1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, manusia selalu berhubungan satu sama lain. Kehidupan bersama itu menyebabkan adanya interaksi atau hubungan satu sama lain. Interaksi tersebut dapat berupa hubungan yang menyenangkan atau sebaliknya, yaitu hubungan yang dapat menimbulkan konflik. Dalam hal ini, hubungan industrial pun juga rawan konflik dan tidak selamanya harmonis. Menurut Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Hubungan Industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Ketidaksetaraan hubungan antara pekerja dan pengusaha menjadikan ketidakharmonisan dalam hubungan industrial, sehingga menjadikan hubungan tersebut sebagai hubungan yang cenderung eksploitatif dan bersifat sepihak.1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 22 mendefinisikan bahwa Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat 1 Ari Hernawan, 2013, Ketidakadilan dalam Norma dan Praktik Mogok Kerja di Indonesia, Udayana University Press, Denpasar, hlm. 1. 2 pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Dalam perselisihan hubungan industrial, pekerja/buruh secara bersama-sama atau serikat pekerja/serikat buruh maupun pengusaha dapat melakukan “tindakan”. “Tindakan" yang dilakukan pengusaha dapat berupa penutupan perusahaan atau lock out dan “tindakan” yang dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh atau pekerja/buruh secara kolektif dapat berupa mogok kerja atau strike. Dibandingkan dengan lock out, mogok kerja ini lebih sering terjadi sehingga dapat menjadi penunjuk bahwa mogok kerja relatif mudah digunakan oleh pekerja/buruh jika aspirasinya tidak mendapat respon positif, baik dari manajemen perusahaan maupun pemerintah.2 Melalui mogok kerja, pekerja/buruh dituntut kecakapannya untuk memperjuangkan dan mewujudkan hak-hak mereka.3 Mogok kerja merupakan bentuk gerakan protes, yang juga bagian dari usaha merundingkan perbaikan hubungan industrial.4 Hak mogok sendiri merupakan salah satu hak dasar pekerja/buruh yang bersifat universal. Hak mogok merupakan hak politik yang dimiliki oleh seorang pekerja/buruh, sementara hak politik itu juga diakui sebagai hak asasi manusia. Di Indonesia, dalam pelaksanaannya hak mogok dibatasi oleh adanya peraturan perundang-undangan. 2 Ibid, hlm. 2. Adrian Sutedi, 2009, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 18. 4 D. Koeshartono dan M.F. Shellyana Junaedi, 2005, Hubungan Industrial: Kajian Konsep dan Permasalahan, Universitas Atma Jaya, hlm. 108. 3 3 Adanya pembatasan hak mogok dimaksudkan agar pekerja/buruh dalam menggunakan hak mogoknya tidak begitu mudah, dan hanya digunakan apabila upaya lainnya sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan telah digunakan, tetapi mengalami jalan buntu. Pemogokan ini, jika tidak memperoleh perhatian yang serius, akan dapat mengakibatkan stabilitas nasional (politik, ekonomi) merosot. Hal ini dapat menakutkan investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia yang tentu saja menghendaki stabilitas nasional yang mantap.5 Mogok kerja menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersamasama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan, sehingga siapapun tidak dapat menghalangi dan melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang menggunakan hak mogok kerja secara sah sesuai peraturan perundangan. Mogok kerja diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan dari Pasal 137-145, selain itu termuat pula dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 232 Tahun 2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja yang Tidak Sah dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 368.Kp.02.33.2003 tentang Prosedur Mogok Kerja dan Penutupan Perusahaan atau Lock Out. Pengaturan dalam bentuk pembatasan hak mogok untuk meminimalisasi dampak negatifnya merupakan satu hal yang dapat dilakukan 5 Ari Hernawan, Op.cit, hlm. 3. 4 karena menurut ILO (International Labour Organization) tidak boleh ada larangan mogok kerja, yang diperbolehkan adalah pembatasan mogok kerja. Hak mogok merupakan hak fundamental pekerja/buruh yang tidak dapat dipisahkan dari hak berserikat dan berunding kolektif. Hak mogok menurut ILO adalah bagian tak terpisahkan dari bagian berunding kolektif, sehingga harus dilakukan secara terorganisir dan bersama-sama.6 Para penegak hukum pun dituntut agar dapat membedakan atau mengkualifikasikan antara pemogokan yang sah dan pemogokan yang tidak sah. Dalam pemogokan yang sah, pekerja/buruh adalah pihak yang beritikad baik dan mengadakan pemogokan karena merasa dirugikan atau akan dirugikan oleh pihak perusahaan, akibat perusahaan menempuh kebijaksanaan yang kurang menguntungkan bagi pihak pekerja/buruh. Dalam pemogokan yang tidak sah terdapat unsur itikad tidak baik dari para pekerja/buruh yang secara hukum tidak memiliki alasan untuk melakukan tindakan mogok kerja terhadap pengusaha yang sebenarnya mempunyai itikad baik dalam mempekerjakan mereka. Pekerja/buruh, dalam hal ini hanya berniat mengacaukan suasana dengan sengaja memboikot pengusaha tanpa alasan yang jelas dan hanya berniat memeras pengusaha agar mau memenuhi tuntutan pekerja/buruh. Jadi perlu dibedakan antara pemogokan yang sah dan pemogokan yang tidak sah, baik dari segi penjatuhan sanksi maupun dari segi penafsiran dan penggolongannya secara kualitatif. Adanya pembedaan antara dua jenis 6 Ibid, hlm. 4. 5 pemogokan tersebut secara yuridis, diharapkan dapat dijatuhi sanksi yang tepat kepada orang yang tepat.7 Di Indonesia, hal itu dilakukan dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 232 Tahun 2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja yang Tidak Sah untuk mencegah adanya pelaku atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang menggerakkan pemogokan yang tidak sah. Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tersebut, pelaku mogok kerja yang tidak sah, setelah diperingatkan dan tidak mematuhi dapat diberhentikan dari pekerjaannya. Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan pun telah disebutkan bahwa pemogokan yang tidak sah adalah pemogokan yang tidak prosedural dan dapat dikategorikan sebagai tindakan pelanggaran sehingga dapat dikenai sanksi pidana. Pasal 186 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatakan bahwa apabila mogok kerja tidak dilakukan secara sah, tertib, damai dan tanpa perundingan terlebih dahulu sebelumnya, maka pelaku mogok kerja dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling sedikit 10 (sepuluh) juta rupiah dan paling banyak 400 (empat ratus) juta rupiah. Dalam perkembangannya, Pasal 186 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut telah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 012/PUU-I/2003, karena dianggap bertentangan dengan standar perburuhan internasional dan tidak proporsional 7 A. Ridwan Halim dan Sri Subiandini Gultom, 1987, Sari Hukum Perburuhan Aktual, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 42. 6 karena mereduksi hak mogok yang dijamin oleh UUD 1945. Jadi berdasarkan putusan tersebut, maka konsep mogok sebagai tindak pidana telah ditinggalkan dan mogok kerja harus dilihat dari sudut pandang hubungan kerja yang merupakan bagian dari ketentuan perdata. Berdasarkan uraian singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa mogok kerja merupakan hak fundamental dari setiap pekerja/buruh dan telah dijamin oleh undang-undang, sehingga pengusaha tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh untuk melakukan mogok kerja. Mogok kerja yang dimaksud dalam hal ini adalah pemogokan secara sah di mata hukum. Berdasarkan penjelasan di atas, Penulis mempunyai pertimbangan tersendiri dalam memilih PT. Pravianty Vantasia sebagai obyek penelitian. Hal ini dikarenakan permasalahan yang dihadapi oleh para pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh PT. Pravianty Vantasia sejalan dengan uraian yang telah dijelaskan di atas. Permasalahan yang terjadi adalah para pekerja bagian produksi PT. Pravianty Vantasia yang tergabung dalam Serikat Pekerja Perkayuan dan Perhutanan Indonesia Pravianty Vantasia melakukan mogok kerja dikarenakan para pekerja/buruh menganggap perusahaan tidak memenuhi naskah perjanjian yang telah dibuat, yaitu tidak adanya pemecatan terhadap pekerja/buruh, namun pada kenyataannya dua 7 pekerja/buruh dipecat tanpa ada alasan yang jelas, dan hal ini menjadikan pekerja/buruh lain bekerja tanpa adanya perasaan tenang.8 Hal ini mendorong Penulis untuk melakukan sebuah penelitian dan penulisan hukum yang berjudul “Perlindungan Hukum bagi Pengurus Serikat Pekerja yang Melakukan Mogok Kerja di PT. Pravianty Vantasia.” B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka ada beberapa permasalahan yang perlu dikaji berkaitan dengan perlindungan hukum bagi pengurus serikat pekerja yang melakukan mogok kerja di PT. Pravianty Vantasia. Jadi dapat dikemukakan perumusan masalahnya sebagai berikut : 1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi pengurus serikat pekerja yang melakukan mogok kerja di PT. Pravianty Vantasia? 2. Bagaimana penyelesaian masalah apabila terjadi permasalahan antara pihak perusahaan dengan pihak pekerja? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut : 1) Tujuan Obyektif Adapun tujuan obyektif dari penelitian ini adalah : 8 Maha Deva, 2008, Karyawan PT Pravianty Mogok Kerja, http://news.okezone.com /2008/06/03/karyawan-pt-pravianty-mogok-kerja, diakses pada tanggal 11 Desember 2015 pukul 16.00 WIB 8 A. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi pengurus serikat pekerja yang melakukan mogok kerja di PT. Pravianty Vantasia. B. Untuk mengetahui penyelesaian permasalahan yang terjadi antara pihak perusahaan dengan pihak pekerja apabila terjadi masalah. 2) Tujuan Subyektif Adapun tujuan subyektif dari penelitian ini adalah : a. Untuk memperoleh data dan informasi yang akurat berkaitan dengan obyek yang diteliti yang nantinya diperlukan sebagai bahan analisis; b. Sebagai bahan yang dipergunakan untuk menyusun penulisan hukum, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. D. Keaslian Penelitian Penelitian yang dilakukan Penulis ini bukanlah penelitian pertama yang membahas mengenai mogok. Sepanjang pengetahuan Penulis, ada beberapa penelitian yang membahas mengenai mogok, data ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan di perpustakaan Fakultas Hukum UGM, adapun penulisan hukum yang mengangkat topik berkaitan dengan mogok, yaitu : 1. Tesis yang ditulis oleh Ari Hernawan pada tahun 2004 dengan judul “Perlindungan Hukum bagi Pekerja yang Melakukan Pemogokan di Perusahaan Swasta Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta” dengan 9 Nomor Induk Mahasiswa 17132/IV-5/603/01 9. Penulisan hukum tersebut memfokuskan pada perlindungan hukum bagi pekerja yang melakukan pemogokan. 2. Penulisan hukum yang ditulis oleh Danang Dermawan pada tahun 2014 dengan judul “Pemenuhan Hak Pekerja Akibat Mogok Kerja di PT. Jogja Tugu Trans Yogyakarta” 10/296977/HK/18342.10 dengan Penulisan Nomor hukum Induk tersebut Mahasiswa menitikberatkan kepada pemenuhan hak pekerja akibat mogok kerja dan faktor yang menyebabkan mogok kerja. Penulis beranggapan, penelitian yang dilakukan oleh Penulis mempunyai perbedaan dengan penulisan hukum yang sudah ada sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Penulis menitikberatkan kepada kajian secara yuridis terhadap perlindungan hukum bagi pengurus serikat pekerja yang melakukan mogok kerja. Dalam hal ini, ada perbedaan yang sangat signifikan, yaitu fokus dari penelitian Penulis itu menganalisis mengenai perlindungan hukum terhadap pengurus serikat pekerja, sedangkan yang dilakukan oleh saudara Ari Hernawan pada tahun 2004 lebih menitikberatkan kepada pekerja yang melakukan pemogokan di perusahaan swasta nasional di Daerah Istimewa Yogyakarta. Begitu pula dengan penulisan hukum yang dilakukan oleh saudara Danang Dermawan pada tahun 2014 yang lebih memfokuskan kepada pemenuhan hak pekerja akibat mogok kerja dan faktor 9 Tesis Ari Hernawan, 2004, Perlindungan Hukum bagi Pekerja yang Melakukan Pemogokan di Perusahaan Swasta Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta 10 Skripsi Danang Dermawan, 2014, Pemenuhan Hak Pekerja Akibat Mogok Kerja di PT. Jogja Tugu Trans Yogyakarta, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta 10 yang menyebabkan mogok kerja. Berdasarkan hal tersebut, Penulis menyimpulkan bahwa penelitian dan penulisan ini asli. E. Manfaat Penelitian Adapun berbagai manfaat yang dapat diperoleh dengan diadakannya penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut : 1. Manfaat secara Akademis Penelitian ini memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum perdata terutama ranah hukum perburuhan yang didapat selama perkuliahan. Penelitian ini juga memberikan manfaat dalam hal sinkronisasi ilmu yang diperoleh secara teoritis dalam perkuliahan dengan kenyataan yang terjadi secara nyata dalam kehidupan masyarakat. 2. Manfaat secara Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan sumbangan pemikiran bagi pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum bagi pengurus serikat pekerja yang melakukan pemogokan.