BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini, kejadian alergi pada anak semakin meningkat. Persentase
sensitisasi alergen positif pada anak usia sekolah sekitar 40%-50% (WHO, 2012).
Survei yang dilakukan oleh British Allergy Foundation pada tahun 2015, ditemukan
peningkatan kejadian alergi di dunia, yang berpengaruh terhadap kualitas hidup 3035% penduduk. Pada awalnya, peningkatan ini terlihat jelas di negara maju seperti
Amerika Serikat dan negara yang ada di Eropa. Namun, saat ini, hampir di seluruh
negara berkembang juga dapat ditemukan peningkatan kasus alergi.
Alergi adalah penyebab gangguan kesehatan tersering pada anak-anak di
Amerika Serikat (Holgate et al., 2013). Dari data yang diperoleh Asthma and
Allergy Foundation of America tahun 2015, diketahui bahwa terjadi peningkatan
insidensi alergi pada 30% dewasa dan 40% anak-anak di Amerika Serikat.
Berdasarkan studi ISAAC tahap III (1999-2004) di Eropa, prevalensi tertinggi asma
pada anak usia 6-7 tahun dan 13-14 tahun secara berurutan ditemukan di Irlandia
(>20%) dan Inggris (>25%). Untuk kejadian rinokonjungtivitis, prevalensi tertinggi
didapatkan di Polandia (>10%) untuk anak usia 6-7 tahun dan Malta (>20%) untuk
anak usia 13-14 tahun.
Tidak hanya terjadi di negara maju, peningkatan kasus alergi juga
ditemukan di regio Asia-Pasifik yang mayoritas negara berkembang. Peningkatan
kasus rinitis alergi telah terjadi dalam 15 tahun terakhir di regio Asia-Pasifik
(Pawankar et al., 2009). Studi ISAAC tahap I (1992-1998) dan III (1999-2004) juga
1
2 meneliti prevalensi kasus alergi di beberapa negara Asia-Pasifik. Sebagai contoh,
peningkatan prevalensi asma untuk usia 6-7 tahun terjadi di Jepang: 17,4% menjadi
18,2%, Hong Kong: 9,1% menjadi 9,4%, dan Thailand: 8,2% menjadi 11,9%.
Untuk kasus rinitis alergi usia 6-7 tahun, peningkatan tertinggi terjadi di Taiwan
sebesar 9,6% dalam 7 tahun. Ekzema pada anak usia 6-7 tahun mengalami
peningkatan tertinggi sebesar 4,8% di Thailand.
Salah satu penelitian tentang kejadian alergi di Indonesia adalah penelitian
terhadap 44 anak di RSUP Dr. Kariadi, Semarang, Indonesia, tahun 2011. Dari hasil
penelitian, didapatkan insidensi 63,6% rinitis alergi, 25% asma, 34,1% dermatitis
atopik, dan 2,3% konjungtivitis alergi. Penelitian mengenai alergi pada anak di
RSUP Dr. Kariadi masih sangat terbatas (Wistiani dan Notoatmojo, 2011). Nency
pada tahun 2005 juga menemukan prevalensi kejadian alergi pada anak usia 6-7
tahun di Semarang: 8,1% untuk asma, 11,5% untuk rinitis, dan 8,2% untuk ekzema.
Asma dinyatakan sebagai penyebab penyakit kronis tersering ketiga pada
anak di bawah usia 18 tahun. Lebih dari 80% pasien asma juga menderita rinitis
alergi (Holgate et al., 2013). Rinitis alergi tidak termasuk penyakit yang serius,
tetapi komplikasi yang dapat ditimbulkan cukup banyak. Selain itu, rinitis alergi
adalah faktor risiko utama dalam pengontrolan penyakit asma (Greiner et al.,
2012).
Rinitis alergi adalah salah satu penyakit kronis dengan prevalensi tertinggi
pada anak usia sekolah. Dari studi epidemiologi yang dilakukan, diindikasikan
bahwa terjadi peningkatan prevalensi rinitis alergi secara progresif selama tiga
dekade terakhir di negara berkembang dan negara industri di dunia (Izquierdo-
3 Domínguez et al., 2013). Penyakit ini biasanya sering terjadi bersamaan dengan
asma (49,5%), dermatitis atopik atau ekzema (40%), dan konjunktivitis (53,6%).
Kejadian rinitis meningkat secara linear sesuai usia anak (Bröms et al., 2013).
Pada tahun 1996, dilaporkan 23,7 juta kasus rinitis alergi (CDC, 1996). Dari
studi epidemiologi, ditunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan prevalensi rinitis
alergi yang berkelanjutan di dunia, 10% hingga 30% pada dewasa dan 40% pada
anak (Pawankar et al., 2011). Diperkirakan jumlah penderita rinitis alergi adalah
400 juta (WHO, 2012).
Berdasarkan Allergies in Asia-Pacific Survey tahun 2011, didapatkan
prevalensi rinitis alergi di negara Australia, Republik Rakyat Cina, Hong Kong,
Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, dan Vietnam secara berurutan adalah
13,2%, 9,1%, 4,2%, 7,1%, 2,5%, 4,9%, 9,6%, dan 12,3%. Salah satu studi
prevalensi yang pernah dilakukan di Indonesia adalah survei ISSAC tahap III
(1999-2004). Diperoleh prevalensi rinitis alergi sebesar 3,6% untuk usia 6-7 tahun
dan 4,8% untuk usia 13-14 tahun di Bandung.
Sudarman pada tahun 2001 menemukan prevalensi rinitis alergi di Bandung
sebesar 6,98%. Dari survei ISAAC oleh Suprihati tahun 2001-2002 di Semarang,
didapatkan prevalensi rinitis alergi pada usia 13-14 tahun sebesar 17,3%. Menurut
data nasional Riset Kesehatan Dasar 2007, prevalensi rinitis di Indonesia sebesar
24,3% dengan peringkat daerah tertinggi secara berurutan yaitu 49,8% di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, 40,1% di DIY, 38,6% di Sulawesi Tengah, 37,7% di
DKI Jakarta, dan 36,2% di Jawa Barat. Prevalensi rinitis alergi di Indonesia hingga
tahun 2011 belum diketahui secara pasti, tetapi data frekuensi penderita rinitis
4 alergi dari berbagai rumah sakit yang diperoleh bervariasi 10% hingga 26% (Widuri
dan Suryani, 2011). Studi prevalensi kejadian rinitis alergi di Indonesia masih
sangat terbatas.
Berdasarkan uraian di atas, terjadi peningkatan kejadian rinitis alergi
terutama pada anak-anak dalam beberapa tahun terakhir di berbagai kota di
Indonesia. Faktor yang berpengaruh terhadap perubahan prevalensi rinitis alergi
adalah lingkungan. Penurunan kejadian infeksi bakteri dan virus yang terjadi dalam
beberapa tahun ini diperkirakan berperan dalam peningkatan rinitis alergi (Wang,
2005). Paparan polutan akibat perkembangan teknologi juga berkontribusi dalam
kejadian rinitis (Lu et al., 2013).
Penderita rinitis alergi dapat mengalami gangguan kualitas hidup akibat
gejala yang dialami. Beberapa dampak yang terjadi adalah sebagai berikut.
1. Peningkatan biaya langsung perawatan kesehatan dan biaya tidak langsung
karena tidak dapat bekerja (Ozdoganoglu et al., 2012). Estimasi biaya yang
dikeluarkan akibat rinitis alergi bervariasi antara 2-5 triliun dolar Amerika
Serikat per tahun (Reed et al., 2004).
2. Gangguan performa kerja tergantung dengan derajat keparahan rinitis alergi
yang diderita (Blanc et al., 2001; Bousquet et al., 2005; Shedden, 2005).
3. Gangguan tidur dapat ditemukan pada kasus rinitis alergi yang tidak terkontrol
(Santos et al., 2006). Efek sedatif pengobatan juga dapat terjadi (Casale et al.,
2003).
4. Gangguan fungsi afek dan kognitif anak sehingga terjadi disabilitas dalam
belajar (Ozdoganoglu et al., 2012). Anak dengan rinitis alergi dapat memiliki
5 masalah akademik berupa ketidakhadiran di sekolah dan performa buruk
selama kegiatan pembelajaran akibat gangguan gejala dan kelelahan (Blaiss,
2004).
Kejadian rinitis alergi sering diabaikan, didiagnosis, dan diterapi secara
tidak tepat (Greiner et al., 2012). Dari uraian paragraf di atas, diketahui dampak
rinitis alergi yang cukup berpengaruh terhadap kualitas hidup penderita. Anak
dengan rinitis alergi dapat mengalami gangguan tidur dan disabilitas belajar.
Penelitian tentang rinitis alergi pada anak di Indonesia juga belum banyak
dilakukan. Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian tentang karakteristik klinis
(umur, jenis kelamin, gejala, riwayat penyakit alergi, riwayat atopi keluarga, jenis
alergen, dan derajat penyakit) dan sensitisasi alergen pada anak dengan rinitis alergi
di salah satu kota di Indonesia, Yogyakarta, sebagai sarana informasi untuk deteksi
dini penyakit secara mandiri, minimalisasi kesalahan diagnosis, edukasi
pengontrolan gejala, dan pemilihan intervensi pengobatan yang tepat.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Bagaimana karakteristik klinis (umur, jenis kelamin, gejala, riwayat
penyakit alergi, riwayat atopi keluarga, jenis alergen, dan derajat penyakit)
dan sensitisasi alergen pada anak dengan rinitis alergi di Yogyakarta?
2. Apa dampak yang dialami oleh anak dengan rinitis alergi di Yogyakarta?
6 C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik klinis (umur,
jenis kelamin, gejala, riwayat penyakit alergi, riwayat atopi keluarga, jenis alergen,
dan derajat penyakit), sensitisasi alergen, dan dampak terhadap anak dengan rinitis
alergi di Yogyakarta.
D. Keaslian Penelitian
Penulis menemukan beberapa penelitian terdahulu yang hampir serupa
dengan penelitian ini.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Gary A dan Hendra S tahun 2001,
diperoleh hasil bahwa insidensi rinitis alergi tertinggi ditemukan pada anak dengan
usia antara 5-9 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak daripada perempuan.
Studi ini dilakukan secara retrospektif. Pengumpulan data melalui rekam medis
pasien rinitis alergi yang berobat rawat jalan di subdivisi Alergi dan Imunologi
Anak Rumah Sakit Denpasar antara Januari 1996 dan Desember 2000.
Anak dinyatakan rinitis alergi jika mengalami minimal dua gejala: rinorea,
kongesti nasal, mata gatal, atau bersin, dengan durasi lebih dari satu jam setiap
episode. Persentase gejala yang ditemukan pada subjek penelitian adalah bersin dan
rinorea (26%), hidung gatal (23%), hidung tersumbat (14%), dan mata gatal (12%).
Kemudian, didapatkan 33 anak dengan riwayat atopi salah satu orang tua, 22 anak
dengan riwayat atopi kedua orang tua, dan 10 anak tanpa riwayat atopi.
Skin prick test dilakukan di area volar lengan bawah dengan 18 alergen.
Hasil skin prick test adalah positif terhadap alergen hirup (55,1%), positif terhadap
makanan (26,5%), dan negatif (26,5%). Jenis alergen terbanyak adalah debu rumah
7 (55,1%) dan tungau debu rumah (42,8%). Data penelitian berupa umur, jenis
kelamin, tanda dan gejala, riwayat penyakit alergi, riwayat atopi keluarga, dan hasil
skin prick test, dilaporkan secara deskriptif. Penelitian selanjutnya dilaksanakan
oleh Kim et al. tahun 2015. Pengumpulan data melalui rekam medis anak usia di
bawah 12 tahun dengan gejala rinitis dan sensitisasi alergen positif. Subyek
penelitian dikelompokkan menjadi dua, yaitu anak dengan rinitis alergi dan rinitis
non alergi.
Masing-masing kelompok dibagi menjadi tiga kategori, yaitu usia 1-4
tahun, 5-8 tahun, dan 9-12 tahun. Dari hasil penelitian ini, dijelaskan secara detail
tentang persentase jenis kelamin, derajat penyakit, riwayat alergi, riwayat atopi,
gejala, dan sensitisasi alergen masing-masing kategori umur pada dua kelompok.
Data dianalisis dengan regresi logistik multivariat, Cochran-Amitrage Trend test,
dan student t-test.
Penelitian ketiga adalah studi yang dilakukan oleh He et al. di Sanghai
dengan pengambilan IgE spesifik serum pada anak dengan rinitis alergi dari Januari
2011 hingga Desember 2014. Diagnosis rinitis alergi ditegakkan dengan gejala
klinis dan hasil positif IgE spesifik serum terhadap minimal satu alergen.
Konsentrasi IgE total serum dan antibodi IgE spesifik serum diukur dengan sistem
AllergyScreen. Tes antibodi IgE spesifik serum dengan penggunaan 10 alergen
hirup dan 9 alergen makanan.
Pemberian kuesioner juga dilakukan terhadap orang tua subyek dengan
pertanyaan meliputi usia, jenis kelamin, usia kehamilan saat melahirkan subyek,
pola pemberian nutrisi, riwayat atopi, riwayat alergi dalam 6 bulan setelah lahir,
8 durasi gejala, gejala klinis, hasil IgE spesifik serum, komorbid, gangguan aktivitas
harian, dan riwayat pengobatan. Derajat penyakit subjek diklasifikasikan
berdasarkan kriteria ARIA. Analisis statistik yang digunakan adalah SAS versi
9.1.3 dengan chi-square test, Cochran-Mantel-Haenszel chi-square test, and
analisis Spearman.
Hasil penelitian yang diperoleh adalah rata-rata usia subjek 6,2 ± 2,4 tahun
dengan 1821 berjenis kelamin laki-laki dan 892 berjenis kelamin perempuan. Selain
itu, Dermatophagoides pteronyssinus ditemukan sebagai alergen terbanyak pada
mayoritas subyek. Lalu, didapatkan korelasi positif antara usia dan derajat alergi.
Untuk usia kejadian rinitis alergi, bergantung dengan jenis sensitisasi alergen.
Persentase derajat penyakit yang ditemukan pada subjek: persisten sedang-berat,
intermiten sedang-berat, persisten ringan, dan intermiten ringan secara berurutan
adalah 46,7%, 40,5%, 4,2%, dan 8,6%.
Penelitian selanjutnya dilaksanakan di Allergy Union of University Hospital
Sv. Georgi, Plovdiv, Bulgaria, tahun 2015 oleh Novakova, et al. Studi potong
lintang secara observasi ini, dilakukan terhadap 221 anak penderita rinitis alergi.
Rata-rata usia responden adalah 9 tahun dengan rentang usia 3-17 tahun. Presentase
jenis kelamin responden laki-laki adalah 64,25%.
Sensitisasi alergen diketahui melalui skin prick test dengan ekstrak alergen
komersial, Alyostal Prick 100IR - IC/ml.
Histamin hidroklorida 10 mg/ml
digunakan sebagai kontrol positif dan pengencer buffer gliserol sebagai kontrol
negatif. Data dianalisis dengan SPSS dan disajikan dalam bentuk rata-rata.
9 Uji Fisher digunakan untuk membandingkan usia rata-rata dan durasi gejala
rinitis alergi antara responden dengan monosensitisasi dan polisensitisasi.
Polisensitisasi dialami oleh anak dengan usia yang lebih tua. Tidak ditunjukkan
perbedaan yang signifikan untuk durasi gejala antara monosensitisasi dan
polisensitisasi.
Dari hasil penelitian, diketahui bahwa sensitisasi alergen terbanyak adalah
tungai debu rumah, serbuk sari, dan Alternaria. Untuk penyebab monosensitisasi
tersering, diperoleh hasil yaitu tungai debu rumah dan rumput. Kemudian, 46,61%
kasus polisensitisasi dan 53,39% monosensitisasi ditemukan pada responden.
Berdasarkan penjelasan penelitian pada paragraf di atas, terdapat beberapa
persamaan dan perbedaan dengan penelitian penulis. Dari penelitian oleh Gary dan
Hendra, tahun 2001, ditemukan beberapa variabel penelitian yang sama. Variabel
lain yang diteliti oleh penulis adalah derajat penyakit. Data sensitisasi alergen juga
diketahui melalui skin prick test dengan 18 jenis alergen, sedangkan penulis
menggunakan 44 jenis alergen. Untuk usia responden, penulis membuat kriteria
inklusi usia 6-7 tahun dan 13-14 tahun, tetapi dalam penelitian ini, dipilih kriteria
inklusi responden 6 bulan-15 tahun. Desain dan jenis penelitian yang digunakan
oleh penulis sama, yaitu studi potong lintang deskriptif.
Kim et al. mengategorikan subyek penelitian ke dalam dua kelompok, yaitu
rinitis alergi dan rinitis non alergi. Penulis tidak meneliti kelompok rinitis non
alergi. Variabel yang diteliti oleh penulis sama dengan variabel dalam penelitian
Kim et al. Namun, rentang usia kriteria inklusi subjek penelitian berbeda.
Perbedaan lain adalah Kim et al. mencari hubungan antara paparan alergen dengan
10 gejala klinis yang muncul, sedangkan penulis tidak mencari hubungan antar
variabel.
Dalam penelitian He et al. di Sanghai, sensitisasi alergen diketahui melalui
antibodi IgE spesifik serum yang diukur dengan sistem AllergyScreen. Penulis
menggunakan skin prick test untuk mengetahui sensitisasi alergen responden.
Beberapa variabel penelitian He et al. tidak diteliti oleh penulis seperti riwayat
pengobatan. He et al mencari hubungan antar variabel seperti usia dengan derajat
alergi dan sensitisasi alergen dengan usia, sedangkan penulis tidak mencari
hubungan antar variabel.
Novakova et al. melakukan penelitian untuk mengetahui karakteristik
sensitisasi alergen pada anak dengan rinitis alergi. Dalam penelitian tersebut,
variabel yang diteliti adalah usia, jenis kelamin, jenis sensitisasi, dan jenis alergen.
Penulis tidak hanya meneliti variabel tersebut. Uji sensitisasi alergen yang
dilakukan dalam penelitian Novakova et al. adalah skin prick test dengan 18
alergen. Penulis juga melakukan skin prick test, tetapi menggunakan 44 alergen.
Novakova et al. juga membandingkan usia rata-rata dan durasi gejala rinitis alergi
antara responden dengan monosensitisasi dan polisensitisasi, sedangkan penulis
tidak melakukan uji perbandingan.
Ringkasan paragraf tentang penelitian yang telah dilakukan sebelumnya
terdapat dalam tabel pada lampiran 7.
11 E. Manfaat Penelitian
1. Pasien
Hasil penelitian adalah karakteristik klinis (umur, jenis kelamin, gejala,
riwayat alergi, riwayat atopi keluarga, jenis alergen, dan derajat penyakit),
sensitisasi alergen, dan dampak terhadap anak dengan rinitis alergi. Data tersebut
dapat dijadikan edukasi pengontrolan gejala dan deteksi dini penyakit secara
mandiri. Informasi derajat penyakit pasien dapat digunakan untuk pemilihan terapi.
2. Institusi
Data yang diperoleh dari penelitian ini, dapat digunakan sebagai acuan
untuk penelitian selanjutnya yang relevan dengan penelitian ini.
3. Peneliti
Peneliti mendapatkan pengalaman dan pembelajaran dari keikutsertaan
dalam penelitian.
Download