i. pendahuluan

advertisement
I.
1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Permodalan merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk mendukung
usaha baik dibidang pertanian maupun non-pertanian. Seringkali modal menjadi
masalah yang penting akibat sulit terpenuhinya modal usaha yang dapat menyebabkan
usaha menjadi mandeg. Lemahnya permodalan pelaku usaha pertanian baik dalam
pemilikan maupun akses terhadap permodalan menjadi suatu permasalahan mendasar
bagi pengembangan usaha dibidang pertanian. Hal ini karena skala usaha yang relatif
kecil sehingga sulit untuk melakukan akumulasi modal.
Bagi petani, umumnya modal identik dengan pembiayaan yang sangat sulit
untuk ditanggulangi khususnya dalam mengembangkan usahatani di pedesaan. Pada
umumnya, para petani yang berlahan luas lebih mudah mendapatkan modal, namun
sebagian besar petani hanya mempunyai lahan yang sempit. Jika lahan pertanian yang
dijadikan agunan untuk mendapatkan modal, maka hampir dipastikan bahwa sebagian
besar petani tidak layak mendapatkan modal yang bersumber dari lembaga keuangan
resmi. Oleh karena itu modal menjadi faktor penghambat dalam mengelola pertanian
(Pratomo, 2014). Modal, baik yang berasal dari masyarakat maupun lembaga
keuangan sangat berperan dalam perjalanan pembangunan pertanian di Indonesia.
Kredit pertanian memiliki peranan yang sangat signifikan dalam sejarah
pelaksanaan program pembangunan pertanian di Indonesia. Selain sebagai faktor
pelancar, kredit juga berfungsi sebagai simpul kritis pembangunan yang efektif,
sehingga kredit pertanian tetap harus tersedia (Pratomo, 2014). Menurut UndangUndang Pokok Perbankan No.10 Tahun 1998 pengertian kredit adalah penyediaan
uang atau tagihan yang dapat disamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga.
Sejarah kredit pertanian diawali dengan adanya kredit program untuk Padi
Sentra pada tahun 1963 dan dilanjutkan dengan Program Bimas pada tahun 1966 dan
1969 menjadi Bimas Gotong Royong. Pada tahun 1970 Bimas Gotong Royong diubah
menjadi Bimas yang Disempurnakan sampai dengan tahun 1985. Kredit Bimas diganti
dengan Kredit Usaha Tani (KUT). Baik kredit Bimas maupun KUT tidak berjalan
sesuai yang diharapkan. Pengembalian dana yang disalurkan mengalami kemacetan.
Hingga akhir tahun 2007 tercatat jumlah angsuran debitur Sebesar Rp2,59 triliun dan
realisasi Rp8,3 triliun sehingga jumlah tunggakan Rp5,71 triliun. Pada bulan Oktober
2000, pemerintah mengeluarkan kredit baru pengganti KUT, yakni Kredit Ketahanan
Pangan (KKP). Dari tahun 2001 hingga agustus 2007 realisasi penyaluran KKP
mencapai Rp4,82 triliun.
Didorong keinginan meningkatkan ketahanan pangan dan energi nasional,
pemerintah melalui Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 79/PMK.05/2007 tertanggal 17 Juli 2007 tentang Kredit Ketahanan Pangan
dan Energi (KKP-E) yang ditindak lanjuti menjadi Peraturan Menteri Keuangan
Nomor
48/PMK.05/2009
dan
jis
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
198/PMK.05/2010 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan
Tentang Kredit Ketahanan Pangan Dan Energi, serta Peraturan Menteri Pertanian
Nomor
12/Permentan/OT.140/1/2013
tentang
Pedoman
Pelaksanaan
Kredit
Ketahanan Pangan Dan Energi. Untuk tahun 2008 pemerintah menyediakan pagu
Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) sebesar Rp10,86 triliun guna
meningkatkan pertanian pangan dan pengembangan energi alternatif bahan bakar
minyak (Ritonga, dkk., 2008).
Komoditas yang mendapatkan perhatian program KKP-E salah satunya
adalah tebu. Tebu merupakan salah satu sub sektor bidang pertanian yang hanya dapat
hidup di daerah tropis. Tebu juga merupakan tanaman perkebunan yang turut berperan
dalam pembangunan ekonomi nasional dan memberikan kontribusi yang cukup besar
pada sektor perkebunan. Menurut Badan Litbang Departemen Pertanian (2007),
industri gula berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900
ribu petani dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai 1,3 juta orang. Hal itu
semakin memperkuat posisi gula sebagai salah satu komoditas strategis bagi
perekonomian Indonesia. . Selain itu tebu juga mendukung ketahanan energi nasional
yaitu dengan diolahnya tebu menjadi bioetanol yang merupakan sumber energi
alternatif pengganti BBM yang terbuat dari proses fermentasi bahan bahan alam oleh
mikroorganisme (Jeon, 2007 cit Wardani dan Pertiwi, 2013).
Realisasi kredit yang disalurkan oleh Bank Umum yakni Bank Rakyat
Indonesia hingga Januari 2013 untuk komoditas tebu yaitu sebesar 5,93 triliun rupiah.
Realisasi tersebut terbilang cukup besar dikarenakan kredit tersebut dijamin oleh
pabrik gula (PG) yang mengolah tebu dan menjual gula hasil panen petani. Melalui
cara tersebut perbankan mendapat jaminan dari PG dan petani membayar kredit
dengan pemotongan hasil jual gula (Riyandi, 2013). Namun hal tersebut tidak selalu
memberikan kelancaran dalam menjalankannya. Realisasi kredit yang sudah
tersalurkan kepada petani lebih sering tidak sesuai dengan angsuran/pengembalian
kredit yang diberikan oleh petani. Oleh karena itu, tingkat Non Performing Loan
(NPL) semakin tinggi, sehingga baik pihak PG maupun pihak bank akan dirugikan.
Salah satu unsur yang selalu melekat dalam setiap pemberian kredit adalah
adanya risiko, sehingga pemberian kredit disebut juga sebagai penanaman dana dalam
bentuk risk assets. Sebagaimana telah diketahui bahwa risiko atas suatu hal adalah
bersifat merugikan, risiko datangnya tidak pasti dan tidak dapat diduga serta dapat
terjadi dengan tiba-tiba. Menurut Hasanudin dan Prihatiningsih (2010), risiko kredit
adalah risiko ketidakpastian. Faktor ketidakpastian akan menimbulkan spekulasi dan
setiap usaha yang berupa spekulasi akan mengandung risiko yang tinggi karena segala
sesuatunya tidak dapat direncanakan terlebih dahulu dengan baik.
Salah satu risiko yang ditimbulkan petani oleh karena ketidaktepatan
pengembalian angsuran kredit adalah adanya kredit bermasalah. Faktor yang dapat
memengaruhi petani sehingga menimbulkan terjadinya kredit bermasalah salah
satunya adalah tidak efektifnya petani dalam menggunakan kredit tersebut untuk
usahatani, melainkan juga digunakan di luar usahataninya. Ketidakefektifan
penggunaan kredit tersebut akan menimbulkan suatu permasalahan dalam usahatani
tebu, misalnya dapat menurunkan produktivitas, sehingga produksi yang didapatkan
tidak sesuai dengan yang semestinya, yang berdampak pada turunnya pendapatan baik
petani maupun PG, sehingga petani tidak dapat mengembalikan kredit sebesar jumlah
yang seharunya.
Menurut Rochmatika (2006) cit Dalilah (2013) persoalan kemitraan yang
terjadi antara petani tebu dan PG sehubungan dengan pemberian fasilitas kredit dan
bagi hasil juga masih kerap mewarnai hari-hari petani tebu. Berdasarkan matriks
realisasi perjanjian kemitraan yang dilakukan, pelaksanaan kemitraan tersebut belum
sepenuhnya sesuai dengan isi perjanjian kemitraan sendiri. Hal ini terlihat bahwa
dalam penyerahan tebu milik petani belum sepenuhnya digilingkan pada PG yang
memberikan pinjaman kredit. Dan pihak PG pun tidak dapat memberikan transparansi
rendemen yang diberikan kepada petani sehingga banyak petani yang melanggar
etikakemitraan dengan menggilingkan tebunya pada PG lain yang memberikan tingkat
rendemen yang lebih tinggi. Selain itu, PG juga tidak memiliki kemampuan untuk
menjual agunan milik petani. Hal ini disadari PG sebagai suatu kelemahan sehingga
bagi petani yang tidak dapat melunasi pinjamannya, maka agunan tersebut hanya
disimpan oleh PG. Perjanjian kemitraan yang dilakukan pun lemah dari sisi hukum.
Hal ini mengakibatkan pihak kemitraan masih dapat berkehendak sesuai dengan
kepentingannya masing-masing.
Di Kabupaten Karanganyar terdapat salah satu perusahaan yang mengolah
tebu menjadi gula dalam skala besar untuk memenuhi permintaan gula di pasaran yaitu
Pabrik Gula Tasikmadu yang berdiri dibawah naungan PT. Perkebunan Nusantara IX
(Persero). Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku tebu pabrik gula melakukan
hubungan kemitraan dengan petani tebu melalui Tebu Rakyat Kredit (TRK). TRK
memiliki arti penting sebab melalui program ini petani peserta akan diberikan
kemudahan kredit dan sarana produksi dalam rangka peningkatan pendapatan petani
tebu melalui peningkatan produktivitas usahatani tebu. Pola kemitraan tersebut
diharapkan dapat menunjang kesejahteraan petani tebu khususnya di Kabupaten
Karanganyar.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, mengenai kredit bermasalah yang terjadi
pada petani yang menyebabkan adanya risiko kredit, sehingga dapat diambil beberapa
rumusan masalah, antara lain:
1.
Digunakan untuk apa saja Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) oleh
petani tebu di Kabupaten Karanganyar dan berapa proporsi yang digunakan
untuk usahatani tebu?
2.
Berapa proporsi Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) yang sudah
dibayarkan oleh petani tebu dan bagaimana tingkat kemampuan serta kelancaran
pengembalian kredit tersebut?
3.
Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya pokok pinjaman Kredit
Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) yang diambil oleh petani tebu di
Kabupaten Karanganyar?
3.
Tujuan
Berdasarkan permasalahan diatas maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai
berikut:
1.
Mengetahui macam dan proporsi penggunaan Kredit Ketahanan Pangan dan
Energi (KKP-E) oleh petani tebu di Kabupaten Karanganyar.
2.
Mengetahui proporsi, tingkat kemampuan dan kelancaran pengembalian Kredit
Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) yang sudah dibayarkan oleh petani tebu.
3.
Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya pokok pinjaman Kredit
Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) yang diambil oleh petani tebu di
Kabupaten Karanganyar.
4.
Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini, antara lain :
a.
Bagi Penulis
Melatih ketajaman analisis dan meningkatkan khasanah ilmu pengetahuan
terhadap kondisi riil di lapangan yang terkait dengan disiplin ilmu manajemen.
Khususnya pengetahuan di bidang permodalan sektor pertanian melaui sistem
Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E).
b.
Bagi Pembaca dan peneliti berikutnya
Penelitian ini bermanfaat bagi pembaca dan peneliti berikutnya sebagai bahan
referensi tambahan untuk meneliti tentang kinerja Kredit Ketahanan Pangan dan
Energi (KKP-E).
c.
Bagi Akademis
Dapat digunakan sebagai sumber informasi atau dapat dipakai sebagai data
sekunder dan sebagai bahan sumbangan pemikiran tentang peran dan fungsi
Kredit Ketahanan Pangan Dan Energi (KKP-E) pada komoditas tebu.
Download