Sejarah Asal-Usul Bangsa Indonesia Disusun Oleh : Nama : Resi

advertisement
Sejarah Asal-Usul Bangsa Indonesia
Disusun Oleh :
Nama
: Resi Puspitosari
NIM /Fakultas
: 02115014/Fakultas Hukum
Universitas Narotama Surabaya Tahun Ajaran 2015-2016
Siapakah sesungguhnya Bangsa Indonesia? Ada banyak cara/versi untuk
menerangkan jawaban atas pertanyaan tadi. Dari semua versi, keseluruhannnya
berpendapat sama jika lelulur masyarakat Indonesia yang sekarang ini mendiami
Nusantara adalah bangsa pendatang. Penelitian arkeologi dan ilmu genetika
memberikan bukti kuat jika leluhur Bangsa Indonesia bermigrasi dari wilayah
Asia ke wilayah Asia bagian Selatan. Masyarakat Indonesia mungkin banyak
yang tidak menyadari apabila perbedaan warna kulit, suku, ataupun bahasa tidak
menutupi fakta suatu bangsa yang memiliki rumpun sama, yaitu rumpun
Austronesia. Jika melihat catatan penelitian dan kajian ilmiah tentang asal-usul
suatu bangsa, apakah masyarakat Indonesia menyadari jika mereka berasal
(keturunan) dari leluhur yang sama (satu rumpun)?
Topik dalam tulisan ini sebelumnya sudah sering dibahas di media cetak maupun
elektronik, termasuk juga dituliskan oleh beberapa blogger. Sayang sekali di
setiap penulisan tidak memberikan penegasan apapun kecuali hanya sekedar
informasi umum. Pada prinsipnya, dengan menelusuri asal-usul suatu bangsa,
setidaknya akan diketahui gambaran atas pemikiran, paham, ataupun anggapan
tentang sikap suatu bangsa.
Menelusuri asal-usul suatu bangsa tidak sekedar membutuhkan bidang ilmu
antropologi, akan tetapi sudah masuk ke dalam ranah ilmu genetika. Pada
awalnya, penelurusuran hanya didasarkan pada bukti-bukti arkeologi dan pola
penuturan bahasa. Temuan terbaru cukup mengejutkan karena merubah
keseluruhan fakta di masa lalu jika selama ini leluhur Bangsa Indonesia bukan
berasal dari Yunan.
Teori Awal Tentang Yunan
Teori awal tengan asal-usul Bangsa Indonesia dikemukakan oleh sejarawan kuno
sekaligus arkeolog dari Austria, yaitu Robern Barron von Heine Geldern atau
lebih dikenal von Heine Geldern (1885-1968). Berdasarkan kajian mendalam atas
kebudayaan megalitik di Asia Tenggara dan beberapa wilayah di bagian Pasifik
disimpulkan bahwa pada masa lampau telah terjadi perpindahan (migrasi) secara
bergelombang dari Asia sebelah Utara menuju Asia bagian Selatan. Mereka ini
kemudian mendiami wilayah berupa pulau-pulau yang terbentang dari
Madagaskar (Afrika) sampai dengan Pulau Paskah (Chili), Taiwan, dan Selandia
Baru yang selanjutnya wilayah tersebut dinamakan wilayah berkebudayaan
Austronesia. Teori mengenai kebudayaan Austronesia dan neolitikum inilah yang
sangat populer di kalangan antropolog untuk menjelaskan misteri migrasi bangsabangsa di masa neolitikum (2000 SM hingga 200 SM).
Teori von Heine Geldern tentang kebudayaan Austronesia mengilhami pemikiran
tentang rumpun kebudayaan Yunan (Cina) yang masuk ke Asia bagian Selatan
hingga Australia. Salah satunya pula yang melandasi pemikiran apabila leluhur
Bangsa Indonesia berasal dari Yunan. Teori ini masih sangat lemah (kurang
akurat) karena hanya didasarkan pada bukti-bukti kesamaan secara fisik seperti
temuan benda-benda arkeologi ataupun kebudayaan megalitikum. Teori ini juga
sangat mudah diperdebatkan setelah ditemukannya catatan-catatan sejarah di
Borneo (Kalimantan), Sulawesi bagian Utara, dan Sumatera yang saling
bertentangan dengan teori Out of Yunan. Sayangnya, masih banyak pendidikan
dasar di Indonesia yang masih mempertahankan prinsip ‘Out of Yunan’.
Teori Linguistik
Teori mengenai asal-usul Bangsa Indonesia kemudian berpijak pada studi ilmu
linguistik. Dari keseluruhan bahasa yang dipergunakan suku-suku di Nusantara
memiliki rumpun yang sama, yaitu rumun Austronesia. Akar dari keseluruhan
cabang bahasa yang digunakan leluhur yang menetap di wilayah Nusantara
berasal dari rumpun Austronesia di Formosa atau dikenal dengan rumpun Taiwan.
Teori linguistik membuka pemikiran baru tentang sejarah asal-usul Bangsa
Indonsia yang disebut pendekatan ‘Out of Taiwan’. Teori ini dikemukakan oleh
Harry Truman Simandjuntak yang selanjutnya mendasar teori moderen mengenai
asal usul Bangsa Indonesia.
Pada prinsipnya, menurut pendekatan ilmu linguistik, asal-usul suatu bangsa dapat
ditelusuri melalui pola penyebaran bahasanya. Pendekatan ilmu linguistik
mendukung fakta penyebaran bangsa-bangsa rumpun Austronesia. Istilah
Austronesia sendiri sesungguhnya mengacu pada pengertian bahasa penutur.
Bukti arkeologi menjelaskan apabila keberadaan bangsa Austronesia di
Kepulauan Formosa (Taiwan) sudah ada sejak 6000 tahun yang lalu. Dari
kepulauan Formosa ini kemudian bangsa Austronesia menyebar ke Filipina,
Indonesia, Madagaskar (Afrika), hingga ke wilayah Pasifik. Sekalipun demikian,
pendekatan ilmu linguistik masih belum mampu menjawab misteri perpindahan
dari Cina menuju Kepulauan Formosa.
Pendekatan Teori Genetika
Teori dengan pendekatan ‘Out of Taiwan’ nampaknya semakin kuat setelah
disertai bukti-bukti berupa kecocokan genetika. Riset genetika yang dilakukan
pada ribuan kromosom tidak menemukan kecocokan pola genetika dengan
wilayah di Cina. Temuan ini tentunya cukup mengejutkan karena dianggap
memutuskan dugaan gelombang migrasi yang berasal dari Cina, termasuk di
antaranya pendekatan ‘Out of Yunan’. Sebaliknya, kecocokan pola genetika justru
semakin memperkuat pendekatan ‘Out of Taiwan’ yang sebelumnya juga
dijadikan dasar pemikiran arkeologi dengan pendekatan ilmu linguistik.
Dengan menggunakan pendekatan ilmu linguistik dan riset genetika, maka asalusul Bangsa Indonesia bisa dipastikan bukan berasal dari Yunan, akan tetapi
berasal dari bangsa Austronesia yang mendiami Kepulauan Formosa (Taiwan).
Direktur Institut Biologi Molekuler, Prof. Dr Sangkot Marzuki menyarankan
untuk dilakukan perombakan pandangan yang tentang asal-usul Bangsa Indonesia.
Dari pendekatan genetika menghasilkan beragam pandangan tentang pola
penyebaran bangsa Austronesia. Hingga saat ini masih dilakukan berbagai kajian
mendalam untuk memperkuat pendugaan melalui pendekatan linguistik tentang
pendekatan ‘Out of Taiwan’.
Jalur Migrasi
Jalur migrasi berdasarkan pendekatan ‘Out of Taiwan’ bertentangan dengan
pendekatan ‘Out of Yunan’. Pendekatan ‘Out of Yunan’ menerangkan migrasi
Austronesia bermula dari Utara menuju semenanjung Melayu yang selanjutnya
menyebar ke wilayah Timur Indonesia. Pendekatan ‘Out of Yunan’ dapat
dilemahkan setelah ditelusuri berdasarkan pendekatan linguistik dan diperkuat
pula oleh pembuktian genetika.
Berdasarkan pendekatan ‘Out of Taiwan’, migrasi leluhur dari Taiwan (Formosa)
tiba terlebih dulu di Filipina bagian Utara sekitar 4500 hingga 3000 SM. Diduga
migrasi dilakukan untuk memisahkan diri mencari wilayah baru di Selatan. Akibat
dari migrasi ini kemudian membentuk budaya baru, termasuk diantaranya
pembentukan cabang bahasa yang disebut Proto-Malayo-Polinesia (PMP). Teori
migrasi awal bangsa Austronesia dari Formosa disampaikan oleh Daud A.
Tanudirjo berdasarkan pandangan pakar linguistik Robert Blust yang
menerangkan pola penyebaran bangsa-bangsa Austronesia.
Pada tahap selanjutnya sekitar 3500 hingga 2000 SM terjadi migrasi dari
Masyarakat yang semula mendiami Filipina dengan tujuan Kalimantan, Sulawesi,
dan Maluku Utara. Migrasi yang berakhir di Maluku Utara ini kemudian
meneruskan migrasinya sekitar tahun 3000 hingga 2000 SM menuju ke Selatan
dan Timur. Migrasi di bagian Selatan menuju gugus Nusa Tenggara, sedangkan di
bagian Timur menuju pantai Papua bagian Barat. Dari Papua Barat ini kemudian
mereka bermigrasi lagi dengan tujuan wilayah Oseania hingga mencapai
Kepulauan Bismarck (Melanesia) sekitar 1500 SM.
Pada periode 3000 hingga 2000 SM, migrasi juga dilakukan ke bagian Barat yang
dilakukan oleh mereka yang sebelumnya menghuni Kalimantan dan Sulawesi
menuju Jawa dan Sumatera. Selanjutnya, hijrah pun diteruskan menuju
semenanjung Melayu hingga ke seluruh wilayah di Asia Tenggara. Proses migrasi
berulang-ulang dan menghabiskan masa ribuan tahun tidak hanya membentuk
keanekaragaman budaya baru, akan tetapi juga pola penuturan (bahasa) baru.
Penutup
Teori asal-usul Bangsa Indonesia dengan pendekatan ‘Out of Taiwan’ saat ini
adalah teori paling mendukung karena disertai bukti linguistik dan genetika.
Kesamaan pola budaya Megalitikum hanya bisa menjelaskan pola variasi budaya,
akan tetapi belum mampu untuk menjelaskan arus migrasi pertama kali.
Pendekatan ‘Out of Taiwan’ pun bukannya tanpa celah. Seperti yang
dikemukakan oleh Prof. Dr Sangkot Marzuki, teori mengenai keberadaan bangsa
Austronesia berdasarkan pendekatan genetika juga masih beragam dan belum
menemukan titik temu.
Jika ditanya motif suku-suku bangsa ketika itu untuk menggabungkan diri ke
dalam NKRI bukanlah semata didasarkan atas kesamaan nasib. Kesamaan asal
usul leluhur sangat dimungkinkan bagi melatarbelakangi keinginan untuk
menyatukan kembali menjadi suatu bangsa. Kedatangan kolonial Eropa yang
meng-kapling wilayah menyebabkan suku-suku bangsa di wilayah penyebaran
Austronesia menjadi terpisah secara politik satu dengan yang lain. Tidak
mengherankan apabila catatan sejarah Majapahit dan Sriwijaya wilayah mengklaim Nusantara sebagai wilayah kekuasaan Austronesia.
Kisah tentang sejarah asal-usul Bangsa Indonesia sesungguhnya masih belum
terungkap penuh. Temuan terbaru dari Prof. Dr Sangkot Marzuki bahkan
menyatakan jika penyebaran bangsa dengan bahasa Austronesia berawal dari
wilayah Sunda (Jawa Barat). Perlu kiranya pemikiran atau teori baru tentang asalusul Bangsa Indonesia dikaji ulang. Untuk awal, setidaknya dengan membebaskan
terlebih dahulu paham ‘Out of Yunan’.
Sekalipun belum ditemukan bukti-bukti genetika secara meyakinkan, suku bangsa
Austronesia yang menempati gugus kepulauan Formosa (Taiwan) diduga kuat
bermigrasi dari wilayah Utara (Cina). Rumpun bahasa Austronesia dan keluarga
bahasa lainnya di Asia Tenggara merupakan filum Bahasa Austrik. Dilihat dari
kekerabatan linguistik (hipotesis filum Austrik), semua bahasa di wilayah
Tiongkok bagian Selatan memiliki kedekatan (kekerabatan) dengan rumpun
Bahasa Austrik. Jika hendak ditarik benang merahnya, maka diskriminasi rasial
tidak perlu terjadi di negeri ini. Dengan memahami sejarah masa lalu dirinya
sendiri, setidaknya bangsa ini akan lebih bijaksana dalam memberikan sikap.
Bangsa Indonesia adalah bangsa antisejarah, selalu membunuh masa
lalunya. Masa lalu bukan bagian dirinya, tetapi sejarah “yang lain”.
Bangsa ini telah terpecah-pecah secara pikiran.
Kesadaran nasional di Indonesia mulai dihancurkan para pemimpin. Tiap
pemimpin membangun kekuasaan dengan menjatuhkan “musuh” yang
digantikannya. Sejarah modern kita adalah sejarah anti.
Perjalanan bangsa
Masa revolusi Indonesia, 1945-1949, sudah diwarnai konflik antara
kaum republikan yang pro negara kesatuan dan kaum federal yang lebih
setuju negara federal Indonesia, yakni Republik Indonesia Serikat.
Untuk sementara, perang pikiran dimenangkan kaum republikan-kesatuan.
Namun, setelah Konferensi Meja Bundar di Den Haag tahun 1949, kaum
federal berhasil menenggelamkan kaum negara kesatuan. Indonesia
menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS).
Usia RIS cuma delapan bulan, lalu tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia
kembali ke negara kesatuan dengan Undang-Undang Dasar Sementara. Di
sini pertarungan antara kaum federal yang liberal dan kaum negara
kesatuan berlangsung. Masa liberal menjamin kebebasan individu, dan
banyak muncul partai. Maka, lembar kertas pemilu mirip zaman
Reformasi, lebih dari seratus partai. Begitulah bangsa ini, kalau
diberi kebebasan, lupa daratan. Semua pihak ingin menang sendiri
menguasai Indonesia, terbukti dengan dead lock Konstituante hasil
pemilu pertama (1955).
Jalan buntu Badan Konstituante ini dinilai membahayakan bangsa dan
negara. Dengan demikian, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit
Presiden tahun 1959, mengajak kembali ke UUD ’45 dan Pancasila. Mulai
tahun inilah kaum republikan-kesatuan menang, dan dimulailah masa
pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang amat antiliberalisme. Selama
demokrasi terpimpin, semua yang berbau liberal dihancurkan. Sejarah
dihapus. Masa lalu bukan bagian masa kini. Sejarah Indonesia dimulai
dengan zaman baru, yakni zaman “revolusi yang belum selesai”.
Antimasa lalu demokrasi terpimpin diperlihatkan dengan memenjarakan
para pendukung kaum liberal. Produk liberal, musik ngak ngik ngok,
dilarang. Kaum muda yang gandrung The Beatles yang saat itu sedang
nge-top terpaksa mendengarkan piringan hitam di gudang. Bung Karno
menyerukan “kembali ke kepribadian nasional”. Indonesia
harus “berdiri di atas kaki sendiri”. “Segala yang berbau Barat, yang
membanjir pada masa liberal, dilarang masuk Indonesia”. Buku-buku
Barat merupakan kemewahan bagi pendukung kaum liberal. Sebaliknya,
buku-buku “Timur” dari Uni Soviet dan RRC dijual murah di toko-toko
buku Indonesia.
Kebenaran tunggal Demokrasi Terpimpin pun tumbang pada 1966,
digantikan Orde Baru. Sejarah berulang. Orde Baru membenci semua yang
berbau Orde Lama. Jutaan buku indoktrinasi Manipol-USDEK Orde Lama
lenyap dari rumah-rumah Indonesia. Kaum komunis sampai anak cucunya
yang dituduh mendukung Orde Lama dibasmi. Buku-buku Soviet dan RRC
lenyap dari toko buku.
Kini datang zaman Reformasi, menggulingkan pemegang kebenaran tunggal
selama 32 tahun, rentang waktu yang sama dengan pemerintahan raja
Mataram, Sultan Agung. Kita saksikan kebencian yang sama. Segala yang
berbau Orde Baru dihancurkan. Kita masih bertemperamen antisejarah,
ahistoris.
Sebenarnya riwayat Reformasi masih mengikuti tabiat para pemimpin
sebelumnya. Para presiden yang “digulingkan” dianggap tak pernah ada
di bumi Indonesia. Semua harus dimulai dari baru.
Sambungan dinasti lama
Lalu, rakyat Indonesia milik siapa? Negara dan bangsa ini milik
siapa? Para penguasa Indonesia modern tak beda dengan raja-raja yang
kita baca dalam buku sejarah dan babad. Tabiat para raja zaman dulu
mirip para pemimpin bangsa modern. Setiap ganti kekuasaan berarti
ganti dinasti. Dinasti yang baru selalu menghapus dan menjelekkan
dinasti sebelumnya. Babad baru harus ditulis kembali berdasar versi
dinasti yang baru memerintah.
Sejarah modern Indonesia ternyata hanya sambungan sejarah para
dinasti lama. Kita tidak pernah menjadi modern. Zaman sekarang tak
lebih dari Majapahit besar dan Mataram besar, bangsa yang selalu
antisejarah karena sejarah milik penguasa. Zaman yang diperintah
penguasa lain bukan sejarahnya. Selalu antimasa lalu.
Temperamen para penguasa Indonesia yang antisejarah amat jelas
tercermin dari penggantian nama-nama gedung, departemen, institusi,
lapangan, bahkan nama kota dan pulau, diganti oleh penguasa yang
baru. Sejarah nama-nama di Indonesia adalah sejarah Indonesia itu
sendiri. Maklum, selera tiap penguasa berbeda-beda.
Coba simak pesan lama ihwal makna sejarah dari masyarakat Sunda.
Amanat Galunggung ini ditulis dalam aksara Sunda dan bahasa Sunda
lama, terdapat dalam Kropak 632 di Museum Nasional, dikenal sebagai
amanat Kabuyutan Ciburuy. Bunyinya: Ada dahulu ada sekarang. Bila tak
ada dahulu tak akan ada sekarang. Karena ada masa silam maka ada masa
kini. Bila tiada masa silam tak akan ada masa kini.
Dibaca secara amanat, Indonesia tak pernah ada. Masa kini Indonesia
tak ada karena tak ada masa silam Indonesia modern. Setiap
pemerintahan di Indonesia selalu menempatkan diri sebagai “masa
kini”, lalu dihapus penggantinya yang juga membangun masa kininya
sendiri.
Jika kita tak pernah menghargai masa lalu, selalu antipemerintahan
sebelumnya, selalu menghapus pemerintahan sebelumnya, bagaimana masa
lalu dihargai? Jadi, Indonesia modern tak pernah punya masa lalu, pun
tak punya masa kini. Masa kini adalah akibat masa lalu. Para penguasa
tak pernah membaca hukum kausalitas sejarah, sibuk memusuhi,
membongkar, melenyapkan, apa pun yang baru lewat.
Kalau tidak punya masa kini, kita di mana? Kita hidup di masa mana?
Indonesia bukan Never never Land yang menggantung di awang-awang
dalam cerita Peter Pan. Realitas kita adalah bumi-tanah, punya
kesatuan sejarah, terikat hukum kausalitas. Indonesia ini milik
bersama, benar atau salah, teman atau musuh. Kumbakarna mendahului
Lord Palmerston yang mengatakan: benar atau salah saya akan membela
negara saya.
“Kiai Semar, rimba raya gung liwang liwung ini namanya apa?” kata
Arjuna kepada Semar. Jawab Semar, hutan angker ini tak ada namanya.
Jangan takut, karena ada saya, Kyai Semar. Hutan rimba yang angker
itu bernama Indonesia, dihuni para raksasa pemakan manusia. Begitulah
kata sahibul hikayat.
Download