1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah kependudukan telah menjadi perhatian pemerintah Indonesia
sejak ditandatanganinya deklarasi mengenai kependudukan oleh para pemimpin
dunia termasuk presiden Indonesia pada tahun 1967 di Kairo (BPS, 2013). Dalam
deklarasi tersebut menghasilkan Program of Action untuk kurun waktu 1995
sampai dengan tahun 2015. Salah satu diantaranya adalah tercapainya akses
pelayanan kesehatan reproduksi yang universal, termasuk di dalamnya adalah
pelayanan keluarga berencana (KB) dan kesehatan seksual (Wilopo, 1997).
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat
didunia. Pada tahun 2000, jumlah penduduk Indonesia mencapai 206,3 juta jiwa
dengan laju pertumbuhan penduduk 1,5%. Hasil sensus penduduk tahun 2010
menunjukkan jumlah penduduk Indonesia sebesar 237,6 juta jiwa. Dalam kurun
waktu tahun 2000-2010 penduduk Indonesia bertambah sebanyak 1,5%.
(Kementerian Kesehatan, 2013).
Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 melaporkan
peningkatan fertilitas dari 2,4 menjadi 2,6. Laporan ini mendukung hasil analisis
Sensus Penduduk tahun 2010 yang melaporkan stagnansi program kependudukan
dan keluarga berencana di Indonesia (Kementerian Kesehatan, 2013). Total
Fertility Rate (TFR) ini tidak bergerak/stagnan dalam periode terakhir pemantauan
SDKI (2002, 2007, 2012) (BPS, 2013).
Angka Kematian Ibu (AKI) adalah indikator dampak dari berbagai upaya
yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan ibu. SDKI tahun 2012
melaporkan bahwa angka kematian ibu masih tinggi yaitu 359 per 100.000
kelahiran hidup. Pencapaian ini masih jauh dari sasaran Millenium Development
Goals (MDGs) sebesar 110 per 100.000 kelahiran hidup yang harus dicapai pada
tahun 2015. (Bappenas, 2007). Faktor 4 terlalu (terlalu muda, terlalu tua, terlalu
dekat jarak antar kelahiran dan terlalu banyak anak yang dilahirkan), merupakan
salah
satu
faktor
yang
berperan
dalam
terjadinya
kematian
ibu.
1
2
Kematian ibu tidak akan terjadi tanpa adanya kehamilan. Oleh karena itu,
kehamilan perlu diatur sedemikian rupa sehingga tidak terjadi risiko tinggi untuk
mengalami komplikasi. Dalam kontek inilah Program Kependudukan dan
Keluarga Berencana (Program KKB) dan khususnya pelayanan keluarga
berencana memiliki peranan penting (BKKBN, 2013, Kementrian Kesehatan,
2013).
Penguatan pelayanan keluarga berencana merupakan salah satu upaya
penting guna mendukung percepatan penurunan AKI dengan mencegah
kehamilan tak diinginkan dan kehamilan dengan 4 Terlalu. Data menunjukkan
bahwa cakupan kesertaan KB aktif atau Contraseptive Prevalence Rate (CPR)
hanya sedikit meningkat dari 57,4% (SDKI 2007) menjadi 57,9% (SDKI 2012).
Data ini mengindikasikan terjadi pula stagnansi akseptor sehingga diperlukan
analisis program dan upaya revitalisasi program Keluarga Berencana (BKKBN,
2013, Surjadi and Titi, 2014).
Program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia telah diakui secara
nasional dan internasional sebagai salah satu program yang telah berhasil
menurunkan angka fertilitas. Namun bukan berarti masalah kependudukan di
Indonesia selesai, akan tetapi program tersebut diupayakan tetap dipertahankan.
Salah satu masalah dalam pengelolaan program KB yaitu masih tingginya angka
kebutuhan KB tidak terpenuhi (unmet need) KB di Indonesia. Jumlah pasangan
usia subur (PUS) yang ingin membatasi atau menjarangkan kehamilan tetapi tidak
berKB meningkat dari 8,6% SDKI 2003 menjadi 9,1% SDKI 2007 dan kembali
meningkat menjadi 11,4% di tahun 2012.
Hasil SDKI tahun 2012 menunjukkan bahwa 73,2 % wanita berstatus
kawin tetapi 11,4% mempunyai kebutuhan KB tidak terpenuhi (unmet need). Dari
kelompok unmet need, 4,5% untuk tujuan penjarangan dan 6,9% untuk tujuan
pembatasan. Sebenarnya, angka prevalensi penggunaan kontrasepsi meningkat
dari 50% pada tahun 1991 menjadi 62% pada tahun 2012, namun dalam kurun
waktu 10 tahun terakhir penggunaan kontrasepsi modern hanya meningkat 1%
saja (BPS, 2013). Total kebutuhan ber-KB (total demand) juga meningkat setiap
setiap dilakukan survei. Data menunjukkan peningkatan sebesar 6,5% dari survei
3
tahun 1991-2012. Total demand merupakan penjumlahan jumlah kebutuhan berKB yang tidak terpenuhi (unmet need) dan kebutuhan KB yang terpenuhi (CPR).
Sedangkan persentase kebutuhan KB yang terpenuhi dengan metode modern atau
demand satisfied by modern contraseptive, selama 10 tahun terakhir terjadi
peningkatan sebesar 8,5%.
Tabel 1. Tren kebutuhan KB, Indonesia 1991-2012
SDKI 1991
17
kebutuhan
ber_KB
yang
terpenuhi
(sedang
pakai)
49,7
SDKI 1994
SDKI 1997
15,3
13,6
54,7
57,4
70,1
71
74,3
77,1
26.186
26.886
SDKI 2002-2003
SDKI 2007
13,2
13,1
60,3
61,4
73,6
74,5
77,1
77
27.857
30.931
SDKI 2012
11,4
61,9
73,2
79
33.465
Tahun Survei
Kebutuhan
ber_KB
yang tidak
terpenuhi
Total kebutuhan
pelayanan KB
(Total Demand)
Demand
satisfied by
Modern
Contraseptive
Jumlah
wanita
66,7
70,5
21.109
Sumber : BPS 2013
Tingginya unmet need merupakan salah satu penyebab kematian ibu.
Wanita usia reproduksi yang tidak menggunakan kontrasepsi berpeluang besar
untuk hamil dan mengalami komplikasi dalam masa kehamilan, persalinan dan
nifas. Hal ini dapat disebabkan aborsi karena unwanted pregnancy, jarak hamil
terlalu dekat, melahirkan terlalu banyak maupun komplikasi penyakit selama
kehamilan, penyulit saat persainan dan komplikasi nifas (Kementrian Kesehatan,
2013).
Kelompok unmet need dan gagal KB merupakan kelompok terbesar yang
mengalami kehamilan tidak direncanakan sehingga peningkatan kinerja petugas
kesehatan dalam memberikan pengetahuan untuk mengubah sikap masyarakat
merupakan salah satu syarat mutlak. Peningkatan kualitas layanan merupakan
salah satu cara yang efektif untuk menurunkan prevalensi unmet need KB. Dalam
memenuhi kebutuhannya, PUS sering mengalami hambatan dalam pemanfaatan
layanan KB sehingga akses mereka terbatas, bahkan tertutup sama sekali. Hal ini
mengakibatkan mereka tidak menggunakan alat kontrasepsi, padahal sebenarnya
mereka membutuhkan. (Surjadi and Titi, 2014).
4
Perilaku pemanfaatan pelayanan KB dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu faktor predisposisi, faktor enabling dan faktor reinforcing (fisik
diluar individu) (Green and Kreuter, 2001). Faktor penentu untuk mencapai akses
universal untuk pelayanan kesehatan reproduksi, khususnya penggunaan
kontrasepsi adalah kepastian setiap orang dapat menjangkau pelayanan (akses),
ketersediaan akses, dan biaya. (Wilopo, 2014).
Ketersediaan sumber daya kesehatan khususnya pelayanan KB sangat
berperan penting dalam keberhasilan program KB. Sumber daya pelayanan KB
dapat berupa tenaga kesehatan dan sarana prasana KB. Distribusi tenaga
kesehatan dan klinik KB yang merata sangat diperlukan untuk memastikan
penurunan angka unmet need.
Akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dasar dan KB meningkat
sejalan dengan meningkatnya jumlah sarana kesehatan di tiap desa dan
dijaminnya pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat miskin. Walaupun
demikian, akses terhadap pelayanan ini belum merata di seluruh wilayah di
Indonesia terutama di daerah Tertinggal Terpencil Perbatasan dan Kepulauan
(DTPK).
SDKI tahun 2012 mencatat bahwa informasi yang berhubungan dengan
sumber pelayanan KB terutama pelayanan kontrasepsi sebagian besar dilakukan
oleh pihak swasta. Sebanyak 73% dilakukan swasta, pemerintah menangani 23%
sedangkan sisanya oleh pelayanan lainnya. Bidan praktek swasta dan bidan desa
memberikan pelayanan paling besar yaitu sebesar 31,7% dan 18,5% disusul
puskesmas sebesar 13,2% sedangkan dokter hanya 1,3% (BPS,2013). Oleh karena
itu, fungsi dan peran bidan sangat besar dalam pelayanan kontrasepsi. Salah satu
pelayanan kesehatan dasar yang diberikan oleh bidan adalah pelayanan keluarga
berencana (Nurhafidah 2009).
Berbagai studi menunjukkan bahwa tenaga kesehatan merupakan kunci
utama dalam keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan kesehatan. Tenaga
kesehatan memberikan kontribusi hingga 80% dalam keberhasilan pembangunan
kesehatan. Dalam laporan WHO tahun 2006, Indonesia termasuk salah satu dari
5
57 negara yang menghadapi krisis SDM kesehatan, baik jumlahnya yang kurang,
jenis, kualitas maupun distribusinya (Alliance, 2011).
Selain itu ketersediaan klinik KB merupakan prioritas pemerintah. Target
RPJMN 2010-2014, jumlah klinik KB yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia
sebanyak 23.500 klinik. Ini harus terwujud pada tahun 2015. Perilal ini bertujuan
agar target program KB tercapai sebagai bentuk revitalisasi program keluarga
berencana di Indonesia (Gerein et al., 2006) .
B. Perumusan Masalah
Indikator keberhasilan program keluarga berencana dapat dilihat dari
angka TFR, CPR dan unmet need. Indikator ini merupakan hasil dari
pembangunan kesehatan maternal secara khusus dan sistem kesehatan secara
umum. Salah satu permasalahannya dalam program pelayanan KB adalah angka
unmet need Indonesia masih tinggi yaitu 11,4%. Target RPJMN 2014 dengan TFR
sebesar 2,1 dan unmet need 5% tidak tercapai.
Tidak terpenuhinya kebutuhan alat kontrasepsi pada perempuan unmet
need merupakan persoalan yang multidimensional yang dipengaruhi berbagai
faktor baik dari dalam diri perempuan maupun dari luar (Bhusan, 1997). Faktor
dari dalam menyangkut sikap dan variabel demografi, sedangkan faktor dari luar
menyangkut sosial ekonomi dan akses pelayanan (Casterline and Sinding, 2000,
Bhusan, 1997).
Ketersediaan akses pelayanan KB berupa sumber daya kesehatan
diantaranya tenaga kesehatan dan sarana prasarana KB memegang peranan
penting dalam keberhasilan program KB. Kesenjangan terhadap ketersediaan
sumber daya pelayanan sangat berpengaruh terhadap hasil pelayanan kesehatan itu
sendiri. Adanya ketidakseimbangan baik dari segi jumlah dan distribusi
merupakan hambatan dalam mencapai target MDGs.
Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah penelitian ini adalah
“adakah hubungan faktor ketersediaan sumber daya kesehatan dengan kebutuhan
KB tidak terpenuhi (unmet need) setiap provinsi di Indonesia tahun 2012?”
6
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Menganalis hubungan ketersediaan sumber daya kesehatan dengan
kebutuhan KB tidak terpenuhi (unmet need) setiap provinsi di Indonesia
tahun 2012.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui distribusi pemerataan sumber daya kesehatan setiap provinsi
di Indonesia.
b. Mengetahui variasi proporsi kebutuhan KB (unmet need, total demand,
dan demand satisfied by modern contraseptive) setiap provinsi di
Indonesia
c. Mengetahui hubungan ketersediaan sumber daya kesehatan dengan unmet
need KB setiap provinsi di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam bidang
ilmu kesehatan khususnya keluarga berencana.
b. Sebagai
bahan
masukan
bagi
penelitian
selanjutnya
untuk
mengembangkan penelitian.
2. Manfaat Praktis
Memberikan gambaran kepada pengambil kebijakan di tingkat pemerintahan
pusat dan daerah terkait pelayanan KB dalam pembuatan kebijakan mengenai
peningkatan pemakaian kontrasepsi dan penurunan unmet need KB setiap
provinsi di Indonesia.
E. Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian serupa pernah dilakukan antara lain :
1. Sedgh et al,. (2007) melakukan penelitian dengan judul Women With An
Unmet Need For Contraception In Developing Countries And Their Reasons
7
For Not Using A Method. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji tingkat unmet
need dan menganalisis alasan wanita yang tidak ingin namun tidak memakai
alat kontrasepsi atau berhenti menggunakannya. Sumber data yang digunakan
adalah Demografic and Health Survey (DHS) tahun 1995-2005 menggunakan
analisa deskriptif. Hasil penelitian ini diantaranya 1 dari 7 wanita menikah
tergolong unmet need dan alasan mereka tidak menggunkan kontrasepsi
adalah terhambatnya akses ke pelayanan. Ketakutan akan efek samping
menjadi alasan wanita unmet need yang pernah pakai alat kontrasepsi lalu
mengehentikan pemakaian. Persamaan dengan penelitian ini adalah variabel
dependen yaitu unmet need, sedangkan perbedaannya yaitu variabel
independen, lokasi peneltian dan teknik analisa.
2. Hatmaji (2006) melakukan penelitian dengan judul Unmet Need For Family
Planning In Indonesia: Trends And Determinant. Hasil penelitian menjelaskan
bahwa selama 12 tahun angka unmet need di Indonesia mengalami penurunan
dari 13% (tahun 1991) menjadi 9% (tahun 2002/2003). Faktor penyebab
unmet need KB diantaranya adalah umur, jumlah anak masih hidup,
persetujuan suami, indeks kekayaan dan lokasi tempat tinggal. Penelitian ini
menganalisa data sekunder (SDKI) tahun 2002/2003. Persamaan dengan
peneltian ini adalah lokasi peneltian yaitu di Indonesia dan variabel dependen.
Perbedaan terletak pada variabel independen dan teknik analisa data.
3. Umbeli et al,. (2005) melakukan peneltian berjudul Study of unmet need for
Family Planning in Dar Assalam, Sudan. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa tingginya pengetahuan tidak mempengaruhi jumlah unmet need. Unmet
need masih tinggi meskipun pengetahuan tentang KB sudah baik. Faktor akses
ke pelayanan menjadi faktor yang berpengaruh terhadap tingginya unmet
need. Rekomendasi peneltian ini adalah integrasi yang baik antara petugas
KB, petugas medis dan petugas sosial. Pelatihan perlu diberikan kepada
provider tentang informasi dan distribusi pelayanan KB. distribusi berbasis
kelompok dapat ditingkatkan melalui perluasan peran bidan.
4. Rahmaningtyas, A (2014) melakukan peneltian dengan judul ‘Kebutuhan
Keluarga Berencana Tidak Terpenuhi Di Nusa Tenggara Timur’. Hasl
8
peneltian ini menjelaskan faktor yang mempengaruhi tingginya unmet need di
NTT. Alasan wanita unmet need KB di NTT karena alasan fertilitas, alasan
alat KB dan faktor pendidikan. Persamaan dengan penelitian ini adalah
variabel dependen, sumber data SDKI tahun 2012. Perbedaannya pada
variabel independen, lokasi penelitian dan teknik analisa.
Download