BAB I PENDAHULUAN Kira-kira 85 persen dari semua penduduk

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
Kira-kira 85 persen dari semua penduduk Amerika serikat pernah
menggunakan minuman yang mengandung alkohol sekurangnya satu kali selama
hidupnya, dan kira-kira 51 persen dari semua orang dewasa di amerika serikat
merupakan pengguna alkohol saat ini. Angka tersebut hanya mendukung
penggambaran bahwa minum minuman yang mengandung alkohol biasanya
dianggap sebagai kebiasaan umum dan dapat diterima. Setelah penyakit jantung
dan kanker, gangguan berhubungan dengan alkohol merupakan masalah kesehatan
nomor tiga terbesar di Amerika serikat sekarang ini, bir berjumlah untuk kira-kira
setengah dari semua konsumsi alkohol, minuma keras (Liquor) untuk kira-kira
sepertiga, dan anggur (wine) untuk kira-kira seperenam. Kira-kira 35 samapai 45
persen dari semua orang dewasa di Amerika serikat sekurangnya pernah
mengalami satu epsode masalah berhubungan dengan alkohol yang sementara,
biasanya berupa suatu episode amnestik akibat alkohol yang sementara, biasanya
berupa suatu episode amnestik akibat alkohol (sebagai contoh, tidak sadar),
mengendarai kendaraan bermotor saatterintoksikasi, atau bolos bekerja atau
belajar karena minum yang berlebihan. Dengan criteria (DSM-III-R), 10 persen
wanita
dan
20
persen
laki-laki
memenuhi
kriteria
diagnostik
untuk
penyalahgunaan alkohol selama hidupnya, dan 3 smapai 5 persen wanita 10
persen laki-laki memenuhi kriteria diagnostik untuk diagnosis ketergantungan
alkohol yang lebih serius selama hidupnya. Kira-kira 200.000 kematian setiap
tahunnya berhubungan langsung dengan orang yang memenuhi kriteria diagnostik
penyalahgunaan alkohol.
Penyebab kematian yang sering diantara ornag dengan gangguan
berhubungan dengan alkohol adalah bunuh diri, kanker, penyakita jantung, dan
penyakit hati. Walaupun tidak selalu melibatkan orang yang memenuhi kriteria
diagnostik untuk suatau gangguan berhubungan dengan alkohol, kira-kira
setengah dari semua kecelakaan kendaraan bermotor yang mematikan melibatkan
seorang pengemudi yang mabuk, dan persentasi tersebut meningkat sampai 75
persen jika hanya di hitung kecelakaan yang terjadi larut malam. Penggunaan
alkohol dan gangguan berhubungan dengan kira-kira 50 persen dari semua
pembunuhan dan 25 persen dari semua bunuh diri. Penyalahgunaan alkohol
menurunkan harapan hidup 10 tahun. Alkohol memimpin dari semua zat lain
dalam kematian yang berhubungan dengan zat (Kaplan, 2010).
Hampir 85 persen anggota masyarakat populasi noninstitusional yang
berusia 12 tahunatau lebih di Amerika serikat pernha menggunakan alkohol satu
kali atau lebih dalam hidupnya. 68 persen pernah menggunakan alkohol dalam
tahun terakhir, dan 51 persen menggunakannya dalam bulan terahkir (Kaplan,
2010). Persentasi tersebut sama dengan 171, 2 juta orang yang menggunakan
alkohol selama hidupnya, 1,38, 0 juta orang yang menggunakan alkohol dalam
tahun terakhir, dan 103,2 juta orang yang menggunakan alkohol dalam bulan
terakhir (Kaplan, 2010). Kira-kira 90 persen orang dewasa muda yang berusia 18
sampai 25 tahun, 92 persen orang dewasa yang berusia 26 sampai 34 tahun, dan
87 persen orang dewasa yang berusia 35 tahun atua lebih pernbah menggunakan
alkohol selama hidupnya dibandingkan dengan kira-kira 46 persen kaum muda
yang berusia 12 sampai 17 tahun (Kaplan, 2010).
Kira-kira 64 persen orang dewasa muda dan 62 persen orang dewasa yang
berusia 26 sampai 34 tahun pernah menggunakan alkohol dalam bulan terakhir,
suatu persentasi yang lebih besar secara bermakna dibandingkan 20 persen
pemuda dan 50 persen orang dewasa yang berusia 35 tahun dan lebih (Kaplan,
2010).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Withdrawl Sindrom terjadi pada individu yang kecanduan obat dan alkohol yang
menghentikan atau mengurangi penggunaan obat pilihan mereka. Proses
menghilangkan narkoba dan alkohol dari tubuh dikenal sebagai detoksifikasi .
Kecemasan, insomnia, mual, keringat, nyeri tubuh, dan tremor adalah hanya beberapa
dari gejala fisik dan psikologis dari penghentian obat dan alkohol yang mungkin terjadi
selama detoksifikasi. Withdrawl syndrome terutama berfokus pada Withdrawl dari
etanol, sedatif hipnotik-, opioid, stimulan, dan gamma-hidroksibutirat (GHB) (Goldstein,
2009).
Gejala penghentian obat (= gejala putus obat, withdrawal syndrome) adalah
munculnya kembali gejala penyakit semula atau reaksi pembalikan terhadap efek
farmakologik obat, karena penghentian pengobatan. Contoh yang banyak dijumpai
misalnya:
1. agitasi ekstrim, takikardi, rasa bingung, delirium dan konvulsi yang mungkin
terjadi pada penghentian
2. pengobatan dengan depresansia susunan saraf pusat seperti barbiturat,
benzodiazepin dan alkohol,
3. krisis Addison akut yang muncul karena penghentian terapi kortikosteroid,
4. hipertensi berat dan gejala aktivitas simpatetik yang berlebihan karena penghentian
terapi klonidin,
5. gejala putus obat karena narkotika (Goldstein, 2009).
B. Tanda dan Gejala Klinis Berdasarkan Klasifikasi
Sindroma withdrawal sangat terkait erat dengan penggunaan alcohol,
narkoba, serta obat-obatan lainnya, sehingga manifestasi klinis yang ditampilkan
juga dapat diklasifikasikan berdasarkan kaitannya dengan penggunakan obatobatan tadi (Olmedo, 2000).
Alcohol withdrawal
Biasanya pasien telah menyalahgunakan alcohol setiap hari selama 3
bulan, atau dapat pula telah mengkonsumsi alcohol dalam jumlah besar yang
biasanya dalam waktu 1 minggu (seperti pada pesta minuman keras) (Monte,
2010).
Gejala penolakan akan muncul dalam waktu 6-12 jam setelah individu
berhenti atau mengurangi konsumsi alcohol, namun akan segera menghilang jika
mengkonsumsi alcohol kembali (Monte, 2010).
Tampak gejala continuum berupa tremor ringan hingga dystonic tremor
(DT). Spectrum manifestasi klinis yang muncul sangat bervariasi, gejala dan tanda
dapat tumpang tindih dalam waktu dan durasinya, sehinga akan didefinisikan dulu
mulai dari yang ringan sampai yang berat (Bayard, 2004).
1. Penarikan atau penolakan ringan terjadi dalam waktu 24 jam setelah
penghentian konsumsi alkohol dan ditandai dengan tremor, insomnia,
kecemasan, hiperrefleksia, diaphoresis, hiperaktif otonom ringan, serta
gangguan gastrointestinal.
2. Penarikan atau penolakan moderat terjadi dalam waktu 24-36 jam setelah
penghentian konsumsi alcohol dan ditandai dengan kecemasan intens,
tremor, insomnia, dan gejala peningkatan adrenergic.
3. Penarikan atau penolakan berat terjadi dalam waktu lebih dari 48 jam
setelah penghentian konsumsi alcohol dan ditandai dengan perubahan
sensorium yang mendalam seperti disorientasi, agitasi, dan halusinasi,
serta bersamaan dengan hiperaktifitas otonom yang berat seperti tremor,
takikardi, takipnea, hipertermia, dan diaphoresis.
Pada 25 % pasien dengan riwayat penggunaan alcohol dalam jangka
panjang timbul manifestasi klinis berupa alkoholik halusinosis. Ini dapat terjadi
24 jam setelah penghentian konsumsi alcohol dan akan berlanjut selama sekitar 24
jam. Gejala biasanya berupa persekutori, auditori, atau yang paling sering adalah
halusinasi visual dan taktil, namun sensorium pasien kadang tidak begitu tampak.
Namun pada tahap lanjut, halusinasi akan dianggap nyata dan dapat menimbulkan
rasa takut yang ekstrim serta timbul kecemasan. Pasien akan merasa dapat melihat
objek yang imajiner, seperti pakaian ataupun lembaran-lembaran. Dan pada
halusinosis ini tidak selalu diikuti oleh DT (Bayard, 2004).
Pada 23-33 % pasien juga dilaporkan dapat mengalami kejang, yang
biasanya berlangsung singkat, berupa kejang umum, tonik-klonik, dan tanpa aura.
Dan pada sekitar 30-50% pasein, kejang ini dapat berkembang menjadi DT.
Puncak kejadian ini biasanya setelah 24 jam setelah konsumsi alcohol terbaru, dan
sekitar 3 % dari pasien yang bermanifestasi kejang ini dapat mengalami status
epileptikus. Kejang ini biasanya dapat berhenti secara spontan atau dapat
dikontrol dengan pemberian benzodiazepine.
Tanda yang paling khas dari Alcohol withdrawal adalah DT, yang terjadi
setelah 48-72 jam konsumsi alcohol terakhir. Tampak gejala sensorium berupa
disorientasi, agitasi, dan halusinasi; gangguan otonom berat seperti diaphoresis,
takikardia, takipnea, dan hipertermia. DT ini dapat muncul meski tidak didahului
oleh kejang (Hayner, 2009).
Penghentian efek Alcohol withdrawal pada pasein biasanya adalah dengan
mengkonsumsi alcohol itu sendiri, namun jika dalam keadaan yang sulit untuk
memperoleh minuman alcohol, biasanya pasien juga dapat mengkonsumsi zat lain
yang juga mengandung alcohol, seperti isopropyl alcohol, sirup batuk, pembersih
tangan, obat kumur, methanol, dan juga etilena glikol (Hayner, 2009).
Sedative-hypnotic withdrawal syndrome
Withdrawal syndrome yang ditimbulkan akibat konsumsi benzodiazepine,
bariturat, dan obat penenang lain atau hipnotik dalam jangka panjang. Ditandai
dengan pronounced psikomotor dan disfungsi otonom. Gejala biasanya muncul 210 hari setelah penghentian secara mendadak dari obat-obat penenang yang
digunakan, serta akan bergantung pula dari masing-masing waktu paruh obatobatan tersebut (Hayner, 2009).
GHB withdrawal syndrome
GHB dan prekursornya (gamma-butyrolactone, 1,4’-butanadiol)
dilaporkan dapat menimbulkan induksi toleransi dan ketergantungan. Gejalanya
mirip dengan withdrawal syndrome pada sedative-hipnotik, ditandai dengan
ketidakstabilan otonom ringan dan singkat, dengan gejala psikotik yang
berkepanjangan (Wojtowicz, 2008)(Tarabar, 2004).
Opioid withdrawal
Opioid tidak secara langsung menyebabkan gejala yang mengancam jiwa,
kejang, maupun delirium. Gejala yang ditampilkan justru dapat menyerupai
penyakit seperti flu berat, yang ditandai dengan rhinorrhea, bersin, lakrimasi,
menguap, kram perut, kram kaki, piloereksi atau merinding, mual, muntah, diare,
dan pupil melebar. Serta perubahan status mental, disorientasi, halusinasi, dan
kejang yang merupakan karakteristik DT, tidak tampak pada Opioid withdrawal
ini (Olmedo, 2000).
Waktu paruh dari Opioid withdrawal ini dapat menentukan onset dan
durasi gejala yang akan muncul. Sebagai contoh, gejala penarikan pada
penggunaan heroin dan metadon akan memuncak pada 36-72 jam dan 72-96 jam,
masing-masing, dan dapat berlangsung selama 7-10 hari dan setidaknya masingmasing 14 hari (Olmedo, 2000).
Stimulant (cocaine and amphetamine) withdrawal, atau wash-out syndrome
Sindrom ini menyerupai gangguan depresi berat, tampak disforia, tidur
berlebihan, kelaparan, dan keterbelakangan psikomotor yang parah, sedangkan
fungsi vitalnya terjaga dengan baik. Gejala ini dapat berlangsung hingga 2 hari,
meskipun pada yang ringan dapat bertahan hingga 2 minggu (Olmedo, 2000).
C. Penegakan Diagnosis
Gambaran umum dari keadaan putus zat (withdrawal state) adalah berupa
gangguan psikologis seperti anxietas, depresi dan gangguan tidur, sedangkan
untuk gejala fisik bervariasi sesuai dengan zat yang digunakan. Yang khas adalah
pasien ini akan melaporkan bahwa gejala putus zat akan mereda dengan
meneruskan penggunaan zat. Keadaan putus zat ini merupakan salah satu
indikator dari sindrom ketergantungan sehingga diagnosis ketergantungan zat
harus turut dipertimbangkan (Maslim, 2001).
Berikut adalah kriteria diagnostik beberapa jenis withdrawal syndrome :
1. Kriteria Diagnostik Alcohol Withdrawal Syndrome (American Psychiatric
Association, 2000):
A. Penghentian atau pengurangan penggunaan alkohol yang telah berat dan
berkepanjangan
B. Terdapat dua atau lebih gejala berikut ini beberapa jam sampai beberapa
hari setelah kriteria A :
1) Hiperaktifitas otonom (berkeringat, denyut nadi lebih dari 100
kali/menit)
2) Tremor pada tangan
3) Insomnia
4) Nausea dan vomitting
5) Transien visual, taktil, halusinasi atau ilusi auditorik
6) Agitasi psikomotor
7) Anxietas
8) Kejang Grand mal
C. Gejala – gejala dalam kriteria B menyebabkan distress yang signifikan
secara klinis atau penurunan fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi – fungsi
lain yang penting.
D. Gejala – gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan gangguan
mental lainnya.
2. Kriteria Diagnostik Amphetamine Withdrawal Syndrome (American
Psychiatric Association, 2000):
A. Penghentian atau pengurangan penggunaan amphetamine (atau substansi
sejenis) yang telah berat dan berkepanjangan.
B. Mood dysphoric dan dua (atau lebih) perubahan fisiologis berikut ini
beberapa jam sampai beberapa hari setelah kriteria A :
1) Fatigue
2) Mimpi buruk
3) Insomnia atau hipersomnia
4) Nafsu makan meningkat
5) Retardasi psikomotor atau agitasi
C. Gejala – gejala dalam kriteria B menyebabkan distress yang signifikan
secara klinis atau penurunan fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi – fungsi
lain yang penting.
D. Gejala – gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan gangguan
mental lainnya.
3. Kriteria Diagnostik Cocaine Withdrawal Syndrome (American Psychiatric
Association, 2000):
A. Menggunakan cocaine terakhir.
B. Perilaku maladaptif yang signifikan secara klinis atau perubahan psikologis
(seperti euforia atau penumpulan afektif, perubahan dalam sosialisasi,
hipervigilance, sensitifitas interpersonal, anxietas, tegang atau marah,
perilaku stereotip, gangguan penilaian, atau ganguan fungsi sosial dan
pekerjaan) yang terjadi ketika atau sesaat setelah penggunaan cocaine.
C. Dua atau lebih gejala berikut ini yang muncul ketika atau sesaat setelah
penggunaan cocaine :
1) Takikardi atau bradikardi
2) Dilatasi pupil
3) Peningkatan atau penurunan tekanan darah
4) Berkeringat atau kedinginan
5) Nausea atau vomiting
6) Berat badan menurun
7) Agitasi psikomotor atau retardasi
8) Kelemahan otot, depresi pernafasan, nyeri dada, atau aritmia
9) Bingung, kejang, dyskinesia, dystonia atau koma
D. Gejala – gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan gangguan
mental lainnya.
4. Kriteria Diagnostik Nicotine Withdrawal Syndrome (American Psychiatric
Association, 2000):
A. Menggunakan nicotine setiap hari setidaknya dalam beberapa minggu.
B. Penghentian tiba-tiba penggunaan nicotine, atau pengurangan penggunaan
nicotine diikuti empat (atau lebih) gejala berikut ini :
1) Dysphoric atau mood depresi
2) Insomnia
3) Iritabilitas, frustasi, marah
4) Anxietas
5) Sulit berkonsentrasi
6) Gelisah
7) Penurunan denyut nadi
8) Peningkatan nafsu makan atau berat badan
C. Gejala – gejala dalam kriteria B menyebabkan distress yang signifikan
secara klinis atau penurunan fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi – fungsi
lain yang penting.
D. Gejala – gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan gangguan
mental lainnya.
5. Kriteria Diagnostik Sedative, Hypnotic, Anxiolytic Withdrawal Syndrome
(American Psychiatric Association, 2000):
A. Penghentian atau pengurangan penggunaan sedative, hipnostic, anxiolytic
yang telah berat dan berkepanjangan
B. Terdapat dua atau lebih gejala berikut ini beberapa jam sampai beberapa
hari setelah kriteria A :
1) Hiperaktifitas otonom (berkeringat, denyut nadi lebih dari 100
kali/menit)
2) Tremor pada tangan
3) Insomnia
4) Nausea dan vomitting
5) Transien visual, taktil, halusinasi atau ilusi auditorik
6) Agitasi psikomotor
7) Anxietas
8) Kejang Grand mal
C. Gejala – gejala dalam kriteria B menyebabkan distress yang signifikan
secara klinis atau penurunan fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi – fungsi
lain yang penting.
D. Gejala – gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan gangguan
mental lainnya.
Spesifik jika terdapat gangguan perseptual.
6. Kriteria Diagnostik Opioid Withdrawal Syndrome (American Psychiatric
Association, 2000):
A. Terdapat salah satu gejala berikut ini :
1) Penghentian atau pengurangan penggunaan opioid yang telah berat dan
berkepanjangan (beberapa minggu atau lebih).
2) Pemberian antagonis opioid setelah masa penggunaan opioid.
B. Terdapat tiga atau lebih gejala berikut ini beberapa menit sampai beberapa
hari setelah kriteria A :
1) Mood dysphoric
2) Nausea atau vomitting
3) Nyeri otot
4) Lakrimasi atau rinorrhea
5) Dilatasi pupil, piloereksi atau berkeringat
6) Diare
7) Menguap
8) Demam
9) Insomnia
C. Gejala – gejala dalam kriteria B menyebabkan distress yang signifikan
secara klinis atau penurunan fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi – fungsi
lain yang penting.
D. Gejala – gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan gangguan
mental lainnya.
D. Terapi Lama
Pengatasan penyalah-gunaan obat memerlukan upaya-upaya yang terintegrasi,
yang melibatkan pendekatan psikologis, sosial, hukum, dan medis. Kondisi yang
perlu diatasi secara farmakoterapi pada keadaan ketergantungan obat ada dua,
yaitu kondisi intoksikasi dan kejadian munculnya gejala putus obat (“sakaw”).
Dengan demikian, sasaran terapinya bervariasi tergantung tujuannya:
1. Terapi pada intoksikasi/over dosis à tujuannya untuk mengeliminasi obat
dari tubuh, menjaga fungsi vital tubuh
2. Terapi pada gejala putus obat à tujuannya untuk mencegah perkembangan
gejala supaya tidak semakin parah, sehingga pasien tetap nyaman dalam
menjalani program penghentian obat
Tabel 1. Ringkasan Tentang Terapi Intoksikasi
Kelas obat
Terapi obat
Terapi nonobat
Komentar
Benzodiazepin
Flumazenil 0,2
Support
Kontraindikasi jika
mg/min IV, ulangi
fungsi vital
ada penggunaan TCA
sampai max 3 mg
Alkohol,
Tidak ada
barbiturat, sedatif
à resiko kejang
Support
fungsi vital
hipnotik nonbenzodiazepin
Opiat
Naloxone 0,4-2,0
Support
Jika pasien tidak
mg IV setiap 3 min
fungsi vital
responsif sampai dosis
10 mg à mungkin ada
OD selain opiat
Kokain dan
stimulan CNS lain
þ Lorazepam 2-4
-Support
mg IM setiap 30 fungsi vital
min sampai 6
- Monitor
jam jika perlu
fungsi
þ Haloperidol 2-5
jantung
- digunakan jika
pasien agitasi
- digunakan jika
pasien psikotik
- komplikasi
mg (atau
kardiovaskuler
antipsikotik
diatasi scr
lain) setiap 30
simptomatis
min sampai 6
jam
Halusinogen,
marijuana
Sama dgn di atas
Support
fungsi vital,
„talk-down
therapy“
Tabel 2. Ringkasan Tentang Terapi Untuk Mengatasi Withdrawal Syndrome
(Dipiro et al, 2008)
Obat
Terapi obat
Benzodiazepin
Klordiazepoksid 50 mg 3 x
(short acting)
sehari atau lorazepam 2 mg 3 x
sehari, jaga dosis utk 5 hari, kmd
Komentar
tappering
Long acting BZD
Sama, tapi tambah 5-7 hari utk
Alprazolam paling sulit
tappering
dan butuh wkt lebih
lama
Opiat
Methadon 20-80 mg p.o, taper
- jika metadon gagal à
dengan 5-10 mg sehari, atau
metadon maintanance
klonidin 2 mg/kg tid x 7 hari,
program
taper untuk 3 hari berikutnya
- Klonidin
menyebabkan
hipotensi à pantau BP
Barbiturat
Test toleransi pentobarbital,
gunakan dosis pada batas atas
test, turunkan dosis 100 mg
setiap 2-3 hari
Mixed-substance
Lakukan spt pada long acting
BZD
Stimulan CNS
Terapi supportif saja, bisa
gunakan bromokriptin 2,5 mg
jika pasien benar-benar
kecanduan, terutama pada
kokain
Terapi ketergantungan opioida yang efektif menurut WHO (2003) adalah
terapi abstinensia dan terapi substitusi. Ada 3 bentuk terapi substitusi, yaitu :
agonis opioida (metadon), antagonis opioida (naltrekson) dan parsial agonis
opioida (buprenorfin). Buprenorfin adalah salah satu semi-sintetik opioida yang
telah diketemukan sejak tahun 1965 dengan melalui berbagai penelitian telah
diapproved oleh FDA pada tahun 2002 dan mendapat izin edar di Indonesia pada
akhir tahun yang sama (Badan POM RI, 2007).
Buprenorfin memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor opioida μ, berikatan
dengan reseptor ini lebih kuat daripada agonis opioida penuh. Buprenorfin juga
memiliki afinitas tinggi dan memiliki sifat antagonis pada reseptor k, sehingga
pada keadaan tertentu buprenorfin dosis tinggi dapat menimbulkan sindrom putus
obat opioida (opioida withdrawal syndrome) dengan gejala dan tanda yang serupa
secara kualitatif tetapi tidak sama secara kuantitatif dibandingkan akibat antagonis
penuh seperti nalokson atau naltrekson. Buprenorfin memberikan beberapa
keuntungan dibandingkan terapi gabungan agonis – antagonis yang digunakan
dalam terapi ketergantungan opioida. Keuntungan ini antara lain
indeks keamanan yang lebih besar terhadap terjadinya depresi pernafasan, tanda
otonom dari putus obat opioida yang lebih ringan, dan efek psikomimetik atau
disforik yang lebih ringan. Dengan efek respon opioida ganda maka ketika
menghambat efek penggunaan heroin sampingan, buprenorfin juga mengurangi
penggunaan (Badan POM RI, 2007).
E. Terapi Baru
Withdrawal syndrome adalah gejala-gejala yang timbul karena putusnya
pemakaian NAPZA. Terapinya dapat dilakukan baik secara farmakologi maupun
nonfarmakologi. Banyak penelitian yang menemukan penggunaan obat-obatan
baru sebagai terapi penyakit ini untuk hasil yang lebih baik. Pada salah satu
penelitian yang dilakukan pada tahun 2012 dilakukan perbandingan efikasi dan
tingkat keamanan pada obat yang telah lama digunakan untuk terapi withdrawal
syndrome yaitu methadone dan obat baru yaitu tramadol. Dari hasil penelitian
tersebut ditemukan bahwa tramadol memiliki efek samping yang lebih jarang
terjadi daripada methadone dengan efektivitas yang sama dalam mengontrol
gejala withdrawal syndrome sehingga tramadol dapat dipertimbangkan sebagai
pengganti methadone yang potensial (Zarghami et al., 2012).
Pada penelitian lain yang dilakukan tahun 2011 dengan objek penelitian berupa
ikan zebra dilakukan pengamatan terhadap zat mytraginine dan potensinya
untuk terapi withdrawal syndrome. Mytraginine adalah zat alkaloid yang dapat
ditemukan pada daun tanaman Mytragina sp. yang kemudian digunakan secara
luas untuk meningkatkan pertahanan terhadap kerasnya gejala-gejala
withdrawal syndrome pada saat rehabilitasi dari penggunaan opiat. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemberian mytraginine pada pasien
dengan gejala withdrawal syndrome dapat menurunkan kadar produksi
kortikotropin dan prodynorphin pada otak sehingga dapat menekan stress dan
kecemasan yang dipengaruhi oleh hormon-hormon tersebut (Khor et al., 2011).
Selama ini obat-obatan yang digunakan untuk withdrawal syndrome bertujuan
untuk mengurangi stress, namun mayoritas obat tersebut akan berefek
menekan kemampuan alami pasien untuk mengatasi stress itu sendiri. Oleh
karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengatasinya. Pada penelitian yang
dilakukan di Perancis tahun 2011 dilakukan pengamatan pada corticotrophin
releasing factor (CRF) yang berhubungan dengan terjadinya stress. Dari
penelitian ini ditemukan bahwa penggunaan reseptor-defisiensi CRF(2) dapat
meringankan distress pada masa withdrawal dari opiat tanpa menimbulkan efek
kerusakan pada otak dan organ neuroendokrin serta tidak mempengaruhi
mekanisme stress coping sebagai respons alami terhadap sindrom ini (Ingallinesi
et al., 2011).
F. Diagnosis Diferensial
1. Sindroma koroner akut
2. Penyakit addison
3. Status epileptikus
4. Krisis adrenal
5. Ketoasidosis alkoholik
6. Kecemasan
7. Gangguan SSP
8. Delirium Tremens
9. Depresi dan Bunuh diri
10. Ketoasidosis diabetikum
11. Hipertiroidisme, Grave Disease
12. Hipoglisemia
13. Hipomagnesemia
14. Hipopospatemia
15. Pankreatitis
16. Keracunan zat
G. Komplikasi
Beberapa komplikasi medis dapat timbul setelah pemakaian alkohol dan narkoba
jangka panjang. Beberapa komplikasi lebih sering ditemukan dan menimbulkan
dampak serius pada gejala putus alkohol daripada gejala putus opiat atau zat
stimulan lain. Berikut komplikasi yang dapat ditemukan pada sindrom putus
alkohol
1.
Komplikasi metabolik
a. Ketoasidosis alkoholik (AKA)
b. Gangguan
elektrolit
(
contoh:
hipomagnesemia,
hipokalemia,
hipernatremia)
c. Defisiensi vitamin (contoh: thiamin, phytonadione, cynocobalamin,
asam folat)
2.
Komplikasi GI
a. Pankreatitis
b. Perdarahan gastrointestinal (contoh: ulkus peptikum, varises esofageal,
gastritis)
c. Sirosis hepatis
3.
Komplikasi infeksi
a. Pneumonia
b. Meningitis
c. Selulitis
4.
Komplikasi neurologi
a. Sindroma Wernicke-Korsakoff
b. Atrofi serebral
c. Degenerasi serebelar
d. Subdural atau epidural hemoragia
e. Neuropati perifer
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Kaplan, Harold I.; Sadock, Benjamin J.; Grebb, Jack A. 2010. Kaplan-Sadock
Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid I.
Jakarta: Binarupa Aksara.
Goldstein D. 2009. Relationship of alcohol dose to intensity of withdrawal signs in
mice. Journal of Pharmacology and Experimental Therapeutics. 180(2):203-15.
Bayard M, McIntyre J, Hill KR, et al. Alcohol withdrawal syndrome. Am Fam
Physician. Mar 15 2004;69(6):1443-50.
Hayner CE, Wuestefeld NL, Bolton PJ. Phenobarbital treatment in a patient with
resistant alcohol withdrawal syndrome. Pharmacotherapy. Jul
2009;29(7):875-8.
Monte R, Rabunal R, Casariego E, Lopez-Agreda H, Mateos A, Pertega S.
Analysis of the factors determining survival of alcoholic withdrawal
syndrome patients in a general hospital. Alcohol Alcohol. Mar-Apr
2010;45(2):151-8.
Olmedo R, Hoffman RS. Withdrawal syndromes. Emerg Med Clin North Am.
May 2000;18(2):273-88
Tarabar AF, Nelson LS. The gamma-hydroxybutyrate withdrawal
syndrome. Toxicol Rev. 2004;23(1):45-9
Wojtowicz JM, Yarema MC, Wax PM. Withdrawal from gammahydroxybutyrate, 1,4-butanediol and gamma-butyrolactone: a case report
and systematic review. CJEM. Jan 2008;10(1):69-74.
American Psychiatric Association. 2000. Diagnostics and Statistical Manual
of Mental Dissorders Fourth Edition. Washington DC: American
Psychiatric Association.
Maslim, Rusdi. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan
Ringkas dari PPDGJ – III. Jakarta: Nuh Jaya.
Badan POM RI. 2007. Menggunakan Buprenorphine Guideline Dalam Terapi
Ketergantungan Opioida. Volume 8 No 1. Jakarta : InfoPOM Badan
Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia.
Dipiro, J.T., R.L. Talbert, G.C. Yee, G.R Matzke, B.G. Wells, L.M. Posey. 2008.
Pharmacotherapy A Pat Ophisiologic Approach Seventh Edition. New
York : McGraw-Hill Companies
Khor, BS, MF Jamil, MI Adenan, AC Shu-Chien. 2011. Mitragynine attenuates withdrawal
syndrome in morphine-withdrawn zebrafish. PLoS One. 6 (12) : e28340
Zhargami, M, B Masoum, MR Shiran. 2012. Tramadol versus Methadone for Treatment
of Opiate Withdrawal: A Double-Blind, Randomized, Clinical Trial. J Addict Dis. 31
(2) : 112-7
Ingallinesi, M, K Rouibi, C Le Moine, F Papaleo, A Contarino. 2011. CRF(2) receptordeficiency eliminates opiate withdrawal distress without impairing stress coping.
Mol Psychiatry. (10) : 119
McKeow, N.J. 2010. Withdrawal Syndromes.
http://emedicine.medscape.com/article/819502-overview . Diakses
pada 3 Mei 2012
Download