BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pembelajaran IPA Peristiwa belajar yang disertai dengan proses pembelajaran akan lebih terarah dan sistematik daripada belajar yang hanya semata-mata dan pengalaman dalam kehidupan sosial di masyarakat. Belajar dengan proses pembelajaran ada peran guru, bahan belajar, dan lingkungan kondusif yang sengaja diciptakan. Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Sugihartono, dkk., 2007) Pembelajaran merupakan suatu upaya yang dilakukan dengan sengaja oleh pendidik untuk menyampaikan ilmu pengetahuan, mengorganisasi dan menciptakan sistem lingkungan dengan berbagai metode sehingga siswa dapat melakukan kegiatan belajar secara efektif dan efisien serta dengan hasil optimal (Sugihartono, dkk., 2007). Pembelajaran merupakan interaksi dua arah dari seorang guru dan peserta didik, dimana antara keduanya terjadi komunikasi yang intens dan terarah menuju pada suatu target yang telah diterapkan sebelumnya (Trianto, 2010). Dari penjelasan tentang pembelajaran di atas, maka pembelajaran bukan hanya penguasaan materi yang diajarkan saja, akan tetapi proses untuk mengubah tingkah laku tujuan yang akan dicapai dalam pembelajaran tersebut. Oleh karena itu, penguasaan materi pelajaran bukanlah akhir dari proses pengajaran, akan tetapi hanya sebagai pembentukan tingkah laku siswa, karena tingkah laku siswa dapat membentuk pola prilaku siswa itu sendiri. Untuk itu cara pencapain tujuan pembelajaran guru tidak hanya menggunakan metode ceramah, tetapi menggunakan berbagai metode, seperti kerja kelompok, diskusi, kunjungan ke objek dan lain sebagainya. Ciri-ciri pembelajaran yang bermakna dalam konteks standar proses pendidikan menurut Sanjaya (2010) sebagai berikut: 11 12 a. Pembelajaran adalah proses berpikir Belajar berpikir menekankan kepada proses mencari dan menemukan pengetahuan melalui interaksi antara individu dengan lingkungan. Dalam pembelajaran berpikir proses pendidikan di sekolah tidak hanya menekankan pada akumulasi pengetahuan materi pelajaran, tetapi yang diutamakan adalah kemampuan siswa untuk memperoleh pengetahuannya sendiri (self regulated). b. Proses pembelajaran adalah memanfaatkan potensi otak Pembelajaran berpikir adalah pemanfaatan dan penggunaan otak secara maksimal. Menurut beberapa ahli, otak manusia terdiri dari dua bagian yaitu otak kanan dan otak kiri. Masingmasing belahan otak mempunyai spesialisasi dalam kemampuankemampuan tertentu. Proses berpikir otak kiri bersifat logis, skuensial, linier, dan rasional. Sisi ini sangat teratur, walaupun berdasarkan realitas, mampu melakukan penafsiran abstrak dan simbolis. Cara berpikirnya sesuai untuk tugas-tugas teratur ekspresi verbal, menulis, membaca, asosiasi auditorial, menempatkan detail dan fakta, fonetik serta simbiolis. Cara kerja otak kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistic. Cara berpikirnya sesuai dengan cara-cara untuk mengetahui yang bersifat nonverbal seperti perasaan dan emosi, kesadaran yang berkenaan dengan perasaan, kesadaran spasial, pengenalan bentuk dan pola, musik, seni, kepekaan warna, kreativitas, dan visualisasi. c. Pembelajaran berlangsung sepanjang hayat Belajar adalah proses yang terus menerus, yang tidak pernah berhenti dan tidak terbatas pada dinding kelas. Hal ini berdasarkan pada asumsi bahwa sepanjang hidupnya manusia akan selalu dihadapkan pada masalah atau tujuan yang ingin dicapainya. Prinsip belajar sepanjang hayat sejalan dengan empat pilar pendidikan universal seperti yang dirumuskan UNESCO (1996) yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Learning to know mengandung pengertian bahwa belajar itu pada dasarnya tidak hanya berorientasi kepada produk atau hasil, akan tetapi juga harus berorentasi kepada produk atau hasil belajar. Learning to do mengandung pengertian bahwa belajar itu bukan sekedar mendengar dan melihat dengan tujuan akumulasi pengetahuan, tetapi belajar berbuat untuk tujuan akhir penguasaan kompetensi yang sangat diperlukan dalam era persaingan global. Learning to be mengandung pengertian bahwa belajar membentuk manusia yang menjadi diri sendiri. Learning to live together belajar untuk kerja sama, dimana manusia baik secara individual maupun secara kelompok tidak mungkin bisa hidup sendiri atau mengasingkan diri bersama kelompok. 13 Dalam proses pembelajaran siswa memperoleh pengetahuan itu tidak datang dari luar, akan tetapi siswa memperoleh pengetahuan dari diri sendiri dalam struktur kognitif yang dimilikinya. Jadi pengetahuan itu bukan dari guru kesiswa, akan tetapi siswa sendiri yang akan membangun pengetahuannya. Dalam pembelajaran guru harus mendesain model pembelajaran yang memanfaatkan potensi otak, dengan memanfaatkan potensi otak maka kemampuan-kemampuan yang berhubungan dengan fungsi otak harus dilibatkan. Seperti melalui pengembangan berbahasa, memecahkan masalah dan membangun kreasi siswa. Pembelajaran berlangsung sepanjang hayat, belajar sepanjang hayat dapat dibentuk sejak SD. Oleh karena itu, sekolah harus berperan sebagai wahana untuk memberikan latihan bagaimana cara belajar siswa akan memecahkan setiap rintangan yang dihadapi sampai akhir hayatnya. Dengan demikian pembelajaran adalah ilmu pengetahuan yang dapat merubah tingkah laku yang dilakukan oleh peserta didik bukan dibuat untuk peserta didik yang mana saling berhubungan antara diri sendiri dan lingkungannya. Guru perlu memberdayakan semua potensi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang diharapkan. Pemberdayaan diarahkan untuk mendorong pencapaian kompetensi dan perilaku khusus supaya setiap individu mampu menjadi pembelajar sepanjang hayat dan mewujudkan masyarakat belajar. Adapun tujuan pembelajaran adalah terwujudnya efisiensi dan efektifitas kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh peserta didik sepanjang hayat baik untuk dirinya sendiri atau bersama-sama dengan kelompok. IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) pada awalnya adalah berasal dari kata scientia yang berarti saya tahu, sehingga kalau belajar IPA harus menjadikan tahu IPA. Tahu artinya kompeten dengan keilmuwan IPA beserta sampingannya yaitu nilai-nilai dan sikap ke-IPA-an (Supriyadi, 2007). Belajar sains tidak sekedar belajar informasi sains tentang fakta, konsep, prinsip, hukum dalam wujud pengetahuan deklaratif, akan tetapi belajar sains juga belajar tentang cara memperoleh informasi sains, cara sains dan 14 teknologi bekerja dalam bentuk pengetahuan prosedural, termasuk kebiasaan bekerja ilmiah dengan metode ilmiah dan sikap ilmiah. Pada hakekatnya sains terdiri atas tiga komponen, yaitu produk, proses, dan sikap ilmiah. Menurut (Suprijono, 2010) Pembelajaran IPA di sekolah di harapkan memberi berbagai pengalaman pada anak yang mengijinkan mereka melakukan berbagai penelusuran ilmiah yang relevan. Menurut Trianto (2010), proses pembelajaran IPA lebih ditekankan pada pendekatan keterampilan proses sehingga siswa dapat menemukan fakta-fakta, membangun konsep-konsep, teori-teori dan sikap ilmiah siswa itu sendiri yang akhirnya dapat berpengaruh positif terhadap kualitas proses pendidikan maupun produk pendidikan. Menurut Sumaji (2009) ada tujuh fungsi mata pelajaran IPA yaitu: 1. Memberi bekal pengetahuan dasar, baik untuk dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi maupun diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. 2. Mengembangkan keterampilan-keterampilan dalam memperoleh, mengembangkan, dan menerapkan konsepkonsep IPA. 3. Menanamkan sikap ilmiah dan melatih siswa dalam menggunakan metode ilmiah untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. 4. Menyadarkan siswa akan keteraturan alam dan segala keindahannya, sehingga siswa terdorong untuk mencintai dan mengagungkan penciptanya. 5. Memupuk daya kreatif dan inovatif siswa. 6. Membantu siswa memahami gagasan atau informasi baru dalam bidang IPTEK. 7. Memupuk serta mengembangkan minat siswa terhadap IPA. Pembelajaran IPA adalah peserta didik belajar tentang IPA bukan hanya karena pengetahuannya saja, melainkan peserta didik dapat menemukan sendiri tentang cara memperoleh informasi sains, cara sains dan teknologi bekerja dalam bentuk pengetahuan prosedural, termasuk kebiasaan bekerja ilmiah dengan metode ilmiah dan sikap ilmiah, keterampilan proses siswa dapat menemukan fakta-fakta, membangun konsep-konsep, teori-teori dan sikap ilmiah siswa itu sendiri yang akhirnya dapat berpengaruh positif terhadap kualitas proses pendidikan maupun produk pendidikan. 15 Oleh karena itu, dalam pembelajaran IPA guru dapat mendesain model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk menemukan sendiri tentang apa yang mereka pelajari dengan pembuktian dan menemukan fakta-fakta yang nantinya dapat membangun konsep dan sikap ilmiah siswa itu sendiri. Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran IPA adalah peserta didik belajar bukan hanya melihat dan mengetahuinya saja, melainkan peserta didik dapat mengalami, mengamati dan menerapkan secara langsung yang kemudian menemukan gagasan baru yang dapat dikembangkan. Materi sifat-sifat cahaya terdapat didalam pelajaran IPA kelas V pada semester genap, dengan standar kompetensi 3. Kemampuan menyelidiki kaitan antara gaya, gerak dan energi, memahami fungsi pesawat sederhana dan mengenal sifat-sifat cahaya serta penerapan melalui kegiatan merancang membuat suatu karya model. Kompetensi dasar 3.1 mendeskripsikan sifatsifat cahaya. Pokok bahasan pada penelitian ini adalah sifat-sifat cahaya. Cahaya berasal dari sumber cahaya. Semua benda yang dapat memancarkan cahaya disebut sumber cahaya. Contoh sumber cahaya adalah matahari, lampu, senter, dan bintang. Cahaya memiliki sifat merambat menurut garis lurus, menembus benda bening, dapat dipantulkan, dan dapat dibiaskan (Sulistyanto, 2008). Pembiasan cahaya dalam kehidupan seharihari seperti dasar kolam yang airnya jernih terlihat lebih dangkal dari sebenarnya dan juga saat cahaya laser disorotkan pada kaca. Peristiwa ini merupakan salah satu bentuk pembiasan cahaya yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Berkas sinar yang mengenai permukaan sebuah benda akan mengalami pemantulan. Ketika satu berkas cahaya sempit menimpa permukaan yang rata maka dapat didefinisikan sudut datang, sebagai sudut yang dibuat berkas sinar datang dengan garis normal terhadap permukaan (normal berarti tegak lurus) dan sudut pantul, sebagai sudut yang dibuat berkas sinar pantul dengan normal (Giancoli, 1999). Pada permukaanpermukaan yang rata, berkas sinar datang dan pantul berada pada bidang yang sama dengan garis normal permukaan dan menunjukkan bahwa sudut datang sama dengan sudut pantul. Hal ini disebut dengan hukum pantulan. 16 Normal terhadap permukaan Berkas cahaya datang Sudut datang Sudut pantul Berkas cahaya pantul Gambar 2.1. Pemantulan Cahaya Pada permukaan benda yang rata seperti cermin datar, cahaya dipantulkan membentuk suatu pola yang teratur. Sinar-sinar sejajar yang datang pada permukaan cermin dipantulkan sebagai sinar-sinar sejajar pula. Akibatnya cermin dapat membentuk bayangan benda. Pemantulan semacam ini disebut pemantulan teratur atau pemantulan biasa. Berbeda dengan benda yang memiliki permukaan rata, pada saat cahaya mengenai suatu permukaan yang tidak rata, maka sinar-sinar sejajar yang datang pada permukaan tersebut dipantulkan tidak sebagai sinar-sinar sejajar. Pemantulan seperti ini disebut pemantulan baur. Pembiasan terjadi bila cahaya dalam perambatannya mengalami perubahan kecepatan. Hal ini terjadi jika zat perantara (medium) perambatan cahaya mengalami perubahan. Misalnya sinar datang dari udara dan masuk ke dalam air atau sebliknya (Darmojdo, 1993). Udara memiliki kerapatan yang lebih kecil daripada air. Bila cahaya merambat dari zat yang kurang rapat ke zat yang lebih rapat maka cahaya akan dibiaskan mendekati garis normal. Akan tetapi apabila cahaya merambat dari zat yang lebih rapat ke zat yang kurang rapat maka cahaya akan dibiaskan menjauhi garis normal. Garis normal merupakan garis yang tegak lurus pada bidang batas kedua permukaan (Sulistyanto, 2008). 17 Gambar 2.2 Pembiasan Cahaya Menurut (Darmodjo, 1993) jika cahaya datang dari kaca ke udara, medium sinar datang lebih rapat dari medium sinar bias, sinar dibiaskan menjauhi garis normal. Sebaliknya, jika cahaya datang dari medium yang kurang rapat masuk ke medium sinar bias yang lebih rapat, sinar dibiaskan mendekati garis normal. Pembiasan pada lensa, lensa adalah benda tembus cahaya yang mempunyai permukaan-permukaan lengkung, biasanya terbuat dari kaca atau plastik. Permukaannya dapat berbentuk bola atau dapat pula berbentuk silinder. 1. Lensa cembung disebut juga lensa positif. Lensa ini bersifat mengumpulkan cahaya (konvergen). 2. Lensa cekung disebut juga lensa negatif. Lensa ini bersifat menyebarkankan cahaya (divergen). Menurut (Darmodjo, 1993) untuk dapat melukiskan pembentukan bayangan pada lensa cekung maupun cembung biasa digunakan berkas sinarsinar berikut: 1. 2. 3. Sinar datang sejajar sumbu utama akan dibiaskan melalui titik api kedua (F2) Sinar datang melalui titik api pertama (F1 ) akan dibiaskan sejajar sumbu utama. Sinar yang datang melalui pusat optik lensa (O) tidak dibiaskan. Dari uraian di atas bahwa cahaya berasal dari sumber cahaya. Semua benda yang dapat memancarkan cahaya disebut sumber cahaya. Adapun sifatsifat cahaya antara lain: 1) Merambat lurus; 2) Menembus benda bening; 3) Dapat dipantulkan; 4) Dapat dibiaskan. Saat cahaya senter disorotkan kepada benda maka benda tersebut ada yang memantulkan cahaya adapula benda yang membentuk bayangan, dalam kehidupan sehari-hari cahaya sangat 18 dibutuhkan terutama cahaya matahari. Oleh karena itu, untuk mempermudah pembelajaran guru menggunakan KIT (Komponen Instrumen Terpadu) cahaya. Dari pengertian tersebut maka dapat disimpulkan cahaya merupakan pancaran dari suatu benda yang merambat melalui udara dan air, adapun sifatsifat cahaya antara lain: 1) merambat menurut garis lurus; 2) menembus benda bening; 3) dapat dipantulkan; 4) dapat dibiaskan; 5) merupakan salah satu bentuk energi. 2.1.2 a. Pembelajaran Kooperatif Definisi Pembelajaran Kooperatif Secara sederhana kata kooperatif berarti mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim (Isjoni, 2010). Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemauannya berbeda. Menurut Slavin (Isjoni, 2010) mengemukakan, In cooperative learning methods, students work together in four member teams to master material initially presented by the teacher. Dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu pembelajaran dimana sistem belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar. Model pembelajaran kooperatif merupakan teknik-teknik kelas praktis yang dapat digunakan guru setiap hari untuk membantu siswanya belajar setiap mata pelajaran, mulai dari keterampilan-keterampilan dasar sampai pemecahan masalah yang kompleks (Nur, 2005). Jonhson & Johnson (Isjoni, 2010) mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah mengelompokkan siswa di dalam kelas kedalam suatu kelompok kecil agar siswa dapat bekerja sama dengan kemampuan maksimal yang mereka miliki dan mempelajari satu sama lain dalam kelompok tersebut. Menurut Lie (Isjoni, 2010) mengungkapkan, pembelajaran kooperatif atau memberi landasan teori bagaimana siswa dapat sukses belajar bersama orang lain. 19 Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dengan menggunakna sistem pengelompokan atau tim kecil, dalam pengelompokan siswa bisa ditetapkan berdasarkan minat dan bakat siswa, didasarkan pada latar belakang kemampuan, dan dapat ditinjau dari campuran minat dan bakat maupun ditinjau dari latar belakang kemampuan. Sehingga setiap individu akan memiliki kontribusi yang sama demi keberhasilan kelompok dan diperlukan kerjasama antar anggota kelompok. Dari pengertian tentang pembelajaran kooperatif yang merujuk pada kerjasama memecahkan masalah yang dihadapi dan membangkitkan semangat siswa dalam pembelajaran serta meningkatkan sikap tolong menolong dalam prilaku sosial. Maka dari itu, dapat disimpulkan pengertian tentang pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif dalam kelompok kecil dengan saling bertukar pendapat, memberi tanya jawab serta bekerjasama dengan kemampuan yang maksimal. b. Unsur-unsur Pembelajaran Kooperatif Thompson, et al (Isjoni, 2010) mengemukakan, pembelajaran kooperatif turut menambah unsur-unsur interaksi sosial pada pembelajaran. Pembelajaran kooperatif siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil yang saling membantu satu sama lain. Kelas disusun dalam kelompok yang terdiri dari 4-6 orang dengan kemampuan yang heterogen. Maksud kelompok heterogen adalah terdiri dari campuran kemampuan siswa, jenis kelamin, dan suku. Hal ini bermanfaat untuk melatih siswa menerima perbedaan dan bekerja dengan teman yang berbeda latar belakangnya. Tujuh unsur dalam pembelajaran kooperatif menurut Lungdren (Isjoni 2010) sebagai berikut: 1. Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka tenggelam atau berenang bersama. 2. Para siswa harus memiliki tanggung jawab terhadap siswa atau peserta didik lain dalam kelompoknya, selain tanggung jawab, terhadap diri sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapi. 3. Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama. 20 4. Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggung jawab diantara para anggota kelompok. 5. Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi kelompok. 6. Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh ketrampilan bekerja sama selama belajar. 7. Setiap siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif. Agar didalam pembelajaran kooperatif dapat terlaksana dengan baik oleh karena itu siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil yang saling membantu satu sama lain. Didalam kelompok tersebut terdiri dari empat sampai enam siswa secara heterogen ditinjau dari kemampuan akademik siswa, jenis kelamin dan suku. Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh ketrampilan bekerjasama selama belajar kemudian siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif. Dari beberapa pengertian unsur-unsur kooperatif dapat disimpulkan bahwa Pembelajaran kooperatif yang diajarkan adalah keterampilanketerampilan khusus agar dapat bekerjasama dengan baik di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar yang baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan. Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan. c. Tujuan Pembelajaran Kooperatif Menurut Eggen dan Kauchak (Trianto, 2010) mengemukaknan pembelajaran kelompok merupakan sebuah kelompok strategi pengajaran yang melibatkan siswa bekerja secara berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama. Jadi tujuan pembelajaran kooperatif sebagai berikut: 1. Pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi akademik siswa. 2. Mengembangkan toleransi dan penerimaan yang lebih luas terhadap orang-orang yang berbeda ras, budaya, kelas sosial, atau kemampuannya. 21 3. Mengajarkan keterampilan kerjasama dan kolaborasi pada siswa. Menurut Rusman (2011) model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran, yaitu hasil belajar akademik, penerimaan terhadap perbedaan individu, dan pengembangan keterampilan sosial. Olsen dan kagan dalam Isjoni (2010) mengatakan bahwa ada tiga ketentuan yang berhubungan dalam kooperatif, yaitu: 1. Memberi pengayaan struktur interaksi antar siswa. 2. Berhubungan dengan ruang lingkup pokok pembelajaran dan kebutuhan pengembangan bahasa dan kerangka organisasi. 3. Meningkatkan kerangka-kerangka bagi individu untuk menyebutkan saran-saran. Dari beberapa uraian diatas bahwa tujuan pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang didalamnya saling kerjasama dan kolaborasi, dalam kelompok terdiri dari perbedaan ras, budaya, kelas sosial, atau kemampuannya. Adapun hasil yang dicapai dalam pembelajaran kooperatif seperti belajar akademik, penerimaan terhadap perbedaan individu, dan pengembangan keterampilan sosial. Berdasarkan definisi tentang tujuan pembelajaran kooperatif dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi akademis, kerjasama kelompok, meningkatkan kemampuan individu dalam menyebutkan saran-saran dan saling menghargai satu sama lain, dan dapat bekerjasama serta berkolaborasi. d. Sintaks Pembelajaran Kooperatif Menurut Ibrahim (2000) secara singkat langkah-langkah model pembelajaran kooperatif sebagai berikut ini. Tabel 2.1 Fase-fase Pembelajaran Kooperatif Fase Fase 1 Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa Tingkah Laku Guru Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar. 22 Fase Fase 2 Menyajikan informasi Tingkah Laku Guru Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan. Fase 3 Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana Mengorganisasikan siswa caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan Ke dalam kelompokkelompok belajar transisi secara efisien. Fase 4 Guru membimbing kelompok-kelompok Membimbing kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas bekerja dan belajar mereka. Fase 5 Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi Evaluasi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya. Fase 6 Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik Memberikan upaya maupun hasil belajar individu dan penghargaan kelompok. Menurut Arends (2008) ada enam fase atau langkah utama yang terlibat dalam pelajaran yang menggunakan model cooperative learning, yaitu: Fase 1: Mengklarifikasi tujuan dan membangkitkan motifasi belajar. Fase 2: Mempresentasikan informasi. Fase 3: Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil. Fase 4: Membentu kerja tim dalam belajar. Fase 5: Mengujikan berbagai materi. Fase 6: Memberi pengakuan. Dari langkah-langkah pembelajaran kooperatif di atas semuanya merujuk kepada keaktifan siswa yang mana didalam pembelajaran guru harus bisa memotivasi siswa, mendemonstrasikan pembelajaran, bagaimana cara membuat kelompok belajar dan bagaimana langkah pembelajarannya, guru juga membimbing kelompok belajar, mengujikan berbagai materi diantaranya mengevaluasi hasil belajar, masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompoknya, dan guru memberi penghargaan kepada siswa tentang prestasinya minimal dengan tepuk tangan. Langkah ini berbeda dengan mengunakan kerja kelompok biasa yang hanya dibagi dengan kelompok, mengerjakan dengan kelompok masing-masing dan diberikan evaluasi. 23 Bersadarkan uraian tentang langkah-langkah pembelajaran kooperatif dapat ditarik kesimpulan bahwa pelajaran dimulai dengan guru menyampaikan tujuan pelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar. Fase ini diikuti dengan penyajian informasi. Selanjutnya siswa dikelompokkan ke dalam tim-tim belajar. Tahap ini diikuti bimbingan guru pada saat siswa bekerjasama untuk menyelesaikan tugas bersama mereka. Fase terakhir meliputi presentasi hasil akhir kerja kelompok, atau evaluasi tentang apa yang telah mereka pelajari dan memberi penghargaan terhadap usaha-usaha kelompok maupun individu. Penerapan langkah-lagkah kooperatif dalam Proses Belajar Mengajar (PBM) sebagai berikut: (a) Tahap pertama 1. Menyiapkan siswa untuk mengikuti pembelajaran didalam kelas. 2. Memotivasi siswa belajar dengan mengajukan pertanyaan- pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari. 3. Menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai dalam pembelajaran. 4. Menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian sesuai silabus. (b) Tahap kedua 1. Melibatkan siswa mencari informasi yang luas tentang materi yang akan dipelajari dari berbagai sumber baik lingkungan maupun guru itu sendiri. 2. Menyajikan informasi dengan menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan. 3. Melibatkan siswa secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran. 4. Memfasilitasi siswa melakukan percobaan dengan menggunakan alat peraga, percobaan di laboratorium atau lapangan. 24 (c) Tahap ketiga 1. Membiasakan siswa membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu dilapangan. 2. Memfasilitasi siswa melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertilis. 3. Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar, dengan menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien. (d) Tahap keempat 1. Membimbing kelompok bekerja dan belajar, dengan membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka. 2. Memfasilitasi siswa untuk membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik secara lisan maupun secara tertulis, secara individu maupun kelompok. 3. Memfasilitasi siswa untuk menyajikan hasil kerja kelompok. (e) Tahap kelima 1. Memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, terhadap keberhasilan siswa. 2. Memfasilitasi siswa melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan dalam kelompok. 3. Setiap kelompok bersama dengan guru merangkum hasil dari pembelajaran. 4. Mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya. (f) Tahap keenam 1. Memberi penghargaan dengan mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok. 25 2. Merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remidi, memberikan tugas individu maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar siswa. 3. e. Menyampaikan tujuan pembelajaran pada pertemuan berikutnya. Ciri-ciri Pembelajaran Kooperatif Lie (2008) mengemukakan ada lima unsur dasar dalam pembelajaran kooperatif yaitu: 1. Saling ketergantungan positif (positive interdependence) Siswa harus merasa senang bahwa mereka saling tergantung positif dan saling terikat sesama anggota kelompok. Mereka merasa tidak akan sukses bila siswa lain juga tidak sukses, dengan demikian materi tugas haruslah mencerminkan aspek saling ketergantungan, seperti tujuan belajar, sumber belajar, peran kelompok dan penghargaan. 2. Tatap Muka (face to face interaction) Belajar kooperatif membutuhkan siswa untuk bertatap muka satu dengan yang lainnya dan berinteraksi secara langsung. Siswa harus saling berhadapan dan saling membantu dalam pencapaian tujuan belajar dan memberikan sumbangan pikiran dalam pemecahan masalah, siswa juga harus mengembangkan keterampilan komunikasi secara efektif. 3. Tanggung jawab perseorangan (individual accountability) Setiap anggota kelompok bertanggung jawab mempelajari materi dan bertanggung jawab terhadap hasil belajar kelompok. Hal inilah yang menuntut tanggung jawab perseorangan untuk melaksanakan tugas dengan baik. 4. Komunikasi antar anggota Keterampilan sosial sangat penting dalam belajar kooperatif dan harus diajarkan pada siswa. Siswa harus dimotivasi untuk menggunakan keteram-pilan berinteraksi dalam kelompok yang benar sebagai bagian dari proses belajar. Keterampilan sosial yang perlu dan sengaja diajarkan seperti tenggang rasa, sikap sopan terhadap teman, mengkritik ide dan bukan mengkritik teman, berani mempertahankan pikiran logis, tidak mendominasi orang lain, mandiri dan berbagai sifat lain yang bermanfaat dalam menjalin hubungan antar pribadi. 5. Evaluasi proses kelompok (group processing) Pengajar perlu menjadwalkan waktu kusus bagi kelompok untuk meng evaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerjasama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama lebih efektif. Waktu evaluasi ini tidak perlu diadakan setiap kali ada kerja kelompok, 26 tetapi bisa diadakan selang beberapa waktu setelah beberapa kali pembelajar terlibat dalam kegiatan pembelajaran kooperatif. Menurut Rusman (2011) pembelajaran kooperatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Bilamana mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin berbeda-beda. Penghargaan lebih berorientasi kelompok daripada individu. Pembelajaran kooperatif mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan model pembelajaran lain, model pembelajaran ini kelompok di bentuk dari siswa berkemampuan tinggi, sedang dan rendah. Kelompok bila mungkin dibagi secara heterogen, penghargaan lebih berorentasi pada kelompok daripada individu. Dimana dalam kelompok kecil tersebut antar anggota kelompok saling ketergantungan positif, tatap muka, tanggung jawab perseorangan, komunikasi antar anggota, evaluasi proses kelompok. Oleh karena itu, guru dalam merancang rencana pembelajaran dengan model kooperatif harus memahami ciri-ciri yang membedakan kooperatif dengan yang lainnya. Berdasarkan ciri-ciri pembelajaran kooperatif dapat disimpulkan saling bertatap muka, berkomunikasi antar anggota kelompok, evaluasi kelompok. Dari kesimpulan tersebut peneliti akan membuat ciri-ciri pembelajaran kooperatif yaitu pembelajaran berkelompok yang mana didalamnya terdapat kemampuan akademis yang berbeda, saling berkomunikasi antar anggota, anggota diambil secara heterogen dan setiap evaluasi kelompok diberikan penghargaan. f. Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Kooperatif Jarolelimek & Parker (Isjoni, 2010) mengungkapkan tentang kelebihan dan kelemahan pembelajaran kooperatif. Kelebihan dari pembelajaran kooperatif antra lain: a) saling ketergantungan positif; b) adanya pengakuan 27 dalam merespon perbedaan individu; c) siswa dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan kelas; d) suasana kelas yang rileks dan menyenangkan; e) terjalinnya hubungan yang hangat dan bersahabat antara siswa dengan gurunya; dan f) memiliki banyak kesempatan untuk mengekspresikan pengalaman emosi yang menyenangkan. Kelemahan pembelajaran kooperatif bersumber pada dua faktor, yaitu faktor dari dalam (intern) dan faktor dari luar (ekstern). Faktor dari dalam yaitu sebagai berikut: 1) Guru harus mempersiapkan pembelajaran secara matang, disamping itu memerlukan lebih banyak tenaga, pemikiran dan waktu; 2) agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar maka dibutuhkan dukungan fasilitas,alat dan biaya yang cukup memadai; 3) selama kegiatan diskusi kelompok berlangsung, ada kecenderungan topik permasalahan yang sedang dibahas meluas sehingga banyak yang tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan; dan 4) saat diskusi kelas, terkadang didominasi oleh seseorang, hal ini mengakibatkan siswa yang lain menjadi pasif. Berdasarkan kelemahan dalam pembelajaran kooperatif, sebelum pembelajaran berlangsung sebaiknya guru mempersiapkan pembelajaran secara matang seperti alat peraga atau yang lainnya, agar pada saat proses belajar mengajar berlangsung tidak ada hambatan. Pada waktu pembelajaran kooperatif berlangsung guru sebaiknya membatasi masalah yang dibahas, agar waktu yang telah ditentukan tidak melebihi batas. Ketika pembelajaran kooperatif berlangsung guru harus berusaha menanamkan dan membina sikap berdemokrasi diantara para siswa. Maksudnya suasana kelas harus diwujudkan sedemikian rupa sehingga dapat menumbuhkan kepribadian siswa yang demokratis dan dapat diharapkan suasana yang terbuka dengan kebiasaan-kebiasaan kerjasama, terutama dalam memecahkan kesulitankesulitan. Seorang siswa harus dapat menerima pendapat siswa lainnya, seperti siswa satu mengemukakan pendapatnya lalu siswa yang lainnya mendengarkan dimana letak kesalahan, kekurangan atau kelebihan, kalau ada kekurangannya maka perlu ditambah. Penambahan ini harus disetujui oleh 28 semua anggota dan harus saling menghormati pendapat orang lain. Pembelajaran kooperatif dapat membuat kemajuan besar para siswa kearah pengembangan sikap, nilai, dan tingkah laku yang memungkinkan mereka dapat berpartisipasi dalam komunitas mereka dengan cara-cara yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Hal ini dapat tercapai karena tujuan utama pembelajaran kooperatif adalah untuk memperoleh pengetahuan dari sesama temannya. Pengetahuan itu tidak lagi diperoleh dari gurunya. Seorang teman haruslah memberikan kesempatan kepada teman yang lain untuk mengemukakan pendapatnya dengan cara menghargai pendapat orang lain, saling mengoreksi kesalahan, dan saling membetulkan sama lainnya. Melalui teknik saling menghargai pendapat orang lain dan saling membetulkan kesalahan secara bersama mencari jawaban yang tepat dan baik, dengan cara mencari sumber-sumber informasi dari mana saja seperti buku paket, bukubuku yang ada di perpustakaan, dan buku-buku penunjang lainnya, dijadikan pembantu dalam mencari jawaban yang baik dan benar serta memperoleh pengetahuan tentang pemahaman terhadap materi pelajaran yang diajarkan semakain luas dan semakin baik. 2.1.3 Metode Two Stay Two Stray (TSTS) a. Pengertian TSTS Metode adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang telah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang sudah disusun tercapai secara optimal (Sanjaya, 2010). Salah satu metode dalam model pembelajaran kooperatif adalah Two Stay Two Stray dalam bahasa Indonesia yang berarti dua tinggal dua tamu. Two Stay Two Stray yang selanjutnya disingkat TSTS dikembangkan oleh Spencer Kagan (1992). Struktur TSTS yaitu salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang memberikan kesempatan kepada kelompok membagikan hasil dan informasi kepada kelompok lain (Lie, 2008). Teknik ini biasa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik, hal ini dilakukan 29 karena banyak kegiatan belajar mengajar yang diwarnai dengan kegiatankegiatan individu. Siswa bekerja sendiri dan tidak diperbolehkan melihat pekerjaan siswa yang lain. Padahal dalam kenyataan hidup di luar sekolah, kehidupan dan kerja manusia saling tergantung satu sama lainnya. Menurut Lin. E. (2006) kelompok pembelajaran kooperatif tipe TSTS yang terdiri dari 4 orang diberi nomor 1, 2, 3 dan 4 dan masing-masing memiliki peran sebagai berikut: 1.) 2.) 3.) 4.) Nomor 1 sebagai pemimpin/manajer yang mengatur kelompok dan memastikan anggota menyelesaikan perannya dan bekerja secara kooperatif tepat pada waktunya. Nomor 2 sebagai pencatat yang mencatat jawaban kelompok dan hasil diskusi. Nomor 3 sebagai teknisi/mengatur bahan yang mengumpulkan bahan untuk kelompok dan membuat analisis teknik untuk kelompok. Nomor 4 sebagai reflektor yang memastikan bahwa semua kemungkinan telah digali dengan mengajukan pertanyaan. Pembagian kelompok dalam pembelajaran kooperatif TSTS memperhatikan kemampuan akademis siswa. Guru membuat kelompok yang heterogen dengan alasan memberi kesempatan siswa untuk saling mengajar peer tutoring dan saling mendukung, meningkatkan relasi dan interaksi antar ras, etnik dan gender serta memudahkan pengelolaan kelas karena masingmasing kelompok memiliki siswa yang berkemampuan tinggi, yang dapat membantu teman lainnya dalam memecahkan suatu permasalahan dalam kelompok (Jarolimek & Parker dalam Isjoni, 2010). Terdapat beberapa model pembelajara kooperatif, antara lain: Mencari Pasangan, Bertukar Pasangan, Berpikir Berpasangan Berempat, Berkirim Salam dan Soal, Kepala Bernomor, Kepala Bernomor Terstruktur, Two Stay Two Stray (TSTS), Keliling Kelompok, Kancing Gemerincing, Keliling Kelas, Lingkaran Kecil Lingkaran Besar, Tari Bambu, Jigsaw, dan Cerita Berpasangan (Lie , 2008). Dari pengertian metode TSTS bahwa metode ini mempunyai ciri khusus yaitu pembelajaran dengan kelompok yang terdiri dari 4 orang, 30 dimana 2 orang tinggal dikelompoknya sebagai sumber informasi dan dua orang lagi bertamu untuk mencari informasi dari kelompok lain. Oleh karena itu, guru dalam membuat kelompok TSTS ini ada faktor yang diperhatikan yaitu tentang kemampuan anak, suku, ras dan gender siswa. Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa metode TSTS adalah siswa bekerja dalam berkelompok, kemudian diberikan permasalahan yang harus mereka kerjakan dengan cara kerjasama. Setelah kerjasama intra kelompok, separuh anggota kelompok dari masing-masing kelompok meninggalkan kelompok untuk bertemu dengan kelompok lainnya. Anggota kelompok yang tidak mendapat tugas bertamu, tetap berada dalam kelompok untuk bertemu dengan kelompok lain. Anggota kelompok yang bertemu wajib datang pada semua kelompok. Setelah semua proses selesai, mereka kembali ke kelompok masing-masing untuk mencoba dan membahas hasil yang diperoleh. Diharapkan dengan aktivitas bertamu dan menerima tamu dapat menambah minat siswa untuk mengikuti pelajaran IPA sehingga pembelajaran lebih bermakna dan mudah diingat oleh siswa. Teknik adalah suatu cara yang dilakukan seseorang dalam rangka mengimplementasikan suatu metode (Sanjaya, 2010). Adapun teknik dalam TSTS (Lie, 2008) adalah sebagai berikut. 1) Siswa bekerja sama dalam kelompok berempat seperti biasa; 2) Setelah selesai, dua siswa dari masingmasing kelompok akan meninggalkan kelompoknya dan masing-masing bertamu ke kelompok yang lain; 3) Dua siswa yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan informasi mereka ke tamu mereka; 4) Tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan melaporkan temuan mereka dari kelompok lain; 5) Kelompok mencocokkan dan membahas hasil-hasil kerja mereka. 31 Gambar 2.3 Bagan Proses Pembelajaran TSTS (Sumber: Adaptasi dari Lie, 2008) Pembelajaran kooperatif tipe TSTS dalam pembelajaran IPA memiliki dampak positif bagi siswa yang hasil belajarnya rendah sehingga mampu memberikan peningkatan hasil belajar yang signifikan. Pembelajaran kooperatif bertujuan untuk meningkatkan partisipasi siswa, memfasilitasi siswa dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok serta memberikan kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama siswa yang berbeda latar belakangnya (Trianto, 2007). Pembelajaran kooperatif didalam IPA memang mempunyai dampak positif, karena didalam kelompok kooperatif terdapat siswa yang mempunyai kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Maka dari itu peneliti akan membuat pengaruh TSTS dalam pembelajaran IPA. IPA merupakan pembelajaran yang tidak sekedar belajar informasi sains tentang fakta, konsep, prinsip, dan hukum. Melainkan pembelajaran yang tidak hanya pengetahuan saja tetapi fakta dan proses aktif menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam. Oleh karena itu, metode TSTS adalah pembelajaran yang membuat siswa lebih aktif, bekerjasama antar anggota kelompok, memberi kesempatan kepada anggota kelompok untuk menyampaikan pendapat dan gagasan dalam kelompok, dan saling bergototong royong dalam kelompok. 32 b. Langkah-langkah pembelajaaran TSTS Menurut Lie (2008) terdapat sebelas langkah penerapan metode TSTS, adapun langkah-langkahnya sebagai berikut: 1. 2. Guru menyampaikan indikator dan tujuan pembelajaran. Guru menggali pengetahuan siswa tentang materi yang akan dipelajari melalui tanya jawab. 3. Guru mempresentasikan tata cara pembelajaran kooperatif Two Stay Two Stray (Dua Tinggal Dua Tamu). 4. Guru memberikan pengarahan tentang hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam pembelajaran kooperatif seperti: semua anggota kelompok bertanggung jawab atas keberhasilan belajar anggota kelompoknya, menghargai pendapat teman, saling membantu selama proses pembelajaran, membagi tugas individu sehingga semua anggota mempunyai tanggung jawab yang sama dalam mempelajari materi. 5. Siswa dibagi dalam kelompok, masing-masing kelompok beranggotakan 4 orang siswa. 6. Guru memberikan beberapa tugas dan pertanyaan yang harus diselesaikan siswa secara berkelompok. 7. Siswa bekerja sama dalam kelompok tersebut, yang disebut dengan kelompok awal. Dalam kelompok awal ini siswa berdiskusi tentang semua permasalahan yang diberikan oleh guru. 8. Setelah selesai, dua siswa dari masing-masing kelompok meninggalkan kelompoknya dan bertamu ke kelompok lain. Dalam kelompok ini, siswa berbagi informasi tentang berbagai permasalahan yang telah dipecahkan dalam kelompok awal. Kelompok ini disebut dengan kelompok bertamu dan menerima tamu. 9. Dua siswa yang tinggal dalam kelompok awal bertugas membagikan hasil kerja dan informasi kepada 2 siswa yang bertamu ke kelompok tersebut. 10. Setelah batas waktu bertamu dan menerima tamu habis, tamu mohon diri untuk kembali ke kelompok awal dan melaporkan hasil tukar informasi dari kelompok lain. 11. Siswa yang bertamu ke kelompok lain dan siswa yang bertugas menerima tamu dari kelompok lain saling mencocokkan dan membahas hasil-hasil kerja siswa. Menurut Faishal (2008) pembelajaran model TSTS terdiri dari beberapa tahap, adapun tahapannya sebagai berikut ini. 33 1. Persiapan Pada tahap persiapan ini, hal yang dilakukan guru adalah membuat silabus dan sistem penilaian, desain pembelajaran, menyiapkan tugas siswa dan membagi siswa menjadi beberapa kelompok dengan masing-masing anggota 4 siswa dan setiap anggota kelompok harus heterogen berdasarkan prestasi akademik siswa dan suku. 2. Presentasi Guru Pada tahap ini guru menyampaikan indikator pembelajaran, mengenal dan menjelaskan materi sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah dibuat. 3. Kegiatan Kelompok Pada kegiatan ini pembelajaran menggunakan lembar kegiatan yang berisi tugas-tugas yang harus dipelajari oleh tiaptiap siswa dalam satu kelompok. Setelah menerima lembar kegiatan yang berisi permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan konsep materi dan klasifikasinya, siswa mempela-jarinya dalam kelompok kecil (4 siswa) yaitu mendiskusikan masalah tersebut bersama-sama anggota kelompoknya. Masing-masing kelompok menyelesai-kan atau memecahkan masalah yang diberikan dengan cara mereka sendiri. Kemudian 2 dari 4 anggota dari masing-masing kelompok meninggalkan kelompoknya dan bertamu ke kelompok yang lain, sementara 2 anggota yang tinggal dalam kelompok bertugas menyampaikan hasil kerja dan informasi mereka ke tamu. Setelah memperoleh informasi dari 2 anggota yang tinggal, tamu mohon diri dan kembali ke kelompok masing-masing dan melaporkan temuannya serta mancocokkan dan membahas hasil-hasil kerja mereka. 4. Formalisasi Setelah belajar dalam kelompok dan menyelesaikan permasalahan yang diberikan salah satu kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya untuk dikomunikasikan atau didiskusikan dengan kelompok lainnya. Kemudian guru membahas dan mengarahkan siswa ke bentuk formal. 5. Evaluasi Kelompok dan Penghargaan Pada tahap evaluasi ini untuk mengetahui seberapa besar kemampuan siswa dalam memahami materi yang telah diperoleh dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif model TSTS. Masing-masing siswa diberi kuis yang berisi pertanyaanpertanyaan dari hasil pembelajaran dengan model TSTS, yang selanjutnya dilanjutkan dengan pemberian penghargaan kepada kelompok yang mendapatkan skor rata-rata tertinggi. Dari uraian tentang langkah-langkah pembelajaran TSTS, maka desain harus di buat sedemikian rupa, hal yang dilakukan guru adalah membuat RPP 34 dan sistem penilaian, desain pembelajaran, menyiapkan tugas siswa dan membagi siswa dalam beberapa kelompok yang masing-masing kelompok terdiri atas 4 siswa heterogen agar didalam kegiatan pembelajaran dikelas siswa lebih bertanggung jawab karena masing-masing anak mendapatkan tugas yang berbeda. Dalam pembelajaran dua tinggal dua tamu ini siswa mendapatkan informasi dari kelompok lain mereka mencocokan dan mendiskusikan dengan kelompoknya, kemudia salah satu kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya untuk dikomunikasikan atau didiskusikan dengan kelompok lainnya. Kemudian guru membahas dan mengarahkan siswa ke bentuk formal. Selanjutnya guru mengadakan tes tulis untuk mengetahui keberhasilan siswa selama proses pembelajaran. Berdasarkan tahapan-tahapan pembelajaran TSTS maka dapat dibuat langkah-langkah metode TSTS dalam pembelajaran IPA yang dilakukan dalam 3 kali pertemuan, pertemuan pertama penyampaian materi dengan mengunakan metode TSTS, pertemuan kedua melanjutkan materi dengan metode TSTS, pertemuan yang ketiga pengulangan materi yang sudah disampaikan dipertemuan sebelumnya kemudian memberikan evaluasi, adapun tahapan kegiatannya yaitu: a.) Kegiatan pendahuluan 1. Apersepsi: mengingat kembali tentang materi sebelum sifat-sifat cahaya. 2. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai. 3. Guru mempresentasikan tata cara pembelajaran kooperatif Two Stay Two Stray (Dua Tinggal Dua Tamu). 4. Siswa diberikan pengarahan tentang hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam pembelajaran kooperatif seperti: semua anggota kelompok bertanggung jawab atas keberhasilan belajar anggota kelompoknya, menghargai pendapat teman, saling membantu selama proses pembelajaran, membagi tugas individu 35 sehingga semua anggota mempunyai tanggung jawab yang sama dalam mempelajari materi. b.) Kegiatan inti Ekplorasi 1. Guru saat pembelajaran memberikan fasilitas berupa alat-alat seperti senter, lilin, kertas karton, dll kepada siswa untuk melakukan percobaan. 2. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, masing-masing kelompok beranggotakan 4 orang siswa. 3. Guru memberikan beberapa tugas dan pertanyaan tentang pengertian sifat-sifat cahaya yang harus diselesaikan siswa secara berkelompok dengan menggunakan lembar kegiatan siswa. 4. Siswa bekerjasama dan memecahkan masalah dalam kelompok tersebut, yang disebut dengan kelompok awal. Elaborasi 5. Setelah bekerjasama dan memunculkan ide baru dari materi sifatsifat cahaya berupa soal jawab atau debat, kemudian dua siswa dari masing-masing kelompok meninggalkan kelompoknya dan bertamu kekelompok lain. 6. Setelah bekerjasama dan menemukan ide baru berupa puisi atau syair dari materi sifat-sifat cahaya kemudian dua siswa yang tinggal dalam kelompok awal bertugas mempresentasikan dan memberikan informasi kepada 2 siswa yang bertamu ke kelompok tersebut dengan mendemonstrasikan. 7. Setelah batas waktu bertamu dan menerima tamu habis, tamu mohon diri untuk kembali ke kelompok awal dan melaporkan hasil tukar informasi dari kelompok lain, kemudian mencatat gagasan yang baru mereka temukan. 8. Siswa diminta untuk mengidentifikasi kata kunci atau kata yang sulit terkait dengan materi, dapat berupa kamus atau ensiklopedia karya siswa. 36 9. Dua dari masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjasama kelompoknya di depan kelompok lain seperti mendemontrasikan sifat-sifat cahaya, kamus karya siswa, puisi, lagu, dll. Konfirmasi 10. Guru memberikan pengetahuan atau umpan balik berupa pujian atas kerjasama kelompok yang siswa lakukan. 11. Guru meberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang materi yang belum jelas sesuai tujuan pembelajaran. c.) Penutup 1. Siswa bersama dengan guru membuat rangkuman materi sifatsifat cahaya. 2. Masing-masing siswa diberi kuis yang berisi pertanyaanpertanyaan dari hasil pembelajaran dengan metode TSTS berupa lisan atau tulisan. 3. Guru selanjutnya memberikan penghargaan kepada kelompok yang mendapatkan skor rata-rata tertinggi setidaknya memberi tepuk tangan. 4. Merancang tindak lanjut berupa PR. 5. Menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya dan tugas yang harus dilakukan siswa. c. Kelebihan dan kemlemahan TSTS Pembelajaran TSTS digunakan untuk mengatasi kebosanan anggota kelompok, karena guru biasanya membentuk kelompok secara permanen. TSTS memungkinkan siswa untuk berinteraksi dengan anggota kelompok lain. Menurut Lie (2008) membentuk kelompok berempat memiliki kelebihan yaitu, 1) kelompok mudah dipecah menjadi berpasangan; 2) lebih banyak ide muncul; 3) lebih banyak tugas yang bisa dilakukan dan guru mudah memonitor. Kekurangan kelompok berempat adalah, 1) membutuhkan lebih banyak waktu; 2) membutuhkan sosialisasi yang lebih baik; 3) jumlah genap 37 menyulitkan proses pengambilan suara; 4) kurang kesempatan untuk kontribusi individu dan mudah melepaskan diri dari keterlibatan. Dari paparan diatas tentang kelebihan dan kelemahan pembelajaran TSTS merujuk kepada pembentukan kelompok heterogen memberi kesempatan untuk saling mengajar dan saling mendukung sehingga memudahkan pengelolaan kelas karena dengan adanya satu orang berkemampuan akademis tinggi, diharapkan bisa membantu anggota kelompok yang lain. Dilihat dari segi kelemahan TSTS ada hal yang paling mendasar yaitu seandainya didalam kelas tersebut berjumlah ganjil dan tidak dapat dibagi menjadi 4, maka pembelajaran TSTS ini kurang sesaui untuk di terapkan kedalam PBM. Jadi dapat disimpulkan bahwa pembentukan kelompok-kelompok belajar yang heterogen ditinjau dari segi jenis kelamin dan kemampuan akademis maka dalam satu kelompok terdiri dari satu orang berkemampuan akademis tinggi, dua orang yang berkemampuan akademis sedang, dan satu siswa berkemampuan kurang, didalam kelas yang berjumlah genap yang dapat dibagi menjadi 4 siswa dalam kelompok tersebut. 2.1.4 Hasil Belajar a. Pengertian Belajar Menurut Anni (2006) belajar merupakan proses penting bagi perubahan prilaku manusia dan ia mencakup segala sesuatu yang dipikirkan dan dikerjakan. Menurut Edworl L Walker (Lunandar, 2010) mengatakan bahwa belajar adalah perubahan perbuatan sebagai akibat dari pengalaman. Slameto (2003) menegaskan bahwa belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Menurut Gagne dan Berliner (Anni, 2006) menyatakan bahwa belajar merupakan proses dimana suatu organisme mengubah prilakunya karena hasil pengamatan. Dari beberapa pengertian tentang belajar, semuanya merujuk kepada perubahan tingkah laku dari diri sendiri akibat dari pengamatan. Oleh karena 38 itu, apabila seseorang mampu memahami proses belajar yang ia lakukan untuk dirinya sendiri dan menerapkanya didalam lingkungan masyarakat maka orang tersebut mampu menjelaskan di lingkungannya, dan orang tersebut akan mengubah prilaku seperti yang diinginkannya. Maka dapat disimpulkan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku dari seseorang akibat dari dirinya sendiri dengan lingkungannya, dengan menguasai prinsipprinsip dasar tentang belajar maka seseorang dapat mengubah kebiasaan, keyakinan, sikap, dan kepribadiannya. b. Hasil Belajar Hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku sebagai akibat dari proses belajar. Hasil belajar siswa meliputi tiga aspek, yaitu aspek kognifif, aspek afektif, dan aspek psikomotorik. (1) Aspek kognitif, kemampuan kognitif yang meliputi: pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. (2) Aspek afektif, kemampuan afektif meliputi penerimaan, partisipasi, penilaian, dan penentuan sikap, organisasi, dan pembentukan pola hidup. (3) Aspek psikomotorik, kemampuan psikomotorik meliputi: persepsi, kesiapan, gerakan tebimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks, gerakan penyesuaian dan kreativitas (Hamalik, 2003). Menurut Anni (2006) hasil belajar merupakan prilaku yang diperoleh pembelajar setelah mengalami proses belajar. Menurut Slameto (2001) tes hasil belajar merupakan sekelompok pertanyaan atau tugas-tugas yang harus dijawab atau diselesaikan oleh siswa dengan tujuan untuk mengukur kemajuan belajar siswa. Hasil tes ini berupa data kuantitatif. Hasil belajar yang diperoleh siswa adalah sebagai akibat dari proses belajar yang dilakukan oleh siswa. Semakin tinggi proses belajar yang dilakukan oleh siswa, harus semakin tinggi hasil belajar yang diperoleh siswa. Proses belajar merupakan penunjang hasil belajar yang dicapai siswa (Sudjana, 2011). Horward Kingsley (Sudjana, 2011) membagi tiga macam hasil belajar, a) keterampilan dan kebiasaan; b) pengetahuan dan pengertian; c) sikap dan cita-cita, yang masing-masing golongan dapat diisi dengan bahan yang ada pada kurikulum sekolah. 39 Dari beberapa pengertian hasil belajar yang telah disampaikan oleh beberapa ahli, dapat dilihat pengertian belajar yang disampaikan semuannya merujuk pada pencapaian hasil belajar yang diukur dengan tugas-tugas yang harus dijawab atau diselesaikan oleh siswa dengan tujuan untuk mengukur kemajuan dengan tes. Oleh karena itu, dalam memberikan soal untuk menentukan hasil belajar, guru harus membuat soal tersebut sesuai dengan indikator pembelajaran yang telah dirumuskan. Maka dapat disimpulkan bahwa pengertian hasil belajar merupakan kemampuan peserta didik setelah mengikuti pembelajaran dan pencapaian hasil belajar tersebut dapat diketahui setelah adanya pengukuran oleh guru melalui tes evaluasi, yang mewujudkan perubahan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor. Hasil belajar biasanya dinyatakan dalam bentuk nilai. Menurut Endang (Dwinanto, 2011) penilaian adalah proses untuk mengambil suatu keputusan baik atau buruk atas hasil belajar dengan menggunakan instrument tes atau non tes setelah mengadakan pegukuran tertentu. Yang termasuk teknik tes antara lain tes pilihan ganda, tes tertulis, tes lisan, dan tes perbuatan. Adapun teknik non tes seperti pengamatan atau observasi, wawancara, angket, analisa sempel kerja, analisis tugas, fortofolio, dan jurnal. Dari penjelasan tentang penilain di atas maka alat yang dipergunakan untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran dinamakan dengan alat ukur atau instrumen. Ada instrumen butir-butir soal apabila cara pengukurannya menggunakan tes, apabila pengukurannya dengan cara mengamati atau mengobservasi akan menggunakan instrumen lembar pengamatan atau observasi, pengukuran dengan cara/teknik skala sikap akan menggunakan instrumen butir-butir pernyataan. Dapat disimpulkan bahwa instrumen sebagai alat yang dipergunakan untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran maupun kompetensi yang dimiliki peserta didik haruslah valid, artinya instrumen ini adalah instrumen yang dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Dengan melakukan tes maka akan mengetahui hasil atau nilai dari seseorang, Yang termasuk teknik 40 tes antara lain tes pilihan ganda, tes tertulis, tes lisan, dan tes perbuatan. Adapun teknik non tes seperti pengamatan atau observasi, wawancara, angket, analisa sempel kerja, analisis tugas, fortofolio, dan jurnal. c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar Adapun faktor yang mempengaruhinya adalah mendapatkan pengetahuan, penanaman konsep, keterampilan, dan pembentukan sikap. Menurut Slameto (2003) faktor yang mempengaruhi hasil belajar digolongkan menjadi dua yaitu faktor intern meliputi: faktor jasmaniah, psikologis, dan kelelahan, sedangkan faktor ekstern meliputi: faktor keluarga, sekolah, dan masyarakat. a) Faktor intern adalah faktor yang berasal dari diri siswa. Faktor intern ini terbagi menjadi tiga faktor yaitu : faktor jasmaniah, faktor psikologis dan faktor kelelahan. 1. Faktor jasmaniah, pertama adalah faktor kesehatan. Sehat berarti dalam keadaan baik segenap badan beseta bagian-bagiannya atau bebas dari penyakit. Kesehatan seseorang sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. 2. Faktor psikologis, ada tujuh faktor yang tergolong ke dalam faktor psikologis yang mempengaruhi belajar. Faktor-faktor itu adalah: inteligensi, keaktifan, minat, bakat, motif, kematangan, dan kesiapan. Dari faktorfaktor tersebut sangat jelas mempengaruhi belajar, dan apabila belajar terganggu maka hasil belajar tidak akan baik. 3. Faktor kelelahan, kelelahan seseorang walaupun sulit untuk dipisahkan tetapi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu: kelelahan jasmani dan kelelahan rohani (bersifat praktis). b) Faktor ekstern adalah faktor yang berasal dari luar siswa. Faktor ini meliputi: faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor masyarakat yaitu dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Faktor keluarga, siswa yang belajar akan menerima pengaruh dari keluarga berupa: cara orang tua mendidik, relasi antara anggota keluarga, suasana rumah tangga dan keadaan ekonomi keluarga. 2. Faktor sekolah, faktor sekolah yang mempengaruhi belajar ini mencakup metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin 41 sekolah, pelajaran dan waktu sekolah, standar pelajaran, keadaan gedung, metode belajar, dan tugas rumah. 3. Faktor masyarakat, masyarakat merupakan faktor ekstern yang juga berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Pengaruh ini karena keberadaan siswa dalam masyarakat. Faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa ini meliputi: pertama kegiatan siswa dalam mayarakat, multi media, dan teman bergaul. Dari penjelasan faktor inten dan ekstern yang mempengaruhi hasil belajar siswa maka dapat disimpulkan bahwa faktor intern yaitu faktor jasmaniah, psikologis, dan kelelahan, dan faktor ekstern yaitu faktor keluarga, sekolah, dan masyarakat. Faktor intern dan ekstern akan sangat mempengaruhi hasil belajar, dan untuk memperoleh hasil belajar yang baik atau memuaskan, maka siswa harus memperhatikan faktor-faktor intern dan ekstern. Untuk meningkatkan hasil belajar maka siswa dituntut untuk memiliki kebiasaan belajar yang baik. Oleh karena itu, tidak hanya siswa saja yang dituntut untuk mencapai hasil belajar yang baik. Melainkan guru juga harus menciptakan iklim pembelajaran yang tidak hanya melihat hasil belajar dikelas saja, karena faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa juga harus diperhatikan. d. Pengaruh Hasil Pembelajaran TSTS Terhadap Hasil Belajar Susiloningtiyas, Eni (2009) telah melakukan penelitian tentang Pengaruh penggunaan model TSTS pada mata pelajaran Matematika terhadap hasil belajar siswa kelas IV SD Negeri Balesari Kecamatan Bansari Kabupaten Temanggung Semester 2 Tahun Pelajaran 2010/2011. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat pengaruh terhadap hasil belajar siswa dengan menggunakan metode Two Stay Two Stray (TSTS). Hasil belajar yang diperoleh lebih baik dibanding pembelajaran tanpa menggunakan metode Two Stay Two Stray (TSTS) yaitu nilai rata-rata postes kelas ekperimen 87,20 sedangkan nilai rata-rata kelas kontrol 75,46. Dalam penelitian kedua oleh Kusfianti (2010) bahwa model pembelajaran TSTS berpengaruh meningkatkan motivasi dan hasil belajar 42 Matematika. Dapat dilihat Skor motivasi rata-rata angket sebelum tindakan 77,3% meningkat menjadi 85% setelah pelaksanaan tindakan. Rerata kelas dari hasil evaluasi di siklus II juga mengalami peningkatan, pada saat siklus I sebesar 57,8 dan hasil belajar setelah tindakan sebesar 78,8 dengan peningkatan sebesar 11,4. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Eni (2009) dan Kusfianti (2010), dengan menggunakan metode TSTS pada variabel bebas dan hasil belajar pada variabel terikatnya. Kedua penelitian telah menunjukan peningkatan hasil belajar yang dipengaruhi oleh metode TSTS. Dengan adanya kebiasaan belajar yang baik dari dalam diri siswa untuk berprestasi, akan membawa siswa mendapatkan hasil belajar yang maksimal. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dapat meningkatkan hasil belajar siswa. 2.1.5 Gender a. Pengertian Gender Kata Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Gender merujuk pada penalaran serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang diciptakan dalam keluarga, masyarakat dan budaya. Menurut Jhon W. Santrock (2007) bahwa gender adalah dimensi psikologis dan sosiokultural yang dimiliki karena seseorang adalah laki-laki atau perempuan. Ada dua aspek dalam gender yaitu identitas gender dan peran gender. Identitas gender adalah perasaan menjadi laki-laki atau perempuan, yang biasanya disapai ketika anak berusia 3 tahun. Peran gender adalah gambaran bagaimana pria atau wanita berfikir, bertindak, atau merasa. Gender merupakan aspek psikososial dari laki-laki dan perempuan (Sugihartono, dkk., 2007). Dari pengertian diatas gender adalah perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuam berdasarkan konstruksi sosial atau konstruksi masyarakat. Dalam kaitan dengan pengertian gender ini, hubungan laki-laki dan perempuan secara sosial dalam pergaulan hidup sehari-hari. Hubungan sosial ini dapat dibentuk dan dirubah sesuai faktor lingkungan yang 43 mempengaruhinya. Dengan memperhatikan pengertian tersebut maka gender dalam penelitian ini hanya terbatas pada perbedaan jenis kelamin, yaitu lakilaki atau perempuan berdasarkan perbedaan biologis. b. Perbedaan Gender dan Prestasi di Kelas Perbedaan perlakuan terhadap anak laki-laki dan perempuan dikelas menimbulkan ketimpangan gender. Menurut Gallagher (Sugihartono, dkk., 2007) meskipun laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan dalam perkembangan fisik, emosional, dan intelektual, namun sebenarnya tidak ada bukti yang berhubungan dengan hal tersebut. Prestasi akademik tidak dapat dapat dijelaskan melalui perbedaan akademik. Dalam sebuah penelitian nasional oleh departemen pendidikan AS (Santrock, 2007) anak laki-laki sedikit lebih baik dibandingkan perempuan dalam matematika dan sains. Meskipun begitu, secara rata-rata anak perempuan adalah pelajar yang lebih baik, dan mereka secara signifikan lebih baik dari anak laki-laki dalam membaca. Faktor kultural dan sosial merupakan alasan utama yang menyebabkan perbedaan gender dalam akademik. Sadkers (Sugihartono, dkk., 2007) menemukan bahwa pada saat siswa laki-laki berkomentar dalam berdiskusi, meskipun jawaban tersebut tidak relevan guru selalu merespon mereka dengan baik. Menurut Elliott (Sugihartono, dkk., 2007) perbedaan gender dalam beberapa aspek yang terkait dengan kemampuan akademik dan sekolah terlihat dalam tabel berikut: Tabel 2.2 Perbedaan Gender Karakteristik Perbedaan fisik Kemampuan verbal Perbedaan Gender Meski sebagian besar perempuan matang lebih cepat dibandingkan laki-laki, laki-laki lebih besar dan kuat. Perempuan lebih bagus dalam mengerjakan tugastugas verbal ditahun awal, dan dapat dipertahankan. Laki-laki menunjukan masalah-masalah bahasa yang banyak dibanding perempuan. 44 Karakteristik Kemampuan spasial Kemampuan matematika Sains Motivasi berprestasi Agresi Perbedaan Gender Laki-laki lebih superior dalam kemampuan sepasial, yang berlanjut selama masa sekolah. Pada tahun-tahun awal ada sedikit perbedaan, lakilaki menunjukan superioritas selama sekolah menengah atas. Perbedaan terlihat meningkat, perempuan mengalami kemunduran, sementara prestasi laki-laki meningkat Laki-laki tampak lebih baik dalam melakukan tugastugas stereotip (matematik, sains), dan perempuan dalam tugas-tugas (seni, musik). Dalam kompetisi langsung antara kompetisi laki-laki dan perempuan ketika memasuki remaja, prestasi perempuan tampak turun. Laki-laki tampaknya memiliki pembawaan lebih agresif dibanding perempuan. Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa perbedaan kemampuan dan karakteristik yang ada diantara siswa laki-laki dan perempuan lebih disebabkan oleh perlakuan dari lingkungannya, dalam hal ini bisa guru ataupun orang tuanya. Oleh karena itu guru memberikan kesempatan yang sama kepada laki-laki atau perempuan dalam bebagai aktifitas pembelajaran. Dengan demikian tidak ada lagi perbedaan perlakuan yang disebabkan karena jenis kelamin yang dimiliki siswa, selanjutnya siswa laki-laki ataupun perempuan dapat belajar dengan maksimal. Pada penelitian ini gender berperan dalam mempengaruhi hasil belajar siswa kelas V dengan menggunakan metode TSTS pokok bahasan sifat-sifat cahaya. Gender dipengaruhi oleh faktor lingkungan dalam kegiatan pembelajaran. Pembelajaran dengan menggunakan metode TSTS yang akan mempengaruhi hasil belajar siswa kelompok laki-laki dan perempuan dalam pembelajaran IPA. 2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan Susiloningtiyas, Eni (2009) telah melakukan penelitian tentang Pengaruh penggunaan model TSTS pada mata pelajaran Matematika terhadap hasil belajar siswa kelas IV SD Negeri Balesari Kecamatan Bansari 45 Kabupaten Temanggung Semester 2 Tahun Pelajaran 2010/2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh terhadap hasil belajar siswa dengan menggunakan metode Two Stay Two Stray (TSTS). Hasil belajar yang diperoleh lebih baik dibanding pembelajaran tanpa menggunakan metode Two Stay Two Stray (TSTS) yaitu nilai rata-rata postes kelas ekperimen 87,20 sedangkan nilai rata-rata kelas kontrol 75,46. Penelitian Eni (2009) disimpulkan bahwa terdapat pengaruh terhadap hasil belajar siswa dengan menggunakan metode Two Stay Two Stray (TSTS). Dapat dilihat dari hasil belajar yang diperoleh lebih baik dibanding pembelajaran tanpa menggunakan metode Two Stay Two Stray (TSTS) yaitu nilai rata-rata postes kelas ekperimen 87,20 sedangkan nilai rata-rata kelas kontrol 75,46. Kesamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah variabel bebasnya yaitu metode TSTS dan variabel terikatnya adalah hasil belajar. Nuryani (2011) Implementasi Pembelajaran Matematika Dengan Model Pembelajaran CIRC dan SAVI Ditinjau dari Gender Siswa Pada Pokok Bahasan Lingkaran. (Penelitian Eksperimen pada Kelas VIII SMP Negeri 1 Gondangrejo). Skripsi thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Dari hasil penelitian untuk a = 5% dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan prestasi belajar ditinjau dari model pembelajaran dan Gender Siswa, sedangkan interaksi antara model pembelajaran dengan Gender Siswa tidak memberikan dampak yang berarti pada prestasi belajar khususnya dalam pokok bahasan Lingkaran. Penelitian yang dilakukan Nuryani (2011) mempunyai kesaman dalam variabel bebasnya yaitu kesamaan menggunkan model pembelajaran kooperatif, hanya saja penelitian Nuryani (2011) menggunakan model kooperatif tipe CIRC sedangkan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti model kooperatif tipe TSTS, adapun kesamaanya adalah ditinjau dari gender siswa. Penelitian Nuryani dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan prestasi belajar ditinjau dari model pembelajaran, sedangkan interaksi antara model pembelajaran dengan gender siswa tidak memberikan dampak yang berarti pada prestasi belajar. 46 Dari hasil penelitian Eni (2009) diatas relevan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti karena sama meneliti tentang pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS), hanya saja penelitian yang dilakuakn oleh Nuryani (2011) model kooperatif tipe CIRC. Kesamaan yang dilakukan oleh Eni (2009) adalah hasil belajar, dan kesamaan antara penelitian yang dilakukan oleh Nuryani (2011) pembelajaran ditinjau dari gender siswa. Hasil belajar dipengaruhi oleh pembelajaran menggunakan metode TSTS pada mata pelajaran IPA pada pokok bahasan sifat-sifat cahaya. Hal ini juga akan dipengaruhi oleh gender siswa yang dibatasi pada perbedaan jenis kelamin peserta didik kelompok laki-laki dan kelompok perempuan. Penelitian ini akan menggunakan penelitian eksperimen. Jadi dalam penelitian ini peneliti lebih menekankan hasil belajar siswa pada pembelajaran IPA berdasarkan gender siswa kelas V SD melalui pembelajaran menggunakan metode TSTS. 2.3 Kerangka Berfikir Selama ini pembelajaran IPA yang dilakukan guru masih berkonsentrasi pada latihan penyelesaian soal, kerjasama antar siswa masih kurang, metode yang digunakan oleh guru masih monoton dan berpusat pada guru sehingga siswa kurang aktif dalam pembelajaran dan hasil belajar siswa menjadi rendah, oleh karena itu perlu tindakan untuk mengatasi hal tersebut. Dengan menggunakan metode TSTS diharapkan pembelajaran menjadi menyenangkan, siswa aktif dalam pembelajaran serta siswa mampu bekerja sama dengan orang lain, mempunyai ketrampilan sosial yang tinggi dan mampu menghargai orang lain sehingga dapat meningkatkan hasil belajar baik siswa laki-laki maupun siswa perempuan. 2.4 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kajian teori dan kerangka fikir di atas, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 47 1. Hipotesis: ada perbedaan hasil belajar IPA antara kelompok siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan metode Two Stay Two Stray (TSTS) dari pada kelompok siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional. H0 = tidak ada perbedaan hasil belajar IPA antara kelompok siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan metode Two Stay Two Stray (TSTS) dari pada kelompok siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional. H 1 = ada perbedaan hasil belajar IPA antara kelompok siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan metode Two Stay Two Stray (TSTS) dari pada kelompok siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional. 2. Hipotesis: Ada perbedaan hasil belajar IPA antara kelompok siswa lakilaki dan kelompok siswa perempuan. H 0 = tidak ada perbedaan hasil belajar IPA antara kelompok siswa lakilaki dan kelompok siswa perempuan. H 1 = ada perbedaan hasil belajar IPA antara kelompok siswa laki-laki dan kelompok siswa perempuan. 3. Hipotesis: Pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) efektif terhadap hasil belajar berdasarkan gender siswa kelas V SD pada pelajaran IPA pokok bahasan sifat-sifat cahaya gugus Among Siswa Temanggung semester 2 tahun 2011/2012. H0 = Pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) tidak efektif terhadap hasil belajar berdasarkan gender siswa kelas V SD pada pelajaran IPA pokok bahasan sifat-sifat cahaya gugus Among Siswa Temanggung semester 2 tahun 2011/2012. H 1 = Pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) efektif terhadap hasil belajar berdasarkan gender siswa kelas V SD pada pelajaran IPA pokok bahasan sifat-sifat cahaya Siswa Temanggung semester 2 tahun 2011/2012. gugus Among