AFLP - IPB Repository

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Genus Artemisia L. termasuk ke dalam famili Asteraceae, terdiri dari hampir
200 spesies. Artemisia annua, Artemisia capilaris dan Artemisia vulgaris adalah tiga
spesies dominan. Genus ini berasal dari daerah subtropis Asia Barat Daya yang
kemudian menyebar ke Malesiana dan Amerika Selatan (DePadua et al. 1999).
Artemisia dimanfaatkan sejak lama dalam pengobatan tradisional. Di Cina A. annua
digunakan sebagai obat demam. Orang Jepang mengunakan A. capilaris untuk
mengobati radang hati, sedangkan orang India menggunakan A. vulgaris untuk
mengobati rematik.
Artemisia annua L.
Artemisia annua L. atau sweet wormwood telah digunakan dalam sistem
pengobatan tradisional Cina sejak tahun 40M sebagai obat demam (QACRG 1979).
Terdapat 131 senyawa metabolit sekunder pada A. annua yang sudah diidentifikasi
(http://kanaya.naist.jp/knapsack_jsp),
salah
satunya
adalah
artemisinin
yang
diakumulasi pada trikoma kelenjar.
Artemisia annua berasal dari China yang dikenal dengan nama Qinghao.
Tumbuhan ini sudah dibudidayakan di banyak Negara seperti Argentina, Bulgaria,
Prancis, Brasilia dan USA. Artemisia annua merupakan herba semusim yang tumbuh
baik pada daerah dataran tinggi dengan ketinggian 1000-1500 m dpl. Artemisia annua
hidup baik pada tanah berpasir atau berlempung dengan drainase baik dengan pH 5.58.5 dengan curah hujan berkisar 700-1000 mm per tahun (Gusmaini & Nurhayati
2007). Batang utama memiliki banyak percabangan dengan tinggi mencapai 300 cm.
Daun majemuk menyirip ganda yang tersusun selang-seling. Panjang daun mencapai
12 cm. Artemisia annua memiliki bunga majemuk biseksual yang tersusun berbentuk
panikula dengan warna mahkota bunga kekuningan (DePadua et al. 1999). Bunga
muncul 13 minggu setelah tanam (Gusmaini & Nurhayati 2007).
Artemisia annua merupakan tanaman hari pendek dengan titik kritis 13 jam,
artinya tanaman ini akan berbunga bila sinar matahari kurang dari 13 jam perhari
5
(Gusmaini & Nurhayati 2007). Hal ini menjadi suatu kelemahan ketika A. annua
diintroduksikan ke daerah tropik dengan lama siang kurang dari 13 jam. Tanaman
akan cepat berbunga sehingga produktivitas artemisinin turun. Selain itu A. annua
bersifat spesifik lokasi. Klon unggul dari Vietnam memiliki kandungan artemisinin
yang lebih rendah ketika diintroduksi di Brasilia dan USA (Gusmaini & Nurhayati
2007).
Artemisia vulgaris L.
Artemisia vulgaris adalah jenis Artemisia yang ada di Indonesia. Tumbuhan ini
berbentuk herba perennial yang memiliki batang tegak dan stolon. Batang umumnya
tidak bercabang dengan tinggi mencapai 200 cm. Daunnya bertulang menyirip
dengan tepi bercangap. Panjang daun berkisar 7-10 cm (DePadua et al. 1999).
Artemisia vulgaris dikenal dengan nama daerah Sudamala. Herba ini banyak terdapat
di Papua, namun tersebar hampir merata di dataran tinggi di Indonesia (Aryanti et al.
2006).
Ekstrak A. vulgaris bersifat insektisida dan mempunyai aktivitas anthemintik.
Ekstrak cair A. vulgaris dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan
gram negatif secara in vitro, namun tidak ditemukan aktivitas antimalaria (DePadua
et al. 1999). Aryanti et al. (2006) menguji daya antimalaria Artemisia spp. terhadap
Plasmodium falcifarum dan menyatakan bahwa A. vulgaris memiliki kemampuan
menghambat pertumbuhan P. falcifarum dan memiliki kandungan artemisinin 2.55
ppm, jauh lebih rendah dibanding kandungan artemisinin A. annua, 4.99 ppm.
Artemisinin
Artemisinin adalah suatu senyawa sesquiterpen lakton dengan jembatan
peroksida (Gambar 1). Senyawa ini bersifat anti malaria karena kemampuannya yang
bersifat sitotoksik dengan cara melepaskan radikal bebas dan aldehid reaktif sehingga
membunuh Plasmodium. Selain itu artemisinin dapat menyebabkan kerusakan
membran, mengoksidasi protein dan lemak dan menghambat sintesis asam nukleat
pada parasit. Akibatnya parasit tidak dapat memperbanyak diri (Graz et al. 2011).
6
Gambar 1 Struktur artemisinin (www.kanaya.naist.jp)
Biosintesis artemisinin dimulai dengan konversi farnesil diposfat (FPP) menjadi
artemisinin dengan bantuan enzim amorpha-4,11-diene synthase yang kemudian
dilanjutkan dengan enzim amorpha-4,11-diene hydroxylase, cytochrome P450
monoxygenase (CYP71AV1) dan artemisinic aldehyde Δ11(13) reductase (Teoh et al.
2006). Proses biosintesis artemisinin terjadi di trikoma kelenjar.
Trikoma merupakan struktur khusus yang terdapat pada permukaan tumbuhan
yang berada di atas tanah. Artemisia annua memiliki dua jenis trikoma, yaitu trikoma
kelenjar dan trikoma non kelenjar. Trikoma kelenjar A. annua terdiri dari sepuluh sel,
yang terdiri atas: dua pasang sel basal, dua pasang sel sub apikal dan sepasang sel
apikal (Gambar 2). Jumlah trikoma kelenjar yang paling banyak terdapat pada daun.
Gambar 2 Struktur trikoma kelenjar Artemisia annua (Olsson et al. 2009).
7
Penanda Morfologi
Penanda morfologi adalah penanda yang berdasarkan sifat morfologi yang
tampak. Penanda morfologi dapat digunakan untuk mengukur besarnya keragaman
pada tanaman berdasarkan karakter fenotipe, baik pada fase vegetatif mapun pada
fase generatif. Karakter morfologi pada fase vegetatif dapat dilihat pada pengamatan
batang dan daun, sedangkan pada fase generatif dapat dilihat melalui bunga, buah dan
biji. Penanda morfologi sering digunakan untuk deskripsi taksonomi karena lebih
mudah, murah, sederhana dan cepat (Chen 2004).
Informasi yang akurat mengenai hubungan kekerabatan antar spesies atau antar
aksesi dalam satu spesies tidak dapat diperoleh hanya dengan pengamatan secara
morfologi, karena karakter morfologi memiliki beberapa kelemahan, antara lain:
hanya memperlihatkan sifat pewarisan dominan dan resesif, tingkat polimorfismenya
sedikit dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan (Tanskley 1983). Akibatnya individu
yang memiliki genotipe yang berbeda dapat menampilkan fenotipe yang sama dan
individu yang mempunyai genotipe yang sama dapat menunjukkan fenotipe yang
berbeda bila lingkungannya berbeda. Kemiripan pada tingkat fenotipe belum tentu
menunjukkan kemiripan pada tingkat DNA (Chen 2004)
Informasi genetik tanaman tersimpan dalam genom inti maupun organel
(mitokondria dan kloroplas). Genom dapat didefinisikan sebagai keseluruhan gen
yang dimiliki oleh suatu organisme dan mengatur seluruh proses metabolisme
sehingga organisme tersebut dapat hidup. Gen pada organisme dapat mengalami
mutasi tetapi tidak menyebabkan perubahan pada tingkat fenotipe. Hal ini dapat
terjadi pada mutasi satu basa yang menghasilkan kodon sinonim sehingga
menghasilkan asam amino yang sama dengan kodon aslinya, sehingga tidak
mengubah fenotipe organisme (Jusuf 2001). Oleh karena itu identifikasi
menggunakan penanda morfologi saja kurang akurat, sehingga perlu dikombinasikan
dengan identifikasi pada tingkat DNA dengan menggunakan penanda DNA.
8
Amplified Fragment Length Polymorfism (AFLP)
Amplified Fragment Length Polymorfism (AFLP) merupakan jenis penanda
yang didasarkan pada amplifikasi selektif potongan DNA hasil restriksi genom total
dengan enzim restriksi endonuklease. Prinsip utama AFLP terdiri dari empat langkah,
yaitu: preparasi DNA cetakan, restriksi dan ligasi, pre-amplifikasi dan amplifikasi
selektif. Visualisasi fragmen dilakukan dengan gel poliakrilamid. Prosedur AFLP
terdiri dari beberapa tahap yang dimulai dengan pemotongan DNA genom dengan
sepasang enzim restriksi. Kedua enzim restriksi tersebut memiliki tipe yang berbeda
yaitu pemotong jarang dan pemotong sering. Enzim pemotong jarang mengenali 6
basa. Jumlah fragmen yang dihasilkan dari pemotongan enzim ini sedikit dan ukuran
fragmennya besar. Enzim pemotong sering mengenali 4 basa. Jumlah fragmen yang
dihasilkan dari pemotongan enzim ini banyak dan ukuran fragmennya kecil. Alasan
digunakannya dua enzim restriksi yang berbeda tipe adalah dapat memberikan
fleksibilitas yang tinggi dalam pengaturan jumlah fragmen yang akan diamplifikasi
dan dihasilkannya sejumlah besar sidik jari yang berbeda (Vos et al. 1995).
Setelah dilakukan pemotongan dengan enzim restriksi, oligonukleotida adaptor
utas ganda diligasikan pada frgamen DNA. Adaptor terdiri dari sekuen inti adaptor
dan sekuen spesifik enzim restriksi (Gambar 3). Enzim akan menggabungkan adaptor
dengan fragmen hasil pemotongan sehingga diperoleh fusi antara adaptor dan
fragmen. Primer dalam proses pre-amplifikasi didesain berdasarkan urutan DNA pada
adaptor yang mengandung situs restriksi. Primer AFLP terdiri dari tiga bagian, yaitu
sekuen inti, sekuen situs restriksi dan pemanjangan selektif yang terdiri dari satu
sampai tiga basa. Proses pre-amplifikasi menggunakan primer yang hanya memiliki
satu nukleotida selektif sedangkan proses amplifikasi selektif menggunakan primer
yang memiliki tiga nukleotida selektif. Proses amplifikasi selektif menggunakan
sepasang primer yang salah satunya diberi label dengan bahan kimia yang bersifat
fluoresen, Infra Red Dye (IRD) 700. IRD 700 merupakan pelabel fluoresen dengan
panjang absorbansi maksimal pada 685 nm yang lebih mudah penanganannya dan
lebih aman dibandingkan pelabel radioaktif namun memiliki sensitifitas yang sama
(Ying et al. 2007).
9
Fragmen restriksi
Ligasi adaptor
19 pb sekuen umum
22 pb sekuen umum
Basa selektif
Primer AFLP
Primer AFLP
amplifikasi Basa selektif
Gambar 3 Diagram skematis teknik AFLP menggunakan enzim restriksi EcoR1 dan
Mse 1 (Vos et al. 1995).
Visualisasi fragmen AFLP menggunakan gel poliakrilamid. Fragmen DNA
hasil AFLP dapat dideteksi dengan sekuenser DNA otomatis (LI-COR 4300 DNA
Analizer). Polimorfisme yang terdeteksi berupa ada atau tidak ada pita yang dimiliki
oleh masing-masing individu, sehingga AFLP termasuk ke dalam marka dominan
(Muller & Wolfenbarger 1999).
Teknik AFLP mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi dan biaya yang mahal.
Namun teknik ini memiliki beberapa keunggulan dibanding penanda DNA lainnya.
Keunggulan teknik AFLP antara lain (1) tidak memerlukan informasi sekuen dari
genom dan perangkat (kit) oligonukleotida yang sama ketika dilakukan analisis dan
dapat
diaplikasikan
pada semua organisme
termasuk
tanaman,
(2) hasil
amplifikasinya bersifat stabil, tingkat pengulangan dan variabilitasnya sangat tinggi,
(3) sangat efisien dalam pemetaan lokus karena dapat meliputi beberapa lokus dalam
satu kali amplifikasi, (4) dapat digunakan untuk menganalisis sidik jari semua DNA
dengan mengabaikan kompleksitas dan asal-usulnya, (5) serta dapat bertindak sebagai
10
jembatan informasi antara peta genetik dan peta fisik pada kromosom (Vos at al.
1995).
Teknik AFLP telah banyak digunakan untuk analisis keragaman secara
molekuler. Jusuf (2010) menggunakan AFLP untuk menganalisis keragaman jamur
tiram putih budidaya. AFLP juga telah digunakan dalam menganalisis keragaman
genetik pada tanaman nenas (Surtiningsih 2008), jarak pagar (Dewi 2008) dan klon
karet (Zulkifli 2001) yang dikombinasikan dengan penanda RAPD. Mechanda et al.
(2004) juga telah menggunakan penanda AFLP untuk mengetahui keragaman pada
populasi alami dan populasi unggul tanaman Echinaceae, sedangkan Baydar et al.
(2004) telah menggunakan penanda AFLP untuk mengetahui hubungan genetika
diantara tumbuhan Rosa damascena yang tumbuh di Turki yang dikombinasikan
dengan penanda mikrosatelit.
Download