bab i pendahuluan - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah kumpulan dari gejala dan
penyakit yang diakibatkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus). Secara popular, AIDS diartikan sebagai virus fatal
yang membuat system kekebalan tubuh tidak berjalan baik. Penularan HIV/AIDS
sebagian besar melalui hubungan seksual yang bersifat heteroseks (berganti-ganti
pasangan), setelah itu diikuti oleh para pengguna narkoba suntik (Injection Drug
Users).1
Gejala-gejala yang menunjukkan adanya AIDS sudah ditemukan sejak 1959.
Ketika itu, seorang lelaki kulit hitam yang tinggal di Leopoldville (kini kota Kinsasha)
di Kongo menyerahkan contoh darahnya kepada tim dokter Amerika Serikat yang
tengah melakukan studi tentang masalah genetik. Usai penelitian, sampel itu ternyata
tidak dibuang, melainkan disimpan pada frezeer dan terlupakan begitu saja. Pada 1986,
contoh darah itu ikut diperiksa bersama 1212 sampel darah lainnya oleh seorang dokter
Amerika Serikat bersama peneliti-peneliti. Hasilnya darah itu positif terinfeksi HIV.2
Ada dugaan habitat asal virus ini berada di benua Afrika yang beriklim tropis dan
basah. Dugaan ini berdasarkan informasi tentang asal muasal berjangkitnya virus
1
Gde Muninjaya, AIDS di Indonesia Masalah dan Kebijakan Penanggulangannya, Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1999, hal. 6.
2
Zubairi Djoerban, Membidik AIDS Ikhtiar Memahami HIV dan ODHA, Yogyakarta: Galang
Press, 2000, hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
tersebut, yaitu di kalangan homoseks di Afrika. Mungkin pada suatu waktu ada
seseorang yang tanpa di sengaja menjamah habitat virus itu dan masuk kedalam
tubuhnya tanpa disadari, apalagi tidak didukung akan perlunya menjaga kebersihan diri
dan sanitasi lingkungan yang baik.3
AIDS di Indonesia sudah dikenal dan menjadi isu pada awal Januari 1986, yakni
dengan meninggalnya seorang pasien di RSIJ (Rumah Sakit Islam Jakarta) yang melalui
uji darah dengan metode ELISA4 dan diketahui mengidap penyakit AIDS.5 Selama tahun
1991 dan 1992 terjadi penularan virus dua kali lipat. Organisasi kesehatan dunia (WHO)
mengumumkan jumlah orang yang terinfeksi di seluruh dunia sebanyak 10 sampai 12 juta
orang. WHO juga memproyeksikan pada tahun 2000 akan terdapat 5000 penderita dan
50.000 pengidap di Indonesia. Sedangkan di seluruh dunia diperkirakan tahun 2000 nanti
sejumlah 30 sampai 40 juta orang telah terinfeksi HIV dan 18 juta orang telah menjadi
penderita. Menurut laporan terakhir dari departemen kesehatan, tercatat pengidap di
Indonesia awalnya 15 Propinsi dan 258 pengidap yang melaporkan.6
Pertambahan kasus yang cepat, penyebarannya yang semakin meluas, belum
ditemukannya obat dan vaksin yang efektif terhadap AIDS telah menimbulkan
keresahan serta keperihatinan. Langkah-langkah klasik untuk menanggulangi penyakit
menular seperti pelacakan penderita, isolasi atau karantina serta pengobatan para
penderita ternyata tidak dapat dilaksanakan untuk menanggulangi AIDS. AIDS menjadi
ancaman serius bagi manusia karena beberapa sebab, yaitu HIV ditularkan terutama
3
Ronald Hutapea, AIDS dan PMS dan Perkosaan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995, hal. 16.
ELISA merupakan singkatan dari Enzym Linked Immunosorbent Assay yang merupakan alat
untuk mendeteksi antibodi ditemukan dan diumumkan dalam pertemuan Atlanta tahun 1985.
5
Alizar Isna, Penanggulangan PMS dan HIV/AIDS Pada Era Otonomi Daerah, Yogyakarta:
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada, 2005, hal. 10.
6
Op.cit, hal. 19.
4
Universitas Sumatera Utara
melalui hubungan seksual. Tidak banyak masyarakat yang dapat berbicara terbuka
mengenai masalah seks, sehingga HIV/AIDS tidak dapat dikendalikan dengan mudah.
AIDS meliputi tiga macam epidemi.7 Yang pertama adalah penyebaran HIV.
Penularan terjadi melalui hubungan seksual (hetero maupun homoseksual), dari ibu
kepada bayi dan melalui darah tercemar (transfuse darah), pemakaian jarum suntik yang
tidak steril. Epidemi ini terjadi secara “diam-diam” karena dapat ditularkan dari orang
yang masih sehat yang tidak mengetahui bahwa ia tertular HIV. Epidemi kedua,
berjangkitnya AIDS yang timbul setelah masa inkubasi sekitar 10 tahun. Orang yang
menderita AIDS bertambah dan kematian meningkat.
Epidemi ketiga, bersifat sosial, yakni terjadinya stigmatisasi, prasangka, dan
diskriminasi terhadap pengidap HIV dan penderita AIDS.8 Ketidaktahuan masyarakat
mengenai cara penularan HIV menimbulkan berbagai masalah yang mempersulit
ditanggulanginya penyakit ini. Penyakit pada umumnya menghasilkan kekompakan dan
solidaritas dalam keluarga, namun pada AIDS terjadi sebaliknya. Orang yang sakit
sering dikucilkan dan keluarga jadi pecah. Kelompok-kelompok yang banyak terkena
penyakit ini seperti pemakai narkoba suntik dan pelacur seharusnya diajak bekerjasama,
tetapi mereka kemudian dikucilkan, dicurigai dan dimusuhi.9
Virus HIV boleh jadi didapat dan berkembang dari perilaku dan interaksi social.
Tetapi suatu kesalahan besar jika pandangan ini kemudian menjadi mitos, sebagai satusatunya kebenaran. Pernah berkembang satu pandangan bahwa fenomena HIV/AIDS
dapat ditangkal dengan iman dan perilaku yang sesuai dengan norma agama. Pandangan
8
Panos Dossier, The Third Epidemic: Repercussions of the fear of AIDS, London: 1990, hal. 40-
51.
9
Op.cit., hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
ini bersumber pada mitos bahwa HIV merupakan penyakit yang berasal dari hukuman
tuhan atas perilaku dan cara hidup mereka yang tidak sesuai dengan norma dan ajaran
yang berlaku.10
Pada masa ini masyarakat serasa dikepung dengan berita-berita yang menakutkan
seputar penyakit ini maka hal yang sama juga pernah dirasakan oleh generasi-generasi
sebelumnya. Sekitar tahun 1960 penyakit menular kelamin yang paling ditakuti adalah
Gonore dan Sifilis. Kemudian penyakit kelamin lainnya barulah banyak muncul seperti
herpes genetalis. Bagi kebanyakan remaja sekarang AIDS adalah penyakit menular
kelamin yang paling menjadi bahan pembicaraan dan paling ditakuti.
Tidak dapat disangkal AIDS yang mematikan itu telah berada di tengah-tengah
kita setelah sekian tahun lamanya, kita seolah-olah kebal dari ancaman penyebarannya.
Untuk dapat lebih mempersiapkan diri kita dalam menangkal dan memperkuat ketahanan
keluarga serta generasi muda bangsa Indonesia khususnya Kota Medan sebagai perisai
utama kita, sebaiknya kita memahami perjalanan sejarah penyakit ini. Penelitian ini,
membahas tentang dampak HIV/AIDS bagi masyarakat di Kotamadya Medan. Untuk itu
penulis membatasi periode penulisan tahun 1987-1990 dengan judul “Dampak
HIV/AIDS Bagi Masyarakat di Kotamadya Medan (1987-1990)”.
Skop temporal yang penulis pilih adalah tahun 1987. Tahun 1987 merupakan awal
dikenalnya penyakit HIV/AIDS di Kotamadya Medan. Penulis membatasi skop temporal
sampai pada tahun 1990 karena penulis beranggapan sudah dapat melihat dampak
perkembangan HIV/AIDS di Kotamadya Medan.
10
Ahmad Shams Madyan, AIDS Dalam Islam Krisis Moral Ataukah Krisis Kemanusiaan?,
Jakarta: Mizan Media Utama. 2000, hal. 29-30.
Universitas Sumatera Utara
Sejarah merupakan ilmu yang mempelajari tentang perkembangan dan perubahan
masa lampau umat manusia. Menurut Louis Gotchalk sejarah merupakan ilmu yang
bertugas untuk menerangkan sesuatu yang pernah terjadi pada masa lampau.11 Menurut
Kuntowijoyo rekontruksi sejarah ialah apa yang sudah dipikirkan, dikatakan, dikerjakan,
dirasakan, dan dialami oleh orang. Sejarawan dapat menulis apa saja, asal memenuhi
syarat untuk disebut sejarah.12
1.2 Rumusan Masalah
Pokok permasalahan yang penulis bahas dalam penulisan ini adalah mengenai
dampak serta masalah-masalah sosial yang timbul oleh adanya penyakit HIV/AIDS di
Kotamadya Medan pada tahun 1987-1990. Penulis akan membagi pokok permasalahan
dalam penulisan ini agar lebih terarah dan tidak bertentangan dengan judul yaitu
“Dampak HIV/AIDS Bagi Masyarakat di Kotamadya Medan (1987-1990)”. Adapun
pokok-pokok pikiran permasalahan tersebut sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran umum Kotamadya Medan pada tahun 1987-1990?
2. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap HIV/AIDS di Kotamadya Medan
pada tahun 1987-1990?
3. Bagaimana dampak yang ditimbulkan HIV/AIDS bagi masyarakat di Kotamadya
Medan pada tahun 1987-1990?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
11
Louis Gotchalk, terjemahan Nugroho Notosusanto, Mengerti Sejarah, Jakarta: Universitas
Indonesia Press, 1985, hal. 27.
12
Prof. DR. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: PT. Bintang Pustaka, 2005, hal.
18-19.
Universitas Sumatera Utara
Secara umum penelitian yang dilakukan seorang peneliti bertujuan untuk
memperoleh gambaran lengkap terhadap permasalahan yang diteliti. Oleh karena itu
penelitian yang dilakukan ini juga mempunyai tujuan. Adapun tujuan yang dalam
penelitian ini di antaranya adalah :
1. Mengetahui bagaimana gambaran umum Kotamadya Medan pada tahun 19871990.
2. Mendeskripsikan pandangan masyarakat terhadap penyakit HIV/AIDS di
Kotamadya Medan selama tahun 1987-1990.
3. Menemukan dampak yang ditimbulkan HIV/AIDS terhadap masyarakat di
Kotamadya Medan selama tahun 1987-1990.
Tujuan dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi masyarakat,
dinas-dinas yang berkepentingan serta bagi pemerintah. Adapun manfaat yang
diharapkan tersebut adalah :
1. Bagi masyarakat, diharapkan dengan adanya penelitian ini akan lebih memahami
dan memberikan pemahaman baru kepada masyarakat agar dapat menerima
penderita HIV/AIDS tanpa adanya pendiskriminasian ataupun pengucilan
terhadap penderita HIV/AIDS.
2. Bagi dinas kesehatan, kiranya penelitan ini dapat memberikan masukan bagi dinas
kesehatan khususnya di Propinsi Sumatera Utara untuk lebih meningkatkan
penyuluhan serta pencegahan penyakit HIV/AIDS agar perkembangan penyakit
tersebut dapat di minimalkan.
3. Bagi Pemerintah, kiranya penelitian ini akan memberikan suatu masukan baru
agar pemerintah dapat lebih memperhatikan penderita HIV/AIDS dengan jalan
Universitas Sumatera Utara
membuat suatu
kebijakan-kebijakan
baru
dalam hal
pengobatan
serta
penanggulangan penderita HIV/AIDS.
1.4 Tinjauan Pustaka
Perkembangan penyakit HIV/AIDS yang semakin berkembang di seluruh wilayah
Indonesia semakin mendapat perhatian dari publik terbukti dari buku-buku yang
membahas penyakit tersebut. Salah satu buku yang membahas mengenai HIV/AIDS
adalah buku karangan M. Syabudin Latif yang berjudul Penanggulangan PMS dan
HIV/AIDS Pada Era Otonomi Daerah. Di dalam bukunya ia memfokuskan
permasalahannya pada kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah Kabupaten
Banyumas berkaitan dengan semakin tingginya kasus penderita PMS dan HIV/AIDS
dalam usahanya untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan penyakit PMS dan
HIV/AIDS. Ia juga menjelaskan dalam bukunya bahwa pemerintah Kabupaten Banyumas
dinilai lemah dalam melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan PMS dan
HIV/AIDS. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu pertama, kebijakan dan program
pemerintah lebih bersifat simbolis karena ketidakjelasan perencanaan. Kedua, pemerintah
belum berani mengambil inisiatif kebijakan terhadap penanggulangan HIV/AIDS. Ketiga,
berkurangnya aktifitas pencegahan dan penanggulangan PMS dan HIV/AIDS. Keempat,
tidak adanya perhatian terhadap perkembangan dan penanganan kesehatan para pekerja
seks komersial (PSK).13
Kegagalan kebijakan-kebijakan yang di buat oleh pemerintah juga tidak terlepas
dari peranan media cetak dan elektronik sebagai jendela informasi bagi masyarakat.
Syaiful W. Harahap dalam bukunya Pers Meliput AIDS menjelaskan dan mengupas
13
M. Syahbudin Latief, Siapa Peduli AIDS di Yogya? Kinerja KPAD dan DPRD DIY Dalam
Penanggulangan HIV/AIDS Pada Era Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan
Kebijakan UGM, 2005, hal. 30.
Universitas Sumatera Utara
peranan media cetak nasional dalam memberitakan penyakit ini dari tahun 1981-1997.
Ternyata dalam pemberitaannya sering terdapat kekeliruan-kekeliruan yang berdampak
sangat jelas bagi para penderita HIV/AIDS. Kekeliruan-kekeliruan itu antara lain adalah
keliru tentang berbagai aspek medis, kurang informative mengenai perkembangan
epidemic HIV/AIDS, berat sebelah tentang penyebarannya di masyarakat, tidak peka
terhadap sejumlah pelanggaran hak asasi penderita HIV/AIDS atau yang diduga sebagai
penderita HIV/AIDS, dan tidak realistis mengenai strategi penanggulangan HIV/AIDS
yang kesemuanya cenderung memposisikan penderita HIV/AIDS dalam posisi yang
terjepit oleh adanya pemberitaan tersebut.14
Di dalam artikelnya berjudul AIDS in historical Perspective: Four Sexually
Transmitted Diseases (AIDS dalam perspektif Sejarah: Empat Pelajaran dari Sejarah
Perkembangan Penyakit Kelamin) Allan M. Brandt menjelaskan empat pelajaran dari
sejarah social penyebaran penyakit kelamin dan menaksir hubungan mereka dalam
mengahadapi wabah pada masa sekarang. Empat pelajaran itu adalah:
1. Kekhawatiran yang muncul karena penyakit tersebut telah dan akan selalu
mempengaruhi pendekatan medis dan kebijakan di budang kesehatan masyarakat.
Pada akhir abad ke 19 dan permulaan abad ke 20 masyarakat dunia mengalami
ketakutan yang amat sangat pada infeksi penularan penyakit kelamin seperti Syphilis dan
Gonorrhea dimana dampak dari penyakit ini adalah kelumpuhan, mandul, kebutaan dan
penyakit jiwa. Selain dampak tersbut diatas alas an lain yang membuat Syphilis pada saat
itu merupakan penyakit yang sangat menakutkan adalah asumsi masyarakat bahwa
penyakit ini dapat ditularkan begitu saja. Dokter-Dokter sebelum abad ke 20 membuat
14
Syaiful W Harahap, Pers Meliput AIDS, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000, hal. 189.
Universitas Sumatera Utara
daftar bermacam-macam cara penularan seperti: pulpen, pinsil, sikat gigi, handuk dan
peralatan tidur serta alat-alat medis merupakan media penularan yang utama.
Sekarang rasa ketakutan yang sama juga terjadi dengan ditemukannya AIDS ini.
Dimana banyak rumor dan asumsi dari masyarakat bahwa penyakit ini dapat ditularkan
secara cepat seperti yang terjadi pada penyakit kelamin lainnya. Walaupun kemudian
dokter dan ahli medis telah menemukan bahwa HIV/AIDS tidak dapat ditularkan begitu
saja namun hal ini tetap tidak bisa membuat rasa ketakutan pada masyarakat berkurang.
Masih saja dapat kita lihat pengasingan anak-anak yang terinfeksi HIV dari sekolah
mereka di lokasi tertentu, penolakan dari beberapa ahli kesehatan untuk mengobati pasien
HIV/AIDS, hilangnya pekerjaan dan pengasingansemua mengungkapkan resiko
ketakutan yang dapat menembus seluruh wabah.
2. Pendidkan tidak akan mengontrol wabah AIDS
Pada permulaan abad ke 20 ahli-ahli kesehatan kemudian berkonsentrasi dalam
melakukan kampanye masalah Syphilis dan Kencing Nanah. Mereka beranggapan bahwa
bahwa turun naiknya infeksi tidak dapat dibendung hingga masyarakat mempunyai
pengetahuan
yang
cukup
tentang
masalah
ini,
model-model
penularan
dan
pencegahannya. Akan tetapi hal ini dirasakan tidak tepat penggalakan kegiatan kampanye
pada masyarakat untuk meredam perilaku seks yang tidak diinginkan tidak akan berhasil
bila hanya didasari oleh perasaan takut. Namun, mereka yang menggabungkan perasaan
takut yang wajar dengan cara praktis mengubah perilaku seks beresiko tinggi (seperti
penggalakan penggunaan kondom untuk mencegah penyakit kelamin) dapat memberikan
hasil yang jelas.
Universitas Sumatera Utara
3. Program-program kesehatan masyarakat yang wajib dilakukan tidaklah dapat
mengontrol wabah AIDS.
Sejarah dari usaha-usaha untuk mengontrol Syphilis selama abad ke 20 mengarah
pada pengambilan langkah-langkah wajib dari uji laboratorium sampai kepada upaya
karantina dari penderita yang terinfeksi. Pada permulaan dari abad ke 20 beberapa
Negara telah menyampaikan uji tes laboratorium pra pernikahan untuk menjamin bahwa
penyakit menular seksual tidak akan ditularkan pada perkawinan. Pada tahun 1935
Connecticut menjadi Negara bagian pertama yang mengharuskan tes prapernikahan
kepada semua mempelai laki-lakidan perempuan. Melalui program ini maka penularan
penyakit kelamin kepada pasangan dan anak dapat dihambat.
Banyak ahli yang kemudian meragukan hasil dari uji tes ini. Pada beberapa kasus
telah terjadi kesalahan diagnosa, disebabkan oleh teknik yang tidak cukup dan mereka
yang terkena kesalahan ini mendapatkan penderitaan lebih dan hubungan yang kacau
dengan pasangannya masing-masing. Seperti halnya uji tes pra pernikahan maka, langkah
selanjutnya yang diambil pemerintah dalam usaha pengendalian penyakit ini adalah
diberlakukannya UU Karantina dimana orang-orang yang terinfeksi penyakit kelamin
dapat ditahan dan dipenjara sampai ia diputuskan tidak lagi terinfeksi lagi. Selama Perang
Dunia ke II lebih dari 20.000 wanita diamankan di Camp-Camp sebab mereka dicurigai
sebagai penyebar penyakit kelamin.
Di dalam masalah AIDS dimana tidak ada intervensi kesehatan untuk membuat
individu yang
terinfeksi menjadi tidak terinfeksi lagi, upaya karantina tidak dapat
dilaksanakan sebab hal itu akan mangakibatkan perjalanan hidup yang panjang dan semu
Universitas Sumatera Utara
bagi yang terinfeksi. Upaya karantina sering menimbulkan kritik sebab kebijaksanaan
tersebut menyalahi dasar hak penduduk untuk dapat hidup dengan tenang.
4. Perkembangan ilmu kedokteran dan pemberian vaksin masih akan sulit
menanggulangi wabah AIDS tersebut.
Pada awal tahun 1943 Dr. Jhon S. Mahoney menemukan Pinicilin sebagai obat
yang ampuh dalam mengobati penyakit kelamin. Dengan penemuan obat ini maka
ketakutan akan penyakit ini dapat dihindari dan secara berangsur-angsur penderita
penyakit kelamin semakin berkurang dari tahun ke tahun.
Pada tahun 1987 Pusat Pengontrol Penyakit (CDC) melaporkan pertambahan
kasus sifilis dasar dan lanjutan. Perkiraan rata-rata pertahun per 100.000 populasi
meningkat meningkat dari 10,9 menjadi 13,3 kasus, pertambahan yang paling besar
dalam 10 tahun. Anngka ini sangat mencolok sekali bahwa mereka timbul ditengahtengah mewabahnya AIDS. Setelah delapan tahun kemunduran, rata-rata kasus dari
syphilis bawaan juga naik emnurut laporan sejak 1983. CDC menyimpulkan bahwa
individu dengan sejarah infeksi penyakit menular seksual meningkat dengan virus AIDS.
Meskipun keefektifan Pinisilin sebagai obat untuk penyakit ini, wabah penyakit
ini tetap saja masih bertahan. Pengobatan yang efektif seharusnya menjadi sebuah
prioritas didalam keanekaragaman pendekatan terhadap AIDS dan pada akhirnya akan
menjadi sebuah komponen penting dalam mengontrolnya, tetapi bahkan sebuah vaksin
tidak akan memecahkan masalah dengan cepat. Sudah pasti perawatan yang baru dan
lebih efektif akan dikembangkan di tahun-tahun ke depan. Namun, perawatan yang
Universitas Sumatera Utara
efektif dan obat yang ampuh tidak akan cukup efektif tanpa pendidikan yang memadai,
konseling dan dana yang cukup menjangkau seluruh penderitanya.15
Willy F. Pasuhuk dalam bukunya yang berjudul AIDS menerangkan bahwa
masalah penyakit hubungan seksual dan AIDS bukanlah masalah infeksi dan tidak infeksi
saja. Ia merupakan masalah perilaku manusia dan perilaku manusia adalah suatu
fenomena yang teramat sukar dipahami. Adanya pergeseran nilai-nilai, kelonggaran
hubungan antar jenis ini menimbulkan problem sosial.
Problem social ini tak ayal lagi kemudian menimbulkan pula “penyakit social”.
Karenanya insidens penyakit akibat hubungan seksual semakin meningkat. Dan ini tidak
saja terjadi di satu negara tertentu, tetapi sifatnya sedunia. Salah sau penyakit hubungan
seksual itu adalah AIDS. Sejak kemunculan penyakit ini pertama kali, korban-korban
AIDS semakin banyak dijumpai di berbagai belahan dunia.
Korban AIDS ini kemudian mulai merasa orang menjauhinya, yang sering
merupakan realitas yang menyedihkan. Derita mentalnya semakin menjadi-jadi setelah ia
mengetahui bahwa ia adalah korban penyakit yang membawa kematian, karena hingga
saat ini tidak ada jalan atau belum ada jalan untuk menyembuhkannya.16
Maria de Bruyn mengawali bukunya yang berjudul Altering the image of AIDS
dengan menyatakan bahwa setiap anggota masyarakat yang pernah mendengar tentang
HIV/AIDS merupakan pelaku yang mempengaruhi, langsung maupun tidak, citra
masyarakat mengenai epidemi tersebut. Pada diri setiap individu terdapat suatu naskah
mental (mental script) atau suatu kerangka cerita yang memberi petunjuk bagaimana
suatu peristiwa terjadi dan apa yang harus dilakukan sang aktor. Buku ini sarat akan
15
Allan M. Brandt, AIDS in Historical Perspective: Four Lessons From The History of Sexually
Transmitted Diseases, New York: American Journal of Public Health, Volume 78 No.4, 1988, hal. 367.
16
Willy F Pasuhuk, AIDS, Jakarta: Indonesia Publishing House, 1988, hal. 35
Universitas Sumatera Utara
penelitian budaya dalam hal HIV/AIDS keyakinan-keyakinan tertentu tentang terjadinya
suatu keadaan sakit atau seksualitas sangat berperan. Di Botswana, misalnya AIDS di
anggap sebagai salah satu bentuk meila, yaitu pelanggaran seksualitas baik oleh laki-laki
ataupun wanita pada masa abstinensi selama setahun setelah pasangannya meninggal
dunia. Di Indonesia, Vietnam, dan banyak negeri di Asia, AIDS adalah “barang impor”,
“penyakit orang asing” atau “penyakit orang yang berdosa” yang tidak perlu
dikhawatirkan. Di Zambia lain lagi. AIDS dianggap ditularkan oleh seorang wanita yang
sedang menstruasi.
Di Indonesia, mulanya pemerintah bahkan tidak mengakui bahwa AIDS telah ada
di Indonesia dengan mengatakan bahwa sebagai kasus yang ditemui kemudian setelah
meninggalnya seorang Belanda di Bali sebagai ARC (AIDS Related Syndrome). Karena
mau tak mau pemerintah pada akhirnya harus mengakui bahwa infeksi HIV/AIDS telah
terjadi di Indonesia, maka citra yang diupayakan adalah HIV/AIDS sebagai penyakit
orang-orang tertentu yang moralitas seksualnya bejat atau perlu dipertanyakan. Orangorang ini disebut sebagai kelompok beresiko termasuk turis, orang-orang yang pernah
tinggal di atau sering bepergian ke luar negeri, pelacur, dan kaum homoseksual (termasuk
waria). Dengan demikian, pemerintah mudah mengatasi konflik kepentingan antara
pemberian informasi pada masyarakat umum dengan kepentingan eknomi nasional
(tourisme). Di Bali, pemerintah daerah menekan pemberitaan mengenai AIDS, tidak
mengakui secara resmi adanya pelacuran dan poster-poster besar dicetak untuk
memperingatkan turis.17
17
Maria de Bruyn, Altering the Image of AIDS, Amsterdam: VU University Press, 1994, hal. 45-
50.
Universitas Sumatera Utara
Buku-buku tersebut diatas menyajikan permasalahan HIV/AIDS tetapi belum
terdapat penelitian yang memfokuskan kepada bagaimana sikap dan pandangan
masyarakat terhadap penderita HIV/AIDS sampai kepada bagaimana penanganan para
penderita ataupun orang yang masih diduga sebagai penderita khususnya yang berada di
wilayah Kotamadya Medan dalam kurun waktu 1987-1990.
1.5 Metode Penelitian
Suatu tulisan maupun karya ilmiah yang memenuhi syarat adalah tulisan yang
didukung oleh data-data dan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya
serta harus relevan dengan permasalahan yang ditulis. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode sejarah meliputi: heuristik, verifikasi, interpretasi,
historiografi.
Langkah pertama yang dilakukan adalah melalui heuristik yaitu pengumpulan data atau
fakta-fakta dan sumber-sumber yang sesuai dan mendukung objek yang diteliti. Proses
yang digunakan dalam hal ini adalah dengan melakukan library research (penelitian
kepustakaan/studi literatur) yaitu mengumpulkan sejumlah sumber tertulis baik primer
maupun sekunder, yang berupa laporan, majalah, dan buku-buku yang berkaitan dengan
objek yang dikaji. Sumber-sumber ini diperoleh dari Pemerintah Kotamadya Medan,
Dinas Kesehatan Kota Medan, Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) berupa laporan-laporan yang dimiliki, Perpustakaan
Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Daerah Propinsi Sumatera Utara dan
Perpustakaan Kota Medan. Melalui studi kepustakaan, diperoleh data-data yang berkaitan
dengan permasalahan serta merupakan acuan yang bersifat teoritis berupa sumber yang
Universitas Sumatera Utara
dapat mendukung dan memiliki relevansi dengan penelitian. Field research (penelitian
lapangan/ studi lapangan) juga dilakukan dengan menggunakan wawancara yang tidak
berstruktur dan bersifat tertutup. Penulis melakukan wawancara melalui beberapa
informan yang dapat memberikan keterangan dalam penelitian ini sebagai informasi.
Dalam melakukan wawancara, dipilih beberapa informan yang mengetahui tentang
masalah yang dibahas.
Langkah kedua yang dilakukan adalah dengan kritik sumber. Dalam tahapan ini,
kritik dilakukan terhadap sumber yang telah terkumpul. Kritik yang dilakukan yaitu kritik
intern dan juga ekstern. Kritik intern diperlukan guna menilai kelayakan data sedangkan
kritik ekstern digunakan untuk menentukan keabsahan data.
Tahapan selanjutnya adalah tahap interpretasi. Dalam tahapan ini, data yang
diperoleh dianalisis sehingga melahirkan suatu analisis baru yang sifatnya lebih objektif
dan ilmiah dari objek yang telah diteliti. Objek kajian yang jauh ke belakang membuat
interpretasi menjadi sangat vital dan dibutuhkan keakuratan serta analisis yang tajam agar
mendapat fakta sejarah yang objektif. Dengan kata lain, tahapan ini dilakukan dengan
menyimpulkan kesaksian atau data-data informasi yang dapat dipercaya dari bahan-bahan
yang ada.
Tahapan terakhir adalah historiografi, yakni penulisan yang disusun berdasarkan
interpretasi fakta-fakta yang ditemukan menjadi suatu kisah atau kajian yang menarik
dan berarti, secara kronologis dan rasional. Dimana setelah penelitian, dituliskan kedalam
skripsi.
Universitas Sumatera Utara
Download