU Nomor 37 tahun 2004 bandingkan dengan Pasal 217 ayat (5) UU Nomor 4
tahun 1998
138
9) Terhadap putusan PKPU tidak dapat diajukan upaya hukum apapun,
sedangkan dalam UU No. 4 Tahun1998 masih dimungkinkan. 143
10) Dalam menetapkan rencana perdamaian dalam PKPU juga harus mendapat
persetujuan dari kreditor separatis, sedangkan dalam UU No. 4 Tahun1998
persetujuan cukup diperoleh dari Kreditor Konkuren144
11) Dalam PKPU Counter permohonan harus diajukan pada Sidang Pertama
Pemeriksaan Pailit 145, sedang dalam UU Kepailitan Lama tidak diatur secara
tegas.
12) Permohonan PK telah diatur pada Bab IV UU Kepailitan Baru sedang dalam
UU No. 4 Tahun1998 tidak ada diatur secara khusus tentang PK. 146
c. Syarat-syarat Pernyataan Pailit
Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 menyebutkan : Debitor yang
mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu
utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau
lebih Kreditornya.
Dari isi pasal 2 ayat (1) tersebut jika dihubungkan dengan Pasal 2 ayat (2),
(3), (4), (5) dan pasal 8 ayat (4) UU Nomor 37 tahun 2004, dapat ditarik
kesimpulan bahwa syarat-syarat juridis agar suatu subjek hukum dapat dinyatakan
pailit adalah sebagai berikut :
1) Adanya utang
143
Pasal 235 UU Nomor 37 Tahun 2004 bandingkan dengan pasal 220 UU Nomor 4 tahun
1998
144
Pasal 281 ayat (1b) UU Nomor 37 Tahun 2004 bandingkan dengan Pasal 265 ayat (1)
UU Nomor 4 Tahun 1998.
145
Pasal 229 ayat (4) UU Nomor 37 Tahun 2004 bandingkan dengan Pasal 217 ayat (6) UU
Nomor 4 tahun 1998
146
Pasal 295 s/d 298 UU Nomor 37 Tahun 2004
2) Minimal satu dari utang sudah jatuh waktu
3) Minimal satu dari utang dapat ditagih
4) Adanya debitor
5) Adanya kreditor
6) Kreditor lebih dari satu
7) Pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga yang berwenang
8) Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh :
1) Debitor
2) Satu atau lebih kreditor
3) Jaksa untuk kepentingan umum
4) Bank Indonesia jika debitornya bank
5) Bapepam jika debitornya : Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring
dan Penjaminan, Lembaga Penyimpan dan Penyelesaian
6) Menteri Keuangan jika debitornya : Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Reasuransi, Dana Pensiun atau BUMN di bidang kepentingan publik
9) Fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa syarat-syarat pasal
2 ayat 1 tersebut telah terpenuhi.
d. Hubungan PKPU dengan Kepailitan
Sepintas dapat dilihat bahwa kepailitan itu berada di pihak kepentingan
kreditor, sedang ketentuan mengenai PKPU tampak lebih memihak pada
kepentingan debitor.
Bila debitor yang merasa dirinya tidak mampu lagi membayar utangutangnya dapat dengan segera mengajukan permohonan PKPU untuk
menghindari pembayaran atas utang-utangnya yang telah jatuh waktu.
Permohonan PKPU dapat dilakukan dengan cara :
a. Diajukan sendiri oleh debitor yang merasa tidak dapat melanjutkan
pembayaran utang-utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dengan maksud agar tercapai perdamaian yang ditawarkannya.
b. Diajukan debitor setelah adanya permohanan pernyataan pailit yang
diajukan oleh kreditornya, disertai dengan tawaran perdamaian
c. Diajukan oleh kreditor yang memperkirakan debitor tidak dapat
melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat
ditagih, dengan maksud untuk memungkinkan debitur mengajukan
rencana perdamaian.
Undang-undang kepailitan memberikan kesempatan pertama bagi kreditor
dan debitor untuk menyelesaikan sengketa utang-piutangnya dengan jalan damai,
hal ini dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan yang menyatakan : apabila
permohonan pernyataan pailit diajukan oleh kreditor dan pada saat yang sama
atau kemudian oleh debitor mengajukan PKPU, maka PKPU harus diputus lebih
dahulu. 147
Untuk permohoanan PKPU ini, harus segera ditetapkan penundaan
sementara kewajiban pembayaran utang. Pemberian PKPU yang bersifat tetap
oleh para kreditor, secara tidak langsung memberikan kesempatan kepada debitor
untuk menata ulang seluruh kewajibannya yang telah jatuh waktu tersebut.
Pemberian PKPU secara tetap ini harus diwujudkan dalam suatu bentuk
perdamaian antara para kreditor dengan debitor. Apabila para kreditor dalam rapat
147
Pasal 229 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004 (Pasal 217 ayat (6) UU No. 4 Tahun 1998)
kreditor tidak menyetujui memberikan PKPU secara tetap, maka debitor harus
dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.
e. Kreditor dalam Kepailitan
Kreditor adalah subjek hukum baik perseorangan maupun badan hukum
yang mempunyai hak untuk menagih sejumlah uang dari debitor setelah lewat
waktu yang diperjanjikan atau karena kewajiban telah timbul karena undangundang. Kreditor dapat menyita dan melaksanakan penjualan benda milik debitor
guna pelunasan piutangnya. Benda-benda mana yang dapat disita dan urutanurutannya serta cara penjualannya haruslah memperhatikan hak debitor serta
menurut ketentuan hukum yang berlaku.
Pada asasnya debitor tidak mempersoalkan siapa kreditornya selama
semua kewajiban prestasi dan syarat-syaratnya sama. Kalau kreditornya tertentu
yakni berupa tagihan atas nama maka “cara pengoperannya dilakukan dengan
formalitas tertentu dengan membuat akte cassie” 148 atau dengan cara membuat
pengakuan utang (schuld-bekentenis) baik atas tunjuk maupun atas bawa.
Para kreditor dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis sesuai dengan
tingkat kedudukannya yang dapat dibedakan dari cara pelunasannya oleh debitor.
Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya Aneka Hukum Bisnis menyatakan:
Hasil penjualan asset debitor yang dibayarkan kepada kelompok kreditor
sebagai berikut :
1) Biaya eksekusi untuk benda bergerak/tidak bergerak yang tertentu (Pasal
1139 ayat (1) KUH perdata)
2) Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang (Pasal
1139 ayat (4) KUH Perdata)
3) Kreditor pada butir 1 dan 2 di atas adalah berdasarkan hak istimewa
khusus (speciale voorrechten) terhadap hasil penjualan benda tertentu
(Pasal 1134, 1138, 1139 ayat (1) dan (4) KUH Perdata).
148
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan pada umumnya, (Bandung : Alumni, 1993), h.26
4) Biaya perkara karena pelelangan (Pasal 1149 ayat (1) atas benda bergerak
dan tidak bergerak pada umumnya.
5) Upah karyawan (Pasal 1149 ayat 94) atas benda bergerak dan tidak
bergerak berupa : (Pasal 1138, 1149 KUH Perdata)
6) Kreditor (Negara) untuk pelunasan pajak (Pasal 1134 alinea 2 jo. UU
tentang ketentuan Pajak No. 6 Tahun 1983)
7) Kreditor pemegang gadai dan hipotek (Pasal 1133 KUH Perdata)
8) Kreditor berdasarkan hak istimewa (privilege), selebihnya baik khusus dan
umum (pasal 1134, 1139 KUH Perdata)
9) Kreditor yang mempunyai kedudukan sama (pari pasu, konkuren) yang
dibayar seimbang (pond-pond gewijs) menurut besar kecilnya hutang
(Pasal 1132 KUH Perdata). 149
Dari pengelompokan tersebut di atas dapat dilakukan pembagian kreditor
ke dalam 3 (tiga) bagian besar, yaitu :
1) Kreditor Separatis (Secured Creditor)
2) Kreditor Preferen
3) Kreditor Konkuren (Unsecured Creditor)
Kreditor separatis (pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan,
hipotek, atau agunan atas kebendaan lainnya) berada di luar kepailitan karena
dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.
150
Namun
ditentukan kemudian bahwa bahwa hak eksekusi kreditor separatis ini
ditangguhkan untuk paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan
pernyataan pailit diucapkan.
kreditor
yang
dijamin
151
Penangguhan ini tidak berlaku terhadap tagihan
dengan
uang
tunai
dan
hak
kreditor
untuk
memperjumpakan utang. 152 Jangka waktu penangguhan (stay) tersebut demi
hukum berakhir pada saat kepailitan diakhiri lebih cepat atau pada saat
dimulainya keadaan insolvensi. 153 Sedang hak eksekusi kreditor separatis ini
149
Mariam Darus Bz, op.cit. h.131-132
Pasal 55 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004
151
Pasal 56 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004
152
Pasal 56 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004
153
Pasal 57 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004
150
harus dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah
dimulainya keadaan insolvensi. 154
Kreditor preferen, 155 mempunyai kedudukan istimewa yang harus
didahulukan dari kreditor lainnya. Biaya perkara, biaya eksekusi maupun
privilege khusus dan umum serta utang pajak adalah tagihan-tagihan yang harus
didahulukan pelunasannya.
Kreditor konkuren adalah kreditor-kreditor yang tidak mempunyai hak
istimewa dan bukan pula pemegang hak tanggungan, dan kedudukannya masingmasing adalah sama. Pembayaran utang kepada kreditor konkuren adalah menurut
keseimbangan yang biasa disebut pembayaran secara “pari passu pro rata parte”.
Pembayaran secara berimbang ini juga berlaku apabila ternyata dalam verifikasi
jumlah harta lebih kecil dari jumlah utang.
Berpegang pada asas concursus creditorium, bila putusan pernyataan pailit
telah ditetapkan, maka diterima suatu anggapan hukum bahwa seluruh kreditor
menjadi pihak dalam putusan tersebut dan terikat atas isi putusan itu. Berdasarkan
pada asas dan anggapan hukum tersebut, maka setiap kreditor berhak mengajukan
upaya hukum kasasi maupun peninjauan kembali atas putusan pernyataan pailit
itu.
f. Debitor dalam Kepailitan
154
Pasal 59 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004
Istilah “preferen” digunakan oleh Sutan RemySjahdeini untuk kreditor pemegang hak
jaminan (secured creditor), karena pembagian kreditor adalah : 1. Kreditor Konkuren (unsecured
creditor) 2. Kreditor preferen (secured creditor) dan 3. Kreditor Pemegang Hak Istimewa (oleh
UU diberi kedudukan didahulukan dari para kreditor Konkuren maupun Kreditor Preferen), lihat :
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002), h.280.
Bandingkan dengan pembagian kreditor yakni : 1. Kreditor Separatas. 2. Kreditor Preferen. 3.
Kreditor Konkuren (Kreditor Bersaing), lihat H. Man S. Sastrawidjaya, Hukum Kepailitan dan
PKPU, (Bandung : Alumni, 2006), h. 35.
155
Debitor adalah si berhutang yang dapat dituntut atau diminta untuk
membayar utang atau kewajibannya oleh si kreditor. Sering terjadi si debitor tidak
memenuhi kewajibannya baik disebabkan karena kesengajaan maupun karena
kelalaiannya. Akibatnya si kreditor akan meminta pertanggung jawabannya si
debitor. Debitor yang lalai yakni melakukan wanprestasi dapat digugat di depan
hakim. Seorang debitor dikatakan lalai apabila ia tidak memenuhi kewajibannya
atau terlambat memenuhinya atau memenuhinya tetapi tidak seperti yang telah
diperjanjikan. 156
Mereka yang dapat dinyatakan sebagai debitor pailit adalah :
a. Orang perorangan baik laki-laki maupun perempuan yang telah menikah
maupun belum menikah.
b. Perserikatan-perserikatan dan perkumpulan-perkumpulan yang tidak berbadan
hukum seperti firma.
c. Perseroan-perseroan, perkumpulan-perkumpulan, koperasi maupun yayasan
yang berbadan hukum.
d. Harta peninggalan.
Bagi jenis-jenis debitor tersebut di atas tidak jelas perbedaan
pengaturannya dalam Undang-Undang kepailitan, artinya aturan kepailitan bagi
perusahaan besar maupun perusahaan kecil, berbadan hukum atau tidak berbadan
hukum sama saja aturan kepailitan yang diterapkan. Perlu dipikirkan dan
dipertimbangkan apakah tidak sebaiknya dibuat aturan main yang berbeda untuk :
1) Perusahaan besar dan perusahaan yang tergolong perusahaan kecil dan
menengah
2) Perusahaan koperasi dan non koperasi
156
h.147)
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cetakan XVII, (Jakarta : PT Inter Nusa, 1983),
3) Perusahaan debitor yang sahamnya telah terdaftar di bursa efek dan belum
terdaftar
4) Perusahaan-perusahaan yang merupakan bank dan lembaga pembiayaan di
satu pihak dan perusahaan lainnya.
5) Perorangan dan badan hukum
6) Perorangan yang pengusaha dan bukan pengusaha, ibu rumah tangga,
pensiunan, dokter, pengacara, dan perorangan lainnya yang hidup dari
pendapatan tetap maupun tidak tetap.
7) Perorangan yang memiliki utang yang keseluruhannya di bawah jumlah
tetentu dan perorangan yang memiliki utang yang keseluruhannya di atas
jumlah tertentu. 157
Dalam kepailitan, si debitor dapat berperan aktif sebagai pemohon
pernyataan pailit untuk dirinya sendiri. Tetapi pada umumnya si debitor adalah
sebagai pihak yang passif atas permohonan para kreditornya untuk dinyatakan si
debitor pailit.
Debitor perorangan yang menikah, jika hendak mengajukan permohonan
pernyataan pailit haruslah terlebih dahulu memperoleh persetujuan suami atau
isteri kecuali dalam perkawinannya tidak ada persatuan harta. 158 Permohonan
pernyataan pailit yang diajukan oleh debitor, pengadilan niaga dapat memanggil
kreditor apabila terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit
telah terpenuhi. 159 Untuk itu H.P Panggabean telah mengemukakan pendapat dan
saran sebagai berikut :
“Asas hukum “beritikad baik” perlu diterapkan untuk melindungi para kreditor
dari kemungkinan manipulasi-manipulasi utang dari pihak “debtor bad faith”,
157
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit. h.119
Pasal 4 ayat (1), (2) UU No. 37 tahun 2004
159
Pasal 8 ayat (1b), UU No. 37 tahun 2004
158
undang-undang kepailitan perlu dilengkapi ketentuan tentang keharusan bagi
hakim untuk mendengar para kreditor.” 160
Lembaga kepailitan juga harus berfungsi untuk mencegah terjadinya
tindakan-tindakan tidak adil, termasuk kecurangan yang dilakukan oleh debitor
dengan cara meminta dipailitkan setelah berhasil menggelapkan harta
perusahaannya secara bertahap.
Dalam hal permohonan pailit yang diajukan oleh kreditor, maka kreditor
mengalami kesulitan dalam menentukan siapakah yang diajukan sebagai debitor.
Kesulitan tersebut terutama pada suatu perjanjian penanggungan atau borgtocht,
karena pihak ketiga mengikatkan diri untuk memenuhi perjanjian si debitor,
manakala si debitor sendiri tidak memenuhinya. Dalam hal ini kreditor pemohon
pailit akan diperhadapkan kepada 2 (dua) pilihan apakah mengajukan si principal
atau si guarantor sebagai debitor yang hendak dinyatakan pailit. Guarantor yang
telah melepaskan hak istimewanya, kedudukannya sama dengan debitor sehingga
dapat dimohonkan untuk dinyatakan pailit dengan syarat-syarat lainnya yaitu :
1) Debitor benar-benar sudah tidak mampu membayar utangnya yang sudah
jatuh tempo dan dapat ditagih.
2) Penanggung tidak mampu membayar utangnya yang sudah jatuh tempo
dan dapat ditagih.
3) Harus dapat dibuktikan bahwa penanggung mempunyai dua atau lebih
kreditor. 161
Dalam hal suatu badan hukum dinyatakan pailit, maka pengurus
mempunyai kewajiban untuk mempertanggung jawabkan kepailitan tersebut. 162
Dalam Pasal 97 ayat (1) jo Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas, ditegaskan bahwa organ perseroan terbatas yang
160
H.P Panggabean, op.cit. h.33
Bernadette Waluyo, op.cit. h.1
162
Pasal 111 UU No. 37 Tahun 2004
161
bertanggung jawab untuk mengurus dan mewakili perseroan adalah direksi.
Dalam Pasal 104 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tersebut
dinyatakan, dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi
sedang kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutupi kerugian akibat
kepailitan tersebut, maka setiap anggota direksi secara tanggung renteng
bertanggungjawab atas kerugian itu.
g. Perdamaian (accord) setelah pernyataan pailit
Debitor yang telah dinyatakan pailit dapat menawarkan atau mengajukan
perdamaian kepada semua kreditor secara bersama-sama dan harus diajukan
dalam jangka waktu 8 (delapan) hari sebelum rapat pencocokan piutang dengan
menyerahkan rencana perdamaian tersebut kepada kepaniteraan Pengadilan
Niaga. Keputusan atas perdamaian tersebut harus dilakukan setelah selesai
pencocokan piutang atau paling lambat 21 (dua puluh satu) hari berikutnya.
Kepada kurator dan panitia kreditor sementara diwajibkan memberikan pendapat
tertulis tentang rencana perdamaian dalam rapat pencocokan piutang. 163
Kreditor separatis dan kreditor preferen tidak boleh memberi suara
(voting) berkenaan dengan rencana perdamaian kecuali kreditor tersebut
melepaskan haknya untuk didahulukan (menjadi kreditor konkuren) sebelum
pemungutan suara tentang rencana perdamaian dilakukan.
164
Rencana
perdamaian diterima apabila disetujui dalam rapat kreditor oleh lebih ½
(setengah) jumlah kreditor konkuren yang hadir dan haknya diakui atau sementara
diakui yang mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah piutang kreditor
163
164
Pasal 144 s/d Pasal 147 UU No. 37 Tahun 2004
Pasal 149 ayat (1), (2) UU No. 37 Tahun 2004
konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut. 165 Apabila dari hasil
pemungutan suara hanya ½ (setengah) dari kreditor yang hadir dalam rapat dan
mewakili paling sedikit ½ (setengah) dari jumlah piutang kreditor yang
mempunyai hak suara menyetujui untuk menerima rencana perdamaian, maka
boleh dilakukan pemungutan suara kedua dalam jangka waktu paling lambat 8
(delapan) hari setelah yang pertama. 166
Pengadilan Niaga harus menetapkan sidang paling cepat 8 (delapan) hari
dan paling lama 14 (empat belas) hari setelah diterimanya rencana perdamaian
yakni untuk mensahkan (homologasi) atau tidak mensahkan rencana perdamaian
tersebut. 167 Pengadilan Niaga harus menolak pengesahan perdamaian apabila :
1) Harta debitor jauh lebih besar dari pada jumlah yang disetujui dalam
perdamaian
2) Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin dan/atau
3) Perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persengkokolan dengan satu
atau lebih kreditor atau upaya lain yang tidak jujur. 168
Apabila pengesahan (homologasi) ditolak, kreditor yang menyetujui rencana
perdamaian maupun debitor pailit berhak mengajukan kasasi, dalam hal
pengesahan dikabulkan maka kreditor yang menolak perdamaian atau yang tidak
hadir pada pemungutan suara, dan kreditor yang menyetujui perdamaian tetapi
kemudian mengetahui perdamaian dicapai karena penipuan atau persekongkolan
atau upaya lain yang tidak jujur, berhak mengajukan kasasi. 169
165
Pasal 151 UU No. 37 Tahun 2004
Pasal 152 ayat (1), UU No. 37 Tahun 2004
167
Pasal 156 ayat (3), UU No. 37 Tahun 2004
168
Pasal 159 ayat (2), UU No. 37 Tahun 2004
169
Pasal 160 ayat (1), (2), UU No. 37 Tahun 2004
166
Perdamaian yang dihomologasi berlaku bagi semua kreditor konkuren
baik yang telah mengajukan diri dalam kepailitan maupun tidak. 170 Apabila
pengesahan perdamaian telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka
berakhirlah kepailitan. 171 Tetapi bila pengesahan ditolak dan putusan penolakan
pengesahan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta debitor pailit
berada dalam keadaan insolvent, namun kurator atau kreditor dapat mengusulkan
supaya perusahaan debitor dilanjutkan dan usul tersebut wajib diterima apabila
disetujui oleh kreditor yang mewakili lebih dari ½ (setengah) dari semua piutang
yang diakui atau diterima dengan sementara dari kreditor konkuren. 172 Apabila
usul melanjutkan perusahaan debitor pailit ditolak, maka kurator harus memulai
pemberesan. 173
Menawarkan suatu perdamaian oleh debitor pailit adalah tidak lazim bila
dibandingkan dengan hukum kepailitan negara-negara Anglo Saxon (common law
system) yang memberi kesempatan mengajukan perdamaian (reorganization,
rehabilitation, restructuring) diajukan sebelum permohonan pernyataan pailit
diajukan ke pengadilan atau diajukan sebelum pengadilan memutus debitor
dinyatakan pailit. 174 Namun karena Indonesia menganut sistem hukum kepailitan
negara-negara Eropah Kontinental (civil law system) yang mengikuti prosedur
yang menyatakan pailit dulu si debitor namun masih diberi kesempatan
melakukan perdamaian, tetapi bila tidak tercapai perdamaian itu barulah si debitor
dinyatakan insolvent dan kurator berhak melakukan tugas pemberesan terhadap
harta debitor.
170
Pasal 162 ayat UU No. 37 Tahun 2004
Pasal 166 ayat UU No. 37 Tahun 2004
172
Pasal 180 ayat UU No. 37 Tahun 2004
173
Pasal 184 ayat UU No. 37 Tahun 2004
174
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit. h.391-392
171
h. Perdamaian dalam PKPU
PKPU dapat diajukan oleh debitor maupun kreditor. Debitor dapat
mengajukan PKPU apabila ia memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan
membayar utang-utangnya kepada para kreditornya yang sudah jatuh tempo dan
dapat ditagih, dengan maksud mengajukan rencana perdamaian yang meliputi
tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utangnya kepada kreditornya
175
.
Kreditor dapat mengajukan PKPU apabila ia memperkirakan bahwa debitor tidak
dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dengan maksud untuk memungkinkan debitor mengajukan rencana perdamaian
yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang debitor kepada
kreditornya 176.
Hakekat atau tujuan utama pemberian PKPU adalah untuk memberi
kesempatan kepada kedua belah pihak yakni debitor dan para kreditor untuk
mewujudkan suatu perdamaian dalam penyelesaian utang-piutang di antara
mereka. Dalam proses pengajuan PKPU ini, debitor segera mungkin membuat
daftar utang piutangnya dengan bukti-bukti secukupnya dan bila mungkin disertai
dengan rencana perdamaian.
Pengadilan Niaga yang menerima permohonan PKPU dan bila telah
memenuhi syarat formal, maka harus mengabulkan “PKPU Sementara” dan harus
pula menunjuk seorang Hakim Pengawas serta seorang atau lebih pengurus yang
bersama-sama dengan debitor mengurus harta debitor.
175
Pasal 222 ayat (2) UU No. 37 Th. 2004
Pasal 222 ayat (3) UU No. 37 Th. 2004
177
Pasal 225 ayat (2), (3) UU No. 37 Th. 2004
176
177
PKPU Sementara ini
berlaku paling lama 45 (empat puluh lima) hari, dan bila pada sidang terakhir
debitor tidak hadir, Pengadilan Niaga wajib menyatakan debitor pailit. 178 Setelah
diadakan sidang yang dihadiri debitor dan para kreditor, masih dapat diadakan
penundaan-penundaan sidang dan jika ternyata dalam jangka waktu 270 (dua
ratus tujuh puluh) hari sejak PKPU Sementara rencana perdamaian tidak
memperoleh persetujuan dari para kreditor, maka Pengadilan Niaga tidak dapat
menetapkan “PKPU Tetap” pada saat itu juga debitor harus dinyatakan pailit. 179
Pemberian PKPU Tetap dan perpanjangannya ditetapkan oleh Pengadilan
Niaga berdasarkan :
1) Persetujuan lebih dari ½ (setengah) jumlah kreditor konkuren yang haknya
diakui atau sementara diakui, yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua
pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara diakui dari
kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir.
2) Persetujuan lebih dari ½ (setengah) jumlah kreditor separatis yang hadir dan
mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari seluruh tagihan kreditor atau
kuasanya yang hadir. 180
Pengadilan Niaga harus mengangkat Panitia Kreditor apabila :
2) Permohonan PKPU meliputi utang yang rumit atau banyak kreditor.
3) Dikehendaki oleh kreditor yang mewakili paling sedikit ½ (setengah) dari
seluruh tagihan yang diakui. 181 Jika PKPU dikabulkan, Hakim Pengawas
178
Pasal 225 ayat (4), (5) UU No. 37 Th. 2004
Pasal 228 UU No. 37 Th. 2004
180
Pasal 229 ayat (1) UU No. 37 Th. 2004
181
Pasal 231 ayat (1) UU No. 37 Th. 2004
179
dapat mengangkat satu atau lebih ahli untuk melakukan pemeriksaan dan
penyusunan laporan tentang keadaan harta debitor. 182
Jika permohonan pernyataan pailit dan PKPU diperiksa pada saat yang
bersamaan (pernyataan pailit dimohonkan kreditor, dan kemudian permohonan
PKPU diajukan oleh debitor), maka PKPU harus diputus terlebih dahulu, dan
PKPU tersebut harus diajukan pada sidang pertama pemeriksaan permohonan
pernyataan pailit. 183 Selama PKPU berlangsung terhadap debitor tidak dapat
diajukan permohonan pernyataan pailit.184
PKPU tidak berlaku terhadap :
1) Tagihan kreditor separatis
2) Tagihan biaya pemeliharaan, pengawasan atau pendidikan (jumlahnya
ditentukan oleh Hakim Pengawas) yang sudah ada dan belum dibayar sebelum
PKPU dan tagihan tersebut bukan tagihan kreditor preferent.
3) Tagihan kreditor preferent tertentu. 185
Penangguhan pelaksanaan hak kreditor preferent dan kreditor sparatis
berlaku selama berlangsungnya PKPU. 186 PKPU dapat diakhiri atas permintaan
Hakim Pengawas, satu atau lebih kreditor, atau atas prakarsa Pengadilan Niaga
dalam hal :
1) Debitor selama waktu PKPU bertindak beritikad buruk dalam melakukan
pengurusan terhadap hartanya.
2) Debitor telah merugikan atau mencoba merugikan kreditornya
182
Pasal 238 ayat (1) UU No. 37 Th. 2004
Pasal 229 UU No. 37 Th. 2004
184
Pasal 260 UU No. 37 Th. 2004
185
Pasal 244 UU No. 37 Th. 2004
186
Pasal 246 UU No. 37 Th. 2004
183
3) Debitor
tanpa
persetujuan
Pengurus
melakukan
tindakan-tindakan
kepengurusan atau kepemilikan atas harta-hartanya
4) Debitor lalai melaksanakan kwajiban-kewajibannya yang ditetapkan oleh
Pengadilan Niaga atau disyaratkan oleh pengurus
5) Selama waktu PKPU keadaan harta debitor tidak memungkinkan lagi
dilanjutkan PKPU
6) Keadaan debitor tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kewajibannya
terhadap kreditor pada waktunya. 187
Debitor setiap waktu dapat memohon kepada Pengadilan Niaga agar
PKPU dicabut dengan alasan harta debitor memungkinkan dimulainya
pembayaran kembali, dan pengurus dan kreditor perlu didengar pendapatnya
sebelum putusan diucapkan. 188
Debitor dalam mengajukan permohonan PKPU dapat menawarkan suatu
perdamaian atau menawarkan setelah pengajuan PKPU kepada kreditor.189
Sebelum putusan pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan hukum tetap dan
ada putusan Pengadilan Niaga yang menyatakan PKPU berakhir, maka gugurlah
rencana perdamaian tersebut. 190
Rencana perdamaian dapat diterima berdasarkan :
1) Persetujuan lebih dari separuh jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui
atau sementara diakui yang hadir pada rapat kreditor yang bersama-sama
mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang
187
Pasal 255 ayat (1) UU No. 37 Th. 2004
Pasal 259 UU No. 37 Th. 2004
189
Pasal 265 UU No. 37 Th. 2004
190
Pasal 267 UU No. 37 Th. 2004
188
diakui atau sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir,
dan
2) Persetujuan lebih dari ½ (setengah) jumlah kreditor separatis yang hadir
mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan dari
kreditor separatis atau kuasanya yang hadir. 191
Pengadilan Niaga wajib menolak pengesahan perdamaian jika :
1) Harta debitor jauh lebih besar dari pada jumlah kreditor yang disetujui dalam
perdamaian.
2) Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin
3) Perdamaian dicapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan kreditor
atau upaya lain yang tidak jujur, dan atau
4) Imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum
dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayarannya. 192
Perdamaian yang telah disahkan (homologasi), mengikat semua kreditor,
kecuali kreditor separatis yang tidak menyetujui rencana perdamaian diberikan
kompensasi sebesar nilai terendah diantara nilai jaminan atau nilai aktual
pinjaman yang secara langsung dijamin dengan hak agunan atas kebendaan.193
Apabila Pengadilan Niaga menolak pengesahan perdamaian, maka dalam putusan
itu juga Pengadilan Niaga wajib menyatakan debitor pailit. 194 Tapi bila
Pengadilan Niaga telah mengesahkan perdamaian melalui putusannya dan
191
Pasal 281 ayat (1) UU No. 37 Th. 2004
Pasal 285 ayat (2) UU No. 37 Th. 2004
193
Pasal 286 jo, 281 ayat (2) UU No. 37 Th. 2004
194
Pasal 285 ayat (3) UU No. 37 Th. 2004
192
putusan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap pada saat itu juga
berakhirlah PKPU. 195
Terhadap putusan Pengadilan Niaga tentang PKPU dan perdamaian tidak
terbuka upaya hukum, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang, misalnya
upaya hukum kasasi dapat diajukan oleh Jaksa Agung demi kepentingan
umum. 196
Dalam menentukan jumlah hak suara kreditor ( voting ) dalam mengambil
keputusan dalam rapat kreditor, maka pemerintah telah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 tahun 2005 tanggal 18 -3-2005 tentang perhitungan jumlah
Hak suara kreditor sebagai pengganti dari PP Nomor 20 Tahun 1998, yang
menetapkan bahwa setiap kreditor berhak atas sedikitnya 1 (satu) suara dalam
rapat kreditor. Jumlah hak suara berdasarkan jumlah piutang kreditor dengan
perincian sebagai berikut :
1) Setiap kreditor yang mempunyai jumlah piutang sampai dengan Rp
10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) berhak mengeluarkan 1 (satu) suara.
2) Dalam hal kreditor mempunyai piutang lebih dari Rp 10.000.000,- (sepuluh
juta rupiah) maka untuk setiap kelipatan Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)
berhak memperoleh 1 (satu) suara tambahan.
3) Dalam hal terdapat sisa dari kelipatan Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah),
apabila sisa tersebt Rp 5.000.000,- atau lebih diperhitungkan mendapat 1
(satu) suara, dan apabila sisa tersebut kurang dari Rp 5.000.000,- (lima juta
rupiah) tidak diperhitungkan mendapat suara tambahan.
195
196
Pasal 288 UU No. 37 Th. 2004
Pasal 293 jo. 235 UU No. 37 Th. 2004
B. DI LUAR PENGADILAN (OUT-COURT)
1. Menggunakan ADR (Alternative Dispute Resolution)
Alternative Dispute Resolution dalam bahasa Indonesia dikenal dengan
bebarapa istilah seperti : Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS), Mekanisme
Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS) dan Penyelesaian Sengketa Alternatif
(PSA).
ADR dapat diartikan dalam 2 (dua) hal :
a. Alternative to Litigation : seluruh mekanisme penyelesaian sengketa di luar
pengadilan termasuk arbitase merupakan bagian ADR.
b. Alternative to Adjudication : yang termasuk ADR hanyalah negosiasi, mediasi
dan konsiliasi yakni mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat
konsensus atau kooperatif.
Penggunaan istilah ADR tersebut adalah untuk mengelompokkan proses
negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase.
Di Indonesia penggunaan ADR tersebut adalah termasuk dalam pengertian
Alternative to Adjudication, hal ini dapat dilihat dari judul Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 yaitu : Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Jadi jelas yang dimaksud dengan ADR itu dalam Undang-Undang tersebut adalah
penyelesaian di luar Adjudication (out of court), sedang Arbitase termasuk dalam
kelompok adjudikasi bersama-sama dengan litigasi. Dalam penjelasan UndangUndang Nomor 30 tahun 1999 disebutkan bahwa Alternatif Penyelesaian
Sengketa (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat
melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar
pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian
ahli.
Dalam perkembangan selanjutnya istilah ADR memberi kesan bahwa
pengembangan mekanisme penyelesian sengketa secara konsensus hanya dapat
dilakukan di luar pengadilan (out of court), sedang saat ini sudah diterapkan
mediasi di pengadilan sebagai annexed court berdasarkan PERMA Nomor 2
Tahun 2003.
Hadimulyo memperkenalkan Strategi Penyelesaian Sengketa terdiri dari :
konsiliasi, fasilitasi, negosiasi dan mediasi ditambah dengan pengalaman di
bidang birokrasi yakni konsultasi dan koordinasi, sedang fasilitasi adalah bantuan
pihak ketiga untuk menghasilkan suatu pertemuan atau perundingan yang
produktif. 197
Beberapa bentuk PSA yang penting diuraikan sebagai berikut :
a. Negosiasi
Negosiasi merupakan salah satu bentuk PSA dimana para pihak yang
bersengketa melakukan perundingan secara langsung (ada kalanya didampingi
pengacaranya masing-masing) untuk mencari penyelesaian sengketa yang sedang
mereka hadapi ke arah kesepakatan bersama (konsensus) atas dasar win-win
solution. Negosiasi dapat diwujudkan dalam bentuk komunikasi dua arah yang
dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki
berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. 198 Secara umum
197
Hadimulyo, Mempertimbangkan ADR, Kajian Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar
Pengadilan, (Jakarta : ELSAM, 1997), h. 31-32.
198
Suyud Margono, op.cit. h. 49
negosiasi dapat diartikan sebagai suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak
tanpa melalui proses peradilan dengan tujuan tercapai kesepakatan bersama atas
dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif. 199 Pengertian sehari-hari dari
negosiasi adalah berunding atau bermusyawarah, asal katanya adalah negotiation
yang berarti perundingan, sedang yang mengadakan perundingan disebut
negotiator. Manusia selalu melakukan negosiasi dalam kehidupannya sehari-hari
baik dalam kehidupan bisnis, pribadi, keluarga, pergaulan, mitra kerja, majikan,
karyawan, teman bahkan dengan lawan sengketa. Bila seorang pelaku bisnis,
pengacara hendak melakukan negosiasi akan diperhadapkan dengan kegiatan
besar, sehingga perlu mempersiapkan diri tentang apa yang harus dilakukannya
sewaktu melakukan negosiasi agar berjalan dengan baik. Melakukan negosiasi
haruslah menggunakan strategi agar dapat dijalankan sebaik mungkin untuk
mencapai hasil yang saling menguntungkan.
Gery Goodpaster mengemukakan strategi negosiasi sebagai berikut: 200
1) Bersaing (kompetitif) : strategi negosiasi dengan tawar menawar secara
kompetitif juga disebut hard bargaining (tawar menawar bersikeras),
distributive, positional, zero sum bargaining (menang dalam tawar menawar
sebesar kekalahan pihak lawan) atau win lose bargaining (tawar menawar
menang kalah). Maksud negosiasi bersaing ini adalah memperoleh
keuntungan maksimal yang diperoleh pelaku tawar menawar kompetitif
terhadap
199
siapa
dilakukan
negosiasi.
Secara
sederhana
strategi
Jony Emirson, Hukum Bisnis Indonesia, (Jakarta : Proyek Peningkatan Penelitian
Pendidikan Tinggi, Dirjendikti DepPenNas, PT. Prehalindo, 2002), h. 494.
200
Gary Goodpaster, Seri Dasar Hukum Ekonomi 9, Panduan Negosiasi dan Mediasi,
terjemahan Nogar Simanjuntak, (Jakarta : ELIPS, 1999), h. 22-25
ini
mengutamakan keuntungan langsung tanpa memikirkan hubungan antara
pihak-pihak bernegosiasi.
2) Berkompromi : strategi dengan tawar menawar kompromi kooperatif atau
juga disebut soft bargaining (tawar menawar lunak) atau win some lose some
(tawar menawar memberi dan menerima). Pelaku negosiasi kompromi ini
berpedoman pada pendapat bahwa mereka harus memberi ganti rugi atas
beberapa yang mereka inginkan agar setidaknya mendapat sesuatu, dengan
perkataan lain mereka tidak hanya peduli atas keuntungan yang mereka
terima, tetapi juga keuntungan yang didapat pihak lawan dengan siapa mereka
berurusan. Dalam jenis negosiasi ini, negosiator tidak mendapat semua yang
diinginkan, tetapi hanya sebagian daripadanya.
3) Berkolaborasi atau menyelesaikan masalah : strategi negosiasi ini dilakukan
dengan kolaborasi atau bekerja sama dengan pihak lain untuk kepentingan
atau tujuan semua pihak. Tawar menawar ini disebut juga tawar menawar
integratif atau tawar menawar penyelesaian masalah. Kadang-kadang juga
dinamai tawar menawar kepentingan atau tawar menawar positive sum atau
win-win. Dalam tawar menawar ini para pihak bertujuan memenuhi
kepentingan mereka sendiri seperti juga kepentingan pihak pelaku mitra
tanding negosiasinya. Para negosiator mengusahakan keuntungan maksimal
mereka sendiri dan keuntungan bagi pihak mitra tandingnya. Untuk ini
mereka sebagai para pihak harus berkolaborasi guna menyelesaikan problem
dari penentuan tindakan bersama apa yang dapat mereka lakukan guna
memenuhi kepentingan masing-masing.
Tidak ada yang dapat memaksakan seorang negosiator harus memilih
salah satu strategi negosiasi yang telah dikemukakan, kecuali mungkin budaya
setempat, adat istiadat, kebiasaan pelaksanaan dalam bidang tertentu, atau tempat
negosiasi yang mengharuskan para pihak negosiator untuk melakukan negosiasi
dalam salah satu cara tertentu. Keadaan, harapan dan masalah serta kepribadian
para pihak, kepentingan para pihak dan masalah yang timbul di antara mereka dan
pengetahuan para pihak mengenai metode tawar menawar sangat memungkinkan
membentuk pilihan mereka atas strategi negosiasi yang cocok bagi mereka yang
sejalan dengan strategi bentuk dasar yang yang telah disebutkan atau gabungan
(kombinasi dari keduanya).
Ada 7 (tujuh) prinsip umum negosiasi yang harus dilaksanakan, yaitu : 201
1) Negosiasi melibatkan dua pihak atau lebih
2) Pihak-pihak itu harus membutuhkan ketertiban satu sama lain dalam mencapai
hasil yang diinginkan bersama.
3) Pihak-pihak yang bersangkutan setidak-tidaknya pada awalnya menganggap
negosiasi sebagai cara yang lebih memuaskan untuk menyelesaikan sengketa
dibandingkan dengan metode-metode yang lain.
4) Masing-masing pihak harus beranggapan bahwa ada kemungkinan untuk
membujuk pihak lain untuk memodifikasi posisi awal mereka.
5) Setiap pihak harus mempunyai harapan akan sebuah hasil akhir yang mereka
terima dan suatu konsep tentang seperti apa hasil akhir itu.
6) Masing-masing pihak harus mempunyai suatu tingkat kuasa atas kemampuan
pihak lain untuk bertindak.
201
Alan Fowler, dikutip oleh Runtung Sitepu dalam Modul Penyelesaian Sengketa
Alternatif, (Medan : PPS USU, 2003), h. 5
7) Proses negosiasi itu sendiri pada dasarnya merupakan salah satu interaksi di
antara orang-orang, terutama antara komunikasi lisan yang langsung,
walaupun kadang-kadang dengan elemen tertulis.
b. Mediasi
Mediasi adalah proses untuk menyelesaikan sengketa dengan bantuan
pihak ketiga yang netral. Peranan pihak netral tersebut adalah untuk membantu
para pihak untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang dipersengketakan
dengan membangun suatu proposal yang diharapkan dapat menyelesaikan
sengketa tersebut. Mediator tidak berwenang untuk memutus sengketa yang
ditanganinya, hanya dapat mengikuti pertemuan-pertemuan rahasia bersama
pihak-pihak yang bersengketa.
Dengan demikian mediasi adalah bantuan dari pihak ketiga dalam suatu
proses negosiasi, namun pihak ketiga (mediator) tersebut tidak ikut serta
mengambil keputusan. 202 Mediasi merupakan proses negosiasi penyelesaian
masalah dimana satu pihak luar, tidak berpihak, netral tidak bekerja bersama para
pihak yang bersengketa untuk membantu mereka guna mencapai suatu
kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan. 203
Dari rumusan atau definisi yang dikemukakan oleh beberapa sarjana,
dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian mediasi mengandung unsur-unsur
sebagai berikut :
1) Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan
perundingan
2) Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam
perundingan
202
203
Hadimulyo, op.cit. hal. 35
Gary Goodpaster, op.cit. h. 241
3) Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari
penyelesaian
4) Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama
perundingan berlangsung
5) Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan
yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri
sengketa. 204
Peran mediator ini sangat tergantung kepada kebutuhan para pihak untuk
menyelesaikan sengketa, peran itu bisa dari yang paling ringan hingga yang
paling berat sesuai kebutuhan dari sengketa itu sesuai dengan kemauan para
pihak. Peran dan kegiatan mediator dapat dilihat sebagai jenis terapis negosiasi.
Terapis artinya menganalisis dan mendiagnosis suatu sengketa dan kemudian
menyusun acara yang memungkinkan intervensi lain dengan tujuan mencapai
suatu kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak.
Peran penting mediator adalah :
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
Melakukan diagnosa konflik
Identifikasi masalah serta kepentingan-kepentingan kritis
Menyusun agenda
Memperlancar dan mengendalikan komunikasi
Mengajar para pihak dalam proses dan ketrampilan tawar menawar
Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting
Penyelesaian masalah untuk menciptakan pilihan-pilihan
Diagnosa sengketa untuk memudahkan penyelesaian problem. 205
Bilamana menurut mediator diperlukan bertemu dengan salah satu pihak
untuk membicarakan sesuatu tanpa disertai pihak lainnya, maka mediator
membuat pertemuan dalam bilik kecil (caucusing). Caucusing adalah melakukan
pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak, dimana mediator memanggil
para pihak satu per satu di dalam kamar tersendiri (dimungkinkan memanipulasi
204
205
Suyud Margono, op.cit. h. 253
Gary Goodpaster, op.cit. h. 253
situasi dalam pembicaraan) demi untuk tercapainya tujuan perdamaian. 206
Berbagai taktik dapat dilakukan oleh mediator untuk tercapainya tujuan
perdamaian antara kedua belah pihak karena taktik itu merupakan salah satu
komponen dari strategi yang harus dilaksanakan oleh seorang mediator, tactics
should not be confused with strategy or your overall plan of approach to a
negotiation. Rather, negotiation tactics are component of your strategy. 207 Bila
dalam situasi yang tidak menguntungkan bagi seorang negosiator dapat
memanipulasi situasi itu dalam perundingan, if situational factors are working
against you, it will be important before the negotiations begin to manipulate
them. 208
Hal memanipulasi situasi ini juga perlu dimaklumi oleh mediator agar
dalam melakukan caucusing bila menemukan situasi yang tidak menguntungkan
bagi salah satu pihak dapat dieliminasi oleh mediator demi tercapainya
perdamaian antara pihak-pihak yang bersengketa.
c. Konsiliasi
Konsiliasi juga merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa bisnis.
Konsiliasi dapat diartikan sebagai upaya membawa pihak-pihak yang bersengketa
untuk menyelesaikan permasalahan antara kedua belah pihak secara negosiasi.
Dalam kamus Bahasa Indonesia, konsiliasi diartikan usaha mempertemukan
keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan
perselisihan itu. Menurut Oppenhaim, konsiliasi adalah proses penyelesaian
sengketa dengan menyerahkan kepada suatu komisi orang-orang yang bertugas
206
Runtung Sitepu, Bahan Kuliah ADR, PPS S3 USU, Tanggal 12 September 2003.
Leo Hawkins et. al, The Legal Negotiator, A Handbook for Managing Legal
Negotiations more effectively, (Melbourne : Longman Profesional, 1991), h. 131.
208
John L. Graham et.al, Smart Bargaining Doing Business With The Japanese,
(Cambridge : Ballinger Publishing Company, 1984), h. 57
207
untuk menguraikan atau menjelaskan fakta-fakta dan setelah mendengar para
pihak dan mengupayakan agar mereka mencapai suatu kesepakatan, membuat
usulan-usulan untuk suatu penyelesaian, namun keputusan tersebut tidak
mengikat. 209
Pada mulanya konsiliasi timbul dalam penyelesaian sengketa internasional
diatur dalam perjanjian antara Swedia dan Chili pada tahun 1920. Kemudian pada
tahun 1922, konsiliasi dan arbitase ditetapkan sebagai alternatif penyelesaian
sengketa dalam suatu perjanjian yang dibuat antara Jerman dan Swiss. Konsiliasi
di Amerika Serikat merupakan tahap awal dari proses mediasi, dengan acuan
penerapan: apabila terhadap seseorang diajukan proses mediasi, dan tuntutan yang
diajukan climant dapat diterimanya dalam kedudukannya sebagai respondent.
Dalam tahap yang demikian telah diperoleh penyelesaian tanpa melanjutkan
sengketa, karena pihak respondent dengan kemauan baik (goodwill) bersedia
menerima apa yang dikemukakan oleh climant. Cara penyelesaian dengan
goodwill demikian ini disebut konsiliasi winning over by goodwill. 210
Biasanya alasan respondent mau memenuhi tuntutan secara itikad baik
(goodwill) adalah karena :
1. Dia sendiri mengerti dan menyadari sejauh mana seriusnya persoalan yang
disengketakan, sehingga dianggapnya layak untuk memenuhi permintaan.
209
Oppenheim, dikutip oleh Huala Adolf et. al., Masalah-Masalah Hukum dan
Perdagangan Internasional, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994), h. 186.
210
Lihat, Joni Emirzon, Hukum Bisnis Indonesia, Proyek Peningkatan Penelitian
Pendidikan Tinggi, Dirjendikti, Depennas, 2002.
2. Tidak ingin permasalahan ini dicampuri pihak ketiga, dengan pengharapan
penyelesaian akan lebih baik tercapai antara kedua belah pihak. 211
d.
Penyelesaian utang Perusahaan APP dengan Negosiasi
Penyelesaian utang APP dengan negoisasi ini adalah salah satu
penyelesaian utang piutang diluar kepailitan. Utang ini disepakati akan
diselesaikan oleh APP dengan para kreditornya dengan menandatangani MRA.
MRA tersebut dimungkinkan untuk dimintakan pengesahannya ke Pengadilan
Niaga agar pelaksanaannya dapat diawali oleh Pengadilan. Asia Pulp & Paper
(APP) merupakan suatu kelompok usaha yang berpusat di Singapura sedangkan
perusahaan operasionalnya (operating company) berada di Indonesia dan China.
APP Indonesia terdiri dari beberapa perusahaan yaitu PT. Tjiwi Kimia Tbk, PT.
Indah Kiat Tbk, PT. Lontar Papyrus dan PT. Pindo Deli dan sebagai induk
perusahaan adalah Purinusa. Sinar Mas Group (SMG) adalah sebagai pemegang
saham mayoritas dan pemiliknya adalah keluarga Eka Tjipta Widjaya.
Pada tanggal 12 Maret 2001, APP secara unilateral (sepihak) telah
menyatakan ketidakmampuannya membayar kembali utang-utangnya atau
declaration of default yang bernilai total 13,9 milyard dollar AS, sedang utang
APP Indonesia berjumlah 6,7 milyard dollar AS dan sisanya sebesar 7,2 milyard
dollar AS merupakan utang APP China. 212 Dari penandatanganan “Term Sheet
Agreement”, diperlihatkan posisi utang APP sebagai debitor kepada kreditornya
sebagai berikut: 213
211
M. Yahya Harahap et.al., Laporan Akhir Penelitian Hukum Tentang ADR, BPHN,
DepKeh. RI, 1995/1996, h. 52
212
Harian Kompas 14-3-2003, judul “IMF : Restrukturisasi APP Transaksi Komersil”
213
Harian Republika 11-6-2003, judul “Baru 40 Persen Kreditur Setujui Restrukturisasi
APP”
1.
BPPN sebagai warisan dari piutang BII (Bank Internasional Indonesia) yang
dialihkan pada tanggal 11 Nopember 2001 ke BPPN setelah Pemerintah
menguasai BII akibat rekapitulasi, mempunyai piutang sebesar 1,1 milyard
dollar AS (15,2%).
2.
Export Credit Agency (ECA), kreditor asing terdiri dari 9 (sembilan) negara
yakni: Australia, Kanada, Denmark, Finlandia, Prancis, Jerman, Italia,
Spanyol dan Swedia yang diwakili oleh Ferier Hudgson, mempunyai piutang
sebesar 960 juta dollar AS (14,1%).
3.
Nippon Export & Investment Insurance (Nexi) Jepang yang diwakili oleh
Eiichi Isozaki dan Trading Company Jepang lainnya yaitu Misho Iwai &
Mitsubishi seluruhnya ditaksir sebesar 8,3%.
4.
Pemegang obligasi sebesar 230 juta dollar AS dan Perbankan seluruhnya
ditaksir sebesar 62,4%
Proses negosiasi antara BPPN, kreditor asing (ECA) serta management
APP terancam buntu dengan adanya surat dari para duta besar negara-negara asal
kreditor asing (ECA) kepada Presiden RI agar Pemerintah (Menteri) mengawasi
BPPN dalam proses negosiasi restrukturisasi utang APP, kemudian setelah
diadakan pertemuan BPPN dengan 11 (sebelas) duta besar kreditor asing telah
disepakati penyelesaian utang APP dilakukan secara komersil. Restrukturisasi
utang merupakan suatu upaya penyelesaian kewajiban yang muncul akibat
ketidakmampuan debitor membayar utang kepada kreditornya baik itu merupakan
suatu lembaga keuangan bank maupun non bank. “Utang APP merupakan
masalah penyelesaian utang swasta, oleh karena itu peranan peranan pemerintah
asing melalui porsi kreditor tidak mayoritas, dengan demikian tidak dapat
menyelesaikan utang ini melalui pendekatan pemerintah dengan pemerintah (G to
G). 214
Selanjutnya antara BPPN dengan ECA telah ditandatangani nota
kesepahaman (MoU) pada tanggal 15 Juni 2002 yang pada dasarnya disepakati
penyelesaian utang APP dilakukan secara bersama dan konsensus dan tidak lagi
secara bilateral antara satu kreditor dengan debitor. Kesepakatan tersebut juga
menghasilkan point-point penting lainnya yaitu :
1. Segera membentuk escrow account (rekening penampung) untuk mengontrol
kas hasil produksi 4 (empat) perusahaan operasional di Indonesia.
2. Management Augmentation (peningkatan managemen) APP
3. Konsep dasar Restrukturisasi yang disepakati untuk dicapai sebelum tanggal
30 September 2002. 215
Sebelum rancangan skim Restrukturisasi APP disusun sudah diberi
kesempatan dalam tahap-tahap seperti berikut ini :
1.
Remedy Period selama 3 (tiga) sampai 12 (dua belas) bulan, sebagai masa
perbaikan kinerja managemen APP.
2.
Penggunaan hak suara (voting right) sebesar 75 persen dari para kreditor.
3.
Extension, perpanjangan waktu selama 180 (seratus delapan puluh) hari juga
untuk masa perbaikan kinerja perusahaan.
Setelah APP menyatakan gagal bayar declaration of default dan untuk itu telah
pula diberikan kesempatan perbaikan dan ternyata telah benar-benar default
(cidera janji), maka dengan demikian kreditor berhak menggunakan haknya untuk
melakukan : debt to equity swap (konversi utang menjadi ekuitas) atau eksekusi
jaminan atau mengajukan pailit di pengadilan (Bankruptcy). Khusus untuk
214
Raymond Van Beekum, Kepala Divisi Komunikasi BPPN, Harian Kompas 31-3-2003,
Judul Perkembangan Restrukturisasi APP.
215
Ibid
bangkrut (pailit) tidak ada voting right-nya, setiap saat BPPN dan kreditor lain
bisa membangkrutkan APP karena dari tiga tahapan yang diberikan tidak
dipenuhinya sehingga dinilai tidak ada itikad baik. 216
Pada tanggal 15 September 2002 BPPN telah menunjuk perwakilannya
yang bertindak sebagai financial controller untuk mengamankan posisi seluruh
kreditor serta langkah awal kesepakatan dengan ECA dalam rangka management
augmentation. Dan selanjutnya pada tanggal 25 September 2002 BPPN
berinisiatif
sendiri
menandatangani
escrow
account
agrrement
untuk
mempercepat proses pengamanan, sedang penggunaan dana tetap harus dengan
persetujuan BPPN dan ECA.
Pada tanggal 28 September 2002 di Denpasar Bali telah ditandatangani
Bali Accord I, rapat dipimpin oleh Kepala BPPN yang dihadiri oleh Pemegang
saham APP, Komite Pengarah (Steering Committee) dan telah diperoleh sebagai
hasil negosiasi sebagai berikut :
1. Sustainable debt, APP minta sebesar 2,4 milyard dollar AS, sedang BPPN dan
ECA mengajukan angka 5,28 milyard dollar As, hasil negosiasi disetujui
sebesar 4,2 milyard dollar AS.
2. Earning Before Interest, Tax, Depreciation and Amortization (EBITDA)
yakni pendapatan sebelum memperhitungkan biaya bunga, pajak, penyusutan
dan pelunasan, APP mengajukan 500 juta dollar AS, sedang BPPN
mengajukan 1,1 milyard dollar AS, disepakati sebesar 750 juta dollar AS.
216
Mohammad Syahrial, Deputi Kepala BPPN bidang AMC, Harian Kompas 1-5-2003,
judul: “APP minta waktu sebelum pailit”.
3. Perlakuan terhadap bunga tertunggak, kreditor meminta bunga ditagih
seluruhnya, tetapi APP bersikeras dihapuskan 100 persen, disepakati bunga
tertunggak ditagih seluruhnya setelah dilakukan rekalkulasi.
Pada tanggal 31 Oktober 2002 pada pertemuan Singapore Meeting
disepakati mengenai mekanisme debt buy back (membeli kembali utang) yakni
dengan ketentuan :
1. Mekanismenya tergantung dari tersedianya dana yang dimiliki APP Indonesia
2. Harus mendapatkan persetujuan kreditor lebih dahulu untuk menentukan
pelaksanaannya.
3. Perundingan dipimpin oleh pihak yang independen
4. Harga maksimal ditentukan oleh pihak komite kreditor
5. Penentuan penggunaan dana selanjutnya jika debt buy back mengalami
kegagalan.
Pada tanggal 24 Nopember 2002 dalam pertemuan Bali Accord II
disepakati beberapa item lain dari sebelumnya yaitu : Account payable, Publik
Interest Debt (utang publik), Family debt (utang keluarga), Non care assets (aset
non inti), Treatment of differed monthly cash (ketentuan pembayaran kas
bulanan), Inter company debt (utang antar perusahaan), Asuransi, Biaya
konsultan, Perundang-undangan dan Management fee (biaya pengelolaan).
Pada tanggal 18 Desember 2002 di Bali telah ditandatangani Settlement
Agrrement yang menentukan skema Global Restrukturisasi yang terdiri dari 2
(dua) item yaitu :
1. Financial Terms
2. Non Financial Terms
Skema global ini tidak mendapat persetujuan dari ECA, karena sebelumnya
kreditor asing itu mengajukan usul agar dibentuk :
1. APP Trading, untuk mengendalikan arus kas (cash flow) yang akan dipimpin
oleh eksekutif Indonesia dengan tugas melaksanakan/menjalankan perusahaan
operasional APP untuk mengelola berbagai kontrak jual beli dan penentuan
harga sehingga akan tercapai efisiensi yang menguntungkan para kreditor
termasuk BPPN.
2. Share in Trust (equity in trust) sebagai perusahaan perwalian yang menerima
pengalihan kepemilikan saham perusahaan APP untuk menghindari terjadinya
wanprestasi untuk kedua kalinya.
Kedua usul tersebut telah ditolak oleh BPPN dan oleh karena itu kreditor asing
ECA tidak ikut menandatangani Settlement Agrrement tersebut. Mekanisme
default merupakan salah satu hal yang sebelumnya disepakati sebagai alternatif
pengganti dari konsep APP Trading dan Share in Trust. Mekanisme default
disepakati bila hingga batas waktu perbaikan kinerja (Remedy Period) selama 3
(tiga) hingga 12 (dua belas) bulan APP belum juga bisa membayar utangnya,
maka diperbolehkan dilakukan voting untuk mempailitkan APP dan berpegang
pada Settlement Agrrement tanggal 18 Desember 2002 dimana presentase yang
sudah diajukan adalah 75 persen sebagai kompromi, sedang ECA minta 25 persen
vooting right (penggunaan hak suara) dari hak suara seluruh kreditor yang hadir.
Setelah bebarapa kali pertemuan negosiasi antar para kreditor dan APP
(debitor) telah dapat dirampungkan Master Restructuring Agrrement (MRA) yang
legal 98 (sembilan puluh delapan) item (85%) redaksional telah selesai pada
tanggal 11 Juli 2003 tapi penandatanganannya selalu tertunda-tunda baik oleh
karena belum sepakat tentang voting right 30 atau 40 persen atau mencapai 67
persen atau harus 75 persen sebagaimana disebut dalam Settlement Agrrement.
Penundaan ini juga disebabkan alasan kreditor asing belum selesai minta
persetujuan
kantor
pusatnya
masing-masing.
Walaupun
MRA
telah
ditandatangani, perjanjian tersebut tidak serta merta efektif karena harus
menunggu penyesuaian aturan dari pengawas pasar modal di negara masingmasing kreditor, setelah itu barulah MRA ini efektif dan APP mulai membayar
utang-utangnya.
Akhirnya pada tanggal 30 Oktober 2003 MRA APP telah ditandatangani
di Jakarta oleh APP sebagai debitor dan para kreditornya yakni BPPN, ECA,
Perusahaan Dagang Jepang, dan hanya mewakili 35-40 persen utang APP senilai
6,7 milyard dollar AS dan tidak lagi memakai persyaratan 75 persen. Total utang
APP tersebut dibagi menjadi 3 (tiga) tranche sebagai berikut :
1) Tranche A (Sustainable Debt) sebagai utang yang dapat dibayar sebesar 1,2
milyard dollar AS, diselesaikan dalam jangka waktu 10 tahun, tingkat suku
bunga Singapore Interbank Offered Rate (SIBOR) plus 1-3 persen.
2) Tranche B (Refinanceable Debt), utang yang dapat dibiayai kembali sebesar 3
milyard dollar AS, dibayar pada tahun kesepuluh (tenor 10 tahun) dengan
suku bunga SIBOR plus 1-3 persen.
3) Tranche C (Unsustainable Debt), utang yang sulit dibayar sebesar 2 milyard
dollar AS. 217
217
Harian Kompas 14-4-2003, judul “Kreditor APP bahas skema gagal bayar”
MRA ini efektif penuh berlaku pada tanggal 30 Januari 2005. MRA ini
dimungkinkan dimintakan pengesahannya ke Pengadilan Niaga untuk menjamin
pelaksanaannya.
2. Menggunakan Jasa Mediator “Prakarsa Jakarta”
Prakarsa Jakarta adalah lembaga khusus (ad hoc) yang dibentuk
pemerintah pada bulan Nopember 1998 sebagai mediator maupun fasilitator
penyelesaian utang piutang swasta di luar pengadilan setelah terjadi krisis
moneter di Indoneisa. Pendirian Prakarsa Jakarta didukung oleh IMF dan Bank
Dunia (World Bank) dan merupakan salah satu syarat dari IMF untuk
mempercepat restrukturisasi utang piutang pasca krisis. Di lain pihak mediasi ini
merupakan perwujudan tuntutan masyarakat sebagai alternatif penyelesaian
sengketa yang lebih cepat dan efisien.
Pada awal didirikannya Prakarsa Jakarta ini terkesan lambat dalam
menjalankan fungsinya sebagai perantara perusahaan-perusahaan swasta yang
hendak merestrukturisasi utangnya, tetapi sejak awal tahun 2000 yang lalu
Prakarsa Jakarta telah menerapkan sistem insentif dan sanksi agar debitur dan
kreditur lebih kooperatif dalam menyelesaikan utang piutangnya dengan bantuan
mediator ini. Insentif yang diberikan kepada perusahaan yang kooperatif antara
lain adalah kemudahan di bidang perpajakan, pasar modal dan peraturanperaturan perbankan, sedang sanksi yang diberikan kepada perusahaan yang tidak
kooperatif antara lain adalah rekomendasi kepada Komite Kebijakan Sektor
Keuangan (KKSK), dimana KKSK selanjutnya dapat memberikan tindakan lebih
jauh hingga meminta kepada Kejaksaan Agung agar perusahaan tersebut
dimohonkan dinyatakan pailit.
Salah satu bentuk kerjasama antara Prakarsa Jakarta dengan Bursa Efek
Jakarta adalah mendukung perusahaan yang sedang merestrukturisasi utangnya
melalui Prakarsa Jakarta untuk melakukan penawaran saham perdana “Initial
Publik Offering” (IPO) di bursa tersebut. Upaya IPO ini merupakan salah satu
alternatif skema untuk lebih mendorong perusahaan mempercepat restrukturisasi
utangnya. “Hasil study independen menunjukkan bahwa ada peningkatan
kebutuhan jasa mediasi dari para investor karena para investor telah
mengindikasikan ketiadaan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif akan
berdampak negatif pada kegiatan investasi.” 218
Prakarsa Jakarta dalam kegiatannya melingkupi beberapa unsur sebagai
berikut :
a. Adoption of principles
b. The Jakarta Initiative Task Force
c. Regulatory Changes
d. Corporate Restructuring Advisory Commitee and Public participation. 219
Adoption of principles atau pemakaian prinsip-prinsip dalam Prakasa
Jakarta dimaksud untuk menyelesaikan utang piutang dengan berpedoman pada
strategi-strategi negosiasi, sehingga tidak mengikat secara hukum dan mempunyai
tahapan-tahapan kunci sebagai berikut :
1) Para kreditor mengangkat atau membentuk satu panitia kreditor untuk
mewakili kepentingan para kreditor. Panitia ini dapat mengangkat seorang
ketua dan dilengkapi dengan penasehat di bidang hukum dan bidang keuangan
218
Denaldy Mauna (Staf Manager Kasus STPJ), “Prakarsa Jakarta selesaikan 70 persen
Restrukturisasi Utang,” Harian Kompas 28-11-2003.
219
Jerry Hoff, Indonesian Bankruptcy Law, editor Gregory J. Churchill, (Jakarta : PT
Tatanusa, 1999), h.202.
yang berpengalaman di bidang restrukturisasi perusahaan dan restrukturisasi
utang. Para wakil debitor dan wakil kreditor harus terdiri dari managermanager senior yang profesional untuk berpartisipasi dalam restrukturisasi
perusahaan dan utang.
2) Biaya-biaya melaksanakan perundingan-perundingan harus ditanggung oleh
debitor,kecuali ditentukan lain. Bila perlu suatu rekening “escrow” dibuka
khusus untuk tujuan pembiayaan tersebut.
3) Para kreditor harus menyetujui suatu masa standstill atau penangguhan selama
waktu tertentu, dimana penangguhan itu harus dihubungkan dengan apa yang
dapat dan tidak dapat dilakukan oleh masing-masing debitor dan para kreditor
selama waktu itu, dan ada akses untuk mendapatkan informasi selama masa
penangguhan tersebut. Para kreditor dapat memberikan modal kerja baru yang
diperlukan debitor selama penangguhan atau mensubordinasikan/mengalihkan
tuntutan-tuntutan mereka kepada yang bersedia memberikan modal dan untuk
itu diperlukan suatu perjanjian antar kreditor. Periode ini tentu adalah
merupakan kunci utama dalam rangka stabilisasi karena pada masa
penangguhan ini keadaan perusahaan diamati dengan seksama sehingga
pilihan-pilihan yang tepat dapat dilakukan.
4) Setelah para anggota panitia kreditor dan para penasehat yang diangkatnya
telah menanda tangani perjanjian-perjanjian rahasia, maka selanjutnya
penelitian atau pemeriksaan menyeluruh (due diligence) dapat dilakukan.
Debitor harus menyerahkan informasi terbaru mengenai keuangan kepada
panitia dan penasehatnya. Keputusan tentang masa depan perusahaan debitor
tergantung pada informasi yang lengkap.
5) Di samping pengungkapan keadaan perusahaan, diperlukan laporan akuntan
untuk memberikan informasi kepada para kreditor tentang kinerja perusahaan
pada saat itu. Para akuntan ini berperan merumuskan strategi penjadwalan
kembali utang debitor.
6) Debitor mengusulkan kepada panitia suatu rencana restrukturisasi berdasarkan
rencana usahanya dan prakiraan-prakiraan keuangannya.
7) Para penasehat panitia yang mempunyai akses penuh dan terus menerus,
sehingga dapat mengetahui keadaan perusahaan menyiapkan laporan yang
berisikan nasehat yang mengandung rekomendasi-rekomendasi tentang
kelayakan usaha, kemampuan memenuhi kewajiban utangnya dan kebutuhankebutuhan modal kerja selanjutnya.
8) Panitia dan debitor akan mengadakan perundingan-perundingan untuk
mencapai suatu rencana restrukturisasi utang dan perusahaan dimana
perundingan akan didasarkan pada usul restrukturisasi yang diajukan debitor
dan laporan Penasehat panitia. Perundingan-perundingan dapat mengarah
kepada pemusatan kembali usaha dan pembiayaan kembali utang, penjualan
bagian-bagian usaha di luar kepailitan untuk memperbesar nilai perusahaan
atau pertukaran utang menjadi saham (modal). Debitor yang menderita krisis
keuangan yang sifatnya sementara dan terdapat ketidaksesuaian antara
pendapatan dan pengeluaran, dimungkinkan menyelesaikan kesulitan tersebut
dengan menjadwalkan kembali utangnya. Penjadwalan kembali utang dapat
berupa variasi tentang jatuhnya waktu pembayaran kepada kreditor yang juga
dapat berupa penjadwalan dari bunga dan atau utang pokok dan lebih baik
lagi dari sekedar penjadwalan kembali yakni utang harus direstrukturisasi
yang menyangkut perubahan atas persyaratan utang. Pada prinsipnya rencana
restrukturisasi harus mendapat dukungan para kreditor secara aklamasi, dan
merupakan suatu kesepakatan yang membutuhkan persetujuan dari semua
pihak yang terkait, atau pembayaran sepenuhnya dari pihak yang menolak.
Apabila
suara
bulat
sulit
diperoleh,
Undang-Undang
Kepailitan
memungkinkan akses ke pengadilan niaga untuk mendapatkan persetujuan
atas rencana yang telah dirundingkan sebelumnya, dengan ketentuan bahwa
rencana itu memenuhi persyaratan dalam Undang-Undang Kepailitan. Dengan
cara ini rencana itu dapat dibuat mengikat bahkan pada mereka yang tidak
setuju dengan rencana tersebut.
9) Dalam proses restrukturisasi utang, tidak boleh ada diskriminasi antara
kreditor-kreditor asing dan dalam negeri agar tidak terjadi kesenjangan dalam
pelaksanaanya.
The Jakarta Inisiative Task Force atau Satuan Tugas Prakarsa Jakarta
(STPJ) melaksanakan tugas di bawah koordinasi Ketua Tim Penanggulangan
masalah utang-utang Perusahaan Swasta Indonesia (Indonesia Private Sector
Debt). Tugas Prakarsa Jakarta akan dapat dilaksanakan apabila dijalankan oleh
tenaga-tenaga profesional dan berdedikasi tinggi dan didukung oleh pendanaan
yang cukup pula.
Satuan tugas ini mempunyai tugas-tugas sebagai berikut :
1) Menjadi fasilitator dalam proses negosiasi atau perundingan-perundingan di
luar pengadilan, misalnya menghilangkan penghalang-penghalang yang
berbentuk peraturan pada restrukturisasi.
2) Bila diperlukan, demi kepentingan umum mengajukan permohonan ke
pengadilan
niaga
untuk
memindahkan
perundingan-perundingan
restrukturisasi ke proses yang diawasi oleh pengadilan menurut Undangundang Kepailitan. Tugas ini mengacu pada wewenang jaksa untuk
mengajukan permohonan pailit untuk kepentingan umum. Tindakan-tindakan
debitor yang dianggap merupakan hambatan terhadap tujuan-tujuan Prakarsa
Jakarta mungkin merupakan dasar atau alasan permohonan kepailitan yang
diajukan oleh jaksa. Prakarsa Jakarta tidak boleh membatasi kewenangan
kreditor untuk mengajukan permohonan kepailitan apabila telah memenuhi
syarat dalam undang-undang kepailitan.
3) Menyediakan suatu forum yang dapat mengakomodasikan pelaksanaan “one
stop facilitation” yang tepat untuk segala pengajuan persyaratan yang
diperlukan
menurut
peraturan
yang
berlaku
untuk
melaksanakan
restrukturisasi.
4) Melakukan konsultasi dengan Panitia Penasehat Restrukturisasi Perusahaan
setiap kali diperlukan.
Regulatory Changes atau Perubahan-perubahan Peraturan, dapat dilihat
dari beberapa upaya-upaya yang dapat dilakukan yaitu :
1) Prakarsa Jakarta memberi nasehat atau saran kepada pemerintah untuk
mengadakan perubahan-perubaan peraturan hukum, administrasi dan lain-lain
untuk memudahkan pelaksanaan restrukturisasi perusahaan.
2) Proses litigasi masih dianggap suatu lapangan ranjau, sehingga masyarakat
menghadapi ketidak pastian tentang pemenuhan syarat-syarat dalam
ketentuan-ketentuan dalam perjanjian pinjaman.
Restrukturisasi perusahaan yang berada dalam kesulitan keuangan cenderung
akan menciptakan masalah baru yang belum diatur di dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3) Pihak kreditor tetap diberikan perlindungan hukum terhadap debitor bandel
yang secara sengaja mempersulit upaya penagihan.
Coorporate Restructuring Advisory Commitee and Public participation
atau panitia penasehat restrukturisasi perusahaan dan partisipasi masyarakat,
adalah panitia yang merupakan suatu kelompok yang terdiri dari : perwakilan
bank-bank asing dan dalam negeri, perusahaan-perusahaan Indonesia, para
pemegang obligasi dan wakil-wakil dari IBRA/BPPN dan INDRA. Panitia ini
mempunyai tugas sebagai berikut:
1) Meninjau keefektifan tindakan-tindakan yang dilaksanakan, untuk itu dapat
dibuat rekomendasi-rekomendasi untuk memudahkan pelaksanaan tugas dari
Prakarsa Jakarta.
2) Melaporkan penemuan-penemuannya kepada Satuan tugas secara konfidential
dalam pertemuan yang diadakan secara rutin.
3) Mengumpulkan berbagai pengalaman dari para profesional di bidang hukum
dan keuangan.
4) Melakukan konsultasi dengan wakil dari kelompok pekerja dan konsumen.
3. Menggunakan Skema INDRA (Indonesian Debt Restructuring Agency)
INDRA sebagai badan restrukturisasi utang Indonesia yang dibentuk oleh
pemerintah pada tahun 1998 yang pembentukannya didukung oleh Asia
Development Bank (ADB), Bank Dunia (World Bank) dan IMF setelah terdapat
kesepakatan antara Pemerintah RI dengan perwakilan kreditor asing. Badan ini
didirikan adalah untuk melaksanakan Perjanjian Frankfurt tanggal 4 Juni 1998
yang ruang lingkupnya adalah untuk menyelesaikan utang-utang yang terjadi
dalam hal Pembiayaan Perdagangan, Utang antar Bank dan Utang Swasta Non
Bank.
INDRA dibentuk adalah untuk memberikan skema administrasi untuk
pembayaran utang luar negeri dari perusahaan swasta Indonesia berdasarkan
Kepres Nomor 95 Tahun 1998 tentang Pembentukan Badan Restrukturisasi Utang
Luar Negeri Perusahaan Swasta Indonesia (Indonesian Debt Restructuring
Agency).
Ada 3 (tiga) alternatif penyelesaian utang luar negeri swasta non bank,
yakni dengan jalan :
a.
Mencapai kesepakatan bilateral antara debitor dan kreditor untuk
menyelesaikan utang piutang di antara mereka baik oleh mereka sendiri
maupun dengan memanfaatkan Prakarsa Jakarta.
b
Memanfaatkan Skema INDRA.
c. Menggunakan Undang-undang Kepailitan
Dasar-dasar prinsip INDRA menurut Jerry Hoff, 220 adalah sebagai berikut
:
d. Debitor (Indonesia) dan kreditor (asing) harus sepakat untuk memasuki skema
INDRA.
e. Pemerintah Indonesia tidak memikul tanggung jawab atas resiko komersil
debitor.
f. INDRA mensubsidi pembiayaan sendiri (membiayai diri sendiri)
g. Semua utang lepas pantai yang sah termasuk dalam ruang lingkup Skema
INDRA.
h. INDRA menunda pembayaran utang jangka pendek, dan
i. Skema INDRA dirancang untuk membantu debitor yang sedang menghadapi
masalah likuiditas jangka pendek.
Skema INDRA hanya dapat digunakan terbatas untuk penyelesaian utang
luar negeri swasta nasional yang memenuhi syarat (eligible), yakni :
1. Utang debitor non bank baik perusahaan swasta maupun BUMN/D
220
Jerry Hoff, Undang-Undang Kepailitan di Indonesia, diterjemahkan Kartini Mulyadi,
(Jakarta : PT Tatanusa, 2000), h. 233
2. Utang telah disepakti oleh debitor dan kreditor untuk direstrukturisasi
sehingga mempunyai jangka waktu (memiliki tenor) minimal 8 (delapan)
tahun dengan masa tenggang minimal 3 (tiga) tahun
3. Utang dalam mata uang asing (bukan rupiah) yang telah dilaporkan kepada
Bank Indonesia dan yang tidak dijamin oleh pemerintah
4. Utang tersebut adalah kepada kreditor di luar negeri atau kepada bank
campuran yang mayoritas sahamnya dimiliki atau dikendalikan oleh asing.
Tujuan Skema INDRA adalah menghindari terjadinya pembayaran
kembali utang luar negeri dalam jangka pendek sehingga akan meringankan
beban neraca pembayaran, selanjutnya Skema INDRA ini disusun sedemikian
rupa sehingga bermanfaat bagi debitor Indonesia yang mengalami kesulitan
likuiditas jangka pendek. Manfaat skema ini bagi debitor adalah memberikan
kepastian nilai tukar dan memberi nilai tukar yang terbaik bagi debitor dan juga
memberi keringanan bagi debitor dengan membagi rata beban pembayaran
kembali utang luar negeri selama 8 (delapan) tahun. Sedangkan bagi kreditor
skema INDRA bermanfaat karena pemerintah menjamin tersedianya dollar AS
sepanjang debitor membayar kewajiban rupiah kepada INDRA dan dengan
jaminan tersebut memperbesar kepastian bagi kreditor mengenai pengembalian
piutang yang telah direstrukturisasi walaupun dengan jangka waktu lebih lama.
4. BPPN dan Kewenangannya.
BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) telah diberi legitimasi
juridis berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 1999 tentang
BPPN yang sebelumnya telah diberikan berdasarkan Kepres Nomor 27 Tahun
1998. PP Nomor 17 Tahun 1999 tersebut merupakan pelaksanaan dari Pasal 37A
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
Menurut PP Nomor 17 Tahun 1999 tugas BPPN antara lain melakukan
penyehatan bank yang diserahkan oleh Bank Indonesia dan mengupayakan
pengembalian uang negara yang telah tersalur kepada bank-bank melalui
penyelesaian aset dalam restrukturisasi dan juga menyelesaikan aset bank baik
aset fisik maupun kewajiban debitor melalui Unit Pengelola Aset (Asset
Management Unit).
Kedudukan BPPN sangat kuat menghadapi debitor karena dalam
pelaksanaan wewenang tersebut dapat berbuat apa saja terhadap debitor yang
dinilai tidak kooperatif atau beritikad tidak baik. Hal ini dapat dilihat semula
dalam Kepres Nomor 34 Tahun 1998 Tentang Tugas dan Kewenangan BPPN
yang kemudian lebih diperjelas lagi dalam PP Nomor 17 Tahun 1999 jis. PP
Nomor 95 Tahun 1999, PP Nomor 47 Tahun 2001 sebagai pelaksanaan dari Pasal
37A UU Nomor 10 Tahun 1998.
Menurut Pasal 13 PP Nomor 17 Tahun 1999 BPPN berwenang :
a. Melakukan tindakan hukum atas Aset Dalam Restrukturisasi dan atau
Kewajiban Dalam Restrukturisasi.
b. Membentuk divisi atau unit dalam BPPN dengan wewenang yang ada pada
BPPN atau pembentukan dan atau Penyertaan Modal Sementara dalam suatu
badan hukum untuk menguasai, mengelola dan atau melakukan tindakan
kepemilikan atas Aset Dalam Retruksturisasi, dan atau kekayaan yang akan
diserahkan atau dialihkan kepada BPPN, meskipun telah diatur secara lain
dalam suatu kontrak, perjanjian, atau peraturan perundang-undangan terkait.
Berpedoman kepada Pasal 37A ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 1998
Tentang Perbankan jis. Pasal 40 PP Nomor 17 Tahun 1999 Tentang BPPN, Pasal
2 ayat (1) Keputusan Bersama Menteri Keuangan RI Nomor 117/KMK 017/1999
dengan Gubernur BI Nomor 31/15/KEP/BI tanggal 26 Maret 1999 dapat
disimpulkan bahwa BPPN diberi kewenangan publik yakni : mengambil alih
segala hak dan wewenang Direksi, Komisaris dan Pemegang Saham, termasuk
Rapat Umum Pemegang Saham dari bank-bank dalam penyehatan yang
diserahkan oleh Bank Indonesia kepada BPPN, termasuk Bank Take Over. “Ini
adalah kewenangan publik yang diberikan oleh Undang-Undang Perbankan yang
tidak dapat disangkal dan dibantah.” 221
Menyangkut luasnya tugas dan kewenangan BPPN ada beberapa kritik
berupa tuduhan bahwa Pasal 37A UU Nomor 10 Tahun 1998 telah memberikan
kekuasaan kepada BPPN untuk menyimpang dari beberapa asas yang menopang
sistem hukum dari suatu negara hukum, diantaranya adalah :
a. Mengambil alih hak pemegang saham
Menurut Pasal 37A UU Nomor 10 Tahun 1998 jo Pasal 40 a PP Nomor 17
Tahun 1999 BPPN berwenang mengambil alih, menjalankan segala hak dan
kewenangan pemegang saham termasuk hak dan wewenang Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS). Kewenangan ini telah semena-mena mengabaikan
hak pemegang saham dan mengakibatkan terjadinya perampokan hak
pemegang saham debitor. Hal ini sangat mengecewakan bagi para pemegang
saham publik dalam hal bank merupakan perusahaan publik (perseorangan
terbuka). Apabila bank tidak sehat dan diambil alih oleh BPPN, sebenarnya
tidak ada hubungannya dengan pemegang saham karena tidak sehatnya bank
itu adalah karena pengelolaan managemen yang tidak benar. Selama
pemegang saham tidak terlibat dalam pengelolaan bank, maka pemegang
saham tidak harus ikut bertanggung jawab atas perbuatan managemen, malah
221
Kartini Muljadi et.al, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2003), h.235-236
sebaliknya pemegang saham dapat menggugat direksi dan komisaris apabila
pengelolaan bank oleh direksi dan pengawasan komisaris terhadap direksi
tidak dilakukan dengan baik sehingga telah mengakibatkan bank mengalami
kerugian atau dilikuidasi. Justru hukum harus melindungi para pemagang
saham yang dirugikan akibat pengelolaan yang tidak baik dari direksi dan
pengawasan yang tidak benar dari komisaris terhadap direksi.
b. Membatalkan perjanjian secara sepihak
Menurut Pasal 37A UU Nomor 10 Tahun 1998 jo. Pasal 19 PP Nomor 17
Tahun 1999, BPPN berwenang meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri
atau mengubah kontrak yang mengikat bank dengan pihak ketiga yang
menurut pertimbangan BPPN merugikan bank. Ketentuan ini telah semenamena mengebiri kekuasaan pengadilan. Asas pacta sun servanda yang dianut
oleh KUH Perdata, berlaku ketentuan bahwa Perjanjian tidak dapat
dibatalkan, diubah atau diakhiri secara sepihak oleh pihak-pihak yang
membuatnya, dan bila itupun mau dilakukan maka pengadilanlah yang
berwenang untuk membatalkan, mengubah atau mengakiri perjanjian tersebut.
Pengabaian terhadap lembaga pengadilan ini berupa ancaman terhadap sistem
negara hukum di Indonesia. Kedudukan BPPN yang menggantikan kedudukan
bank, adalah tetap sebagai pihak oleh karena itu tidak berwenang
membatalkan, mengubah dan atau mengakhiri secara sepihak perjanjian itu.
Seandainya pun dianggap BPPN memiliki kekuasaan itu selaku lembaga
khusus yang diserahi tugas melakukan penyehatan, tetaplah merupakan bagian
dari lembaga eksekutif (berada di bawah Depkeu) jadi tidak memiliki
kekuasaan judikatif. Ketentuan ini merupakan pengingkaran bahwa Indonesia
adalah negara yang berdasar hukum, tetapi seolah-olah sebagai negara
berdasarkan kekuasaan. Pengingkaran ini bukan hanya dilakukan oleh
pemerintah (eksekutif), tetapi juga oleh DPR (legislatif), karena UU Nomor
10 Tahun 1998 adalah produk bersama eksekutif dan legislatif.
c. Secara sepihak berwenang menentukan suatu kontrak bank dengan nasabah
adalah merugikan.
Kewenangan yang diberikan oleh Pasal 37A UU Nomor 10 Tahun 1998 jo.
Pasal 20 PP Nomor 17 1999, seharusnya adalah merupakan kewenangan
pengadilan. BPPN tidak berwenang secara sepihak memutuskan bahwa
kontrak antara bank dengan nasabah atau pihak ketiga adalah merugikan bank
atau BPPN.
d. Mengalihkan hak atau menjual aset dengan harga di bawah nilai buku :
Pasal 37A UU Nomor 10 Tahun 1998 jo. Pasal 33 PP Nomor 17 Tahun 1999,
BPPN berkewenangan secara sepihak menentukan sendiri harga aset debitor
yang akan dijual. Kewenangan ini akan sangat merugikan debitor karena
BPPN juga mempunyai kekuasaan untuk mengambil alih atau membeli
sendiri, baik secara langsung maupun dengan melelang aset debitor. Peluang
ini kemungkinan besar itu menimbulkan moral hazard, oleh karena itu
sebaiknya penilaian itu dilakukan oleh suatu perusahaan penilai yang
independen. Ketentuan ini mengingkari berlakunya asas negara hukum yang
diakui dan ditegaskan oleh UUD 1945, jadi Pasal 37A UU Nomor 10 Tahun
1998 serta PP Nomor 17 Tahun 1999 sebagai peraturan pelaksanaannya
bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam pelaksanaan program penyehatan ini, kewenangan BPPN terjelma
menjadi suatu kekuatana yang luar biasa, sebab BPPN dapat melaksanakan apa
saja sekehendak hatinya karena memang Pasal 37A ayat (4) UU Nomor 10 Tahun
1998 secara tegas menyatakan bahwa tindakan penyehatan perbankan oleh badan
khusus adalah sah berdasarkan Undang-Undang ini, sehingga ada kekhawatiran
berlakunya pemeo “kekuasaan yang besar cenderung bersalah guna.” 222
Sehubungan dengan adanya keberatan dan kritik terhadap kewenangan
luas dari BPPN ini, telah diajukan Hak Uji Material terhadap PP Nomor 17 Tahun
1999 sebagai peraturan pelaksana dari UU Nomor 10 Tahun 1998 dengan kasus
posisi sebagai berikut : 223
a. DPP Assosiasi Advokat Indonesia (AAI) dengan surat tanggal 5 Agustus 1999
telah mengajukan permohonan keberatan Hak Uji Materil terhadap PP Nomor
17 Tahun 1999 tentang BPPN yang terdaftar di Kepaniteraan MA RI tanggal
31 Agustus 1999 dengan register Nomor 01/P/HUM/1999 yang isinya pada
pokoknya adalah sebagai berikut : Berdasarkan PP Nomor 17 Tahun 1999
BPPN secara langsung telah mengambil alih kewenangan yang sebenarnya
hanya dimiliki oleh Badan Peradilan, melalui BPPN pemerintah telah
melakukan tugas peradilan sehingga PP Nomor 17 Tahun 1999 tersebut telah
bertentangan dengan Pasal 24 UUD 1945, Pasal 11 ayat (1) TAP MPR Nomor
VI/MPR/1973, Pasal 1 dan Pasal 4 ayat (3) UU Nomor 14 Tahun 1970, UU
Nomor 49 Prp 1960, Pasal 197 (1) HIR, UU Nomor 19 Tahun 1997, Pasal 24
HIR, Pasal 1338 KUH Perdata dan Pasal 200 ayat (11) HIR. Berdasarkan
alasan tersebut AAI memohon agar Mahkamah Agung RI menyatakan PP
Nomor 17 Tahun 1999 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
222
Thomas Suyatno, Bank Indonesia, Bank tidak sehat, BPPN dan Masalah Kepailitan,
Jurnal Hukum Bisnis, YPHB (Vol. 7, 1999), h.35
223
Varia Peradilan No.173 Februari 2000, h.5-11
yang lebih tinggi, dan menyatakan PP Nomor 17 Tahun 1999 Tentang BPPN
tidak berlaku umum dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat
dan memerintahkan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mencabut
PP Nomor 17 Tahun 1999 Tentang BPPN tersebut.
b. Majelis MA RI setelah mempertimbangkan syarat-syarat formil telah dipenuhi
dalam pengajuan hak uji materil ini, maka secara formil permohonan tersebut
dapat diterima. Dan dalam menyelesaikan dan memberi putusan terhadap
permohonan tersebut, MA telah memberikan pertimbangan hukum yang pada
pokoknya sebagai berikut :
1) Hak uji materil yang diberikan oleh Undang-undang kepada MA
diletakkan atas landasan to exercise control over goverment act, artinya
secara konstitusional MA harus melakukan pengawasan atas produk
perundang-undangan oleh penguasa agar masyarakat terhindar dari
peraturan perundang-undangan yang inkonstitusional.
2) Penerapan hak uji materil terhadap peraturan perundang-undangan yang
bercorak inkonstusional haruslah berpedoman pada asas “lex superior
derogat legis inferiori”, sehingga menjadi pertanyaan apakah PP Nomor
17 Tahun 1999 mengandung hal-hal yang inkonstitusional. Makna
inkonstitusional tidak boleh diartikan secara sempit, melainkan dalam arti
luas yang diformulasikan dalam terminus fundamental law atau natural
justice, apakah pelaksanaan peraturan yang lebih rendah itu : mematikan
hak perdata seseorang, melanggar hak asasi perorangan atau anggota
masyarakat,
melanggar
asas
legalistik,
melanggar
prinsip-prinsip
demokratis dan egalitarian atau mengandung praktek diskriminasi.
3) Pemberian hak uji materil kepada judicial power (MA RI) haruslah
diterapkan dengan reasonableness, oleh karena itu tidak boleh digunakan
sebagai tindakan sabotase peradilan (sabotaged by judiciary) terhadap
kebijaksanaan kepentingan umum yang digariskan oleh legislatif atau
eksekutif berdasarkan delegated legislation, yakni tindakan yang
mendesak untuk menyehatkan perbankan nasional demi menghindari
runtuhnya kehidupan perekonomian bangsa. Penerapan reasonable dalam
kasus ini tidak terlepas dari pendekatan faktor emergency disebabkan
adanya occasional demand (tuntutan keadaan) yakni krisis ekonomi
sebagaimana disebut dalam konsiderans dan penjelasan PP Nomor 17
tahun 1999, sehingga penggunaan hak uji materil tidak boleh diterapkan
secara sempit dan kaku, harus dengan prinsip proporsionalitas yang lentur.
4) Menurut Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 17 Tahun 1999, dikaitkan dengan
Pasal 37A UU Nomor 10 Tahun 1998, BPPN sebagai badan khusus
menjalankan fungsi penyehatan perbankan, telah diberi wewenang
legalistis untuk menerbitkan “surat paksa yang bertitel eksekutorial”
(Pasal 54) dan penyitaan (Pasal 58) serta pengosongan (Pasal 21).
Ketentuan tersebut bila diuji dengan Hukum Acara Perdata, masih dalam
batas-batas kerangka tata tertib beracara (scope of due process). Ketentuan
lain jika diuji dengan “lex superior derogat legis inferiori” terkesan
bertentangan, namun jika didekati secara kontekstual dan occasional
demand, dihubungkan dengan aspek fungsi “to exercise control over the
goverment” yang diperankan oleh MA melalui hak uji meteriil, maka
ketentuan PP Nomor 17 tahun 1999 secara keseluruhan tidak sampai
mengandung
substansi
yang
bercorak
inkonstitusional.
Meskipun
ketentuan PP Nomor 17 Tahun 1999 tersebut memberi kewenangan
kepada BPPN yang agak menyimpang dari ketentuan undang-undang
yang lebih tinggi namun bila dikaitkan dengan emergency and occasional
demand, secara substansial tidak sampai mematikan hak perdata
seseorang, tidak melanggar HAM, karena tidak mematikan hak seseorang
untuk mengajukan perlawanan atau gugatan ke pengadilan terhadap
tindakan hukum BPPN, karena kewenangan BPPN menerbitkan surat
paksa, penyitaan, pelelangan masih mengacu pada kondisi yang digariskan
Pasal 195 dan Pasal 200 HIR. Pemberian wewenang besar kepada BPPN,
jika dihubungkan dengan urgensi dan emergency and occasional demand
tidak merupakan pelanggaran yang dikategorikan bertentangan dengan
fundamental law (natural justice)
5) Pembentukan extra judicial dalam PP Nomor 17 Tahun 1999 ini jika
dibandingkan dengan extra judicial yang diatur melalui undang-undang
seperti : Arbitrase (UU Nomor 31 Tahun 1999), P4P (UU Nomor 12
Tahun 1964), Hak Tanggungan (UU Nomor 4 Tahun 1996), dan Parate
Eksekusi Jaminan Fidusia (UU Nomor 42 Tahun 1999) memang agar
bersifat reduktif, maka bentuk extra judicial dalam PP Nomor 17 Tahun
1999 dianggap masih dalam batas toleransi hukum dan keadilan moral
(moral Justice). Extra judicial yang diberikan kepada BPPN oleh PP
Nomor 17 Tahun 1999 masih dapat ditolerir namun dianjurkan agar
secepatnya
ditingkatkan
menjadi
undang-undang
supaya
tidak
menimbulkan hujatan dan memperkokoh kedudukan legitimasi extra
judicial dari BPPN sendiri.
6) Mengenai pembatalan perjanjian secara sepihak oleh BPPN, diakui
menyimpang dari prinsip kebebasan berkontrak karena melanggar doktrin
lex superior derogat legis inferior. Dalam keadaan normal memang
demikian, namun masyarakat negara yang dalam keadaan emergency,
maka perlu dikembangkan moralitas kompromi antara idealisme
penegakan prinsip dengan tindakan pragmatisme demi untuk kepentingan
prinsip yang lebih besar yakni penyehatan dan memulihkan krisis ekonomi
yang melanda negara bangsa Indonesia.
c. Dengan memperhatikan Pasal 24 UUD 1945 beserta penjelasannya jis. Pasal
11 ayat (4) Tap MPR Nomor III/MPR/1978, Pasal 28 UU Nomor 14 Tahun
1970, Pasal 31 UU Nomor 14 Tahun 1985, Perma Nomor 1 Tahun 1999,
Mahkamah Agung memberi putusan dengan amar “MENOLAK” Permohonan
keberatan Hak Uji Materil yang diajukan oleh pemohon Dewan Pimpinan
Pusat Asosiasi Advokat Indonesia terhadap PP Nomor 17 Tahun 1999
tersebut
Penyelesaian utang piutang antara nasabah dengan bank-bank yang
diserahkan kepada BPPN dalam rangka penyehatan dan restrukturisasi, BPPN
dalam hal ini kedudukannya bukan sebagai mediator, tetapi adalah lembaga
khusus yang memiliki kewenangan yang begitu luas yang diberikan oleh UU
Nomor 10 Tahun 1998 dan PP Nomor 17 Tahun 1999, dan kedudukan ini telah
dilegitimasi berdasarkan Putusan MA RI Nomor 01/P/HUM/1999, dan dipertegas
pula SEMA Nomor 2 Tahun 2003 yang menginstruksikan kepada seluruh Ketua
Pengadilan Negeri di Indonesia untuk tidak meletakkan sita atas harta milik
BPPN kecuali atas izin dari ketua MA karena semua kekayaan BPPN sebagai
suatu badan khusus yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri
Keuangan yang didasarkan pada Pasal 65 dan Pasal 66 ICW (Interen
Comptabiliteit Wet) adalah harta milik negara.
Dalam praktek di lapangan, BPPN sering menjadi pihak mewakili Bank
dalam menghadapi nasabah bank maupun pihak-pihak lain karena didalilkan
bahwa BPPN melakukan perbuatan hukum yang merugikan pihak tertentu
terutama nasabah. BPPN dianggap bukanlah sebagai lembaga penyelesaian utang
piutang perusahaan, tetapi lembaga otonom yang lebih memiliki power
dibandingkan para nasabah sehingga dalam perkara kepailitan BPPN lebih sering
bertindak sebagai kreditor. BPPN sebagai kreditor mengajukan permohonan pailit
terhadap debitor bank yang berada dalam proses penyehatan menimbulkan
masalah hukum keperdataan, yaitu apakah BPPN secara sah dapat menerima
pengalihan piutang berdasarkan “cessie” yang dilakukan, sehingga BPPN
berkewenangan sebagai kreditor. Ada 2 (dua) cara menurut hukum yang dapat
membenarkan BPPN untuk bertindak sebagai kreditor yaitu : 224
a. Menggunakan instrumen cessie dengan membuat lebih dahulu “rechtstitel”
yang dapat berupa suatu akta jual beli tagihan sehingga BPPN dapat bertindak
sebagai kreditor atas nama sendiri (BPPN).
224
Aria Suyudi et.al, Analisis, Teori dan Praktek Kepailitan Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi
Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2002), h.72
b. BPPN bertindak untuk dan atas nama bank dalam penyehatan berdasarkan
Pasal 40 (a) PP Nomor 17 Tahun 1999 tanpa perlu melakukan jual beli
tagihan ataupun cessie.
Kinerja BPPN dapat dilihat dari data laporan BPPN ke Komite Kebijakan
Sektor Keuangan (KKSK) tanggal 30 September 2003. Debitor Penyelesaian
Kewajiban Pemegang Saham Akta Pengakuan Utang (PKPS APU) adalah para
pemilik bank yang dinyatakan banknya berstatus Bank Beku Kegiatan Usaha
(BBKU). Pada pemilik bank-bank ini harus menandatangani Akta Notaris
Pengakuan Utang (APU). Dari 30 debitor atau pemegang saham penanda tangan
PKPSAPU, 8 diantaranya sudah menyelesaikan kewajibannya dan 3 lainnya telah
lunas dengan menggunakan koridor yang pernah ditetapkan BPPN dalam
perjanjian penyelesaian utang. Dalam koridor yang ditetapkan BPPN berarti
diantaranya 30% dari total utang PKPSAPU yang sudah diformulasi harus
dibayar lunas atau dengan “near cash” (asset likuid), misalnya dengan saham
yang tercatat di pasar modal atau dengan obligasi rekapitulasi. Sisanya 70%
diselesaikan melalui pola co-debtor, di antaranya melalui kombinasi penjualan
asset (asset settlement), penjualan barang jaminan diambil alih (BJDA), penjualan
group loan (utang group) maupun restrukturisasi di Asset Management Kredit
BPPN. Ada 11 debitor belum dapat menyelesaikan kewajibannya, sehingga harus
ada penajaman kebijakan dalam mekanisme
pembayarannya atau ada
kemungkinan 11 debitor PKPSAPU akan dilaporkan ke Mabes Polri. Tapi BPPN
sudah lebih dahulu memberikan jadwal pemenuhan pembayaran PKPS APU
yakni : tahap pertama September sampai dengan Oktober 2002, tahap kedua
Desember 2002 sampai dengan Januari 2003, tahap ketiga Maret sampai dengan
April 2003, namun sudah diperpanjang sampai September 2003.
Dalam laporan tersebut secara rinci para debitor PKPSAPU yang belum
dapat menyelesaikan kewajibannya adalah: 225
a. Bank Nusa Nusantara, owner : Nirwan Bakrie, kewajiban Rp. 3,006 triliun
b. Bank Lautan Berlian, owner : Ulung Bursa, kewajiban Rp. 615,44 milyard
c. Bank Indonesia Raya, owner : Atang Latief, kewajiban Rp. 325,45 milyard
d. Bank Sewu Internasional, owner : Husodo Angko Subroto, kewajiban Rp.
209,20 milyard.
e. Bank Tamara, owner : Lydia Muchtar, kewajiban Rp. 202,02 milyard
f. Bank Tamara, owner : Omar Putiray, kewajiban Rp. 190,16 milyard
g. Bank Tamara, owner : Iwan Suhardenian, kewajiban Rp. 35,61 milyard
h. Bank Hastin, owner : The Tje Min, kewajiban Rp. 139,79 milyard
i. Bank Namura Yasonta, owner : Adi Saputra Januardi dan James Januardi,
kewajiban 123,04 milyard
j. Bank Putera Multikarsa, owner : Marimutu Sinivasan, kewajiban Rp. 1,130
triliun
k. Baja Internasional, owner : Thee Ning Khong, kewajiban Rp. 45,13 milyard
Ada 3 (tiga) debitor yang dianggap tidak toleran atau membandel yakni :
a. Bank Tata, Owner : Hengky Widjaya dan Tany Tandjung
b. Bank Aken, Owner : I Gde Dermawan dan Made Sudiarta
c. Bank Umum Servitia, Owner : Taruna Djojo Nusa dan David Nusa Widjaja.
225
Harian Kompas 15-10-2003
Pada pertengahan tahun 2002 proses penanganan restrukturisasi aset kredit
di BPPN berjalan sangat lambat, jadi bila mengharapkan semua asset kredit yang
ada di BPPN harus direstrukturisasi terlebih dahulu sebelum dijual, bisa memakan
waktu yang sangat lama dan berlarut-larut. Untuk itulah BPPN telah melakukan
perubahan pola kebijakan dalam menjual asset restructured asset menjadi
nonrestructured asset. 226
BPPN telah mengupayakan seluruh alternatif yang dimiliki agar hasilnya
maksimal. Semua opsi yang ada telah dijalankan dalam menghadapi kasus-kasus
terhadap penanganan debitor-debitor tersebut, walaupun BPPN mengakhiri masa
tugasnya, tetapi hak tagih akan dilanjutkan oleh pihak yang ditunjuk oleh
pemerintah untuk menanganinya. 227
Hasil akhir BPPN dalam melaksanakan tugasnya dari 27 Februari 1999
sampai dengan 27 Februari 2004 adalah telah menangani 221 transaksi dengan
recovery sejumlah 15 triliun Rupiah.
Menurut Syafrudin Arsjad Tumenggung, Ketua BPPN, setelah 6 (enam) tahun
bertugas di BPPN telah berhasil menjalankan tugasnya yang didasarkan kepada 4
(empat) indikator perbankan yang menunjukkan adanya pemulihan : 228
a. Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio – CAR) rata-rata perbankan
Indonesia sebelum krisis sebesar minus 16%, sampai Agustus 2003 telah
226
Raymond Van Beekum (Kepala Divisi Komunikasi BPPN), Harian Kompas 24-2-2003
Taufik M. Maroef (Deputi Ketua BPPN Bidang Aset Management Investasi/AMI),
Harian Perjuangan 25-3-2003
228
Ahmad Deni Daruri et. al., BPPN Garbage In-Garbage Out, (Jakarta : Center For
Banking Crisis, 2004), h. 155-157
227
positif diatas 8% dan kemungkinan pada penutupan tanggal 27 Februari 2004
sudah mencapai 9%.
b. Selisih bunga bersih (Net Interest Margin – NIM) rata-rata perbankan pada
masa krisis minus 73%, tapi Agustus 2003 telah mencapai positif 4,7% dan
sampai dengan 27 Februari 2004 di perkirakana NIM telah genap menjadi 5%.
c. Tingkat keuntungan (Profitability) perbankan yang pada masa krisis sempat
mengalami kerugian (net loss) pada tahun 1998 modal bank minus
Rp. 98,54 triliun, setelah mengalami proses rekap margin laba mulai positif
karena modal bank sudah positif Rp. 106,40 triliun.
d. Kredit bermasalah (Non Performing Loan-NPL) rata-rata perbankan Indonesia
kini sudah dibawah 5%, sementara dimasa krisis sempat melonjak ke level
35%. Sebagian besar NPL membaik bukan karena proses restrukturisasi
internal bank, tapi karena pelemparan NPL ke BPPN, dimana NPL tersebut
sudah dibeli sejumlah perusahaan sekuritas untuk kemudian dijual kembali.
Menurut para pengamat dan sebagian besar politisi, BPPN menyuguhkan
sesuatu yang minimal bagi negara karena tingkat recovery rate penjualan aset dan
collecting utang ribuan obligor hanya 28%, angka inipun masih debatable, karena
target IMF, recovery rate BPPN semula 35%. Dengan melandasi keempat
indikator tersebut ada benarnya, tetapi tidak sepenuhnya tepat karena ada
indikator lain yang juga penting tapi diabaikan.
Perbaikan angka ekonomi makro lebih menunjukkan adanya perbaikan
ekonomi segelintir orang yakni pemilik modal. Jika demikian stigma bahwa
BPPN adalah tempat sampah sulit dihindarkan, karena memang BPPN dengan
recovery rate 28% tak ubahnya seperti garbage in garbage out. 229 Namun dalam
Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memuat Hasil Pemeriksaan
Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) BPPN yang telah dipublikasikan oleh BPK
pada tanggal 22 Desember 2006 memuat bahwa : 230 Pengembalian aset ke Kas
negara atau Recovery Rate yang diperoleh BPPN mencapai Pp. l88,88 triliun atau
30,39 persen dari total target pengembalian uang negara yang dibebankan senilai
Rp. 621,55 triliun, dan tingkat pengembalian ini lebih baik dibandingkan dengan
hasil yang diperoleh badan serupa di Thailand dan Korea Selatan. Menurut audit
tersebut terdapat ketidak hematan biaya penyehatan bank senilai Rp. 7,l triliun,
Audit oleh BPK ini dilakukan atas permintaan Menkeu dengan surat No.
S117/06/2004 tanggal 20 April 2004, yakni 2 (dua) bulan setelah keluarnya
Kepres No. 15 Tahun 2004 pada tanggal 27 Februari 2004 tentang pengakhiran
tugas dan pembubaran BPPN.
229
230
Ibid h. 160
Harian Kompas 27-12-2006
BAB III
IMPLEMENTASI KETENTUAN PKPU DALAM UNDANG-UNDANG
KEPAILITAN DAN PKPU OLEH PERADILAN NIAGA
A. Asas-asas Hukum dalam Kepailitan
Ketentuan dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU sebagian besar
masih memerlukan penafsiran maupun penjelasan lebih jauh mengingat ketentuan
dalam pasal-pasal tertentu belum jelas atau belum diatur sama sekali tentang hal
tertentu, sehingga perlu menarik kepada asas hukum Perdata yang berlaku dalam
kepailitan. Dari hasil penelitian kepustakaan terdapat beberapa asas-asas hukum
dalam kepailitan yaitu :
1.
Asas Publisitas : dari segi hukum acara, yang terjadi pada saat pernyataan
pailit adalah sitaan umum yang jatuh demi hukum atas semua harta debitor,
sehingga sitaan individu yang diletakkan sebelumnya atas harta debitor
dengan sendirinya terangkat demi hukum akibat adanya putusan pernyataan
pailit tersebut. Semua proses pemeriksaan maupun putusan harus dalam
sidang yang terbuka untuk umum dan putusan atau penetapan diumumkan
dalam Berita Negara dan Surat Kabar.
2.
Asas Erga Omnes : bahwa putusan pernyataan pailit tidak hanya berlaku bagi
para pihak yang bersengketa, tetapi berlaku juga bagi pihak lain di luar
bersengketa.
3.
Asas Keseimbangan atau pari passu prorata parte : asas ini adalah asas
fundamen dalam hukum kepailitan karena merupakan prinsip kesamaan
diantara seluruh kreditor (concursus creditorium). Seluruh kreditor konkuren
sama kedudukannya dalam menerima pembagian secara proporsional, jadi
asas ini menjamin tidak ada upaya-upaya yang memberi prioritas kepada
salah satu kreditor diantara para kreditor konkuren.
4.
Asas Keadilan : dapat ditinjau dari beberapa segi, dari segi kreditor
pembagian harus seimbang, dan dari segi debitor adalah tidak semua harta
debitor jatuh dalam sitaan ada pengecualian sebagai mana disebut dalam
pasal 22 UU Nomor 37 Tahun 2004. Dari segi usaha, kurator dapat
melanjutkan usaha debitor sesuai kesepakatan antara debitor dengan para
kreditor, dan kepentingan debitor dan para kreditor harus diperhatikan secara
seimbang dari 2 (dua) aspek keadilan yakni 1. Moral Justice dan 2. Legal
Justice.
5.
Asas Jurisdictio Voluntaire : putusan pernyataan pailit sebenarnya tidak
memutus perselisihan karena bukan peradilan yang sebenarnya, hanyalah
merupakan contentious (sengketa) yang semu, tetapi bukan pula exparte
murni oleh karena itulah tetap digunakan istilah “Putusan” bukan
“Penetapan”, sedang diktum putusan adalah “mengabulkan” atau “menolak”
tidak menggunakan “Niet Ontvankelijk” (NO), namun tidak berhadapan
dengan “nebis in idem” karena kalau syarat/chek list sudah dipenuhi maka
permohonan pernyataan pailit dapat diajukan lagi.
6.
Asas audit et alteram partem : dalam proses pemeriksaan di persidangan,
para pihak yang terlibat dalam sengketa harus didengar juga penjelasannya
sebelum hakim membuat putusan.
7.
Asas Peradilan Cepat : pembuktian secara sumier atau prima facie, artinya
apabila syarat-syarat pailit telah terpenuhi maka permohonan pernyataan
pailit harus dikabulkan. Apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti
secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi,
maka permohonan pailit harus dikabulkan. Tenggang waktu peradilan adalah
terbatas, di tingkat pertama, kasasi maupun Peninjauan kembali (PK) adalah
60 (enam pulun) hari sejak permohonan didaftarkan.
8.
Asas Peradilan Efektif : upaya hukum adalah terbatas, langsung dengan
upaya Kasasi tanpa Banding, dan kemudian dapat diajukan Peninjauan
Kembali (PK). Putusan bersifat uit voerbaar bijvoorraad, artinya putusan
dapat dilaksanakan walaupun ada upaya kasasi diajukan. Ada penangguhan
pelaksanaan hak kreditor separatis yang dikenal dengan “stay” selama 90 hari
sejak putusan pernyataan pailit diucapkan.
9.
Asas itikad baik (good faith) : hukum melindungi pihak beritikad baik,
sebaliknya pihak beritikad buruk tidak dilindungi hukum. Lembaga kepailitan
dapat disalahgunakan oleh debitor maupun kreditor. Perlakuan itikad buruk
(bad faith) dapat dicegah atau dibatalkan dengan actio pauliana yakni
tindakan pembatalkan atas sega1a perbuatan atau tindakan hukum debitor
yang tidak diwajibkan yang merugikan para kreditor.
10. Asas lex specialis derogate legi generali : hukum acara yang berlaku adalah
HIR/RBG kecuali telah diatur secara khusus dalam Undang Undang
Kepailitan dan PKPU.
11. Asas pacta sunt servanda : janji harus ditepati, siapa berhutang wajib
membayarnya, demikian juga dalam perdamaian (akkoord) apa yang telah
diperjanjikan oleh pihak-pihak harus dipenuhi, dan bila debitor ingkar janji
maka secara hukum debitor dapat dinyatakan pailit.
12. Asas integrasi : suatu kesatuan yang utuh antara hukum formil dan hukum
materil.
13. Asas Kelangsungan Usaha : memberi kesempata kepada perusahaan debitor
yang prospektip untuk dapat melanjutkan perusahaannya.
Suatu Undang Undang Kepailitan termasuk Undang-Undang Kepailitan
Indonesia, seyogianya memuat asas-asas sebagai berikut : 231
a.
Dapat mendorong kegairahan investasi asing, mendorong pasar modal dan
memudahkan perusahaan Indonesia memperoleh kredit luar negeri, dengan
memuat asas-asas dan ketentuan yang dapat diterima secara global (globally
accepted principles).
b.
Memberikan perlindungan yang seimbang bagi kreditor dan debitor.
c.
Putusan pernyataan pailit berdasarkan persetujuan para kreditor mayoritas.
231
Sultan Reny Sjahdeini, op.cit. 42-60
d.
Permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan terhadap debitor yang
insolven yaitu yang tidak membayar utang-utangnya kepada kreditor
mayoritas.
e.
Sejak dimulainya pengajuan permohonan pernyataan pailit diberlakukan
keadaan diam (standstill atau stay).
f.
Mengakui hak separatis dari kreditor pemegang hak jaminan
g.
Permohonan pernyataan pailit diputuskan dalam waktu yang tidak berlarutlarut.
h.
Proses kepailitan harus terbuka untuk umum.
i.
Pengurus perusahaan yang karena kesalahannya mengakibatkan perusahaan
dinyatakan pailit harus bertanggung jawab secara pribadi.
j.
Memungkinkan utang debitor diupayakan direstrukturisasi terlebih dahulu
sebelum diajukan permohonan pernyataan pailit.
k.
Mengkriminalisasi kecurangan menyangkut kepailitan debitor.
B. Penerapan asas itikad baik dalam praktek kepailitan.
Itikad baik merupakan asas yang paling penting dalam hukum perjanjian
dan asas ini diterima dalam berbagai sistem hukum, namun hingga kini asas ini
masih merupakan sesuatu yang diperdebatkan. Apa yang dimaksud dengan itikad
baik itu masih kontroversi karena dalam kenyataannya sangat sulit menemukan
definisi tentang itikad baik tersebut. “Tidak ada makna tunggal itikad baik dan
berkembang banyak definisi itikad baik”. 232
Dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata hanya menyebutkan bahwa
semua kontrak dilaksanakan dengan itikad baik, tetapi tidak ada penjelasan lebih
lanjut apa yang dimaksud dengan itikad baik. Untuk dapat memahami makna
itikad baik yang lebih jelas harus dilihat pada penafsiran itikad baik dalam praktik
peradilan. “Perkembangan doktrin itikad baik lebih merupakan hasil kerja
pengadilan daripada legislatif yang berkembang secara kasus demi kasus.” 233
Peranan hakim sangat diharapkan dalam membuat penafsiran itikad baik,
sehingga penafsirannya lebih disandarkan pada sikap dan pandangan hakim yang
berkembang dalam kasus demi kasus. Penafsiran makna itikad baik dalam
kenyataannya sangat beragam tergantung pada sikap dan pemahaman hakim
terhadap doktrin itu sendiri. 234 Misalnya dalam Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor 26 K/SIP/1955 tanggal 11 Mei 1955 menggunakan istilah ‘pantas’ dan
sesuai dengan rasa ‘keadilan’. Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor
91/1970/Perd/PT.Bdg memuat pertimbangan: melaksanakan perjanjian dengan
itikad baik berarti perjanjian harus dilaksanakan sesuai kepatutan dan keadilan.
Bila dipedomani arti keadilan yang dapat ditafsirkan sebagai itikad baik, belum
ada juga kesepakatan dengan banyaknya teori keadilan yang berkembang. Teori
keadilan yang kebenarannya diyakini hakim dapat mempengaruhi hakim
232
Ridwan Khairandy, Itikad baik dalam kebebasan berkontrak, (Jakarta: F.H,
Pascasarjana UI, 2003), h.7
233
Werner F.Eble et.al. dalam Ridwan Khairandy, op.cit. h.8, lihat juga pendapat
J. Satrio: Ketentuan pengaturan itikad baik merupakan ketentuan yang ditujukan kepada
pengadilan, dalam bukunya Perikatan yang lahir dari Perjanjian, Buku II, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1995), h.166.
234
Ridwan Khairandy, op.cit. h.8
menafsirkan itikad baik, dalam praktiknya akan dapat menimbulkan penafsiran
itikad baik yang berbeda-beda. Itikad baik juga diperlukan dalam proses negoisasi
dalam penyusunan suatu kontrak, sehingga asas ini sejak negoisasi kontrak atau
proses penyusunan kontrak harus dilandasi itikad baik, tidak dengan itikad buruk
(bad faith). “Walaupun Jurisprudensi Belanda telah menerima asas itikad baik
dalam proses negoisasi dan penyusunan kontrak, tetapi asas tersebut belum
diadopsi BW Belanda (baru), pembentuk Undang-Undang lebih cenderung
menyerahkannya kepada pengadilan untuk mengembangkan asas tersebut.” 235
Penafsiran lainnya terlihat dalam Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor
262/1951/Pdt. tanggal 31 Juli 1952 menafsirkan itikad baik dalam konteks Pasal
1338 ayat (3) KUH Perdata sebagai kejujuran (toe goeder trouw). “Dengan itikad
baik dapat juga dikatakan bahwa salah satu pihak tidak boleh mengambil
keuntungan dengan merugikan pihak lainnya dalam kontrak itu, para pihak harus
secara rasional dan patut melaksanakan apa yang telah disepakati bersama.” 236
Itikad baik harus sudah ada pada saat suatu perusahaan melakukan suatu
tindakan hukum oleh para pengurusnya. Untuk mengetahui tindakan para
pengurus itu beritikad baik atau beritikad buruk dalam menjalankan tugas
pengurusannya adalah sangat sulit menafsirkannya. Tetapi ada beberapa pedoman
untuk para pengurus perusahaan, bilamana benar-benar melaksanakan tugastugasnya sesuai dengan pedoman tersebut, maka pengadilan akan lebih objektif
menilai tindakan kepengurusan tersebut bila menerima tuntutan pembatalan
235
236
Ewoud H.Hondius dalam Ridwan Khairandy, op.cit. h.14-15
Ridwan Khairandy, op.cit. h.301
perbuatan perusahaan (debitor) yang merugikan para kreditor yang diduga
dilakukan dengan itikad buruk.
1.
Tanggung Jawab Pengurus Perusahaan.
Terjadinya
kesulitan
keuangan
suatu
perusahaan
tidaklah
selalu
disebabkan bisnis yang tidak baik dijalankan, tetapi karena para pengurus tidak
memiliki kemampuan mengelola perusahaan, malah lebih jauh kemungkinan itu
diakibatkan tindakan-tindakan para pengurus perusahaan yang mendahulukan
kepentingan
pribadi
daripada
kepentingan
perusahaan.
Bilamana
suatu
perusahaan berada dalam keadaan keuangan yang sulit karena kelalaian atau
ketidakmampuan pengurus, maka para pengurus harus bertanggung jawab secara
pribadi. Dalam Undang-Undang Kepailitan tidak ada diatur tentang tanggung
jawab pengurus akibat perusahaan dinyatakan pailit akibat kelalaian atau karena
kesalahan dari pengurus, tetapi secara khusus dalam pasal 104 ayat (2) dan ayat
(3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT)
telah diatur tanggung jawab pengurus perusahaan.
Sudah merupakan ketentuan umum bahwa bila dalam pengurusan
perusahaan telah dilakukan tindakan-tindakan berlandaskan itikad baik, pengurus
dari suatu perusahaan yang mengalami kerugian atau yang dinyatakan pailit tidak
dapat dimintai atau dituntut pertanggung jawaban secara finansial. Berpegang
pada asas pemisahan, dimana suatu perusahaan adalah suatu subjek hukum yang
terpisah dari para pengurusnya, maka utang-utang perusahaan harus dilunasi dari
hasil penjualan harta kekayaan perseroan itu sendiri, bukan dari harta kekayaan
para pengurusnya. Dalam hal ini masih berlaku pengecualian, yakni bilamana
para pengurus melakukan kesalahan atau kelalaian dengan beritikad buruk (bad
faith) sehingga perusahaan dinyatakan pailit, maka para pengurus perusahaan
harus bertanggung jawab secara pribadi, bila kekayaan dari perusahaan tidak
cukup untuk menutupi kerugian akibat kepailitan tersebut. Untuk itu setiap
anggota direksi (pengurus) perusahaan secara tanggung renteng bertanggung
jawab atas kerugian itu. Namun Pasal 104 ayat (4) UUPT menegaskan bahwa
anggota direksi yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena
kesalahan atau kelalaiannya, tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng
atas kerugian yang diderita oleh perusahaan tersebut.
2.
Tugas dan Kewajiban Pengurus Perusahaan
Pengurus perusahaan atau anggota direksi tentu menduduki suatu jabatan,
oleh karena itu memikul tanggung jawab tertentu. Apabi1a tugas dan
kewajibannya dilalaikan atau apabila wewenangnya disalahgunakan, maka dapat
dimintakan pertanggung jawaban dari padanya. Tugas dan kewajiban serta
wewenang itu harus dilaksanakan dengan baik dan apabila dilalaikan atau
disalahgunakan akan membawa konsekuensi terhadap anggota direksi yang
bersangkutan.
Demikian juga bila perseroan yang dipimpin para anggota direksi
mengalami kerugian atau dinyatakan pailit, maka direksi haruslah bertanggung
jawab sepanjang itu dilakukan karena kelalaian atau kesalahannya. Tugas dan
tanggung jawab serta wewenang seorang anggota direksi dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 92 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa kepengurusan
perseroan dilakukan oleh direksi sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.
Pasal 97 jo pasal 98 UUPT menegaskan direksi bertanggung jawab penuh atas
pengurusan perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dari pasal 92
ayat (1) tersebut dapat diketahui bahwa direksi dalam menjalankan tugas dan
jabatannya haruslah berpegang pada prinsip demi kepentingan dan tujuan
perseroan. Jadi fokus utama para direksi menjalankan perusahaan adalah untuk
kepentingan perseroan dan tujuan perseroan, para direksi tidak boleh
mengutamakan kepentingan pribadi atau pihak lain.
Sebagai pedoman lainnya bagi para direksi adalah apa yang telah
ditetapkan sebagai tujuan perseroan di dalam anggaran dasar perusahaan. Direksi
tidak boleh melakukan kegiatan untuk kepentingan perusahaan tetapi tidak sejalan
dengan tujuan perusahaan yang ditentukan dalam anggaran dasarnya. Karena
direksilah yang ditugasi dan diberi wewenang untuk mewakili perusahaan baik di
dalam maupun di luar pengadilan, maka apa yang disebut sebagai tugas atau
kewajiban serta wewenang perusahaan itu pada hakekatnya merupakan tugas atau
kewajiban direksi.
Beberapa kewajiban yang harus diperhatikan oleh direksi adalah sebagai
berikut : 237
a. Secara optimal memupuk keuntungan bagi perseroan dan tidak mengambil
keuntungan pribadi dari transaksi yang dibuat oleh perusahaan dengan pihak
lain. Direksi tidak boleh membuat apa yang disebut secret profits and benefits
from office, dan menghindari terjadinya conflict of interest.
237
Denis Keenan & Josephine Bisacre dalam Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan,
(Jakarta : PT. Pustaka Utama, Grafiti, 2002), h. 426.
b. Menggunakan kewenangan untuk tujuan yang seharusnya (proper purpose),
yaitu for the benefit of the company and not to further their own interests.
c. Dalam rnelaksanakan fungsi-fungsinya termasuk pula memperhatikan
kepentingan pegawai dan kepentingan para pemegang saham.
d. Memperhatikan kepentingan para kreditor.
3.
Penyalahgunaan Kewenangan oleh Pengurus Perusahaan.
Pada dasarnya anggota direksi akan memperoleh keuntungan pribadi dari
jabatannya atau tugas-tugasnya dengan cara yang sah seperti gaji, tunjangan,
bonus dan lain-lain yang merupakan imbalan dan jasa yang diberikannya kepada
perseroan berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Namun anggota direksi dapat juga memperoleh keuntungan pribadi dengan cara
melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak berdasarkan itikad baik.
Perbuatan-perbuatan direksi yang tidak berdasarkan pada itikad baik
misalnya adalah : 238
a. Perseroan membeli barang atau properties dari pihak lain dengan harga yang
lebih tinggi dari harga yang wajar, atau
b. Perseroan menjual harta kekayaan perseroan kepada pihak lain dengan harga
yang jauh lebih rendah dari harga wajarnya, sedangkan direksi memperoleh
keuntungan pribadi dari transaksi itu, atau
c. Direksi suatu lembaga kredit seperti bank atau perusahaan pembiayaan (multi
finance company), telah memberikan kredit kepada pihak lain dengan tidak
melakukan analisis yang baik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
238
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit. h. 423-424
yang berlaku dimana sekalipun permohonan kredit itu sebenarnya tidak layak
(feasible), tetapi direksi bank atau perusahaan pembiayaan tersebut
memutuskan untuk memberikan kredit yang dimohon oleh nasabah dan
ternyata kemudian kredit menjadi macet yang sangat merugikan bank atau
lembaga pembiayaan tersebut.
d. Seorang anggota direksi atau para anggota direksi dapat pula rnemperoleh
manfaat pribadi dari jabatannya apabila mereka memanfaatkan kesempatan
transaksi yang seyogianya dilakukan dengan dan untuk kepentingan perseroan
yang dipimpinnya, tetapi transaksi itu disalurkan kepada perseroan lain
dimana anggota direksi yang bersangkutan mempunyai kepentingan.
Perbuatan-perbuatan anggota direksi yang bertentangan dengan itikad baik
itu sudah barang tentu sangat merugikan perusahaan, yang mengakibatkan
keuangan perusahaan berada dalam keadaan tidak mampu membayar kewajibankewajibannya kepada pihak lain karena tingkat pendapatan perusahaan yang
menurun, hingga perusahaan dapat dinyatakan pailit.
4.
Prinsip-prinsip yang harus dipedomani Pengurus Perusahaan.
a.
Duty of care
Dalam Pasal 97 ayat (1) dan ayat (2) UUPT ditentukan bahwa setiap
anggota direksi wajib bertanggung jawab atas pengurusan perseroan dan
dilaksanakan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Bila dikaitkan tugas
dan kewajiban direksi yang ditentukan Pasal 92 ayat (1) UUPT tersebut yakni
menjalankan kepengurusan perseroan dengan cara sebagaimana ditentukan Pasal
98 ayat (1) UUPT bahwa direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan
perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan di
dalam maupun diluar pengadilan, maka secara tegas dinyatakan bahwa setiap
anggota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan
pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas diperoleh 2 (dua) unsur pokok
yang harus dipedomani oleh direksi dalam menjalankan tugas kepengurusan
perseroan tersebut yakni :
1) Apa yang menjadi kepentingan dan tujuan/usaha perseroan, dan
2) Dicapai dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.
Menurut teori tentang Perseroan Terbatas, kewajiban pengurus perseroan
diperhadapkan kepada 2 (dua) macam kewajiban yaitu : 1. Statutory duties, yakni
kewajiban yang secara tegas ditentukan oleh undang-undang, dan 2. Fiduciary
duties, yakni kewajiban direksi terhadap perseroan untuk mengabdi sepenuhnya
kepada perusahaan dengan sebaik-baiknya karena adanya hubungan fiduciary
antara direksi dan perseroan.
Menurut Hukum Perseroan Amerika Serikat, yang dimaksud dengan duty
of care adalah kewajiban berhati-hati bagi anggota direksi dan pegawai suatu
perseroan, yang harus bersikap dan berbuat “The must exercise that degree of
skiil, diligence, and care that a reasonably prudent person would exercise in
similar circumstances” 239
b.
Fiduciary duty
239
Robert Charles Clark, dalam Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, (Jakarta : PT.
Pustaka Utama Grafiti, 2002), h. 428
Pada dasarnya direksi hanya berhak dan berwenang untuk bertindak atas
nama dan untuk kepentingan perseroan dalam batas yang diizinkan oleh
perundang-undangan yang berlaku dan Anggaran Dasar Perseroan. Berarti semua
tindakan yang dilakukan oleh direksi di luar kewenangan yang diberikan tersebut
tidak mengikat perseroan, sehingga sebenarnya direksi memiliki kewenangan
terbatas dalam bertindak atas nama dan untuk kepentingan perseroan.
Lebih lanjut dapat diuraikan pendapat yang menyatakan bahwa : 240
In applying the general equitable principle to company directors, four
separate rules have emerged. These are :
1) that directors must act in good faith in what they believe to be the best
interest of the company.
2) that they must not exercise the powers conferred upon them for purposes
different from those for which they were conferred.
3) that they must not fetter their discretion as to how they shall act.
4) that, without the informed consent of the company, they must not place
themselves in a position in which their personal interests or duties to
other persons are liable to conflict with their duties.
Fiduciary duty direksi terhadap perseroan tercermin dalam 2 (dua)
macam kewajiban: 241
1) Duty of loyality and good faith, yang dapat dikategorikan ke dalam :
a. duty to act bona fide in the interest of the company.
b. duty to exercise power for their proper purpose.
c. duty to retain their discrenatory powers.
d. duty to avoid conflicts of interests.
2) Duty of care and diligence.
Setiap tindakan yang dilakukan di luar maksud dan tujuan perseroan
tidaklah mengikat perseroan. Atas perbuatan tersebut maka direksi akan
bertanggung jawab penuh secara pribadi terhadap perbuatan atau perikatan yang
dilakukan oleh anggota direksi tersebut. Untuk menjamin terlaksananya ketentuan
240
Paul L. Davies dalam Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab direksi atas Kepailitan
Perseroan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), h. 23
241
Gunawan Widjaya, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2003), h. 143-144
dalam Pasal 97 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 98 UUPT yang menyatakan direksi
bertanggung jawab atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan
perseroan serta mewakili perseroan di dalam maupun di luar pengadilan, maka
direksi dituntut untuk memiliki kemampuan dan keahlian tertentu. Seorang
anggota direksi diharapkan dapat menjalankan perseroan sesuai dengan kegiatan
usaha perseroan dan juga untuk rnemperoleh keuntungan bagi perseroan. Dalam
konsepsi fiduciary duty terkandung duty of care and skill atau duty of care and
diligence, yang pelanggarannya mengakibatkan breach of duty dari seorang
anggota direksi” 242 Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat membawa
anggota direksi yang bersangkutan kepada pertanggung jawaban pribadi atas
kerugian yang diderita oleh perseroan, pemegang saham maupun pihak-pihak lain
(stakeholders) yang berkepentingan terhadap perseroan.
Namun yang menjadi pertanyaan, bagaimana membedakan antara duty of
loyality and good faith dengan duty of care and diligence. Sebenarnya kedua
kewajiban direksi tersebut sebagaimana termuat dalam Pasal 97 ayat (1) dan ayat
(2) UUPT adalah meliputi keduanya baik duty of loyality and good faith serta duty
of care and diligence, karena pelaksanaan dari keduanya tidak dapat dipisahkan,
namun “duty of care and diligence lebih menitik beratkan pada keahlian (duty of
skill) para direksi dalam mengembangkan perseroan, tetapi pelaksanaan dari
keahlian itu sendiri merupakan bagian dari pelaksanaan duty of loyality and good
faith” 243
c.
Standard of care
242
243
Ibid, h. 146
Ibid, h. 147
Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 97 ayat (1) dan ayat (2) UUPT
bahwa setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggungjawab
menjalankan pengurusan untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Dalam
penjelasan pasal tersebut tidak diuraikan apa yang dimaksud dengan itikad baik.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang prinsip itikad baik dan penuh tanggung
jawab, tentu diperlukan kajian melalui kepustakaan maupun jurisprudensi,
“Karena jurisprudensi Indonesia belum melahirkan doktrin mengenai apa yang
dimaksud dengan itikad baik yang dimaksud dalam UUPT, sedangkan pustaka
hukum Indonesia belum banyak pula yang megungkapkan doktrin mengenai asas
tersebut, maka pengkajian harus dilakukan dengan menggali pustaka hukum dan
jurisprudensi pengadilan luar negeri. 244
Di negara-negara anglo saxon sebagai pedoman dipakai standard of care
atau standard kehati-hatian dengan prinsip bila anggota direksi perseroan telah
melanggar standard of care, maka ianya telah dianggap melanggar duty of care.
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, contoh-contoh standard of care antara
lain adalah sebagai berikut : 245
1) Anggota direksi tidak boleh melakukan kegiatan-kegiatan atas beban
biaya perseroan apabila tidak memberikan sama sekali atau memberikan
sangat kecil manfaat kepada perseroan bila dibandingkan dengan manfaat
pribadi yang diperoleh oleh anggota direksi yang bersangkutan. Namun
demikian hal itu dapat dikecualikan apabila dilakukan atas beban biaya
representasi jabatan dari anggota direksi yang bersangkutan berdasarkan
keputusan RUPS.
2) Anggota direksi tidak boleh menjadi pesaing bagi perseroan yang
dipimpinnya, misalnya dengan mengambil sendiri kesempatan bisnis yang
seyogianya disalurkan kepada dan dilakukan oleh perseroan yang
dipimpinnya tetapi kesempaan bisnis itu disalurkan kepada perseroan lain
yang di dalamnya terdapat kepentingan pribadi anggota direksi itu.
244
245
Ibid, h. 426-427
Ibid, h. 428
3) Anggota direksi harus menolak untuk mengambil keputusan mengenai
sesuatu hal yang diketahuinya atau sepatutnya diketahui akan dapat
mengakibatkan perseroan melanggar ketentuan perundang-undangan yang
berlaku sehingga perseroan terancam dikenai sanksi oleh otoritas yang
berwenang, misalnya dicabut izin usahanya atau dibekukan kegiatan
usahanya, atau digugat oleh pihak lain.
4) Anggota direksi dengan sengaja atau karena kelalaiannya telah tidak
melakukan atau telah tidak cukup melakukan upaya atau tindakan yang
perlu diambil untuk mencegah timbulnya kerugian bagi perseroan.
5) Anggota direksi dengan sengaja atau kelalaiannya telah tidak melakukan
atau telah tidak cukup melakukan upaya atau tindakan yang perlu diambil
untuk meningkatkan keuntungan perseroan.
d.
Business Judgement Rule
Disamping prinsip-prinsip yang telah diuraikan diatas tersebut, para
pengurus perseroan (direksi) harus juga menyadari dan memahami betapa penting
dan berpengaruhnya suatu tindakan yang dilakukannya dalam mengelola
perusahaan sesuai dengan tujuan usaha perseroan (bisnis), dengan demikian
sebelum
memutuskan
melakukan
suatu
tindakan
haruslah
berdasarkan
pertimbangan bisnis yang berpedoman kepada apa yang disebut Business
Judgment Rule.
Pertimbangan bisnis dari direksi tidak akan diganggu gugat oleh pihak lain
dan mereka tidak dapat dibebani tanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul
dari suatu tindakan berdasarkan suatu pertimbangan bisnis yang benar.
Dalam Black’s Law Distionary 246 diartikan Business Judgment Rule : Rule
immunizes management from liability in corporate transaction undertaken within
power of corporation and authority of management where there is reasonable
basis to indicated that transaction was made with due care and good faith.
(Peraturan yang memberi perlindungan bagi managemen dari tanggung jawab atas
246
Hendry Campbell Black, op.cit. h. 200
transaksi perseroan yang dilakukan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan
sesuai dengan kewenangan managemen (direksi) didasarkan pada alasan-alasan
kuat dan dapat menunjukkan bahwa transaksi dilakukan dengan penuh kehatihatian dan beritikad baik).
Business Judgement Rule tidak akan melindungi anggota direksi perseroan
jika dalam transaksi bisnis yang dilakukan kemudian diketahui atau terbukti
bahwa direksi tersebut telah berupaya untuk menonjolkan kepentingan pribadinya
atau membuat syarat-syarat transaksi yang dilakukan demi kepentingan
pribadinya. Oleh karena itu judgement yang telah diambil itu tidak dapat
dikatakan sebagai : discretionary exercise of power on behalf of the corporation,
yang merupakan tindakan yang mengandung kecurangan (fraud) dan benturan
kepentingan (conflict of interest)
Menurut Robert Charles Clark 247, Business Judgement Rule: a
presumption that in making a business decision, the directors of corporation
acted on an informed basis in good faith and in the honest belief that the action
was take in the best interest of the company. (Suatu tindakan atau kebijakan
dalam mengambil keputusan bisnis yang dilakukan oleh para direksi perseroan
yang didasarkan pada alasan-alasan yang jelas dan dipahami serta berdasarkan
itikad baik dengan diyakini sepenuhnya bahwa tindakan yang dilakukan adalah
yang terbaik bagi perseroan).
Doktrin business judgement rule ini dapat bertentangan dengan doktrin
duty of care, namun dalam kenyataannya kedua doktrin ini dapat saling mengisi.
247
Robert Charles Clark dalam Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, (Jakarta : PT.
Pustaka Utama Grafiti, 2002), h. 429
Business judgement rule memberi kelonggaran terhadap doktrin duty of care,
karena walaupun pertimbangan bisnis yang diambil keliru, para direksi tidak akan
dibebani tanggung jawab kecuali dalam hal tertentu. Doktrin duty of care (prinsip
kehati-hatian) tidak lagi seluruhnya berlaku, apabila pertimbangan-pertimbangan
bisnis telah dilakukan dengan itikad baik dan bila ada kerugian akibat tindakan
berdasarkan pertimbangan bisnis, maka tidaklah dapat dimintakan tanggung
jawab sepenuhnya dari para direksi, hanya pada hal-hal tertentu saja.
Untuk mengetahui perbuatan dan pertimbangan bisnis yang dapat
dilindungi oleh Business Judgement Rule, dapat melihat beberapa putusan
pengadilan di Amerika Serikat walaupun tidak seragam dalam menentukan
pengecualian-pengecualian terhadap Business Judgement Rule tersebut. Beberapa
rumusan yang diperoleh dari putusan-putusan pengadilan di Amerika Serikat
sebagai berikut : 248
1) Pertimbangan (judgement) seorang direksi tidak dapat diganggu gugat kecuali
apabila pertimbangan (judgement) tersebut didasarkan pada suatu kecurangan
(fraud), atau menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest) atau
merupakan perbuatan yang melanggar hukum (illegality).
2) Seorang direktur dalam mengambil keputusan dengan pertimbangan bisnis
yang telah merugikan perseroan tidak dilindungi oleh business judgement rule
apabila kerugian tersebut adalah akibat kelalaian berat (gross negligence) dari
anggota direksi tersebut.
248
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit. h. 429-430
Menurut konsep tersebut diatas tidak semua kepailitan akan membawa
direksi kearah pertimbangan yang ditentukan pasal 104 ayat (2) UUPT melainkan
hanya yang karena kesalahan direksi sebagai akibat gross negligence, fraud,
conflict of interest atau illegality.
Sepintas tampak doktrin business judgement rule menyisihkan kekuatan
berlakunya doktrin duty of care. Direksi tidak harus bertanggung jawab atas
terjadinya kerugian perseroan apabila anggota direksi dalam mengambil suatu
pertimbangan (judgement) dilakukan dengan itikad baik. Jadi isi dari doktrin
business judgement rule dan duty of care dapat dipakai untuk mengisi atau
menjadi acuan dalam menerapkan asas itikad baik dan asas tanggung jawab yang
dimaksudkan dalam Pasal 97 ayat (2) UUPT. 249
Agar kedua doktrin duty of care dan business judgernent rule, satu sama
lain tidak saling berbenturan tetapi dapat sejalan satu dengan lainnya, menjadi
pegangan adalah formulasi ini : “The director’s business judgement cannot be
attached unless their judgement was arrived at in negligent manner, or was
tainted by fraud, conflict of interest, or illegally atau the business judgement rule
presupposes that reasonable diligence lies behind the judgement in question”.
Untuk membuat kedua konsep tersebut konsisten satu sama lain adalah tidak
mudah, karena memisahkan antara apa yang disebut a honest mistake dan a
negligent mistake sangat sulit dilakukan. 250
e.
Doktrin Ultra Vires
249
Ibid, h. 431
Robert Charles Clark dalam Gunawan Widjaya, Tanggung Jawab Direksi atas
Kepailitan Perseroan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 41
250
Fiduciary duties mewajibkan para direksi melakukan kegiatan yang benarbenar menjadi kewenangannya dan tidak boleh melakukan kegiatan yang berada
diluar kewenangannya ini disebut sebagai ultra vires. Doctrin of Ultra Vires
dikenal dalam hukum perseroan dan doktrin ini menganut paham : apabila suatu
kontrak dibuat oleh perseroan tidak dalam kerangka maksud dan tujuan dari
perseroan, maka kontrak tersebut adalah “ultra vires the company” dan kontrak
itu adalah batal demi hukum atau tidak sah. Apabila kontrak yang dilakukan
masih dalam kerangka maksud dan tujuan perseroan atau masih dalam
kapasitasnya disebut “intra vires” dan tindakan itu sah dan mengikat. Perbuatan
ultra vires adalah perbuatan hukum yang tidak boleh dilakukan perseroan karena
berada di luar cakupan maksud dan tujuan perseroan. Perbuatan ultra vires pada
prinsipnya adalah perbuatan yang batal demi hukum dan oleh karena itu tidak
mengikat perseroan. 251
Menurut Haj Ford ada 2 (dua) hal yang berhubungan dengan tindakan
ultra vires perseroan yakni : 252
1) Tindakan yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta
Anggaran Dasar perseroan adalah tindakan yang berada di luar maksud dan
tujuan perseroan, dan
2) Tindakan dari direksi perseroan yang berada di luar kewenangan yang
diberikan kepadanya berdasarkan ketentuan yang berlaku termasuk Anggaran
Dasar perseroan.
251
252
Fred BG Tumbuan dalam Gunawan Widjaya, op.cit. h. 22
Haj Ford dalam Gunawan Widjaya, op.cit. h. 22
Namun sampai berapa jauh suatu perbuatan dapat dikatakan telah menyimpang
dari maksud dan tujuan perseroan untuk dapat dikategorikan sebagai perbuatan
ultra vires, harus dapat dilihat dari kebiasaan atau kelaziman yang terjadi dalam
praktek dunia usaha. 253
Doktrin ultra vires dimaksudkan untuk melindungi para kreditor
perseroan, dimana asset perseroan hanya dapat digunakan untuk tujuan-tujuan
perseroan sebagaimana telah ditetapkan atau dimasukkan dalam Anggaran Dasar
Perseroan. Doktrin ini juga dimaksudkan untuk melindungi para pemegang saham
perseroan yang telah menginvestasikan uangnya pada perseroan yang dikaitkan
dengan maksud dan tujuan tertentu, karena para pemegang saham bersedia
menginvestasikan dananya di perseroan karena yakin dengan apa yang menjadi
maksud dan tujuan dari pada perseroan tersebut sesuai dengan bisnis yang
dikehendakinya. Jadi harus ada persesuaian antara maksud dan tujuan bisnis
perseroan dengan keyakinan dan kepercayaan para pemegang saham terhadap
perseroan tersebut.
Doktrin ultra vires ini berpedoman kepada 2 (dua) teori yang berbeda,
yang pertama menganut pengertian bahwa suatu perseroan berwenang melakukan
sesuatunya sepanjang anggaran dasar tidak melarangnya. Jadi perseroan dapat
melakukan tindakan apapun yang tidak dilarang oleh anggaran dasarnya. Teori
kedua berpendapat bahwa perseroan hanya berwenang untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang telah diberi kewenangan oleh anggaran dasar
253
Fred BG Tumbuan dalam Gunawan Widjaya, op.cit. h.22
perseroan, sehingga apabila anggaran dasar tidak menentukan bahwa perseroan
dapat melakukan perbuatan tertentu maka perseroan tidak dapat melakukannya.
Dalam Pasal 2 UU Nomor 40 Tahun 2007(UUPT) telah diatur bahwa
perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan oleh direksi atas nama perseroan
haruslah sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan atau kesusilaan.
Dari ketentuan tersebut jelas perseroan tidak diperkenankan melakukan kegiatan
yang tidak sejalan dengan maksud dan tujuan perseroan. Jika perseroan melalui
tindakan para direksi melakukan perbuatan yang berada di luar lingkup maksud
dan tujuan perseroan (ultra virec), maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan
sebagai perbuatan yang illegal. Hal ini juga telah ditegaskan dalam KUHPerdata,
bahwa perseroan tidak dapat melakukan perjanjian yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan atau kesusilaan. Kegiatan
atau transaksi yang dilakukan oleh perseroan dengan melanggar ketentuan Pasal 2
UUPT itu tidak memenuhi ketentuan Pasal 1320 ayat (4) jo. Pasal 1335 dan Pasal
1337 KUHPerdata, dimana sahnya perjanjian memerlukan causa yang tidak
dilarang oleh Undang-Undang dan tidak merugikan atau melanggar kepentingan
umum, maka putusan pengadilan atas gugatan pihak-pihak dengan dalil
melanggar Pasal 2 UUPT ini, harus menyatakan transaksi itu batal demi hukum
(tidak sah sejak semula). 254
f.
Actio Pauliana
254
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit. h. 435
Actio Pauliana adalah tuntutan melakukan tindakan pembatalan atas
perbuatan debitor yang beritikad buruk (bad faith) yang merugikan kreditor.
Undang-undang Kepailitan memberi hak kepada kurator untuk memintakan
permohonan pembatalan atas perbuatan-perbuatan hukum debitor pailit, yang
dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan yang bersifat merugikan
harta pailit secara keseluruhan maupun kerugian terhadap para kreditor.
Perjanjian atau perbuatan hukum tersebut adalah bersifat dapat dibatalkan dan
bukan batal demi hukum.
Prinsip dasar suatu perjanjian adalah memenuhi syarat-syarat untuk
sahnya suatu perjanjian itu sebagaimana dirumuskan Pasal 1320 KUHPerdata jo.
Pasal 1338 KUHPerdata dan Pasal 1341 KUHPerdata. Perjanjian atau perbuatan
hukum yang dapat dibatalkan adalah perjanjian yang tidak memenuhi syarat
kecakapan dan atau tidak adanya kesepakatan, serta perjanjian yang tidak
diwajibkan yang dibuat tidak dengan itikad baik yang merugikan kepentingan
kreditor.
Undang-Undang
Kepailitan
memberi
hak
kepada
kurator
untuk
membatalkan perjanjian dan atau perbuatan hukum debitor pailit yang dilakukan
sebelum pernyataan pailit diputuskan tetapi belum sepenuhnya diselesaikan pada
saat pernyatan pailit dikeluarkan. Juga untuk meminta pembatalan atas suatu
perbuatan hukum yang telah selesai dilakukan sebelum pernyataan pailit
dikeluarkan. Pemberian hak untuk pembatalan ini sangat berarti bagi
perlindungan
kepentingan
kreditor
secara
keseluruhan,
terutama
untuk
menghindari perbuatan yang beritikad buruk (bad faith) dari debitor nakal dengan
pihak-pihak tertentu yang bertujuan untuk merugikan kepentingan dari satu atau
lebih kreditor yang beritikad baik (good faith) ataupun kepentingan harta pailit
keseluruhan.
Untuk dapat membatalkan suatu perbuatan hukum yang telah dilakukan
oleh debitor pailit dengan pihak ketiga sebelum pernyataan pailit diucapkan yang
merugikan harta pailit, undang-undang mensyaratkan bahwa pembatalan terhadap
perbuatan hukum tersebut hanya dimungkinkan jika dapat dibuktikan bahwa pada
saat perbuatan tersebut dilakukan debitor dan dengan pihak siapa perbuatan
hukum itu dilakukan mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan
kerugian bagi kreditor, kecuali apabila perbuatan tersebut adalah suatu perbuatan
hukum yang wajib dilakukan berdasarkan perjanjian dan atau undang-undang
(Pasal 41 ayat (2), (3) UU No. 37 Tahun 2004 (UUK dan PKPU). Dari ketentuan
tersebut perbuatan hukum yang tidak wajib atau yang secara finansial merugikan
kepentingan keuangan debitor yang dinyatakan pailitlah yang dapat dibatalkan.
Untuk adanya kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan (pihak
ketiga) di luar kreditor seperti pihak penerima kebendaan yang diberikan oleh
debitor, Pasal 42 UUK dan PKPU menegaskan bahwa selama perbuatan hukum
yang merugikan para kreditor tersebut dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, dan perbuatan tersebut tidak
wajib dilakukan debitor yang dinyatakan pailit, maka kecuali dapat dibuktikan
sebaliknya, debitor dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap
mengetahui atau sepatutnya mengetahui perbuatan tersebut akan mengakibatkan
kerugian bagi kreditor.
Menurut Fred BG Tumbuan, syarat-syarat yang harus dipenuhi agar
dapat dilakukan actio paulina (tindakan pembatalan) menurut Pasal 41 sampai
dengan Pasal 46 UU Kepailitan adalah : 255
1)
2)
3)
4)
Debitor telah melakukan suatu perbuatan hukum.
Perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan debitor.
Perbuatan hukum dimaksud telah merugikan kreditor.
Pada saat melakukan perbuatan hukum tersebut debitor mengetahui atau
sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan merugikan
kreditor dan
5) Pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan, pihak dengan siapa
perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui
bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi
kreditor.
Apabila pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan, hanya debitor saja
yang mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut
akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor, sedang pihak dengan siapa perbuatan
itu dilakukan ternyata beritikad baik, hal ini tidak diatur dalam ketentuan UUK
dan PKPU pada hal seharusnya pihak yang beritikad baik dilindungi oleh undangundang. Perlindungan pihak ketiga yang beritikad baik ini hanya dapat dilakukan
dengan bercermin pada Pasal 42 tersebut yang menegaskan bila perbuatan hukum
tersebut dilakukan dalam jangka waktu l (satu) tahun sebelum pernyataan pailit
dikeluarkan, sedang perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan kecuali dapat
dibuktikan sebaliknya dan debitor serta pihak ketiga dianggap mengetahui dan
patut mengetahui perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi kreditor dalam
hal perbuatan-perbuatan sebagaimana diterangkan dalam Pasal 42 point a sampai
dengan g UUK dan PKPU. Dari ketentuan tersebut di atas seo1ah-olah dalam
255
Fred BG Tumbuan dalam Rudhy A. Lontoh et.al, Penyelesaian Utang Piutang melalui
Pailit atau PKPU, (Bandung : Alumni, 2001), h. 129
Pasal 42 ini pihak ketiga yang beritikad baik tidak diperlindungi lagi, atau dengan
perkataan lain itikad baik pihak ketiga telah dihilangkan oleh syarat-syarat
perbuatan butir a sampai dengan butir g dalam Pasal 42 UUK dan PKPU tersebut.
Oleh karena itu yang menjadi tugas debitor dan pihak ketiga adalah untuk
membuktikan bahwa perbuatan hukum yang dilakukan olehnya tersebut adalah
perbuatan hukum yang wajib dilakukan oleh debitor pailit dan perbuatan hukum
tersebut tidak mengakibatkan kerugian bagi para kreditor.
J.B. Huizink berpendapat: “Undang-undang Kepailitan melindungi pihak
yang diuntungkan yang beritikad baik, dengan meniadakan daya laku pembatalan
sepanjang pihak-pihak yang diuntungkan menunjukkan bahwa ia pada saat
pernyataan kepailitan dikeluarkan tidak diuntungkan oleh perbuatan itu, untuk
dipersyaratkan bahwa pihak yang diuntungkan itu tidak tahu atau tidak
seharusnya mengetahui bahwa perbuatan itu akan merugikan para kreditor” 256
Segala tuntutan hukum yang meminta pembatalan maupun pengembalian
atas segala sesuatu yang telah diserahkan oleh debitor pailit kepada pihak ketiga,
harus dimajukan sendiri oleh kurator ke pengadilan (Pasal 47 ayat (1) UUK dan
PKPU), yakni berdasarkan kapasitasnya sebagai pengurus harta pailit dan untuk
kepentingan harta pailit. Dengan demikian para kreditor tidak dapat meminta
pembatalan tersebut secara langsung, namun diberikan hak kepada kreditor untuk
membantah tuntutan kurator (Pasal 47 ayat (2) UUK dan PKPU) Lembaga actio
pauliana ini diciptakan untuk melindungi para kreditor agar tidak diperdaya oleh
debitornya yakni orang atau badan hukum maupun persekutuan yang dinyatakan
256
J.B. Huizink, Insolventie, Alih Bahasa Linus Doludjawa, (Jakarta: Pusat Studi Hukum
dan Ekonomi, FH UI, 2004), h. 120)
pailit. 257
Kurator mempunyai tugas untuk mencari informasi apakah orang,
pengurus badan hukum yang bertanggung jawab secara tanggung renteng dengan
semua harta pribadinya dalam hal perseroan (PT) yang dipimpinnya karena
kesalahannya atau kelalaiannya telah dinyatakan pailit, telah berusaha menjual,
menghibahkan, menjaminkan, menyewakan, menukarkan atau melakukan
tindakan lain dengan maksud untuk memperdayai kreditor atau para kreditornya.
Dalam hal permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitor berbentuk
PT, maka direksi hanya dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan niaga
agar perseroan dinyatakan pailit haruslah berdasarkan keputusan RUPS,
sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 89 ayat (1) UUPT. Demikian juga
permohonan PKPU yang diajukan debitor berbentuk PT, karena dapat berakhir
dengan kepailitan perseroan dimaksud, maka permohonan PKPU oleh direksi PT
juga harus berdasarkan keputusan RUPS. 258
Dari hasil penelitian di lima Pengadilan Niaga, permohonan Actio
Pauliana ada diajukan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan Pengadilan Niaga
Semarang, sedang di Pengadilan Niaga Medan, Pengadilan Niaga Surabaya, dan
Pengadilan Niaga Makasar hingga penelitian ini dilakukan belum ada
permohonan Actio Pauliana diajukan. Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 37
Tahun 2004 dan Penjelasannya, permohonan Actio Pauliana adalah menjadi
wewenang Pengadilan Niaga untuk memeriksanya dengan hukum acara yang
sama berlaku bagi perkara permohonan pernyataan pailit. “Actio Pauliana tidak
257
Robintan Sulaiman et.al., Lebih jauh tentang Kepailitan UU No. 4 tahun 1998
(Karawaci : F.H Univ Pelita Harapan, 2000), h. 44
258
Fred BG Tumbuan dalam Rudhy A. Lontoh et.al., Penyelesaian utang piutang melalui
pailit atau PKPU, (Bandung : Alumni, 2001), h. 245
terbuka untuk upaya hukum, karena kalau terbuka akan lama proses
penyelesaiannya, oleh karena itu Actio Pauliana bersifat serta merta. Memang ada
keraguan atau sedikit kerancuan dengan renvooi procedure apakah bersifat serta
merta atau tidak”. 259 Dalam prakteknya permohonan Actio Pauliana diajukan dan
diperiksa pada tingkat Kasasi hingga tingkat Peninjauan Kembali di Mahkamah
Agung, sehingga permohonan ini terbuka untuk upaya hukum dan sama seperti
permohonan pernyataan pailit.
Untuk jelasnya dikemukakan dari data perkara Actio Pauliana pada Tabel
1 dan Tabel 2 dapat disimpulkan :
Dari 8 (delapan) permohonan Actio Pauliana yang diajukan di Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat, dan 1 (satu) permohonan di Pengadilan Negeri Semarang,
sebanyak 8 (delapan) permohonan tidak dikabulkan dan 1 (satu) permohonan
dikabulkan sebahagian, sebagai putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap dari
masing-masing alasan dan pertimbangan hukum baik di tingkat pertama di
Pengadilan Niaga, tingkat Kasasi maupun di tingkat Peninjauan Kembali di
Mahkamah Agung.
Di bawah ini dikemukakan 2 (dua) putusan atas permohonan Actio
Pauliana yang hasil akhirnya tidak dikabulkan yakni sebagai berikut :
Putusan Mahkamah Agung Nomor 15 K/N/2000 jo. Putusan Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat Nomor 01/Actio Pauliana/2000/PN.Niaga Jkt.Pst. 260
Kasus Posisi :
259
Eliyana, dalam Kewajiban dan Standard Pelaporan dalam Kepailitan dan
Perlindungan Kurator, dan Harta Pailit, Editor : Emmy Yuhasrie et.al., Lokakarya, Jakarta 18-19
Nopember 2003, h. 94-95.
260
Himpunan Putusan-putusan Mahkamah Agung dalam Perkara Kepailitan, jilid 6,
(Jakarta : PT. Tatanusa, 2000), h. 75-95.
William E Daniel (Pemohon) selaku Kurator PT Ometraco Multi Artha telah
mengajukan permohonan Pembatalan Perbuatan Debitor (Actio Pauliana)
terhadap :
a. PT. Ometraco Multi Artha (dalam kepailitan) sebagai Termohon I
b. PT. Duta Trada Internusa sebagai Termohona II, dengan dalil-dalil yang pada
pokoknya sebagai berikut :
− Bahwa PT. Ometraco Multi Artha (PT. OMA) telah dinyatakan pailit oleh
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 13 Nopember 1998 dengan
putusan nomor 03/PKPU/1998/PN Niaga Jkt.Pst., sehingga sejak tanggal
tersebut Kurator berwenang untuk melaksanakan tugas kepengurusan dan atau
pemberesan atas harta PT. OMA tersebut.
− Bahwa PT. Duta Trada Internusa (PT. DTI) adalah salah satu perseroan yang
telah mendapat pinjaman dari PT. OMA berupa fasilitas anjak piutang untuk
keperluan modal kerja.
− Bahwa PT. OMA dan PT. DTI telah terikat dalam beberapa perjanjian anjak
piutang atau factoring sebagai berikut :
1) Perjanjian Factoring No. F197-K-026 dengan jumlah fasilitas sebesar Rp.
31.627.144.468 yang jatuh tempo pada tanggal 23 Februari 1998.
2) Perjanjian Factoring No. F197-K-036 dengan jumlah fasilitas sebesar Rp.
4.350.888.460 yang jatuh tempo pada tanggal 23 Februari 1998.
3) Perjanjian Factoring No. F197-K-045 dengan jumlah fasilitas sebesar Rp.
6.423.240.197 yang jatuh tempo pada tanggal 26 Januari 1998.
4) Perjanjian Factoring No. F197-K-046 dengan jumlah sisa tunggakan
fasilitas sebesar Rp. 1.575.393.849 yang jatuh tempo pada tanggal 10
Maret 1998.
− Bahwa berdasarkan perjanjian-perjanjian tersebut di atas, kewajiban PT. DTI
kepada PT. OMA adalah sejumlah Rp. 43.976.666.974 (empat puluh tiga
milyar sembilan ratus tujuh puluh enam juta enam ratus enam puluh enam
ribu sembilan ratus tujuh puluh empat rupiah).
− Bahwa pada tanggal 20 April 1998 PT. DTI telah menegaskan bahwaPT. DTI
belum dapat melunasi kewajibannya kepada PT. OMA dan bermaksud
memberikan obligasi PT. Ciputra Surya I dengan nilai sebesar Rp. 31.000.000
dan obligasi PT. Ekagunatama Mandiri dengan nilai sebesar Rp.
12.006.000.000 sebagai jaminan atas pelunasan kewajibannya tersebut.
− Bahwa pada tanggal 3 Mei 1998, PT. OMA telah setuju untuk menerima
obligasi PT. Ciputra Surya I dan Obligasi PT. Ekagunatama Mandiri dengan
syarat dibuatkan gadai dan surat kuasa menjual atas obligasi tersebut dan
segera menyerahkan surat-surat aslinya, maka pada tanggal 2 Juli 1998 PT.
OMA telah menerima kupon obligasi PT. Ekagunatama Mandiri dengan nilai
total sebesar Rp. 12.006.000.000 berikut dengan kupon bunga sejumlah Rp.
132.232.750 dan kupon obligasi PT. Ciputra Surya I dengan nilai total Rp.
31.000.000,- berikut dengan kupon bungan sejumlah Rp. 775.000.000 atau
secara keseluruhan bernilai Rp. 43.913.232.750.
− Bahwa mengingat saat jatuh tempo pembayaran hutang PT. DTI kepada PT.
OMA sudah terlewati tanpa ada penyelesaian, maka pada tanggal 7 Agustus
1998 Debitor telah mengajukan surat peringatan kepada PT. DTI untuk segera
menyelesaikan seluruh kewajibannya serta mengingatkan akan melakukan
eksekusi atas jaminan berupa gadai obligasi.
− Bahwa pada tanggal 18 Agustus 1998 PT. OMA memberitahukan kepada PT.
DTI tentang telah dieksekusinya obligasi PT. Ciputra Surya I senilai Rp.
9.000.000.000 sebagai dimohonkan oleh PT. DTI dan peringatan untuk
membayar sisa tunggakan sebesar Rp. 34.976.666.974,- walaupun pada
kenyataannya pada tanggal 18 Agustus 1998 tersebut PT. OMA tidak pernah
menjual atau mengalihkan obligasi tersebut sebagai eksekusi atas jaminan PT.
DTI.
− Bahwa pada tanggal 25 Agustus 1998 PT. OMA telah mengajukan surat
peringatan kepada PT. DTI untuk segera menyelesaikan seluruh sisa
kewajibannya sebesar Rp. 34.976.666.974,- sekaligus peringatan untuk
mengeksekusi jaminan dari PT. DTI.
− Bahwa pada tanggal 3 September 1998 PT. OMA memberitahukan kepada
PT. DTI tentang telah dieksekusinya obligasi PT. Ciputra Surya I berikut
kupon bunganya dengan nilai seluruhnya sebesar Rp. 20.775.000.000,- dan
memberi
peringatan
agar
membayar
sisa
tunggakan
sebesar
Rp.
14.201.666.974,- walaupun pada kenyataannya pada tanggal 3 September
1998 tersebut PT. OMA tidak pernah menjual atau mengalihkan obligasi
tersebut sebagai eksekusi atas jaminan PT. DTI.
− Bahwa pada tanggal 9 September 1998 PT. OMA telah mengajukan surat
peringatan kepada PT. DTI untuk segera menyelesaikan seluruh sisa
kewajibannya sebesar Rp. 14.201.666.974,- dan pada tanggal 14 September
1998 PT. DTI telah meminta PT. OMA atau Debitor untuk hanya
mengeksekusi obligasi PT. Ciputra Surya I sebesar Rp. 2.000.000.000,- dan
obligasi PT. Ekagunatama Mandiri sebesar Rp. 12.006.000.000,- ditambah
bunga yang belum diuangkan sebesar Rp. 132.231.750,- sebagai pelunasan
sisa tagihan PT. DTI.
− Bahwa pada tanggal 16 September 1998 Direksi PT. OMA telah membuat
Berita Acara Pelunasan Hutang atas nama PT. DTI yang pada intinya
mempertimbangkan dan menyetujui pelunasan hutang PT. DTI dengan
mengeksekusi gadai obligasi PT. Ciputra Surya I dan PT. Ekagunatama
Mandiri berikut kupon bunganya dengan nilai seluruhnya sebesar Rp.
14.138.232.750,- sehingga masih tersisa tunggakan sebesar Rp. 63.434.224,sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Pelunasan atas nama PT. DTI
tertanggal 16 September 1998, dan pada tanggal yang sama PT. OMA
diwakili oleh Direksinya telah menyetujui penghapusan (Write Off) atas sisa
tunggakan hutang factoring PT. DTI sebesar Rp. 63.434.224,- tanpa ada
alasan yang mendasarinya.
− Bahwa walaupun pada tanggal 16 September 1998 telah dilakukan pelunasan
(Writer Off) atas sisa tunggakan hutang PT. DTI sebesar Rp. 63.434.224,tetapi pada tanggal 17 September 1998 PT. OMA mengajukan surat No.
080/OMA-MKT-KPNO.IX/1998 kepada PT. DTI yang pada intinya
merupakan surat penagihan atas sisa tunggakan hutang tersebut di atas di
samping pemberitahuan tentang telah dieksekusinya obligasi PT. Ciputra
Surya I dan obligasi PT. Ekagunatama Mandiri berikut dengan kupon
bunganya dengan total Rp. 14.138.232.750,- yang pada kenyataannya
eksekusi tersebut tidak pernah dilakukan PT. OMA.
− Bahwa 2 (dua) bulan setelah disetujuinya pelunasan atas kewajiban PT. DTI
kepada PT. OMA, PT. OMA dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat
pada
tanggal
13
Nopember
1998
melalui
putusan
Nomor
03/PKPU/1998/PN Niaga Jkt.Pst. yang menunjuk Pemohon sebagai Kurator
untuk melaksanakan tugas pengurusan atau pemberesan atas harta pailit.
− Bahwa dalam rangka tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit, pada
tanggal 27 April 1999 dan 27 Mei 1999 pemohon atau Kurator atas
persetujuan panitia kreditor dari PT. OMA telah melakukan penjualan obligasi
PT. Ekagunatama Mandiri melalui broker PT. Citramas Securindo dengan
harga Rp. 2.887.182.750,- dan penjualan obligasi PT. Ciputra Surya I melalui
broker PT. Sentra Investindo dengan harga Rp, 5.270.000.000,- sehingga
seluruhnya berjumlah Rp. 8.157.182.750,− Bahwa setelah mendapatkan hasil penjualan obligasi PT. Ekagunatama
Mandiri dan PT. Ciputra Surya I yang ternyata bernilai jauh dari nilai yang
dijaminkan oleh PT. DTI, maka Pemohon atau Kurator berkewajiban untuk
menyelidiki kembali tindakan PT. OMA sehubungan dengan pelunasan sisa
tunggakan hutang PT. DTI mengingat hasil penjualan obligasi yang diterima
PT. OMA sebagai pelunasan tunggakan hutang PT. DTI sebesar Rp.
43.976.666.974,- pada kenyataannya hanya bernilai Rp. 8.157.182.750,sehingga jelas terbukti tindakan pelunasan tunggakan hutang yang dilakukan
secara sepihak oleh PT. OMA terhadap hutang PT. DTI pada kenyataannya
telah menyebabkan kerugian, yang dalam hal ini telah merugikan kepentingan
para kreditor PT. OMA.
− Bahwa Pemohon berkeyakinan apabila PT. OMA tidak memberikan
pernyataan pelunasan tunggakan hutang PT. DTI sebelum obligasi PT.
Ekagunatama Mandiri dan PT. Ciputra Surya I benar-benar dieksekusi atau
dijual dan diketahui hasil penjualannya, maka PT. OMA tidak akan
kehilangan piutangnya yang berjumlah milyaran rupiah tersebut.
− Bahwa dari dokumentasi yang dipelajari oleh Pemohon dengan jelas dapat
diduga bahwa tindakan PT. OMA yang memberikan pelunasan hutang kepada
PT. DTI dengan menyatakan bahwa PT. OMA telah mengeksekusi obligasi
PT. Ekagunatama Mandiri dan PT. Ciputra Surya I untuk melunasi hutang PT.
DTI adalah salah dan keliru bahkan terkesan terburu-buru. Hal ini dapat
diyakini mengingat pada kenyataannya PT. OMA belum melakukan eksekusi
atas obligasi PT. Ekagunatama Mandiri dan PT. Ciputra Surya I sebagaimana
dimaksud dalam surat PT. OMA no. 080/OMA/MKT-KPNO/IX/1998
tertanggal 107 September 1998.
− Bahwa seharusnya PT. OMA dan PT. DTI mengetahui dan sepatutnya
mengetahui bahwa perbuatan hukum PT. OMA pada tanggal 14 Agustus
1998, 2 September 1998 dan 16 September 1998 yang memberikan pelunasan
dan write off atas hutang PT. DTI akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor
PT. OMA mengingat pada saat pemberian pelunasan itu dilakukan PT. OMA
sedang menghadapi tuntutan pailit dan bahkan berencana untuk mengajukan
permohonan PKPU yang dibuktikan dengan diberikannya kuasa kepada kuasa
hukumnya pada tanggal 17 September 1998 untuk mengajukan permohonan
PKPU melalui Pengadilan Niaga Jakarta Pusat atas permohonan kepailitan
yang diajukan oleh sebagian kreditor PT. OMA.
− Bahwa mengingat tindakan hukum PT. OMA yang menghapuskan hutang PT.
DTI tersebut dilakukan kurang lebih 2 (dua) bulan sebelum debitor dinyatakan
pailit atau pada saat PT.OMA seharusnya dan sepatutnya telah mengetahui
dan menyadari keadaan keuangan PT. OMA yang dipertanyatakan oleh para
kreditor PT. OMA bahkan pada saat itu PT. OMA sedang menghadapi
permasalahan hukum akibat tuntutan dari para kreditornya untuk pelunasan
hutang PT. OMA, maka sudah seharusnya dan sepatutnya PT. OMA dan PT.
DTI mengetahui dan menyadari bahwa tindakan hukum PT. OMA yang
menghapuskan hutang PT. DTI tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi
para kreditor PT. OMA.
− Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 42 point a jo. Pasal 41 ayat (2), debitor
telah dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakannya
yang menghapuskan hutang PT. DTI adalah merugikan kepentingan para
kreditor PT. OMA.
Berdasarkan hal-hal yang dikuraikan tersebut di atas, Pemohon mohon kepada
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat untuk memutuskan pada pokoknya sebagai
berikut :
− Mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya
− Menyatakan sah Perjanjian-perjanjian anjak piutang Termohon yaitu :
Factoring No. F197-K-026, Factoring No. F197-K-036 dan Factoring No.
F197-K-045.
− Menyatakan bahwa tindakan PT. OMA yang menghapuskan hutang PT. DTI
secara bertahap seluruhnya Rp. 43.976.666.974,- pada tanggal 14 Agustus
1998, 2 September 1998 dan 16 September 1998 adalah batal.
− Menyatakan bahwa surat-surat di bawah ini adalah batal dan tidak sah : Berita
Acara Pelunasan a/n PT DTI tertanggal 14 Agustus 1998, tertanggal 2
September 1998, tertanggal 16 September 1998, Berita Acara Penghapusan
(write off) a/n PT. DTI tertanggal 14 September 1998, Surat PT.OMA no.
062/OMA-MKT-KPNO/VIII/1998 tertanggal 18Agustus 1998, Surat PT.
OMA No. 079/OMA-MKT-KPNO/IX/1998 tertanggal 3 September 1998,
Surat PT. OMA No. 080/OMA-MKT-KPNO/IX/1998 tertanggal 17
September 1998, Surat PT. OMA kepada PT. DTI tanggal 25 Agustus 1998
dan tanggal 9 September 1998.
− Menyatakan bahwa sah tindakan Kurator dalam rangka pemberesan harta
pailit yang telah mengeksekusi obligasi PT. Ciputra Surya I dan PT.
Ekagunatama Mandiri pada tanggal 27 April 1999 dan tanggal 27 Mei 1999
dengan harga seluruhnya sebesar Rp. 8.157.182.750,− Menyatakan bahwa PT. DTI berhutang kepada Budel Pailit PT.OMA dan
karenanya memberitahukan PT. DTI untuk segera melunasi seluruh kewajiban
hutangnya sekurang-kurangnya Rp. 35.819.484.224,- atau merupakan selisih
antara jumlah seluruh hutang PT. DTI sebesar Rp. 43.976.666.974,- dengan
harga jual obligasi PT. Ciputra Surya I dan PT. Ekagunatama Mandiri
sejumlah Rp. 8.157.182.750,- ditambah dengan denda akibat keterlambatan
sebesar 5% perbulan sebagaimana yang telah diperjanjikan dalam Perjanjianperjanjian Anjak Piutang.
Pengadilan Niaga :
Bahwa selanjutnya terhadap permohonan Actio Pauliana tersebut Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat telah mengambil putusan tanggal 2 Maret 2000 No.01/Actio
Pauliana/2000/PNNiaga Jkt.Pst yang amarnya sebagai berikut :
− Menolak eksepsi Termohon
− Menolak Permohonan Pemohon
− Membebankan biaya perkara kepada Pemohon
Bahwa selanjutnya pihak Pemohon telah mengajukan Kasasi dengan mengajukan
dalil-dalil yang pada pokoknya sebagai berikut :
− Bahwa yudex factie kurang teliti dalam melihat pokok permasalahan serta
tidak mempertimbangkan hal-hal yang menjadi dasar permohonan Actio
Pauliana Pemohon yang telah diuraikan dalam permohonan pemohon.
− Bahwa yudex factie telah salah dalam menerapkan hukum pembuktian, sebab
yang menjadi dasar permohonan Actio Pauliana dari pemohon Kasasi adalah
Pasal 41 jo. Pasal 42 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan
yang menyebutkan bahwa atas perbuatan yang dilakukan sebelum lewat 1
(satu) tahun sebelum kepailitan, maka yang harus membuktikan bahwa
perbuatan itu tidak atau bukan perbuatan melawan hukum dan tidak
merugikan bagi budel pailit/kreditor adalah pihak lawan, ternyata dalam
putusan Nomor 01/Actio Pauliana/2000/PN Niaga.Jkt.Pst, bahwa hakim
yudex factie telah memeriksa bukti-bukti Pemohon Kasasi tanpa sedikitpun
membebankan pembuktian kepada Termohon.
Tingkat Kasasi :
Bahwa atas keberatan-keberatan kasasi tersebut Mahkamah Agung pada
pokoknya berpendapat sebagai berikut :
− Bahwa ternyata pada tanggal 13 Nopember 1998 PT. OMA dinyatakan pailit.
Pemohon sebagai Kurator ternyata telah menjual atau mengeksekusi obligasiobligasi tersebut di bawah harga melalui broker PT. Citramas Securindo dan
broker PT. Sentra Investindo seharga Rp. 8.157.182.750,- pada tanggal 27
Mei 1999 untuk obligasi PT. Ciputra Surya I dan tanggal 27 April 1999 untuk
obligasi PT. Ekagunatama Mandiri sehingga harga tidak sesuai dengan harga
yang disetujui baik oleh PT. OMA maupun PT. DTI yang mengakibatkan
kerugian bagi para kreditor PT. OMA. Seharusnya Pemohon sebagai Kurator
memberitahukan terlebih dahulu kepada PT. OMA maupun PT. DTI sebelum
menjual obligasi-obligasi tersebut. Atau seharusnya Pemohon mengembalikan
obligasi-obligasi tersebut kepada Termohon atau menunggu sampai obligasi
tersebut jatuh tempo, sehingga akan terlihat apakah tindakan PT. OMA dan
PT. DTI merugikan kreditor-kreditor PT. OMA atau tidak dan bukannya
mengajukan Actio Pauliana setelah Kurator sendiri menjual obligasi-obligasi
tersebut. Sehingga apa yang dilakukan Debitor, PT.OMA beserta PT. DTI
tidak terbukti telah merugikan kepentingan kreditor.
Berdasarkan pertimbangan tersebut Hakim Kasasi dalam keputusan Mahkamah
Agung nomor 15/K/N/2000 tanggal 16 Mei 2000 telah memberi keputusan
sebagai berikut :
− Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi William E. Daniel, selaku
Kurator PT. Ometraco Multi Artha (Dalam Kepailitan)
− Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar ongkos perkara
Terhadap putusan Kasasi Mahkamah Agung ini tidak diajukan Peninjauan
Kembali, oleh karena itu putusan ini telah menjadi putusan akhir dan telah
mempunyai kekuatan hukum tetap yang menegaskan bahwa permohonan
pembatalan perbuatan debitor (Actio Pauliana) yang diajukan Kurator terhadap
Debitor PT. Ometraco Multi Artha (Termohon I) dan pihak ketiga PT. Duta Trada
Internusa (Termohon II), tidak dikabulkan.
Selanjutnya di bawah ini adalah putusan terhadap permohonan Actio
Pauliana yang hasil akhirnya menyatakan bahwa permohonan dinyatakan tidak
dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard).
Putusan Mahkamah Agung No. 12 PK/N/2000 jo. Putusan Mahkamah
Agung No. 16 K/N/2000 jo. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 03/Actio
Paulina/2000/PN Niaga Jkt.Pst. 261
Kasus Posisi:
Tuti Simarangkir (Pemohon), selaku Kurator dari PT Fiskaragung Perkasa Tbk.
(dalam pailit) telah mengajukan permohonan Actio Pauliana terhadap:
a. PT Fiskaragung Perkasa Tbk. di Jakarta (dalam pailit), termohon I
261
Ibid, h. 377-398
b. PT Catnera International Ltd, Hongkong, Termohon II
dengan dalil-dalil yang pada pokoknya sebagai berikut:
− Bahwa PT Fiskaragung Perkasa Tbk. (Fiskar) adalah suatu Perseroan Terbatas
terbuka dan telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada
tanggal 26 Nopember 1999 dengan putusan No. 38/Pailit/1999/PN.Niaga
Jkt.Pst. jo. pustusan No, 6/PKPU/1999/PN Niaga Jkt.Pst., dan menurut Pasal
12 Undang-Undang Kepailitan sejak tanggal tersebut Kurator berwenang
untuk melaksanakan tugas kepengurusan dan atau pemberesan atas harta pailit
Fiskar.
− Bahwa setelah Pemohon (Kurator) melakukan pemeriksaan seksama atas
seluruh aset maupun dokumen perjanjian yang dibuat antara Fiskar dengan
pihak ketiga, timbul kecurigaan yang sangat beralasan bahwa Fiskar telah
melakukan tindakan atau perbuatan yang merugikan harta pailit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 Undang-Undang Kepailitan.
− Bahwa Fiskar (debitor) dan PT Catnera International Ltd. (Catnera) sebagai
kreditor telah menandatangani perjanjian utang untuk pokok sejumlah US $
3.000.000,- pada tanggal 1 Maret 1999 dan telah didaftarkan di Kantor
Notaris Abdul Majid di Jakarta di bawah nomor: 7980/Waar/III/1999
tertanggal 16 Maret 1999 dan Fiskar telah memberikan jaminan-jaminan
kepada Catnera.
− Bahwa sebelumnya Fiskar telah menerbitkan Medium Term Note (MTN)
yang jatuh tempo dan wajib dibayar pada tanggal 15 Mei 1998 dengan pokok
seluruhnya berjumlah US $ 29.000.000,- dan telah dibeli oleh pihak-pihak
yang dalam perkara No. 38/pailit/1999/PN Niaga Jkt. Pst. jo. Perkara No.
6/PKU/1999 PN Niaga Jkt.Pst yaitu para pemohon pailit: Hanil Leasing &
Finance (HK) Ltd., Kokmin Bank, Hanmi Leasing & Finance (HK) Ltd., KEB
Leasing & Finance Ltd, CBK Leasing & Finance (HK) Ltd., AMMB
International, First Citicorp Leasing (HK) Ltd., KDLC Leasing, ORIX Asia
Ltd., Kyongnam Bank.
− Bahwa dalam persyaratan yang tercantum dalam setiap MTN yang diterbitkan
oleh Fiskar tersebut terdapat ketentuan yang berbunyi: Selama masih ada
MTN yang belum dibayar perseroan maupun anak-anak perusahaanya tidak
akan memberikan ataupun menjadikan adanya suatu gadai, tanggungan,
hipotek, kuasa memasang hipotek atau beban (sebagaimana tersebut dalam
Undang-undang Nomor 4 tahun 1996) atau memberikan sebagai jaminan
untuk kepentingan pemegang efek atau kreditor lain atas seluruh atau
sebagian properti atau asetnya yang ada sekarang atau kemudian hari.
− Bahwa Fiskar dan The Sanwa Bank Ltd., telah menandatangani, Revolving
Loan Agreement tanggal 27 Oktober 1997, dimana Fiskar telah menyanggupi
untuk tidak akan memberikan asetnya sebagai jaminan dengan tanpa
persetujuan tertulis terlebih dahulu dari The Sanwa Bank Ltd.
− Bahwa Fiskar dan The Sanwa Bank Ltd., telah menandatangani, Facility
Agreement tanggal 27 Nopember 1997, dimana fiskar telah menyanggupi
untuk tidak menjaminkan asetnya.
− Bahwa berdasarkan ketiga perjanjian tersebut di atas telah terbukti dengan
sempurna dan tidak dapat disangkal lagi bahwa Fiskar telah berjanji dan
karenanya berkewajiban untuk tidak memberikan jaminan apapun kepada
kreditor siapapun sebelum utang-utangnya berdasarkan ketiga perjanjian
tersebut di atas telah dilunasi.
− Bahwa ternyata Fiskar telah tidak mentaati dan melanggar janji yang dibuat
sendiri dengan telah menandatangani perjanjian-perjanjian jaminan dengan
Catnera.
− Bahwa tindakan Fiskar sebagaimana diuraikan di atas adalah jelas merupakan
suatu perbuatan curang yang amat merugikan harta pailit dan tentunya sangat
merugikan para kreditor lainnya.
− Bahwa tindakan Fiskar dan Catnera tersebut adalah merupakan suatu tindakan
yang merugikan kepentingan harta pailit dan para kreditor lainnya dan sesuai
dengan Pasal 41 dan Pasal 42 UU Kepailitan beralasan apabila terhadap
tindakan Fiskar dan Catnera tersebut di atas dimintakan Pembatalan dengan
alasan sebagai berikut.
− Bahwa tindakan/perbuatan hukum antara Fiskar dan Catnera tersebut di atas
dilakukan/ditandatangani pada tanggal 1 Maret 1999, berarti ditandatangani
dalam kurun waktu sebelum 1 (satu) tahun sejak Fiskar dinyatakan pailit yaitu
tanggal 26 Nopember 1999, dan karenanya Fiskar dan Catnera dianggap
mengetahui bahwa tindakan/perbuatan hukum mereka tersebut akan
merugikan kreditor lainnya.
− Bahwa dibuat/ditandangani perjanjian-perjanjian jaminan oleh Fiskar bukan
merupakan hal yang wajib dilakukan oleh Fiskar.
− Bahwa perjanjian-perjanjian jaminan merupakan Pemberian Jaminan untuk
utang yang belum jatuh tempo, karena tanggal jatuh tempo perjanjian utang
adalah 12 bulan sejak perjanjian utang ditandatangani yaitu tanggal 1 maret
2000.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuaraikan tersebut di atas Pemohon memohonkan
antara lain agar:
− Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya.
− Menyatakan tidak sah dan batal perjanjian-perjanjian antara Fiskar (debitor)
dan Catnera (kreditor), beripa Loan Agreement, Hak Tangguangn, Jaminan
fiducia.
− Menyatakan bahwa seluruh aset yang dijaminkan adalah merupakan bagian
dari harta kepailitan.
Pengadilan Niaga:
Terhadap permohonan ini Pengadilan Niaga Jakarta pusat telah mengeluarkan
putusan tertanggal 26 April 2000, Nomor 03/Actio Paulina/2000/P Niaga Jkt.Pst
dengan amar sebagai berikut:
− Menolak permohonan pembatalan perbuatan hukum yang tidak diwajibkan
(Actio Paulina) dari pemohon tersebut.
− Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara.
Tingkat Kasasi:
Terhadap putusan Nomor 03/Actio Paulina/2000/ P Niaga Jkt. Pst tersebut telah
diajukan Kasasi oleh Pemohon dengan alasan dan dalil-dalil yang dikemukakan
dalam permohonan kasasi tersebut. Atas permohonan kasasi tersebut, Hakim
kasasi telah mengeluarkan putusan tertanggal 8 Juni 2000, nomor 016 K/N/2000
dengan amar putusan antara lain sebagai berikut:
− Menolak permohonan pembatalan perbuatan hukum yang tidak diwajibkan
(Actio Paulina) dari pemohon tersebut.
− Menghukum pemohon kasasi untuk membayar ongkos perkara.
Tingkat Peninjauan Kembali (PK):
Terhadap putusan kasasi nomor 016 K/N/2000 tersebut, Pemohon telah
mengajukan PK dengan alasan-alasan dan dalil-dalil antara lain sebagai berikut:
− Bahwa Majelis Hakim Agung dalam tingkat kasasi telah melakukan kesalahan
berat dalam menerapkan hukum, dimana Majelis dalam tingkat kasasi telah
menolak permohonan pembatalan perbuatan hukum yang tidak diwajibkan
(Actio Paulina) dari Pemohon tanpa mempertimbangan pokok perkara.
− Bahwa Majelis Mahkamah Agung belum memeriksa pokok perkara akan
tetapi baru memeriksa persyaratan formal atas permohonan kasasi dari
Pemohon kasasi, berarti dalam hal belum diperiksanya pokok perkara maka
Majelis Hakim Agung tidak dapat menolak suatu permohonan, melainkan
hanya dapat menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima. Bahwa
selanjutkan Mahkamah Agung telah mempertimbangkan alasan-alasan PK
dari Pemohon dengan pertimbangan antara lain sebagai berikut:
a. Bahwa oleh karena permohonan yang diajukan oleh Pemohon adalah
permohonan pembatalan perbuatan hukum debitor yang telah dinyatakan
pailit dengan pihak ketiga (Actio paulina), maka dengan belum
diperiksanya pokok perkara seharusnya Mahkamah Agung menyatakan
permohonan Pemohon tersebut tidak dapat diterima.
b. Bahwa selain itu, sesuai dengan pasal 280 ayat (2) PERPU No. 1 Tahun
1998 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan UndangUndang No. 4 Tahun 1998, kewenangan Pengadilan Niaga hingga saat ini
adalah memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan PKPU,
serta permohonan lain yang berkaitan dengan permohonan pernyataan
pailit.
c. Bahwa pembatalan perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit
dengan pihak ketiga (Actio Paulina), seperti halnya dengan pembatalan
perbuatan hukum dilakukan melalui suatu gugatan sengketa yang
penyelesaiannya harus dilakukan melalui suatu gugatan perdata di
Pengadilan Negeri, sedangkan suatu permohonan (seperti halnya
permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaiatan) tidak
merupakan sengketa.
d. Bahwa oleh karena itu permohonan pembatalan perbuatan hukum Debitor
yang telah dinyatakan pailit sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 41
PERPU No. 1 Tahun 1998 jo. UU Nomor 4 Tahun 1998, tidak dapat
diajukan ke Pengadilan Niaga, melainkan ke Pengadilan Negeri menurut
ketentuan Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi Pengadilan Negeri.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka Mahkamah Agung telah
mengabulkan permohonan PK dari pemohon dan membatalkan putusan
Mahkamah Agung dalam tingkat Kasasi Nomor 016 K/N/2000 tanggal 8 Juni
2000 tersebut serta mengadili kembali perkara ini dengan amar putusan :
Menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk
Verklaard).
Terhadap putusan tersebut di atas akan dikemukakan hasil wawancara
dengan seorang Kurator/Pengacara dalam pengalamannya menangani perkara
gugatan/permohonan Actio Paulina yang mengatakan: “Bahwa semula ada
kontroversi di kalangan hakim terhadap Actio Paulina, sebahagian hakim
berpendapat memeriksa Actio Paulina bukanlah wewenang Pengadilan Niaga
melainkan Pengadilan Negeri, tetapi sebahagian lagi berpendapat haruslah
ditangani oleh Pengadilan Niaga.” 262 Kontroversi ini terjadi adalah sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yakni Undang-Undang
Kepailitan dan PKPU, dimana dalam pasal 3 ayat (1) Undang-Undang tersebut
dalam penjelasannya telah ditegaskan bahwa Actio Paulina adalah wewenang
Pengadilan Niaga untuk memeriksanya.
262
Wawancara dengan Ricardo Simanjuntak, Ketua Umum Assosiasi Kurator dan
Pengurus Indonesia (AKPI) di Jakarta, 19 April 2007.
Selanjutnya akan dikemukakan perkara Actio Paulina dimana putusan
telah berkekuatan hukum tetap yang menyatakan Permohonan Pemohom Actio
Paulina dikabulkan untuk sebagian.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 013 PK/N/2003 tanggal 22 Desember
2003 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 22 K/N/2003 tanggal 10 Sepetember
2003 jo. Putusan Pengadilan Niaga, Jakarta Pusat Nomor 02/ Actio
Paulina/2003/PN Niaga Jkt. Pst tanggal 8 Juli 2003, 263 dimana MA berpendapat
bahwa pengalihan hak atas tanah debitor pailit kepada pihak ketiga tidak sah
karena dilakukan 3 (tiga) bulan sebelum debitor dinyatakan pailit dengan
pertimbangan bahwa debitor pailit maupun pihak ketiga (kreditor) mengetahui
atau patut mengetahui adanya kreditor-kreditor lainnya dan sebidang tanah adalah
satu-satunya harta pailit. Selengkapnya kasus tersebut diuraikan sebagai berikut
dibawah ini :
Kasus Posisi:
R. Astuti Sitanggang, Kurator Debitor pailit Eddy Ondrawinata, sebagai Pemohon
telah mengajukan permohonan Actio Paulina terhadap:
Susanto Soetrisno, bertempat tinggal di Jakarta Selatan sebagai Termohon,
dengan dalil-dalil yang pada pokoknya sebagai berikut:
− Bahwa Sdr. Eddy Ondriwinata telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat dengan putusan Nomor 27/Pailit/2002 PN Niaga Jkt. Pst tanggal
263
Himpunan Putusan-putusan Mahkamah Agung dalam Perkara Kepailitan, Jilid 15,
(Jakarta : PT. Tatanusa, 2003), h. 367-382
9 Oktober 2002, sehingga sejak tanggal tersebut Kurator berwenang untuk
melakukan tugas pemberesan atas harta Debitor.
− Bahwa antara Debitor pailit dengan Susanto Soetrisno telah terjadi hubungan
pinjam uang dengan bunga 4,5% per bulan sehingga jumlah hutang pokok dan
bunga sebesar Rp 1.400.000.000,- dengan jaminan 3 (tiga) lembar bilyet giro
Bank Central Asia dan Debitor menjaminkan pula sebidang tanah dengan
memberi kuasa kepada Susanto Soetrisno dalam perjanjian pengikatan jual
beli tanah dan bangunan Perumahan “Taman Permata Buana.”
− Bahwa Susanto Soetrisno membuat surat pernyataan tidak akan melaksanakan
kuasa tersebut sebelum tanggal 9 Januari 2003 yang dilegalisir oleh Notaris.
− Bahwa Rudi Budi Satrio telah mengajukan permohonan pailit terhadap Eddy
Ondrawinata yang telah diputus oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan
Putusan Nomor 27/Pailit/2002/Pn Niaga Jkt.Pst.
− Bahwa selaku Kurator yang ditunjuk dalam melaksanakan tugasnya Pemohon
mendata kewajiban sebesar Rp 4.815.208,- dan harta Eddy Ondrawinata yang
hanya berupa sebidang tanah “Taman Permata Buana” tersebut yang sudah
diserahkan kepada Susanto Soetrisno sebagai jaminan pembayaran yang jatuh
tempo tanggal 9 Januari 2003.
− Bahwa tindakan debitor pailit menambah jaminan dan memberi kuasa kepada
Susanto Soetrisno adalah tidak diwajibkan dan merugikan bagi para kreditor
lainnya karena Susanto Soetrisno maupun debitor pailit mengetahui atau patut
megetahui adanya kreditor-kreditor lainnya dan sebidang tanah di “Taman
Permata Buana” satu-satunya harta pailit.
− Bahwa sebenarnya tidak ada kewajiban atau keharusan bagi debitor pailit
untuk melakukan kewajiban kepada Susanto Soetrisno sebelum tanggal 9
Januari 2003, dimana pada tanggal 26 Juli 20025 Susanto Soetrisno telah
menggunakan Surat Kuasa, membuat dan menandatangi Surat Pemindahan
Hak, Surat Persetujuan Pengalihan hak dan Surat Pernyataan Eddy
Ondrawinata (debitor Pailit), yang seluruhnya ditandangani oleh Susanto
Soetrisno tanggal 26 Juli 2002.
− Bahwa tindakan hukum debitor pailit yang menghapus hutang Susanto
Soetrisno tersebut dilakukan kurang lebih 3 (tiga) bulan sebelum debitor
dinyatakan pailit, sudah seharusnya dan sepatutnya debitor pailit dan Susanto
Soetrisno mengetahui dan menyadari bahwa tindakan tersebut akan
mengakibatkan kerugian bagi para kreditor lainnya.
Berdasarkan
alasan-salasan
tersebut
Pemohon
memohonkan
agar
pengadilan Niaga Jakarta Pusat memberi putusan yang pada pokonya sebagai
berikut:
− Mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya.
− Menyatakan tidak sah atau tidak mengikat surat persetujuan dan pernyataan
yang dilegalisir Notaris, Surat Kuasa untuk mengurus dan untuk menjual
sebidang tanah “Taman Permata Buana” yang dilegalisir oleh Notaris.
− Menyatakan batal dan tidak sah surat pemindahan hak atas bidang tanah di
“Taman Permata Buana”, dan Surat Persetujuan Pengalihan dan Surat
Pernyataan Debitor yang seluruhnya ditanda tangani Susanto Soetrisno
tanggal 26 Juli 2002.
− Menyatakan sebidang tanah di “Taman Permata Buana” merupakan bagian
dari harta pailit, dan menyatakan Pemohon selaku Kurator berhak
mengalihkan harta pailit berupa sebidang tanah tersebut untuk pembayaran
kewajiban debitor kepada para kreditornya.
− Memerintahkan kepada Susanto Soetrisno untuk menyerahkan kepada Kurator
asli Surat Perjanjian Pengikatan jual beli tanah dan bangunan “Taman
Permata Buana” dan surat-surat yang berhubungan dengan tanah tersebut.
Terhadap permohonan Pemohon tersebut Pengadilan Niaga Jakarta pusat
telah mengambil putusan yakni Nomor 02/Actio Paulina/2003/PN Niaga Jkt.Pst
yang amarnya antara lain sebagai berikut:
− Menolak permohonan Actio Pauliana dari Pemohon.
− Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara.
Terhadap putusan Pengadilan Niaga tersebut Pemohon telah mengajukan
Kasasi ke Mahkamah Agung, dan Mahkamah Agung telah mengeluarkan putusan
Nomor 022 K/N/2003 yang amarnya antara lain sebagai berikut:
− Membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 02/Actio
Paulina/2003/PN Niaga Jkt.PSt.
− Mengabulkan permohonan Pemohon sebahagian.
− Menyatakan tidak sah atau tidak mengikat surat persetujuan dan pernyataan
yang dilegalisir Notaris surat pemindahan hak atas bidang tanah di “Taman
Permata Buana”, dan surat persetujuan pengalihan dan surat pernyataan
debitor yang seluruhnya ditandatangani Susanto Soetrisno tanggal 26 Juli
2002.
− Menyatakan permohonan Pemohon selebihnya tidak dapat diterima.
− Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara.
Setelah putusan kasasi tersebut berkekuatan hukum tetap, kemudian
Susanto Soetrisno telah mengajukan permohonan PK dengan alasan-alasan pada
pokok-pokoknya sebagai berikut:
− Bahwa Pengadilan Niaga yang bersangkutan telah melakukan kesalahan berat
dalam penerapan hukum yang termuat dalam pertimbangan hukum putusan
Yudex Yuris/Mahkamah Agung dengan alasan-alasan yang termuat dalam
permohonan PK tersebut.
Selanjutnya Mahkamah Agung telah mempertimbangkan alasan-alasan
dalam permohonan PK tersebut sebagai berikut:
− Bahwa keberatan-keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan oleh karena di
dalam putusan Mahkamah Agung yang dimohonkan PK tersebut tidak
terdapat kesalahan berat dalam penerapan hukum sebagaimana dimaksud oleh
Pasal 286 ayat (2) b Undang-Undang Kepailitan.
− Berdasarkan hal-hal yang dipertimbangkan di atas, maka permohonan PK
yang diajukan oleh Susanto Soetrisno tersebut tidak beralasan sehingga harus
ditolak.
Untuk itu dalam tingkat PK Mahkamah Agung telah mengeluarkan putusan
Nomor 013 PK/N/2003 tanggal 22 Desember 2003 yang amarnya pada pokoknya
sebagai berikut:
− Menolak permohonan PK yang diajukan oleh Susanton Soetrisno tersebut.
− Menghukum permohon PK untuk membayar ongkos perkara.
Dari putusan Mahkamah Agung Nomor 013 PK/N/2003 jo. putusan
Mahkamah Agung Nomor 022 K/N/2003 jo putusan Nomor 02/ Actio
Pauliana/2003/PN Niaga Jkt.Pst., maka sebagai putusan yang berlaku dan
berkekuatan hukum tetap adalah Putusan Kasasi tertanggal 10 September 2003
Nomor 022 K/N/2003, dimana sebagaimana tercantum dalam amar permohonan
Actio Paulina dari Pemohon R. Astuti Sitanggang selaku Kurator debitor pailit
Eddy Ondrawinata, telah dikabulkan untuk sebahagian.
C. Sifat Hukum Publik dari Hukum Kepailitan
Ruang lingkup kepailitan sebenarnya adalah perdata, karena menyangkut
tentang harta kekayaan seseorang atau suatu badan hukum dengan pihak lain
(kreditor), namun bila dilihat dari karakternya yang harus rnelindungi
kepentingan para kreditor dan pihak-pihak lainnya, maka disinilah terlihat sifat
hukum publik dari kepailitan. Jadi Hukum Kepailitan itu merupakan pertemuan
antara Hukum Publik dan Hukum Perdata.
Hukum publik itu sifatnya adalah erga omnes, berlaku untuk siapa saja,
dimana saja dan kapan saja dan sifatnya memaksa dan tidak dapat
dikesampingkan. Kepailitan mengandung sifat hukum publik karena setiap
putusan pernyataan pailit harus diumumkan, tujuannya adalah agar setiap kreditor
mengetahuinya, karena putusan pernyataan pailit berlaku terhadap semua kreditor
walaupun bukan sebagai pihak dalam perkara permohonan kepailitan atau PKPU
yang bersangkutan.
Banyak pihak yang berkepentingan dengan kepailitan si debitor, apa lagi
bila si debitor merupakan perusahaan besar makin banyak kemungkinan kreditor
yang mempunyai kepentingan dengan kepailitan si debitor tersebut. Selain
kreditor juga pihak-pihak lain yang mungkin menjadi “stake holder” dari si
debitor pailit. Karena begitu banyak pihak yang berkepentingan dengan kepailitan
si debitor, maka hal-hal yang menyangkut kepailitannya harus dapat diketahui
secara terbuka oleh umum (publik). Dengan demikian harus ada caranya
bagaimana agar publik dapat mengetahui setiap saat tentang proses yang
menyangkut kepailitan si debitor sejak pendaftaran permohonan pernyataan pailit
sampai kepada putusan yang mengabulkannya atau menolak permohonan tersebut
baik di tingkat Pengadilan Niaga maupun pada tingkat Kasasi atau Peninjauan
Kembali di Mahkamah Agung. Pengajuan permohonan PKPU dan proses
negosiasinya, pengesahan perdamaian, pelaksanaan pengurusan dan atau
pemberasan harta pailit oleh kurator rehabilitasi terhadap debitor pailit dan lain
sebagainya adalah juga hal-hal harus yang diketahui oleh umum. UU Kepailitan
dan PKPU menekankan pentingnya sifat keterbukaan yakni memberikan sifat
transparan terhadap hal-hal yang menyangkut kepailitan
dan PKPU kepada
publik (asas publisitas).
Asas publisitas dalam Kepailitan dan PKPU dapat dilihat sebagai berikut :
1. Pemeriksaan dan Pengucapan Putusan Terbuka Untuk Umum
Untuk menjamin transparansi publik, maka pemeriksaan dan pengucapan
putusan pengadilan haruslah terbuka untuk umum. Menurut UU Kepailitan dan
PKPU bahwa Hukum Acara yang berlaku dalam pelaksanaannya adalah Hukum
Acara Perdata (HIR/RBG) kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang
tersebut, 264
sehingga Pengadilan Niaga harus memberlakukan Hukum Acara
tersebut yang menentukan bahwa pemeriksaan dan pengucapan putusan
pengadilan adalah dalam sidang yang terbuka untuk umum. Khusus dalam UU
Kepailitan dan PKPU ditegaskan bahwa putusan pernyataan pailit baik di tingkat
pertama, tingkat Kasasi atau Peninjauan Kembali haruslah diucapkan dalam
sidang yang terbuka untuk umum. 265
Sebagai akibat berlakunya asas publisitas dalam Kepailitan dan PKPU
tersebut, maka berlaku adagium hukum : “Setiap orang dianggap mengetahui
mengenai kepailitan seorang debitor”, adagium ini lebih luas dapat diberlakukan
dengan pengertian: “Setiap orang dianggap rnengetahui tentang kepailitan
seorang debitor, tentang perdamaian dalam rangka PKPU, tentang perdamaian
setelah pernyataan pailit, tentang pencabutan kepailitan dan lain-lain lagi”. 266
2. Pengumuman dalam Berita Negara.
264
Pasal 299 UU Nomor 37 tahun 2004
Pasal 8 ayat (2) jo. Pasal 13 ayat (4) jo. Pasal 14 UU Nomor 37 Tahun 2004
266
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit. h. 189
265
Beberapa ketentuan dalam UU Kepailitan dan PKPU yang mengatur
mengenai pemuatan pengumuman mengenai hal-hal tertentu tentang kepailitan
dan PKPU. Dalam UU Kepailitan PKPU ada diatur bahwa setelah kurator dan
hakim pengawas menerima salinan putusan pernyataan pailit, dalam jangka waktu
5 (lima) hari kurator harus mengumumkan putusan tersebut dalam Berita Negera
RI dan paling sedikit pada 2 (dua) Surat Kabar Harian yang ditetapkan olek hakim
pengawas yakni ikhtisar putusan pernyataan pailit. 267 Dalam hal Kasasi dan
Peninjauan Kembali, dimana putusan pernyataan pailit di batalkan, kurator wajib
mengumumkan putusan itu dalam Berita Negara RI dan paling sedikit pada 2
(dua) Surat Kabar Harian. 268 Dalam hal pengesahan perdamaian telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, maka kepailitan berakhir dan kurator wajib
mengumumkan perdamaian tersebut dalam Berita Negara RI dan paling sedikit
pada 2 (dua) Surat Kabar Harian yang ditetapkan oleh hakim pengawas. 269
Demikian juga dalam hal perdamaian dalam rangka PKPU apabila pengadilan
menolak mengesahkan perdamaian, maka debitor dinyatakan pailit atau bila
pengesahan perdamaian tersebut oleh pengadilan telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, pengurus wajib mengumumkan pengakhiran PKPU ini. 270 Putusan
PKPU sementara dan PKPU tetap juga harus diumumkan oleh Pengurus yang
telah diangkat. 271 Tujuan dari pengumuman-pengumuman tersebut adalah untuk
memberitahukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan terutama para kreditor
267
Ikhtisar putusan pernyataan pailit menurut pasal 15 ayat (4) UU Nomor 37 Tahun
2004 memuat hal-hal : a. Nama, alamat dan pekerjaan debitor; b. Nama Hakim Pengawas ; c.
Nama, alamat pekerjaan kurator; d. Nama, alamat dan pekerjaan anggota panitia kreditor
sementara, apabila telah ditunjuk; e. Tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama kreditor
268
Pasal 17 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004.
269
Pasal 116 ayat (1), (2) UU Nomor 37 Tahun 2004.
270
Pasal 288 UU Nomor 37 Tahun 2004.
271
Pasal 226 jo. Pasal 235 UU Nomor 37 Tahun 2004.
yang tidak turut sebagai pihak dalam permohonan pernyataan pailit atau PKPU
tersebut sehingga konsekwensinya adagium “Setiap orang dianggap mengetahui”
dapat diterapkan.
3. Pencatatan dalam Daftar Umum
Untuk menjamin adanya transparansi publik dengan biaya ringan, UUK
dan
PKPU
mewajibkan
Panitera
Pengadilan
Niaga
membuat
atau
menyelenggarakan suatu daftar umum untuk mencatat setiap perkara kepailitan
secara tersendiri. 272 Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan isi daftar umum
tersebut akan ditetapkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung. 273 Daftar
umum tersebut harus memuat secara berurutan sebagaimana tercantum pada
Pasal 20 ayat (2) UU Nomor 37 Tahun 2004. 274
Sebagaimana sifatnya daftar umum tersebut haruslah terbuka untuk umum
dan dapat dilihat oleh setiap orang dengan cuma-cuma.
Menurut pengamatan peneliti dan hasil wawancara : sedang dirancang
untuk tahun 2007 akan dioperasikan akses internet di Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat, sebagai hasil kerjasama antara US Aid dengan MARI, sehingga untuk
pertengahan tahun 2007 di Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat sudah dapat
memberi layanan informasi tentang perkara-perkara termasuk perkara Kepailitan
272
Pasal 20 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004.
Pasal 20 ayat (3) UU Nomor 37 Tahun 2004.
274
Daftar umum/register perkara kepailitan dan PKPU harus memuat secara berurutan : a.
Ikhrisar putusan pailit atau putusan pembatalan pernyataan pailit; b. Isi singkat perdamaian
putusan pengesahannya; c. Pembatalan perdamaian; d. Jumlah pembagian dalam pemberesan; e.
Pencabutan kepailitan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18; f. Rehabilitasi; dengan
menyebutkan tanggal masing-masing.
273
dan PKPU
275
, sedang di Mahkamah Agung telah tersedia Website :
www.mahkamah agung.go.id.
D. Kedudukan Kreditor Separatis dalam Kepailitan dan PKPU
Menurut UU Kepailitan bahwa kepailitan itu me1iputi se1uruh kekayaan
debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang
diperoleh selama kepailitan. 276 Tapi terhadap ketentuan ini ada pembatasan atau
pengecualian yaitu kekayaan debitor yang tidak diliputi oleh kepailitan yakni :
benda-benda yang dibutuhkan oleh debitor dalam melaksanakan pekerjaannya,
upah atas jabatan atau jasa, pensiun, uang tunjangan dan lain-lain. 277 Seluruh
kekayaan debitor yang diliputi oleh kepailitan disebut dengan boedel pailit atau
dalam UU Kepailitan dipakai istilah harta pailit.
Harta pailit tersebut akan menjadi jaminan bersama-sama bagi semua
kreditor, pendapatan penjualan benda-benda tersebut akan dibagi-bagi menurut
keseimbangan, kecuali apabila diantara para kreditor itu ada alasan-alasan yang
sah untuk didahulukan. 278 Dari pengertian tersebut berarti terhadap asas
persamaan para kreditor bisa didapati penyimpangan-penyimpangan atas dasar
adanya hak-hak yang didahulukan.
Pasal 55 ayat (1) UUK dan PKPU menyebutkan : dengan tetap
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57 dan
Pasal 58, setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan,
275
Wawancara dengan Agung Pramono, Kasubbag Umum PN Jakarta Pusat tanggal 24-
4-2007
276
Pasal 21 UU Nomor 37 Tahun 2004
Pasal 22 UU Nomor 37 Tahun 2004
278
Pasal 1132 KUPerdata
277
hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya
seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Ketentuan ini berasal dari Pasal 56 ayat (1)
UU Kepailitan Lama, yang hingga sekarang masih mengundang kontroversi
karena banyak menimbulkan penafsiran, yang sebahagian menganggap bahwa
benda yang dibebani hak jaminan adalah seakan-akan terpisah dari harta pailit.
Hal ini tidaklah benar, karena peraturan per-undang-undangan berkenaan dengan
hukum jaminan hanya memberikan hak kepada kreditor pemegang hak jaminan
untuk mengambil pelunasan dari benda yang di atasnya diletakkan hak jaminan
secara didahulukan dari pada kreditor lainnya, namun tidak berarti mengeluarkan
benda tersebut dari harta pailit.
UUK dan Kepailitan sendiri menganggap bahwa benda yang dibebani hak
jaminan adalah bagian dari harta pailit, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 56
ayat (3) UUK dan Kepailitan dan Penjelasannya bahwa benda yang telah dibebani
dengan hak jaminan atas kebendaan dalam harta pailit adalah merupakan bagian
dari harta pailit, karena kurator dapat menggunakan bahkan menjual benda yang
dibebani hak jaminan tersebut dalam rangka kelangsungan usaha debitor. Oleh
karena itu kreditor pemegang hak jaminan hanya berhak untuk didahulukan dalam
mengambil pelunasan dari barang tersebut, sedang sisa dari pelaksanaan hak
eksekusi tersebut tetap merupakan bagian dari harta pailit. Pada hakekatnya UU
Kepailitan hanya mewajibkan kreditor untuk menangguhkan hak eksekusinya dan
atau pihak ketiga untuk menangguhkan haknya untuk menuntut hartanya yang
berada dalam penguasaan debitor pailit untuk paling lama 90 (sembilan puluh)
hari sejak putusan pernyataan pailit, 279 walaupun ada penangguhan eksekusi
maupun hak menuntut tersebut tidak mengakibatkan mereka hehilangan hak
untuk didahulukan dalam mengambil pelunasan dari barang tersebut.
Dari uraian Pasal 56 ayat (3)UU Kepailitan berkenaan dengan harta pailit
harus diinterpretasikan meliputi segala benda milik debitor pailit termasuk di
dalamnya segala sisa dari pelaksanaan hak kreditor pemegang hak jaminan, jadi
harta pailit meliputi benda-benda yang diatasnya dibebankan hak jaminan,
sehingga kepada kreditor pemegang hak jaminan tersebut hanya memperoleh
pelunasan terlebih dahulu dari pada kreditor lainnya. 280 Interpretasi ini
menimbulkan kritik dari pihak lainnya yang memberi pendapat sebagai berikut :
“Sikap UU Kepailitan yang tidak menempatkan harta debitor yang telah dibebani
dengan hak jaminan di luar harta pailit merupakan sikap yang meruntuhkan sendisendi sistem hukum hak jaminan”. 281
Selama masa penangguhan (stay) selama 90 (sembilan puluh) hari, oleh
Pasal 56 ayat (3) UU Kepailitan kurator diberikan kewenangan untuk menjual
harta pailit terbatas pada barang persediaan (inventory) dan atau benda bergerak
(current asset) yang berada dalam penguasaan kurator dalam rangka
kelangsungan usaha debitor. Kewenangan kurator ini pada prinsipnya
bertentangan dengan keistimewaan yang diberikan kepada para kreditor separatis,
karena “Apabila kurator menjual benda yang dibebani hak jaminan yang berada
279
Pasal 55 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004.
Ibrahim Senen & Sigit Ardianto, UU Kepailitan dan PKPU, Keberlakuan Pasal 56,
Problem Hukum, Makalah, Varia Peradilan (No. 253 Desember 2006), h. 68.
281
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit. h. 288
280
dalam penguasaannya, maka kreditor pemegang hak jaminan tersebut tidak bisa
lagi melaksanakan hak eksekusinya atas benda yang dijaminkan kepadanya. 282
Lembaga penangguhan hak eksekusi kreditor separatis ini diperlukan
untuk mencegah agar pemberian PKPU tidak menjadi mubazir, hal mana mudah
terjadi seandainya kreditor separatis dapat mengeksekusi hak-hak mereka
sebagaimana hal itu dimungkinkan dalam UUK yang lama. 283
Tujuan penangguhan sebagaimana dalam Penjelasan Pasal 56 ayat (3) UU
Kepailitan adalah untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian, atau
untuk mengoptimalkan harta pailit atau untuk memungkinkan kurator
melaksanakan tugasnya secara optimal ataupun untuk tidak sia-sianya pemberian
PKPU, adalah masih bisa dianggap relevan, tetapi argumentasi tersebut tidak
dapat membenarkan kewenangan kurator untuk menjual benda yang dibebani hak
jaminan kebendaan karena bertentangan dengan tujuan mengoptimalkan harta
pailit. 284
Kepailitan telah mengurangi hak-hak para kreditor separatis dalam
mengeksekusi barang jaminan terhadap harta pailit dengan adanya penundaan
(stay) selama 90 (sembilan puluh) hari walaupun dimungkinkan untuk
mengajukan permohonan untuk mengangkat penangguhan kepada kurator bila
mendapat penolakan dari kurator, permohonan dapat diajukan kepada Hakim
Pengawas yang kemudian dalam memutuskan permohonan tersebut Hakim
Pengawas harus mempertimbangkan hal-hal sebagaimana diuraikan dalam Pasal
57 ayat (6) UU Nomor 37 Tahun 2004.
282
Ibrahim Senen & Sigit Ardianto, op.cit, h. 69
Fred BG Tumbuan, dalam Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, (Jakarta: PT
Pustaka Utama Grafiti, 2002), h. 288
284
Ibrahim Senen & Sigit Ardianto, op.cit. h.72
283
Sebaliknya untuk melaksanakan hak eksekusinya tersebut kreditor
separatis diberi limit yakni paling lama 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan
insolvensi, dan setelah lewat jangka waktu tersebut kurator harus menuntut
diserahkannya benda yang menjadi agunan untuk selanjutnya dijual tanpa
mengurangi hak kreditor separatis tersebut atas hasil penjualan agunan dimaksud.
Tidak konsistennya kedudukan kreditor separatis dalam Kepailitan akan
mempengaruhi terhadap voting right para kreditor dalam mengambil suatu
keputusan dalam rapat para kreditor baik dalam hal perdamaian setelah
pernyataan pailit maupun perdamaian dalam rangka PKPU.
Pasal 246 UU Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa ketentuan dalam
Pasal 56, Pasal 57 dan Pasal 58 berlaku mutatis mutandis terhadap pelaksanaan
hak kreditor separatis dan kreditor preferen dengan ketentuan bahwa
penangguhan berlaku selama berlangsungnya PKPU.
Kedudukan kreditor separatis dalam perdamaian setelah pailit sangat
berbeda dengan perdamaian dalam PKPU. Dalam perdamaian setelah pailit
berarti sudah ada pernyataan pailit lebih dahulu, sehingga bila diajukan
perdamaian oleh debitor, maka persetujuan atau penolakan (voting right) kreditor
separatis tidak diperlukan kecuali kreditor separatis tersebut telah melepaskan
haknya untuk didahulukan demi kepentingan harta pailit sebelum diadakan
pemungutan suara tentang rencana perdamaian tersebut, sehingga kreditor
separatis berubah menjadi kreditor konkuren. 285 Dalam perdamaian dalam rangka
PKPU, rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor, hak suara untuk
285
Pasal 149 ayat (1), (2) UU Nomor 37 Tahun 2004
menyetujui atau menolak rencana perdamaian tersebut tidak hanya berada pada
kreditor konkuren, tapi juga ada pada kreditor separatis. 286
Ada 4 (empat) perbedaan penangguhan (stay) dalam Kepailitan dan
PKPU:
1. Lamanya penundaan eksekusi dalam kepailitan adalah 90 (sembilan puluh)
hari sejak kepailitan ditetapkan, sedang dalam PKPU penundaan itu selama
berlakunya PKPU yakni maximum 270 (dua ratus tujuh puluh) hari.
2. Dalam kepailitan yang ditangguhkan eksekusinya adalah jaminan fidusia,
pemegang gadai, hipotek atau hak anggunan atas kebendaan lainnya, kecuali
tagihan kreditor yang dijamin dengan uang tunai dan hak kreditor untuk
memperjumpakan
utang,
sedang
dalam
PKPU
yang
ditangguhkan
eksekusinya adalah pemegang agunan sebagaimana tersebut dalam kepailitan
di atas tetapi tidak dikecualikan tagihan kreditor yang dijamin dengan uang
tunai dan hak hak kreditor untuk memperjumpakan utang.
3. Da1am Kepailitan ditangguhkan eksekusi oleh pihak ketiga untuk menuntut
hartanya yang berada dalam penguasaan debitor pailit atau kurator, sedang
dalam PKPU hak ini tidak ditangguhkan.
4. Dalam kepailitan hak eksekusi kreditor preferen tidak ditangguhkan, sedang
dalam PKPU hak istimewa untuk didahulukan (preferen) turut ditangguhkan
eksekusinya.
Se1ama PKPU berlangsung hak-hak eksekusi para kreditor separatis dan
kreditor preferen harus ditangguhkan. Tujuan dari penangguhan ini juga
sebagaimana dalam keadaan pailit yakni untuk memperbesar kemungkinan
286
Pasal 281 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004.
tercapainya perdamaian dan mengoptimalkan harta debitor sehingga rencana
perdamaian yang lebih dahulu ditujukan kepada seluruh kreditor konkuren dapat
tercapai. Bila nantinya hasil eksekusi terhadap barang-barang jaminan itu tidak
cukup membayar seluruhnya tagihan kreditor separatis, maka sisa utang itu oleh
kreditor separatis tetap berhak rnemperoleh pelunasan atas sisa tagihannya dengan
cara beralih kedudukan menjadi kreditor konkuren. Maka haknya sama dengan
kreditor konkuren lainnya secara seimbang atau pari passu sesuai dengan
perbandingan besarnya jaminan masing-masing utang dari para kreditor konkuren
Pada dasarnya PKPU hanya berlaku pada para kreditor konkuren, tapi untuk
seluruh hasil kesepakatan mengenai rencana perdamaian tetap mengikat seluruh
para kreditor baik konkuren maupun separatis. Dalam pelaksanaan sidang juga
harus dihadiri seluruh para kreditor karena kreditor separatis dan kreditor
konkuren mempunyai hak suara (voting right) selama PKPU berlangsung.
Kesepakatan mengenai rencana perdamaian hanya mempunyai arti apabila setiap
kreditor terikat baik kreditor konkuren maupun kreditor separatis (pemegang hak
jaminan). Apabila tidak setiap kreditor terikat dengan perdamaian yang tercapai
maka kedudukan debitor dan kepentingan para kreditor yang terikat dengan
perdamaian tersebut dapat dibahayakan oleh kreditor yang tidak terikat yaitu
kreditor separatis. “Kreditor yang tidak terikat dengan perdamaian itu dapat
mengajukan permohonan pailit dan apabila permohonan itu dikabulkan oleh
pengadilan, maka perdamaian yang telah disepakati antara debitor dengan para
kreditor
konkuren
dan
sedang
berjalan,
implementasinya
akan
harus
dihentikan.” 287
E. Peranan Peradilan Niaga dalam Menyelesaikan Perkara Kepailitan dan
PKPU
Salah satu konsiderans Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang telah ditetapkan
menjadi Undang-Undang oleh UU Nomor 4 Tahun 1998 menyebutkan bahwa
Failliasements Verordening, Staatsblad 1905 Nomor 217 jo. Staatsblad 1906
Nomor 348, sebagian besar tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan,
sehingga perlu dilakukan perubahan. Bila ditinjau dari segi Hukum Acara maupun
Hukum Materil, Faillissements Verordening tidak dapat lagi memenuhi
kebutuhan semua pihak yang terkait dalam penyelesaian utang piutang. Sehingga
telah dilakukan revisi atas kelemahan yang terdapat dalam Faillisements
Verordening antara lain : 288
1. Tidak jelasnya time frame yang diberikan untuk menyelesaikan kasus
kepailitan, akibatnya untuk menyelesaikan sebuah kasus kepailitan
dibutuhkan waktu yang sangat lama.
2. Jangka waktu untuk penyelesaian utang melalui PKPU juga sangat lama
yaitu memakan waktu 18 (delapan belas) bulan.
3. Apabila Pengadilan menolak PKPU, Pengadilan tersebut tidak diwajibkan
untuk menetapkan debitor dalam keadaan pailit.
4. Kedudukan kreditor masih lemah, umpamanya dalam hal pembatalan
perbuatan debitor yang merugikan kreditor, jangka waktu yang diberikan
hanya selama 40 (empat puluh) hari sebelum pailit, sedangkan dalam UU
Nomor 4 Tahun 1998 jangka waktu tersebut diberikan sampai dengan 1
(satu) tahun.
Pada waktu berlakunya Faillissements Verordening tersebut sengketa
kepailitan dan PKPU termasuk kewenangan Pengadilan Negeri (bersifat umum)
287
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit. h. 328
Bismar Nasution et.al, Hukum Kepailitan (Diktat), Program Magister Kenotariatan
PPS USU, 2003, h.8.
288
namun dengan adanya perubahan dan penambahan maupun revisi terhadap
Faillissement Verordening maka kewenangan menangani sengketa kepailitan dan
PKPU berubah menjadi kewenangan Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan
Peradilan umum. Pertama sekali telah dibentuk Pengadilan Niaga di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat berdasarkan Pasal 281 ayat (1) Perpu Nomor 1 Tahun 1998
jo. UU Nomor 4 Tahun 1998. Kedudukan Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dipertegas pula dalam Pasal 306 UU Nomor 37 Tahun 2004 yakni
tetap berwenang memeriksa dan memutus perkara yang menjadi lingkup tugas
Pengadilan Niaga. Selanjutnya berdasarkan Pasal 281 ayat (2) Perpu Nomor 1
Tahun 1998 Jo. UU Nomor 4 Tahun 1998 telah dikeluarkan Kepres Nomor 97
Tahun 1999 sebagai dasar pembentukan Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri
Surabaya, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Semarang dan di
Pengadilan Negeri Ujungpandang (Makasar) dan menetapkan wilayah hukum
masing-masing Pengadilan Niaga tersebut sekaligus merubah wilayah hukum
Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dengan perubahan di
wilayah hukum Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang sebelumnya melingkupi
seluruh wilayah R.I menjadi hanya wilayah : DKI Jakarta, Propinsi Jawa Barat,
Propinsi Sumatera Selatan, Propinsi Lampung dan Propinsi Kalimantan Barat.
Setelah berlakunya UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
PKPU, telah terjadi perubahan pandangan terhadap PKPU dalam hal
pengajuannya tidak lagi berorientasi untuk mempailitkan si debitor, hal ini terlihat
dari ketentuan :
1. Permohonan PKPU tidak hanya dapat diajukan oleh si debitor saja, tetapi juga
dapat diajukan oleh pihak kreditor yang dalam hal ini akan lebih
memungkinkan terjadinya perdamaian. 289
2. Proses beracara di Pengadilan Niaga sudah lebih cepat dalam memutus atau
mengabulkan permohonan PKPU, dalam hal diajukan oleh si debitor hanya
menentukan 3 (tiga) hari permohonan harus sudah dikabulkan oleh Pengadilan
Niaga sebagai PKPU sementara, 290 sedang dalam UU Nomor 4 Tanun 1998
tidak diberi batas waktu, hanya menyatakan pengadilan harus segera
mengabulkan PKPU sementara. 291
F. Peranan Para Praktisi dalam Kepailitan dan PKPU
Berhasil tidaknya suatu rencana perdamaian sangat tergantung pada
peranan yang diberikan oleh para kreditor dalam menanggapi dan menyetujui
rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor sehingga kesepakatan yang di
peroleh antara kreditor dan debitor yang tertuang dalam draft perdamaian yang
akan dijalankan menjadi kunci penting atas berhasilnya debitor dalam memenuhi
kewajibannya kepada para kreditornya. Tetapi selain debitor dan para kreditor
peranan pihak lain yaitu para praktisi sangat menentukan dalam upaya
tercapainya suatu kesepakatan damai baik dalam kepailitan maupun dalam PKPU.
Para praktisi tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Hakim Pengawas
289
Pasal 222 ayat (2), (3) UU Nomor 37 Tahun 2004
Pasal 225 ayat (2) UU Nomor 37 Tahun 2004
291
Pasal 214 UU Nomor 4 Tahun 1998
290
Debitor pailit tidak dapat lagi menguasai dan mengurus kekayaannya,
maka harus diangkat dan ditunjuk Kurator untuk mengurus dan menguasai
kekayaan debitor yang dinyatakan pailit tersebut. Kurator juga perlu di awasi
dalam melaksanakan tugasnya agar tidak menyalahgunakan kewenangannya atau
untuk tidak melakukan hal-hal lain yang tidak diinginkan, untuk itu harus
diangkat seorang Hakim Pengawas oleh Pengadilan Niaga. Dalam putusan
pernyataan pailit harus diangkat Kurator dan seorang Hakim Pengawas yang
ditunjuk dari hakim Pengadilan Niaga. 292
Pengadilan Niaga memeriksa dan memutus perkara pada tingkat pertama
dengan hakim majelis. 293 Hakim Pengadilan Niaga diangkat berdasarkan Surat
Keputusan Mahkamah Agung, setelah memenuhi syarat-syarat : 294
a.
Telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan Peradilan Umum.
b.
Mempunyai dedikasi dan menguasai pengetahuan di bidang masalah-masalah
yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga.
c.
Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela, dan
d.
Telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada
Pengadilan Niaga.
Seseorang yang ahli dapat diangkat sebagai hakim ad hoc baik pada
pengadilan niaga tingkat pertama, kasasi maupun pada tingkat peninjauan
kembali berdasarkan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
Menjadi seorang hakim ad hoc syarat-syaratnya sama dengan persyaratan menjadi
seorang hakim pengadilan niaga, kecuali syarat telah berpengalaman sebagai
292
Pasal 15 UU Nomor 37 Tahun 2004
Pasal 301 UU Nomor 37 Tahun 2004
294
Pasal 302 ayat (1), (2) UU Nomor 37 Tahun 2004
293
hakim dalam lingkungan peradilan umum tidak diperlukan. Seorang hakim
pengadilan niaga dapat di angkat sebagai Hakim Pengawas yang ditunjuk
berdasarkan putusan pernyataan pailit, yang tugasnya adalah mengawasi
pengurusan dan pemberesan harta pailit yang dilakukan oleh Kurator.
Tugas-tugas Hakim Pengawas dalam Kepailitan dapat diuraikan sebagai
berikut : 295
a. Mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit.
b. Memberikan pendapat kepada pengadilan (Hakim Majelis) sebelum
mengambil suatu putusan mengenai pengurusan atau pemberesan harta pailit.
c. Mendengar keterangan saksi atau memerintahkan penyelidikan oleh para ahli
untuk memperoleh kejelasan tentang segala hal mengenai kepailitan.
d. Melimpahkan pemeriksaan saksi kepada pengadi1an yang daerah hukumnya
meliputi tempat tinggal saksi dalam hal saksi bertempat tinggal di luar
wilayah hukum pengadilan yang memutus pailit.
Tugas-tugas Hakim Pengawas dalam rangka PKPU dapat diuraikan
sebagai berikut : 296
a. Atas permintaan Pengurus, mendengar saksi atau memerintahkan pameriksaan
oleh ahli untuk menjelaskan keadaan yang menyangkut PKPU.
b. Mengusulkan kepada pengadilan niaga tentang penggantian Pengurus atau
penambahan pengurus. 297
295
Pasal 65 s/d 67 UU Nomor 37 Tahun 2004
Pasal 233 UU Nomor 37 Tahun 2004
297
Pasal 236 ayat (3) UU Nomor 37 Tahun 2004
296
c. Mengangkat seorang ahli atau beberapa ahli untuk melakukan pemeriksaan
tentang keadaan harta debitor dan menerima laporan dalam jangka waktu
tertentu. 298
d. Memberi persetujuan terhadap pinjaman debitor terhadap pihak ketiga serta
menganggunkan harta kekayaan debitor. 299
e. Memohonkan agar PKPU diakhiri dengan alasan debitor melakukan tindakan
beritikad buruk dalam pengurusan hartanya, telah merugikan atau mencoba
merugikan
kreditornya,
lalai
melaksanakan
tindakan-tindakan
yang
diwajibkan kepadanya oleh pengadilan niaga atau Pengurus demi kepentingan
harta debitor, atau bila keadaan harta debitor tidak memungkinkan dilanjutkan
PKPU atau debitor tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kewajibannya
tarhadap kreditor pada waktunya. 300
Dalam hal Pengadilan Niaga menetapkan PKPU Sementara, wajib
menunjuk seorang hakim Pengawas dari Hakim Pengadilan Niaga serta
mengangkat satu atau lebih Pengurus yang bersama degan debitor mengurus harta
debitor.
2.
Kurator
Dalam putusan pernyataan pailit juga diangkat dan ditunjuk seorang
Kurator yang tugasnya adalah untuk melakukan pengurusan dan atau pemberesan
terhadap harta pailit, karena degan adanya pernyataan pailit si debitor tidak dapat
lagi menguasai dan mengurus harta kekayaannya. Penunjukan Kurator ini adalah
atas usul dari debitor maupun kreditor sedang kewenangan pengangkatannya
298
Pasal 238 UU Nomor 37 Tahun 2004
Pasal 240 ayat (4), (5) UU Nomor 37 Tahun 2004
300
Pasal 255 UU Nomor 37 Tahun 2004
299
berada pada Pengadilan Niaga (Majelis Hakim). Kreditor maupun debitor masingmasing dapat mengusulkan lebih dari satu orang calon Kurator, namun
Pengadilan Niaga akan memutuskan siapa dan berapa orang yang akan diangkat
menjadi Kurator dalam suatu Kepailitan. Sebelum berlakunya UU Nomor 4
Tahun 1998 yang menjadi Kurator hanya Balai Harta Peninggalan (BHP) saja,
tetapi setelah berlaku UU Nomor 4 Tahun 1998 selain BHP dapat juga pihak lain
bertindak sebagai Kurator yakni : 301
a.
Orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian
khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan / atau membereskan
harta pailit, dan
b.
Terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang hukum dan peraturan perundang-undangan.
Kurator dapat diganti sewaktu-waktu atas kehendak dari pihak-pihak yang
berkepentingan dengan penetapan pengadilan yakni : 302
a.
Atas permohonan Kurator sendiri.
b.
Atas permohonan Kurator lainnya, jika ada.
c.
Usul Hakim Pengawas, atau
d.
Permintaan Debitor Pailit.
Selain atas permohonan dan pihak-pihak tersebut, Pengadilan Niaga harus
memberhentikan atau mengangkat Kurator atas permohonan atau atas usul
kreditor konkuren berdasarkan putusan rapat kreditor dengan putusan yang
301
302
Pasal 70 ayat (2) UU Nomor 37 Tahun 2004 jo Pasal 67 A UU No. 4 Tahun 1998
Pasal 71 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004
diambil berdasarkan suara setuju lebih dari ½ (separuh) jumlah piutang kreditor
konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut. 303
Kurator yang diangkat haruslah independen dan tidak mempunyai
benturan kepentingan dengan debitor dan kreditor, yang dimaksud adalah bahwa
kelangsungan keberadaan kurator tidak tergantung pada debitor atau kreditor dan
kurator tidak memiliki kepentingan ekonomis yang berbeda dari kepentingan
ekonomis debitor atau kreditor. 304
Telah dianggap terjadi benturan kepentingan apabila terjadi antara lain
hal-hal sebagai berikut : 305
a. Kurator menjadi salah satu kreditor.
b. Kurator memiliki hubungan kekeluargaan dengan pemegang saham
pengendali atau dengan pengurus dari perseroan debitor.
c. Kurator memiliki saham lebih dari 10% pada salah satu perusahaan kreditor
atau pada perseroan debitor.
d. Kurator adalah pegawai, anggota direksi atau anggota komisaris dari salah
satu perusahaan kreditor atau dari perusahaan debitor.
Dari ketentuan-ketentuan Undang-Undang Kepailitan dapat dikemukakan
beberapa tugas-tugas dan wewenang Kurator sebagai berikut :
a. Melakukan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit.306
b. Mengumumkan putusan Hakim tentang pernyataan pailit dalam Berita Negara
dan surat kabar yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas. 307
303
Pasal 71 ayat (2) UU Nomor 37 Tahun 2004
Pasal 15 ayat (3) dan Penjelasannya
305
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit. h. 213
306
Pasal 16 (1) UU Nomor 37 Tahun 2004
307
Pasal 15 ayat (4) UU Nomor 37 Tahun 2004
304
c. Melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan
semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya. 308
d. Meminta penyegelan harta pailit kepada Pengadilan Niaga dengan alasan
untuk mengamankan harta pailit dengan melalui Hakim Pengawas. 309
e. Membuat pencatatan harta pailit termasuk surat, dokumen, uang dan
perhiasan, efek dan surat berharga lainnya. Pencatatan (inventarisasi) ini dapat
dilakukan di bawah tangan dengan persetujuan Hakim pengawas. 310
f. Menyusun daftar utang dan piutang harta pailit, jumlah piutang masingmasing kreditor. 311
g. Melanjutkan usaha debitor pailit atas persetujuan panitia Kreditor sementara,
bila panitia kreditor tidak ada diangkat maka untuk melanjutkan usaha debitor
tersebut Kurator harus memerlukan izin dari Hakim Pengawas. 312
h. Membuka surat dan telegram yang dialamatkan kepada debitor pailit, sedang
surat dan telegram yang tidak berkaitan dengan harta pailit harus diserahkan
kepada debitor pailit. 313
i. Menerima pengaduan dan keberatan yang berkaitan dengan harta pailit. 314
j. Memberikan sejumlah uang yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas untuk
biaya hidup debitor pailit dan keluarganya. 315
k. Mengalihkan harta pailit sejauh diperlukan untuk menutup biaya kepailitan
atas persetujuan Hakim Pengawas. 316
308
Pasal 98 UU Nomor 37 Tahun 2004
Pasal 99 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004
310
Pasal 100 ayat (1), (2), Pasal 101 ayat (1) UU Nomor 37/2004
311
Pasal 102 UU Nomor 37 Tahun 2004
312
Pasal 104 ayat (1), (2), Pasal 101 ayat (1) UU Nomor 37/2004
313
Pasal 105 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004
314
Pasal 105 ayat (4) UU Nomor 37 Tahun 2004
315
Pasal 07 UU Nomor 37 Tahun 2004
309
l. Menyimpan uang, perhiasan, efek dan surat berharga lainnya, kecuali bila
oleh Hakim Pengawas ditentukan lain. 317
m. Mengadakan perdamaian guna mengakhiri suatu perkara, yakni setelah
meminta saran dari panitia kreditor sementara dan dengan izin dari Hakim
Pengawas. 318
n. Memanggil debitor untuk memberikan keterangan yang diperlukan oleh
Hakim Pengawas, panitia kreditor dan Kurator. 319
o. Memberikan pendapat tertulis tentang rencana perdamaian dalam rapat
pencocokan piutang. 320
p. Melakukan pinjaman dari pihak ketiga hanya dalam rangka meningkatkan
nilai harta pailit. 321
q. Menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas mengenai keadaan harta
pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap 3 (tiga) bulan, laporan tersebut bersifat
terbuka untuk umum. 322
Kurator mempunyai dua kewajiban hukum dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya. Kewajiban tersebut adalah : a. statutory duties, yaitu kewajibankewajiban yang ditentukan oleh Undang-undang; b. fiduciary duties atau ficuciary
obligations yang diemban oleh Kurator karena Kurator memiliki fiduciary
relationships terhadap : 323
316
Pasal 108 UU Nomor 37 Tahun 2004
Pasal 109 UU Nomor 37 Tahun 2004
318
Pasal 110 UU Nomor 37 Tahun 2004
319
Pasal 110 UU Nomor 37 Tahun 2004
320
Pasal 146 UU Nomor 37 Tahun 2004
321
Pasal 69 b UU Nomor 37 Tahun 2004
322
Pasal 74 ayat (1), (2) UU Nomor 37 Tahun 2004
323
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit. h. 224-225
317
a. Pengadilan, yang dalam UU Kepailitan Indonesia diwakili oleh Hakim
Pengawas.
b. Debitor.
c. Para Kreditor
d. Para Pemegang Saham.
Dengan adanya fiduciary relationships ini maka Kurator akan mengemban
kepercayaan dari pengadilan, debitor, para kreditor dan para pemegang saham
untuk melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya demi kepentingan pihakpihak tersebut karena dengan demikian kurtor bertanggung jawab kepada pihakpihak tersebut. “Kurator adalah perwakilan pengadilan dan dipercayai dengan
mempertaruhkan reputasi pengadilan untuk melaksanakan kewajibannya dengan
tidak memihak” 324
3.
Pengurus
Dalam hal permohonan PKPU yang diajukan oleh debitor maupun
kreditor, Pengadilan Niaga harus mengabulkan PKPU Sementara dan harus pula
menunjuk seorang hakim Pengawas dari Hakim Pengadilan Niaga serta
mengangkat 1 (satu) atau lebih Pengurus yang bersama dengan debitor mengurus
harta debitor. 325 Dengan diangkatnya seorang, atau lebih Pengurus, maka dengan
sendirinya kekayaan debitor berada di bawah pengawasan Pengurus. Debitor
hanya dapat melakukan tindakan pengurusan dan pengalihan atas kekayaannya
apabila mendapat persetujuan dari pengurus. Tindakan debitor yang dilakukannya
tanpa persetujuan Pengurus tidak akan mengikat harta kekayaan tersebut.
324
325
Ibid h.225
Pasal 225 ayat (2), (3) UU Nomor 37 Tahun 2004
Pengurus yang diangkat haruslah independen dan tidak memiliki benturan
kepentingan (conflict of interest) dengan debitor atau kreditor.326 Yang dapat
diangkat menjadi Pengurus adalah : 327
a.
Orang perseorangan yang berdomisili di wilayah Negara Pepublik Indonesia.
yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus
harta debitor, dan
b.
Terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang hukum dan peraturan perundang-undangan.
Pengurus bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam
melaksanakan tugas pengurusan yang menyebabkan kerugian terhadap harta
debitor. 328 Pertanggung jawaban Pengurus atas kesalahan dan kelalaiannya yang
menyebabkan kerugian terhadap harta debitor akan didasarkan pada prinsip
fiduciare duty. Kreditor ataupun pihak-pihak yang dirugikan dapat menggugat
Pengurus bila dalam melaksanakan tugasnya telah menyebabkan harta kekayaan
debitor berkurang nilainya. Tanggung jawab Pengurus ini bukan hanya terhadap
kerugian harta debitor akibat perbuatan yang disengaja saja tapi juga terhadap
kerugian yang timbul karena kelalaian Pengurus. Namun tugas utama Pengurus
adalah bersama-sama dengan debitor mengurus kepentingan si debitor mengenai
harta bendanya, artinya bahwa debitor tidak dapat melakukan tindakan
kepengurusan atau memindahkan hak atas sesuatu bagian dari hartanya tanpa
persetujuan dari Pengurus.
326
Pasal 234 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004
Pasal 234 ayat (3) UU Nomor 37 Tahun 2004
328
Pasal 234 ayat (4) UU Nomor 37 Tahun 2004
327
Imbalan jasa Pengurus besarnya ditetapkan oleh Pengadilan Niaga
berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri yang lingkup tugas dan
tangung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan yakni
setelah PKPU berakhir dan harus dibayar lebih dahulu dari harta debitor.329
Untuk itu telah dikeluarkan Kep. Men. Keh. R.I Nomor MH 09 HT. 05 10 THN.
1998 Tentang Pedoman Besarnya Imbalan Jasa bagi Kurator dan Pengurus.
Ada kalanya Pengurus diangkat lebih dari satu, sehingga untuk
melakukan tindakan yang sah dan mengikat diperlukan persetujuan lebih dari 1/2
(setengah) jumlah Pengurus, dan apabila suara setuju dan tidak setuju sama
banyaknya, tindakan yang sah dan mengikat dari Pengurus harus memperoleh
persetujuan Hakim Pengawas. 330
Setiap waktu Pengadilan dapat mengabulkan usul penggantian Pengurus
setelah memanggil dan mendengar Pengurus dan mengangkat pengurus lain dan
atau mengangkat pengurus tambahan berdasarkan
a.
Usul Hakim Pengawas
b.
Permohonan Kreditor dan permohonan tersebut hanya dapat diajukan apabila
didasarkan atas persetujuan lebih dari 1/2 (setengah) jumlah Kreditor yang
hadir dalam rapat kreditor
c.
Permohonan Pengurus sendiri, atau
d.
Permohonan Pengurus lainnya, jika ada. 331
Pengurus wajib melaporkan keadaan harta debitor untuk setiap 3 (tiga)
bulan, dan laporan tersebut harus disediakan di Kepaniteraan Pengadilan Niaga
329
Pasal 234 ayat (5) UU Nomor 37 Tahun 2004
Pasal 236 ayat (1), (2) UU Nomor 37 Tahun 2004
331
Pasal 236 ayat (3) UU Nomor 37 Tahun 2004
330
agar dapat dilihat setiap orang, bila ada masyarakat yang menginginkan untuk
memperolehnya boleh dengan cuma-cuma. Jangka waktu pelaporan tersebut dapat
diperpanjang oleh Hakim Pengawas. 332
Ketentuan jangka waktu 3 (tiga) bulan pelaporan tersebut tidak terlalu
ketat, dalam hal ini bila Pengurus menganggap jangka waktu tersebut terlalu
singkat dengan alasan keadaan keuangan debitor yang begitu rumit, maka
Pengurus dapat mengajukan permohonan kepada Hakim Pengawas agar jangka
waktu pelaporan tersebut diperpanjang.
Pengurus wajib memanggil debitor dan kreditor yang dikenal berdasarkan
perintah Pengadilan Niaga setelah putusan PKPU Sementara diucapkan agar hadir
dalam sidang yang diselenggarakan paling lama pada hari Ke-45 (empat puluh
lima) sejak putusan PKPU Sementara di ucapakan. Dalam hal debitor tidak hadir
dalam sidang tersebut maka PKPU Sementara berakhir dan Pengadilan Niaga
harus menyatakan debitor pailit dalam sidang itu juga. 333
Pengurus wajib segera mengumumkan putusan PKPU Sementara dalam
Berita Negara RI dan paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar harian yang
ditunjuk oleh Hakim Pengawas dan pengumuman tersebut juga harus memuat
undangan untuk hadir pada persidangan yang ditentukan tersebut juga nama
Hakim Pengawas dan nama serta alamat Pengurus. Apabila Rencana Pendamaian
sudah diajukan sebelum putusan PKPU Sementara diucapkan, maka hal ini harus
disebutkan dalam pengumuman tersebut, dan pengumuman tersebut harus
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 21 (dua puluh satu) hari sebelum
tanggal sidang yang ditentukan. 334
332
Pasal 239 ayat (1), (2) UU Nomor 37 Tahun 2004
Pasal 225 ayat (4), (5) UU Nomor 37 Tahun 2004
334
Pasal 226 ayat (1), (2) UU Nomor 37 Tahun 2004
333
4.
Peranan Ahli
Apabila PKPU telah dikabulkan, Hakim Pengawas dapat mengangkat satu
atau lebih ahli untuk melakukan pemeriksaan dan menyusun laporan tentang
keadaan harta debitor dalam jangka waktu tertentu berikut perpanjangannya yang
ditetapkan oleh Hakim Pengawas. 335 Ahli yang dimaksud dalam undang-undang
ini adalah dalam rangka menerapkan asas due diligence, karena dengan
melakukan pemerikasan secara menyeluruh dan tuntas dapat mengetahui keadaan
sebenarnya dari harta debitor. Selanjutnya dapat diperoleh penilaian yang akurat
apakah harta debitor memungkinkan untuk melakukan penawaran-penawaran
dalam rencana perdamaian yang diajukan debitor. Ahli sangat berperan dalam
mewujudkan asas due diligence ini karena keadaan debitor dapat diketahui secara
rinci tentang utang piutang perusahaan sekaligus mengaudit keuangan perusahaan
si debitor melalui tenaga akuntan. Konsultan hukum sangat diperlukan tenaganya
untuk meneliti kedudukan perusahaan Debitor dari segi hukum baik yang
berkaitan dengan hubungan perusahaan debitor dengan perusahaan induk, atau
untuk kemungkinan melakukan merger, akuisisi atau konsolidasi.
Seberapa banyak ahli dan jenis keahlian yang diperlukan tergantung
daripada permasalahan yang mungkin ditemukan dalam suatu perusahaan debitor
yang sedang tidak sehat tersebut. Seorang ahli yang spesifik pengetahuannya
dapat diangkat untuk mengetahui secara tehnis permasalahan demi untuk
terwujudnya keterbukaan dalam mendapatkan keadaan sebenarnya dari
perusahaan debitor. Semua laporan tentang keberadaan harta debitor dan
335
Pasal 238 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004
perhitungan keuangan dan hal-hal lain yang perlu, dilakukan dan disusun oleh
ahli dengan bekerja sama dengan debitor dan Pengurus.
PKPU diajukan oleh debitor ataupun kreditor adalah pada saat posisi
debitor sedang dalam keadaan genting karena ancaman kepailitan sudah
mendesak. Sehingga bila debitor hendak mengajukan rencana perdamaian dan
tahap-tahap pelaksanaannya perdamaian itu hingga diperoleh PKPU Tetap, ada
hal yang perlu dilakukan debitor yakni melaksanakan “prinsip-prinsip
keterbukaan” dari pihak debitor tentang keadaan perusahaannya. Keterbukaan
informasi ini akan menentukan apakah kreditor akan menyetujui atau menolak
proses perdamaian yang ditawarkan. Hal-hal yang ditawarkan dalam rencana
perdamaian dengan adanya keterbukaan informasi, lebih memungkinkan
tercapainya suatu kesepakatan yang mengarah kepada reorganisasi yang lebih luas
cakupannya.
Dalam prinsip keterbukaan ini ada 3 (tiga) hal penting yang menjadi
tujuan yakni : 336
a. Keterbukaan itu berguna untuk memungkinkan kreditor untuk melakukan
atau tidak melakukan pembayaran yang telah dilakukan kepada kreditor
lainnya, kepada insider atau kepada teman-teman debitor.
b. Informasi itu memungkinkan kreditor mengambil sikap terhadap rencana
atau usulan reorganisasi atau likuidasi.
c. Yang paling penting adalah keterbukaan tersebut memungkinkan kreditor
melakukan tawar-menawar terhadap rencana dan keputusan akhir, apakah
menyetujui atau menolak rencana tersebut.
Sebagian besar keputusan kreditor untuk menerima atau menolak rencana
perdamaian bergantung kepada empat pertanyaan sebagai berikut : 337
a. Apakah rencana feasible
b. Seberapa besar nilai (kalau ada) yang diberikan rencana tersebut kepada
kreditor.
c. Apakah kreditor menerima bagiannya secara adil dari pembagian nilai
yang tersedia
336
David G. Epstein et.al dalam Bismar Nasution et.al., Hukum Kepailitan, Program
Magister Kenotariatan, PPS USU 2003, h. 139
337
Marks Scarberry et.al. dalam Bismar Nasution et.al. ibid. h. 139
d. Apakah bentuk pemberian nilai tersebut dapat diterima
Kreditor sangat membutuhkan keterbukaan informasi yang relevan dan
tepat untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, sehingga para
kreditor setelah memperoleh jawabannya dapat memberikan penilaian terhadap
rencana perdamaian yang ditawarkan itu.
Debitor maupun para kreditor sangat membutuhkan ahli dalam
melaksanakan dan mewujudkan asas due diligence maupun prinsip keterbukaan
ini, karena peranan ahli di bidang tertentu dan spesifik dapat merubah keadaan
yang tidak kondusif ke arah perdamaian menjadi diterimanya rencana itu dengan
adanya persetujuan antara debitor dengan para kreditor setelah memperoleh
masukan dari para ahli. Dalam melaksanakan Studi Kelayakan dan menyusun
laporannya, pembagian tugas di antara Tim Konsultan Ahli dapat ditentukan
sebagai berikut : 338
a. Kantor Akuntan Publik menangani aspek keuangan dari perusahaan
debitor dan para penjamin utang debitor
b. Kantor konsultan hukum menangani aspek hukum dari perusahaan debitor
dan para penjamin utang debitor.
c. Kantor konsultan manajemen keuangan dan bisnis menangani aspek
menajemen dan aspek bisnis dari perusahaan debitor.
d. Perusahaan penilai (appraisal company) melakukan penilaian terhadap
aset perusahaan debitor dan aset dan para penjamin utang debitor.
5. Peranan Penasihat Hukum (Advocat)
Advokat sangat besar peranannya dalam proses kepailitan maupun PKPU.
Permohonan pernyataan pailit atau PKPU tidak dapat diajukan oleh kreditor
ataupun debitor sendiri, permohonan tersebut harus diajukan oleh seorang
338
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit. h. 372-373
Advokat. 339 Tindakan-tindakan kreditor maupun debitor yang harus dilakukan
olen advokatnya adalah dalam hal-hal sebagai berikut :
a. Dalam Kepailitan
1) Mengajukan permohonan persyaratan pailit kepada Ketua Pengadilan, baik
sebagai Kuasa Kreditor atau Kuasa debitor 340
2) Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan, sebagai
kuasa kreditor dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk :
a) meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh harta debitor atau
b) menunjuk Kurator sementara untuk mengawasi pengelolaan usaha debitor
dan tugas-tugas lain yang merupakan wewenang kurator. 341
3) Mengajukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung terhadap putusan
pernyataan pailit dengan mendaftarkan kepada Panitera Pengadilan yang telah
memutus permohonan pernyataan pailit. 342
4) Menyerahkan atau menyampaikan memori kasasi (Pemohon) kontra memori
kasasi (Termohon) kepada Panitera Pengadilan. 343
5) Meminta pembatalan hibah yang dilakukan debitor kepada Pengadilan yang
merupakan hak kreditor, apabila dapat membuktikan bahwa pada saat hibah
dilakukan debitor mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan itu akan
mengakibatkan kerugian bagi kredior. 344
339
Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 mendefinisikan bahwa advokat adalah
orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang
memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini. Syarat untuk dapat diangkat
sebagai advokat ditentukan dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tersebut
340
Pasal 6 UU Nomor 37 Tahun 2004
341
Pasal 10 UU Nomor 37 Tahun 2004
342
Pasal 11 UU Nomor 37 Tahun 2004
343
Pasal 12 UU Nomor 37 Tahun 2004
344
Pasal 43 UU Nomor 37 Tahun 2004
6) Mengajukan permohonan eksukusi dari kreditor dan hak pihak ketiga untuk
menuntut hartanya yang ada pada debitor pailit atau kurator terutama terhadap
tagihan kreditor yang dijamin dengan uang tunai dan hak kreditor untuk
memperjumpakan utang. 345
7) Mengajukan permohonan kepada kurator mewakili kreditor atau pihak ketiga
untuk mengangkat penangguhan atau mengubah syarat penangguhan
eksekusi. 346
8) Mengajukan perlawanan kepada Pengadilan terhadap Penetapan Hakim
Pengawas yang menolak mengangkat penangguhan atau mengubah syarat dan
penangguhan eksekusi. 347
9) Mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan (Hakim Pengadilan
Niaga) terhadap semua Penetapan Hakim Pengawas kecuali yang ditetapkan
dalam Pasal 68 ayat (2). 348
10) Mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan yang menolak maupun
yang mengabulkan pengesahan perdamaian. 349
11) Mengajukan tuntutan pembatalan perdamaian. 350
12) Mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap harta kekayaan orang
meninggal dunia. 351
13) Mengambi1 pelunasan seluruh atau sebagian utangnya dari benda yang
termasuk harta pailit yang berada di luar wilayah negara RI. 352
345
Pasal 56 UU Nomor 37 Tahun 2004
Pasal 57 UU Nomor 37 Tahun 2004
347
Pasal 58 UU Nomor 37 Tahun 2004
348
Pasal 68 UU Nomor 37 Tahun 2004
349
Pasal 161 UU Nomor 37 Tahun 2004
350
Pasal 171 UU Nomor 37 Tahun 2004
351
Pasal 207 UU Nomor 37 Tahun 2004
346
b. Dalam PKPU
1) Permohonan PKPU yang diajukan oleh Debitor maupun kreditor ditanda
tangani oleh yang bersangkutan dan Advokatnya yang diajukan kepada
Pengadilan Niaga. 353
2) Memperjumpakan utang piutang asalkan utang piutang tersebut atau
perbuatan hukum yang menimbulkan utang piutang dimaksud telah terjadi
sebe1um PKPU. 354
3) Mengakhiri PKPU atas permintaan dari Kreditor dengan alasan adanya
perbuatan-perbuatan debitor yang merugikan pihak kreditor. 355
4) Mengajukan permohonan Kasasi, menyerahkan/menyampaikan memori
kasasi, kontra memori kasasi dan mengajukan PK kepada Pengadilan melalui
Panitera terhadap putusan pengakhiran PKPU. 356
5) Sebagai kuasa dari debitor mengajukan permohonan pencabutan PKPU
dengan alasan bahwa harta debitor telah memungkinkan melakukan
pembayaran kembali dengan terlebih dahulu mendengar Pengurus dan
Kreditor. 357
6) Sebagai kuasa debitor maupun kuasa kreditor yang mendukung rencana
perdamaian meminta kepada Pengadilan untuk memperbaiki Risalah Rapat
352
Pasal 212 UU Nomor 37 Tahun 2004
Pasal 224 UU Nomor 37 Tahun 2004
354
Pasal 247 UU Nomor 37 Tahun 2004
355
Pasal 255 UU Nomor 37 Tahun 2004
356
Pasal 256 UU Nomor 37 Tahun 2004
357
Pasal 259 UU Nomor 37 Tahun 2004
353
karena berdasarkan dokumen yang ada tersebut oleh Hakim Pengawas keliru
telah dianggap sebagai ditolak. 358
7) Sebagai kuasa Kreditor ataupun kuasa debitor menyetujui atau menolak
pengesahan perdamaian dengan mengemukakan alasan-alasannya dan
menghadiri persidangan pengesahan perdamaian yang diselenggarakan oleh
Pengadilan. 359
8) Sebagai
kuasa
kreditor
mengajukan
permohonan
Pembatalan
suatu
Perdamaian yang telah disahkan oleh pengadilan apabi1a debitor lalai
memenuhi isi perdamaian tersebut, dan terhadap putusan atas tuntutan
pembatalan ini dapat diajukan upaya Kasasi maupun Peninjauan Kembali. 360
9) Bila rencana perdamaian telah ditolak dan oleh Hakim Pengawas te1ah
melaporaan hasil rapat tentang penolakan itu kepada Pengadilan, maka
Pengadilan harus menyatakan debitor pailit, dan terhadap Putusan pernyataan
pailit tersebut kuasa dari masing-masing kreditor maupun debitor dapat
mengajukan upaya Kasasi maupun Peninjauan Kembali terhadap putusan
tersebut. 361
358
Pasal 283 UU Nomor 37 Tahun 2004
Pasal 284 UU Nomor 37 Tahun 2004
360
Pasal 291 jis. Pasal 170, pasal 171 UU Nomor 37 Tahun 2004
361
Pasal 289 jo. Pasal 290 UU Nomor 37 Tahun 2004
359
G. Faktor-faktor penghambat pelaksanaan PKPU
1. Proses dan Manfaat PKPU
Permohonan PKPU dapat terjadi karena pengajuan dari debitor sendiri
dengan inisiatifnya untuk mohon penundaan pembayaran utang, tetapi dapat juga
terjadi diajukan oleh debitor sebagai tangkisan terhadap permohonan pailit yang
telah diajukan oleh kreditor terhadap si debitor. Sebagai ketentuan hukum acara
yang baru dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 (UU Kepailitan), kreditor diberi hak
untuk langsung mengajukan PKPU terhadap debitornya, jadi inisiatif ada pada
kreditor dengan harapan masih dapat dilakukan negosiasi terhadap si debitor
untuk menyelesaikan utang piutang tanpa perlu mengajukan pailit.
Dari segi hukum acara, permohonan PKPU dapat dikategorikan sebagai
berikut:
a. PKPU murni (Voluntary Petition), diajukan oleh debitor sebagai permohonan
tanpa menarik pihak lain (kreditor) sebagai Termohon. Inisiatif berperkara
berada pada debitor. Permohonan PKPU ini bersifat imperatif artinya setiap
ada permohonan PKPU murni, pengadilan niaga wajib mengabulkannya
dalam 3 (tiga) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan PKPU
tersebut sebagai PKPU sementara untuk paling lama 45 (empat puluh lima)
hari. 362
b. PKPU tidak murni (Involuntary Petition), diajukan oleh debitor sebagai
tangkisan atau counter terhadap permohonan pailit yang diajukan olen
kreditor terhadap si debitor. Inisiatif berperkara ada pada kreditor.
Permohonan ini harus diputuskan lebih dahulu dari permohonan pailit yang
362
Pasal 222 ayat (1), (2) jo. Pasal 225 ayat (2), (4) UU Nomor 37 Tahun 2004
diajukan oleh kreditor. 363 Setelah adanya permohonan pailit dari kreditor,
debitor sendiri harus memanfaatkan moment atau kesempatan ini mengajukan
PKPU sebagai upaya menghindar dari upaya pailit dari kreditor tresebut.
Kesempatan ini sangat baik untuk menegosiasikan penyelesaian utang dengan
para kreditor karena PKPU sementara (maksimum 45 hari) wajib dikabulkan
oleh Pengadilan Niaga dan masih diberi kesempatan maksimum 270 (dua
ratus tujuh puluh) hari untuk memperoleh PKPU tetap.
c. PKPU diajukan kreditor, apabila kreditor memperkirakan bahwa debitor tidak
dapat melanjutkan pembayaran utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat
ditagih, dapat mengajukan PKPU untuk memungkinkan debitor mengajukan
rencana perdamaian, 364 jadi inisiatif juga berada pada kreditor yang tujuannya
cenderung untuk memberikan kesempatan pada debitor untuk menyelesaikan
utangnya kepada para kreditornya melalui negosiasi yang diwujudkan dalam
rencana perdamaian. Pengajuan PKPU dengan inisiatif murni dari kreditor ini
baru diatur dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 (UU Kepailitan), dan
sebelumnya tidak dikenal dalam UU Nomor 4 Tahun 1998.
Dalam pratek Pengadilan Niaga, permohonan PKPU baik karena diajukan
sebagai PKPU murni maupun PKPU tidak murni, cenderung mengabulkan
permohonan PKPU tersebut daripada menolaknya karena Undang-undang
mengharuskan atau mewajibkan pengadilan niaga mengabulkan PKPU sementara
dan bila memenuhi syarat akan diberikan PKPU tetap.
Setelah diberlakukannya UU Nomor 37 Tahun 2004, berdasarkan Pasal
222 ayat (3) dimana kreditor telah diberi hak untuk mengajukan PKPU terhadap
debitornya, di Pengadilan Niaga Semarang telah diajukan permohonan PKPU
363
364
Pasal 229 ayat (3), (4) UU Nomor 37 Tahun 2004
Pasal 222 UU ayat (3) Nomor 37 Tahun 2004
oleh kreditor yang terdaftar sebagai perkara Nomor 01/PKPU/2005/PN.Smg.
Dalam perkara ini PT. Plasticom Trijaya dkk. sebagai para kreditor (Pemohon)
te1ah mengajukan PKPU terhadap PT. Hadikusumo Bros Coy sebagai debitor
(Termohon). Dalam Putusan perkara tersebut pada tanggal 1 September 2005
telah dinyatakan Permohonan PKPU dari Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard) dengan pertimbangan hukum sebagai berikut : Utang
Termohon tidak jelas kapan jatuh tempo dan dapat ditagih, karena jatuh waktu
cheque dan bilyet giro tidak dapat dijadikan sebasai dasar jatuhnya waktu utang
Termohon. Dari pertimbangan tersebut Hakim Pengadilan Niaga Semarang
akhirnya memutuskan bahwa Permohonan Pemohon belum memenuhi syarat
utang telah jatuh waktu, sehingga Permohonan Pemohon haruslah dinyatakan
tidak dapat diterima.
Permasalahan yang timbul dalam PKPU ini adalah bilamana permohonan
ini diajukan oleh debitor yang tidak mempunyai prospek lagi, sehingga maksud
debitor hanya mengulur-ulur waktu saja dengan itikad tidak baik. Undang-undang
tidak mengatur kriteria rinci bagi perusahaan sebagai debitor dalam mengajukan
permohonan PKPU ini, sehingga celah hukum ini telah dimanfaatkan oleh debitor
sebagai perusahaan yang tidak kooperatif dan ingin mengulur-ulur waktu untuk
membayar utangnya dengan cara mengajukan permohonan PKPU. Dimungkinkan
juga dari pihak kreditor yang mengajukan permohonan PKPU terhadap debitor
bilamana kreditor itu sendiri beritikad tidak baik dengan bersekongkol dengan
debitor untuk mengulur waktu pembayaran utang debitor kepada para kreditor
lainnya.
Bila permohonan PKPU dikabulkan oleh pengadilan, maka pengadilan
akan menunjuk Hakim Pengawas dan Pengurus, selanjutnya oleh Pengurus
diadakan rapat kreditor dan rapat verifikasi yang dipimpin oleh Hakim Pengawas.
Dalam rapat tersebut juga dibahas tentang Rencana Perdamaian yang diajukan
oleh debitor. Pada umumnya dalam rencana perdamaian, debitor akan memohon
kepada kreditor untuk merestrukturisasi utang-utangnya.
Undang-undang kepailitan tidak mengatur secara jelas mengenai
restrukturisasi utang dan juga tidak diisyaratkan adanya pendapat dari para ahli,
sehingga kreditor buta tentang keberadaan dan kemampuan debitor yang
menawarkan restrukturisasi utangnya dalam rencana perdamaian. Kreditor tidak
mengetahui secara pasti keadaan debitor, akibatnya debitor yang tidak beritikad
baik bisa saja mengajukan rencana perdamaian dan diterima oleh kreditor, dan
sebaliknya debitor yang beritikad baik dan perusahaannya masih going concern
yang mempunyai prospek, malah rencana perdamaian yang diajukannya ditolak
oleh kreditor yang mengakibatkan perusahaan debitor dinyatakan pailit dan
dilikuidasi.
Ada 2 (dua) jenis utama restrukturisasi yaitu: a. Restrukturisasi Finansial,
b. Restrukturisasi Operasional. Dalam praktek PKPU, restrukturisasi yang
dimaksud adalah restrukturisasi finasial atau restrukturisasi utang.
Jenis-jenis Restrukturisasi Utang yang dimohonkan oleh debitor dalam
Rencana Perdamaian adalah sebagai berikut : 365
1) Penundaan (moratorium) pembayaran kepada kreditor
2) Syarat bunga pinjaman yang lunak
365
Syamsudin M. Sinaga, et.al. Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Restrukturisasi
Utang pada PKPU, (Jakarta: BPHN Depkeh.&HAM, 2000), h. 20
3) Penjadwalan kembali pembayaran pokok pinjaman
4) Konversi utang menjadi modal
5) Penempatan modal baru atau perolehan pinjaman
6) Penghapusan utang.
Bilamana Rencana Perdamaian yang isinya berupa restrukturisasi utang
diterima atau disetujui para kreditor, maka rencana perdamaian tersebut berubah
menjadi Perdamaiaan atau Perjanjian Perdamaian maka perjanjian ini harus
mendapat pengesahan (homologasi) oleh Pengadilan Niaga. Pengesahan ini dapat
ditolak oleh Pengadilan apabila terdapat hal-hal sebagai berikut : 366
1) Harta debitor, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan
benda, jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian
2) Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin
3) Perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan salah
satu atau lebih kreditor, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur
dan tanpa menghiraukan apakah debitor atau pihak lain berkerja sama untuk
mencapai hal ini, dan/atau
4) Imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum
dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayarannya.
Apabila Pengadilan Niaga menolak mengesahkan perdamaian tersebut,
maka dalam putusan itu juga pengadilan harus menyatakan debitor pailit. 367
366
367
Pasal 285 (2) UU Nomor 37 Tahun 2004
Pasal 285 ayat (3) UU Nomor 37 Tahun 2004
Terhadap putusan pernyataan pailit ini tidak berlaku upaya hukum Kasasi maupun
Peninjauan Kembali. 368
Ketentuan tentang tidak dapatnya diajukan upaya hukum Kasasi maupun
Peninjauan Kembali terhadap putusan pernyataan pailit tersebut ada pendapat
yang menyatakan :“Ketentuan yang demikian dirasakan tidak adil, sebab dalam
perkara pailit saja apabila debitor perusahaan dinyatakan pailit, maka terhadap
putusan pailit tersebut masih dapat diajukan upaya hukum kasasi. Semestinya
apabila pengesahan perdamaian ditolak oleh Pengadilan Niaga, maka debitor
perusahaan tersebut jangan langsung dinyatakan pailit, tetapi ditunggu sampai
penolakan pengesahan perdamaian itu berkekuatan hukum tetap, karena terhadap
putusan yang demikian dapat diajukan upaya hukum” 369
Debitor memohonkan PKPU tujuannya adalah sebagai berikut : 370
a. Ingin agar utangnya direstrukturisasi, dalam hal ini manfaat dari
restrukturisasi utang lewat PKPU ini yaitu :
1) Bermanfaat bagi kreditor karena pelaksanaannya diawasi oleh
pengadilan.
2) Bermanfaat bagi debitor karena restrukturisasi utang ini tidak
memerlukan persetujuan semua kreditor, tetapi cukup persetujuan
dari sebagian besar kreditor yang hadir dalam rapat kreditor
b. Sebagai upaya melawan kepailitan, yakni melawan permohonan pailit
yang telak diajukan para kreditornya, jika diajukan PKPU padahal
368
Pasal 290 UU Nomor 37 Tahun 2004
Syamsudin M. Sinaga et.al. op.cit. h.21-22
370
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2001),
369
h.83
permohonan pailit telah dilakukan maka hakim harus mengabulkan
PKPU dalam hal ini untuk jangka waktu paling lama 45 (empat puluh
lima) hari dan sementara gugatan pailit gugur demi hukum.
PKPU pada dasarnya hanya berlaku pada para kreditor konkuren
walaupun tidak secara tegas disebutkan dalam Pasal 222 ayat (2) UU Nomor 37
tahun 2004 sebagaimana halnya pada Pasal 212 UU Nomor 4 tahun 1998 yang
menegaskan debitor pemohon PKPU dengan maksud pada umumnya untuk
mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau
sebagian utang kepada kreditor konkuren. Namun Pasal 244 UU Nomor 37 tahun
2004 menegaskan, dengan tetap merperhatikan ketentuan Pasal 246, PKPU tidak
berlaku terhadap :
1) Tagihan yang dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan,
hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya
2) Tagihan biaya pemeliharaan, pengawasan, atau pendidikan yang sudah
harus dibayar dan Hakim Pengawas harus menentukan jumlah tagihan
yang sudah ada dan belum dibayar sebelum penundaan kewajiban
pembayaran utang yang bukan merupakan tagihan dengan hak untuk
diistimewakan, dan
3) Tagihan yang diistimewakan terhadap benda tertentu milik debitor
maupun terhadap seluruh harta debitor yang tidak tercakup pada haruf b.
Dengan demikian seluruh pemegang hak-hak jaminan yang memperoleh
kedudukan didahulukan seperti gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotik (kreditor
separatis) adalah kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang terhadapnya
tidak berlaku PKPU. Tidak berlakunya PKPU ini terhadap para kreditor separatis
disebabkan oleh karena piutang para kreditor ini telah dijamin oleh hak-hak
kebendaan, jadi pembayarannya sudah lebih pasti. Hanya saja dalam Pasal 229
UU Nomor 37 Tahun 2004 dinyatakan, dalam pemberian PKPU pengadilan
menetapkannya bila telah memperoleh persetujuan lebih dari 1/2 (setengah)
jumlah kreditor separatis yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga)
bagian dan seluruh tagihan kreditor atau kuasanya yang hadir dalam sidang. Jadi
dalam UU Nomor 37 lahun 2004 disyaratkan adanya persetujuan dari kreditor
separatis agar pengadilan menetapkan PKPU tersebut, sedang dalam UU Nomor 4
Tahun 1998 persetujuan itu hanya diperlukan dari kreditor konkuren.
PKPU pada hakekatnya bertujuan untuk mengadakan perdamaian diantara
debitor dengan para kreditor. Untuk mewujudkan perdamaian ini debitor
membuat satu konsep perdamaian yang akan ditawarkan kepada pihak kreditor.
Bila rencana/konsep perdamaian ini disetujui oleh para kreditor, maka perusahaan
debitor masih dapat berjalan terus sesuai dengan kesepakatan yang tercapai dalam
Perdamaian tersebut. Perdamaian dalam PKPU sangat jauh berbeda dengan
perdamaian dalam kepailitan. Dalam PKPU, debitor masih diberi kewenangan
mengurus kegiatan perusahaan bersama-sama dengan pengurus yang ditunjuk,
sedang dalam kepailitan pemberesan harta pailit sepenuhnya dilakukan oleh
kurator. Perdamaian dalam PKPU memungkinkan cakupan yang lebih luas hingga
restrukturisasi, sehingga pembayaran utang debitor kepada para kreditornya bisa
dibayarkan penuh tergantung pada isi kesepakatan dalam perdamaian yang telah
dihomologasi oleh Pengadilan Niaga, sedang dalam Akkord cakupannya hanyalah
sebatas harta pailit tersebut.
Utang Debitor dianggap layak untuk direstrukturisasi apabila:371
1). Perusahaan Debitor masih memiliki prospek usaha yang baik untuk mampu
melunasi utang atau utang-utang tersebut apabila perusahaan Debitor diberi
penundaan pelunasan utang atau utang-utang tersebut dalam jangka waktu
tidak melebihi jangka waktu tertentu, baik dengan atau tanpa diberi
keringanan-keringanan persyaratan dan atau diberi tambahan utang baru.
Prakarsa Jakarta atau The Jakarta Inisiative, menentukan jangka waktu itu
tidak lebih dari 8 (delapan) tahun.
2) Selain hal tersebut di atas, utang Debitor dianggap layak untuk
direstrukturisasi daripada apabila perusahaan Debitor dinyatakan pailit, atau
3) Apabila syarat-syarat utang berdasarkan kesepakatan restrukturisasi menjadi
lebih menguntungkan bagi para kreditor daripada apabila tidak dilakukan
restrukturisasi.
Tercapainya kesepakatan perdamaian dalam PKPU sangat bermanfaat
bagi debitor dan bagi para kreditor, beberapa manfaat tersebut antara lain :
1) Memberikan kesempatan pemulihan usaha debitor
Permohonan PKPU yang diajukan oleh debitor yang dilampiri dengan
Rencana Perdamaian, jika rencana perdamaian tersebut telah disepakati oleh para
kreditor, maka terbukalah kesempatan bagi debitor untuk memulihkan usahanya
untuk terhindar dari pailit/insolvent. Debitor akan mendapat kesempatan untuk
371
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit. h.367
menata kembali usahanya berdasarkan potensi baru karena ada penjadwalan
kembali utang (rescheduling) atau tambahan modal baru (rekapitalisasi),
sehingga modal tersebut dapat digunakan untuk menggerakkan kembali roda
perusahaan. Mekanisme kepengurusan adalah si debitor harus didampingi oleh
pengurus yang ditunjuk oleh pengadilan untuk bersama-sama melakukan kegiatan
pengurusan perusahaan dengan konsekuensi bertanggungjawab secara bersamasama selama masa PKPU atau hingga terlunasinya semua utang-utang debitor
kepada seluruh kreditornya. Debitor tidak dapat melakukan tindakan pengurusan
atau kepemilikan tanpa persetujuan pengurus. 372 Debitor dan pengurus dalam
melakukan tindakan pengurusan perusahaan mendapat pengawasan dari Hakim
Pengawas, dan si debitor harus menyadari bila ada kesalahan dan mismanajemen
yang dilakukan sebelumnya tentu akan menghindarinya untuk tidak terulang lagi
demi untuk tercapainya kepentingan bersama antara debitor dengan para
kreditornya.
2) Penyelesaian utang piutang secara baik dan terjadwal
Upaya untuk mengembalikan utang-utang si debitor adalah beban yang
sangat berat, namun dengan langkah PKPU ini akan menjadi relatif lebih ringan
dan lebih baik jika dilihat dari beberapa hal :
a) Si debitor jelas akan lepas dari kepailitan yang mengharuskan hartanya
dilikuidasi, hal ini sangat ditakuti oleh para pengusaha karena dampak yang
sangat luas baik terhadap pengurus (direksi) perusahaan, harta benda
372
Pasal 240 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004
perusahaan, nasib karyawan dan nama baik perusahaan di mata para relasinya
yang sangat sulit untuk membangunnya kembali.
b) Likuidasi harta pailit karena kepailitan menjadikan kepunahan terhadap harta
benda perusahaan maupun nama baik debitor, tidak seimbang dengan
rehabilitasi yang diberikan melalui undang-undang. 373 Selama batas waktu
PKPU yang telah disepakati, pihak debitor dan pengurus tidak lagi direpoti
oleh gangguan dari para kreditor, karena semua penyelesaian telah terjadwal
berdasarkan kesepakatan bersama, dan keputusan perdamaian tersebut bersifat
mengikat, sehingga keadaan sebelum PKPU dijalankan, para kreditor
sewaktu-waktu dapat mengajukan tagihan-tagihan yang merepotkan dan juga
sewaktu-waktu dapat memohonkan si debitor pailit.
3) Penyelesaian utang piutang selalu dalam pengawasan pengadilan
Pengurus wajib melaporkan keadaan harta debitor setiap 3 (tiga) bulan
sejak putusan PKPU diucapkan, dan laporan itu harus tersedia di Kepaniteraan
Pengadilan Niaga yang bersangkutan untuk dapat dilihat oleh umum tanpa biaya.
Pelaporan ini jangka waktunya masih dapat diperpanjang oleh Hakim
Pengawas. 374 Hal ini menunjukkkan mekanisme Pengawasan oleh pihak
pengadilan terhadap jalannya PKPU melalui Hakim Pengawas sangat diperlukan,
mengingat kemungkinan adanya hal-hal baru atas harta debitor yang ditemukan
selama pelaksanaan draft perdamaian PKPU tersebut yang memerlukan
pengarahan atau petunjuk dari Hakim Pengawas untuk tidak terjadinya kegagalan
dalam perwujudan perdamaian dimaksud.
373
374
Pasal 215 s/d 221 UU Nomor 37 Tahun 2004
Pasal 239 ayat (1), (2) UU Nomor 37 Tahun 2004
4) Setelah menyelesaian utang piutang, hubungan bisnis debitor dangan para
pihak tidak terputus.
Hubungan baik dengan para relasi perusahaan adalah suatu hal yang tidak
ternilai harganya seningga manajemen perusanaan akan selalu menjaganya
melalui sistem tertentu. Suatu perusahaan yang baik akan menjaga bentuk-bentuk
hubungan atau jalinan hubungan baik ini dengan para relasinya. Perusahaan selalu
berusana agar dikenal oleh masyarakat terutama konsumennya dengan berbagai
cara yang juga memerlukan dana yang tidak sedikit untuk Public relation,
advertensi dan lain-lain. Perusanaan yang ingin memajukan usahanya atau
perusahaan yang sudah maju berarti sudah menginvestasikan banyak dana untuk
menjalin hubungan dengan relasi bisnisnya. Suatu perusahaan debitor yang
diancam pailit, sudah merupakan hal yang baik jika perusahaan itu lepas dari
kepailitan walaupun harus melaksanakan perdamaian dalam PKPU yang sedikit
mengurangi kebebasannya. Apabila perdamaian terlaksana dengan baik dan
utang-utang kepada kreditor terepenuhi pada waktu yang ditetapkan, maka
manfaat dari perdamaian itu adalah sangat menolong bagi pihak perusahaan
debitor karena tidak kehilangan pamor di masyarakat dan juga manfaat bagi para
kreditor yang mengharapkan piutangnya dibayar kembali walaupun tidak secara
utuh.
2. Kelemahan-kelemahan dari lembaga PKPU
Menurut J.B.Huizink ada beberapa kelemahan dari lembaga PKPU dalam
praktek yakni :
a. Penundaan pembayaran tidak berlaku bagi tagihan-tagihan yang terkait
dengan prioritas. Ini berarti bahwa penundaan pembayaran tidak memiliki
daya laku terhadap kreditor preferen dan tagihan yang dijamin dengan gadai
dan hipotik (kreditor separatis). Para kreditor ini dapat menolak penundaan
pembayaran serta dapat melaksanakan hak-haknya seperti biasa. 375 PKPU
tidak berlaku terhadap kreditor preferen maupun kreditor separatis, tetapi
pelaksanaan
eksekusi
atas
hak-haknya
harus
ditangguhkan
selama
berlangsungnya PKPU namun tidak menutup kemungkinan para kreditor
mengajukan permohonan pengangkatan penangguhan tersebut. 376
b. Jumlah tagihan para kreditor preferen sering merupakan porsi terbesar dari
beban, sehingga makna penundaan yang terkandung di dalam penundaan
pembayaran tidak begitu banyak artinya bagi debitor. 377
c. Dalam beberapa hal penyelesaian kepailitan dan PKPU berjalan tidak sesuai
dengan yang diinginkan oleh pembuat undang-undang, hal ini disebabkan
oleh relatif besarnya jumlah total tagihan-tagihan dengan hak didahulukan,
serta kuatnya posisi para kreditor separatis serta dominannya posisi para
kreditor bank, fiskus dan dewan asuransi perusahaan menyebabkan penjualan
barang-barang para kreditor menjadi tidak adil. 378
375
J.B Huizink, op.cit. h.9
Pasal 244 jo. 246 UU Nomor 37 Tahun 2004
377
J.B Huizink, op.cit. h.10
378
Ibid h. 11
376
d. Pengumuman pemberian sementara penundaan pembayaran di dalam Berita
Negara dan di dalam Surat Kabar yang ditentukan oleh Hakim pengawas,
maka masyarakat umum segera mengetahui bahwa debitor sedang berada
dalam kesulitan finansial. Hal ini akan menimbulkan dampak besar bagi
pemasok dan pembeli, mereka akan menjadi lebih hati-hati terhadap
perusahaan debitor. Para pemasok akan meminta pembayaran tunai atau
garansi bank atas barang yang diserahkan, para pembeli tidak akan cepatcepat melakukan pembayaran sebelum yakin barang atau jasa yang diberikan
itu sudah sesuai dengan keinginannya mereka. 379
e. Atas permintaan Hakim pengawas atau permohonan pengurus atau satu atau
lebih Kreditor atau prakarsa Pengadilan, PKPU mempunyai alasan untuk
diakhiri karena keadaan harta debitor ternyata tidak lagi memungkinkan
dilanjutkannya PKPU. 380 Hal ini sessuai dengan salah satu syarat atau alasan
pengakhiran PKPU, yakni selama waktu PKPU keadaan harta debitor tidak
memungkinkan dilanjutkan PKPU. 381
Selain daripada aturan-aturan mengenai kepailitan dan PKPU yang sudah
kuno dan ketinggalan jaman, ada keinginan untuk mengadakan perubahan dan
penyesuaian terhadap keadaan ekonomi, sebagaimana Huizink menguraikan :
Memburuknya keadaan ekonomi pada akhir tanun 70-an dan awal ’80-an
memaksa perusahaan-perusahaan untuk menutup usaha. Termasuk di
dalamnya beberapa perusahaan besar yang beroperasi secara internasional :
deconfitur yang kadang-kadang mengakibatkan hilangnya banyak kesempatan
kerja. Hal yang sama dapat dikatakan terjadi pada awal tahun 90-an. Likuidasi
perusahaan semacam itu dari berbagai sudut dirasakan sebagai suatu bentuk
379
Ibid h. 10
Ibid h. 11
381
Lihat Pasal 255 ayat (1) e UU Nomor 37 Tahun 2004
380
pemusnahan modal. Harus ada suatu kemungkinan untuk menyelamatkan
perusahaan-perusahaan itu dari kesulitan tanpa harus menggunakan cara
penyelesaian melalui penundaan pembayaran atau kepailitan.
Banyak perusahaan yang terancam kelangsungan hidupnya mendorong
adanya inisiatif dari perhimpunan hukum dagang (Belanda) untuk membentuk
suatu komisi untuk menyusun suatu konsep RUU Reorganisasi dan Pemulihan
Perusahaan. RUU ini memuat kemungkinan-kemungkinan mengenai suatu
moratorium umum bagi perusahaan-perusahaan yang terjerat kesulitan.
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) akan berlaku pula bagi
para kreditor yang mempunyai hak didahulukan selama moratorium
berlangsung,
perusahaan-perusahaan
mendapat
kesempatan
untuk
menjalankan suatu rencana pemulihan. Rencana tersebut harus memuat
pengaturan utang dalam bentuk suatu akkord dan harus dengan syarat-syarat
tertentu yang mengikat semua kreditor. 382
Untuk merealisasi ide tersebut di tahun 1986 dibentuk suatu Komisi yang
dinamakan “Komisi Mijnssen” yang bertugas memberi saran-saran perlu tidaknya
menyiapkan suatu rancangan untuk mengubah UU Kepailitan khususnya
menyangkut PKPU. Selanjutnya disusun suatu laporan yang disebut “Laporan
Mijnssen” tahun 1989 yang dan dalamnya dapat dikemukakan beberapa
kesimpulan dan rekomendasi antara lain sebagai berikut : 383
1) Moratorium harus berlaku bagi semua kreditor, artinya juga bagi kreditor
preferen.
2) Perjanjian kredit, seperti kredit yang diberikan oleh bank harus tetap
dilanjutkan selama moratorium.
3) Moratorium berlangsung
maksimum tiga bulan, dan hanya dapat
diperpanjang untuk satu kali. Para kreditor berhak untuk didengar. Hakim
harus menolak permohonan penundaan bayaran jika pemulihan diperkirakan
tidak akan terjadi. Harus ada kepastian mengenai pembayaran tagihan-tagihan
yang timbul selain moratorium.
4) Fungsi rencana pemulihan adalah untuk mengadakan tindakan-tindakan yang
berkait satu sama lain di bidang finansial, ekonomis dan organisatoris untuk
memulihkan posisi debitor dan atau penyelamatan perusahaan yang
kegiatannya dihentikan olehnya.
382
383
J.B. Huizink, loc.cit. h.12
Ibid h. 13
5) Rencana pemulihan harus disetujui oleh mayoritas kreditor. Hakim
dimungkinkan untuk menyatakan rencana pemulihan yang dibuat oleh para
kreditor sebagai bersifat mengikat.
6) Penyelesaian penundaan pembayaran tetap, diatur menurut ketentuanketentuan di dalam rencana pemulihan.
3. Penyebab Gagalnya Perdamaian dalam PKPU
a. Permohonan PKPU hanya sebagai tameng
Permohonan PKPU yang diajukan oleh Debitor hanyalah sebagai ajang
penyelamatan pertama untuk mengulur waktu pailit dengan adanya permohonan
pernyataan pailit yang diajukan oleh kreditor, maka si Debitor mengajukan
permohonan PKPU untuk menangkis ancaman pailit tersebut. Hal ini dilakukan
oleh Debitor yang menyadari kondisi dan perusahaannya yang memang tidak
mempunyai prospek lagi menghadapi tagihan-tagihan dari Kreditornya, dan tidak
menawarkan Rencana Perdamaian yang realistis untuk dipertimbangkan oleh para
Kreditornya tersebut. Debitor mengajukan permohonan PKPU ini hanya untuk
memperoleh PKPU Sementara, sedang PKPU Tetap tidak mungkin diberikan
karena para Kreditor tidak akan menyetujui perdamaian yang ditawarkan atau
Debitor tidak mampu untuk mengajukan penawaran berupa Rencana Perdamaian.
Pada akhirnya si Debitor harus dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.
Dari 508 jumlah perkara permohonan pailit yang masuk ke pengadilan
Niaga Jakarta Pusat, ditanggapi (counter) oleh Debitor dengan mengajukan
Permohonan PKPU sebanyak 73 perkara dan ternyata yang berhasil dengan
Perdamaian hanyalah 39 perkara, untuk jelasnya dapat dilihat Tabel 8 dalam
lampiran.
b. Para ahli tidak professional
Rencana Perdamaian yang disusun berdasarkan Studi Kelayakan yang
dilakukan olen para ahli haruslah mempunyai kriteria kelayakan baik bagi
Kreditor maupun bagi Debitor. Pada masa pelaksanaan isi perdamaian ternyata
perusahaan si Debitor mengalami keadaaan insolven lagi, sehingga isi perdamaian
seharusnya mengarah dari keadaan insolven dengan waktu tertentu lalu menjadi
solven lagi. Para ahli dengan latar belakang pendidikan yang memadai akan
menjunjung tinggi professionalisme yang sanggup memberikan masukan yang
positif bagi Debitor maupun Kreditor untuk tercapainya Perdamaian sehingga
bermanfaat bagi kedua belah pihak.
Tim Konsultan Ahli yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas bila tidak
melaksanakan tugasnya dengan baik dan benar maka rencana Perdamaian tidak
akan memenuhi syarat-syarat kelayakan. Situasi ini dapat diakibatkan oleb Tim
Ahli yang tidak professional dan tidak independen karena memiliki benturan
kepentingan dengan pihak kreditor maupun Debitor.
c. Syarat formal jumlah suara sesuai dengan ketentuan voting right sulit
didapatkan
Syarat-syarat perolehan suara dalam mendapatkan persetujuan dari para
Kreditor terhadap Rencana Perdamaian yang ditawarkan oleh Debitor menjadi
suatu yang rumit dalam menentukan maupun pemungutan suara terhadap Rencana
Perdamaian tersebut.
Berdasarkan tagihan para kreditor kepada Pengurus yang menyebutkan
sifat dan jumlah tagihan disertai bukti yang mendukung, maka pengurus harus
mencocokannya dengan catatan dan laporan dari Debitor. Dari hasil pencocokan
itu pengurus harus membuat daftar piutang, jumlah piutang masing-masing dan
apakah piutang tersebut diakui, sementara diakui atau dibantah oleh Pengurus. 384
Daftar piutang yang diakui atau diakui sementara dan apakah piutang tersebut
berasal dari tagihan Kreditor Konkuren atau Kreditor Separatis adalah menjadi
kesulitan tersendiri bagi Pengurus untuk membuat daftar piutang dimaksud.
Khususnya bagi Kreditor yang tagihannya dibantah, maka menjadi kewenangan
dari Hakim Pengawas untuk menentukan apakah Kreditor tersebut dapat atau
tidak ikut serta dalam pemungutan suara dan bila dibolehkan oleh Hakim
Pengawas sekaligus ditentukan batasan jumlah suara yang dapat dikeluarkan oleh
Kreditor tersebut. 385 Untuk dapat diterimanya suatu Rencana Perdamaian yang
diajukan oleh Debitor, harus diperoleh persetujuan dari : 386
1) Lebih dari ½ (setengah) jumlah Kreditor Konkuren yang haknya diakui atau
sementara diakui yang hadir dalam rapat kreditor yang mewakili sedikit 2/3
(dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara diakui
dari Kreditor Konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat.
2) Lebih dari ½ (setengah) jumlah Kreditor Separatis yang hadir dan mewakili
paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan kreditor Separatis
atau kuasanya yang hadir dalam rapat.
Perolehan persetujuan dari Kreditor Separatis ini adalah merupakan aturan
baru sebagai syarat tambahan UU Nomor 37 Tahun 2004, karena pada undang-
384
Lihat Pasal 270 s/d Pasal 272 UU Nomor 37 Tahun 2004
Lihat Pasal 280 UU Nomor 37 Tahun 2004
386
Lihat Pasal 281 UU Nomor 37 Tahun 2004
385
undang Nomor 4 Tahun 1998 jo. Perpu Nomor 1 Tahun 1998 persetujuan dari
Kreditor Separatis untuk Rencana Perdamaian tidak disyaratkan.
Untuk tercapainya perdamaian ini sangat sulit dalam menentukan voting
right maupun memperoleh suara sehubungan dengan rumitnya menentukan
piutang yang diakui atau diakui sementara atau dibantah yang menjadi tugas dari
Pengurus dan Hakim Pengawas, juga kesulitan untuk menentukan voting right
Kreditor Separatis. Sulitnya memperoleh persetujuan dari Kreditor Separatis ini
adalah dengan adanya ketentuan bahwa : Perdamaian yang telah disahkan
mengikat semua Kreditor, kecuali Kreditor Separatis yang tidak menyetujui
Rencana Perdamaian dimana kreditor ini menerima kompensasi sebesar nilai
terendah antara nilai jaminan atau nilai aktual pinjaman yang secara langsung
dijamin dengan agunan atas kebendaan. 387 Dengan adanya ketentuan ini kreditor
separatis cenderung tidak peduli dengan Rencana Perdamaian yang ditawarkan
oleh Debitor.
d. Perdamaian tidak disahkan oleh Pengadilan Niaga.
Rencana Perdamaian yang diajukan oleh debitor dan telah memperoleh
persetujuan dari para Kreditor sehingga telah memenuhi syarat formal sesuai
dengan pemungutan jumlah suara, tidak dengan sendirinya dapat berlaku.
Perjanjian Perdamaian yang telan disepakati dan telah menjadi Perdamaian
haruslah memperoleh pengesahan dari pengadilan (Hakim Majelis). Pengadilan
tidak dapat mengesahkan Perdamaian itu bilamana: 388
387
388
Lihat Pasal 286 jo. Pasal 281 ayat 92) UU Nomor 37 Tahun 2004
Lihat Pasal 285 ayat (2) UU Nomor 37 Tahun 2004
1) Harta Debitor, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan
benda, jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian.
2) Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin.
3) Perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan satu
atau lebih Kreditor atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan
tanpa menghiraukan apakah Debitor atau pihak lain bekerja sama untuk
mencapai hal itu, dan/atau.
4) Imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum
dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayaran.
Apabila Pengadilan rnenolak mengesahkan Perdamaian tersebut maka dalam
putusan yang sama Pengadilan harus menyatakan Debitor Pailit. 389
Pengadilan dalam hal ini Majelis Hakim Niaga harus membuat alasanalasan serta pertimbangan dalam putusan yang menolak pengesahan (homologasi)
Perdamaian itu, sehingga dapat menjelaskan fakta dan keadaan dengan buktibukti yang cukup hingga Hakim tiba pada suatu keputusan harus menolak
pengesahan perdamaian itu. Disinilah peranan Hakim dalam mengontrol segala
tindakan pihak-pihak yang tidak jujur, bertitikad buruk dan Hakim harus mampu
untuk memperhitungkan keadaan sehingga diperlukan pengetahuan, ketrampilan
dan pengalaman yang memadai untuk menyusun pertimbangan dalam
putusannya.
389
Lihat Pasal 285 ayat (3) UU Nomor 37 Tahun 2004
BAB IV
PENGATURAN KEPAILITAN DAN REORGANISASI PERUSAHAAN
DI BEBERAPA NEGARA
Reorganisasi Perusahaan Menurut Chapter 11 United State Bankruptcy
Code (US BC)
Hukum kepailitan yang pertama sekali berlaku di Amerika Serikat adalah
The Statute of Bankrupts tahun 1950 yang berasal dari Inggris akibat penjajahan
Inggris di Amerika Serikat. Tetapi kemudian sebagai negara federal, pemerintah
Amerika Serikat telah mengeluarkan The Bankruptcy Act of 1800, yang kemudian
telah diperbaharui dengan adanya ketentuan bahwa debitor sendiri dapat
mengajukan permohonan pernyataan pailit bagi dirinya sendiri (voluntary
bangkruptcy) yaitu setelah berlaku Bankruptcy Act of 1841. Kemudian yang
berlaku adalah The Bankruptcy Act of 1898 setelah mengalami beberapa kali
perubahan maka berlakulah Bankruptcy Code pada tahun 1979 yang pasalpasalnya masih banyak berasal dari The Bankruptcy Act of 1898.
Bankruptcy Code dikenal juga dengan nama Bankruptcy Reform Act of
1978 yang berlaku sejak tahun 1979. Bankruptcy Code ini telah mengalami
beberapa kali perubahan yakni pada tahun 1984, 1986 dan terakhir pada tahun
1994. Bankruptcy Code terdiri dari beberapa Chapter, dan sangat terkenal
diantaranya adalah Chapter 11 tentang Reorganization. 390
390
Chapter 1
Chapter 3
Chapter 5
United State Bankruptcy Code (US BC) terdiri dari :
: General Provision, Definition, and Rules of Construction
: Case Administration
: Creditor, Debtor, and Estate
Menurut US BC, bila debitor sudah tidak mampu membayar utangutangnya, maka ada beberapa pilihan, hal itu termuat dalam kalimat : “The
Bankruptcy Act covers several types of bankruptcy proceedings, in this chapter
our focus will be on: 1. straight bankruptcy (liquidation), 2. reorganization and 3.
consumer debt adjustments.” 391.
Salah satu tujuan Hukum Kepailitan di Amerika Serikat adalah untuk
memberi kesempatan kepada debitor untuk dapat menata usahanya kembali agar
terlepas dari utang-utangnya terhadap para kreditor. Tujuan utama Hukum
Kepailitan Amerika Serikat adalah untuk memberi kesempatan kepada debitor
untuk berusaha kembali agar terlepas dari utang yang lama, jadi lebih ditekankan
pada konsep fresh start. 392
Hal ini dapat dilihat dari US BC yang memberi kesempatan kepada
debitor untuk melakukan reorganisasi yang termasuk di dalamnya restrukturisasi
perusahaan, restrukturisasi utang dan lain-lain yang disusun dalam suatu rencana
reorganisasi, sehingga cenderung untuk menghalangi terjadi likuidasi terhadap
perusahaan debitor. Chapter 11 US BC memberi jalan untuk memecahkan
permasalahan finansial yang dihadapi debitor dengan cara menyusun suatu
Chapter 7
: Liquidation
Chapter 9
: Adjustment of the Debts of a Municipality
Chapter 11
: Reorganization
Chapter 12
: Adjustment of the Debts of a family farmer with Regular Income
Chapter 13
: Adjustment of the Debts of an Individual with Regular Income
US BC mengatur kepailitan (Bankruptcy) debitor berbentuk :
a. persekutuan (partnership) b. perusahaan (corporation) c. orang perorangan (individu) d. badan
hukum kotapraja (municipality-chapter 9), namun dikecualikan debitor berupa :
a. perusahaan kereta api (railroad), b. perusahaan asuransi (insurance company) dan c. lembaga
perbankan (banking institution).
Menurut Donnel, John D. et.al dalam Law for Business, ketentuan Chapter 11 (Reorganization)
dapat digunakan oleh hampir semua bidang usaha kecuali : a. bank b. saving and loan associations
c. insurance companies d. commodities brokers e. stockbrokers.
391
Donnel John D.et.al, Law for Business, (Illinois : Irwin Home Wood, 1983), h.710
392
Ridwan Khairandy, Beberapa kelemahan mendasar UU Kepailitan Indonesia, Jurnal
Magister Hukum (Vol.2 No.1 Februari 2000), h.74
rencana reorganisasi (reorganization plan) yang di dalamnya memuat suatu
rencana yang lengkap bagaimana agar dapat terus menjalankan usahanya dengan
jalan melakukan negosiasi dengan para kreditornya mengenai rencana tersebut.
Debitor yang melakukan reorganisasi usahanya berdasarkan Chapter 11
US BC akan mendapatkan keuntungan berupa : 393
1. Menghindari debitor dari kepailitan
2. Memungkinkan debitor untuk tetap menjalankan perusahaan
3. Para kreditor yang menolak rencana restrukturisasi telah mendapat
persetujuan Pengadilan Federal, harus menyetujuinya
4. Bila rencana restrukturisasi berhasil, maka kreditor akan mendapat
keuntungan yang lebih dibandingkan jika debitor dipailitkan.
Perusahaan di Amerika Serikat menyadari betapa banyak manfaat yang
diperoleh bila perusahaan terhindar dari likuidasi dan berhasil mengajukan
reorganization plan yang disetujui oleh para kreditornya. Reorganisasi perusahaan
dapat mengurangi social cost yang tinggi di masyarakat, karena kalau perusahaan
harus dilikuidasi maka akan terjadi pemutusan hubungan kerja yang
meningkatkan pengangguran. Peningkatan pengangguran akan memungkinkan
peningkatan kriminal. Akibat pengangguran dan penutupan perusahaan juga akan
mengakibatkan penurunan jumlah penerimaan pajak oleh pemerintah. “Keeping
the business in operation will therefore often be much more desirable than
liquidating it. The fundamental premise of Chapter 11 of Bankruptcy Code is that
reorganization is desirable.” 394 Mempertahankan agar perusahaan tetap berjalan
akan lebih menjanjikan dari pada melikuidasinya. Tujuan utama dari Chapter 11
393
394
Ibid, h.75
Mark S. Scarberry, et.al. op.cit. h.4
US BC adalah memberikan kesempatan reorganisasi yang menjanjikan
keuntungan bagi semua pihak.
Rencana reorganisasi pada hakekatnya adalah suatu kesepakatan antara
debitor dengan beberapa kreditor. Rencana tersebut bisa memuat perjanjian yang
sifatnya variatif tergantung dari kesepakatan antara debitor dan para kreditor.
Perjanjian itu dapat berupa restrukturisasi perusahaan yang dikombinasikan
dengan moratorium, bahkan ada perjanjian berupa rekapitalisasi perusahaan
debitor atau memberi beberapa saham perusahaan sebagai pengganti sebagian
atau seluruh utang-utang debitor kepada para kreditornya.
Permohonan Kepailitan terhadap debitor berdasarkan prosedur likuidasi
(section 362) dimana debitor yang dikepung oleh para kreditornya dapat
memperoleh jalan keluarnya dengan mengajukan reorganization plan yang
kemungkinan besar akan disetujui oleh para kreditornya karena sifat kesepakatan
yang ditawarkan oleh debitor adalah saling menguntungkan.
Permohonan reorganisasi bisnis ini dapat diajukan oleh debitor (voluntary)
atau oleh kreditor (involuntary), dan bila permohonan ini dikabulkan oleh
pengadilan sekaligus pula ditetapkan : 395
1. a committee of creditors who hold unsecured claims
2. a committee of equity security holder (shareholder)
3. a trustee
Menurut section 1126 (a) Chapter 11 US BC, bahwa bukan saja kreditor
yang memberikan suara terhadap reorganization plan yang diajukan oleh debitor,
tetapi juga pemegang saham (shareholders). Reorganization plan yang telah
disetujui oleh para kreditor maupun pihak-pihak lainnya tidak mempunyai
395
Donnel, John D. et.al. loc.cit
kekuatan bila tidak memperoleh pengesahan atau konfirmasi dari pengadilan.
Reorganization plan berlaku hanya setelah memperoleh pengesahan dari
pengadilan, bahkan yang lebih menunjukkan kewenangan lebih besar dari
pengadilan (Bankruptcy Judge) adalah ketentuan yang menyatakan bahwa
Bankruptcy Judge berwenang untuk mengesahkan reorganization plan sekalipun
tidak disetujui oleh mayoritas kreditor. Sebaliknya Bankruptcy Judge berwenang
untuk tidak memberikan pengesahan (konfirmasi) terhadap reorganization plan
sekalipun telah disetujui oleh seluruh kreditor. 396 Menurut US BC hakim bebas
untuk menerima atau mengesahkan atau untuk menolak memberikan pengesahan
terhadap reorganization plan tersebut tanpa harus memperhatikan apakah
reorganization plan itu telah disetujui atau telah ditolak oleh para kreditor dalam
negosiasi kesepakatan antara debitor dan para kreditornya. 397
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa pada prinsipnya debitor diberi
kesempatan pertama untuk mengajukan rencana reorganisasi (Reorganization
Plan). Sebelum mengajukan rencana tersebut, debitor sebaiknya bernegosiasi
lebih dahulu dengan para kreditor dan pihak-pihak lain yang berkepentingan agar
rencana tersebut memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk disetujui. Untuk
mengerti prosedur pengajuan rencana reorganisasi ini, harus lebih dahulu
dipahami apa yang menjadi unsur-unsur dari suatu rencana reorganisasi.
Menurut Section 1123 Chapter 11 USBC, ada 3 unsur penting dari rencana
reorganisasi : 398
1.
Adanya pembagian kelas dari para kreditor dan tuntutannya. Dalam kelas
yang sama ditempatkan kreditor dengan tuntutan yang sejenis. Piutang-
396
David G.Epstein dalam Sutan Remy Sjahdeini, op.cit h.383
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit h.383
398
Mark. S. Scarberry, et. al. op.cit. h. 685-689
397
piutang dengan jaminan akan ditempatkan dalam kelas yang berbeda karena
memiliki jaminan (substansi) yang berbeda pula.
2.
Dalam rencana harus diperinci bagaimana menyelesaikan setiap tuntutan
dalam kelas-kelas tersebut. Rencana harus mempersiapkan penyelesaian
terhadap utang-utang yang tidak dapat dimasukkan dalam kelas, rencana
juga harus mengindentifikasikan kelas-kelas yang tidak akan dirugikan
dalam pelaksanaan rencana tersebut;
3.
Rencana harus menjabarkan dengan tepat dan seimbang pelaksanaan setiap
isi rencana tersebut, dan dapat membuat rencana penjualan dari sebagian
aset untuk memperoleh uang cash dalam rangka pelaksanaan dari rencana
keseluruhan.
Walaupun mengenai jangka waktu tidak secara nyata ditegaskan dalam Section
1121 (1) Chapter 11 USBC, dalam rencana reorganisasi harus ditetapkan waktu
berlakunya. Hal ini diperlukan agar nantinya pengadilan dapat menentukan hal
yang terbaik bagi para kreditor yang didasarkan pada nilai sesuai dengan waktu
masa berlakunya rencana reorganisasi.
Sejak rencana reorganisasi diajukan debitor, para kreditor dan pihak yang
berkepentingan akan diberi kesempatan untuk menentukan apakah menerimanya
atau menolaknya. Untuk itu diperlukan informasi dan saran secukupnya dari
pihak yang berkompeten tentang apa yang dikemukakan dalam suatu rencana
hingga para kreditor dan pihak yang berkepentingan cukup argumentasi
menentukan pendapatnya melalui pemungutan suara.
Dalam hal ini diperlukan adanya keterbukaan informasi yakni sebelum
dilakukan pemungutan suara oleh para kreditor untuk menerima atau menolak
rencana reorganisasi. Terhadap permasalahan ini Chapter 11 USBC memberi
patokan sebagai berikut : 399
1. requiring the creation and distribution of a court-approved “disclosure
statement” that must contain “adequate information,” see § 1125 (a) and
(c);
2. permitting solicitation of a creditor’s or interest holder’s vote after (but
only after) he has received the plan (or a summary of it) and the
disclosure statement, see § 1125 (b);
3. providing “safe harbor” protection to good faith participants in the
disclosure and solicitation process against liability under the federal and
state securities laws and state common law see § 1125 (e);
4. permitting the court to “designate” creditors or interest holders whose
votes should not be counted because they were cast in bad faith or were
solicited improperly, see § 1126 (e);
5. requiring (before a class of claims will be considered to have accepted the
plan) acceptance by both a simple majority vote in number of claims and
by a super-majority (2/3) vote in amount of claims, out of those creditors
who bother to vote, see § 1126 (c); and
6. requiring (before a class of interests will be considered to have accepted
the plan) acceptance by a super-majority (2/3) vote of the interest holders
who bother to vote, see § 1126 (d).
Fungsi daripada pernyataan keterbukaan yang ditetapkan oleh pengadilan
adalah untuk menyediakan informasi yang memadai bagi para kreditor dan para
pemegang saham, sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang relevan
tentang rencana tersebut. Menurut Section 1125 (a), (b), bila proposal rencana
telah diajukan, sebaiknya pernyataan keterbukaan telah dilampirkan pada rencana
tersebut tapi dapat juga dilampirkan pada waktu yang ditentukan oleh pengadilan.
Pengadilan harus menyelenggarakan dengar pendapat tentang pernyataan
keterbukaan itu, dan jika pengadilan mengesahkannya, maka pernyataan tersebut
akan dikirimkan kepada seluruh kreditor dan pemegang saham disertai dengan
rencana atau ringkasan rencana, surat suara dan waktu terakhir untuk memberikan
399
Ibid. h. 798
suara. Persetujuan dan penolakan para kreditor atau pemegang saham dinyatakan
tidak sah apabila belum menerima pernyataan tersebut.
Section 1125 (a), (1), USBC mendefinisikan “adequate information”
sebagai berikut : 400
Information of a kind and in sufficient detail, as far as is reasonably
practicable in light of the nature and history of the debtor and the
condition of the debtor’s books and records, that would enable a
hypothetical reasonable investor typical of holders of claims or interests
of the relevant class to make an informed judgment about the plan, but
adequate information need not include such information about any other
possible or proposed plan.
Beberapa pengadilan telah menetapkan suatu daftar keterbukaan yang
seharusnya ada dalam suatu pernyataan keterbukaan. Berdasarkan In re Scioto
Valley Mortgage Co, 88 BR. 168 (Bankr. S. D. Ohio 1988) pengadilan
mengadopsi 19 butir jenis informasi yang dapat dipersyaratkan dalam suatu daftar
keterbukaan tersebut yakni sebagai berikut : 401
1.
Keadaan atau situasi yang mendasari timbulnya permohonan kepailitan.
2.
Suatu uraian yang lengkap tentang asset yang tersedia beserta nilainya.
3.
Antisipasi ke depan dari debitor.
4.
Sumber dari informasi yang tersedia dalam pernyataan keterbukaan.
5.
Suatu disclaimer yang menunjukkan bahwa tidak ada pernyataan atau
informasi tentang debitor atau assetnya atau jaminan yang diberikan selain
daripada yang telah dinyatakan dalam pernyataan keterbukaan.
400
Ibid. h. 800-801.
Bismar Nasution et.al. op.cit . h. 140-141, lihat juga Mark. S. Scarberry et.al. Business
Reorganization in Bankruptcy (St. Paul Minnesota : West Publishing Co, 1996). h. 801-802.
401
6.
Kondisi dan kinerja debitor pada saat debitor berada dalam pemulihan
menurut Chapter 11.
7.
Informasi tentang gugatan terhadap harta kekayaaan.
8.
Suatu analisis tentang likuidasi yang memberi perkiraan perolehan para
kreditor berdasarkan Chapter 7.
9.
Metode akuntansi dan penilaian yang digunakan dalam menyusun informasi
keuangan dalam pernyataan keterbukaan.
10.
Informasi
tentang
manajemen
debitor
kedepan,
termasuk
jumlah
kompensasi yang akan dibayarkan kepada setiap insider, direktur dan atau
pejabat lainnya dari debitor.
11.
Suatu ringkasan dari rencana reorganisasi.
12.
Suatu perkiraan dari seluruh biaya administrasi, termasuk biaya penasehat
hukum dan akuntan.
13.
Kollektivitas dari setiap rekening penerimaan.
14.
Setiap informasi keuangan, penilaian atau proyeksi permulaan yang relevan
bagi para kreditor dalam menentukan apakah menerima atau menolak
rencana.
15.
Informasi yang relevan tentang resiko yang akan dihadapi oleh para kreditor
dan pemegang saham.
16.
Nilai aktual atau nilai perkiraan yang dapat diperoleh dari transfer yang
dibatalkan.
17.
Keberadaan, kemungkinan dan keberhasilan litigasi diluar kepailitan.
18.
Konsekuensi perhitungan pajak dari rencana.
19.
Hubungan debitor dengan para relasi (bawahannya).
Chapter 11 US BC ini sebenarnya berlaku bagi debitor perorangan,
perseroan maupun perusahaan berbadan hukum walaupun debitor tersebut tidak
bergerak di bidang usaha. Debitor akan memperoleh kesempatan bernafas saat
dimulainya reorganisasi.
Menurut section 362 Chapter 11 US BC, automatic stay akan melindungi
hak milik debitor dari tindakan para kreditornya. Si debitor tetap berhak
menguasai hartanya dan terus menjalankan usahanya tetapi dalam hal ini debitor
harus diawasi oleh Pengurus sesuai dengan hak-hak dan wewenang serta tugastugas yang ada pada Pengurus tersebut (section 1107, 1107a, 1108). Pengurus
hanya dapat ditunjuk dan diangkat atas permintaan salah satu pihak yang
berkepentingan setelah dilakukan dengar pendapat agar Pengurus terhindar dari
kecurangan, ketidakjujuran, ketidakmampuan dan kesalahan mengelola atau bila
penunjukan itu berdasarkan kepentingan para kreditor atau pihak-pihak lain yang
berkepentingan (section 1104a). Tugas Pengurus adalah termasuk memeriksa
obligasi (surat-surat berharga) dan melaporkan masalah-masalah yang dihadapi
oleh debitor dan juga kemungkinan untuk dilakukan reorganisasi dan juga
menerima rencana organisasi atau alasan-alasan penolakan atas rencana tersebut
dan melakukan hal-hal lain sesuai dengan tugas-tugas Pengurus yang tercantum
pada Chapter 7 US BC (section 1106a). Pengurus akan selalu ditunjuk setelah
memulai tahap reorganisasi menurut Chapter 11.
Menurut section 1121a US BC, debitor dapat mengajukan rencana
reorganisasi setiap waktu setelah memasuki tahap pemulihan, sedang pihak-pihak
lain yang berkepentingan dapat mengajukan rencana apabila Pengurus telah
ditunjuk. Suatu rencana merupakan hasil negosiasi yang ketat antara debitor, para
kreditor dan pemegang saham, sehingga akan sering mengalami perbaikan atau
revisi hingga ke arah yang lebih menguntungkan kepada semua pihak. Hal ini
memerlukan informasi yang jelas tentang usaha yang akan dijalankan dan
keuntungan apa yang diperoleh para pihak berkepentingan. Dengan adanya
harapan dan target yang didukung dengan informasi yang lengkap akan
mempermudah pelaksanaan negosiasi atas rencana tersebut untuk kesempurnaan
dalam pelaksanaannya.
Negosiasi adalah kunci keberhasilan dari suatu rencana reorganisasi.
Tawar menawar antara debitor dan para pihak yang berkepentingan menjadi
penentu tercapainya kesepakatan akhir yang disetujui oleh pihak-pihak yang
berkepentingan. Tercapainya persetujuan atas kesepakatan akhir ini sangat
tergantung kepada berapa besar nilai atau keuntungan yang diperoleh dan
lamanya waktu yang diperlukan melaksanakan reorganisasi keseluruhan.
Fisher dan Ury menawarkan 4 (empat) dasar utama negosiasi : 402
1. Separate the people from the problem
2. Focus on interests not positions
3. Invent options for mutual gains
4. Insist on using objective criteria
Dalam mencapai suatu keputusan yang sifatnya memperoleh nilai
ekonomi seharusnya ego dan emosi harus dihilangkan, namun para pihak haruslah
402
Roger Fisher, William Ury dalam Grant W.Newton, Corporate Bankruptcy, tools,
strategies, and alternatives, (New York John Wiley & Sons Inc, 2003), h.194.
berhadap-hadapan dalam mencapai suatu kesepakatan. Dalam upaya memuaskan
semua pihak yang berkepentingan jangan melihat kepada posisi dalam negosiasi.
Ciptakanlah suatu keadaan yang potensial untuk memperoleh jalan keluar dari
adanya perbedaan kepentingan dan dijadikan sarana untuk mencapai mufakat
yang menguntungkan bagi para pihak, dan tetaplah fokus pada penilaian objectif
bila negosiasi mendapatkan jalan buntu.
Ada beberapa faktor yang menentukan suksesnya suatu rencana
reorganisasi yakni : 403
1. Extend to which early action was taken : Segera mengambil tindakan yang
perlu untuk mengatasi beban atau kerugian yang timbul dari utang, seperti
memelihara hubungan baik dengan para kreditor dan dengan para tenaga
kerja dan juga memberdayakan aset yang masih ada untuk dapat
melanjutkan usaha dalam reorganisasi.
2. Finding a viable part of the business : Memilih jenis usaha yang dapat
dijalankan dan menguntungkan tidak terlepas dari menentukan areal yang
tepat dari sekian luas areal usaha yang pesat berkembangnya tapi tidak
menguntungkan. Pertanyaan yang harus dijawab : dapatkah usaha tersebut
dipangkas atau dipersempit dan ditata ulang agar mendapatkan
keuntungan?
3. Quality of management : Agar suatu rencana memperoleh persetujuan dari
para kreditor, maka rencana tersebut haruslah meliputi hal-hal
penyelesaian utang. Disamping itu kreditor harus mempunyai kepercayaan
403
Grant W.Newton, op.cit. h.194-198
terhadap tenaga pelaksana yang akan menjalankan perusahaan. Top
manajemen
haruslah
yang
berpengalaman
dan
berkualitas
dan
menunjukkan adanya wacana perubahan yang meyakinkan bagi para pihak
bahwa perusahaan akan diarahkan kepada tujuan menguntungkan bagi
semua pihak.
4. Honesty of debtor : Para kreditor hanya mau bekerja sama dengan debitor
yang benar-benar jujur dan bekerja secara profesional, dimana debitor
mau memberi informasi yang lengkap tentang keuangan dan hal-hal lain
yang dapat meyakinkan para kreditor bahwa dengan manajemen yang baru
dapat menjalankan usaha sebagaimana diuraikan sebelumnya dalam
rencana.
5. Attitude of the creditors’ committee : Sikap dari Panitia Kreditor sangat
menentukan akan keberhasilan negosiasi atas rencana yang diajukan. Jika
para anggota Panitia Kreditor ini lebih banyak mengerti keadaan debitor
dan tahu persoalan yang sebenarnya dihadapi oleh debitor, maka
cenderung mendukung usaha debitor berjalan dan sukses kembali.
6. Experienced professionals : Penting sekali bagi kedua belah pihak baik
debitor maupun para kreditor diwakili oleh Penasihat Hukum yang
berpengalaman. Penasehat hukum ini sangat berperan dalam kasus
kepailitan karena perkaranya sangat berbeda dari perkara umum, oleh
karena itu dalam proses kepailitan maupun reorganisasi ini diperlukan
juga tenaga akuntan, penasehat keuangan dan profesi lainnya yang
memiliki pengalaman dan pemahaman tentang bagaimana sistem
kepailitan dijalankan.
7. Short range cash budgets : Penyediaan dana jangka pendek oleh debitor
sangat menentukan untuk memperoleh kepercayaan dari para kreditor.
Terutama sekali para kreditor harus memperoleh jaminan bahwa debitor
tidak akan memboroskan aset-asetnya selama negosiasi rencana
berlangsung yakni selama 120 (seratus dua puluh) hari atau lebih bila ada
perpanjangan. Jaminan ini biasanya berupa dana cadangan untuk 3 (tiga)
bulan atau 6 (enam) bulan menjalankan usaha. Dengan adanya dana
jangka pendek ini, debitor dapat meyakinkan para kreditor akan ada aliran
dana yang dapat menurunkan ongkos termasuk biaya administrasi. Para
kreditor akan dapat memantau perkembangan dari usaha debitor bila
setiap bulannya dibuat perbandingan antara kenyataan dengan rencana
pemasukan. Pencapaian target-target tersebut dapat menjadi dasar
terlaksananya pembayaran-pembayaran masa datang merealisasi seluruh
isi rencana reorganisasi.
8. Development of a viable business plan : Sebelum rencana reorganisasi
secara efektif dapat dijalankan, perlu bagi debitor untuk menyiapkan
rencana yang matang tentang jenis usaha. Manajemen selalu sibuk
menghadapi tugas sehari-hari tanpa sempat menganalisa problem utama di
bidang keuangan yang dihadapi oleh perusahaan. Manajemen harus
memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan :
a. Produk mana yang paling menguntungkan perusahaan
b. Apa yang menjadi kekuatan maupun kelemahan perusahaan
c. Lokasi atau bagian mana dari perusahaan yang harus dikembangkan
atau ditutup
d. Dimana seharusnya potensi bisnis diletakkan
e. Kearah manakah bisnis harus dijalankan
9. Determination of reorganization value : Menentukan perolehan nilai dari
suatu reorganisasi sangat sulit dilakukan dalam rangka merealisasi isi
rencana reorganisasi tersebut. Target perolehan jangka panjang sangat
membantu menentukan nilai reorganisasi secara keseluruhan. Bila pihakpihak berkepentingan dapat menyetujui target perolehan untuk 5 (lima)
tahun atau lebih, akan memudahkan untuk menaksir perolehan
reorganisasi
dari
perusahaan.
Jika
seluruh
pihak-pihak
yang
berkepentingan telah menyetujui perolehan nilai reorganisasi, maka
perolehan itu harus dibagi diantara para kreditor dan pemegang saham.
Para pihak pada umumnya tidak akan mau menyetujui isi proposal dalam
rencana yang diajukan debitor tanpa ada indikasi bahwa akan memperoleh
keuntungan bagi perusahaan yang berada dalam kepailitan. Informasi
berbentuk daftar keseimbangan yang memperlihatkan kondisi keuangan
perusahaan yang sebenarnya, sangat membantu para kreditor dan
pemegang saham melakukan evaluasi terhadap rencana yang diusulkan.
Bila pihak yang berkepentingan telah setuju dengan asumsi-asumsi yang
termuat dalam rencana dan juga target-target penerimaan dalam jangka
panjang, maka negosiasi selanjutnya dari rencana tersebut akan mudah
dilaksanakan.
10. Post chapter financing : Banyak perusahaan tidak sukses melaksanakan
reorganisasi karena tidak mampu memperoleh dana pinjaman atau bantuan
setelah
permohonan
reorganisasi
diajukan.
Kemampuan
untuk
melaksanakan reorganisasi tergantung pada dana yang akan diperoleh dari
pinjaman atau saham-saham. Perusahaan-perusahaan yang produksinya
sedang menurun atau industrinya terpuruk sangat sulit memperoleh kredit
maupun saham jika dibandingkan dengan perusahaan yang sedang bangkit
industrinya. Sehingga perusahaan yang relatif kecil, kemampuan untuk
bangkit kembali tergantung pada kemauan investor baru dalam rangka
penyediaan dana yang diperlukan sebagai dana persediaan dari
perusahaan.
B.
Reorganisasi Perusahaan Menurut Ketentuan Perundang-undangan
di Beberapa Negara Common Law
1. Inggris
Undang-Undang Kepailitan yang berlaku di Inggris sekarang ini adalah
Insolvency Act of 1986 yang mulai berlaku sejak 29 Desember 1986. UndangUndang ini tidak mengatur tentang Reorganisasi Perusahaan tetapi dalam
Insolvency Act ini dikenal istilah Winding Up yang pengertiannya sama dengan
Likuidasi yakni pemberesan atau pengakhiran perusahaan.
Menurut ketentuan Section 221 (5) Insolvency Act 1986, latar belakang
perlunya pengaturan Winding Up adalah dalam hal : 404
If the company is dissolved, or has ceased to carry on bussieness only for purpose
of widding up its affairs
If the company is unable to pay its debts, or
If the court is of the opinion that it is just and equitable for company to be
“wound up”
(Bila perusahaan telah bubar atau telah berhenti menjalankan usahanya perlu
mengakhiri dengan melikuidasi perusahaan tersebut. Jika perusahaan tidak
mampu untuk membayar utang-uangnya atau jika pengadilan berpendapat bahwa
tepat dan adil jika perusahaan dilikuidasi).
Akibat dari adanya penetapan widing up terhadap perusahaan, pada
dasarnya adalah menghentikan keuntungan atas harta perusahaan dan menjadikan
beberapa dari harta milik tersebut sebagai jaminan atas tuntutan para kreditornya.
404
Dennis Campbell et.al (editors), Corporate Insolvency and Rescue, the International
Dimension, (Boston :Kluwer Law and Taxation Publisher, 1993), h.2
Hal ini berlaku terhadap semua harta milik perusahaan yang berada di luar
wilayah negara maupun di dalam negeri.
Ada 4 (empat) cara penyelesaian ataupun prosedur yang dapat diterapkan
terhadap perusahaan yang pailit (insolvent) yakni: 405
1. Liquidations (also known as windings up), encompassing compulsory
liquidations and creditors voluntary liquidations;
2. Receiverships, including administrative receiverships (floating charges)
and receiverships (fixed charges);
3. Administrations, and
4. Composition
schemes,
including
voluntary
arrangements
under
Insolvency Act and schemes of arrangement under Companies Act.
Likuidasi (winding up) adalah prosedur tentang pengakhiran suatu
perusahaan yang akibatnya adalah perusahaan tersebut harus dikeluarkan dari
daftar atau register perusahaan yang disediakan untuk itu, sehingga perusahaan
tersebut menjadi de-incorporation dibedakan dengan incorporation. 406
Likuidasi terbagi dalam 3 (tiga) jenis yaitu: 407
a. Members voluntary liquidation (solvent): memperhitungkan pembayaran
dengan jalan melikuidasi aset-aset untuk membayar utang kepada para
kreditor dan membagi kelebihannya kepada para pemegang saham.
b. Creditors voluntary liquidation (insolvent): prosedur ini dapat terjadi bila:
1) Direksi menyimpulkan bahwa posisi keuangan tidak memungkinkan
melanjutkan usaha dan rapat pemegang saham memutuskan melalui suara
405
Dennis Campbell, International Corporation Insolvency Law, (Butterworths: CILS,
1992), h. 137
406
Ibid h. 142
407
Ibid h. 142-143
mayoritas (75%), melikuidasi (wind up) perusahaan secara sukarela
(voluntary) karena tanggung jawab perusahaan berupa utang-utang telah
mengganjal jalannya usaha dan untuk itu ditunjuk seorang likuidator, dan
2) Para pemegang saham mengajukan suatu usul atau resolusi, dan
3) Para kreditor konkuren menyetujui liquidator yang telah dipilih oleh para
pemegang saham ataupun memilih likuidator lainnya, dan bila terjadi
perbedaan pendapat maka suara kreditor yang harus didahulukan.
Sehingga pemegang saham hanya berwenang memutuskan likuidasi dalam hal
likuidasi atas keinginan para kreditor, tetapi kreditor konkuren akan
menentukan dalam pemilihan likuidator. Dalam likuidasi atas keinginan
kreditor ini winding up dianggap dimulai sejak hari dimana resolusi winding
up diajukan (Section 86, Insolvency Act 1986).
c. Compulsory liquidation: dalam konteks insolvensi, likuidasi ini dapat terjadi
bila:
1) Perusahaan telah atau dianggap tidak mampu membayar utang-utangnya,
dan
2) Diikuti adanya permohonan dari satu kreditor yang piutangnya belum
terbayar, sehingga pengadilan mengeluarkan suatu penetapan winding up.
Berdasarkan Section 221 Insolvency Act 1986, pengadilan Inggris diberi
wewenang mengeluarkan penetapan winding up (liquidasi) terhadap perusahaan
yang tidak terdaftar dalam register Perusahaan dan juga persekutuan-persekutuan
maupun perusahaan-perusahaan lainnya yang tidak terdaftar berdasarkan
Companies Act.
Receiverships dapat dilakukan bilamana seluruh aset maupun kekayaan
perusahaan diikat dengan jaminan, maka perusahaan harus melibatkan pemegang
hak jaminan untuk menunjuk seorang administrative receiver, atau memilih dari
antara pemegang hak tersebut sebagai Administrative Receiver.
Administrations adalah menyerahkan atau mempercayakan pengelolaan
perusahaan
kepada
seorang
Administrator
untuk
mewakili
perusahaan
menghadapi pihak lain dengan tugas mengupayakan agar bisnis (usaha) berjalan
lebih baik yakni agar perusahaan kembali menguntungkan atau alternatif lain
menjual seluruh aset di luar likuidasi dengan harapan memperoleh harga yang
lebih baik daripada dilikuidasi segera, walaupun kemudian ditetapkan winding up.
Prosedur Administrasi ini sangat sedikit jumlah yang dapat dilaksanakan dan
tingkat keberhasilannya tidaklah sebagaimana diharapkan.
Composition schemes and schemes of arrangement, mengupayakan agar
perusahaan kembali menjadi usaha yang menguntungkan yaitu dengan cara
membuat perjanjian dengan para kreditor atau dalam beberapa kasus melakukan
tindakan
penyelesaian
yang
tepat
dan
efektif
untuk
menghilangkan
ketergantungan kepada perluasan kerjasama diantara mereka. Tapi bila
perusahaan mengalami kesulitan finansial yang serius, maka diperlukan bentukbentuk kesepakatan dengan para kreditor seperti halnya reorganisasi perusahaan.
Beberapa kesepakatan baik melalui CVA (Company Voluntary Arrangement)
maupun berdasarkan schema pada Section 425 Companies Act 1985, akan
dilahirkan suatu rencana reorganisasi yang menjadi kesepakatan bersama
kemudian.
2. Singapura
Singapura sebagai salah satu negara yang menganut sistem common law
selalu mengikuti hukum tradisi dan kasus-kasus yang terjadi di Inggris sering
menjadi acuan bagi pengadilan Singapura untuk memutuskan kasus serupa.
Dalam kasus Ekonomi dan Perdagangan sudah merupakan suatu keharusan untuk
tetap meresepsi Hukum Inggris dan penerapan itu kemudian akan dijadikan
sebagai Hukum lokal di Singapura. Beberapa kasus akan diputus dengan
ketentuan dan cara yang sama berlaku di Inggris, kecuali hukum lokal sudah ada
yang mengatur secara tegas, dalam hal ini hukum lokal harus diberlakukan.
Dalam bidang hukum Kepailitan dan Insolvensi sudah ada ditetapkan
sebagai hukum lokal sehingga tidak lagi meresepsi Hukum Inggris, karena konsep
dasar dan ruang lingkupnya hampir sama dengan Hukum yang berlaku di Inggris.
Hukum yang mengatur tentang hak-hak kerditor dan penyelesaian masalah
tentang hak tersebut telah termuat dalam Bankruptcy Act Cap. 20 khususnya
tentang kepailitan dan insolvensi perseorangan atau persekutuan, sedang yang
menyangkut tentang perusahaan (Badan Hukum) telah diatur dalam Companies
Act Cap. 50. Bila perseorangan atau persekutuan dinyatakan insolven, debitor
maupun para kreditor dapat menggunakan prosedur kepailitan (Bankruptcy
Proceedings), sebaliknya bila perusahaan (Badan Hukum) dinyatakan insolven,
perusahaan atau para kreditornya dapat menggunakan prosedur winding up
(Winding Up Proceedings) terhadap perusahaan tersebut.
Namun bagi suatu perusahaan yang tidak mampu membayar utangutangnya tetapi memiliki prospek untuk dapat bangkit kembali menjadi
perusahaan yang sehat, perusahaan selaku debitor maupun para kreditor boleh
mengajukan suatu rencana kesepakatan sebagai alternatif untuk tidak dilikuidasi,
hal ini diuraikan dalam kalimat berikut: “However, where a company is unable to
pay its debts but has a reasonable prospect of being revived to a financially
healthy position, the company or its creditors may instead apply for the
appointment of judicial manager of proposed a scheme of arrangement as an
alternative to liquidating the company.” 408
Ada beberapa prinsip dasar yang berlaku secara umum bagi seluruh kasus
Insolvensi baik terhadap perseorangan, persekutuan maupun perusahaan, prinsipprinsip tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Hukum Insolvensi mengakui semua hak-hak yang timbul berdasarkan hukum
umum sebelum prosedur Bankruptcy atau winding up dilaksanakan.
b. Hanya aset milik debitor yang dapat dialihkan atau dibagikan.
c. Hak jaminan kreditor separatis tidak akan dipengaruhi oleh pelaksanaan
insolvensi.
d. Para kreditor konkuren mempunyai kedudukan seimbang (pari passu).
e. Debitor akan dinyatakan insolvent jika tidak mampu membayar utangutangnya yang telah jatuh waktu, misalnya debitor tidak mampu membayar
utang secara tunai sangat berbeda dengan pengertian bila dalam pembukuan
terlihat kewajiban (utang) melebihi nilai aset.
Bankruptcy adalah suatu istilah yang digunakan di Singapura dalam hal
perseorangan atau persekutuan dinyatakan insolven. Bankruptcy adalah suatu
408
Ibid h. 498
proses penting karena negara akan mengambil alih hak kepemilikan atas aset-aset
debitor yang insolven melalui seorang pejabat publik yang ditunjuk dan kemudian
membagikan aset-aset tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan
berdasarkan prioritas bagi semua kelompok kreditor dari debitor yang insolven
tersebut.
Permohonan Bankruptcy dapat diajukan oleh debitor sendiri atau oleh para
kreditornya. Permohonan Bankruptcy hanya dapat diajukan kepada debitor yang
kepadanya berlaku Bankruptcy Act, dan ketentuan-ketentuan dalam Bankruptcy
Act ini dapat menguji apakah debitor insolven atau tidak. Demikian juga
permohonan Bankruptcy Act oleh debitor sendiri tentu kepadanya harus perlu
berlaku Bankruptcy Act. Terhadap permohonan Bankruptcy ini pengadilan dapat
menetapkan bahwa debitor dimaksud dinyatakan pailit (Bankrupt).
Prosedur yang sama dengan Bankruptcy untuk perusahaan yang insolven
adalah winding up, yakni suatu proses yang tujuannya untuk mengakhiri suatu
perusahaan setelah assetnya dikumpulkan dan didistribusikan secara sah kepada
kreditor dan pemegang saham sesuai ketentuan dan prioritas yang berlaku.
Prosedur winding up tidak sama dengan Bankruptcy karena proses winding up
dapat terjadi walaupun perusahaan dalam keadaan solven. Keadaan insolvensi
hanyalah salah satu dari beberapa alasan timbulnya proses winding up.
Winding up dapat dikategorikan dalam 2 (dua) keadaan:
a. Compulsory Winding Up, dapat terjadi dengan adanya permohonan dari yang
berkepentingan kepada pengadilan. Permohonan ini dapat diajukan oleh: a.
perusahaan, b. para kreditor, c. contributory (pemegang saham), d. receiver
atau liquidator dari perusahaan, e. judicial manager, dan f. Menteri, (Section
253 (1) Companies Act).
b. Voluntary Winding Up, dapat dibagi lagi menjadi:
1) Creditors’ Voluntary Winding Up, yakni bila perusahaan memperkirakan
keadaan sudah insolven, maka perusahaan dengan inisiatifnya menangani
masalah ini dengan melakukan winding up (likuidasi).
2) Members’ Voluntary Winding Up, hal ini dimungkinkan jika para direksi
perusahaan memberi pernyataan bahwa perusahaan dalam keadaan solven.
Tetapi jika perusahaan dalam keadaan insolven, winding up hanya dapat
dilakukan atas permintaan dari kreditor, sehingga Members’ Voluntary
Winding Up dapat berubah menjadi Creditors’ Voluntary Winding Up.
Paba Bab VIII A Companies Act ada diatur tentang penunjukan seorang
Judicial manager oleh pengadilan. Berbeda dengan likuidator yang tugasnya
melikuidasi (winding up) kekayaan perusahaan karena tidak mampu lagi
membayar utang-utangnya, tetapi tugas utama dari judicial manager adalah
memberi kesempatan kepada perusahaan untuk membenahi usahanya sehingga
dapat meningkatkan kemampuannya untuk membayar utang-utangnya. Dalam hal
tertentu kepada debitor diberikan moratorium selama 180 hari untuk menyusun
rencana dalam upaya menyehatkan perusahaan. Amandemen Companies Act
memuat ketentuan yang memberi kekuasaan bagi judicial manager
untuk
mengupayakan secara optimal rencana kesepakatan sebagaimana diatur dalam
Section 210 Companies Act, dalam rangka menyelematkan suatu perusahaan atau
para kreditornya boleh mengajukan permohonan terhadap suatu penetapan agar
perusahaan ditetapkan di bawah pengawasan seorang judicial manager.
Perusahaan dapat mengajukan permohonan ini jika disetujui oleh jumlah
mayoritas pemegang saham atau jumlah mayoritas dari para direksi.
Suatu permohonan menunjuk seorang judicial manager dapat diajukan
apabila :
a. Perusahaan tidak mampu atau tidak akan mampu membayar utang-utangnya.
b. Adanya kemungkinan yang kuat untuk merehabilitasi perusahaan atau
melancarkan seluruh bagian usaha menjadi perusahaan yang berjalan atau
dalam hal kepentingan para kreditor akan lebih terjamin dari pada
melaksanakan winding up terhadap perusahaan. (Section 227A)
Composition or Scheme of Arrangement (Rencana Perdamaian) dapat
ditawarkan oleh si debitor kepada para kreditornya sebagai rancangan yang akan
disetujui agar tidak diteruskan kepada pernyataan pailit (bankrupt).
Pada rapat para kreditor yang pertama atau pada rapat-rapat berikutnya
berdasarkan suatu resolusi atau pernyataan, para kreditor dapat memutuskan
untuk menawarkan usul berupa rancangan perdamaian yang sekaligus
menguraikan isi dari rancangan tersebut sebagaimana ditetapkan dalam Section 18
(1) Companies Act. Suatu resolusi/pernyataan haruslah ditetapkan berdasarkan
suara mayoritas yakni dihadiri dan disetujui
oleh ¾ jumlah para kreditor.
Rencana perdamaian tersebut harus diperoleh persetujuan pada rapat para kreditor
berikutnya yang dihadiri dan dapat mewakili ¾ jumlah para kreditor yang
piutangnya diakui.
Jika rencana perdamaian tersebut telah disetujui, selanjutnya harus
dimintakan pengesahan (homologasi) kepada pengadilan. Bila pengadilan
berpendapat bahwa isi dari perdamaian tersebut tidak rasional dan tidak
bermanfaat bagi sejumlah besar para kreditor, atau jika dalam hal pengadilan
harus menolak perkara itu sebagai perkara kepailitan (Bankruptcy), berdasarkan
kewenangan dan pertimbangannya pengadilan harus menolak untuk mengesahkan
rencana perdamaian tersebut (Section 18 (9) Companies Act). Pengadilan tidak
akan mengesahkan suatu rencana jika tidak mengatur pembayaran utang yang
harus didahulukan sebagaimana urutan prioritas dalam pembagian asset dalam
kepailitan (Backruptcy). Jika pengadilan mengesahkan rencana perdamaian
tersebut, maka perdamaian itu akan mengikat bagi semua kreditor termasuk yang
tidak menyetujui, dan penetapan Receiver harus dicabut.
3. Malaysia
Undang-undang Kepailitan yang berlaku di Malaysia adalah Bankruptcy
Act (Act 360) yang biasa disebut Bankruptcy Act 1967 yang berlaku untuk seluruh
wilayah Federasi Malaysia. Menurut Undang-Undang ini permohonan pailit
(Bankruptcy Petition) dapat diajukan oleh debitor maupun kreditor, dan
berdasarkan permohonan itu Pengadilan Tinggi (High Court) yang berwenang
menangani kasus kepailitan (Bankruptcy Case), 409 akan mengeluarkan suatu
penetapan yang tujuannya untuk menyelematkan seluruh harta kekayaan debitor.
409
Bankruptcy case ditangani oleh Mahkamah Tinggi (High Court) yang terdiri dari: 1.
Mahkamah Jenayah Tinggi (Pidana), 2. Mahkamah Civil Tinggi (Perdata) dan 3. Mahkamah
Dagang Tinggi (Dagang + Bankruptcy), dan bila putusan ditolak, memerintahkan Pejabat
Pemegang Harta untuk tidak melaksanakan putusan Mahkamah Tinggi dan perkaranya diteruskan
ke Mahkamah Dagang Appeal. Hasil wawancara dengan: Puan Azwar Nida Bte. Affandi, Hakim
Bankrap Mahkamah Dagang Tinggi, Kualalumpur, 25 Nopember 2004.
Penetapan ini disebut juga Receiving Order yang isinya juga menunjuk dan
menetapkan Official Assignee sebagai Receiver yang mengurusi harta kekayaan
debitor. 410 Kreditor atau para Kreditor dapat mengajukan pailit terhadap debitor
apabila terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 411
a. Apabila piutang kreditor atau para kreditor (bersama-sama) berjumlah +
10.000 ringgit.
b. Utang tersebut sudah harus dibayar tunai dengan segera atau pada waktu
tertentu dikemudian hari.
c. Peristiwa atau keadaan yang mendasari adanya permohonan pailit telah terjadi
dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum permohonan diajukan.
d. Debitor berdomisili di dalam wilayah federasi atau di negara lain tapi kegiatan
bisnisnya atau perwakilannya berada di wilayah federasi.
Pada waktu rapat para kreditor pertama atau rapat berikutnya, berdasarkan
adanya resolusi yang memenuhi syarat, para kreditor dapat memutuskan untuk
menawarkan suatu rancangan tentang pelunasan utang-utang debitor atau
rancangan kesepakatan mengenai kewajiban debitor yang tujuannya untuk
memperoleh kesepakatan (perdamaian).
Rencana perdamaian tidak akan mengikat bagi para kreditor kecuali pada
rapat para kreditor berikutnya telah memperoleh persetujuan dari paling sedikit ¾
(tiga perempat) dari jumlah kreditor yang diakui, dan renacna perdamaian yang
telah disetujui ini harus memperoleh pengesahan dari pengadilan. Sehingga
setelah memperoleh persetujuan dari para kreditor selanjutnya debitor ataupun
410
411
Section 4, Section 8 Bankruptcy Act 1967
Section 5 (1) Bankruptcy Act 1967
Official Assignee harus mengajukan permohonan pengesahan atas rencana
perdamaian itu kepada pengadilan.
Sebelum pengadilan mengesahkan rencana tersebut harus lebih dahulu
mendengar laporan dari Official Assignee mengenai isi rencana, perilaku dari
debitor dan juga harus mendengar tanggapan dari para kreditor atau kuasanya.
Bila pengadilan berpendapat bahwa isi dari rencana tersebut tidak rasional dan
tidak akan memberi manfaat bagi kreditor secara keseluruhan, atau jika menurut
undang-undang, pengadilan harus menolak perkara itu sebagai perkara kepailitan
(Bankruptcy) atau bila terbukti berdasarkan Undang-Undang pengadilan harus
menolaknya usaha berdasarkan kewenangan dan pertimbangannya pengadilan
harus menolak pengesahan rencana perdamaian tersebut.
Jika pengadilan mengesahkan rencana perdamaian tersebut haruslah
dibubuhi dengan meterai dan cap yang dilekatkan pada lembar-lembar isi rencana,
atau dapat juga isi rencana perdamaian itu disatukan dengan penetapan
pengesahannya. Suatu rencana yang telah disetujui dan disahkan akan mengikat
seluruh kreditor sebesar piutangnya yang telah dibuktikan dalam proses kepailitan
(Bankruptcy).
Isi persetujuan dalam rencana perdamaian dapat dilaksanakan oleh
pengadilan
berdasarkan
adanya
permohonan
dari
pihak-pihak
yang
berkepentingan. Ketidakpatuhan terhadap pelaksanaan yang dilakukan oleh
pengadilan dianggap sebagai suatu penghinaan atau pelecehan terhadap
pengadilan (Contempt of Court).
Bila terbukti ada cacat dalam melakukan pembayaran (cicilan) dalam
rangka pelaksanaan perdamaian atau jika terbukti bahwa perdamaian telah dibuat
dengan cara tidak adil atau pengesahannya dicapai karena penipuan, maka
berdasarkan permohonan dari para kreditor, pengadilan dapat menyatakan bahwa
debitor dalam keadaan pailit sekaligus membatalkan rencana perdamaian itu.
Tetapi pengadilan tidak berhak membatalkan penjualan atau tindakan lainnya
yang telah dilakukan dalam upaya menjalankan isi perdamaian.
Pengajuan rencana perdamaian dilakukan oleh para kreditor pada rapat
para kreditor pertama atau pada rapat penundaan berikutnya, yakni pada saat
belum ada pernyataan pailit terhadap debitor sehingga debitor tidak sempat atau
belum dinyatakan pailit. Namun menurut ketentuan lainnya dari Bankruptcy Act
1967 pengajuan rencana perdamaian dapat juga diajukan oleh para kreditor
setelah debitor dinyatakan pailit, hal itu diuraikan dalam ketentuan sebagai
berikut:
Where a debtor is adjudged bankrupt the creditors may, if they think fit,
at any time after the adjudication, by special resolution, resolve to entertain a
proposal for a composition in satisfaction of the debts due to them under the
bankruptcy, or for a scheme of arrangement of the Bankrupt’s affairs, and
there upon the same proceedings shall be taken and the same consequences
shall ensue as in the case of a composition or scheme entertained at the first
meeting of creditors. 412
(Bila debitor telah dinyatakan pailit oleh pengadilan, berdasarkan resolusi yang
telah memenuhi syarat, setiap waktu dan bila dianggap perlu para kreditor dapat
menawarkan suatu rencana penyelesaian utang yang diinginkannya berdasarkan
kepailitan atau suatu rencana kesepakatan mengenai kepailitan, dan untuk itu
412
Section 26 (1) Bankruptcy At 1967
hukum acara yang berlaku dan akibatnya adalah sama dengan rencana
perdamaian yang diajukan pada rapat para kreditor pertama).
Jika pengadilan menyetujui atau mengesahkan rencana perdamaian itu,
pengadilan
dapat
membatalkan
kepailitan
debitor,
sedang
harta
pailit
dikembalikan kepada debitor atau kepada seorang tertentu yang ditunjuk oleh
pengadilan sesuai dengan keadaan tertentu yang diumumkan oleh pengadilan.
Bila terbukti ada cacat dalam melakukan pembayaran (cicilan) dalam
rangka pelaksanaan isi perdamaian atau bila terbukti bagi pengadilan bahwa
perdamaian telah dibuat dengan cara tidak adil atau dengan penundaan yang
tidak perlu, atau bila pengesahan dari pengadilan dicapai karena penipuan, maka
berdasarkan
permohonan
pihak
yang
berkepentingan,
pengadilan
dapat
menyatakan bahwa debitor dalam keadaan pailit dan sekaligus membatalkan
rencana perdamaian. Namun pengadilan tidak berhak membatalkan penjualan
atau tindakan lainnya yang telah dilakukan dalam upaya menjalankan isi
perdamaian.
Apabila debitor dinyatakan pailit dengan cara tersebut di atas semua
utang-piutang yang diakui dan dibuat sebelum pernyataan pailit, harus diakui
dalam kepailitan tersebut.
Dalam ketentuan Undang-Undang Kepailitan Malaysia atau Bankruptcy
Act 1967 ini, rencana perdamaian dapat diajukan sebelum debitor dinyatakan
pailit yakni pada rapat kreditor pertama dan juga dapat diajukan rencana
perdamaian pada waktu setelah debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan. Tetapi
dalam Undang-Undang tersebut tidak ada diatur secara tegas tentang
Reorganisasi.
C.
Reorganisasi Perusahaan Menurut Ketentuan Perundang-undangan di
Beberapa Negara Civil Law.
1.
Belanda
Kepailitan di Negeri Belanda mula-mula diatur dalam Code de Commerce
(KUH Dagang Belanda) yang mulai berlaku tahun 1811. Bahwa kemudian
diadakan pembedaan antara Kepailitan Pedagang dan yang bukan Pedagang yaitu
a. Kepailitan seorang Pedagang
diatur dalam Wetboek Van Koophandel
Nederland (KUH Dagang Belanda) dalam buku Ketiga yang berjudul Van de
Voorzieningen in geval van onvermogen van kooplieden (Peraturan
ketidakmampuan Pedagang), yang mengatur tentang Kepailitan dan PKPU
dan kitab ini berlaku sampai tahun 1896 karena telah berlakunya
Faillissements Wet 1893.
b. Kepailitan terhadap debitor yang bukan Pedagang diatur dalam Wet-boek Van
Burgerlijk Rechtsvardering, buku Ketiga Titel VII tentang Regeling Van Staat
Van Kennelijk Onvermogen (Tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu)
Kemudian ketentuan Kepailitan dan Penundaan Utang di negeri Belanda
telah diatur dalam Faillissements Wet 1893 yang mulai berlaku pada tahun 1896,
dan selama berlaku dalam jangka waktu 100 (seratus) tahun telah mengalami
beberapa kali perubahan yaitu : 413
a. Pada tahun 1925 telah dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan
mengenai Van Surseance
413
van Betaling (Tentang Penundaan Kewajiban
Sutan Remy Sjahdeini, op. cit. h. 23
Pembayaran Utang atau PKPU), yaitu dengan memberikan kemungkinan bagi
suatu perusahaan (debitor) yang sudah mengalami insolvensi untuk
melanjutkan kegiatan usahanya.
b. Pada tahun 1935 dalam Titel II, yaitu Van Surseance Van Betaling (Tentang
PKPU), disempurnakan lagi yakni dengan memungkinkan dwang akord
(Perdamaian paksa) di luar ketentuan undang-undang kepailitan.
c. Pada tahun 1992 telah dilakukan perubahan sebagai akibat diberlakukannya
hak-hak kekayaan yang diperbaharui dalam Buku 3, 5, 6 dan 7 BW.
Faillissements Wet 1893 adalah merupakan cikal bakal Undang-undang
kepailitan yang berlaku di Indonesia yakni Faillissements Verodening (Stb, 1905
– 257 jo. Stb. 1906 – 348)
Faillissements Wet ini mengatur 2 (dua) bagian tentang insolvensi, yakni
Kepailitan (faillissements) dan Moratorium adalah Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (suspension of payment : surseance van betaling). Kepailitan
adalah pembebanan terhadap semua aset milik debitor pailit yang ditetapkan
oleh pengadilan untuk kepentingan seluruh para kreditornya. Tujuan dari
kepailitan adalah menyelenggarakan pembagian secara berimbang kekayaan
debitor diantara para kreditornya tersebut. Moratorium adalah penetapan
pengadilan untuk penundaan pembayaran utang (kewajiban) debitor dengan
maksud untuk menghindari kepailitan dari debitor demi kepentingan kedua belah
pihak yakni debitor dan para kreditor.
Di negeri Belanda semua debitor dapat dinyatakan pailit, bukan hanya
pedagang tetapi juga perusahaan berbadan hukum maupun tidak.
Selain dari perseorangan, bentuk-bentuk perusahaan yang dapat
dinyatakan pailit adalah : 414
1. Perusahaan berbadan hukum : Naamloze Vennootschap (NV), Besloten
Vennootschap (BV), Vereniging Met Volledige Rechtshevoegdheid Stichting,
Cooperatieve Vereniging dan Onderlinge Warrborgcooperatie.
2. Perusahaan yang tidak berbadan hukum : Vennootschap Onder Firma (VOF),
Commanditaire Vennotschap (CV) dan Nalatenschap.
Dalam Kepailitan haruslah dibuktikan fakta maupun keadaan bahwa si
debitor mempunyai utang kepada kreditornya dan di debitor telah berhenti atau
tidak mampu membayar utang-utangnya. Selanjutnya disyaratkan lagi bahwa
debitor paling sedikit mempunyai 2 (dua) kreditor dan 1 (satu) dari utangnya
tersebut telah jatuh tempo (waktu) untuk dibayar.
Permohonan pernyataan pailit di negeri Belanda haruslah diajukan ke
pengadilan distrik (Arrondissementsrechtbank) di wilayah mana perusahaan
(debitor) telah didaftarkan. Asset di debitor akan dikumpulkan dan direalisasikan
atau dibagikan kepada para kreditornya sesuai dengan hak-haknya. Dalam
putusan pernyataan pailit, pengadilan akan menunjuk seorang kurator dari praktisi
hukum dan sekaligus juga pengadilan mengangkat seorang hakim komisaris
(Rechter Commissaris) yang akan mengawasi tugas-tugas kurator dalam
pelaksanaan likuidasi harta kekayaan debitor.
Perusahaan pailit (debitor) dapat mengajukan penawaran perdamaian
kepada para kreditor. Penawaran tersebut harus diajukan dalam waktu 8 (delapan)
hari setelah rapat para kreditor yang pertama. Perdamaian itu biasanya adalah
414
Erik J.Bink dalam Dennis Campbel, International Corporate Insolvency Law,
(Butterworths : CILS, 1992), h.374
berupa suatu rencana kesepakatan di mana para kreditor preferen akan
memperoleh pembayaran penuh sedangkan kreditor konkuren akan menerima
pembayaran dengan persentase tertentu dari piutangnya. Perdamaian akan ditolak
oleh para kreditor bila pembayaran yang ditawarkan tidak memperlihatkan nilai
lebih jika dibandingkan dengan pembayaran yang diharapkan melalui kurator
setelah seluruh aset debitor dilikuidasi. Sejumlah dana tertentu diperlukan oleh
debitor pailit untuk membuat penawaran yang realistis dan biasanya dana tersebut
akan ditawarkan (diberikan) oleh pihak ketiga yang dengan alasan tertentu
bersedia mendukung perusahaan debitor.
Jika jumlah mayoritas dari para kreditor konkuren menyetujui penawaran
perdamaian tersebut, kemudian harus diajukan ke pengadilan untuk memperoleh
pengesahan (homologatie).
Bila pengadilan mengesahkan perdamaian, maka proses kepailitan harus
diakhiri. Hak-hak kreditor untuk minta pelunasan terhadap utang-utang yang
belum terbayar harus diseimbangkan dengan tuntutan mereka yang berhenti
walaupun mereka tidak menyetujui perdamaian pada rapat kreditor. Perdamaian
tidak membebaskan debitor dari utang yang belum terbayar (sisa) jika :
a. Aset setelah dikurangi kewajibannya diperhitungkan melebihi jumlah yang
ditawarkan dalam perjanjian perdamaian
b. Pelaksanaan dari perdamaian tidak cukup terjamin
c. Perdamaian dicapai karena penipuan
Selanjutnya perusahaan debitor akan dilikuidasi bila :
a. Tidak ada ditawarkan perdamaian
b. Perdamaian yang ditawarkan ditolak oleh rapat kreditor atau
c. Pengadilan telah menolak mengesahkan perdamaian dan perusahaan pailit
menjadi insolven dan harus dilikuidasi segera kecuali para kreditor
memutuskan untuk melanjutkan usaha debitor untuk waktu tertentu.
Penundaan pembayaran utang atau moratorium dapat ditetapkan oleh
pengadilan berdasarkan permintaan dari debitor sebagai upaya untuk keluar dari
keadaan tidak mampu membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Pada
waktu yang bersamaan debitor pemohon dapat mengajukan rencana perdamaian.
Secara otomatis pengadilan akan memberikan penundaan sementara dan akan
menunjuk seorang pengurus (bewind voerder) yang biasanya terdiri praktisi
hukum, dan pengadilan juga akan menunjuk seorang hakim (Hakim Pengawas)
yang memberikan nasehat kepada pengurus bila diperlukan. Masa waktu
moratorium diberikan dalam waktu 18 (delapan belas) bulan: “A judicial
extension of time is given for up to eighteen months in which the debtor must
settle its debts provided the creditors agree.” 415
Pengadilan akan menetapkan suatu penundaan pembayaran (moratorium)
kecuali apabila :
a. Ditolak atau tidak disetujui oleh lebih dari ¼ (seperempat) jumlah kreditor
konkuren yang hadir dalam rapat kreditor atau oleh lebih dari 1/3 (sepertiga)
dari jumlah kreditor konkruen seluruhnya.
b. Adanya dugaan berat (kecurigaan) bahwa si debitor akan merugikan hak-hak
para kreditor selama penundaan (moratorium), atau
415
Dennis Campbel et. al (editors), op. cit. h. 15
c. Ada keraguan bahwa si debitor tidak akan sanggup menyelesaikan seluruh
kewajibannya kepada kreditor.
Selama penundaan para direksi perusahaan debitor tidak dapat lagi
mengatur dan menangani asset-asset perusahaan tanpa pengetahuan atau campur
tangan dari pengurus. Maksud dan tujuan kepailitan adalah untuk melikuidasi
harta kekayaan debitor, tetapi tujuan utama dari penundaan kewajiban
pembayaran adalah memberi kesempatan kepada perusahaan debitor untuk
memperbaiki keadaan keuangan perusahaan dan bila perlu melakukan
reorganisasi terhadap kegiatan perusahaan. Dan jika memang sangat diperlukan
debitor dapat menjual asset selama penundaan baik itu asset yang menggerakkan
sebagian atau seluruh kegiatan usaha debitor. Penundaan dapat ditetapkan sebagai
penundaan secara keseluruhan bagi kreditor konkuren. Terhadap kreditor
separatis dan preferent diberi hak melaksanakan haknya tanpa pengaruh dari
penundaan. Dalam kenyataannya para kreditor separatis dan preferent ini sering
bersedia dan memberi kesempatan kepada debitor untuk melakukan reorganisasi
terhadap posisi keuangan debitor. Pelaksanaan hak-hak kreditor atas asset debitor
menjadi tertunda dengan adanya moratorium dan pembebanan atas asset-asset
menjadi terangkat, bahkan dimungkinkan membuat ketentuan-ketentuan khusus
terahadap perusahaan debitor selama penundaan dan aturan tersebut berlaku
selama moratorium. Pelaku usaha (manajemen) tidak dapat membentuk atau
memberlakukan aturan tersebut tanpa persetujuan dari pengurus.
Penundaan (moratorium) dapat diakhiri oleh pengadilan dalam keadaan
berikut ini :
a. Atas permintaan dari debitor dengan alasan telah tercapai keadaan yang
memungkinkan untuk membayar utang-utangnya.
b. Dalam hal pemungutan suara, para kreditor mayoritas tidak menyetujui
rencana perdamaian
c. Atas perminaan dari pengurus dengan alasan bahwa keadaan asset tidak
memungkinkan memperoleh tujuan penundaan tersebut, atau bila secara
mudah memperkirakan bahwa perusahaan debitor tidak memungkinkan
untuk membayar seluruh utang-utangnya. Pada saat penundaan diakhiri
maka pengadilan harus menyatakan perusahaan debitor pailit.
2
Austria
Peraturan yang paling banyak memuat ketentuan tentang insolvensi di
Austria adalah Insolvency Act dan Debt Recomposition Act yang telah mengalami
beberapa kali amandemen sejak diberlakukan tahun 1914. Peraturan lainnya juga
ada mengatur tentang insolvensi ini antara lain dalam Criminal Code, Law on
Companies with Limited Liability atau dalam Law on Stock Companies.
Pengaturan antar negara tentang kasus insolvensi diperoleh terutama dalam
perjanjian bilateral antara Austria dengan negara : Belgia, Prancis, Jerman dan
Itali.
Ketentuan Insolvensi akan dimulai bila diperoleh bahwa debitor tidak lagi
dapat memenuhi kewajibannya misalnya tidak lagi membayar utang-utangnya
yang telah jatuh tempo. Dalam hal ini diajukan tuntutan ke pengadilan tidak saja
terhadap suatu perusahaan yang tidak sanggup memenuhi kewajibannya, tetapi
juga terhadap perusahaan yang kewajibannya melebihi dari pada nilai assetnya.
Di dalam hukum Austria prosedur insolvensi dianggap sebagai bentuk
khusus dari prosedur eksekusi. Pada prosedur eksekusi biasanya kreditor yang
bersangkutan selalu menginginkan tuntutannya dipenuhi yakni melalui proses
tersendiri masing-masing berisikan sejumlah permitaan dan cara pelaksanaannya.
Baik pada waktu mengajukan permohonan maupun tahap pelaksanaannya petugas
pengadilan akan selalu memprioritaskan kreditor yang bersangkutan. Pada
prosedur Insolvensi juga tujuan utamanya adalah bagaimana memenuhi tuntutan
para kreditor, tetapi digabungkan dalam satu proses acara, kecuali bila ada
kreditor yang mempunyai hak khusus, maka semua kreditor mempunyai
kedudukan yang sama. Para kreditor akan memperoleh pembagian dari asset
debitor dengan dasar pro rata parte.
Debt Recomposition (Ausgleich) pada dasarnya adalah suatu persetujuan
antara debitor dan para kreditornya, yakni menentukan debitor akan membayar
sebagian dari utang-utangnya dalam waktu yang ditentukan dan akan
membebaskannya dari sisa utang yang masih ada dalam perhitungan. Prosedur ini
berbeda dengan prosedur Bankruptcy (Konkurs) karena debitor masih diberi
kesempatan menjalankan kegiatannya dan dibebaskan atas sebagian utangnya
sedangkan dalam Bankruptcy mengarah kepada likuidasi dan pembagian atas
aset-aset debitor, sedang sisa utang yang belum terbayar tetap menjadi tanggung
jawabnya hingga dalam waktu yang ditentukan oleh undang-undang (tiga puluh
tahun).
Maksud dan tujuan prosedur Bankruptcy adalah untuk melikuidasi
(winding up) dengan menjual seluruh aset-aset debitor dan membagikannya
diantara para kreditor dengan dasar pro rata parte. Biaya ringan dan perlindungan
para debitor dari diskriminasi atau penipuan adalah prinsip yang diutamakan
dalam prosedur ini. Proses akan dimulai bila ditemukan keadaan bahwa debitor
tidak lagi dapat memenuhi kewajibannya atau bila melalui pengadilan terbukti
bahwa kewajiban-keajiban debitor melebihi nilai asset-assetnya. Proses
Bankruptcy dapat dilakukan dengan syarat debitor memiliki lebih dari 1 (satu)
kreditor.
Biaya-biaya yang timbul setelah proses Bankruptcy dimulai haruslah
dibayar penuh seperti biaya kurator (Receiver’s fee), ongkos kepailitan, pajak,
kontribusi sosial atau upah buruh yang dihitung sejak Bankruptcy dimulai. Para
kreditor akan memperoleh pembagian yang seimbang setelah biaya proses
Bankruptcy dibayar atau diselesaikan lebih dahulu. Kecuali biaya yang timbul
setelah proses Bankruptcy, tidak ada pemberian prioritas bagi para kreditor atau
preferensi tidak dikenal dalam Hukum Austria.
Moratorium (Vorverfahren) masih merupakan prosedur yang relatif baru
dalam Hukum Austria dengan adanya perubahan undang-undangan pada tahun
1982, dengan memberi kesempatan kepada perusahaan yang mengalami kesulitan
keuangan dalam waktu 5 (lima) minggu melakukan reorganisasi dan meneruskan
jalannya usaha sebagaimana sebelum proses Bankruptcy dimulai.
Debitor
harus
mengajukan
permohonan
moratorium
ini
dengan
melampirkan reorganization plan (rencana reorganisasi) selengkapnya kepada
seorang receiver (Pengurus) yang ditunjuk oleh pengadilan. Receiver akan
menguji rencana untuk meneruskan usaha bisnis tersebut dan dihadiri pihak
lainnya yang berkepentingan dengan upaya debitor seperti: para pekerja,
pemasok, bank dan juga membuat permintaan kepada pihak-pihak yang bersedia
menyiapkan dana yang diperlukan dalam rangka reorganisasi.
Dengan berakhirnya waktu 5 (lima) minggu, pengadilan akan menentukan
apakah reorganisasi telah dapat mengatasi kesulitan keuangan debitor dan apakah
debitor sekarang sudah dalam
keadaan
mampu melaksanakan tanggung
jawabnya. Jika demikian maka debitor akan meneruskan jalannya usaha, tetapi
bila tidak maka pengadilan harus menetapkan apakah prosedur Bankruptcy atau
Recomposition yang diterapkan.
3. Denmark
Bankruptcy atau kepailitan berlaku dalam keadaan di mana debitor tidak
mampu membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Aset akan dijual dan
hasilnya dibagikan kepada para kreditor sesuai dengan hak-hak mereka. Debitor
tidak dibebaskan atas kekurangan pembayaran.
Compulsory Composition adalah suatu rancangan perdamaian antara
debitor dengan para kreditor yang tujuannya adalah untuk membantu debitor
dengan menurunkan tuntutan dari kreditor konkruen hingga menjadi 25 (dua
puluh lima) persen dari tuntutan asli (asal). Jika telah disetujui para kreditor
mayoritas, maka akan mengikat bagi seluruh kreditor.
Voluntary Composition adalah suatu rancangan perdamaian antara debitor
dengan para kreditor yang tujuannya adalah untuk memperoleh kesepakatan di
mana tanggung jawab atau kewajiban-kewajiban debitor akan ditentukan
besarnya menurut persetujuan antara debitor dengan para kreditor. Perdamaian
atau kesepakatan ini hanya mengikat bagi kreditor yang memberikan
persetujuannya.
Suspension of Payment atau Penundaan pembayaran ditentukan sebagai
berikut : “A Moratium of not more than three months is imposed, in which time
the debitor must purpose some form of composition or other settlement 416 (Suatu
penundaan pembayaran diberikan untuk waktu selama 3 (tiga) bulan dan dalam
waktu tersebut debitor harus mengajukan rancangan perdamaian atau bentuk lain
cara penyelesaian utang-utangnya).
D.
Persamaan dan Perbedaan Pengaturan Reorganisasi dengan Ketentuan
PKPU
Menurut ketentuan perundang-undangan di negara-negara yang menganut
sistem Common Law, Reorganisasi Perusahaan telah diatur dengan jelas. Di
Amerika Serikat Reorganization telah diatur dalam Chapter 11 US BC, sedang di
Inggris telah diatur dalam Section 425 Company Act 1985 maupun dalam
Company Voluntary Agreement yang melahirkan suatu Rencana Reorganisasi. Di
Singapura, berdasarkan amendemen Companies Act pada Section 210 dan Section
227A Companies Act, dapat menunjuk seorang judicial manager yang bertugas
untuk merehabilitasi perusahaan menjadi perusahaan yang berjalan (going
concern), perusahaan Debitor dapat mengajukan Composition of scheme of
Arrangement (Rencana Perdamaian) dengan syarat bahwa kepentingan para
kreditor lebih terjamin dari pada melaksanakan winding up terhadap perusahaan.
416
Dennis Campbell et.al (editors) op. cit. h. 10
Dalam Undang-Undang Kepailitan Malaysia (Bankruptcy Act 1967), Rencana
Perdamaian dapat diajukan sebelum Debitor dinyatakan pailit ataupun setelah
Debitor dinyatakan pailit oleh Pengadilan, tetapi di Singapura maupun di
Malaysia undang-undangnya tidak ada mengatur secara tegas tentang
Reorganisasi.
Di negara-negara yang menganut sistem Civil Law pengaturan Penundaan
Pembayaran Utang atau Moratorium (Suspensional of Payment) adalah
memberikan kesempatan kepada Debitor untuk melakukan Reorganisasi secara
terbatas karena moratorium yang diberikan dalam undang-undang hanyalah dalam
batas waktu tertentu seperti di Belanda, moratorium diberikan untuk waktu 18
(delapan belas) bulan atau 540 (lima ratus empat puluh) hari, sedang Undangundang di negara Austria hanya memberi moratorium untuk 5 (lima) minggu atau
35 (tiga puluh lima) hari, sedang dalam Undang-undang Denmark hanya diberi
waktu 3 (tiga) bulan atau 90 (sembilan puluh) hari untuk mengajukan rencana
perdamaian.
Peraturan Reorganisasi Perusahaan maupun ketentuan PKPU adalah
mempunyai tujuan yang sama yakni untuk memperoleh suatu kesepakatan damai
antara Debitor dengan para Kreditor yang akhirnya memberi kesempatan kepada
Debitor (perusahaan) untuk menjalankan usahanya (going concern). Pada
waktunya Debitor akan menyelesaikan seluruh utang-utangnya kepada para
kreditor dengan berpedoman kepada rancangan penyelesaian yang tertera dalam
Rencana Perdamaian yang telah disepakati dan telah berubah menjadi Perdamaian
tersebut.
Perbedaan antara Pengaturan Reorganisasi Perusahaan dengan ketentuan
PKPU adalah bahwa dalam Pengaturan Reorganisasi telah ditawarkan pilihanpilihan yang berpedoman pada panduan berupa ketentuan-ketentuan, sehingga
para pihak hanya membahas dan menyepakati format yang telah diajukan oleh
para pihak. Sedang dalam ketentuan PKPU yang diatur hanya tentang moratorium
yang di dalamnya diberi kesempatan kepada Debitor untuk mengajukan Rencana
Perdamaian, tetapi apa yang harus diperjanjikan dan bagaimana formalitas
Rencana Perdamaian tersebut diserahkan kepada deal (persetujuan) para pihak.
Ketentuan PKPU aturannya belum begitu lengkap, mekanismenya belum jelas
dan para pihak harus mencari-cari yang akhirnya diserahkan kepada persetujuan
kedua belah pihak Debitor dan para Kreditor, sehingga bila tidak dipandu oleh
para ahli dalam melakukan negoisasi membahas Rencana Perdamaian yang
diajukan Debitor besar kemungkinan Perdamaian itu tidak akan tercapai.
E.
Undang-Undang Kepailitan Modern
Pengertian kepailitan yang dianut oleh berbagai negara di dunia bermula
diambil dari pengertian dasar yang berasal dari abad pertengahan berlaku sebagai
Hukum Kebiasaan di Itali yakni ’banca rupta (broken bench)’
417
yang dapat
ditafsirkan sebagai pernyataan bangkrut (bankrupt) seseorang oleh Pengadilan.
Dalam melaksanakan pengertian itu terkesan ada sesuatu bentuk hukuman atau
penghinaan bagi debitor dari pernyataan pailit tersebut yakni untuk menyerahkan
417
Joseph E Stiglitz dalam Stijn Claessens et.al, op.cit. h.1
seluruh harta kekayaannya untuk dibagi-bagi oleh para kreditornya, dan bila
diberi kesempatan debitor hanya untuk penundaan pembayaran utangnya. Debitor
ditempatkan pada suatu posisi yang tidak adil karena dianggap melakukan
perbuatan ingkar janji kepada para kreditornya, sehingga harta debitor perlu
dilikuidasi selanjutnya dengan mudah beralih pada pihak lain.
Tetapi pengertian ini secara lambat laun mengalami perubahan yang
terlihat dari cara pengaturan dalam Undang-Undang Kepailitan yang berlaku
dimana telah ada pengaturan akan keseimbangan hak-hak debitor dengan para
kreditornya dengan memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk
melakukan perdamaian dengan syarat-syarat yang ditentukan.
Perkembangan sejarah serta keadaan sosial, ekonomi dan budaya suatu
negara sangat mempengaruhi pengaturan kepailitan di suatu negara mempunyai
sifat-sifat khas sesuai dengan keadaan sosial politik, ekonomi, budaya dari
masyarakat suatu negara itu, sehingga tidak ada Undang-Undang Kepailitan yang
seragam dan dapat diberlakukan secara universal, sebagaimana diartikan ”there is
no single universal bankruptcy code”
Pada kenyataannya ada kecendrungan di berbagai negara bahwa di dalam
Undang-Undang Kepailitan telah diseimbangkan kepentingan kreditor disatu sisi
yakni melindungi hak-hak kreditor yang diperlukan untuk menggerakkan modal
demi tujuan investasi, sedang disisi lain melindungi kepentingan debitor yakni
mencegah terjadinya likuidasi prematur dan diberi kesempatan untuk pembenahan
terhadap perusahaan debitor sehingga tetap sebagai going concern.
Pengaturan Kepailitan setiap negara memiliki perbedaan yang signifikan,
walaupun negara-negara tersebut sama-sama menganut sistem hukum ”common
law” ataupun ”civil law” selalu ada perbedaan baik secara formil maupun secara
materil dalam penyelesaian utang-utang debitor. Namun idealnya negara-negara
harus sadar bahwa menyeragamkan pengaturan yang standard sangat diperlukan
terutama dalam hal memberikan perlindungan yang seimbang antara debitor dan
para kreditor maupun kepentingan stake holders.
Pada era ekonomi modern sekarang ini peran utama kepailitan adalah
untuk mendorong dilakukannya reorganisasi terhadap perusahaan debitor. (The
central role of bankruptcy in modern capitalist economies is to encourage
reorganization) 418. Perekonomian modern tidak akan dapat dibangun bilamana
debitor ditempatkan pada posisi yang tidak adil dengan dikenakan hukuman
(sandera), hartanya dilikuidasi untuk dibagi-bagikan kepada para kreditornya, hal
ini adalah suatu pandangan yang salah arah dalam kepailitan modern.
Sejak tahun 1978, kepailitan di Amerika Serikat tidak lagi disamakan
dengan liukidasi yang memindahkan kepemilikan debitor kepada para
kreditornya, sebaliknya debitor wajib diberikan kesempatan untuk membenahi
diri yang diatur dalam Reorganization pada Chapter 11 US Bankruptcy Code.
Pandangan modern terhadap kepailitan adalah mengubah arah dari likuidasi
kepada arah pembenahan/reorganisasi karena sangat mendukung pada ekonomi
pasar yang efisien, sehingga mempunyai dampak positif bagi perekonomian
modern.
418
Ibid h.2
Tetapi suatu hal yang penting dalam Kepailitan adalah pengaturan tentang
bagaimana menentukan dan menetapkan debitor yang dapat direorganisasi atau
harus dilikuidasi. Sehubungan dengan itu Michelle J White mengatakan : “ After
firms have filed for bankruptcy, an important aspect of an efficient bankruptcy
policy entails determining which firms will be reorganized and which firm will be
liquidated”
419
. Dalam menentukan dan menetapkan hal tersebut, perhatian harus
ditujukan kepada debitor apakah keadaannya memungkinkan untuk direorganisasi
dan para kreditor memiliki harapan dan keuntungan sehingga menyetujui proposal
reorganisasi yang diajukan debitor. Dipihak debitor peranan melaksanakan
reorganisasi ini ada pada manajemen perusahaan debitor, yaitu kemampuannya
menyusun proposal reorganisasi dan memperhitungkan kemampuan perusahaan
menyanggupi isi proposal tersebut.
Apabila suatu perusahaan kesulitan untuk membayar utang-utangnya yang
sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, adalah merupakan peluang untuk
menyatakan perusahaan (debitor) pailit melalui suatu prosedur kepailitan.
Kesulitan likuidasi merupakan objek dari suatu kepailitan. Pernyataan pailit oleh
suatu Pengadilan belumlah merupakan kualifikasi bahwa debitor sudah tidak
mampu membayar utang-utangnya, masih perlu diuji pada tahap selanjutnya
apakah benar-benar insolven apa tidak.
Kesulitan likuidasi mengandung 2 (dua) pengertian yaitu 420:
419
Michelle J. White dalam Stijn claessens et.al, op cit. h.25
Jhon Duns, Insolvency : Law and Policy, (Melbourne: Oxford University Press, 2002),
h. 80-89, lihat juga Andrew R Keay dalam Kerrie Daley, Law 3095 Corporate Insolvency
(Sydney: The University of New South Wales, 2004). h. 306-311
420
1. Keadaan Solven, (whether the company is experiencing a temporary lack of
liquidity) masih ada kemampuan debitor untuk membayar utang-utangnya
karena utang tersebut masih lebih kecil dari nilai aset yang dimiliki, hanya
debitor kesulitan memperoleh uang cash untuk membayar utang-utangnya.
Hal ini lebih disebabkan oleh kesalahan dalam mengelola bidang keuangan
(Mis-match).
2. Keadaan Insolven, (whether the company is experiencing an endemic
shortage of working capital) tidak ada lagi kemampuan debitor untuk
membayar utang-utangnya karena utang tersebut melebihi dari pada nilai aset
yang dimiliki, hal ini disebabkan oleh kesalahan dalam mengelola bidang
struktur sehingga diperlukan restrukturisasi perusahan atau Reorganisasi.
Bila terjadi salah mengelola bidang keuangan (Mis-match) sehingga
terjadi kesulitan likuidasi, masalah ini bisa diselesaikan dengan melakukan
restrukturasi utang yang terdiri dari : rescheduling, reconditioning, refinancing,
hair cut, converted debt dan lain-lain. Penyelesaian dengan restrukturisasi utang
ini dapat dilakukan melalui prosedur PKPU yang tujuannya mencapai perdamaian
antara debitor dengan para kreditornya. Perdamaian ini diserahkan kepada
persetujuan kedua belah pihak dengan mendapat pengawasan dari pengadilan
(Hakim Pengawas) agar memenuhi syarat hingga memperoleh pengesahan
(homologasi). Perdamaian yang dihomologasi ini memperlihatkan sifat hukum
perdata dari Hukum Kepailitan itu sendiri.
Bila yang terjadi adalah kesalahan struktur perusahaan, maka jawabannya
adalah restrukturisasi perusahaan (reorganisasi) yang tidak dapat diselesaikan lagi
dengan hanya kesepakatan pihak debitor dengan para kreditor. Pijakan Hukum
dari Reorganisasi sudah meluas melebihi kesepakatan pihak-pihak tapi sudah
menyangkut kepada kepentingan publik, sehingga diperlukan adanya kekuatan
memaksa berupa perintah dari pengadilan untuk melakukan reorganisasi terhadap
perusahaan debitor seperti : merger, akusisi dan konsolidasi.
Sebagai Hukum Publik, Undang-Undang Kepailitan seyogianya mengatur
dan memberi kewenangan kepada Pengadilan Niaga untuk memerintahkan
perusahaan debitor yang insolven untuk direorganisasi dibawah pengawasan dari
Hakim Pengawas.
Latar
belakang
memberi
kewenangan
kepada
Pengadilan
Niaga
memerintahkan reorganisasi debitor adalah :
1. Sangat sulit memperoleh kesepakatan para pemegang saham debitor yang
begitu banyak dan tersebar untuk memperoleh keputusan.
2. Kepentingan para kreditor yang bervariasi dan rumit sehingga tidak mudah
mencapai kesepakatan, maka diperlukan power melalui Pengadilan Niaga.
3. Kondisi debitor yang sangat lemah (insolven), tetapi dilihat masih ada titik
cerah oleh pengadilan sehingga memberi kesempatan kepada perusahaan
debitor untuk melakukan reorganisasi adalah solusi yang terbaik.
Menurut pasal 2 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan PKPU, untuk menyatakan pailitnya debitor sedemikian mudah karena syaratsyarat pailit begitu sumier. Dan selanjutnya bila debitor gagal mengajukan
rencana perdamaian karena tidak disetujui oleh para kreditor, maka debitor
haruslah dinyatakan pailit dan harus pula dilikuidasi. Dikhawatirkan yang terjadi
adalah likuidasi prematur, karena debitor tidak berhasil mencapai perdamaian
dengan para kreditornya semata-mata karena kelemahan negosiasi dari pihak
debitor sedang keadaan sebenarnya dari debitor masih mampu membayar utangutangnya (solven).
Terhadap perusahaan-perusahan besar yang berbentuk badan hukum yang
mempunyai dampak besar terhadap perekonomian negara, dalam hal perusahaan
tersebut dinyatakan pailit dan kemudian berada dalam keadaan insolven perlu
upaya penyelamatan dari tindakan likuidasi. Penyelamatan tidak cukup dengan
restrukturisasi utang tetapi diperlukan tindakan yang lebih mendasar kepada
restrukturisasi perusahaan dan bila mungkin sampai melakukan merger, akuisisi,
konsolidasi dan lain-lain.
Undang-undang Kepailitan yang perspektip adalah yang disusun dan
diatur sedemikian rupa agar mampu melindungi kepentingan debitor dan
kepentingan para kreditor maupun kepentingan stake holders. Undang-Undang
Kepailitan modern tidak lagi berkiblat pada likuidasi, tetapi haruslah bertujuan
menyelamatkan perusahaan agar tetap eksis dengan cara sebagai berikut :
1. Debitor pailit (solven), utang-utang debitor masih dapat diselesaikan dengan
mengajukan PKPU dengan kesepakatan damai intinya restrukturisasi utang.
2. Debitor pailit (insolven), perusahaan debitor harus diselamatkan dengan jalan
reorganisasi perusahaan.
Mekanisme Reorganisasi dapat terjadi berdasarkan latar belakang
Restrukturisasi yang diperlukan dan dapat dibedakan dalam 3 (tiga) tingkat
yakni 421
1. Restrukturasi perusahaan jika terjadi perubahan struktur kepemilikan dari
perusahaan induk.
2. Restrukturasi bisnis jika terjadi perubahan Struktur kepemilikan pada
tingkat strategi bisnis unit.
3. Restrukturasi aset merujuk pada perubahan kepemilikan aset.
Restrukturasi perusahaan meliputi aktifitas pengambilalihan perusahan lain
memperlihatkan adanya upaya perluasan (ekspansi) disatu pihak dan adanya
penyusutan dipihak lain.
Merger : Merupakan satu mekanisme reorganisasi dengan cara menggabungkan
dua atau lebih perusahan menjadi satu perusahaan yang berarti sebagai transaksi
yang merangkum beberapa unit ekonomi menjadi satu unit ekonomi baru.
Suatu merger memungkinkan perusahaan yang manajemennya kurang baik untuk
menjadi lebih efektif dan efisien, manajer dapat memanfaatkan suatu merger
untuk mengurangi resiko diversifikasi yang tidak sistematis. Berbagai macam
pertimbangan kualitatif akan sangat mempengaruhi ketentuan dalam suatu
merger, dan faktor kualitatif ini pulalah yang akan mempengaruhi kontribusi
masing-masing perusahaan terhadap nilai perusahaan gabungan di masa yang
akan datang. Merger atau penggabungan usaha adalah penggabungan dari 2 (dua)
421
Agnes Sawir, op. cit. h. 187
perusahaan atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu
perusahaan dan melikuidasi perusahaan-perusahaan lainnya.
Akuisisi : Merupakan suatu mekanisme reorganisasi dengan cara melakukan
pembelian perusahaan kecil oleh perusahaan yang lebih besar, berarti pembelian
terhadap suatu unit perusahaan yang lebih kecil dan dilebur ke perusahaan
pembeli. Akuisisi atau pengambilalihan usaha adalah pengambilalihan suatu
perusahaan dengan cara membeli hak suara dari perusahaan (the firm voting
stock), jadi secara juridis dengan membeli saham-saham dari perusahaan tersebut.
Akuisisi internal dapat terjadi antara perusahaan satu kelompok (group) dilakukan
dengan berbagai motif, salah satu diantaranya adalah penyelamatan perusahaan
dalam satu group dari kepailitan.
Take over : Penggabungan usaha yang inisiatifnya biasanya berasal dari
perusahaan yang lebih kecil yakni perusahaan yang diambil alih karena kesulitan
keuangan atau membutuhkan bantuan tambahan modal dari perusahaan yang
lebih besar. Perusahaan yang mengambil alih disebut perusahaan pengambil alih
(acquiring company) dan yang diambil alih disebut perusahaan sasaran (target
company).
Tender offer : Suatu perusahaan menyodorkan tender untuk mengelola
perusahaan lain, dimana calon pembeli mendekati para pemegang saham dan
membujuk agar bersedia menjual sahamnya. Pihak managemen perusahaan yang
akan diakuisisi (penjual saham) berusaha membendung pengambilalihan tersebut
sehingga biaya tender offer lebih meningkat.
Di Indonesia ada anggapan bahwa merger dan akuisisi terutama didorong
oleh faktor likuiditas, keinginan melakukan ekspansi, keinginan pemilik untuk
mengurangi beban kewajiban kepada pihak ketiga dan keinginan mengatasi
masalah internal perusahaan 422.
Keputusan merger dan akuisisi mempunyai pengaruh besar terhadap kondisi
perusahaan dan peningkatan kinerja perusahaan dikemudian hari.
Konsolidasi : Menggabungkan 2 (dua) atau lebih perusahaan dengan cara
mendirikan perusahaan baru dan melikuidasi perusahaan sebelumnya.
Konsolidasi atau peleburan usaha adalah penggabungan dari dua perusahaan atau
lebih dengan cara mendirikan perusahaan baru dan melikuidasi perusahaanperusahaan yang ada. Terbentuknya perusahaan baru menjadikan perusahaan
yang mengambil alih maupun yang diambil alih (the acquired firm) berakhir
eksistensi juridisnya dan menjadi bagian dari perusahaan yang baru.
Penggabungan,
peleburan,
pengambilalihan
maupun
pemisahaan
perseroan ada diatur dalam bab. VIII, pasal 122 s/d pasal 137. UU. Nomor 40
tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Apa definisi dari penggabungan,
peleburan, pengambilalihan maupun pemisahan perseroan tersebut tidak ada
dimuat dalam penjelasan Undang-Undang tersebut, maupun dalam penjelasan UU
Nomor
1
tahun
1995.
Khusus
mengenai
penggabungan,
peleburan,
pengambilalihan dapat dilihat pengertiannya dalam PP. Nomor 27 Tahun 1998 jo
PP. Nomor 28 tahun 1998 sebagai berikut :
422
Ibid.h. 196
1. Merger atau penggabungan : Perbuatan Hukum yang dilakukan oleh satu
atau lebih perseroan untuk menggabungkan diri kedalam satu perseroan
yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri
menjadi bubar.
2. Konsolidasi atau peleburan : Perbuatan Hukum yang dilakukan oleh dua
perseroan atau lebih untuk melebur diri dengan cara membentuk satu
perseroan baru dan masing-masing perseroan yang melebur diri menjadi
bubar.
3. Akuisisi atau pengambilalihan : Perbuatan hukum yang dilakukan oleh
badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham
perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas perseroan
tersebut.
Dalam hal memilih cara penggabungan perusahaan perlu diperhatikan
kelebihan dan kekurangan dari pola Merger, Konsolidasi atau Akuisisi 423
Dalam kasus merger 5 (lima) bank adalah menjadi kewenangan BPPN
untuk memilih pola penggabungan apa yang tepat dan efisien serta efektif untuk
menggabungkan : 1. Bank Bali, 2. Bank Universal, 3. Bank Patriot, 4. Bank
423
Dalam Investor Edisi 58 tahun 2002, diuraikan sbb :
Kelebihan merger
: Memakai nomor perusahaan pengambilalih dan mengeluarkan biaya
yang lebih kecil.
Kekurangan merger
: Menimbulkan polemik baru dan tidak memerlukan surat ijin usaha
baru
Kelebihan konsolidasi
: Memakai nama perusahaan baru dan menghilangkan polemik
dari masing-masing perusahaan
Kekurangan Konsolidasi : Berbiaya lebih mahal dan diperlukan surat ijin usaha yang baru
Kelebihan Akuisisi
: Masih memakai nama lama dan tidak diperlukan surat ijin usaha baru
Kekurangan akuisisi
: Kurang efisien, mudah terjadi duplikasi/pemborosan, kepemilikan
perusahaan berobah,
dikutip oleh Abdul R Saliman et.al. op. cit. h. 87
Artameida, 5. Bank Prima Express sebagai peserta. Pertama sekali BPPN
membentuk project director dari lima bank tersebut. Perwakilan dari semua bank
peserta merger masuk kedalam project director tersebut, dan selanjutnya masingmasing Bank menunjuk wakil-wakilnya dalam Tim Integrasi yang membahas
persoalan Merger seperti : tehnologi, kredit, pendanaan, sumber daya manusia,
hukum dan komunikasi yang dibagi dalam divisi-divisi.
BPPN dengan Tim Integrasi melakukan legal due diligence dan financial
due diligence dan hasilnya dituangkan dalam blue print. Kemudian project
director menunjuk salah satu konsultan yang menggodok peleburan lima bank
tersebut yaitu Global Consultant yang bertugas mengkaji seluruh aspek dan
dampak berlangsungnya merger. Pedomannya adalah : “ Bank hasil merger akan
merefleksikan sinergi masing-masing bank peserta” 424
Akhirnya pola penggabungan yang diambil oleh BPPN dari tiga pola
penggabungan adalah konsolidasi karena 5 (lima) bank yang digabungkan tidak
satupun namanya yang dipakai karena hasilnya “Bank Mandiri” lah yang
terbentuk. Hal ini berbeda dengan pola yang digunakan pada penggabungan Bank
Danamon dengan 9 (sembilan) bank lainnya, ternyata Bank Danamon adalah
sebagai surviving bank.
Pengadilan Niaga harus diberi kewenangan yang lebih luas oleh UndangUndang Kepailitan dan PKPU, sebagai Undang-Undang yang bersifat Hukum
Publik dapat memberikan kewenangan bukan hanya sebagai pengawas dalam
424
Ekoputro Adijayanto, Anggota Tim Intregrasi, dimuat dalam Investor. Edisi 58, lihat
Abdul R. Saliman et.al op.cit h. 89
pelaksanakan perdamaian, lebih jauh dari itu diberi kewenangan untuk
memerintahkan debitor untuk melakukan reorganisasi.
Kewenangan BPPN yang diberikan Pemerintah melalui PP Nomor 17
Tahun 1999 jo. Kepres Nomor 27 Tahun 1998 yakni melakukan tindakan hukum
atas aset dalam restrukturisasi, haruslah sebahagian diberikan kepada Pengadilan
Niaga mengingat BPPN sudah dibubarkan. Pengadilan Niaga diberikan
kewenangan publik untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu agar perusahaan
debitor dapat diselamatkan seperti : mengambil alih segala hak dan wewenang
direksi, komisaris dan pemegang saham termasuk RUPS dari perusahaan debitor,
agar pengadilan dapat memerintahkan para direksi untuk melakukan reorganisasi
perusahaannya. Dalam hal kewenangan itu tidak diambil alih oleh pengadilan,
akan sulit mengambil suatu keputusan dari unsur-unsur pengambil keputusan dari
suatu perusahaan yang dalam keadaan distress.
BAB V
UPAYA PERDAMAIAN SENGKETA UTANG PIUTANG PERUSAHAAN
DI DALAM ATAU DI LUAR PROSES KEPAILITAN SERTA
DAMPAKNYA TERHADAP LEMBAGA PKPU
A. Kinerja Prakarsa Jakarta dan INDRA
Peranan Prakarsa Jakarta dapat dilihat dari jumlah kasus utang piutang
perusahaan yang ditangani oleh Satuan Tugas Prakarsa Jakarta (STPJ). Jumlah ini
diperoleh dari data sejak dibentuknya Prakarsa Jakarta pada bulan Nopember
1998 sampai dengan berakhirnya tugas STPJ tahun 2003.
Kinerja Satuan Tugas Prakarsa Jakarta dapat dilihat pada laporan resmi
dari Ketua STPJ Bacelius Ruru dalam Pengumuman penutupan dan pengakhiran
tugas STPJ pada tanggal 18 Desember 2003, dengan hasil pekerjaan sebagai
berikut : 425
a. Menyelesaikan 96 kasus utang korporasi senilai 20,5 milyard dollar AS, dari
102 kasus utang yang terdaftar senilai 26,91 milyard dollar AS terdiri dari :
1) Tahap penandatanganan Nota Kesepahaman (MOU), 20 kasus senilai 4,25
milyard dollar AS.
2) Tahap legally binding (kreditor dan debitor sudah terikat dalam sebuah
persetujuan berkekuatan hukum) terdiri dari 76 kasus dengan nilai 16,3
milyard dollar AS.
b. Memfasilitasi 6 kasus utang dengan nilai 6,3 milyard dollar AS yaitu
membantu memberikan beberapa kemudahan melalui permohonan kepada
425
http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2003/12/18/brk,20031218-41,id.html
instansi tertentu misalnya Dirjen Pajak, Bank Indonesia, BPPN, tetapi tidak
terlibat langsung secara aktif.
c. Mencoret (dismissed) 53 kasus utang korporasi senilai 6,8 milyard dollar AS
dengan alasan :
1) Tidak bisa diselesaikan lagi karena antara debitor dan kreditor tidak ada
suatu titik temu.
2) Kreditor dan debitor tidak kooperatif dalam proses mediasi yang
dilakukan, sehingga 53 kasus ini sudah di luar tanggung jawab STPJ.
Data tersebut diatas menunjukkan prestasi dan kinerja STPJ pasca krisis
yang
telah
mempercepat
terjadinya
kesepakatan
(perdamaian)
untuk
menyelesaikannya tanpa melalui proses kepailitan. Para mediator STPJ telah
mendirikan lembaga mediasi yang disebut Pusat Mediasi Nasional (PMN) yang
bertujuan memfasilitasi dan memediasi sengketa komersial maupun sengketa lain
di luar pengadilan. Pendirian PMN difasilitasi pemerintah, tetapi PMN bukanlah
lembaga pemerintah, bukan lembaga ad hoc (bersifat khusus) dan tidak ada
kaitannya dengan Prakarsa Jakarta. Tetapi lembaga baru ini diharapkan akan
meneruskan penyelesaian kasus-kasus yang belum diselesaikan oleh Prakarsa
Jakarta apabila dikehendaki oleh para kreditor dan debitor, karena lembaga ini
akan mewarisi kemampuan Prakarsa Jakarta yang sudah berpengalaman
melakukan mediasi dan sudah dianggap berhasil dengan kemampuan melakukan
mediasi senilai 20,5 milyard dollar AS hingga Juni 2003.
Secara umum digambarkan bahwa, Prakarsa Jakarta merupakan :
a. Wahana
yang
memungkinkan
perusahaan-perusahaan
yang
sedang
menghadapi masalah utang dapat bersepakat dengan para kreditornya untuk
melakukan restrukturisasi, baik terhadap perusahaan maupun utang mereka,
sehingga perusahaan tersebut memperoleh kembali akses untuk mendapatkan
modal kerja serta penyetoran modal baru.
b. Wahana untuk melakukan negosiasi komersial di luar pengadilan antara
debitor dengan para kreditornya secara cepat.
c. Pelengkap terhadap penerapan Undang-Undang Kepailitan, dengan tujuannya
adalah untuk : memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi,
mempertahankan dan meningkatkan kesempatan kerja, menciptakan sumber
penerimaan
pajak
bagi
perekonomian
nasional,
membantu
proses
restrukturisasi perbankan dan mempercepat para debitor memanfaatkan
fasilitas INDRA dalam rangka pelunasan utangnya.
Pokok-pokok Skema INDRA dapat diuraikan secara operasional sebagai
berikut : 426
a. Valuta utang luar negeri selain dollar AS harus dikonversi terlebih dahulu ke
dalam valuta dollar AS
b. Selama masa pembayaran utang dilakukan restrukturisasi antara lain sebagai
berikut :
1) Masa pelunasan utang (tenor) menjadi minimal 8 (delapan) tahun yang terdiri
dari 3 (tiga) tahun grace period dan masa repayment 5 (lima) tahun.
2) Selama grace period 3 (tiga) tahun, INDRA membayar bunga dalam dollar
AS kepada kreditor setiap 3 (tiga) bulan.
3) Selama masa repayment 5 (lima) tahun INDRA membayar bunga dan pokok
dalam dollar AS kepada kreditor setiap 3 (tiga) bulan.
426
Sutan Remi Sjahdeini, Skema INDRA, op. cit. h. 15
4) Selama masa pembayaran utang (minimal delapan tahun) debitor membayar
bunga dan pokok dalam rupiah kepada INDRA setiap bulan sejak 1 (satu)
bulan setelah mendaftar.
5) Antara INDRA dan debitor tidak diberikan grace period
6) Dana yang terkumpul dari hasil pembayaran bunga dan pokok oleh debitor
digunakan sebagai ‘cushion’ terhadap fluktuasi nilai dollar AS
7) Akumulasi dana tersebut diinvestasikan oleh INDRA pada instrumen investasi
yang memenuhi prinsip-prinsip penempatan yang prudent
8) Mengenai jangka waktu pembayaran rupiah oleh debitor kepada INDRA
dapat dipilih 8 (delapan) tahun atau 5 (lima) tahun
9) Apabila debitor memilih penyelesaian dalam jangka waktu 8 (delapan) tahun,
maka akan membayar bunga 5,5%, sedang bila memilih 5 (lima) tahun
bunganya adalah 5%.
Biaya untuk mengikuti program INDRA ditetapkan sebagai berikut :
a. Acceptance fee sebesar 3.000 dollar AS untuk setiap utang
b. Montly fee sebesar 300 dollar AS setiap utang per bulan
Bilamana debitor berkeinginan keluar dari program INDRA yang telah
diikutinya, maka untuk itu debitor harus mendapatkan persetujuan dari
kreditornya, dan debitor dapat dikeluarkan dari program INDRA apabila :
a. INDRA tidak menerima pembayaran rupiah secara penuh dari debitor dalam
masa 3 (tiga) bulan (sebelum tanggal pembayaran dollar AS kepada debitor),
maka INDRA tidak akan meneruskan pembayaran angsuran kepada kreditor.
b. Untuk keterlambatan pembayaran kepada INDRA dikenakan denda
keterlambatan sebesar 2% di atas bunga pembayaran rupiah dan
diperhitungkan dari sisa utang pokok.
Dalam melaksanakan pekerjaannya, INDRA telah menunjuk The Chase
Manhattan Bank sebagai Administrative and Paying Agent serta Treasury
Advisor.
Pemerintah telah melakukan perubahan terhadap program INDRA ini
berdasarkan Kepres Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Badan
Restrukturisasi Utang Luar Negeri Perusahaan Indonesia (Indonesian Debt
Restructuring Agency). Menurut Peraturan Pemerintah ini susunan organisasi dan
mekanisme pelaksanaan tugas INDRA, personalia, pimpinan dan staf INDRA
diatur dan ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Prinsip Dasar INDRA dalam melaksanakan tugas-tugasnya adalah sebagai
berikut : 427
a. Skema INDRA hanya dapat digunakan terbatas untuk penyelesaian utang luar
negeri swasta nasional yang memenuhi syarat (eligible)
b. INDRA bertindak sebagai lembaga intermediary antara debitor dan kreditor
c. Pemerintah tidak menanggung resiko komersial debitor, dan tidak mengambil
alih (bail-out) utang debitor.
d. INDRA harus mampu membiayai diri sendiri.
e. Skema INDRA bersifat sukarela (voluntary), para kreditor dan debitor tidak
dipaksa menyelesaikan utang piutangnya dengan menggunakan Skema
INDRA.
427
Ibid. h. 6
Hasil Wawancara dengan Para Praktisi Peradilan Niaga pada Tabel 9
(Lampiran), diperoleh kesimpulan atau Konklusi sebagai berikut :
Apakah lembaga penengah Prakarsa Jakarta dengan fasilitas skema
INDRA perlu diaktifkan kembali, dan apa sebabnya lembaga tersebut tidak
bertahan :
1. Lembaga tersebut tidak perlu lagi, karena lembaga serta fasilitasnya sudah
tidak efektif lagi sebab perubahan signifikan nilai kurs dollar terhadap rupiah
sudah berlalu.
2. Lembaga tersebut tidak eksis lagi dengan demikian terbukti bahwa fungsinya
tidak diperlukan lagi oleh pihak-pihak dalam menyelesaikan sengketa utang
piutang perusahaan.
B. Putusan Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung tentang Kepailitan
dan PKPU Serta Penyebab Gagalnya Perdamaian
1. Perdamaian setelah pernyataan pailit
a. Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Makassar telah mengesahkan suatu
Perjanjian Perdamaian yang disepakati oleh Debitor pailit dengan para
Kreditornya. Kasus ini dimulai dengan adanya Permohonan Pernyataan Pailit dari
para kreditor (Karel Saputan dan David Saputan) terhadap Debitor (PT Jati
Dharma Indah), dimana dengan Putusan Nomor 01/Pailit/Pdt.G/2003/PN.Mks.
tanggal 5 Juni 2003, Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Makassar telah
menolak permohonan para Kreditor (Pemohon) tersebut. Selanjutnya para
Kreditor telah mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung, dan dengan Putusan
Nomor 019 K/N/2003 tanggal 1 Agustus 2003 Mahkamah Agung telah
mengabulkan permohonan kasasi dari para Pemohon Karel Saputan dkk dan
membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar
Nomor 01/Pailit/Pdt.G/2003/PN.Mks. dan sekaligus menyatakan Termohon PT
Jati Dharma Indah (PT. Jati Dharma Indah Plywood Industries) Pailit.
Dalam rangka pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung Nomor 019/K/N/2003 tersebut, Debitor telah mengajukan Rancangan Perdamaian dan ternyata
Rancangan Perdamaian tersebut telah disetujui oleh para Kreditor dengan suara
mayoritas. Atas permohonan Pengesahan yang diajukan, maka Pengadilan Niaga
di Pengadilan Negeri Makassar telah mengeluarkan Putusan Homologasi sebagai
berikut :
Putusan Nomor 01/Pailit/Pdt.G/2003/PN.Mks tanggal 19 Februari 2004 jo.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 019 K/N/2003 tanggal 1 Agustus 2003. 428
Kasus Posisi :
a. Karel Saputan, pemilik Toko Sinar Mas Ambon, Pekerjaan Pengusaha,
bertempat tinggal di Jln. Sam Ratulangi Nomor 39 Ambon.
b. David Saputan, direktur PT Kubota King Jaya, berkantor di Jln. Sultan
Badullah Nomor 9 Ambon.
yang dalam perkara ini keduanya memberi kuasa substitusi kepada : M. Aliyas
Ismail, SH, Pengacara/Penasehat Hukum, berkantor di Jln. Flores Nomor 17
Makassar, selanjutnya disebut sebagai Pemohon I dan Pemohon II, telah
mengajukan permohonan pernyataan pailit tertanggal 05 Mei 2003 terhadap :
428
Salinan Putusan No.01/Pailit/Pdt.G/2003/PN.Mks. jo. No. 019 K/N/2003, diperoleh
dari Kepaniteraan Pengadilan Niaga di PN. Makassar.
PT Jati Dharma Indah (PT Jati Dharma Indah Plywood Industries), berkantor di
Batugong, Passo, Ambon, sebagai Termohon, dengan alasan pada pokoknya
sebagai berikut :
1) Bahwa Pemohon I dan Pemohon II adalah Pengusaha Toko Sinar Mas di
Ambon, yang menjual berbagai macam barang-barang dagangan seperti banban dan sparepart kendaraan lainnya.
2) Bahwa Pemohon II (PT. Kubota King Jaya) adalah suatu perusahaan, yang
bergerak di bidang perdagangan jual beli barang-barang mesin diesel dan
sparepart lainnya.
3) Bahwa antara tahun 1999 sampai dengan tahun 2001, termohon yang bergerak
di bidang usaha plywood industries telah membeli sejumlah barang-barang
dagangan dari Pemohon I, jenis barang dagangan yang dibeli oleh Termohon
berupa ban-ban mobil dan sparepart lainnya. Pembelian mana dilakukan
antara Pemohon I dan Termohon, dengan perjanjian/kesepakatan bahwa
barang-barang dagangan a quo harus dilunasi paling lambat 2 (dua) bulan
terhitung sejak tanggal pembelian barang-barang dagangan dimaksud.
4) Bahwa berdasarkan surat Pemohon I No. 021/SM.Abn/II/03 tertanggal 17
Februari 2003, perihal konfirmasi Hutang Dagang termohon (bukti P1-1),
yang ditujukan kepada Termohon, oleh Termohon telah menjawab dan
mengkonfirmasikan hutang dagang Termohon kepada Pemohon I melalui
suratnya No.004/IPK-Ivd/AMQ/03/2003 tertanggal 05 Maret 2003 (bukti P2).
Dan hasil konfirmasi hutang dagang termohon antara Pemohon I dan
Termohon, telah disepakati bahwa besarnya hutang dagang Termohon pada
Pemohon I yaitu sebesar Rp. 135.721.700,- (seratus tiga puluh lima juta tujuh
ratus dua puluh satu ribu tujuh ratus rupiah). Adapun rinciannya sebagai
berikut :
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Nomor Invoice
01367
01396
01399
01400
01398
01397
01403
01405
01406
01228
01410
Tanggal
04/05/99
07/12/99
11/12/99
11/12/99
11/12/99
07/12/99
22/12/99
07/1/00
18/1/00
27/4/00
11/5/00
Nomor PO
3824
4280
4293
4295
4299
4286
4312
4321
4327
4500
4521
Total Rp.
Jumlah
25.600.000,8.700.000,11.137.500,63.196.200,1.035.000,8.700.000,5.340.000,933.000,4.900.000,980.000,5.200.000,135.721.00,-
Jadi total hutang dagang termohon kepada pemohon I yang telah jatuh tempo
dan dapat ditagih sebesar Rp. 135.721.000.5) Bahwa Termohon (PT. Jati Dharma Indah), selain mempunyai sisa hutang
dagang pada Pemohon I juga mempunyai hutang dagang pada Pemohon II,
adapun besarnya hutang dagang termohon kepada Pemohon II berdasarkan
surat konfirmasi hutang dagang dari termohon dengan surat nomor : 003/IPKIvd/AMQ/03/2003 tertanggal 5 Maret 2003 yaitu sebesar Rp. 7.450.000,(tujuh juta empat ratus lima puluh ribu rupiah) (bukti P2-1). Surat konfirmasi
termohon tersebut sesuai dengan surat konfirmasi hutang dagang Pemohon II
nomor: 019/KKS-Abn/II/03, tertanggal 17 Februari 2003 (bukti P2-2). Hutang
tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
6) Bahwa termohon selain mempunyai sisa hutang dagang dengan Pemohon I
dan II, Termohon juga mempunyai hutang dagang pada PT. Kanefusa
Indonesia Ambon sebesar Rp. 43.108.230,- (empat puluh tiga juta seratus
delapan ribu dua ratus tiga puluh rupiah) (bukti P3).
7) Bahwa selain hutang Termohon seperti tersebut diatas, sejak termohon
berhenti beroperasi di Ambon sekitar tahun 2002 hingga sekarang, sekitar
1.040 orang karyawan/pekerja perusahaan belum dibayar lunas gaji, tunjangan
dan hak-hak normative lainnya dari karyawan/pekerja pada Termohon.
Hal tersebut merupakan bukti nyata bahwa Termohon tidak mampu lagi
membayar hutang termohon kepada pemohon I, II, PT. Kanefusa Indonesia
serta karyawan/pekerja termohon, yang sudah jatuh tempo.
8) Bahwa berdasarkan fakta hukum di atas, terbukti secara sah dan sempurna
bahwa termohon pada saat diajukan permohonan pernyataan pailit a quo
mempunyai sedikitnya 3 (tiga) kreditur dan tidak membayar ketiga hutangnya
yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sebagaimana dinyatakan dalam pasal
1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang kepailitan.
9) Bahwa selain hutang-hutang termohon kepada pemohon I dan II serta pada
PT. Kanefusa Indonesia telah diakui oleh termohon sebagaimana terbukti dari
bukti P1-1,P1-2,P2-1,P2-2 dan P3 diatas, demikian pula hutang termohon
pada sekitar 1.200 orang karyawan/pekerjannya saat ini juga sudah menjadi
fakta dan kenyataan hukum bahwa sejak tahun 2002 termohon telah berhenti
beroperasi di Ambon. Dengan demikian terbukti bahwa pembuktian
permohonan pernyataan pailit terhadap termohon telah terbukti pula secara
sederhana sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat 3 Undang-undang No 4
tahun 1998 tentang kepailitan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon I dan II memohon sebagai berikut :
1) Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon I dan Pemohon II
seluruhnya.
2) Menyatakan Pemohon I dan Pemohon II adalah pemegang hak tagih sah dari
termohon.
3) Menyatakan termohon PT. Jati Dharma Indah (PT Jati Dharma Indah
Plywood Industries) sebagai debitor pailit yang sah dengan segala akibat
hukumnya.
4) Menunjuk dan mengangkat Hakim Pengawas.
5) Menunjuk Kurator TITI. SLAMET, SH dari Kantor Advokat dan Kurator
NICO SIMEN dan TITI S. SLAMET, Jalan Rajawali No.45 Makassar.
6) Memerintahkan penyitaan segera atas seluruh harta kekayaan milik termohon
untuk
selanjutnya
dijual
dan
hasilnya
dipakai
untuk
membayar
piutang/tagihan Pemohon I dan II sebesar :
a) Pemohon I sebesar Rp. 135.721.700,- (seratus tiga puluh lima juta tujuh
ratus dua puluh satu ribu tujuh ratus dua puluh satu ribu tujuh ratus
rupiah).
b) Pemohon II sebesar Rp. 7.450.000,-(tujuh juta empat ratus lima puluh ribu
rupiah).
7) Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara.
dan/atau
Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya. (ex
aequo et bono).
Menimbang, bahwa terhadap permohonan pailit tersebut Pengadilan Niaga
pada Pengadilan Negeri Makassar telah menjatuhkan putusannya pada tanggal 5
Juni 2003 dalam perkara No. 01/Pailit/Pdt.G/2003/PN.Mks. yang amar
putusannya sebagai berikut :
1) Menolak permohonan Para pemohon ;
2) Menghukum para Pemohon untuk membayar biaya perkara yang hingga kini
ditaksir sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) ;
Menimbang, bahwa atas Putusan Pengadilan Niaga Makassar tersebut,
Pemohon pailit mengajukan upaya hukum kasasi pada Mahkamah Agung, dan
Mahkamah Agung telah mengambil putusannya pada tanggal 1 Agustus 2003
dengan nomor perkara : 019/K/N/2003 yang amarnya sebagai berikut :
Mengadili :
-
Mengabulkan permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi : 1. KAREL
SAPUTAN dan 2. PT. KUBOTA KING JAYA yang diwakili Direkturnya
DAVID SAPUTAN tersebut ;
-
Membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar
tanggal 5 Juni 2003 Nomor : 01/Pailit/Pdt.G/2003/PN.Mks.
Mengadili Sendiri :
-
Mengabulkan Permohonan para pemohon untuk sebagian ;
-
Menyatakan Termohon PT. Jati Dharma Indah (PT. Jati Dharma Indah
Plywood Industries) Pailit ;
-
Memerintahkan Ketua Pengadilan Negeri/Niaga Makassar untuk mengangkat
Hakim Pengawas dari Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Makassar.
-
Mengangkat Titi S. Slamet, SH dari Kantor Advokad dan Kurator Nico Simen
dan Titi S. Slamet, SH Jalan Rajawali Nomor 45 Makassar sebagai kurator;
-
Menolak permohonan yang selebihnya ;
-
Menghukum Termohon Kasasi/Termohon untuk membayar biaya perkara ini
dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan
sebesar Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah) ;
Menimbang bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan, telah pula
didengar keterangan dari Hakim Pengawas, Kurator dan Para Kreditor;
Menimbang bahwa atas pelaksanaan tersebut Hakim Pengawas telah
menyampaikan laporannya yang pada pokoknya adalah sebagai berikut :
-
Bahwa putusan Mahkamah Agung RI No.019/K/N/2003 tertanggal 1 Agustus
2003 telah diumumkan di surat kabar Pedoman Rakyat dan surat kabar Suara
Maluku pada tanggal 24 September 2003 ;
-
Bahwa selanjutnya diadakan Rapat Kreditor I pada tanggal 7 Oktober 2003,
Rapat Kreditor II pada tanggal 17 Oktober 2003, Rapat Kreditor III pada
tanggal 29 Oktober 2003, Rapat Kreditor IV pada tanggal 10 Nopember 2003
dan Rapat Kreditor V pada tanggal 8 Desember 2003 ;
-
Bahwa pada tanggal 2 Januari 2004 telah ditentukan batas akhir mengajukan
tagihan kepada debitor ;
-
Bahwa pada tanggal 5 Januari 2004 diadakan rapat pencocokan utang yang
dari 30 Kreditor semua jumlah utangnya diakui secara bulat baik oleh Debitor
dan Kreditor ;
-
Bahwa pada tanggal 26 Januari 2004 Debitor mengajukan Rancangan
Perdamaian,
penghitungan
selanjutnya
suara
pada
dan
tanggal
voting
9
Februari
(pemungutan
2004
suara)
dilakukan
dalam rangka
perdamaian/accord ;
-
Bahwa dari 29 Kreditor total jumlah piutang dalam rupiah Rp.
80.900.846.069,- dan dalam bentuk dollar Amerika (US $) 1.209.908,069
dengan jumlah seluruh suara 9118 ;
-
Bahwa total
pemungutan
tagihan 16 Kreditor Konkuren yang mengikuti
suara
dalam
rangka
perdamaian
adalah
sebesar
rapat
Rp.
70.424.940.687,- (tujuh puluh miliar empat ratus dua puluh empat juta
sembilan ratus empat puluh ribu enam ratus delapan puluh tujuh rupiah) ;
-
Bahwa hasil dari voting, sebanyak 9 Kreditor setuju Accord/damai dan 7
Kreditor yang tidak setuju, dimana Kreditor yang setuju telah lebih ½ dari
jumlah kreditor yang hadir (8 + 1 = 9) dan mempunyai total tagihan Rp.
67.709.160.869,- (enam puluh tujuh miliar tujuh ratus sembilan juta seratus
enam puluh ribu delapan ratus enam puluh sembilan rupiah) ;
-
Bahwa dengan demikian berarti Kreditor Konkuren yang setuju damai
melebihi 2/3 dari jumlah tagihan piutang yang diakui, oleh karena itu Rencana
Perdamaian yang diajukan telah memenuhi persyaratan Pasal 141 dan Pasal
142 UU No. 4 Tahun 1998 dan selanjutnya mohon Pengesahan/Homologasi ;
Menimbang, bahwa kemudian kurator juga telah didengar laporannya di
persidangan yang pada pokoknya adalah sebagai berikut :
-
Bahwa kurator menerima Putusan Mahkamah Agung No. 019 K/N/2003
tanggal 20 September 2003, selanjutnya atas izin Hakim Pengawas
mengumumkan isi putusan tersebut di dua surat kabar Pedoman Rakyat dan
Suara Maluku, serta mengumumkan rencana Rapat Kreditor I ;
-
Bahwa pada tanggal 24 sampai 26 September 2003 melakukan investigasi di
debitor Pailit PT Jati Dharma Indah Plywood Industries di Batugong - Passo
Ambon dan harta pailit terdata :
Benda tak bergerak :
•
Sebidang tanah area pabrik yang belum diketahui luas dan statusnya,
perumahan karyawan PT Jati Indah, Bangunan Pabrik Plywood, Bengkel
dan Dermaga
Benda bergerak berupa :
•
1 unit mesin sanders, 2 unit double scicor, 3 unit tangki hotpress, 8 unit
genset generator, 7 unit dam truk dan benda-benda bergerak lainnya.
-
Bahwa selanjutnya diadakan Rapat Kreditor I pada tanggal 7 Oktober 2003,
Rapat Kreditor II pada tanggal 17 Oktober 2003, Rapat Kreditor III pada
tanggal 29 Oktober 2003, Rapat Kreditor IV pada tanggal 10 Nopember 2003
dan Rapat Kreditor V pada tanggal 8 Desember 2003 ;
-
Bahwa pada tanggal 2 Januari 2004 telah ditentukan batas akhir mengajukan
tagihan kepada debitor ;
-
Bahwa pada tanggal 5 Januari 2004 diadakan rapat pencocokan utang yang
dari 30 Kreditor semua jumlah utangnya diakui secara bulat baik oleh Debitor
dan Kreditor ;
-
Bahwa pada tanggal 26 Januari 2004 Debitor mengajukan Rancangan
Perdamaian,
penghitungan
selanjutnya
suara
dan
pada
tanggal
voting
9
Februari
(pemungutan
2004
suara)
dilakukan
dalam rangka
perdamaian/accord ;
-
Bahwa dari 29 Kreditor total jumlah piutang dalam rupiah Rp.
80.900.846.069,- dan dalam bentuk dollar Amerika (US $) 1.209.908,069
dengan jumlah seluruh suara 9118 ;
-
Bahwa total tagihan 16 Kreditor Konkuren yang mengikuti rapat pemungutan
suara dalam rangka perdamaian adalah sebesar Rp. 70.424.940.687,- (tujuh
puluh miliar empat ratus dua puluh empat juta sembilan ratus empat puluh
ribu enam ratus delapan puluh tujuh rupiah) ;
-
Bahwa hasil dari voting, sebanyak 9 Kreditor setuju Accord/damai dan 7
Kreditor yang tidak setuju, dimana kreditor yang setuju telah lebih ½ dari
jumlah kreditor yang hadir (8 + 1 = 9) dan mempunyai total tagihan Rp.
67.709.160.869,- (enam puluh tujuh miliar tujuh ratus sembilan juta seratus
enam puluh ribu delapan ratus enam puluh sembilan rupiah) ;
-
Bahwa dengan demikian berarti Kreditor Konkuren yang setuju damai
melebihi 2/3 dari jumlah tagihan piutang yang diakui, oleh karena itu Rencana
Perdamaian yang diajukan telah memenuhi persyaratan Pasal 141 dan Pasal
142 UU No. 4 Tahun 1998 dan selanjutnya mohon Pengesahan/Homologasi ;
Menimbang, bahwa para Kreditor yang menyetujui Rencana Perdamaian
yang diajukan oleh Debitor tersebut pada pokoknya memberikan keterangan
sebagai berikut :
-
Bahwa Kreditor PT. Anugra Cipta Investa menyatakan mendukung adanya
Rencana Perdamaian yang diajukan oleh pihak Debitor ;
-
Bahwa PT. Kiani Lestari yang telah menyetujui adanya Rencana Perdamaian,
yang mulanya dikuasai oleh BPPN sejak tanggal 12 Februari 2004 telah dibeli
oleh PT. Bali Pasific Investama yang berkedudukan di Jakarta ;
-
Bahwa PT. Pan Ocean Shipping menyatakan pada prinsipnya menyetujui
Rencana Perdamaian, hanya tidak setuju dengan Draf Perdamaiannya ;
Menimbang, bahwa demikian juga Para Kreditor yang tidak menyetujui
Rencana Perdamaian yang diajukan oleh Debitur tersebut, pada pokoknya sebagai
berikut :
-
Bahwa Perwakilan Karyawan kendatipun tidak ikut voting dalam pembahasan
Rencana Perdamaian yang diajukan oleh Debitor karena berada di luar proses
kepailitan, menyatakan tidak menyetujui draf perdamaian tersebut, oleh
karena itu memohon agar dalam putusan dipertimbangkan mengenai hak-hak
karyawan yang tertunggak ;
Tentang Hukumnya :
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan para pihak adalah sebagaimana
diuraikan tersebut di atas ;
Menimbang, bahwa apakah Rencana Perdamaian yang diajukan oleh
Debitor Pailit tersebut dapat dihomologasikan oleh pengadilan ;
Menimbang, bahwa pada prinsipnya Debitor Pailit berhak untuk
menawarkan suatu perdamaian kepada semua Kreditor secara bersama-sama ;
Menimbang, bahwa menurut ketentuan pasal 135 UU No. 4 Tahun 1998
tentang Kepailitan (UUK), Rencana perdamaian yang dibuat Debitor Pailit
tersebut harus disampaikan selambat-lambatnya 8 (delapan) hari sebelum
diadakan Rapat Pencocokan Piutang dan harus pula disampaikan kepada
Kreditornya atau ditunda paling lambat 3 (tiga) minggu kemudian dalam rapat
berikutnya (vide Pasal 137 UUK) ;
Menimbang, bahwa berdasarkan laporan dari Hakim Pengawas dan
Kurator serta berdasarkan Berita Acara Rapat, ternyata Rencana Perdamaian yang
disampaikan oleh Debitor Pailit tersebut telah diberitahukan kepada Para
Keditornya sehingga telah memenuhi ketentuan sebagaimana tersebut di atas,
oleh karena itu Rencana Perdamaian yang disampaikan oleh Debitor Pailit
tersebut dapat dibicarakan dalam rapat kreditor ;
Menimbang, bahwa sekarang apakah Rencana Perjanjian Perdamaian
yang disampaikan oleh Debitor Pailit tersebut dapat diterima oleh Para Kreditor
dalam rapat Kreditor yang dipimpin oleh Hakim Pengawas ;
Menimbang, bahwa menurut laporan Hakim Pengawas dan Kurator dari
hasil verifikasi yang telah dilakukan, Jumlah Para Kreditor dari debitor Pailit
seluruhnya ada 29 (dua puluh sembilan) Kreditor dengan total tagihannya sebesar
Rp. 80.900.846.069 dan US $ 1.209.908,069;
Menimbang, bahwa sedangkan kreditor yang hadir atau kuasanya dalam
rapat untuk voting pembahasan rencana perdamaian ada 16 (enam belas) kreditor
dengan total jumlah tagihan sebesar Rp. 70.428.780.687,Menimbang, bahwa dari 16 Kreditor/Kuasanya yang hadir dalam rapat
tersebut, ada 9 (sembilan) Kreditor/Kuasanya dengan total tagihan sebesar Rp
67.709.160.869,- ; dapat menyetujui Rencana Perdamaian yang diajukan oleh
Debitor Pailit tersebut, sedangkan 7 (tujuh) Kreditor/Kuasanya dengan total
tagihan sebesar Rp. 2.719.619.818,- menolak persetujuan Rencana Perdamaian
yang diajukan oleh debitor Pailit ;
Menimbang, bahwa melihat dari komposisi hasil voting tersebut, maka
Kreditor yang menyetujui Rencana Perdamaian dalam rapat Kreditor tersebut
telah lebih dari ½ (satu perdua) jumlah Kreditor konkuren atau kuasanya yang
hadir dalam rapat tersebut, (yaitu 9 Kreditor dari 16 Kreditor yang hadir atau
kuasanya) dan telah pula mewakili 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh
piutang konkuren (yaitu sebesar Rp. 46.952.520.457,5) yang diakui atau
sementara diakui yang hadir dalam rapat tersebut ;
Menimbang, bahwa berdasarkan atas hal dan pertimbangan tersebut, maka
Rencana Perdamaian yang disampaikan oleh debitor tersebut telah memenuhi
ketentuan Pasal 141 UU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, sehingga Rencana
Perdamaian tersebut dapat diterima oleh Para Kreditornya ;
Menimbang, bahwa oleh karena Rencana Perdamaian yang disampaikan
oleh Debitor telah memenuhi persyaratan Pasal 141 UUK dan telah dapat diterima
oleh Para Kreditornya, sehingga Rencana Perdamaian tersebut berubah menjadi
Perjanjian Perdamaian tanggal 09 Februari 2004 oleh karena itu Pengadilan harus
mengesahkan perdamaian tersebut ;
Menimbang, bahwa sebelum Pengadilan mengesahkan perdamaian
tersebut, perlu dipertimbangkan terlebih dahulu apakah perdamaian tersebut
terdapat hal-hal sebagai berikut :
1) Kekayaan harta pailit, termasuk di dalamnya segala barang yang terhadapnya
berlaku hak menahan barang (hak retensi) melebihi jumlah yang diperjanjikan
dalam perdamaian ;
2) Perdamaian tersebut tidak terjamin secara penuh ;
3) Perdamaian dicapai karena penipuan, yang menguntungkan secara tidak wajar
atau menggunakan cara lain secara tidak jujur ;
Menimbang, bahwa selama jalannya persidangan oleh Majelis Hakim
tidak diketemukan adanya hal-hal seperti tersebut di atas, dan lagi pula setelah 8
(delapan) hari berakhirnya Rapat Kreditor, Berita Acara Rapat yang
ditandatangani oleh Hakim Pengawas dan Panitera Pengganti telah diletakkan di
Kepaniteraan maupun di Kantor Kurator, tidak ada satupun para kreditor yang
mengajukan pembatalan/keberatan terhadap berita acara sidang yang dibuat
tersebut, Bahkan Kreditor Pan Ocean Shipping dalam persidangan menyatakan
pada prinsipnya menyetujui perdamaian tersebut, hanya terhadap draf perdamaian
yang tidak disetujuinya, demikian juga dari kreditor Dinas Kehutanan yang pada
awalnya tidak menyetujui rencana perdamaian, ternyata melalui surat/fax telah
menyatakan menyetujui perdamaian tersebut ;
Menimbang, bahwa berdasarkan atas hal dan pertimbangan tersebut, maka
Perjanjian yang dibuat oleh Debitor dan telah disetujui oleh para kreditor tersebut
harus disahkan, dimana Perjanjian Perdamaiannya memuat kesepakatan sebagai
berikut :
1) Utang sebesar Rp. 100.000.000,00 ke bawah discount 75 % ;
2) Utang sebesar Rp. 100.000.000,00 ke atas s/d 1.000.000.000,00 discount
80%;
3) Utang sebesar Rp. 1.000.000.000,00 ke atas s/d 5.000.000.000,00
discount 85% ;
4) Utang sebesar Rp. 5.000.000.000,00 ke atas s/d 10.000.000.000,00
discount 87,5 % ;
5) Utang sebesar Rp. 10.00.000.000,00 ke atas discount 90% ;
Dengan tata cara pembayaran sebagai berikut :
1) Pembayaran angsuran dilakukan setelah pabrik beroperasi secara penuh
(dengan perkiraan waktu 6 bulan setelah kesepakatan dicapai), dengan
mencicil selama 2 (dua) tahun.
2) Khusus untuk karyawan akan dibayar utang gaji 4 bulan ditambah
dengan pesangon 2 bulan gaji yang akan dibayar secepatnya sebelum
pabrik beroperasi (final) ;
Menimbang, bahwa karena perjanjian perdamaian disahkan oleh
Pengadilan, maka menurut ketentuan Pasal 152 UUK perjanjian perdamaian
tersebut berlaku bagi semua kreditor yang tidak mempunyai hak untuk
didahulukan tanpa kecuali, dengan tidak memperdulikan apakah mereka
mengajukan diri atau tidak dalam kepailitan tersebut, sedangkan mengenai
kepastian nasib karyawan, karena penyelesaiannya diluar proses kepailitan
(kreditor preferen) maka tidak dapat dipertimbangkan dalam putusan ini hanya
sebagai ad inferandum ;
Menimbang,
bahwa
dan
apabila
pengesahan
perdamaian
telah
memperoleh kekuatan hukum yang pasti, maka berakhirlah kepailitan yang
bersangkutan (Pasal 156 UUK) ;
Memperhatikan ketentuan Pasal 141, 145, 146, 148, 149 dan pasal 152
UU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan peraturan lain yang berkaitan ;
Memutuskan :
-
Menyatakan sah Perjanjian Perdamaian tanggal 09 Februari 2004 yang dibuat
oleh Debitor Pailit PT. Jati Dharma Indah Plywood Industries dengan Para
Kreditornya PT. Anugra Cipta Investa, PT. Wenang Sakti, PT. Wanagalang
Utama, PT. Kreasi Mandiri, PT Jati Maluku Timber, PT. Jati Cahaya
Cemerlang, PT. Kiani Lestari, PT. Prima Maluku Timber, Haindra Tirto
tersebut ;
-
Menghukum Para Pihak tersebut di atas dan Para Kreditor lainnya untuk
mentaati Perjanjian Perdamaian tersebut ;
-
Menetapkan biaya perkara kepailitan dan Fee Kurator akan ditetapkan
kemudian ;
b. PT Karya Cemerlang Bhakti Persada, berkedudukan di Surabaya di jalankan
oleh Direkturnya Purnama, dalam hal ini diwakili oleh kuasanya Anselmus Raga
Mila, Advokat, sebagai pemohon Pailit terhadap diri sendiri sebagai debitor,
dengan para kreditor sbb :
1. PT Tanindo Citra Nuansa, Tarakan Kaltim sebagai Kreditor I
2. Yohanes Due, Swasta, Ngada (Flores) sebagai Kreditor II
3. Petrus Kodo, Swasta, Ngada (Flores) sebagai Kreditor III
Berdasarkan putusan Nomor 05/Pailit/2001/PN. Niaga Sby, tanggal 15 Juli 2001,
PT Karya Cemerlang Bhakti Persada dinyatakan pailit. Dalam proses pemberesan,
Debitor pailit telah mengajukan perdamaian terhadap para kreditornya tersebut
yang kemudian telah tercapai kesepakatan dan selanjutnya telah ditanda tangani
Perjanjian Perdamaian antara debitor dengan kreditor tertanggal 17 Juli 2001.
Atas perjanjian perdamaian itu telah pula dimohonkan pengesahannya kepada
Pengadilan
Niaga
Surabaya,
sehingga
oleh
Pengadilan
tersebut
telah
mengeluarkan Penetapan Nomor 05/Pailit/2001/PN Niaga Sby tanggal 14
Agustus 2001 yang mengesahkan perjanjian tersebut. Selengkapnya isi
Perdamaian itu adalah sebagai berikut : 429
Bahwa pihak pertama sebagai pemohon pailit mengakui
mempunyai tanggungan pembayaran utang kepada pihak kedua yang
telah jatuh tempo, yaitu kepada para kreditot I, II, III sehubungan
dengan perjanjian jual beli kayu bulat (log) jenis meranti, dengan jumlah
tanggungan/kewajiban pembayaran utang sebagai berikut :
1. Tanggungan/kewajiban pembayaran utang kepada kreditor I yaitu
sebesar Rp. 161.085.200,- (seratus enam puluh satu juta delapan
puluh lima ribu dua ratus rupiah)
2. Tanggungan/kewajiban pembayaran utang kepada kreditor II yaitu
sebesar Rp. 18.980.500,- (delapan belas juta sembilan ratus delapan
puluh ribu lima ratus rupiah)
429
Salinan Putusan Nomor 05/Pailit/2001/PN Niaga Sby, diperoleh dari Kepaniteraan
Pengadilan Niaga Surabaya.
3. Tanggungan/kewajiban pembayaran utang kepada kreditor III yaitu
sebesar Rp. 18.980.500,- (delapan belas juta sembilan ratus delapan
puluh ribu lima ratus rupiah)
Bahwa pihak pertama sebagai pemohon pailit pada tanggal 15 Juni
2001, telah mengajukan penawaran perdamaian kepada pihak kedua
yaitu para kreditor I, II dan III untuk melakukan pembayaran berupa
uang secara tunai (kontan) sebagai berikut :
1. Pembayaran kepada kreditor I sebesar Rp. 85.000.000,- (delapan
puluh lima juta rupiah)
2. Pembayaran kepada kreditor II dan III masing-masing sebesar Rp.
7.655.250,- (tujuh juta enam ratus lima puluh lima ribu dua ratus
lima puluh rupiah)
Bahwa penawaran perdamaian yang diajukan oleh pihak pertama yaitu
pemohon pailit terhadap pihak kedua yaitu kreditor I, II, III pada tanggal
15 Juni 2001, telah diterima sepenuhnya dengan baik oleh pihak kedua
yaitu kreditor I, II, III melalui surat persetujuan perdamaian tertanggal 6
Juli 2001.
Bahwa sehubungan dengan persetujuan perdamaian oleh pihak kedua
yaitu kreditor I, II, III melalui surat persetujuan tertanggal 6 Juli 2001
yang diajukan kepada pihak pertama (pemohon Pailit), karena pada
tanggal 18 Juni 2001 pihak kedua (para kreditor I, II, III) telah menerima
dengan baik pembayaran utang yang dilakukan oleh pihak pertama
(pemohon pailit) dari total asset (harta pailit) pemohon pailit, masingmasing para kreditor telah menerima :
1. Kreditor I menerima pembayaran dari npemohon pailit sebesar Rp.
85.000.000,- (delapan puluh lima juta rupiah)
2. Kreditor II dan kreditor III masing-masing menerima pembayaran
dari pemohon pailit sebesar Rp. 7.655.250,- (tujuh juta enam ratus
lima puluh lima ribu dua ratus lima puluh rupiah)
Bahwa pihak kedua (para kreditor I, II, III) sangat memahami keadaan
pihak pertama (pemohon pailit) dan telah mengetahui pihak pertama
(pemohon pailit) tidak memiliki lagi aset (harta pailit), sehingga pihak
kedua (para kreditor) membebaskan pihak pertama (pemohon pailit)
untuk tidak perlu lagi melakukan pembayaran sisa utang terhadap para
kreditor yaitu sebesar :
1. Kreditor I sebesar Rp. 76.085.200,- (tujuh puluh enam juta delapan
puluh lima ribu dua ratus rupiah)
2. Kreditor II sebesar Rp. 11.325.250,- (sebelas juta tiga ratus dua
puluh lima ribu dua ratus lima puluh rupiah)
3. Kreditor III sebesar Rp. 11.325.250,- (sebelas juta tiga ratus dua
puluh lima ribu dua ratus lima puluh rupiah)
Bahwa sisa utang pihak pertama (pemohon pailit) tersebut diatas telah
dihapus oleh pihak kedua (para kreditor), sehingga para kreditor I, II dan
III tidak dapat melakukan penagihan-penagihan utang kepada pihak
pertama (pemohon pailit) sehubungan dengan perkara pailit nomor
05/Pailit/2001/PN Niaga Sby, demikian pula pihak pertama karena
persetujuan perdamaian ini tidak mempunyai kewajiban pembayaran
kepada pihak kedua (para kreditor I, II, III) baik berupa apapun juga
sehubungan dengan perkara pailit Nomor 05/Pailit/2001/PN Niaga Sby.
Bahwa pihak pertama (pemohon pailit) dengan pihak kedua (para
kreditor I, II, III) sepakat mengakhiri perkara pailit nomor
05/Pailit/2001/PN Niaga Sby, melalui persetujuan perdamaian ini yang
akan ditanda tangani pada bagian akhir surat persetujuan perdamaian ini,
maka perkara pailit nomor 05/Pailit/2001/PN Niaga Sby dianggap telah
selesai.
Bahwa kesepakatan perdamaian ini adalah sah dan bersifat mengikat
kedua belah pihak yaitu pihak pertama (pemohon pailit) dengan pihak
kedua (para kreditor I, II, III).
Dalam diktum Penetapan Pengadilan Niaga Surabaya telah menyatakan :
1. Mengesahkan perdamaian yang dilakukan antara pemohon pailit (Debitor
Pailit, PT Karya Cemerlang Bhakti Persada) dengan para Kreditornya, telah
disepakati dan ditanda tangani bersama pada tanggal 17 Juli 2001.
2. Menyatakan kepailitan PT Karya Cemerlang Bahakti Persada berakhir.
3. Membebankan biaya perkara kepada Pemohon Pailit (Debitor Pailit)
2. Perdamaian dalam PKPU sebagai Counter terhadap Pailit
PT Bank CIC Internasional Tbk, selaku Kreditor telah mengajukan
permohonan pernyataan pailit terhadap PT Bernas Madu Sari (BMS) selaku
Debitor, permohonan telah diajukan ke Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat yang terdaftar dengan Nomor 11/Pailit/2002/PN.Niaga.Jkt.Pst
tertanggal 5 Juni 2002. Setelah Debitor menerima Surat Panggilan sidang untuk
hadir pada tanggal 17 Juni 2002, maka pada sidang berikutnya sebagai upaya
counter terhadap permohonan pernyataan pailit tersebut, Debitor telah
mengajukan
permohonan
PKPU
yang
terdaftar
dengan
Nomor
03/PKPU/2002/PN.Niaga.Jkt.Pst tertanggal 24 Juni 2002, dan selanjutnya Debitor
telah mengajukan Rencana Perdamaian yang ternyata rencana tersebut kemudian
telah disetujui oleh para kreditor dengan suara mayoritas.
Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengeluarkan
putusan terhadap permohonan tersebut sebagai berikut :
a. Putusan PKPU Sementara
Putusan Nomor 03/PKPU/2002/PN.Niaga.Jkt.Pst. jo. Nomor 11/Pailit/
2002/ PN. Niaga.Jkt.Pst tanggal 5 Juli 2002. 430
Kasus Posisi :
PT Bernas Madu Sari (BMS), berkantor di Gedung Plaza Centris, Lt.12 Jln. HR
Rasuna Said Kav. B5 Jakarta Selatan yang dalam perkara ini diwakili oleh
Isnoewarso Rasjid dan Melvin Korompis, masing-masing bertindak selaku
Direktur Utama dan Komisaris Utama untuk dan atas nama PT BMS, dalam hal
ini memberi kuasa kepada Amalia Santoso, SH dkk., Advokat/Konsultan Hukum,
beralamat kantor di Jln. Proklamasi 77A Jakarta Pusat, sebagai Pemohon PKPU,
telah mengajukan Permohonan PKPU terhadap :
PT Bank CIC Internasional, beralamat di Sentral Senayan 1 Office Tower Jln.
Asia Afrika Nomor 8 Jakarta, dalam hal ini diwakili oleh Anthony C Kartawira
dan Hamidi SE, masing-masing sebagai Direktur, dalam hal ini memberi kuasa
kepada Suprapto, SH dkk., Advokat dan Konsultan Hukum dari Kantor Suprapto,
Lukas Budiono & Partners, berkantor di Jln. Kebon Sirih Kav. 17–19 Jakarta
10340, sebagai Termohon PKPU, yang isinya pada pokoknya sebagai berikut :
430
Himpunan Putusan Pengadilan Niaga, Mahkamah Agung RI, Dirjen Badan Peradilan
Umum, Juni 2006, h. 3–14
1) Bahwa pada tanggal 5 Juni 2002 PT. Bank CIC Internasional, Tbk., melalui
Kuasa Hukumnya Soeprapto, Lukas Budiono & Partners telah mendaftarkan
Permohonan
PAILIT
terhadap
BMS
dan
terdaftar
dengan
Nomor
11/PAILIT/2002/PN. NIAGA.JKT.PST.;
2) Bahwa Pemohon PKPU telah menerima surat pemberitahuan panggilan
sidang perkara kepailitan No.11/Pailit/2002/PN.Niaga.JKT.PST tertanggal 7
Juni 2002 untuk sidang pada tanggal 17 Juni 2002 di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat ;
3) Bahwa jumlah permohonan kepailitan yang diajukan Pemohon adalah sebesar
US$ 1.975.651.01 (belum diverifikasi) ;
4) Bahwa Pemohon PKPU adalah suatu perusahaan PMDN yang bergerak di
bidang refinery gula yaitu pengumpulan bahan mentah berupa raw sugar (gula
mentah) dan proses di pabrik refinery gula dan kemudian hasil produknya
dijual di pasar dalam negeri ;
5) Bahwa dilihat dari NILAI Pemohon PKPU sebagaimana tercermin dalam
Laporan Keuangan perusahaan untuk tahun buku yang berakhir pada tanggal
31 Desember 1999 dan 1998 (Bukti P–1) yang telah diaudit oleh Kantor
Akuntan Publik Prasetyo Utomo & Co. dan Laporan Keuangan Perusahaan
(internal) yang berakhir pada tanggal-tanggal 31 Desember 2001 dan 2000
(Bukti P–2) sebagai berikut :
ƒ
Total asset yang dimiliki BMS per 31 Desember 2001 adalah sebesar Rp.
210.854.766.765,- (dua ratus sepuluh milyar delapan ratus lima puluh
empat juta tujuh ratus enam puluh enam puluh ribu tujuh ratus enam puluh
lima rupiah).
ƒ
Total kewajiban BMS per 31 Desember 2000 adalah sebesar Rp.
525.772.369.966,- (lima ratus dua puluh lima milyar tujuh ratus tujuh
puluh dua juta tiga ratus enam puluh sembilan ribu sembilan ratus enam
puluh enam rupiah).
6) Bahwa walaupun berdasarkan Laporan Keuangan tersebut di atas, posisi
keuangan Pemohon PKPU menunjukkan angka yang kurang meyakinkan
namun apabila kita membandingkan dengan proses operasional pabrik
sebagaimana diuraikan di bawah ini, maka sebetulnya Pemohon PKPU masih
memiliki potensi yang cukup memadai untuk menyelesaikan utang-utangnya
kepada para kreditur :
a) Berdasarkan data operasional pabrik Pemohon PKPU pada umumnya :
Kapasitas Normal dari pabrik Pemohon PKPU adalah 150.000 (seratus
lima puluh ribu ton pertahun (Bukti P–3) berupa raw sugar dengan
taksiran harga pasar Rp. 3.000.000/ton (Bukti P-4).
Berdasarkan jumlah tonage tersebut di atas dalam prosesnya akan dapat
diperoleh refined sugar sejumlah 95% = 142.500 ton, (Bukti P-5).
Berdasarkan standar operasional pabrik hasil penjualan dari 142.500
refined sugar dengan harga Rp. 3.000.000,- (taksiran kasar harga pasar per
ton) = Rp. 427.500.000.000,- (empat ratus dua puluh tujuh milyar lima
ratus juta rupiah).
Berdasarkan standar operasional pabrik biaya proses pertahun adalah
jumlah total tonnage refined sugar X harga per ton = 142.500 ton X Rp.
458.790 (Bukti P–6) = Rp. 65.377.575.000,Berdasarkan standar operasional pabrik, biaya pembelian raw sugar adalah
Jumlah tonage dikalikan harga per ton
Harga taksiran kasar raw sugar per ton =US$. 185,50 (Bukti P–7)
Misalnya kurs 1 Dollar = Rp. 8.600,- maka
Biaya
pembelian
142.500
ton
refined
sugar
adalah
=
Rp.
227.330.250.000,Biaya proses pertahun + pembelian raw sugar =
Rp. 65.337.575.000,- + Rp. 227.330.350.000,- = Rp. 292.707.825.000,Berdasarkan standar operasional pabrik, hasil penjualan refined sugar
pertahun (NET)
Rp.
427.500.000.000,
(minus)
Rp.
292.707.825,00,-
=
Rp.
134.792.175.000,Dan dalam 10 tahun penghasilan penjualan (NET) Pemohon PKPU adalah
10 x Rp. 134.792.175.000,- = Rp. 1.347.921.750.00,b) Hutang jangka pendek dan panjang menurut laporan keuangan Rp.
135.171.020.740,- + Rp. 390.005.349.226,- = Rp. 528.348.271.245,Dengan jumlah dana sebesar prediksi Rp. 1.347.921.750.000,- maka setiap
tahun bisa dialokasikan sebesar Rp. 2.551.199.319,- dibulatkan Rp.
2.551.200.000,-
Diperkirakan Rp. 551.000.000,- dipakai untuk biaya-biaya lain dalam
proses pembuatan refined sugar maka dengan suatu rencana restrukturisasi
selama 10 tahun diharapkan Pemohon PKPU dapat membayar seluruh
hutang-hutangnya. Maka dari itu Pemohon PKPU memiliki potensi yang
cukup memadai untuk menyelesaikan hutang-hutangnya kepada para
kreditur, jika dikabulkan untuk PKPU.
7) Bahwa pada saat ini Pemohon PKPU sedang tahap Negoisasi Proposal
Restrukturisasi
Awal
dengan
Termohon
dimana
Termohon
telah
mengadakan pembicaraan informal pada tanggal 20 Juni 2002 di Restoran
Miliana, Jakarta antara Sdr. Hudiyanto, Direktur Keuangan Termohon dan
Sdr. Willy Edy Assistant Vice President Pemohon ;
Begitu juga Termohon telah melakukan pembicaraan Informasi dengan Bank
Negara Indonesia (Persero) sebagai Kreditur Utama yang diadakan tanggal 20
Juni 2002 di Kantor Pusat BNI ;
8) Bahwa disamping PT. Bank CIC Internasional Tbk., dan Bank Negara
Indonesia (Persero) tbk., Pemohon PKPU masih mempunyai kreditur-kreditur
lainnya, sebagaimana diperinci dalam Pertelaan yang merupakan Lampiran
dari Permohonan ini sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 93 Peraturan
Kepailitan (Bukti–9) ;
9) Bahwa Pemohon PKPU masih melihat adanya kemungkinan untuk melakukan
pembayaran kepada para kreditur, karena perusahaan masih dalam keadaan
beroperasi apabila diberikan tenggang waktu untuk menunda pembayaran
utangnya, berdasarkan butir 6 di atas ;
10) Bahwa saat ini Pemohon PKPU memperkerjakan para karyawan sebanyak
385 (tiga ratus delapan puluh lima) orang (vide Bukti P–9) karyawan, bila
perusahaan dinyatakan pailit tidak menutup kemungkinan terjadinya gejolak
sosial yang tidak diinginkan. Karena itu solusi PKPU akan lebih baik
bermanfaat bagi kreditur ;
11) Bahwa sehubungan dengan Rencana Proposal Restrukturisasi sebagaimana
telah diuraikan dalam butir 7 (tujuh) di atas, maka Pemohon PKPU dan para
kreditur memerlukan waktu untuk membahas lebih lanjut Restrukturisasi
Awal yang telah diajukan BMS kepada para krediturnya pada tanggal 20 Juni
2002 tersebut dan butir 6 (enam) di atas, sedangkan Rencana Perdamaian
sebagaimana disyaratkan Pasal 213 ayat (2) Peraturan Kepailitan akan segera
diusulkan;
12) Bahwa atas dasar hal-hal tersebut di atas dan menunjuk pasal 217 (96) dan
Pasal 214 (2) dari Undang-undang Kepailitan No. 4, 1998, mohon kepada
Ketua pengadilan Niaga/Negeri Jakarta Pusat agar berkenan mengabulkan
Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang
diajukan oleh Pemohon ;
Berdasarkan hal-hal tersebut, Pemohon mohon agar ketua Pengadilan
Niaga/Negeri Jakarta Pusat berkenan memutuskan sebagai berikut :
1) Menerima dan mengabulkan Permohonan PKPU PT. Bernas Madu Sari (PT.
BMS).
2) Menetapkan Pemohon dalam keadaan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (PKPU);
3) Menunjuk Hakim Pengawas dan Pengurus PKPU PT. Bernas Madu Sari
(PT. BMS) Sdri. Hj. Tutik Sri Suharti, SH.
Apabila Majelis berpendapat lain, kami mohon putusan yang seadil-adilnya (ex
aequo et bono).
Menimbang, bahwa pada hari sidang yang telah ditetapkan untuk
Pemohon hadir Isnoewarso Rasjid dan Melvin Korompis, masing-masing
bertindak dalam jabatannya selaku Direktur Utama dan Komisaris Utama dari dan
oleh karenanya dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama PT. Bernas Madu
Sari (BMS) dan kuasanya Amalia Santoso, SH. dkk., berdasarkan Surat Kuasa
Khusus tertanggal 17 Juni 2002, dan Termohon hadir Anthony C. Kartawiria Dan
Hamidi, SE., dan kuasa hukumnya Soeprapto, SH. dkk, berdasarkan Surat Kuasa
Khusus No. 036/CIC/D/SJ/VI/2002 tanggal 25 Juni 2002, sedangkan untuk
Kreditur lain tidak ada yang hadir;
Menimbang, bahwa di persidangan telah dibacakan surat permohonan
Pemohon yang mana isinya tetap dipertahankan oleh Pemohon ;
Menimbang, bahwa atas permohonan tersebut, Termohon mengajukan
tanggapan secara lisan yang pada pokoknya sebagai berikut :
− Menolak permohonan PKPU yang diajukan oleh Pemohon PKPU, karena
tidak sesuai sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 93 Peraturan Kepailitan ;
− Meragukan kemampuan PT. BMS, karena aset PT. BMS hanya senilai Rp.
210 Milyar, sedangkan kewajiban PT. BMS sebesar 500 Milyar lebih, adapun
kewajiban untuk pembayaran LC sudah jatuh tempo 1 (satu) tahun yang lalu ;
− Sudah memberikan teguran baik lisan maupun tertulis, akan tetapi tidak ada
tanggapan dari Pemohon PKPU ;
− Meragukan kemampuan PT. BMS untuk membayar sebagaimana seharusnya
baik kewajiban pokok ditambah bunganya ;
Menimbang, bahwa untuk meneguhkan dalil-dalilnya Pemohon telah
mengajukan fotocopy surat-surat bukti dan setelah dicocokkan dengan aslinya,
lalu diberi tanda sebagai berikut :
Bukti P – 1 : Laporan Keuangan 1999/1998; Bukti P – 2 : Laporan
Keuangan 2001/2002; Bukti P – 3 : Proposal Pendirian Pabrik; Bukti P – 4 :
Faktur Penjualan # 01–010 0057 C BMS ; Bukti P – 5 : Proses Refinasi ; Bukti P
– 6 : Biaya Proses Refinasi ; Bukti P – 7 : Commercial Invoice No. 016–A/2001 ;
Bukti P – 8 : Pertelaan Kreditur ; Bukti P – 9 : Daftar Karyawan ;
Menimbang, bahwa Termohon tidak mengajukan bukti-bukti apapun ;
Menimbang, bahwa selanjutnya telah terjadi peristiwa-peristiwa di depan
persidangan sebagaimana telah dicatat dalam Berita Acara Persidangan dan untuk
mempersingkat uraian putusan, maka Berita Acara tersebut dianggap telah
termasuk dalam putusan ini;
Tentang Hukumnya :
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan Permohonan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dari Pemohon adalah agar kepada
Pemohon diberi waktu yang cukup mengupayakan pembayaran utang-utang
kepada Para Kreditur Pemohon ;
Menimbang, bahwa oleh karena Permohonan PKPU diajukan sebagai
counter permohonan kepailitan, maka permohonan tersebut diperiksa pada saat
yang bersamaan dengan permohonan kepailitan, oleh karena itu pula sesuai
dengan ketentuan Pasal 217 ayat (6) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 jo.
Perpu Nomor 1 Tahun 1998 jo. Stbl. 1906 Nomor 348 jo Stbl. 1905 Nomor 217,
maka permohonan PKPU tersebut harus diputuskan lebih dahulu dan dengan
demikian
permohonan
kepailitan
Nomor:
11/PAILIT/2002/PN.NIAGA.JKT.PST., tertanggal 3 Juni 2002 ditangguhkan ;
Menimbang, bahwa permohonan PKPU yang diajukan oleh Pemohon
ternyata telah ditandatangani oleh Pemohon yang berwenang mewakili PT.
Bernas Madu Sari, sesuai dengan surat permohonan dan kuasa hukumnya yang
didaftarkan di Kepaniteran Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, serta telah melampirkan Neraca dari PT. Bernas Madu Sari (Bukti P–1,P–2,
dan P–8) yang memuat daftar aktiva dan pasiva serta daftar Para Kreditur dari PT.
Bernas Madu Sari, oleh karena itu pula permohonan Pemohon PKPU telah
memenuhi ketentuan Pasal 213 ayat (1) U.U. Nomor 4 Tahun 1998 jo. Perpu
Nomor 1 tahun 1998 jo. Stbl. 1906 Nomor 348 jo. Stbl 1905 Tahun 1998 jo.
Perpu Nomor 1 Tahun 1998 jo. Stbl. 1906 Nomor 348 jo. Stbl.1905 Nomor 217 ;
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan PKPU telah memenuhi
persyaratan hukum maka berdasarkan pasal 214 ayat (2) U.U Nomor 4 Tahun
1998 jo. Perpu Nomor 1 Tahun 1998 jo. Stbl.1906 Nomor 348 jo. Stbl1905
Nomor : 217, Pengadilan harus segera mengabulkan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang Sementara (PKPUS) untuk waktu paling lama 45 (empat
puluh lima) hari terhitung sejak putusan PKPUS diucapkan ;
Menimbang, bahwa oleh karena PKPU harus dikabulkan maka perlu
ditunjuk dan diangkat Hakim Pengawas dan Pengurus ;
Menimbang, bahwa mengenai penunjukkan dan pengangkatan Hakim
Pengawas, maka akan dipilih dari antara Hakim Niaga pada Pengadilan
Negeri/Niaga Jakarta Pusat sebagaimana disebutkan dalam diktum putusan;
Menimbang, bahwa Pemohon PKPU di dalam permohonannya telah
memohon agar Sdr. Tutik Sri Suharti, SH., ditunjuk sebagai Pengurus yang akan
mengurus harta Debitur secara bersama-sama dan sepanjang pemeriksaan perkara
ini Majelis tidak menemukan adanya benturan kepentingan, maka permohonan
Pemohon PKPU tersebut patut untuk dikabulkan ;
Menimbang, bahwa segera setelah ditetapkan PKPUS, Pengadilan melalui
Pengurus wajib memanggil Debitur dan Kreditur yang dikenal dengan surat
tercatat atau melalui kurir untuk datang menghadap dalam sidang yang
diselenggarakan paling lambat pada hari ke–45, terhitung sejak PKPUS
ditetapkan sebagaimana dalam diktum putusan ;
Menimbang, bahwa mengenai biaya pengurusan dan imbalan jasa
Pengurus akan ditentukan kemudian setelah pengurus nyata-nyata melaksanakan
tugas-tugasnya dan besarnya akan ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri
Kehakiman Nomor : M.09.HT.05.10 Tahun 1998, tertanggal 22 September 1998
tentang Pedoman Imbalan Jasa Kurator dan Pengurus ;
Menimbang, bahwa mengenai biaya perkara permohonan ini akan
dibebankan kepada Pemohon PKPU ;
Mengingat dan memperhatikan Undang-undang nomor 4 Tahun 1998 jo.
Perpu Nomor 1 Tahun 1998 jo. Staatsblad 1906 Nomor : 348 jo. Staatsblad 1905
nomor 217, khususnya Pasal 213 ayat (2) ; 214 ayat (2) ; 217 ayat (6), 217 E ayat
(1) dan (2) dan peraturan lain yang berkenan dengan perkara ini.
Memutuskan :
− Mengabulkan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPUS) dari PT Bernas Madu Sari (Pemohon) untuk sementara, yaitu
selama 45 (empat puluh lima) hari terhitung sejak putusan ini diucapkan ;
− Menunjuk Sdri. Putu Supadmi, SH., Hakim Niaga pada Pengadilan
Negeri/Niaga Jakarta Pusat sebagai Hakim Pengawas ;
− Mengangkat Sdri. Hj Tutik Sri Suharti, SH., beralamat Jalan Garuda No. 71B.
Kemayoran Jakarta Pusat sebagai Pengurus ;
− Menetapkan Sidang Majelis Hakim pada hari : Kamis, tanggal 15 Agustus
2002 jam 10.00 WIB di Gedung Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat ;
− Memerintahkan Pengurus untuk memanggil Debitur dan Para Kreditur untuk
datang menghadap pada hari sidang yang telah ditetapkan tersebut ;
− Menetapkan biaya pengurusan dan imbalan jasa Pengurus akan ditentukan
kemudian setelah Pengurus melaksanakan tugas-tugasnya ;
− Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.
5.000.000,- (lima juta rupiah);
b. Putusan PKPU dan Pengesahan Perdamaian
Putusan Nomor 03/PKPU/20002/PN.Niaga Jkt.Pst.Jo.Nomor 11/Pailit/
2002/PN.Niaga Jkt.Pst tanggal 22 Agustus 2002. 431432
Kasus Posisi :
PT Bernas Madu Sari (BMS), berkantor di Gedung Plaza Centris, Lt.12 Jln. HR
Rasuna Said Kav. B5 Jakarta Selatan yang dalam perkara ini diwakili oleh
Isnoewarso Rasjid dan Melvin Korompis, masing-masing bertindak selaku
Direktur Utama dan komisaris Utama untuk dan atas nam PT Bernas Madu Sari
(BMS), dalam hal ini memberi kuasa kepada Amalia Santoso, SH dkk., Advokat
dan Konsultan Hukum dari Kantor A. Santoso & Associates, Jln. Proklamasi 77A
Jakarta Pusat, sebagai Pemohon PKPU, telah mengajukan Permohonan PKPU
terhadap :
PT Bank CIC Internasional,beralamat di Sentral Senayan 1 Office Tower Jln.
Asia Afrika Nomor 8 Jakarta dalam hal ini diwakili oleh Anthony C Kartawira
dan Hamidi SE, masing-masing sebagai Direktur, dalam hal ini memberi kuasa
kepada Suprapto, SH dkk., Advokat dan konsultan Hukum dari Kantor Suprapto,
Lukas Budiono & Partners, berkantor di Jln. Kebon Sirih Kav.17 – 19 Jakarta,
sebagai Termohon PKPU, yang permohonannya mengemukakan sebagai berikut :
1) Bahwa pada tanggal 5 Juni 2002 PT Bank CIC Internasional, Tbk., melalui
Kuasa Hukumnya Soeprapto, Lukas Budiono & Partners telah mendaftarkan
permohonan PAILIT terhadap BMS dan terdaftar dengan Nomor :
11/PAILIT/2002/PN.NIAGA.JKT.PST;
431
Ibid. h. 15-26.
2) Bahwa Pemohon PKPU telah menerima surat pemberitahuan panggilan
sidang perkara kepailitan No. 11/Pailit/2002/PN.Niaga/JKT.PST tertanggal 17
Juni 2002 untuk sidang pada tanggal 17 Juni 2002 di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat ;
3) Bahwa dalam jumlah permohonan kepailitan yang diajukan Pemohon adalah
sebesar US$ 1.975.651.01. (belum divertifikasi) ;
4) Bahwa Pemohon PKPU adalah suatu perusahaan PMDN yang bergerak
dibidang refinery gula yaitu pengumpulan bahan mentah berupa raw sugar
(gula mentah) dan diproses di pabrik refinery gula dan kemudian hasil
produknya dijual di pasar dalam negeri ;
5) Bahwa dilihat dari NILAI PERMOHONAN PKPU sebagaimana tercermin
dalam Laporan Keuangan perusahaan untuk tahun buku yang berakhir pada
tanggal 31 Desember 1999 dan 1998 (Bukti P–1) yang telah diaudit oleh
Kantor Akuntan publik Prasetyo Utomo & Co, dan Laporan Keuangan
Perusahaan (internal) yang berakhir pada tanggal 31 Desember 201 dan 2000
(Bukti P–2) sebagai berikut :
•
Total asset yang dimiliki BMS per 31 Desember 2001 adalah sebesar Rp.
210.854.766.765,- (dua ratus sepuluh milyar delapan ratus lima puluh
empat juta tujuh ratus enam puluh enam ribu tujuh ratus enam puluh lima
rupiah).
•
Total kewajiban BMS per 31 Desember 2000 adalah sebesar Rp.
525.772.369.966,- (lima ratus dua puluh lima milyar tujuh ratus tujuh
puluh dua juta tiga ratus enam puluh sembilan ribu sembilan ratus enam
puluh enam rupiah).
6) Bahwa walaupun berdasarkan Laporan Keuangan tersebut di atas, posisi
Keuangan Pemohon PKPU menunjukkan angka yang kurang meyakinkan,
namun apabila kita membandingkan dengan proses operasional pabrik
sebagaimana diuraikan di bawah ini, maka sebetulnya Pemohon PKPU masih
memiliki potensi yang cukup memadai untuk menyelesaikan utang-utangnya
kepada para kreditur ;
A Berdasarkan data operasional, pabrik Pemohon PKPU pada umumnya :
Kapasitas Normal dari pabrik Pemohon PKPU ADALAH 150.000 (seratus
lima puluh ribu) ton pertahun (Bukti P–3) berupa raw sugar dengan taksiran
harga pasar Rp. 3000.000/Ton (bukti P–4)
Dari jumlah tonnage tersebut di atas dalam prosesnya akan dapat diperoleh
refined sugar sejumlah Rp. 95%=142.500 ton (Bukti P–5)
Berdasarkan standar operasional pabrik hasil dari 142.500 refined sugar
dengan harga Rp. 3000.000,- (taksiran kasar harga pasar per ton) = Rp.
427.500.000.000,- (empat ratus dua puluh tujuh milyar lima ratus juta rupiah).
Berdasarkan standar operasional pabrik biaya proses pertahun adalah jumlah
tonnage rifened sugar X harga per ton = 142.500 ton X Rp. 428.790 (Bukti P–
6) = Rp. 65.377.575.000,Berdasarkan standar operasional pabrik, biaya pembelian raw sugar adalah
jumlah tonage dikalikan harga per ton.
Harga taksiran kasar raw sugar per ton = US$. 185,50 (Bukti P–7)
Misalnya kurs 1 Dollar = Rp. 8.600,- maka
Biaya pembelian 142… 500 ton refined sugar adalah = Rp. 227.330.250.000,Biaya proses pertahun + pembelian raw sugar = Rp. 65.377.575.00,- + Rp.
222.330.250.000,- = Rp. 292.707.825.000,Berdasarkan standar operasional pabrik, hasil penjualan refined sugar
pertahun (NET) Rp. 427.500.000.000,- (minus) Rp. 292.707.825.000,- = Rp.
134.792.175.000,Dan dalam 10 tahun penghasilan penjualan (NET) Pemohon PKPU adalah 10
x Rp. 134.792.175.000,- = Rp. 1.347.921.750.000,B Hutang jangka pendek dan panjang menurut laporan keuangan
Rp.135.171.020.740,-+Rp.390.0556.349.226,-= Rp. 528.348.271.245,Dengan jumlah dana sebesar prediksi Rp. 1.347.921.750.000,- maka setiap
tahun
bisa
dialokasikan
sebesar
Rp.
2.551.199.319,-
dibulatkan
Rp.2.551.200.000,Diperkirakan Rp. 551.000.000,- dipakai untuk biaya-biaya lain dalam proses
pembuatan refined sugar, maka dengan suatu rencana restrukturisasi selama
10 tahun diharapkan Pemohon PKPU dapat membayar seluruh hutanghutangnya. Maka dari Pemohon PKPU memiliki potensi yang cukup memadai
untuk menyelesaikan hutang-hutangnya kepada para kreditur, jika dikabulkan
untuk PKPU.
7) Bahwa saat ini Pemohon PKPU sedang dalam tahap NEGOISASI Proposal
Restrukturisasi Awal dengan Termohon, dimana Termohon telah mengadakan
pembicaraan informal pada tanggal 20 Juni 2002 di Restoran Milinia, Jakarta
antara Sdr. Hudiyanto Direktur Keuangan Termohon dan Sdr. Willy Edy
Assistant Vice President Pemohon ;
Begitu juga Termohon telah melakukan pembicaraan informal dengan Bank
Negara Indonesia (Persero) sebagai Kreditur Utama yang diadakan tanggal 20
Juni 2002 di Kantor Pusat BNI ;
8) Bahwa di samping PT Bank CIC Internasional,Tbk., dan Bank Negara
Indonesia (Persero) Tbk., Pemohon KPU masih mempunyai kreditur-kreditur
lainnya, sebagaimana diperinci dalam Pertelaan yang merupakan Lampiran
dari Permohonan ini sebagaimana diisyaratkan oleh pasal 93 Peraturan
Kepailitan (Bukti P-9);
9) Bahwa Pemohon PKPU masih melihat adanya kemungkinan untuk melakukan
pembayaran kepada para kreditur, karena perusahaan masih dalam keadaan
beroperasi apabila diberikan tenggang waktu untuk menunda pembayaran
utangnya, berdasarkan butir 6 di atas;
10) Bahwa pada saat ini Pemohon PKPU mempekerjakan karyawan sebanyak 385
(tiga ratus delapan puluh lima) orang (vide Bukti P-9) karyawan, bila
perusahaan dinyatakan pailit tidak menutup kemungkinan terjadinya gejolak
sosial yang tidak diinginkan, karena itu solusi PKPU akan lebih bermanfaat
bagi para kreditur;
11) Bahwa sehubungan dengan rencana Proposal restruksisasi sebagaimana telah
diuraikan dalam butir 7 (tujuh) di atas, maka Pemohon PKPU dan para
kreditur memerlukan waktu untuk dapat membahas lebih lanjut Proposal
Restrukturisasi Awal yang telah diajukan BMS kepada para krediturnya pada
tanggal 20 Juni 2002 tersebut dan 6 (enam) di atas, sedangkan Rencana
Perdamaian sebagaimana diisyaratkan Pasal 213 ayat (2) Peraturan Kepailitan
akan segera diusulkan;
12) bahwa atas dasar hal-hal tersebut di atas dan menunjuk Pasal 217 (6) dan
Pasal 21 (2) dari Undang-Undang Kepailitan No. 4, 1998, mohon kepada
Ketua Pengadilan Niaga/Negeri Jakarta Pusat agar berkenan mengabulkan
permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan
oleh Pemohon;
Berdasarkan hal-hal tersebut, Pemohon mohon agar Ketua Pengadilan
Niaga/Negeri Jakarta Pusat berkenan memutuskan sebagai berikut :
1) Menerima dan mengabulkan Permohonan Pemohon PKPU PT. Bernas
Madu Sari (PT.BMS)
2) Menetapkan Pemohon dalam keadaan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (PKPU);
3) Menunjuk Hakim Pengawas dan Pengurus PKPU PT. Bernas Madu Sari
(PT.BMS) Sdri. Hj. Tutik Sri Suharti, SH.
Apabila Majelis berpendapat lain kami mohon putusan yang seadiladilnya (ex aequo et hono).
Menimbang, bahwa pada hari sidang yang ditetapkan untuk Pemohon
hadir Isnoewarso Rasjid dan Melvin korompis, masing-masing bertindak
dalam jabatannya selaku Direktur Utama dan komisaris Utama, dari dan
oleh karenanya dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama PT. Bernas
Madu Sari (BMS) dan kuasa hukumnya Amalia Santoso, SH., berdasarkan
Surat Kuasa Khusus No. 036/CIC/D/SK/VI/2002 tanggal 25 Juni 2002,
serta dihadiri pula oleh Para Kreditur lain ;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta
Pusat dalam putusannya tanggal 05 Juli 2002, No. 03/PKPU/2002/PN.
Niaga.Jkt.Pst.
mengabulkan
jo.
No.
penundaan
11/Pailit/2002/PN.
Kewajiban
Niaga.Jkt.Pst.,
Pembayaran
Utang
telah
(PKPU)
Sementara, yang amar selengkapnya sebagai berikut :
-
Mengabulkan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
dari PT. Bernas Madu Sari (BMS) (Pemohon) untuk sementara, yaitu selama
45 (empat puluh lima) hari terhitung sejak putusan ini diucapkan ;
-
Menunjuk Sdri. Putu Supadmi, SH., Hakim Niaga pada Pengadilan
Negeri/Niaga Jakarta Pusat sebagai Hakim Pengawas ;
-
Mengangkat Sdri. Hj. Tutik Sri Suharti, SH., beralamat di Jalan Garuda No.
718, Kemayoran Jakarta Pusat sebagai Pengurus ;
-
Menetapkan Sidang Majelis Hakim pada hari : Kamis, tanggal 15 Agustus
2002 Jam 10.00 WIB di Gedung Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat ;
-
Memerintahkan Pengurus untuk memanggil Debitur dan para Kreditur untuk
datang menghadap pada hari sidang yang telah ditetapkan tersebut;
-
Menetapkan biaya pengurus dan imbalan jasa Pengurus akan ditentukan
kemudian setelah Pengurus melaksanakan tugas-tugasnya ;
-
Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.
5.000.000,- (lima juta) ;
Menimbang bahwa oleh Pemohon telah diserahkan Rencana Perdamaian
tertanggal 6 Agustus 2002, dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1) Bahwa kondisi pabrik sampai saat ini masih sangat layak untuk melakukan
aktifitasnya dengan kapasitas produksi 500 ton per hari dan melalui program
peningkatan kapasitas produksi pada kuartal ke -1 (satu) tahun 2003
diharapkan telah mampu menghasilkan gula rafinasi sebanyak 700 ton
per hari ;
2) Bahwa kebutuhan akan gula rafinasi oleh industri makanan dan minuman
dalam negeri yang mencapai 900.000 ton per tahun sementara produksi dalam
negeri hanya 150.000 ton per tahun (PT. BMS saat ini baru satu-satunya
produsen gula rafinasi di Indonesia) merupakan peluang bisnis yang sangat
cerah dan membuat gula rafinasi hasil produksi PT. BMS akan terserap habis
oleh pasar. Dengan demikian sangat memungkinkan bagi PT. BMS untuk
tetap mempertahankan kondisi pabrik terus beroperasi dan pada akhirnya akan
mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada para Kreditur ;
3) Bahwa
dengan
tetap
mempertahankan
operasional
pabrik
berarti
menghindarkan diri dari adanya pengangguran massal atas 400 orang
karyawan
(atau lebih dari 1000 jiwa termasuk keluarganya) yang
menggantungkan hidup dari PT. BMS ;
Menimbang, bahwa berdasarkan laporan Hakim Pengawas dan Pengurus
pada sidang tanggal 15 Agustus 2002, Pemohon telah mengajukan Rencana
perdamaian tertanggal 06 Agustus 2002, dan atas rencana tersebut, telah diadakan
lima kali rapat kreditur, terakhir tanggal 15 Agustus 2002 yaitu rapat kreditur
tentang pemungutan suara (voting) ;
Menimbang, bahwa pada persidangan tanggal 15 Agustus 2002, Majelis
Hakim telah menerima surat/laporan dari :
1) Hakim Pengawas berikut lampirannya : Berita Acara Rapat Kreditur tanggal
15 Agustus 2002, pada pokoknya mengatakan bahwa Rencana perdamaian
yang diajukan oleh Debitur dapat diterima oleh 9 Kreditur dari 11 Kreditur,
dimana ada 2 Kreditur yang tidak setuju ;
2) Pengurus berikut 8 (delapan) lampirannya, pada pokoknya mengatakan
Rencana Perdamaian oleh mayoritas Kreditur dan mohon untuk disahkan ;
3) Debitur/Pemohon, pada pokoknya memohon agar perdamaian disahkan , juga
telah didengar keterangan lisan ;
4) 9 (sembilan ) kreditur dari 11 (sebelas) Kreditur yaitu : PT. Bank Negara
Indonesia (Persero), PT. Saubahtera Samudra, PT. Forindoprima Perkasa, PT.
Multi Surindo, CV. Pundi Putrap Ratama, PT. Tjokroputra Pesada, PT. Upaya
Mandiri Sejahtera, PT. Simongan Plastik Factory, Cargil Internasional
SA pada pokoknya menerima Pengesahan Rencana Perdamaian ;
5) 2 (dua) Kreditur dari 11 (sebelas) Kreditur yaitu : PT. Bank CIC Internasional
Tbk., PT. Alindojaya Sembada pada pokoknya menolak Pengesahan Rencana
Perdamaian ;
Menimbang, bahwa dipersidangkan PT. Bank CIC Internasional, Tbk.,
dan PT. Alindojaya Sembada mengajukan keberatan yang pada pokoknya : telah
menjadi perselisihan tentang jumlah tagihan dari Kreditur yang bersangkutan ;
Menimbang, bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini maka segala
sesuatu yang terjadi dipersidangkan dan di catatan dalam Berita Acara Sidang,
dianggap telah dimasukkan dan merupakan bagian dari keputusan ini ;
Tentang Hukumnya
Menimbang bahwa isi permohonan Pemohon pada hakekatnya adalah agar
kepadanya dapat diberikan PKPU dengan maksud untuk mengajukan Rencana
Perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utangutangnya kepada Para Kreditur :
Menimbang, bahwa Pemohon/Debitur telah mengajukan Rencana
Perdamaian dan atas Rencana Perdamaian tersebut, telah diadakan voting oleh
pengurus yang dipimpin oleh Hakim Pengawas sesuai dengan tugas, wewenang
dan tanggung jawab masing-masing ;
Menimbang bahwa berdasarkan Laporan Pengurus , dan Hakim Pengawas
tertanggal 15 Agustus 2002, dari hasil voting tersebut, yang dihitung berdasarkan
Pasal 256 Undang-undang nomor 4 Tahun 1998 jo. Perpu No. 1 Tahun 1998
tentang Kepailitan selanjutnya disebut Undang-undang Kepailitan (UUK),
Pengurus dan Hakim Pengawasan sesuai dengan kewenangan yang ada padanya
berpendapat bahwa mayoritas Kreditur menyetujui atau menerima Rencana
Perdamaian ;
Menimbang , bahwa hasil voting tersebut adalah sebagai berikut :
–
Kreditur yang hadir 11 dengan jumlah tagihan Rp. 259.465.941.270,- (dua
ratus lima puluh sembilan milyar empat ratus enam puluh lima juta sembilan
ratus empat puluh satu ribu dua ratus tujuh puluh rupiah (=100 %) ;
–
Kreditur yang menerima/setuju Rencana Perdamaian 9, dengan jumlah
tagihan Rp. 236.383.118.857,- (dua ratus tiga puluh enam milyar tiga ratus
delapan puluh tiga juta
seratus dua puluh dua ribu tujuh ratus rupiah)
(=91,10%) ;
–
Kreditur yang tidak menerima/tidak setuju Rencana Perdamaian 2, dengan
jumlah tagihan Rp. 23.082.822.700,- (dua puluh tiga milyar delapan puluh dua
juta delapan ratus dua puluh dua ribu tujuh ratus rupiah) (=8,90%) ;
Menimbang, bahwa karena mayoritas Kreditur menerima Rencana
Perdamaian, maka rencana Perdamaian berubah menjadi Perjanjian Perdamaian ;
Menimbang, bahwa Perjanjian Perdamaian yang diterima oleh Mayoritas
Kreditur tersebut dan telah ditandatangani oleh Kreditur yang menerima, Debitur
dan diketahui/disaksikan oleh Hakim Pengawas dan Pengurus, adalah Perjanjian
Perdamaian tenggal 15 Agustus 2002 ;
Menimbang, bahwa karena Rencana Perdamaian yang diajukan oleh
Pemohon dapat diterima oleh mayoritas Kreditur, maka menurut Pasal 269 ayat
(1) Undang-undang Kepailitan no. 4 tahun 1998 jo. Perpu No. 1 Tahun 1998,
Perjanjian Perdamaian tersebut dapat disahkan oleh Pengadilan;
Menimbang, bahwa akan tetapi sebelum Majelis Hakim memberikan
putusan Pengesahan Perjanjian Perdamaian, perlu dipertimbangkan apakah ada
alasan-alasan untuk menolak pengesahan seperti yang dikemukakan oleh Kreditur
yang menolak pengesahan, sebagaimana diatur secara limitative dalam Pasal 269
ayat (2) huruf a sampai dengan d Undang-undang Kepailitan No. 4 Tahun 1998
jo. Perpu No. 1 tahun 1998 ;
Menimbang, bahwa Pasal 269 ayat (2) Undang-undang Kepailitan No. 4
tahun 1998 jo. Perpu no. 1 tahun 1998, mengatakan : (2) Pengadilan hanya dapat
menolak untuk melakukan pengesahan perdamaian, apabila :
1) Harta debitur, termasuk barang-barang untuk mana dilaksanakan hak retensi
jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian ;
2) Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin ;
3) Perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau sekongkol dengan satu atau
lebih kreditur, atau karena pemakaian upaya-upaya lain yang tidak jujur dan
tanpa menghiraukan apakah Debitur atau pihak lain bekerjasama untuk
mencapai hal ini ;
4) Imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh para ahli dan pengurus belum
dibayar atau tidak dibayar.
Menimbang, bahwa kreditur PT. Bank CIC Internasional Tbk., PT.
Alindojaya Sembada dalam persidangan mengajukan keberatan tentang rencana
perdamaian dengan alasan telah terjadi perselisihan tentang jumlah tagihan dari
Kreditur yang bersangkutan oleh karena itu, alasan keberatan PT. Bank CIC
Internasional Tbk., dan PT. Alindojaya Sembada tersebut dengan tidak memenuhi
unsur pasal 269 (2) Undang-undang Kepailitan nomor 4 tahun 1998 tersebut oleh
karena itu juga keberatan tersebut harus dinyatakan tidak beralasan dan harus pula
ditolak ;
Menimbang, bahwa oleh karena keberatan PT. Bank CIC Internasional
Tbk., PT. Alindojaya Sembada harus ditolak, maka tidak ada alasan untuk tidak
mengabulkan pengesahan perjanjian perdamaian tertanggal 15 Agustus 2002 ;
Menimbang, bahwa mengenai imbalan jasa Pengurus, karena belum ada
pengajuan hitungan dari Pengurus dan Hakim Pengawas, maka akan ditetapkan
kemudian sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.: M.09–
HT.05.10 Tahun 1998 ;
Menimbang, bahwa mengenai ongkos perkara, sudah selayaknya
dibebankan kepada Pemohon ;
Memperhatikan : Pasal 265, 269 dan 273 UU no. 4 Tahun 1998 dan
peraturan perundang-undangan lainnya yang ada kaitannya dengan perkara ini :
Memutuskan :
–
Menyatakan Perjanjian Perdamaian tertanggal 15 Agustus 2002 yang dibuat
dan ditandatangani oleh Pemohon Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU) PT. BERNAS MADU SARI (BMS) dan para Krediturnya adalah sah
dan mengikat ;
–
Menghukum Pemohon Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan
para krediturnya untuk mentaati Perjanjian Perdamaian yang telah disepakati
tersebut ;
–
Menyatakan imbalan Jasa pengurus ditetapkan kemudian sesuai dengan Surat
Keputusan Menteri Kehakiman No. M.09–HT.05.10 Tahun 1998 ;
–
Menghukum Pemohon membayar ongkos perkara yang hingga kini ditaksir
sebesar Nihil;
3. Perdamaian dalam PKPU Murni
a. Sebagai Debitor, Djumharbey Anwar yang kedudukannya sebagai Direktur
Utama PT Perusahaan dagang dan industri Ometraco telah mengajukan
Permohonan PKPU (murni) kepada Pengadilan Niaga Di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat yang terdaftar dengan Nomor 015/PKPU/2000/PN. Niaga.Jkt.Pst.
Berdasarkan permohonan tersebut Pengadilan Niaga tersebut telah memutuskan
dengan menyatakan sah dan berlaku serta mengikat Perdamaian antara Debitor
(Pemohon PKPU) dengan seluruh Kreditornya sebagaimana tertuang dalam
Perjanjian Perdamaian tertanggal 25 September 2000. Dengan demikian
Pengadilan Niaga tersebut telah menyatakan berakhir PKPU dan menghukum
Debitor (Pemohon PKPU) dan seluruh Kreditor yang bersangkutan untuk tunduk
dan mematuhi dan melaksanakan isi Perdamaian yang dimaksud, dan Putusan
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
Putusan Nomor 015/PKPU/2000/PN. Niaga.Jkt.Pst. tertanggal 28 September
2000. 433
Kasus Posisi :
Djumharbey Anwar, pekerjaan Direktur utama PT Perusahaan dagang dan
industri Ometraco, beralamat di Wisma PEDE, Lt.3, jln. MT. Haryono kav. 17,
Jakarta Selatan, dalam hal ini diwakili oleh kuasanya Suria Nataatmadja, SH dkk,
Pengacara/Advokat, Kantor Hukum Suria Nataatmadja & Associates di Jln.
Malaka Nomor 19D Jakarta, sebagai Pemohon PKPU, telah mengajukan
permohonan dengan alasan-alasan sebagai berikut :
a. Pemohon PKPU adalah Perusahaan induk (holding company) yang utama
usahanya adalah melakukan investasi dan atau penyertaan pada perusahaan
lain ;
433
Himpunan Putusan-putusan pengadilan Niaga, Depkeh dan HAM RI Dirjen Badan
Peradilan Umum dan TUN, Jakarta, 2001, h. 49–62
b. Bahwa Pemohon PKPU memiliki utang kepada para kreditur sebagaimana
diuraikan dalam daftar Kreditur Pemohon PKPU yang menyatakan nama,
jumlah utang pokok, tanggal jatuh tempo dan alamat dari masing-masing
kreditur Pemohon PKPU (Bukti P–1) ;
c. Bahwa Pemohon PKPU memiliki harta kekayaan (aktiva) berupa uang tunai,
deposito, surat berharga dan penyertaan, tagihan, bangunan dan mobil, satu
dan lain sebagaimana tercantum dalam Bukti P-2 ;
d. Bahwa posisi keuangan Perseroan Pemohon PKPU adalah sebagaimana
diuraikan dalam Neraca Pembukuan pasiva dan Aktiva tertanggal 30 Juni
2000 dan nilai harta kekayaan Pemohon PKPU adalah sebesar Rp.
56.111.712.566,- (Bukti P-3) ;
e. Bahwa mengingat keadaan ekonomi sebagai akibat dari masa krisis moneter
yang berkepanjangan dan hasil dari kegiatan usaha Pemohon PKPU pada saat
ini yang tidak dapat diharapkan, maka Pemohon PKPU merasa tidak akan
melanjutkan
pembayaran
atas
utang-utangnya
dan
karenanya
pada
kesempatan ini mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang ;
f. Bahwa Pemohon PKPU sedang mempersiapkan rencana perdamaian untuk
diajukan kepada para kreditur dalam waktu dekat ;
g. Bahwa pada kesempatan ini pula Pemohon PKPU mohon agar Ketua
Pengadilan Niaga pada Pengadilan negeri Jakarta Pusat mengangkat Majelis
Hakim yang ada pada Pengadilan Niaga yang akan memeriksa dan memutus
perkara Permohonan PKPU ini ;
h. Bahwa untuk memenuhi ketentuan Pasal 214 dari Undang-Undang Kepailitan
No. 4 Tahun 1998, kami mmohon agar Pengadilan dapat menunjuk seorang
pengurus yaitu Drs. Ken Bernadi dari Kantor Akuntan Publik Drs. Bernadi &
Rekan, jalan Cikini Raya No. 9. Jakarta Pusat, yang telah terdaftar di
Direktorat Hukum dan Perundang-Undangan Republik Indonesia No. C–
HT.05.1422 Tahun 1999 tanggal 30 Maret 1999, sebagai pengurus dari
Pemohon PKPU;
Berdasarkan alasan-alasan dan bukti tersebut, Pemohon PKPU mohon
kepada Yang Terhormat Ketua Pengadilan Niaga pada Pengadilan negeri Jakarta
Pusat, agar berkenan memeriksa dan memutuskan sebagai berikut :
a. Mengabulkan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Pemohon PKPU;
b. Menetapkan dan menunjuk Majelis Hakim Niaga yang ada pada Pengadilan
Niaga;
c. Menunjuk Hakim Pengawas.
d. Mengangkat Drs. Ken Bernadi dari Kantor Akuntan Publik Drs. Bernadi &
Rekan, sebagai Pengurus dari Pemohon PKPU ;
atau : mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono) ;
Menimbang, bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut di atas,
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan putusan Nomor :
015/PKPU/2000/PN. Niaga/Jkt.Pst., tanggal 8 Agustus 2000 telah menjatuhkan
putusan, yang amarnya berbunyi sebagai berikut :
ISI PUTUSAN :
1) Mengabulkan Penundaan sementara Kewajiban Pembayaran Utang yang
diajukan oleh Pemohon P.T. Perusahaan Dagang & Industri Ometraco,
disingkat P.T. Ometraco, beralamat di Wisma Pede, lantai 3, jalan MT.
Haryono Kav. 17 Jakarta Selatan.
2) Menunjuk Mahdi Soroinda Nasuition, S.H. Hakim Niaga pada Pengadilan
negeri Jakarta Pusat sebagai Hakim Pengawas.
3) Mengangkat Drs. Ken Bernadi dari Kantor Akuntan Publik Drs. Bernadi &
Rekan, Jalan Cikini Raya No. 9 Jakarta pusat sebagai Pengurus yang bersama
dengan debitur mengurus harta debitur.
4) Menetapkan hari persidangan berikutnya pada hari Kamis, tanggal 21
September 2000, pukul 10.00 WIB bertempat di ruangan sidang Pengadilan
Negeri/Niaga Jakarta Pusat di Jalan Gajah Mada No. 17 Jakarta pusat.
5) Memerintahkan Pengurus untuk memanggil debitur dan para kreditur yang
dikenal dengan surat tercatat atau melalui kurir untuk menghadap dalam
persidangan pada hari yang ditetapkan dalam dictum pada angka 4 di atas.
6) Menangguhkan penentuan besarnya biaya pengurusan harta debitur termasuk
imbalan jasa bagi Pengurus sampai dengan berakhirnya tugas kepengurusan
yang dilakukan oleh Pengurus.
7) Menangguhkan putusan mengenai ongkos perkara sampai dengan berakhirnya
Penundaan Kewajiban Pembayaran utang (PKPU).
Menimbang, bahwa pada hari persidangan sebagaimana ditetapkan dalam
amar putusan angka 4 tersebut diatas, hadir Hakim Pengawas dan juga Pengurus;
Menimbang, bahwa untuk debitur hadir Djumharbey Anwar dalam
jabatannya selaku Direktur Utama P.T. Ometraco didampingi oleh kuasa
hukumnya yang sah bernama P. Heru Tumbelaka, S.H ;
Menimbang, bahwa kreditur yang hadir dalam persidangan adalah masingmasing kuasa hukum yang sah dari :
1. BADAN PENYEHATAN PERBANKKAN NASIONAL (BPPN).
2. BCA–SURABAYA
3. BANK DANAMON JAKARTA
4. BANK BUMI DAYA SURABAYA
5. BII–JAKARTA.
6. P.T. ABDI GUNA KARYA GEMILANG.
7. EASTUEST VENTURE LIMITED.
8. LEXOR CLUB LIMITED.
9. YORRICK HOLDING LIMITED.
10. SEEWILL INTERNATIONAL LIMITED.
11. WAN LIN ASSETS LIMITED.
12. P.T. ARSI BINA VENTURINDO.
13. TYPEDEEP ENTERPRISE LIMITED.
Menimbang,
bahwa
dalam
Persidangan
Hakim
Pengawas
telah
menyampaikan laporan ;
Menimbang, bahwa dalam laporannya tersebut pada pokoknya Hakim
Pengawas melaporkan, hal-hal sebagai berikut :
a. Jumlah seluruh kreditur : 13.
b. Kreditur yang hadir : 12, yang tidak hadir : BPN Singapura.
c. Kreditur yang menerima : 10 dengan jumlah suara : 34.221 suara.
d. Kreditur yang menolak : 2 dengan jumlah suara : 9.815 suara.
e. Hasil voting menunjukkan bahwa mayoritas kreditur atau lebih dari 2/3 dari
seluruh tagihan menerima rencana Perdamaian yang diusulkan Pemohon
PKPU.
Menimbang, bahwa selanjutnya Pengurus menyampaikan laporannya
dalam persidangan ;
Menimbang, bahwa isi pokok laporan Pengurus adalah bahwa voting atau
pemungutan suara terhadap rencana Perdamaian yang diajukan debitur telah
dilaksanakan dalam rapat kreditur dibawah pimpinan Hakim Pengawas yang
diselenggarakan pada tanggal 20 September 2000;
Menimbang, bahwa dalam laporan tersebut, Pengurus mengemukakan
bahwa hasil voting, adalah sebagai berikut :
a. Yang menyetujui rencana perdamaian yang diajukan debitur sebanyak 8
(delapan) Kreditur.
b. Yang tidak menyetujui rencana perdamaian sebanyak 3 (tiga) Kreditur.
Menimbang, bahwa laporan Hakim Pengawas dan laporan Pengurus
beserta lampiran-lampirannya terlampir dalam Berita Acara Sidang yang
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan putusan ini.
Menimbang, bahwa tidak ada bantahan atau pernyataan berkeberatan yang
diajukan dalam persidangan baik oleh debitur maupun para kreditur yang hadir
terhadap laporan Hakim Pengawas dan juga terhadap laporan Pengurus.
Menimbang, bahwa untuk mempertegas hal diatas khususnya yang
berkaitan dengan hasil yang dilaporkan baik oleh Hakim Pengawas maupun
Pengurus, Hakim Ketua Majelis meminta tanggapan dari Para Kreditur;
Menimbang, bahwa dari tanggapan yang disampaikan oleh para kreditur
dalam persidangan dihubungkan dengan laporan Pengurus dan Hakim Pengawas
antara lain dapat diketahui bahwa Kreditur-Kreditur yang menyetujui usul
perdamaian yang diajukan oleh Debitur adalah :
1. TYPEDEEP ENTERPRISES Limited,
dengan jumlah tagihan
= Rp.
8.758.725.000,-
= Rp.
116.742.500.000,-
= Rp.
21.725.000.000,-
= Rp.
39.125.000.000,-
= Rp.
26.075.000.000,-
= Rp.
9.410.222.000,-
= Rp.
41.991.080.000,-
= Rp.
78.383.920.000,-
2. SEEWELL INTERNATIONAL Limited,
dengan jumlah tagihan
3. P.T. ARSI BINA VENTURINDO,
dengan jumlah tagihan
4. YORRICK HOLDING Limited,
dengan jumlah tagihan
5. WAN LIN ASSETS Limited,
dengan jumlah tagihan
6. LEXOR CLUB Limited,
dengan jumlah tagihan
7. P.T. ABDI GUNA KARYA GEMILANG,
jumlah tagihan
8. EASTVEST VENTURE Limited,
dengan jumlah tagihan
Jumlah tagihan
= RP.
342.221.447.000,-
Menimbang, bahwa selain hal diatas dapat pula diketahui bahwa Kreditur
yang tidak menyetujui usul perdamaian yang diajukan oleh Debitur adalah :
1. BPPN/BCA, dengan
jumlah tagihan sebesar
= Rp.
50.557.087.096,-
= Rp.
26.384.663.531,-
= Rp.
21.306.328.978,-
= Rp.
98.248.079.605,-
2. BPPN/Bank Danamon,
jumlah tagihan sebesar
3. BII, dengan jumlah tagihan sebesar
Jumlah tagihan
Menimbang, bahwa usul perdamaian yang telah disetujui oleh 8 (delapan)
kreditur dari 11 (sebelas) yang mengikuti voting dituangkan kedalam Perjanjian
Perdamaian tertanggal 25 September 2000 dan ditandatangani oleh para Kreditur
yang telah menyetujuinya;
Menimbang, bahwa perjanjian perdamaian tersebut dengan beberapa
lampiran diserahkan kepada Majelis Hakim dan terlampir dalam Berita Acara
sidang;
Menimbang, bahwa selanjutnya untuk segala sesuatu yang terjadi dalam
persidangan telah dicatat seluruhnya dalam Berita Acara Sidang yang merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari putusan ini;
Tentang Hukumnya :
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah agar
Pengadilan Niaga pada Pengadilan negeri Jakarta Pusat mengabulkan
permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) bagi Pemohon ;
Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 212 Undang-Undang No. 4 Tahun
1998, pemberian PKPU tersebut dimaksudkan pada umumnya untuk mengajukan
rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagaian
utang kepada kreditur konkuren;
Menimbang,
bahwa
permohonan
Pemohon
tersebut
diatas
telah
dikabulkan oleh pengadilan sesuai ketentuan Pasal 214 ayat 2 Undang-undang no.
4 Tahun 1998, dengan Putusan Nomor 015/PKPU/2000/PN. Niaga.Jkt.Pst.,
tanggal 8 Agustus 2000, yang dalam amarnya, pada pokoknya pengadilan
mengabulkan Penundaan sementara Kewajiban Pembayaran utang untuk
Pemohon;
Menimbang, bahwa berkaitan dengan permohonannya ini, Pemohon telah
mengajukan rencana perdamaian (usulan penyelesaian utang P.T. Ometraco
(Revised) tertanggal 8 September 2000, terlampir didalamnya daftar aktiva dan
perincian utang P.T. OMETRACO;
Menimbang, bahwa sesuai laporan Pengurus dan Hakim Pengawas
pengajuan tagihan Para Kreditur (Konkuren) dari Debitur (Pemohon PKPU) telah
diterima oleh Pengurus, untuk itu telah pula diadakan pencocokan (verifikasi)
dalam rapat-rapat yang dipimpin oleh Hakim Pengawas;
Menimbang, bahwa dalam laporan Pengurus tercantum besarnya tagihan
para kreditur dengan hak suara yang dimiliki oleh masing-masing Kreditur itu;
Menimbang, bahwa telah dilaporkan juga bahwa rencana perdamaian yang
diusulkan oleh debitur seperti tersebut diatas sudah dibicarakan dan terhadap
rencana perdamaian itu telah dilakukan pemungutan suara (voting) dalam rapat
Kreditur yang dipimpin Hakim Pengawas ;
Menimbang, bahwa khusus yang menyangkut voting tersebut diatas, para
Kreditur yang hadir dalam persidangan telah pula memberikan keterangan dan
tanggapannya masing-masing ;
Menimbang, bahwa rencana perdamaian yang telah dituangkan kedalam
perjanjian perdamaian dan yang telah ditandatangani oleh Kreditur-Kreditur yang
menyetujuinya diajukan dalam persidangan ;
Menimbang, bahwa berdasar laporan Hakim Pengawas, laporan Pengurus,
tanggapan Para Kreditur dan Debitur serta perjanjian perdamaian yang telah
ditandatangani tersebut diatas yang satu dan yang lainnya saling bersesuaian,
terbukti bahwa hasil voting yang telah dilaksanakan di bawah pimpinan Hakim
Pengawas terhadap usul perdamaian yang diajukan oleh Debitur adalah sebagai
berikut :
1. Kreditur Konkuren yang hadir dalam rapat kreditur dan ikut voting yang juga
hadir dalam sidang Majelis Hakim pada tanggal 21 September 2000 adalah :
1. BCA/BPPN, dengan jumlah tagihan sebesar Rp. 50.557.087.096,- (hak
suara :5.056);
2. Bank
Danamon/BPPN
dengan
jumlah
tagihan
sebesar
Rp.
26.384.663.531,- (hak suara : 2.638);
3. BII, dengan jumlah tagihan sebesar Rp. 21.306.328.978,- (hak suara :
2.131);
4. P.T. Abdi Guna Karya Gemilang, dengan jumlah tagihan sebesar Rp.
41.991.080.000,- (hak suara : 4.199);
5. Eastvest
Venture
Limited,
dengan
jumlah
tagihan
sebesar
Rp.
78.383.920.000,- (hak suara : 7.838);
6. Lexor Club Limited, dengan jumlah tagihan Rp. 9.410.222.000,- (hak
suara : 941);
7. Yorrick
Holding
Limited,
dengan
jumlah
tagihan
sebesar
Rp.
39.125.000.000,- (hak suara : 3.913);
8. Seewell International Limited, dengan jumlah tagihan sebesar Rp.
116.742.500.000,- (hak suara : 114.674);
9. Wan Lin Assets Limited, dengan jumlah tagihan sebesar Rp.
26.075.000.000,- (hak suara : 2.608);
10. P.T. Arsi Bina Venturindo, dengan jumlah tagihan sebesar Rp.
21.725.000.000,- (hak suara : 2.173);
11. Typedeep Enterprises Limited, dengan jumlah tagihan sebesar Rp.
8.758.725.000,- (hak suara: 876).
2. Dari 11 (sebelas) Kreditur tersebut diatas, yang menyetujui usul perdamaian
dari debitur, sebanyak 8 (delapan) Kreditur dengan total jumlah tagihan yang
diakui seluruhnya sebesar Rp. 342.211.447.000,- (tiga ratus empat puluh dua
milyar dua ratus sebelas juta empat ratus empat puluh tujuh ribu rupiah),
Kreditur-Kreditur yang menyetujui usulan perdamaian dimaksud disini adalah
Kreditur-Kreditur yang menyetujui usulan perdamaian dimaksud disini adalah
Kreditur-Kreditur pada angka 1.(4) sampai dengan (11) tersebut diatas.
3. Dari 11 (sebelas) Kreditur tersebut diatas, yang tidak menyetujui usul
perdamaian dari Debitur adalah sebanyak 3 (tiga) kreditur dengan total jumlah
tagihan seluruhnya sebesar Rp. 98.248.0796.605,- (sembilan puluh delapan
milyar dua ratus empat puluh delapan juta tujuh puluh sembilan ribu enam
ratus lima rupiah); Kreditur-Kreditur yang tidak menyetujui usulan
perdamaian yang dimaksud disini adalah kreditur tersebut pada angka 1(1).(2)
dan (3) tersebut diatas.
Menimbang, bahwa harus dipertimbangkan berikut ini apakah berdasar
hasil voting tersebut diatas, usul perdamaian yang diusulkan oleh debitur telah
memenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-undang sebagai rencana
perdamaian yang dapat diterima;
Menimbang, bahwa Pasal 78 ayat 1 Undang-Undang No. 4 tahun 1998
menentukan : bahwa segala putusan rapat Kreditur ditetapkan berdasarkan
ketentuan Pasal 78 ayat 1, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini;
Menimbang, bahwa ternyata untuk pengambilan putusan dalam rapat
kreditur yang berkaitan dengan rencana perdamaian, Undang-Undang No.4 Tahun
1998 telah menentukan lain, yaitu seperti ditentukan oleh Pasal 265 ayat 1;
Menimbang, bahwa oleh karena tentang diatas, Undang-Undang No. 4
tahun 1998 telah menentukan lain dari yang ditentukan oleh Pasal 78 ayat 1
Undang-Undang No. 4 tahun 1998, maka untuk menetapkan apakah rencana
perdamaian yang diusulkan oleh debitur tersebut diatas termasuk katagori dapat
diterima atau tidak, harus didasarkan atas ketentuan Pasal 265 ayat 1 Undang-
Undang No. 4 tahun 1998, bukan pasal 78 ayat 1 Undang-Undang No. 4 Tahun
1998 Jo. Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 1998 tanggal 13 Nopember 1998;
Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 265 ayat 1 Undang-Undang No. 4
Tahun 1998, rencana perdamaian dapat di terima apabila disetujui oleh lebih dari
½ (satu per dua) Kreditur Konkuren yang haknya di akui atau sementara di akui
yang hadir pada rapat permusyawaratan hakim sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 252 termasuk Kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 264, yang
bersama-sama mewakili paling sedikit 2/3 (dua per tiga) bagian dari seluruh
tagihan yang di akui dari Kreditur Konkuren diatas dihubungkan dengan
ketentuan pasal 265 ayat 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, Majelis
berpendapat bahwa rencana perdamaian yang diusulkan oleh Debitur (Pemohon
PKPU) telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Pasal 265 ayat 1 UndangUndang No. 4 tahun 1998 sebagai rencana perdamaian yang dapat diterima;
Bahwa hasil voting menunjukkan bahwa rencana perdamaian telah
disetujui oleh lebih dari ½ (satu per dua) Kreditur Konkuren atau kuasanya yang
hadir dalam rapat yang piutangnya diakui. (di setujui oleh delapan dari sebelas
Kreditur);
Bahwa, jumlah seluruh piutang dari Kreditur-Kreditur yang menyetujui
rencana perdamaian tersebut secara bersama-sama telah mewakili lebih dari 2/3
bagian dari seluruh tagihan yang di akui dari Kreditur Konkuren atau kuasanya
yang hadir dalam rapat tersebut;
Bahwa, hal diatas terbukti dari hasil voting yang menunjukkan bahwa total
tagihan yang di akui dari seluruh Kreditur Konkuren yang hadir dalam rapat
adalah sebesar Rp. 440.459.526.605,- (empat ratus empat puluh milyar empat
ratus lima puluh sembilan juta lima ratus dua puluh enam ribu enam ratus lima
rupiah), sedang total tagihan yang di akui dari para Kreditur konkuren yang hadir
dalam rapat dan “yang menyetujui” rencana perdamaian adalah sebesar
Rp. 342.221.447.000,- (tiga ratus empat puluh dua milyar dua ratus sebelas juta
empat ratus empat puluh tujuh ribu rupiah);
Menimbang, bahwa rencana perdamaian (usulan penyelesaian utang P.T.
Ometraco) yang menurut hukum telah dapat di terima telah dituangkan kedalam
bentuk Perjanjian Perdamaian tertanggal 25 September 2000 dan ditandatangani
oleh Debitur (Pemohon PKPU) serta para Kreditur yang menyetujuinya;
Menimbang, bahwa Pasal 269 ayat 1 Undang-Undang No. 4 tahun 1998,
mewajibkan pengadilan memberikan putusan mengenai pengesahan terhadap
perdamaian tersebut.
Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan putusan mengenai pengesahan
mengenai perdamaian akan diteliti lebih dahulu apakah dalam perdamaian ini
terdapat hal-hal yang mengharuskan pengadilan untuk menolak pengesahan
perdamaian sebagaimana diuraikan oleh Pasal 269 ayat 2 Undang-Undang no. 4
Tahun 1998;
Menimbang, bahwa ternyata hal-hal yang diuraikan dalam Pasal 269 ayat
2 UU No. 4 Tahun 1998 khususnya yang diuraikan pada huruf a, huruf b, dan
huruf c tidak terbukti adanya dalam Persidangan;
Menimbang, bahwa tentang imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh
para ahli dan pengurus seperti yang diuraikan dalam Pasal 269 ayat 2 huruf d,
tidak dipermasalahkan oleh Pengurus karena Debitur (Pemohon PKPU) berjanji
akan memenuhinya sesuai yang akan ditetapkan oleh Majelis Hakim;
Menimbang, bahwa berdasar pertimbangan diatas tidak ada alasan yang
sah menurut hukum untuk menolak mengesahkan perdamaian yang telah dicapai
dalam permohonan PKPU ini, oleh karena itu dan dengan berlandaskan kepada
ketentuan Pasal 269 ayat 1 Undang-Undang no. 4 Tahun 1998, pengadilan wajib
memberikan putusan mengenai pengesahannya;
Menimbang, bahwa dengan adanya putusan pengesahan perdamaian maka
secara hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) menjadi
berakhir;
Menimbang,
bahwa
dengan
berakhirnya
Penundaan
Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU) maka dalam putusan ini pengadilan harus
menetapkan biaya permohonan PKPU ini yang besarnya akan disebutkan nanti
dalam amar putusan ini;
Menimbang, bahwa tentang imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh
Pengurus sehubungan dengan tugas kepengurusan ini akan ditetapkan kemudian
dengan sebuah penetapan tersendiri setelah ada permintaan dari Pengurus dan
tanggapan Hakim Pengawas atas permintaan itu;
Mengingat ketentuan Pasal 265, Pasal 268 dan ketentuan Pasal 269 ayat 1
dan ayat 2 Undang-Undang No. 4 tahun 1998 serta ketentuan-ketentuan lain yang
bersangkutan;
Memutuskan :
1. Menyatakan perdamaian yang tertuang dalam Perjanjian Perdamaian
tanggal 25 September 2000 dan yang ditandatangani oleh Debitur
Pemohon PKPU P.T. OMETRACO serat ditandatangani pula oleh 8
(delapan) Krediturnya sah dan mengikat.
2. Menyatakan Penundaan Kewajiban pembayaran Utang (PKPU) ini demi
hukum berakhir.
3. Menghukum Debitur atau Pemohon Penundaan Kewajiban pembayaran
Utang (Pemohon PKPU) dan seluruh Kreditur-Krediturnya tunduk dan
mematuhi serta melaksanakan isi perdamaian tersebut.
4. Menghukum Debitur atau Pemohon Penundaan Kewajiban pembayaran
Utang (Pemohon PKPU) untuk membayar biaya permohonan ini sebesar
Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).
5. Menyatakan besarnya biaya pengurusan harta Debitur termasuk imbalan
jasa bagi Pengurus akan ditetapkan kemudian dengan penetapan tersendiri.
b. PT Sekar Laut. Tbk berkedudukan di Surabaya, dijalankan oleh Harry
Sunogo, Direktur Utama PT Sekar Laut Tbk, dalam hal ini diwakili oleh kuasanya
Iwan Kuswardi, Advokat, selanjutnya disebut sebagai Pemohon PKPU terhadap :
1. BNP Paribas, Singapore
2. Omnistar Investment Holding Limited, Singapore
3. Shadforth Agents Limited, Singapore
4. Malvina Investment Limited, Singapore
5. KP2LN Jakarta III, Jalan Prapatan no. 10 Jakarta
PT Sekar Laut Tbk, sebagai debitor telah mengajukan peramohonan PKPU
dengan melampirkan Rencana Perdamaian terhadap para kreditornya nomor 1 s/d
5 tersebut diatas. Pengadilan Niaga Surabaya dalam Putusan Nomor 08
PKPU/2005/PN Niaga Sby, telah mengabulkan permohonan PKPU dari Pemohon
untuk sementara yakni selama 45 (empat puluh lima) hari sejak putusan
diucapkan. Setelah mendengar debitor (pemohon PKPU), laporan Hakim
Pengawas dan Pengurus, dan telah membaca Rencana Perdamaian tertanggal 21
September 2005, maka pada sidang berikutnya pada tanggal 22 september 2005
Pengadilan Niaga Surabaya telah menjatuhkan putusan yang isinya mengesahkan
Perjanjian Perdamaian tertanggal 21 September 2005 yang dibuat dan ditanda
tangani oleh Pemohon sebagai Pihak Pertama dan Para Kreditor 1 s/d 5 sebagai
pihak kedua.
Perjanjian Perdamaian Nomor 08 PKPU/2005/PN Niaga Sby tanggal 21
September 2005 isinya adalah sebagai berikut : 434
Pihak pertama adalah Pemohon dalam permohonan PKPU yang diajukan
di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya dengan register
Nomor 08 PKPU/2005/PN Niaga Sby.
Pihak kedua adalah advokat yang ditunjuk berdasarkan Surat Kuasa
Khusus, kuasa mana memberikan wewenang kepadanya untuk
memberikan hak suara, memberikan persetujuan Rencana Perdamaian
maupun Perdamaian yang ditawarkan oleh pihak pertama kepada para
kreditornya.
Pihak pertama dan Pihak kedua telah saling sepakat untuk
menandatangani Perdamaian ini yang merupakan peningkatan dari
Rencana Perdamaian I maupun Rencana Perdamaian II yang telah
diterima oleh Pihak kedua yang disampaikan secara lisan dalam Rapat
Kreditor tanggal 13 September 2005.
Bahwa pihak pertama dan PT Pangan Lestari sebagai Debitor baik sendiri
maupun bersama-sama dalam Perdamaian ini mengaku dan mengikatkan
434
Salinan Putusan Nomor 08/PKPU/2005/PN Niaga Sby, diperoleh dari Kepaniteraan
Pengadilan Niaga Surabaya.
diri kepada prinsipal dari pihak kedua sebagai kreditor sindikasi jika
masing-masing mempunyai utang kepada Omnistar Invesment Holdings
Lilimted, Shadforth Agents Limited, Malvina Investments Limited,
pengakuan dan pengikatan diri dari Pihak Pertama dibenarkan oleh Pihak
Kedua yang secara lisan telah diberikan dihadapan Hakim Pengawas
maupun Pengurus PT Sekar Laut Tbk pada Rapat Kreditor tanggal 13
September 2005 dengan perincian jumlah utang pokok sebagai berikut :
1. Omnistar Invesment Holdings Lilmited sebesar USD 8.362.350,2. Shadforth Agents Limited sebesar USD 6.504.050,3. Malvina Investments Limited sebesar USD 8.362.350,Bahwa disamping kreditor sindikasi diatas, Pihak Pertama juga mengaku
dan mengikatkan diri kepada anggota sindikasi yang lain sekaligus juga
Agen dari kreditor sindikasi yakni BNP Paribas Singapore Branch, Tung
centre 20 Collyer Quay, Singapore 049319 jika pihak pertama mempunyai
utang pokok kepada BNP Paribas Singapore Branch sebesar USD
4.645.750,- pengakuan dan pengikatan diri ini telah dituangkan serta
disampaikan dalam Rencana Perdamaian I Maupun Rencana Perdamaian
II yang diajukan dihadapan Hakim Pengawas dan Pengurus PT Sekar Laut
Tbk dalam rapat kreditor tanggal 05 September 2005 dan tanggal 13
September 2005. Bahwa pihak pertama juga mengaku mengikatkan diri
kepada PT Bank Negara Indonesia Tbk. qq KP2LN Jakarta III Jln.
Prapatan 10 Jakarta jika mempunyai utang sebesar Rp. 54.308.354.325,pengakuan dan pengikatan diri ini telah dituangkan dan disampaikan
dalam Rencana Perdamaian I maupun Rencana Perdamaian II yang
diajukan dihadapan Hakim Pengawas dan Pengurus PT Sekar Laut Tbk
dalam rapat kreditor tanggal 05 September 2005 dan tanggal 13
September 2005.
Bahwa pada saat Pengurus PT Sekar Laut Tbk mengundang para kreditor
yang dikenal maupun yang tidak dikenal dari Pihak pertama untuk hadir
dalam rapat kreditor guna mengajukan dan memverifikasi piutangnya,
BNP Paribas Singapore Branch, Tung centre 20 Collyer Quay, Singapore
sebagai kreditor sindikasi yang dikenal Pengurus PT Sekar Laut Tbk
sekalipun telah dipanggil secara patut, tidak hadir dan tidak pula
mengirimkan wakilnya guna hadir dalam rapat kreditor tanggal 05
September 2005 maupun rapat kreditor tanggal 13 September 2005.
Bahwa PT Bank Negara Indonesia Tbk. qq KP2LN Jakarta III Jln.
Prapatan 10 Jakarta pada saat rapat kreditor pertama tanggal 05 September
2005 hadir dan memberikan penjelasan melalui surat tertanggal 29
Agustus 2005 Nomor S-1465/WPL.03/KP.03/2005 dengan isi
sebagaimana lampiran I dalam lembar lampiran yang menjadi satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dari Perdamaian ini, sedang pada rapat
kreditor yang kedua PT Bank Negara Indonesia Tbk. qq KP2LN Jakarta
III Jln. Prapatan 10 Jakarta tidak hadir dan tidak pula mengirimkan
wakilnya.
Bahwa pihak pertama menyelesaikan seluruh kewajiban utangnya kepada
Omnistar Invesment Holdings Lilimted, Shadforth Agents Limited,
Malvina Investments Limited, dan BNP Paribas Singapore Branch dengan
cara melakukan Restrukturisasi melalui permohonan PKPU Nomor 08
PKPU/2005/PN Niaga Sby, di Pengadilan Negeri Surabaya dan telah
mengajukan Rencana Perdamaian I maupun Rencana Perdamaian II yang
telah disetujui oleh Kuasa dari kreditor sindikasi yang hadir dalam rapat
kreditor tanggal 13 September 2005 dengan cara sebagai berikut :
A. Konversi menjadi kepemilikan Saham
1. Dari semua jumlah utang pihak pertama kepada Omnistar
Invesment Holdings Lilimted, Shadforth Agents Limited, Malvina
Investments Limited, dan BNP Paribas Singapore Branch yang
seluruhnya berjumlah USD. 27.874.500,- sebagian utang sebesar
USD 25.087.050 akan dikonversi menjadi kepemilikan saham PT
Sekar Laut Tbk dengan perhitungan tabel terlampir yang garis
besarnya adalah : Total Saham sebelum pelaksanaan rencana
perdamaian adalah Modal Saham disetor 75.600.000 lembar saham
@ parbalue Rp. 500,- = Rp. 37.800.000.000, total saham setelah
pelaksanaan rencana perdamaian 690.740.500 lembar saham @
parbalue Rp. 500,- = Rp. 344.370.250.000,2. Untuk utang pihak pertama kepada PT Bank Negara Indonesia
Tbk. qq KP2LN Jakarta III sebesar Rp. 54.308.354.325,seluruhnya akan dikonversi menjadi kepemilikan saham dengan
perhitungan pengurangan bunga sebesar 50% sebagaimana
tercantum dalam label.
B. Pembayaran bertahap : Terhadap jumlah sisa utang pihak pertama
kepada Kreditor Sindikasi yakni Omnistar Invesment Holdings
Lilimted, Shadforth Agents Limited, Malvina Investments Limited,
dan BNP Paribas Singapore Branch sebesar USD 2.787.450 atau 10%
dari total utang pihak pertama kepada kreditor sindikasi akan dibayar
secara bertahap dengan skema pembayaran : jangka waktu pinjaman
10 tahun (2005-2015), grace period 2 tahun, pembayaran pokok
dimulai tahun 2005 hingga 2015, bunga pinjaman 2% pertahun,
pembayaran dilakukan setiap 3 bulan sekali, yaitu pada akhir Januari,
April, Juli, dan Oktober yang dimulai 31 Januari 2005 hingga 31
Oktober 2015. Apabila tanggal pembayaran jatuh pada hari libur
perbankan Indonesia, maka pembayaran dilakukan pada satu hari kerja
perbankan berikutnya. Total jumlah pembayaran adalah 8 tahun x 4 x
USD 87.107.81 = USD 2.787.450,- pelunasan terkhir tanggal 31
Oktober 2015.
Omnistar Invesment Holdings Lilimted, Shadforth Agents Limited,
Malvina Investments Limited, yang merupakan kreditor Sindikasi sebagai
pihak kedua harus melepaskan seluruh jaminan berupa jaminan fiducia,
hak tanggungan dan corporate guarantee dan lain-lain setelah dilakukan
konversi utang menjadi kepemilikan saham dan setelah pembayaran
bertahap diselesaikan.
BNP Paribas Singapore Branch sebagai agen Sindikasi sekaligus anggota
sindikasi meskipun tidak hadir dan tidak pula mengirimkan wakilnya
untuk hadir dalam rapat kreditor, harus tunduk pada Perdamaian ini
dengan mengingat ketentuan pasal 286 UU nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan PKPU, demikian pula halnya dengan PT Bank Negara
Indonesia, Tbk. qq KP2LN Jakarta III yang tidak hadir dalam rapat
kreditor tanggal 13 September 2005 juga harus tunduk pada Perdamaian
ini.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka PT Bank Negara Indonesia
Tbk. qq KP2LN Jakarta III harus melepaskan seluruh jaminan berupa hak
tanggungan, personal guarantee dan corporate guarantee, setelah
dilakukan konversi utang menjadi kepemilikan saham, demikian pula
halnya dengan BNP Paribas Singapore Branch harus melepaskan seluruh
jaminan berupa hak tanggungan, fidusia dan corporate guarentee, setelah
dilakukan konversi utang menjadi kepemilikan saham dan setelah
pembayaran bertahap diselesaikan.
Surat keterangan lunas atas seluruh utang-utang dari PT Sekar Laut. Tbk
dan PT Pangan Lestari harus diberikan kepada pihak pertama setelah
konversi utang menjadi kepemilikan saham telah selesai dilakukan oleh
pihak pertama kepada PT Bank Negara Indonesia, Tbk, sedangkan surat
keterangan lunas baru dapat diberikan oleh kreditor sindikasi kepada pihak
pertama apabila pihak pertama telah selesai membayar sisa utang pokok.
Ketentuan mengenai pemberian opsi membeli kembali (buy back option)
saham hanya diberlakukan kepada pihak kedua beserta anggota sindikasi
yang lain yakni, BNP Paribas Singapore Branch dengan syarat dan kondisi
sebagai berikut :
Apabila pelaksanaan (implementasi) restrukturisasi utang yang berupa
konversi utang menjadi kepemilikan saham telah dilaksanakan, maka para
pemegang saham pendiri (founders) PT Sekar Laut, Tbk. akan mengalami
dilusi yang cukup besar, karenanya guna memberikan apresiasi atas upaya
para pemegang saham pendiri menjalankan dan mengembangkan
perseroan selama lebih dari 30 (tiga puluh) tahun dan memberikan
semangat bagi para pemegang saham untuk tetap menekuni usaha ini serta
tetap mempertahankan kepemilikan saham para pemegang saham pendiri
di perseroan, maka pihak kedua yang terdiri dari Omnistar Invesment
Holdings Lilimted, Shadforth Agents Limited, Malvina Investments
Limited, beserta anggota sindikasi yang lain yakni, BNP Paribas
Singapore Branch setuju untuk memberikan opsi membeli kembali 25%
dari seluruh saham biasa yang diterbitkan untuk kepentingan kreditor
sindikasi kepada para pemegang saham pendiri dengan harga Rp. 1,- per
lembar dalam jangka waktu 1 (satu) tahun.
Perseroan akan menyisihkan sejumlah 25% dari total jumlah baru yang
dikeluarkan untuk kepentingan kreditor sindikasi untuk selanjutnya dijual
kepada para pemegang saham pendiri. Karenanya pada saat pelaksanaan
konversi saham yang akan diserahkan kepada masing-masing kreditor
sindikasi akan berkurang secara proposional.
Atas penjualan sejumlah 25% dari total saham yang dikeluarkan oleh PT
Sekar Laut Tbk untuk kepentingan Kreditor sindikasi kepada para
pemegang saham pendiri dan manajemen, maka jumlah saham yang akan
diterima oleh kreditor sindikasi akan berkurang secara proposional.
Perdamaian beserta Lampiran merupakan ringkasan dari rencana
Perdamaian II PT Sekar Laut Tbk, tanggal 7 September 2005 yang telah
disetujui oleh kreditor yang hadir pada tanggal 13 September 2005 dan
mengikat bagi seluruh kreditor dan jika ada perbedaan maka seluruh
ketentuan dalam Rencana Perdamaian II adalah sah dan mengikat. Pihak
pertama akan membayar seluruh biaya-biaya yang timbul dari pelaksanaan
Perdamaian dalam PKPU di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Surabaya yang besarnya akan ditetapkan oleh Pengadilan dan harus
dibayar tunai dan sekaligus pada saat Pengurus menyerahkan Salinan
Penetapan biaya Pengurus kepada pihak pertama. Pihak pertama dan pihak
kedua telah saling sepakat untuk menyatakan perdamaian ini mulai efektif
untuk dilaksanakan sejak hari dan tanggal penandatanganannya
Perdamaian dengan tidak mengenyampingkan ketentuan jadwal dan
pelaksanaan dalam ketentuan-ketentuan diatas.
4. Pembatalan Perdamaian
Tim Likuidasi Bank Harapan Sentosa (dalam Likuidasi), selaku Kreditor
telah mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap PT Okasa Indah
(Debitor) yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dengan Nomor 018/Pailit/2000/PN.Niaga Jkt. Pusat. Kemudian
Debitor
telah
mengajukan
PKPU
yang
terdaftar
dengan
Nomor
06/PKPU/2000/PN.Niaga Jkt.Pst sebagai Counter terhadap permohonan pailit
tersebut. Untuk itu Pengadilan Niaga telah mengeluarkan putusan PKPU
Sementara dengan Putusan Nomor 018/Pailit/2000/PN.Niaga Jkt.Pst jo. Nomor
06/PKPU/2000/PN.Niaga Jkt.Pst tertanggal 24 April 2000. dalam proses
selanjutnya, kedua belah pihak telah sepakat untuk melakukan perdamaian yang
dituangkan dalam Perjanjian Perdamaian tanggal 30 Oktober 2000, dan
perdamaian
tersebut
telah
disahkan
dengan
Putusan
Nomor
06/PKPU/2000/PN.Niaga Jkt.Pst tertanggal 2 Nopember 2000, yang isinya adalah
: menghukum Debitor dan seluruh Kreditornya untuk tunduk dan mematuhi serta
melaksanakan isi perdamaian tersebut. Bahwa kemudian Kreditor tersebut telah
mengajukan permohonan Pembatalan Perdamaian ke Pengadilan Niaga di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dimana dengan Putusan Nomor 01/Pembatalan
Perdamaian/2002/PN.Niaga Jkt.Pst. telah menolak permohonan pembatalan
dimaksud. Selanjutnya Kreditor tersebut telah mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung, tetapi dengan Putusan Nomor 027 K/N/2002 Mahkamah Agung telah
pula menolak permohonan kasasi dari Kreditor dengan ketentuan : menghukum
Debitor untuk melakukan pembayaran angsuran berdasarkan perdamaian sesuai
Putusan Nomor 06/PKPU/2000/PN.Niaga Jkt.Pst kepada Kreditor tersebut
selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan kasasi
berkekuatan hukum tetap, dan bila Debitor tidak memenuhi ketentuan
pembayaran tersebut, maka Debitor dinyatakan dalam keadaan pailit. Bahwa
kemudian Kreditor tersebut telah mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke
Mahkamah Agung, lalu dengan Putusan Nomor 01 PK/N/2003, Mahkamah
Agung telah mengabulkan
Permohonan PK dari Kreditor tersebut sekaligus
membatalkan Perjanjian Perdamaian antara Debitor dengan para Kreditornya,
selanjutnya dinyatakan bahwa Debitor (PT Okasa Indah) Pailit. Selengkapnya
putusan Mahkamah Agung dalam tingkat Peninjauan Kembali (PK) akan
diuraikan di bawah ini :
Putusan Nomor 01 PK/N/2003 tanggal 4 Februari 2003. 435
Kasus Posisi :
PT Okasa Indah, berkedudukan di Jln. Jembatan Tiga Nomor 36 AA Jkt Utara,
dalam hal ini diwakili kuasa hukumnya Turman M Panggabean, SH dkk, para
Advokat dan Pengacara, berkantor di Jln. Pangeran Jayakarta Bl. 24/50 Jakarta
Pusat,
sebagai
Pemohon
Peninjauan
Kembali,
dahulu
Termohon
Kasasi/Termohon Pembatalan Perdamaian/Debitor, melawan : Tim Likuidasi
Bank Harapan Sentosa (Dalam Likuidasi), berkedudukan di BHS Centre Lt.5 Jln.
Gajah Mada Nomor 7 Jakarta Pusat, dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya
M. Gamal Resnianto, SH dkk, para Advokat dan Pengacara, berkantor di BHS
Centre Lt.5 Jln. Gajah Mada Nomor 7 Jakarta Pusat, sebagai Termohon
Peninjauan
Kembali,
dahulu
Pemohon
Kasasi/Pemohon
Pembatalan
Perdamaian/Kreditur.
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata bahwa
Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Termohon Kasasi/Termohon
Pembatalan Perdamaian/Debitur telah mengajukan permohonan Peninjauan
Kembali terhadap putusan Mahkamah Agung tanggal 11 November 2002 Nomor
027 K/N/2002 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan
Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Kasasi/Pemohon
Pembatalan Perdamaian/Kreditur dengan posita perkara sebagai berikut :
Bahwa Pemohon Kasasi dalam kedudukannya sebagai Kreditur telah
mengajukan permohonan pailit terhadap Termohon Kasasi sebagai Debiturnya
435
340
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 2005, Mahkamah Agung RI, 2006, h.329-
yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor :
18/Pailit/2000/PN.NIAGA.JKT.PST tertanggal 21 Maret 2000 ;
Bahwa atas permohonan pailit tersebut, telah diajukan permohonan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) atas permohonan mana
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memberikan
putusan PKPU sementara tanggal 24 April 2000 Nomor : 18/PAILIT/2000/
PN.NIAGA.JKT.PST jo. Nomor 06/PKPU/2000/PN.NIAGA JKT.PST. (bukti PI);
Bahwa dalam proses PKPU tersebut, kedua belah pihak telah sepakat
untuk berdamai yang dituangkan dalam perjanjian perdamaian tanggal 30 Oktober
2000 (Bukti P-III) dan perdamaian tersebut juga telah disahkan dengan putusan
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 2 November
2000 Nomor : 06/PKPU/2000/PN.NIAGA JKT.PST.
Bahwa amar Putusan Nomor : 06/PKPU/2000/PN.NIAGA JKT.PST
tanggal 2 November 2000 (Vide Bukti P-II) menyatakan sebagai berikut :
− Menyatakan perjanjian perdamaian tertanggal 30 Oktober 2000 yang
ditandatangani oleh debitur (Pemohon PKPU) PT. Osaka Indah dan oleh 4
(empat) krediturnya sah dan mengikat secara hukum ;
− Menyatakan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ini demi
hukum berakhir ;
− Menghukum debitur atau Pemohon Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(Pemohon PKPU) dan seluruh kreditur-krediturnya tunduk dan mematuhi
serta melaksanakan isi perdamaian tersebut ;
− Menghukum debitur atau Pemohon Penundaan Kewajiban Utang (Pemohon
PKPU) PT. Osaka Indah untuk membayar biaya permohonan ini sebesar Rp.
5.000.000,- (lima juta rupiah) ;
Bahwa menurut Pasal I ayat (4) Perjanjian Perdamaian a quo. Termohon
Pembatalan Perdamaian menyatakan sebagai berikut :
“Bahwa atas jumlah utang sebagaimana tersebut dalam Pasal I ayat (3)
tersebut di atas dibayar dengan angsuran selama 36 bulan, terhitung sejak 1 (satu)
bulan setelah tanggal perjanjian ini ditandatangani, dengan angsuran setiap
bulannya sebesar Rp. 44.952.569,- (empat puluh empat juta sembilan ratus lima
puluh dua ribu lima ratus enam puluh sembilan rupiah)” ;
Jadi menurut pasal ini jelas bahwa Termohon telah sepakat berjanji untuk
memenuhi kewajibannya secara angsuran setiap bulannya selama 36 bulan sampai
dinyatakan lunas oleh Pemohon Pembatalan Perdamaian.
Termohon telah
melaksanakan angsuran pelunasan kewajibannya sampai dengan angsuran ke 13
(tiga belas) dengan jumlah total yang telah diterima Pemohon Pembatalan
Perdamaian sebesar Rp. 584.383.397,- (lima ratus delapan puluh empat juta tiga
ratus delapan puluh tiga ribu tiga ratus sembilan puluh tujuh rupiah) sebagaimana
terbukti dan Daftar Suspense Creditor (IDC) atas nama Termohon yang
dikeluarkan Pembatalan Perdamaian (Bukti P-IV) ;
Bahwa sejak bulan Januari 2000 (untuk pembayaran bulan ke empat belas)
sampai dengan diajukannya permohonan, Termohon telah lalai membayar
angsuran kewajibannya kepada Pemohon Pembatalan Perdamaian sesuai
perjanjian perdamaian a quo ;
Bahwa atas kelalaian membayar angsuran kewajibannya tersebut, maka
Pemohon Pembatalan Perdamaian telah mengirimkan surat teguran (somasi)
Nomor : 008/MGR-ZZ/IGP/III/2002 tertanggal 25 Maret 2002 yang tembusannya
telah dikirimkan kepada Ketua Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat dan para kreditur lainnya untuk segera membayar angsurannya yang sudah
terlambat tersebut, namun surat somasi tersebut tidak ditanggapi dengan baik
terbukti sampai diajukan permohonan pembatalan perdamaian diajukan.
Termohon Pembatalan Perdamaian belum juga melakukan kewajibannya (Bukti
P-V) ;
Bahwa sesuai Pasal VI Perjanjian Perdamaian a quo tentang sanksi atas
kelalaian Debitur dinyatakan bahwa :
Bahwa walaupun perdamaian PKPU ini telah mendapatkan putusan
pengesahan dan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal VII ayat (I) dan (3) dan perjanjian
ini, akan tetapi dapat dinyatakan batal apabila debitur telah lalai memenuhi
ketentuan sebagai berikut :
(1) Debitur tidak melaksanakan ketentuan dan pasal I dengan pasal V baik ayat
per ayat maupun salah satu lampiran-lampiran yang telah disetujui oleh
debitur dan para kreditur yang terlampir dalam perjanjian ini.
(2) Bahwa apabila debitur lalai melakukan kewajibannya sebagaimana disebutkan
pada Pasal VI butir 1 dan 2 di atas, maka perjanjian ini menjadi batal demi
hukum dengan sendirinya, dan segala keringanan atau discount yang
diberikan oleh kreditur kepada Debitur dianggap tidak pernah ada, dan demi
hukum pula Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negara Jakarta Pusat
menyatakan Debitur dalam keadaan pailit, dan segala pembayaran yang telah
dilakukan oleh Debitur (apabila ada), akan diperhitungkan dengan kewajiban
kepada kreditur;
Bahwa dalam rangka memenuhi Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang
Kepailitan, maka Pemohon mengusulkan agar Pengadilan mengangkat Kurator
Hj. Tutik Sri Suharti, SH. dari Kantor Konsultan Hukum Tutik Sri Suharti &
Rekan, Kurator dan Pengurus terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik
Indonesia Nomor : C-HT.05.14-28, sebagai Kurator Termohon dalam kepailitan
ini :
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Pemohon mohon kepada
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar memberikan putusan
sebagai berikut :
1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan Pemohon ;
2. Menyatakan Termohon telah lalai dan melanggar Perjanjian Perdamaian
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Nomor : 06/PKPU/
2000/PN.NIAGA/JKT.PST. tertanggal 30 Oktober 2000 ;
3. Menyatakan batal putusan perdamaian (homologasi) Nomor : 06/PKPU/
2000/PN.NIAGA/JKT.PST. tertanggal 2 November 2000 berikut Perjanjian
Perdamaian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Nomor :
06/PKPU/ 2000/PN.NIAGA/JKT.PST. tertanggal 30 Oktober 2000 ;
4. Menyatakan demi hukum Termohon dalam keadaan pailit ;
5. Menetapkan Hakim Pengawas untuk mengawasi pengurusan dan pemberesan
harta Termohon ;
6. Menerima usulan untuk mengangkat Kurator Hj. Tutik Sri Suharti, SH dan
Kantor Hukum Tutik Sri Suharti & Rekan sebagai curator Termohon dalam
kepailitan ini ;
7. Menghukum Termohon untuk membayar seluruh utang/kewajibannya kepada
Pemohon sebesar USD 326,164.42 sebelum dikurangi dana Termohon di
Pemohon sebesar Rp. 285.348.208,- dan angsuran yang telah dibayarkan
sebesar Rp. 584.383.397,- ;
8.
Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara ;
Menimbang bahwa amar putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat tanggal 3 Oktober 2002 Nomor : 01/Pembatalan
Perdamaian/2002/PN.NIAGA.JKT.PST yang amarnya berbunyi sebagai berikut :
− Menolak permohonan PEMOHON untuk seluruhnya ;
− Menyatakan Pemohon untuk membayar biaya perkara seluruhnya sebesar Rp.
5.000.000,- (lima juta rupiah) ;
Menimbang, bahwa amar putusan Mahkamah Agung tanggal 11
November 2002 Nomor : 027 K/N/2002 yang telah berkekuatan hukum tetap
adalah sebagai berikut :
− Menolak permohonan kasasi dan Pemohon Kasasi Tim Likuidasi Bank
Harapan Sentosa (Dalam Likuidasi) tersebut, dengan ketentuan Termohon
Kasasi dihukum untuk melakukan pembayaran angsuran berdasarkan
perdamaian sesuai putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarat
Pusat tanggal 6 November 2000 No. 06/PKPU/2000/ PN.Niaga.JKT.PST
kepada Pemohon Kasasi selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) bulan
sesudah putusan ini mempunyai kekuatan hukum yang tetap ;
− Menetapkan bila Termohon Kasasi tidak memenuhi ketentuan pembayaran
angsuran di atas, maka Termohon Kasasi dinyatakan dalam keadaan pailit
dengan ketentuan, Kurator dan Hakim Pengawas akan ditetapkan kemudian
oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ;
− Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar ongkos perkara pada semua
dalam tingkat peradilan yang dalam pemeriksaan kasasi ditetapkan sebesar
Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) ;
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah berkekuatan hukum tetap
tersebut i.c putusan Mahkamah Agung tanggal 11 November 2002 Nomor : 027
K/N/2002 diberitahukan kepada Termohon Kasasi pada tanggal 13 November
2002, kemudian terhadapnya oleh Termohon Kasasi dahulu Termohon
Pembatalan Perdamaian/Debitur dengan perantaraan kuasanya berdasarkan surat
kuasa khusus tanggal 04 Desember 2002 diajukan permohonan Peninjauan
Kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat tersebut pada tanggal 04 Desember 2002, permohonan nama disertai
oleh memori yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan
Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada
tanggal 04 Desember 2002 itu juga ;
Menimbang, bahwa tentang permohonan Peninjauan Kembali tersebut
telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama pada tanggal 11
Desember 2002, kemudian terhadapnya oleh pihak lawan telah diajukan jawaban
yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat tanggal 19 Desember 2002 ;
Menimbang, bahwa oleh karena itu sesuai dengan Pasal 286, 287, 288
Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1998, permohonan Peninjauan Kembali a quo
beserta alasan-alasannya yang diajukan dalam tenggang waktu dan dengan caracara yang ditentukan Undang-undang, maka oleh karena itu formil dapat diterima;
Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan
alasan-alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut :
1. Bahwa Mahkamah Agung telah melakukan kesalahan berat dalam
memberikan pertimbangan hukum terhadap Pasal 1238, Pasal 1244 dan Pasal
1245 KUH Perdata, sebagaimana yang dipertimbangkan pada halaman 13
baris 9, yang menyatakan bahwa dengan adanya surat keputusan Menteri
Kehutanan Nomor : 1613/KPTS/II/2001 tentang perubahan atas keputusan
Menteri Kehutanan Nomor 168/KPTS/IV/2001 tanggal 30 Maret 2001 tentang
pemanfaatan dan peredaran kayu ramin, yang melarang eksport kayu
gortimen, kayu ramin dalam bentuk bulat dan kayu gergajian, maka suatu
keadaan memaksa telah terbukti (overmatch/force majeure) dan peristiwa ini
tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi. Kemudian Mahkamah Agung
menyatakan bahwa pada halaman 19, Mahkamah Agung menyebutkan bahwa
keadaan memaksa itu bukanlah bersifat mutlak. Pertimbangan hukum ini
bertentangan dengan Pasal 1245 KUH Perdata. Selain itu, bila dikaitkan
dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 keadaan memaksa ini haruslah
ditafsirkan untuk penundaan pembayaran dimana Mahkamah Agung
seharusnya memberikan waktu yang dianggap cukup berdasarkan kepatutan
untuk
melaksanakan
Perjanjian
Perdamaian
Penundaan
Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU) Nomor : 06/PKPU/2000/PN. NIAGA.JKT.PST
tanggal 30 Oktober 2000 ;
2. Bahwa Mahkamah Agung yang menyatakan Pasal 1339 dan Pasal 1338 ayat
(1), ayat (3) KUH Perdata dan Pasal 160 ayat (1), ayat (3) Undang-Undang
Kepailitan tidak dapat diterapkan dalam perkara a quo, padahal menurut Pasal
1339 dan Pasal 1338 ayat (1), ayat (3) KUH Perdata perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik (kejujuran), ketentuan ini telah dipenuhi oleh
Termohon Kasasi dengan melakukan pembayaran angsuran sebanyak 13 (tiga
belas) kali yang telah diakui Temohon Peninjauan Kembali, kemudian pada
angsuran ke 14 pembayaran terhenti karena adanya keadaan memaksa,
keadaan inipun telah dibenarkan pula Mahkamah Agung ;
3. Bahwa Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukumnya melakukan
kesalahan berat yang tidak mempertimbangkan Pasal 276 ayat (1) ayat (2)
Undang-Undang Kepailitan sehingga putusan bersifat alternatif, sebagaimana
yang dipertimbangkan pada halaman 15 baris 15 yang merupakan putusan
bersyarat yang tidak diatur baik dalam Undang-Undang Kepailitan dan
maupun dalam Hukum Perdata, putusan ini hanya dikenal dalam Pasal 14 ayat
(1) KUH Pidana. Disamping itu juga bertentangan dengan Pasal 276 UndangUndang Nomor : 4 Tahun 1998, yang menyatakan Termohon Kasasi dihukum
untuk melakukan pembayaran angsuran berdasarkan perdamaian sesuai
putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 6
November 2000 Nomor : 06/PKPU/PN.Niaga Jkt.Pst kepada Pemohon Kasasi
selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) bulan setelah putusan ini
mempunyai kekuatan hukum tetap ;
Menimbang, bahwa selanjutnya Mahkamah Agung mempertimbangkan
alasan-alasan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali sebagai
berikut ;
mengenai keberatan ad. 3 :
Bahwa keberatan ini dapat dibenarkan, karena dalam putusan yang
dimohonkan Peninjauan Kembali tersebut terdapat kesalahan berat dalam
penerapan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut :
a. Bahwa Pasal 276 Undang-Undang Kepailitan memberikan kemungkinan bagi
kreditor untuk memohonkan pembatalan perdamaian yang telah disahkan
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 160 dan 161 Undang-Undang
Kepailitan ;
b. Bahwa terhadap permohonan pembatalan perdamaian tersebut Hakim dapat
menolak permohonan ataupun mengabulkannya dengan menyatakan batalnya
perdamaian dan sekaligus menyatakan debitur pailit ;
c. Bahwa Mahkamah Agung dalam putusannya telah menolak permohonan
Kasasi/Pemohon Pembatalan Perdamaian/Kreditur dengan ketentuan debitur
dihukum untuk melakukan pembayaran angsuran berdasarkan perdamaian dan
bila debitur tidak memenuhi ketentuan tersebut maka ia dinyatakan pailit ;
d. Bahwa putusan tersebut disatu segi menolak permohonan pembatalan
perdamaian, namun di lain segi dengan dinyatakannya Debitur pailit bila tidak
melakukan pembayaran angsuran, seharusnya Permohonan Pembatalan
Perdamaian tersebut dikabulkan ;
e. Bahwa selain itu, sesuai dengan Pasal 278 Undang-Undang Kepailitan,
terhadap putusan atas permohonan perdamaian tidak dapat diajukan kasasi,
karenanya dalam putusan yang dimohonkan Peninjauan Kembali tersebut
terdapat kesalahan berat dalam penerapan hukum sehingga putusan tersebut
harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili lagi dengan
pertimbangan berikut ini ;
Menimbang,
bahwa
pertama-tama
Mahkamah
Agung
akan
mempertimbangkan mengenai apakah terhadap Putusan Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta pusat yang tidak dapat dimohonkan kasasi tersebut
dapat dimohonkan peninjauan kembali;
Menimbang, bahwa Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan
merumuskan bahwa terhadap Putusan Pengadilan Niaga yang telah berkekuatan
hukum tetap dapat diajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung,
karenanya Permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Pemohon
Peninjauan Kembali tersebut dapat diperiksa dan diputus oleh Mahkamah agung;
Menimbang, bahwa permohonan yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan
kembali dahulu Termohon Kasasi/Debitur adalah pembatalan perdamaian yang
telah disahkan, dengan alasan Debitur telah lalai memenuhi isi perdamaian
tersebut;
Menimbang, bahwa menurut Pasal 160 ayat (2) Undang-Undang
Kepailitan kepada Debitur diletakkan beban untuk membuktikan bahwa
perdamaian sudah dipenuhinya;
Menimbang, bahwa oleh karena telah didalilkan oleh Kreditur dan tidak
dibantah oleh Debitur, maka terbukti benar bahwa Debitur telah tidak memenuhi
isi perdamaian tersebut terlepas dari apapun alasannya;
Bahwa oleh karena itu, permohonan Pembatalan Perdamaian dapat
dikabulkan dan dengan demikian Debitur dinyatakan pailit;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut
pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan
permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan
Kembali PT. Okasa Indah dan membatalkan putusan Mahkamah Agung tanggal
11 November 2002 Nomor : 027 K/N/2002 serta Mahkamah Agung mengadili
sendiri perkara ini dengan aman seperti yang akan disebutkan di bawah ini;
Menimbang, bahwa oleh karena Termohon peninjauan Kembali pihak
yang dikalahkan, maka harus membayar biaya perkara dalam semua tingkat
pengadilan;
Memperhatikan pasal-pasal dan Undang-Undang Nomor : 14 tahun 1970,
Undang-Undang Nomor : 14 tahun 1985 dan PERPU Nomor : 1 Tahun 1998 yang
telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan
Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1998 serta Undang-Undang lain yang bersangkutan;
MENGADILI :
Mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan
Kembali : PT. Osaka Indah tersebut;
Membatalkan putusan Mahkamah Agung tanggal 11 November 2002
nomor 027/K/N/2002;
MENGADILI KEMBALI :
− Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian ;
− Menyatakan Termohon telah lalai memenuhi isi perjanjian perdamaian
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Nomor : 06/PKPU/2000/PN.
NIAGA. JKT. PST. tertanggal 30 Oktober 2000;
− Menyatakan batal putusan perdamaian Nomor : 06/PKPU/2000/PN. NIAGA.
JKT. PST. tertanggal 2 November 2002 berikut perjanjian perdamaian
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Nomor : 06/PKPU/2000/PN.
NIAGA. JKT. PST. tertanggal 30 Oktober 2002;
− Menyatakan Termohon PT. Osaka Indah pailit:
− Mengangkat Hj. Tutik Sri Suharti, SH dan Kantor Hukum Tutik Sri Suharti &
Rekan sebagai Kurator Termohon ;
− Memerintahkan Ketua Pengadilan Negeri/Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
untuk mengangkat Hakim Pengawas;
− Menolak permohonan yang selebihnya ;
− Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali/Termohon membayar biaya
perkara dalam semua tingkat peradilan, yang dalam pemeriksaan Peninjauan
Kembali ditetapkan sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah);
Data Perkara Kepailitan dan PKPU di 5 (lima) Pengadilan Niaga :
2.
Data perkara Kepailitan dan PKPU di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tahun
1998 – 2006 (Tabel 3) :
Dari 533 (lima ratus tiga puluh tiga) perkara permohonan yang masuk
(100%) terdiri dari 508 (lima ratus delapan) permohonan pailit dan 25 (dua
puluh lima) permohonan PKPU Murni, telah diputus dengan damai pailit 32
(tiga puluh dua) perkara (6%) dan dengan damai PKPU 57 (lima puluh tujuh)
perkara (10,1%), sehingga total perdamaian yang diputus adalah 89 (delapan
puluh sembilan) perkara (16,1%).
3.
Data perkara Kepailitan dan PKPU di Pengadilan Niaga Medan tahun 2003 –
2006 (Tabel 4):
Dari 6 (enam) perkara permohonan pailit yang masuk (tidak ada permohonan
PKPU yang masuk), telah diputus dengan pailit 5 (lima) perkara, dan ditolak
1 (satu) perkara, sehingga tidak ada perdamaian yang diputus.
4.
Data perkara Kepailitan dan PKPU di Pengadilan Niaga Semarang tahun
2002 – 2006 (Tabel 5) :
Dari 10 (sepuluh) perkara permohonan yang masuk terdiri dari 9 (sembilan)
permohonan pailit dan 1 (satu) permohonan PKPU, telah diputus dengan
pailit 4 (empat) perkara, ditolak 3 (tiga) perkara, dicabut 1 (satu) perkara
sedang 1 (satu) permohonan PKPU dinyatakan Niet Ontvankelijke Verklaard
(NO), sehingga tidak ada perdamaian yang diputus.
5.
Data perkara Kepailitan dan PKPU di Pengadilan Niaga Makasar tahun 2002
– 2006 (Tabel 6) :
Dari 4 (empat) perkara permohonan pailit yang masuk (100%) dan tidak ada
permohonan PKPU, telah diputus dengan pailit 1(satu) perkara, dicabut 2
(dua) perkara dan damai pailit 1 (satu) perkara (25%), sedang damai PKPU
tidak ada diputus.
6.
Data perkara Kepailitan dan PKPU di Pengadilan Niaga Surabaya tahun 2001
– 2006 (Tabel 7) :
Dari 47 (empat puluh tujuh) perkara permohonan (100%) terdiri dari 45
(empat puluh lima) permohonan pailit dan 2 (dua) permohonan PKPU, telah
diputus dengan pailit 17 (tujuh belas) perkara, dicabut atau ditolak 28 (dua
puluh delapan) perkara, damai pailit 1 (satu) perkara, damai PKPU 1 (satu)
perkara, sehingga total perdamaian 2 (dua) perkara (4%).
Hasil Wawancara dengan Para Praktisi Peradilan Niaga pada Tabel 10
yang termuat dalam lampiran, dapat diperoleh kesimpulan atau konklusi sebagai
berikut :
Sebab gagalnya perdamaian dalam kepailitan dan PKPU adalah :
1. Tidak terpenuhinya syarat materil yakni tidak tercapainya kesepakatan damai
akibat tidak dapat diterimanya jumlah pembayaran utang maupun tenggang
waktu yang ditawarkan oleh debitor kepada para kreditornya.
2. Tidak terpenuhinya syarat formil yakni tidak tercapainya quorum dalam
pemungutan suara para kreditor dalam memperoleh persetujuan rencana
perdamaian dan atau rencana perdamaian yang telah memperoleh persetujuan
tidak memperoleh pengesahan (homologasi) dari Pengadilan Niaga.
C. Putusan Pengadilan Dan Mekanisme Reorganisasi Perusahaan Di
Amerika Serikat Serta Manfaatnya Terhadap Sistem PKPU
1.
Putusan
Pengadilan
Amerika
Serikat
Tentang
Bankruptcy
Dan
Reorganisasi
Di bawah ini akan dikemukakan suatu putusan Pengadilan Banding
Amerika Serikat terhadap kasus Bankruptcy sehubungan adanya masalah tentang
prioritas dari hak-hak buruh (Pekerja) dari Perusahaan. Upaya penyelamatan telah
dituangkan dalam suatu kesepakatan antara Debitor dengan para Kreditor, atau
dalam
Collective
Bargaining
Agreement
(CBA)
untuk
menyelesaikan
permasalahan tentang hak-hal cuti dari para pekerja Perusahaan.
Putusan tersebut secara singkat dimuat di bawah ini sebagai berikut :
PENGADILAN TINGKAT BANDING AMERIKA SERIKAT
PADA TAHAP KEDUA No. 597 Agustus 1993 436
Kasus Posisi :
Ionosphere Club Inc, Eastern Air Lines Inc, BAR Harbor Airways Inc,
melaksanakan usaha sebagai Eastern Express, sebagai para debitor.
Air Line Pilots Association (ALPA), International Association of Machinists and
Aerospace (IAM), Transport Workers Union of America (TWU), sebagai para
Pembanding, dan
Martin R. Shugrue. Jr, Pengurus dari Eastern Air Lines Inc, sebagai Terbanding.
Banding diajukan terhadap putusan Southern District New York yang
membenarkan putusan US Bankruptcy Court New York yang telah menerima
permintaan debitor untuk menetapkan tuntutan pembayaran cuti para pekerja
sebelum kepailitan sebagai bagian dari tuntutan tanpa jaminan (kreditor
436
Cir. 1993)
In. Re : Ionosphere Clubs V. Martin R. Shugrue. Jr., 597. Docket No. 93-5054 (2d.
konkuren), berhak sebagai prioritas ketiga dan merupakan bagian dari tuntutan
tanpa jaminan secara keseluruhan;
Miner (Hakim Wilayah) berpendapat :
Pada tingkat banding ini setelah menghubungkan kembali dengan
kepailitan dari Eastern Air Lines, yang tidak membenarkan ALPA, IAM, dan
TWU (Unions) banding atas putusan (24-5-1993) US District Court (Southern
District) New York, yang membenarkan putusan (10-9-1991) US Bankruptcy
Court (Southern District) New York, yang menetapkan tuntutan pembayaran cuti
sebelum kepailitan yang diajukan oleh para pekerja Eastern sebagai bagian dari
tuntutan tanpa jaminan, berhak sebagai prioritas ketiga berdasarkan pasal 507 (a)
(3) dari US Bankruptcy Code, sebagai bagian dari tuntutan tanpa jaminan
keseluruhan. District Court juga menolak alasan permintaan ALPA bahwa
Bankruptcy Court telah salah karena tidak meminta agar Eastern dan ALPA
menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dengan menafsirkan ketentuan
pembayaran cuti yang tertera pada Collective Bargaining Agreement (CBA) antara
keduanya, yang akhirnya menetapkan tidak ada penyelesaian secara arbitrase
dalam ketentuan CBA tersebut. Pada tahap banding Unions membantah dengan
alasan bahwa pasal 1113 (f) BC telah meniadakan bagan prioritas berdasarkan
pasal 507, yang memberikan prioritas utama (preferen) pada tuntutan pembayaran
cuti. ALPA juga mengajukan alasannya bahwa Bankruptcy Court seharusnya
melarang Eastern membawa sengketa ini melalui arbitrase dengan dasar
menafsirkan ketentuan-ketentuan pembayaran cuti pada CBA.
Latar Belakang :
Pada
tanggal
9-3-1989,
Eastern
telah
mengajukan
Reorganisasi
berdasarkan pasal 1101-1174 Chapter 11 USBC. Martin R. Shugrue, Jr. telah
ditunjuk sebagai Pengurus (kuasa) Perusahaan Eastern dan diwajibkan
menjalankan perusahaan airline dan mengelola aset perusahaan sesuai dengan
peraturan Bankruptcy Code. Pada tanggal 18 Januari 1991 Eastern telah berhenti
beroperasi dan seluruh pekerjanya telah diberhentikan sejak tanggal 1 Februari
1991.
ALPA mewakili pilot yang masih bekerja di perusahaan Eastern, IAM
mewakili pekerja pelayanan darat dan pekerja lainnya dari Eastern, dan TWU
mewakili seluruh petugas penerbangan yang masih bekerja di Eastern. Perjanjian
(CBA) yang dipermasalahkan dalam tahap banding ini merupakan hasil
kesepakatan antara Eastern dan Unions (ALPA, IAM,TWU) sesuai dengan
Railway Labor Act, pasal 151-188 Chapter 45 US Code. Ketentuan pembayaran
cuti dalam CBA adalah menjadi permasalahan. Pekerja perusahaan memperoleh
hak cuti berdasarkan hitungan hari dalam tahun dan timbulnya hak itu adalah
pada tanggal 1 Januari tahun berikutnya. Pekerja pada umumnya berhak atas
pembayaran penuh atas hak cuti yang tidak digunakan sesuai peraturan dari
Eastern.
Sewaktu Eastern mengajukan permohonan reorganisasi Chapter 11,
banyak pekerja yang belum mengambil semua hak cutinya, dan oleh karena itu
telah menuntut pembayaran atas cuti yang tidak digunakan yang menjadi haknya
sebelum diajukan permohonan tersebut. Tuntutan tersebut berjumlah total di atas
$60 juta US. Eastern tidak mempermasalahkan bahwa semua pekerja yang
mewakili ALPA dan IAM, berhak atas semua pembayaran cuti berdasarkan CBA.
Sehubungan dengan pembatasan atau penundaan yang dibuat oleh perusahaan dan
ketentuan-ketentuan pembayaran cuti pada CBA tidak pernah ditolak dan
dibantah oleh Eastern.
Pada tanggal 26 Juli 1991 Eastern memohon kepada Bankruptcy Code
untuk memutuskan penentuan prioritas dari tuntutan pembayaran cuti sebelum
kepailitan. Yang menjadi sengketa antara Eastern dan Unions adalah pembayaran
cuti yang telah digunakan sebelum permohonan kepailitan agar dapat diselesaikan
berdasarkan pasal 507 (a) (3) BC, yang telah menentukan sebagai prioritas ketiga
atas tuntutan tanpa jaminan seperti : gaji, penghasilan lain atau komisi termasuk
pembayaran cuti, yang diperoleh dalam 90 hari sebelum pengajuan permohonan,
yang hanya sampai $ 2.000 untuk setiap orang. Unions mengajukan agar semua
tuntutan pembayaran cuti yang tidak digunakan pada tahun 1988 adalah
merupakan hak dengan prioritas utama dan perolehan itu jatuh pada tanggal 1
Januari 1989 dan termasuk dalam 90 hari sebelum permohonan. Unions juga
membantah bahwa pasal 1113 (f) melarang memberi kewenangan kepada sepihak
untuk mengakhiri dan merubah CBA, menghilangkan bagan prioritas dari pasal
507 dan meminta agar pembayaran cuti dapat diterima menjadi prioritas yang
sama dengan biaya-biaya administrasi sesuai dengan pasal 507 (a) (1).
Putusan Bankruptcy Code tanggal 10-9-1991 membenarkan pendapat
Eastern yang didasarkan pada alasan bahwa hanya tuntutan pembayaran cuti
terhadap pekerjaan yang benar-benar ada selama periode 90 hari sebelum
permohonan adalah sah ditetapkan menjadi prioritas ketiga, tidak tergantung pada
hari perolehan. Akhirnya Bankruptcy Code menolak alasan Unions bahwa pasal
1113 ditafsirkan menghilangkan skema prioritas yang ditetapkan dalam pasal 507.
Unions banding atas putusan Bankruptcy Code tersebut. Putusan District
Court tanggal 24-5-1993 membenarkan ketetapan Bankruptcy Code sepenuhnya
dan berpendapat bahwa permasalahan utama ialah : Apakah tuntutan ke
pengadilan tentang skema (bagan) prioritas dalam pasal 507 dengan dasar
pemutusan atau perubahan sepihak atas CBA oleh kuasa sesuai pasal 1113, dan
apakah pemberian prioritas utama terhadap tuntutan pembayaran cuti telah sesuai
dalam menegakkan perlindungan menurut pasal 1113 ; District Court juga
menolak alasan ALPA yang menyatakan bahwa Bankruptcy Court telah keliru
menyatakan tidak ada permintaan Eastern dan ALPA menyelesaikan sengketa
melalui permintaan arbitrase berdasarkan penafsiran pembayaran cuti dalam CBA
antara Eastern dan ALPA, sehingga berpendapat tidak ada sengketa kedua belah
pihak tentang isi perjanjian CBA.
Analisis :
Dalam putusan banding ini, permintaan dari para pekerja (unions) agar
pembayaran cuti para pekerja yang ditetapkan sebagai hak para pekerja berada
pada prioritas utama (preferent) tidak dibenarkan oleh Hakim banding, dan tetap
berpedoman pada putusan Bankruptcy Court yang menetapkan bahwa untuk
pembayaran hak cuti sebagai prioritas ketiga yakni merupakan bagian dari
tuntutan tanpa jaminan (kreditor konkuren) ;
Bahwa penerapan skema prioritas dalam pasal 507 tidak membolehkan
Eastern secara sepihak merubah atau mengakhiri CBA, dan penerapan skema
prioritas tidak bertentangan dengan tujuan pasal 1113. Bahwa Bankruptcy Court
yang menetapkan prioritas berdasarkan pasal 507 adalah persoalan interpretasi
undang-undang dan tidak mempermasalahkan tentang arbitrase.
Sehubungan dengan tidak adanya sengketa yang nyata tentang jumlah atau
banyaknya pembayaran cuti yang diajukan ALPA dan tidak ada sengketa hukum
dalam menentukan prioritas dari tuntutan pembayaran cuti, maka putusan District
Court telah dibenarkan oleh putusan banding ini.
2. Langkah-langkah Reorganisasi Menurut Chapter 11 United State
Bankruptcy Code
Sebagaimana diketahui, si Debitor haruslah diberi kesempatan yang
seluas-luasnya untuk mengajukan rencana reorganisasi. Tetapi sebelum
mengajukan rencana tersebut, Debitor haruslah lebih dahulu merundingkan isi
pokok dari rencana itu dengan para Kreditor maupun pihak-pihak lain yang
berkepentingan. Melalui rencana dengan perundingan itu maka terbukalah
kesempatan yang baik untuk saling mengerti dan akhirnya tercapai kesepakatan
dari para pihak untuk berdamai, namun untuk memperoleh pengertian tentang apa
yang akan dilakukan dalam proses mengajukan dan merundingkan rencana
tersebut tentunya harus pula dipahami tentang bagian-bagian mendasar (elemenelemen) dari suatu Rencana Reorganisasi.
Sebagai pedoman dapat dikemukakan suatu kasus yakni suatu perusahaan
(Acme, Inc.), dalam hal ini hanya perusahaan fiktif (khayal) yang hendak
mengajukan suatu Rencana Reorganisasi, 437 dikombinasikan dengan Rencana
437
Mark S Scarberry et.al. op.cit. h. 683-685
Reorganisasi menurut Robert E Nugent, 438 dalam tulisannya berjudul Drafting
Bankruptcy Reorganization Plans, lengkap dengan cara-cara pembayaran utang
Debitor kepada para Kreditor, selengkapnya diuraikan dibawah ini :
a. Membuat Ringkasan Rencana :
Membangun suatu manajemen untuk menjamin kelangsungan dari rencana.
Biaya
operasi
akan
ditetapkan
dengan
perhitungan
tertentu,
biaya
administrasi, utang pajak dan tuntutan dengan jaminan akan dibayar penuh,
sedang utang tanpa jaminan akan dibayarkan secara bertahap. Selengkapnya
tentang rencana akan dimuat pada pernyataan keterbukaan debitor.
b. Penentuan kelas dari kreditor dan hak-haknya
Kelas 1 : Kreditor separatis sebagai pemegang hak jaminan tingkat pertama.
Kelas 2 : Kreditor separatis sebagai pemegang hak jaminan tingkat kedua
Kelas 3 : Kreditor konkuren sebagai pemegang hak piutang tanpa jaminan,
termasuk tuntutan kekurangan pembayaran terhadap kreditor
separatis dan tidak termasuk kreditor kelas 4.
Kelas 4
Kreditor konkuren yang piutangnya telah diakui hingga jumlah
:
tertentu.
Kelas 5 : Kreditor sebagai pemegang saham dari perusahaan debitor.
c. Penyelesaian tiap kelas
Kelas 1 : Secara hukum, hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian tidak
dirugikan hak kreditor separatis tidak berubah.
438
Robert E Nugent dalam Small Business Bankruptcy Reorganizations, editor : James A
Pusateri et.al, (New York, Chichester, Brisbane, Toronto, Singapura : John Wiley & Sons, Inc.,
1994), h. 340-347
Kelas 2 : Pemegang piutang ini akan menerima pembayaran sesuai nilai
haknya
berdasarkan
nilai
pemilikan
dikurangi
jumlah
pertanggungan.
Kelas 3 : Pemegang piutang ini akan menerima pembayaran tunai sebesar 5%
pada masa berlaku rencana, pemegang Promissary Note menerima
pembayaran sebesar 25%.
Kelas 4 : Hak dan kedudukan pemegang piutang ini tidak akan berubah oleh
rencana. Debitor diwajibkan membayar kepada setiap pemegang
hak ini secara tunai pada waktu berlakunya rencana dengan
keseimbangan sesuai dengan jumlah piutang yang disetujui.
Kelas 5 : Pemegang hak ini akan menerima satu bagian dari seluruh stok
debitor dalam setiap 5 saham yang dipegangnya.
d. Mengatur pembayaran yang harus didahulukan atau diutamakan :
1). Biaya administrasi termasuk ongkos-ongkos tertentu harus dibayarkan
lebih dahulu.
2). Utang pajak berdasarkan perhitungan dari seluruh pendapatan debitor
harus didahulukan pembayarannya.
e. Realisasi Rencana :
Debitor harus menjalankan bisnis perusahaan dan melakukan pembayaran
kepada kreditor sesuai dengan ketentuan dalam rencana. Pemotongan
pembayaran dengan perhitungan tertentu boleh dilakukan bila berpedoman
kepada pernyataan keterbukaan debitor.
f. Penyelesaian terhadap pemegang saham :
Semua pemilik saham akan tetap pada hak-haknya, tetapi tidak ada
pembayaran keuntungan kepada pemegang saham selama pelaksanaan
rencana.
g. Ketentuan lainnya :
Setelah berlakunya rencana, Pengadilan tetap berwenang :
1) Menentukan piutang yang diakui dan mendengar keberatan atas hal
tersebut
2) Menyimpulkan dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang
tertunda hingga berlakunya rencana.
3) Menyetujui atau menolak pembayaran administratif yang belum dilakukan
sebelumnya.
4) Menetapkan dan memberi jawaban atas permasalahan sehubungan dengan
adanya kekurangan dan kelemahan dari rencana.
5) Menyesuaikan isi rencana dengan ketentuan Undang-undang.
6) Menyelesaikan, mengatasi konflik yang terjadi dalam pelaksanaan rencana
sehingga ada konfirmasi dalam mencapai maksud dan tujuan dari rencana.
7) Mengumumkan dan menginformasikan hal-hal yang perlu untuk
terlaksananya seluruh rencana.
h. Pembebasan debitor :
Kecuali ditentukan sebaliknya dalam rencana, pada masa berlakunya rencana,
debitor dan seluruh harta pailit haruslah dibebaskan dan dilepaskan dari
seluruh tuntutan, utang-utang atau masalah-masalah yang timbul sebelum
pengesahan. Pembebasan dan pelepasan ini akan diperhitungkan kemudian
dalam pelaksanaan Undang-undang Kepailitan.
c. Fungsi Ringkasan dan Langkah-langkah Reorganisasi
Fungsi Ringkasan dan langkah-langkah Reorganisasi yang dikemukakan
tersebut di atas dapat dipedomani oleh para pihak Debitor dan para Kreditor di
Indonesia maupun pihak lain yang berkepentingan dalam menyusun suatu
Rencana Perdamaian untuk menyelesaikan suatu sengketa utang piutang
perusahaan baik dalam Perdamaian setelah pernyataan pailit maupun Perdamaian
dalam rangka PKPU.
Ringkasan
maupun
langkah-langkah
Reorganisasi
tersebut
dapat
diterapkan dan disesuaikan dengan istilah-istilah yang biasa digunakan dalam
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan
PKPU, secara formal dapat dimasukkan dalam suatu peraturan pelaksana dari
Undang-Undang tersebut agar dijadikan sebagai acuan bagi para praktisi
Kepailitan dan PKPU di Indonesia. Pedoman ini dapat memandu para pihak untuk
saling terbuka memberi informasi tentang keadaan debitor maupun kedudukan
para kreditor dan kemudian dapat mengemukakan keinginan dan kehendak
masing-masing sehingga akan diperoleh suatu kesepakatan yang menuju kepada
Perdamaian yang memenuhi keinginan semua pihak.
BAB VI
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari uraian bab-bab dimuka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Prakarsa Jakarta (Jakarta Initiative) adalah sebagai wahana untuk
bernegosiasi antara debitor dengan para kreditor baik kreditor dalam negeri
maupun kreditor luar negeri untuk merestrukturisasi utang piutang mereka,
sedang INDRA dalam prakteknya memberi fasilitas terhadap utang swasta
luar negeri dengan valuta asing. Jadi pemerintah membentuk Prakarsa
Jakarta maupun INDRA hanya sebagai pendorong dan fasilitator agar proses
restrukturisasi utang dapat berjalan dengan cepat dan memberi hasil yang
saling
menguntungkan
(win-win).
Tujuan
skema
INDRA
adalah
menghindari terjadinya pembayaran kembali utang luar negeri dalam jangka
pendek sehingga meringankan beban neraca pembayaran, selanjutnya
disusun skema INDRA sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi debitor
Indonesia yang mengalami kesulitan likuiditas jangka pendek. Skema
INDRA akan memberikan kepastian nilai tukar dan memberi nilai tukar
yang terbaik bagi debitor dan juga memberi keringanan bagi debitor dengan
membagi rata beban pembayaran kembali utang luar negeri selama 8
(delapan) tahun. Bagi kreditor skema INDRA bermanfaat karena pemerintah
menjamin tersedianya dollar AS sepanjang debitor membayar kewajibannya
dalam bentuk rupiah kepada INDRA dan dengan jaminan tersebut
memperbesar kepastian bagi kreditor untuk pengembalian piutangnya yang
telah direstrukturisasi walaupun dalam jangka waktu yang lebih lama.
2.
Dalam perkara permohonan pernyataan pailit maupun permohonan PKPU,
Undang-Undang tetap memberikan kesempatan perdamaian melalui
negosiasi. Debitor diberikan hak untuk mengajukan Rencana Perdamaian
(Composition Plan). Apabila dengan itikad baik perusahaan Debitor masih
dapat berjalan sebagai perusahaan yang going concern, dan prospektip, atas
persetujuan para Kreditor perusahaan dapat dijalankan berdasarkan
Perjanjian Perdamaian yang disepakati.
a. Mengajukan rencana perdamaian kepada para Kreditor oleh Debitor
yang telah dinyatakan pailit adalah suatu kesempatan bernegosiasi dalam
waktu dan cara-cara yang ditentukan dalam Undang-Undang. Faktorfaktor penyebab gagalnya upaya perdamaian dalam kepailitan (akkord)
ini adalah sebagai berikut :
1) Rencana perdamaian yang diajukan Debitor tidak memperoleh
persetujuan sebagaimana syarat – syarat formal yang ditentukan
dalam undang-undang.
2) Penawaran yang diajukan oleh Debitor tidak realistis, sehingga para
Kreditor tidak tertarik untuk menyetujuinya (syarat materil) sehingga
insolvennya si Debitor tidak dapat dihindarkan, hal ini lebih
disebabkan oleh keadaan Debitor yang sudah terpuruk dan telah
dinyatakan pailit sebelumnya.
b. Tercapainya kesepakatan damai dalam rangka PKPU antara Debitor
dengan para Kreditor adalah suatu upaya yang sangat menjanjikan bagi
semua pihak.
Faktor-faktor penyebab gagalnya perdamaian dalam rangka PKPU dapat
dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:
1) Dalam mengajukan rencana perdamaian, proses dan tata acaranya
tidak memenuhi syarat-syarat formal yang ditentukan dalam
Undang-Undang.
2) Penawaran yang diajukan oleh debitor tidak realistis, sehingga para
kreditor tidak tertarik untuk menyetujui rencana perdamaian
tersebut, (syarat materil) sehingga debitor harus dinyatakan pailit.
3.
Pengaturan Reorganisasi dalam Chapter 11 USBC sudah mempunyai
panduan berupa format-format “Reorganization Plan” dan prosedur
pelaksanaannya, sehingga mekanismenya sudah jelas. Dalam Reorganisasi
Chapter 11 USBC juga diberikan pilihan bagi para pihak sebagaimana
variabel-variabel yang ditawarkan oleh debitor kepada para kreditor dan
pihak lain yang berkepentingan. Pengaturan PKPU dalam UU Kepailitan
dan PKPU (UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004) belum begitu lengkap
mengenai format maupun cara pelaksanaan dari pada perdamaian yang
dicapai sehingga semuanya diserahkan kepada persetujuan para pihak.
PKPU tetap merupakan lembaga yang flexible yakni mengatur ketentuan
tentang syarat-syarat dasar untuk tercapainya perdamaian itu, sedangkan
tentang isi perdamaian dan bagaimana pelaksanaannya oleh para pihak
tergantung pada kesepakatan (deal) yang diperoleh. Solusi penerapan
Reorganisasi dalam sistem PKPU adalah bahwa ketentuan jangka waktu 270
(dua ratus tujuh puluh) hari dalam UU Kepailitan dan PKPU tersebut
hanyalah batas waktu untuk mencapai kesepakatan damai atau proses
persetujuan dan pengesahan Rencana Perdamaian itu, sedangkan realisasi
dari
perjanjian
perdamaian
tersebut
dapat
dipedomani
ketentuan
Reorganisasi yang lebih luas dari penundaan (moratorium) dan dapat
menjangkau kepada Restrukturisasi utang asalkan tidak bertentangan
dengan syarat-syarat perjanjian dalam KUH Perdata dan syarat-syarat
formal dari UU Kepailitan dan PKPU. Restrukturisasi Perusahaan hanya
dapat dilakukan sepanjang perubahan manajemen dan pola keuangan
merujuk kepada Rehabilitasi tapi tidak boleh sampai kepada perombakan
perusahaan seperti Merger, Konsolidasi maupun Akuisisi, karena dasar atau
pijakan hukumnya tidak lagi hanya Hukum Perjanjian dalam KUH Perdata
tapi sudah menyangkut Undang-Undang Perseroan Terbatas.
B.
SARAN
1.
Membangun dan memfasilitasi Lembaga PMN untuk dapat meneruskan
tugas dan fungsi Prakarsa Jakarta dan INDRA sebagai mediator diluar
Pengadilan untuk mencapai perdamaian antara Debitor dengan para Kreditor
dalam
menyelesaikan
sengketa
utang-piutang
sebagai
penyelesaian
alternatif. Dalam hal tidak diperolehnya suara bulat dari para kreditor
terhadap suatu rencana restrukturisasi, PMN dapat diberi akses ke
Pengadilan Niaga untuk mendapatkan persetujuan atas rencana yang telah
dirundingkan sebelumnya dengan memenuhi persyaratan dalam UU
Kepailitan dan PKPU, sehingga Perjanjian tersebut dapat dihomologasi
Pengadilan Niaga dan oleh karena itu mempunyai kekuatan mengikat bagi
seluruh kreditor baik yang menyetujui maupun yang tidak menyetujuinya.
2.
Dalam ketiga peraturan per-undang-undangan tentang Kepailitan :
Faillisements Verordening (Undang-Undang Kepailitan, Stb. 1905-217 jo.
Stb. 1906-348), Perpu Nomor 1 Tahun 1998 jo. Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1998 (Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan/Faillisements
Verordening) dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 (Undang-Undang
Kepailitan dan PKPU), uraian tentang Kepailitan selalu lebih dahulu
daripada PKPU yang berarti masih memegang prinsip bahwa Kepailitan
selalu diutamakan dari PKPU. Tetapi harus diakui adanya perkembangan
yang terjadi pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yaitu istilah
PKPU
sudah
dimasukkan
dalam
judul
Undang-Undang
tersebut.
Penyebutan PKPU dalam judul menunjukan PKPU merupakan sarana
penting dalam penyelesaian utang piutang debitor yang harus didahulukan
dari Kepailitan. Perkembangan lainnya yaitu permohonan PKPU telah dapat
diajukan oleh kreditor, dimana sebelumnya dalam kedua Undang-Undang
terdahulu tidak diatur kreditor boleh mengajukan PKPU. Oleh karena itu
harus disosialisasikan bahwa PKPU sebagai jalan keluar yang harus
didahulukan menyelesaikan utang piutang debitor. Sehubungan dengan itu
sistematika Undang-Undang Kepailitan perlu dirubah agar pengaturan
PKPU diuraikan lebih dahulu daripada kepailitan. Demikian pula substansi
aturan PKPU agar lebih mempermudah tercapainya kesepakatan damai
antara debitor dengan para kreditor, memberi kewenangan lebih luas kepada
Hakim Pengawas untuk bertindak sebagai Mediator dalam upaya
perdamaian.
3.
Sebagai Hukum Kepailitan Modern yang perspektif di Indonesia, perlu
dipikirkan mengganti ”UU Kepailitan dan PKPU” menjadi ”UU Kepailitan
dan Reorganisasi Perusahaan” yang substansinya lebih dahulu menguraikan
pengaturan tentang Reorganisasi Perusahaan dan bila Pengadilan Niaga
berpendapat
tidak
memungkinkan
dilakukan
Reorganisasi,
maka
diberlakukan aturan Kepailitan dan Likuidasi. Ketentuan-ketentuan tentang
Reorganisasi Perusahaan, Undang-Undang kepailitan harus dipandang
sebagai Hukum Publik yang memberikan power (wewenang) kepada
Pengadilan Niaga untuk memerintahkan perusahaan debitor melakukan
tindakan-tindakan hukum tertentu sebagaimana dahulu kewenangan itu
diberikan kepada BPPN (sudah dibubarkan). Tindakan mana dapat
diterapkan kepada perusahaan debitor yang sedang mengalami kesulitan
(distress). Pengadilan Niaga dapat memerintahkan tindakan-tindakan hukum
tertentu dalam rangka Reorganisasi tanpa melalui keputusan RUPS dan
mengambil alih kewenangan Direksi ataupun Komisaris.
LAMPIRAN :
TABEL 1
DATA PERKARA ACTIO PAULIANA DI PENGADILAN NIAGA JAKARTA PUSAT
TAHUN 1999 - 2006
TAHUN
1999
2000
NOMOR
PERKARA
PUTUSAN
PEMOHON
TERMOHON
02/Actio
Pauliana/2000/
PN.Niaga Jkt
Pst
03/Actio
Pauliana/2000/
PN.Niaga Jkt
Pst
Tuti Simorangkir
Kurator
PT. Fiskar Agung
Perkasa
Catnera
International
04/Actio
Pauliana/2000/
PN.Niaga Jkt
Pst
Hendra Reza
Putra Kurator
PT. Asmawi
Agung
Corporation
1. PT. Asmawi
Agung
Corporation
2. PT. Sejahtera
Bank Umum
01/Actio
Pauliana/2000/
PN.Niaga Jkt
Pst
1. PT. Duta
Trada Internusa
2. PT. Ometraco
Multi Arta
PT. Mitra Lestari
Ekatama
2001
DI TOLAK
DITOLAK
11K/N/2000
-
TIDAK
DIKABULKAN
DI TOLAK
DITOLAK
15K/N/2000
-
TIDAK
DIKABULKAN
DI TOLAK
-
-
TIDAK
DIKABULKAN
DI TOLAK
DITOLAK
16K/N/2000
NO.
12PK/N/
2000
TIDAK
DIKABULKAN
DI TOLAK
-
-
TIDAK
DIKABULKAN
N.O
-
-
TIDAK
DIKABULKAN
DITOLAK
DIKABULKAN
SEBAHAGIAN
22K/N/2003
DITOLAK
13PK/N/
2003
DIKABULKAN
SEBAHAGIAN
DITOLAK
N.O
29K/N/2003
-
TIDAK
DIKABULKAN
NIHIL
01/Actio
Pauliana/2003/
PN.Niaga Jkt
Pst
Denny A.B Latief
Kuasa
Tumbur
Simbolon
02/Actio
Pauliana/2003/
PN.Niaga Jkt
Pst
Astuti
Sitanggang
Kurator Eddy
Ondra Winata
03/Actio
Pauliana/2003/
PN.Niaga Jkt
Pst
Denny A.B Latief
Kuasa
Tumbur
Simbolon
1. PT. Cipta Arta
Mahesa
2. Tonny Jaya
Laksana
3. Tubagus Iwan
Suwandi
1. Eddy Ondra
Winata (Debitor)
2. Susanto
Sutrisno
1. PT. Cipta Arta
Mahesa
2. Tonny Jaya
Laksana
3. Tubagus Iwan
Suwandi
2004
NIHIL
2005
NIHIL
2006
NIHIL
Sumber
Ket
P.K
NIHIL
2002
2003
HASIL AKHIR
KASASI
PT. Duta Prima
Agung
William E. Daniel,
kurator
PT. Ometroco
Multi Arta
(Dalam
Kepailitan
debitor)
Imran Santria
Uriston, kuasa
dari William E.
Daniel Kurator
PT Ometraco
Multi Arta
William E. Daniel,
Kurator
PT. Ometraco
Multi Arta
01/Actio
Pauliana/1999/
PN.Niaga Jkt
Pst
P. NIAGA
: Data diolah dari Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
: NO : Niet Ontvankelijk Verklaard (Tidak dapat diterima)
PK : Peninjauan Kembali
TABEL 2
DATA PERKARA ACTIO PAULIANA DI PENGADILAN NIAGA SEMARANG
TAHUN 2002 - 2006
2002
PUTUSAN
NOMOR
PERKARA
TAHUN
01/Actio
Pauliana/1999/
PN.Niaga Smg
PEMOHON
TERMOHON
Gunawan
Widyaatmadja
1. Cheng Basuki
2. Afen Siswoyo
3. PT. Tensindo
2003
NIHIL
2004
NIHIL
2005
NIHIL
2006
NIHIL
P. NIAGA
KASASI
P.K
DI TOLAK
13-1-2003
-
-
HASIL AKHIR
TIDAK
DIKABULKAN
Sumber : Data diolah dari Pengadilan Niaga Semarang
Keterangan PK
: Peninjauan Kembali
TABEL 3
DATA PERKARA KAPAILITAN DAN PKPU DI PENGADILAN NIAGA
JAKARTA PUSAT TAHUN 1998 - 2006
TAHUN
1998
1999
2000
NO
1
2002
2003
2004
2005
2006
PAILIT
2
PKPU MURNI
1
PAILIT
2
PKPU MURNI
1
PAILIT
2
2001
PERMOHONAN
MASUK
31
PAILIT
2
PKPU MURNI
1
PAILIT
2
PKPU MURNI
1
PAILIT
2
PKPU MURNI
1
PAILIT
2
PKPU MURNI
1
PAILIT
2
PKPU MURNI
1
PAILIT
2
PKPU MURNI
JUMLAH PERM.PAILIT
100
SUMBER
KETERANGAN
PKPU
TOLAK
NO
GUGUR
DAMAI
COUNTER
CABUT
TOLAK
N.O
GUGUR
DAMAI
3
11
3
2
1
2
11
-
5
-
2
4
14
30
29
9
3
5
15
4
5
-
-
6
25
32
15
3
1
9
2i
-
11
-
-
10
9
2i
20
3
-
-
8
-
-
-
-
8
9
9
15
1
-
8
5
1
-
-
-
4
2
-
1
-
4
9
9
14
3
-
1
3
1
-
-
-
2
-
-
1
-
1
7
18
22
1
-
4
4
-
2
-
-
2
1
-
1
8
17
13
3
-
1
3
1
-
-
-
2
-
-
1
-
2
8
22
19
2
5
2
3
-
1
-
1
1
84
5
61
5
6
39
1
7
38
2
52
2
44
3
59
5
508 =
100%
JUMLAH PERM.PKPU MURNI
TOTAL PERMOHONAN
PUTUS
KABUL
-
PKPU MURNI
1
CABUT
DAMAI PAILIT
25
533 = 100 %
32 = 6
%
73 = 14%
25
TOTAL PKPU
: Data diolah dari Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
: N.O : Niet Ontvankelijk Verklaard (Tidak dapat dit
98 = 18%
TOTAL DAMAI PKPU
57 =
10,1%
TABEL 4
DATA PERKARA KEPAILITAN DAN PKPU DI PENGADILAN NIAGA MEDAN
TAHUN 2003-2006
TAH
UN
PERMO
HONAN
2003
PAILIT
NO.
URUT
NOMOR
PERKARA
PEMOHON
1
01/Pailit/2003/
P.Niaga. Mdn
Sawa Singapore
Agency CS
PAILIT
PAILIT
KASASI
DITOLAK
3-4-2003
DIKABULKAN
(10 K/N/2003)
28-5-2003
P.K
HASIL
AKHIR
PAILIT
NIHIL
1
01/Pailit/2004/
P.Niaga/Mdn
FA. Biro
Konstruksi Tugas
01/Pailit/2005/
P.Niaga Mdn
PT. Bahtera
Lestari Sejahtera
02/Pailit/2005/
P.Niaga Mdn
Kejaksaan
Negeri Lubuk
Pakam
PT. Aneka
Surya Agung
03/Pailit/2005/
P.Niaga.Mdn
Tumbur Parulian
Silitonga, SH
1. Istara
Sakti
Nasution
(Suami
2. Luci
(Isteri)
PKPU
2005
P.NIAGA
DITO
LAK
PT. Batamas
Jalan
Nusantara
Batam
PKPU
2004
PUTUSAN
TERMOHON
1
2
3
DITOLAK
(18K/N/2003)
-
TIDAK
PAILIT
DIKABULKAN
23-11-2005
-
-
PAILIT
DIKABULKAN
22-12-2005
-
-
PAILIT
DIKABULKAN
18-1-2006
-
-
PAILIT
DIKABULKAN
16-8-2006
-
-
PAILIT
PT. Dwi
Payana
Sumatera
N.O
2-7-2004
NIHIL
PT. Duta
Sahabat
Abadi
PKPU
NIHIL
2006
PAILIT
1
01/Pailit/2006/
P.Niaga. Mdn
PT. Wijaya
Mandiri
(Debitor)
-
PKPU
NIHIL
Sumber
: Data diolah dari Penghasilan Niaga Medan
Keterangan : N.O = : Niet Ontvankelijk Verklaard (Tidak dapat diterima)
TABEL 5
DATA PERKARA KEPAILITAN DAN PKPU DI PENGADILAN NIAGA SEMARANG
TAHUN 2002-2006
TAHUN PERMOHONAN
PAILIT
NO.
URUT
1
2002
PUTUSAN
NOMOR
PERKARA
PEMOHON
01/Pailit/2002/
P.Niaga Smg
Ahmad Farid Cs
TERMOHON
P.NIAGA
Bambang Maryono
Cs
PKPU
NIHIL
PAILIT
NIHIL
DIKABULKAN
11-06-2002
KASASI
P.K
-
-
HASIL
AKHIR
PAILIT
2003
PKPU
NIHIL
1
01/Pailit/2004/
P.Niaga Smg
PT. Sierad Product
Tbk Jogjakarta
1. Sarwoko
DIKABULKAN
(9-6-2004)
2. Nunik Sriatun
(Banyumas)
2
3
02/Pailit/2004/
PNiaga Smg
Yapi Kredi Bank
Jerman
03/Pailit/2004/P. Riska Suharko Cs
Niaga Smg
(Jepara)
PAILIT
PT. Dieng Yayu
Wonosobo
Chuk Norries Cs
(selaku pribadi dan
selaku Direktur Co
Maniac) Jepara
DITOLAK
(11K/N/04)
29-07-2004
DITOLAK
(14
PK/N/04)
DITOLAK
16-8-2004
DICABUT
(pemohon)
-
DIKABULKAN
17-9-2004
-
-
PAILIT
TIDAK PAILIT
PAILIT
(Pemberesan)
2004
4
04/Pailit/2004/ P PT. Starindo Jaya
Hari Mitra Jaya
Niaga Smg
Packing,Wangunrejo Ungaran
DITOLAK
1-10-2004
DITOLAK
10-11-2004
TIDAK PAILIT
5
05/Pailit/2004/ P Suharyanti,
Niaga Smg
Wonogiri
PT Prudential Life
Insurance,
Semarang
01/Pailit/2005/
P.Niaga Smg
Trisakti Putra
Mandiri
Semarang
PKPU
DITOLAK
9-11-2004
-
TIDAK PAILIT
NIHIL
1
Victor
Budiraharjo,cs.
Semarang
DIKABULKAN
DITOLAK
12-1-2006
(01/K/N/2006)
27-3-2006
PAILIT
(Pemberesan)
PAILIT
2005
PKPU
PAILIT
2
02/Pailit/2005/ P Victor Budi Raharjo,
Niaga Smg
cs. Semarang
Koperasi Sembilan
Sejati
1
01/PKPU/2005/
P.Niaga Smg
PT. Pasticon Trijaya
Cs.(para kreditor)
PT. Hadikusumo
Bros Coy(Debitor)
1
01/Pailit/2006/
P. Niaga Smg
Timotius Tri
Sabarno (Debitor
Sendiri)
-
2006
PKPU
Sumber
Keterangan
NIHIL
: Data diolah dari Pengadilan Niaga Semarang
: N.O = Niet Ontvankelijk Verklaard (Tidak dapat diterima)
-
N.O
1-9-2005
DIKABULKAN
16-2-2006
-
-
DITOLAK
(03K/N/2006)
24-5-2006
-
DICABUT
6-2-2006
-
PAILIT
(Pemberesan)
TABEL 6
DATA PERKARA KEPAILITAN DAN PKPU DI PENGADILAN NIAGA MAKASAR
TAHUN 2002 - 2006
THN
2002
PERMO
HONAN
PAILIT
PUTUSAN
NO.
URUT
NOMOR
PERKARA
1
01/Pailit
/2002/P.Niaga Mks
Mardani
Siswiyanto, Cs
02/Pailit 2002
/P.Niaga Mks
KSU. Anugrah
Bersama (Debitor)
2
PEMOHON
TERMOHON
KSU Milik
Bersama
-
HASIL
AKHIR
P.NIAGA
KASASI
P.K
-
-
-
DICABUT
DIKABUL KAN
25-11-2002
-
-
PAILIT
(PEMOHON
DEBITOR)
DITOLAK
5-6-2003
DIKABULKAN
(19K/N/03)
1-8-2003
PAILIT
(DAMAI)
-
-
DICABUT
PKPU
NIHIL
2003
PAILIT
1
2
01/Pailit
/2003/P.Niaga Mks
Karel Saputan
02/Pailit
/2003/P.Niaga Mks
PT. Sapta Pusaka
Nusantara
PT. Jati
Dharma Indah
PT. Pantai
Indah Tetali
-
NIHIL
-
NIHIL
-
NIHIL
-
NIHIL
-
NIHIL
-
NIHIL
-
NIHIL
PKPU
2004
PAILIT
PKPU
2005
PAILIT
PKPU
2006
PAILIT
PKPU
: 4 (100%)
Jumlah
Sumber
: Data diolah dari Pengadilan Niaga Makasar
Keterangan
: PK : Peninjauan Kembali
Tidak pailit : 2 (50%)
Pailit : 1 (25%)
Damai pailit : 1 (25%)
Damai PKPU : -
TABEL 7
DATA PERKARA KEPAILITAN DAN PKPU DI PENGADILAN NIAGA SURABAYA
TAHUN 2001 – 2006
PER
TAHU MO
HON
N
AN
2001
PAIL
IT
N
O
.
U
R
U
T
1.
2002
2003
PKP
U
PAIL
IT
NOMOR
PERKARA
01/Pailit/2001/
PN. Niaga.Sby
PEMOHON
TERMOHON
PT. Tifa
Mutual
Finance Corp.
Jkt.
PT. Sumber
daya
Sewatama.
Jkt.
Iwan Basari,
Jkt.
PT. Pasarraya Kausa
Jaya. Sby.
CABUT
(Lisan)
PT. Alika Eka Putra.
Sby.
TOLAK
03-04-01
N.O
(42 K/N/01)
21-11-01
PT. Pakuwon Jati Tbk.
Sby.
TOLAK
16-05-01
Iwan Basari, Jkt.
TOLAK
06-06-01
KABUL
13-06-01
PENGESAH
AN
PERDAMAI
AN
14-08-01
CABUT
20-11-01
TOLAK
(24 K/N/01)
02-06-01
–
P. NIAGA
KASASI
P.K.
HASIL
AKHIR
TIDAK
PAILIT
2.
02/Pailit/2001/
PN. Niaga.Sby
3.
03/Pailit/2001/
PN. Niaga.Sby
4.
04/Pailit/2001/
PN. Niaga.Sby
05/Pailit/2001/
PN. Niaga.Sby
PT. Pakuwon
Jati Tbk. Sby.
Purnama
Direktur PT.
Karya
Cemerlang
Bhakti
Persada, Sby.
6.
06/Pailit/2001/
PN. Niaga.Sby
1. PT. Kusuma
Internusa, Sby.
2. Emanuel Djabah,
Sby.
7.
07/Pailit/2001/
PN. Niaga.Sby
PT. Bank
Kosagraha
Semesta
(Dalam
Likuidasi), Jkt.
PT. Exim S.B.
Leasing, Jkt.
PT. Tamaraya Gold
Industri, Tbk.
Njoo Giok
Sioe als.
Stepanus,
Sby.
PT. Orix
Indonesia
Finance, Jkt.
Amajin Co.
Ltd., Jepang
PT. Ox.
Komunikasi
Wisata,
Denpasar
1. Nikko, Bali
2. Parilons, Nusadua
TOLAK
03-12-02
PT. Meskindo Alloy
Whell Corp., Sby
TOLAK
20-02-03
PT. Saka Utama
Dewata, Bali
KABUL
20-03-03
TOLAK
(08 K/N/03)
12-05-03
KABUL
(06
PK/N/03)
22-07-03
TIDAK
PAILIT
PT. Bumi SIdoardjo
Permai, Sidoardjo
TOLAK
28-03-03
TOLAK
(09 K/N/03)
26-05-03
TOLAK
(08
PK/N/03)
21-07-03
TIDAK
PAILIT
1. Natuna Hotel Resort
2. Four Seasons Sayam
3. Four Seasons
Jimbaran, Bali
KABUL
19-08-03
TOLAK
(24 K/N/03)
27-10-03
–
DEBITUR
PEMOH
ON
PAILIT
Tony Priyanto, Sby.
TOLAK
02-09-03
–
–
TIDAK
PAILIT
5.
PKP
U
PAIL
IT
PUTUSAN
TOLAK
(10
PK/N/01)
06-09-01
–
TIDAK
PAILIT
–
TIDAK
PAILIT
PERMO
HONAN
DEBITUR
PAILIT
DAMAI
TIDAK
PAILIT
–
–
–
–
TIDAK
PAILIT
TOLAK
27-12-01
TOLAK
(01 K/N/02)
13-02-02
KABUL
(09
PK/N/02)
29-04-02
PAILIT
CV. Chandra Arut Putra
Gianto, Sby.
KABUL
03-04-02
–
–
PAILIT
PT. Gunung Meranti
Raya Plywood,
Banjarmasin
PT. Usaha Tani maju,
Sby.
CABUT
01-04-02
–
–
TIDAK
PAILIT
KABUL
12-09-02
KABUL
(26 K/N/02)
25-10-02
N.O
(01 K/N/03)
29-01-03
–
TIDAK
PAILIT
–
TIDAK
PAILIT
1. Harmoko, Tarakan
2. Yohanes Due,
Ngada
3. Petrus Kod, Ngada
NIHIL
1.
01/Pailit/2002/
PN. Niaga.Sby
2.
02/Pailit/2002/
PN. Niaga.Sby
3.
03/Pailit/2002/
PN. Niaga.Sby
4.
04/Pailit/2002/
PN. Niaga.Sby
NIHIL
1.
01/Pailit/2003/
PN. Niaga.Sby
2.
02/Pailit/2003/
PN. Niaga.Sby
3.
03/Pailit/2003/
PN. Niaga.Sby
4.
04/Pailit/2003/
PN. Niaga.Sby
5.
05/Pailit/2003/
PN. Niaga.Sby
Indover Bank
(Asia) Ltd.,
Hongkong
1. PT. Salindo
Perdana
Finance
2. PT. Koexim
Mandiri
Finance,
Jkt.
PT. Bank
Kasabra
Semesta
(Dalam
likuidasi), Jkt.
PT. Ox.
Komunikasi
Wisata,
Denpasar
PT. Eterindo
Nusagraha,
Jkt.
TIDAK
PAILIT
2004
PKP
U
PAIL
IT
6.
06/Pailit/2003/
PN. Niaga.Sby
Tjiang Wenny
Chandra, Sby.
7.
07/Pailit/2003/
PN. Niaga.Sby
PT. Wijaya
Indah Permai,
Jkt.
8.
08/Pailit/2003/
PN. Niaga.Sby
PT. Njonya
Meneer, Jkt.
PKP
U
–
–
PAILIT
TOLAK
09-10-03
KABUL
(03 K/N/03)
20-11-03
TIDAK
PAILIT
TOLAK
11-11-03
KABUL
19-01-04
KABUL
(01
PK/N/04)
23-03-04
TOLAK
(03
PK/N/04)
07-04-04
PAILIT
1.
01/Pailit/2004/
PN. Niaga.Sby
Dr. Mulyono
Soerowidjaya
Prayitno Soeryo
Widjaya
CABUT
06-04-04
–
–
TIDAK
PAILIT
2.
02/Pailit/2004/
PN. Niaga.Sby
PT. Alika Eka Putra,
Sby.
CABUT
(lisan)
–
–
TIDAK
PAILIT
3.
03/Pailit/2004/
PN. Niaga.Sby
04/Pailit/2004/
PN. Niaga.Sby
PT. Aspac
Upnindo
Sekuritas, Jkt.
Lita Cahyono,
Sby.
Asia Pasific
Pte. Ltd,
Singapura
Go Tjing Tjing, Sby.
KABUL
24-05-04
CABUT
27-05-04
–
–
PAILIT
_
_
TIDAK
PAILIT
PT.Batasan.Cs.
Jkt.
Sby.
5.
05/Pailit/2004/
PN. Niaga.Sby
Edy Purnomi
Cs.
Jkt.
PT.Pohon
Mas Mapan
Sentosa,Sby.
KABUL
18-06-04
_
_
PAILIT
6.
06/Pailit/2004/
PN. Niaga.Sby
Budi Susetyo
Sby.
PT. Pakerin,
Sby.
TOLAK
25-07-04
TOLAK
(27K/N/05)
05-08-04
TIDAK
PAILIT
7.
07/Pailit/2004/
PN. Niaga.Sby
08/Pailit/2004/
PN. Niaga.Sby
PT.BNI,TBK,
Jkt.
PT.Mandiri
Finance,
Jkt.
PT Cipta Karya
Husada,Sby
PT.Sukma Kutai
Permai Bali
CABUT
06-09-04
TOLAK
08-10-04
_
TOLAK
(03PK/N/04
)
04-01-05
_
8.
2005
KABUL
12-09-03
NIHIL
4.
PKP
U
PAIL
iT
1. Victoria Kasur Pegas,
Sby.
2. Success Furniture,
Sidoardjo
1. PT. Kawi
Banjarmasin
2. Tobeng Mahatam,
Jkt.
PT. Citrasari, Sby.
TIDAK
PAILIT
TIDAK
PAILIT
TOLAK
(27K/N/05)
03-01-05
_
N.O
(14PK/N/05
)
14-02-06
_
PAILIT
NIHIL
1.
01/Pailit/2005/
PN. Niaga.Sby
PT.BNI,
Jkt.
PT.Bali Gumilang
Sejahtera
International,Denpasar.
KABUL
28-02-05
TOLAK
(IIK/N/05)
06-06-05
2.
02/Pailit/2005/
PN. Niaga.Sby
Sri Hanto,
Jkt.
Soenangto,Banjarbaru
KABUL
09-05-05
TOLAK
(15K/N/05)
3.
03/Pailit/2005/
PN. Niaga.Sby
Hendri
Widjaya,
Malang
PT.Vistara Medika,Sby
KABUL
11-05-05
TOLAK
(10PK/N/05)
_
PAILIT
4.
04/Pailit/2005/
PN. Niaga.Sby
PT Indagro Cultura,Sby.
TOLAK
19-07-05
KABUL
(21K/N/05)
20-10-05
_
PAILIT
5.
05/Pailit/2005/
PN. Niaga.Sby
PT.Sewu
Segar
Nusantara,
Tangerang
Krishna Pudja
H, Sby.
Alief Bagus,
Prilimtono,Cs,
Sby.
KABUL
09-08-05
_
_
6.
06/Pailit/2005/
PN. Niaga.Sby
Chandra
Hasan,Sby.
PT. Panca Sejati
Makmur Cs
Sby.
KABUL
18-08-05
_
_
7.
09/Pailit/2005/
PN. Niaga.Sby
H Gito
Raharjo,Cs
Malang
Bank International
Indonesia, Cs,Jkt.
KABUL
16-01-06
TOLAK
(02K/N/06)
02-05-06
_
8.
10/Pailit/2005/
PN. Niaga, Sby
PT. BNI, Tbk,
Jkt
PT. Katan Prima
Permai, Cs.
Banjarmasin
KABUL
24-02-06
-
-
DEBITO
R
PEMOH
ON
PAILIT
DEBITO
R
PEMOH
ON
PAILIT
DEBITO
R
PEMOH
ON
PAILIT
PAILIT
9.
07/Pailit/PKPU/
2005/ PN.
Niaga, Sby
-
CABUT
16-08-06
-
-
–
10.
08/Pailit/PKPU/
2005/ PN.
Niaga, Sby
Harry Sunago,
Dirut PT.
Sekar Laut,
Sby
Harry Sunago,
Dirut PT.
Sekar Laut,
Sby
-
KABUL
PKPUS 1808-05
PENGESAH
–
–
PKPU
DAMAI
PAILIT
2006
PAIL
IT
1.
01/Pailit/2005/
PN. Niaga, Sby
Bambang
Tanoyo, Sby.
Yudi Hartono, Cs. Sby
2.
02/Pailit/2005/
PN. Niaga, Sby
Bambang
Tanoyo, Sby
Harianto Cs, Sby
3.
03/Pailit/2005/
PN. Niaga, Sby
Go Sin Loen,
Sby
4.
04/Pailit/2005/
PN. Niaga, Sby
PT. Bank Cina
Trust Ind. Jkt.
5.
05/Pailit/2005/
PN. Niaga, Sby
Kopinkra,
Samarinda
6.
06/Pailit/2005/
PN. Niaga, Sby
Sugiono
Prajogo, Sby
7.
07/Pailit/2005/
PN. Niaga, Sby
8.
AN
PERDAMAI
AN
22-09-05
TOLAK
16-03-06
–
–
TOLAK
02-05-06
–
–
UD. Cahaya Utama
Plastic Cs, Sby
TOLAK
13-09-06
–
–
PT. Busana Tirta
Utama, Cs.
CABUT
04-10-06
–
–
Kopinkra Mulia, Sby
CABUT
18-09-06
–
–
–
TOLAK
09-11-06
TOLAK
(3 K/N/06)
12-06-06
Kopinkra
Bontang,
Kaltim
–
N.O
22-11-06
–
–
08/Pailit/2005/
PN. Niaga, Sby
PT. BNI, Jkt.
PT. Giat Ultra Chemical
Industrial, Banjarmasin
KABUL
15-11-06
–
–
9.
09/Pailit/2005/
PN. Niaga, Sby
PT. Ihaka
Kharisma, Jkt.
PT. Delta Barito,
Banjarmasin
CABUT
04-01-07
–
–
TIDAK
PAILIT
10.
10/Pailit/2005/
PN. Niaga, Sby
UD. Sidodadi,
Kediri
PT. Surya Buana Mas
Cs, Malang
KABUL
28-02-07
–
–
DEBITUR
PEMOH
ON
PAILIT
PKP
NIHIL
U
JUMLAH
: 47 (100 %)
Sumber
Ket.
TIDAK PAILIT
PAILIT
DAMAI
DEBITUR
PEMOH
ON
TIDAK
PAILIT
DEBITUR
PEMOH
ON
TIDAK
PAILIT
DEBITUR
PEMOH
ON
TIDAK
PAILIT
TIDAK
PAILIT
TIDAK
PAILIT
DEBITUR
PEMOH
ON
TIDAK
PAILIT
DEBITUR
PEMOH
ON
TIDAK
PAILIT
PAILIT
: 28 (58 %)
: 17 (36 %)
: 2 (4 %)
: Data diolah dari Pengadilan Niaga Surabaya
: N.O. (Niet ontvankelijk Verklaard) = Tidak dapat diterima
TABEL 8
Jumlah perkara Permohonan Pailit dan dicounter dengan PKPU di Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat dari Tahun 1999-2006
Permohonan Pailit
Counter dengan PKPU
Gagal Damai
Berhasil Damai
508 = 100%
-----------------
73 = 14%
73 = 100%
39 = 7,6%
39 = 53%
34 = 6,6%
34 = 46 %
TABEL 9
Hasil Wawancara dengan Para Praktisi Peradilan Niaga
Pertanyaan : Apakah lembaga penengah Prakarsa Jakarta dengan fasilitas skema
INDRA perlu diaktifkan kembali, dan apa sebabnya lembaga
tersebut tidak bertahan.
Responden
1.
Sudrajad Dimyati
(Hakim
Pengadilan
Jakarta Pusat)
: Jawaban
Niaga
- Tidak perlu lagi karena keadaan ekonomi (krisis
moneter) yang diakibatkan perubahan nilai kurs
yang signifikan antara dollar dan rupiah sudah
berlalu.
2.
Bagir Manan
(Hakim Agung/Ketua MARI)
- Tidak perlu karena menggunakan lembaga
penengah digantungkan kepada kemauan para
pihak apakah memilih Prakarsa Jakarta atau
bentuk ADR lainnya, sebab tidak ada paksaan
dari pemerintah.
3.
Ricardo Simanjuntak
(Advokat/Ketua IKAPI)
- Tidak perlu karena tidak banyak hasil yang
diperoleh dari menggunakan lembaga tersebut,
sehingga Pengadilan Niaga masih tetap berperan
dalam penyelesaiaan utang piutang perusahaan.
4.
Nirwana
(Hakim
Pengadilan
Semarang)
- Tidak perlu karena kurang efektif dan sifatnya
Niaga sukarela.
5.
Kurniayani Darmono
(Hakim
Pengadilan
Semarang)
- Tidak perlu karena sifatnya adalah mediasi
Niaga evaluatif bukan alat pemaksa sehingga kurang
menekan ke bingkai kerangka hukum yang sudah
merupakan wilayah pengadilan.
6.
Abdul Kadir Mappong
(Hakim Agung/Tuada
Niaga MARI)
- Tidak perlu apalagi sudah tidak eksis lagi berarti
Perdata tidak diperlukan oleh para pihak bersengketa.
7.
Elita Ras Ginting
(Hakim
Pengadilan
Medan)
- Tidak perlu karena memang tidak eksis lagi
Niaga disebabkan dasar hukumnya yang tidak kuat dan
pemerintah tidak mendukung lembaga tersebut.
8.
Amir Maddi
(Hakim
Pengadilan
Surabaya)
- Tidak perlu lagi karena sudah lewat masa krisis
Niaga moneter yang disebabkan perubahan nilai kurs
dollar terhadap rupiah yang demikian signifikan.
TABEL 10
Hasil Wawancara dengan Para Praktisi Peradilan Niaga
Pertanyaan : Menurut pengalaman saudara sebagai praktisi, apakah yang
menyebabkan gagalnya perdamaian dalam kepailitan dan PKPU?
Responden
1.
: Jawaban
Amir Maddi
(Hakim
Pengadilan
Surabaya)
Niaga
- Tidak
memperoleh
quorum
dalam
pemungutan suara kreditor, dan komposisi
pelunasan utang yang ditawarkan oleh debitor
terlalu rendah.
2.
H. Suripto
- Penawaran debitor kurang menarik bagi para
(Hakim
Pengadilan
Niaga kreditor.
Surabaya/Ketua
Pengadilan
Niaga Surabaya)
3.
Kurniayani Darmono
(Hakim
Pengadilan
Semarang)
- Tidak ada jaminan bagi kreditor akan
Niaga mendapat
pembayaran
yang
lebih
menguntungkan dengan adanya perdamaian
dari pada debitor dinyatakan pailit.
4.
Elita Ras Ginting
(Hakim
Pengadilan
Medan)
- Penawaran debitor dalam rencana perdamaian
Niaga tidak menyakinkan bagi para kreditor, dimana
asetnya lebih sedikit dibandingkan dengan
liabilitasnya.
5.
Ricardo Simanjuntak
(Advokat/Ketua IKAPI)
6.
Sudrajad Dimyati
(Hakim
Pengadilan
Jakarta Pusat)
Niaga
Agus Subroto
(Hakim
Pengadilan
Jakarta Pusat)
Niaga
Binsar Siregar
(Hakim
Pengadilan
Jakarta Pusat)
Niaga
7.
8.
9.
- Penawaran dari debitor tidak realistis.
- Penawaran yang diajukan oleh debitor kepada
para kreditor tidak cukup realistis.
- Kepentingan
kreditor
dalam
rencana
perdamaian yang diajukan debitor tidak
terakomodir sedemikian rupa.
- Tidak dipenuhinya syarat-syarat formalitas
(homologasi), dan juga kecilnya tawaran
yang diajukan debitor kepada para
kreditornya.
- Syarat-syarat pembayaran kembali utang
Parwoto Wignyo Sumarto
(Hakim / Panitera Muda Perdata debitor, baik jumlah maupun tenggang waktu
tidak dapat disepakati antara debitor dengan
Niaga MARI)
para kreditornya.
10. Nirwana
(Hakim
Pengadilan
- Penawaran yang diajukan oleh debitor tidak
Niaga realistis baik dari jumlah yang harus dibayar
Semarang)
11. Abdul Kadir Mappong
(Hakim Agung/Tuada
Niaga MARI)
12
maupun tenggang waktu pembayaran.
- Kreditor tidak yakin kepada debitor untuk
Perdata dapat merealisasi penawaran yang diajukan
debitor kepada
para kreditor.
Bagir Manan
(Hakim Agung/Ketua MARI)
- Pengajuan penawaran dari debitor kepada
para kreditornya tidak realistis baik dari
jumlah pembayaran maupun tenggang waktu
yang ditawarkan debitor.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdul R. Salman. Essensi Hukum Bisnis Indonesia. Jakarta : Kencana, 2004.
Abdurrachman A, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan dan Perdagangan, Cetakan
Keenam. Jakarta : Pradnya Paramita, 1991.
Adolf, Huala. Masalah-masalah Hukum Dan Perdagangan Internasioal. Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 1994.
Ahmad Yani, Gunawa Widjaja. Seri Hukum Bisnis : Perseroan Terbatas. Jakarta
: Raja Grafindo Persada, 2000.
Ahmad Deni Daruri. BPPN Garbage In- Garbage Out. Jakarta : Center for
Banking Crisis, 2004.
Amal, Ichlasul. Globalisasi, Demokrasi dan Wawasan Nusantara, Prespektif
Pembangunan Jangka Panjang. Kumpulan Tulisan dalam Buku :
Wawasan Nusantara, Pusat Kajian Kebudayaan, Universitas Bung Hatta,
1992.
Amiruddin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2004.
Apeldoorn, I, J, Van. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Pradnya Paramita, 1981.
Aria Suyudi. Kepailitan di Negeri Pailit, Analisis Hukum Kepailitan Indonesia.
Pusat studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2003.
Analisis,Teori dan Praktek Kepailitan Indonesia. Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan Indonesia, 2002.
Arief Sidharta, Bernard. Refleksi Tentang
Mandar Maju, 2000.
Struktur Ilmu Hukum. Bandung :
Asikin, Zainal. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia.
Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000.
Atmasasmita, Romli. editor : Aman S. Meliala et.al., Reformasi Hukum, Hak
Azasi Manusia dan Penegakkan Hukum. Bandung : Mandar Maju, 2001.
Badrulzaman, Mariam Darus. Aneka Hukum Bisnis. Bandung : Alumni, 1994.
Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001.
Ruang Lingkup UU Kepailitan. Makalah dalam Seminar Hukum
Kepailitan, AEKI–Sumut dan STIH Graha Kirana, Medan 19–10–1998.
Bambang Riyanto. Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan. Yogyakarta :
Yayasan Penerbit Gajah Mada, 1991.
Black, Hendry Campbell. Black’s Law Dictionary. Sixth Edition, 1990.
Budiarjo, Ali. Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta : PT Siber Konsultan,
1999.
Campbell, Dennis. International Corporation Insolvensy Law. Butterworths :
CILS, 1992.
Cambell, Dennis Anthony E. Collins (editors). Corporate Insolvensy and Rescue,
The International Dimension. Boston : Kluwerlaw and Taxation Publisher,
1993.
Charles R. O’Kelly Jr, Robert B Thomson. Corporations and Other Business
Associations, Cases and Materials. Boston, Toronto. London : Little
Brown Co., 1992.
Daley, Kerrie. LAW 3095 Corporate Insolvency. Sidney : University of New
Southwales, 2004.
Darmodiharjo, Darji. Pokok-pokok Filsafat Hukum. Jakarta : PT Gramedia, 1996.
Djohansah,J. Pengadilan Niaga. Kumpulan Makalah Calon Hakim Pengadilan
Niaga. Mahkamah Agung RI, 1998.
Donnel John D. Law for Business. Illinois : Irwin HomeWood, 1983.
Duns, Jhon. Insolvency : Law and Policy. Melbourne : Oxford University Press,
2002.
Easterbrook, Frank H. The Economic Structure of Corporate Law. Cambridge,
Massachusetts, England : Harvard University Press, 1996.
Emirson, Jony. Hukum Bisnis Indonesia. Jakarta : Proyek Peningkatan Penelitian
Pendidikan Tinggi, Dirjendikti, Deppennas,PT Prehalindo, 2002.
Erman Rajagukguk. Peranan Hukum dalam Pembangunan pada Era Globalisasi
: Implikasinya bagi pendidikan Hukum di Indonesia. Pidato Pengukuhan
Guru Besar dalam bidang Hukum pada FH UI, Jakarta: 4 Januari 1997.
Friedman, Lawrence M. American Law, an Introduction. New York : W.W.
Norton and Co., 1984.
Fuady, Munir. Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek. Buku kesatu, Bandung :
Citra Aditya Bakti, 1994.
Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek. Buku kedua. Bandung : Citra
Aditya Bakti, 1994.
Hukum Kepailitan 1998 dalam Teori dan Praktek. Bandung : Citra
AdityaBakti, 1998.
Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek. Buku ketiga. Bandung : Citra
Aditya Bakti, 1999.
Hukum Tentang Merger. Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999.
Pengantar Hukum Bisnis. Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001.
Ginsberg, Morris. Keadilan dalam Masyarakat. Bantul : Pondok Edukasi, 2003.
Goodpaster, Gary. Seri Dasar Hukum Ekonomi 9, Panduan Negosiasi dan
Mediasi. terjemahan : Nogar Simanjuntak. Jakarta : ELIPS, 1999.
Graham, John L. Smart Bargaining doing Business with the Japanese.
Cambridge : Ballinger Publishing Company, 1984.
Hadimulyo. Mempertimbangkan ADR, Kajian Alternatif Penyelesaian Sengketa
di luar Pengadilan. Jakarta : ELSAM, 1997.
Harahap, M, Yahya. Laporan Akhir Penelitian Hukum tentang ADR, BPHN,
Depkeh RI. 1995/1996.
Hartono, Sunaryati. Capita Selecta Perbandingan Hukum. Bandung : Alumni,
1970.
Huizink, J.B. Insolvensi. Kluwer-Deventer. Cetakan Kedua, 1995.
Insolventie. Alih Bahasa : Linus Doludjawa. Jakarta : Pusat Studi Hukum
& Ekonomi FH UI, 2004.
Husein, Yunus. Rahasia Bank, Privasi Versus Kepentingan Umum. Jakarta : FH
UI, Pasca Sarjana, 2003.
James E Mauch, Jack W Birch. Gudide to the successful Thesis and Dissertasion,
Books in Library and Information Science. New York : Marcel Dekker
Inc., 1993.
James A Pusateri, Karen S. Kressin, James J.O Malley. (editors), Small Business
Bankruptcy Reorganizations. New York, Chichester, Brisbane, Toronto,
Singapore : John Wiley & Sons Inc., 1994.
Jerry Hoff. Indonesian Bankruptcy Law. editor : Gregory J Churcill. Jakarta : PT
Tatanusa, 1999.
Undang-undang Kepailitan di Indonesia. terjemahan : Kartini Mulyadi.
Jakarta : PT Tatanusa, 2000.
John A Fosum. Labour Relation, Development Structure, Proccess Business
Publication, 1992.
Khairandy, Ridwan. Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta : FH UI
Pasca Sarjana, 2003.
Beberapa kelemahan mendasar UU Kepailitan Indonesia. Jurnal Megister
Hukum,Vol. 2 No.1, Februari 2000.
Konrad Zwigert. Introduction to Comparative Law. Vol. 1 Oxford : Clarendon
Press, 1987.
Lee A Weng, Henry. Hukum Kepailitan (Faillssement) dan Penundaan
Pembayaran (Surseanse van Betalling). Bahan Ceramah, Pengadilan
Tinggi Medan, April 1998.
Leo Hawkins. The Legal Negotiator, A Handbook for managing Legal
Negotiations more effectively. Melbourne : Longman Professional,1991.
Leonard J Theberge. Law and Economic Development, dalam Peranan Hukum
dalam Pembangunan Ekonomi 2. editor : Eman Rajagukguk. Jakarta : UI,
1995.
Lev, Daniel S. The Lady and the Bayan Tree, Civil Law Change in Indonesia.
terjemahan : Satjipto Rahardjo : Sosok Wanita dan Pohon Beringin, dalam
The American Journal of Comparative law. Vol. 20, 1972.
Lewis D Solomon, Donald E. Schwartz, Jeffrey D. Bauman, Elliott J. Weiss.
Corporations Law and Policy, Materials and Problems. Third Edition. St.
Paul, Minn : West Publishing Co., 1994.
Lubis, M Solly. Filsafat Ilmu dan Penelitian. Bandung : Mandar Maju, 1994.
_____ Sistem Nasional. Bandung : Mandar Maju, 2002.
_____ Pembentukan Undang-udang secara terpadu dan demokratis berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Makalah dalam Sarasehan Bidang Hukum.
Poldasu, Medan, Februari 1996.
Margono, Suyud. ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum.
Jakarta : Ghalia Indonesia, 2000
Mark S Scarberry, Kenneth N. Klee, Grant W. Newton, Steve H. Nickles.
Business Reorganization in Bankkruptcy, Case and Materials. St. Paul
Minnesota : West Publishing Co,. 1996.
Martiman Prodjohamidjojo. Proses Kepailitan. Bandung : Mandar Maju, 1999.
Moleong, Lexi J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Cetakan Kesebelas, Bandung :
Remaja Rosdakarya, 2000.
Mulyadi, Kartini. Pedoman Menangani Perkara Kepailitan. Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2003.
Nasution, Bismar. Hukum Kepailitan (Diktat). Medan : Program MKN, PPS USU
2003.
Nasution, C. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta :Bumi Aksara, 2000.
Newton, Grant W. Corporate Bankruptcy, Tolls, Strategies and Alternatives. New
York : John Wiley & Sons Inc., 2003.
Panggabean,H P. Penerapan Asas-asas Peradilan dalam kasus Kepailitan.
Ulasan Hukum, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 7, 1999.
_____ Upaya Perdamaian menurut Pasal 130 HIR, Makalah Rekernas
Mahkamah Agung. Yogjakarta, September 2001.
Reksohadiprojo, Sukanto. Pengantar Ekonomi Perusahaan. Yogjakarta : BPFE,
1991.
Richard C Breeden. The Globalization of Law and Business in the 1990’s. dalam
Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi 2, editor : Erman
Rajagukguk, Jakarta : UI, 1995.
Rose QC, Dennis. Australian Bankruptcy Law. Tenth Edition, Canberra : The
Law Book Company Ltd, 1994.
Rudhy A Lontoh, Denny Kailimang, Beny Ponto (editor). Penyelesaian Utang
Piutang melalui Pailit atau PKPU. Bandung : Alumni, 2001.
Sastrawijaya, H. Man S. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. Bandung : Alumni, 2006
Satrio, J. Hukum Perikatan, Perikatan pada umumnya. Bandung : Alumni, 1993.
_____ Perikatan yang lahir dari Perjanjian. Buku kedua, Bandung : Aditya
Bakti, 1995.
Sawir, Agnes. Kebijakan Pendanaan dan Restrukturisasi Perusahaan. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Setiawan. Kepailitan, konsep-konsep dasar serta pengertiannya. Ulasan Hukum.
Varia Peradilan No. 156, September 1998.
Sinaga, Syamsudin Manan. Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Restrukturisasi
Utang pada PKPU. Jakarta : BPHN Depkeh & HAM, 2000.
Sitepu, Runtung. Modul Penyelesaian Sengkete Alternatif. Medan : PPS
USU,2003.
Sitompul, Zulkarnain. Perlindungan Dana Nasabah Bank, Suatu gagasan tentang
pendirian Lembaga Penjamin di Indonesia. Jakarta : FH UI, Program
Pasca Sarjana, 2003.
Situmorang, Victor M, Hendri Soekarso. Pengantar Hukum Kepailitan Indonesia.
Jakarta : Rineka Cipta, 1994.
Sjahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2002.
_____ Kebebasan berkontrak dan perlindungan yang seimbang bagi para pihak
dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. Jakarta : Institut Bankir
Indonesia,1993.
_____
Prakarsa Jakarta (The Jakarta Inisiative). Makalah dalam Seminar
Hukum Kepailitan. AEKI - Sumut dan STIH Graha Kirana, Medan, 1910-1998.
_____ Skema INDRA. Makalah dalam Semiar Hukum Kepailitan. AEKI-Sumut
dan STIH Graha Kirana, Medan,19-10-1998.
Stijn Claessens, Simeon Djankov, Ashoka Mody (editors). Resolution Of
Financial Distress, an International Perspective on the Design of
Bankruptcy Laws. Washington DC : The World Bank, 2001.
Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. Cetakan ketujuh belas. Jakarta : PT
Internusa, 1983.
Sukanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press, 1996.
_____ Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003.
_____ Penelitian Hukum Normatif. Jakarta : UI Press, 1986.
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 1998.
_____ Metodologi Penelitian Hukum. Cetakan Ketiga. Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2001.
Sulaiman, Robintan. Lebih jauh tentang Kepailitan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1998. Karawaci : FH Universitas Pelita Harapan, 2000
Suyatno,Thomas. Bank Indonesia, Bank tidak sehat, BPPN dan Masalah
Kepailitan. Jurnal Hukum Bisnis. YPHB, Vol. 7, 1999.
Vagts, Detlev F. Basic Corporation Law, Materials, Cases, Text. Westbury, New
York : The Foundation Press Inc., 1989.
Waluyo, Bernadette. Hukum Kepailitan dan PKPU. Bandung : Mandar Maju ,
1999.
Wasis. Pengantar Ekonomi Perusahaan. Bandung : Alumni, 1992.
Widjaya, Gunawan. Tanggung jawab Direksi atas Kepailitan Pereroan. Jakarta :
Grafindo Persada, 2003.
Wignojosumarto, Parwoto. Titik Taut Arbitrase dan Kepailitan Indonesia.
Makalah Seminar Bankruptcy & Arbitration, Pusat Pengkajian Hukum,
Jakarta 8-3-2004.
Yuhasrie, Emmy, Srimuryani, Tri Harnowo (editor). Kewajiban dan standard
Pelaporan dalam Kepailitan dan Perlindungan Kurator dan Harta Pailit.
Lokakarya, Jakarta 18-19 Nopember 2003.
Majalah/Harian :
Varia Peradilan : Nomor 173, Februari 2000.
Varia Peradilan : Nomor 253, Desember 2006.
Harian Kompas :
22 Juli 1998, 24 Februari 2003, 14 Maret 2003, 31 Maret
2003, 14 April 2003, 29 April 2003, 15 Oktober 2003, 28
Nopember 2003, 26 Februari 2004, 27 Desember 2006.
Harian Perjuangan : 25 Maret 2003.
Harian Republika : 11 Juni 2003.
Harian Sinar Indonesia Baru (SIB) : 29 April 1999.
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1998 Tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun
1998 Tentang Perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan menjadi
Undang-Undang
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Himpunan Putusan-putusan Mahkamah Agung RI dalam Perkara Kepailitan Jilid
3, Jilid 4, Jilid 6,(PT Tatanusa,1999,2000)
Himpunan Putusan-Putusan Pengadilan Niaga, Mahkamah Agung RI, Dirjen
Badan Peradilan Umum, Juni 2006
Download