BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada awal tahun 1990-an mulai banyak muncul permasalahan lingkungan hidup yang diangkat sebagai permasalahan bersama yang perlu ditanggapi serius oleh banyak pihak (Grillo et al., 2008). Permasalahan lingkungan menjadi isu global bagi banyak pihak (Andres dan Salinas, 2007). Pemerintah, organisasi, pengusaha dan konsumen ikut bertanggung jawab dalam memelihara dan melindungi lingkungan untuk generasi mendatang (Cole dan Orman, 2008; Polonsky et al., 1995). Manusia hanya bagian dari alam yang diciptakan menjadi pemimpin (khalifah) yang ditugaskan untuk mengelola dan menjaga bumi (Damad, 2000 dalam Mostafa, 2007). Keterlibatan pemerintah dalam melindungi lingkungan adalah dengan membuat regulasi (Leonidou et al., 2011). Untuk mematuhi regulasi, perusahaan dituntut untuk melakukan modifikasi dan mengembangkan produk yang ada, produk tersebut diharapkan aman bagi lingkungan (Schuhwerk dan Hagius, 1995). Konsumen diharapkan ikut berpartisipasi dalam memelihara lingkungan seperti menggunakan produk daur ulang (Chamorro et al., 2009). Kesadaran konsumen terbentuk karena pola perilaku yang bertanggung jawab pada lingkungan dan menghormati eksistensi mahluk lain di bumi ini (Junaedi, 2007). Menurut Wardhana (2004, hal. 2) kekhawatiran manusia atas masalah lingkungan yang dapat mengurangi kualitas dan kenyamanan hidup mulai tampak sejak pertengahan abad ke-20. Hal ini tampak antara lain dari munculnya istilah-istilah yang berhubungan 1 dengan lingkungan, seperti ekologi, erosi, polusi, intrusi, efek rumah kaca, kabut fotokimia, hujan asam dan lain-lainnya. Dalam bidang pemasaran, permasalahan lingkungan bukan hanya menjadi tanggung jawab para pemasar saja, namun juga seluruh konsumen. Bagi pemasar, isu lingkungan dapat menjadi kriteria keunggulan kompetitif yang mempengaruhi perilaku pembelian konsumen. Di sisi lain, konsumen merasa kurang bertanggung jawab pada terjadinya degradasi lingkungan karena konsumen mengabaikan adanya dampak konsumsi individu pada lingkungan masyarakat dalam jangka panjang sebagai akumulasi dari keputusan konsumen terhadap pembelian suatu produk ramah lingkungan (Follows dan Jobber, 2002). Kepedulian konsumen terhadap lingkungan merupakan gaya hidup pribadi, gaya hidup ini terlihat ketika konsumen memilih membeli produk ramah lingkungan (Berger dan Kanetkar, 1995). Menurut Manahan (2007, hal. 16) produk ramah lingkungan atau produk hijau adalah produk yang bahannya tidak mencemari lingkungan atau mempunyai dampak relatif kecil terhadap lingkungan. Produk hijau umumnya tahan lama, dapat di daur ulang, dapat diperbaiki, dan dapat diproduksi kembali. Mayoritas konsumen menyadari bahwa perilaku beli secara langsung berpengaruh pada berbagai permasalahan lingkungan. Konsumen mempertimbangkan isu lingkungan ketika berbelanja melalui perilaku beli (Laroche et al., 2001). Terjadi peningkatan secara bersamaan dalam kepedulian konsumen terhadap lingkungan dan periklanan hijau (Carlson et al., 1996), sehingga membuat pengiklan memanfaatkan tren hijau (Zinkhan dan Carlson, 1995). Dalam hal ini, perusahaan memiliki kesempatan untuk membidik tren dan segmentasi konsumen yang sudah dan belum peduli terhadap lingkungan. Konsumen yang peduli terhadap lingkungan disebut 2 konsumen hijau (Saha dan Darnton, 2005). Menurut D’Souza dan Taghian (2005), perilaku konsumen hijau sangat dipengaruhi oleh kepedulian terhadap lingkungan. The Roper Organization (1992) yang dikutip oleh Banerjee et al. (1995) melakukan jajak pendapat di negara Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko, hasilnya menunjukkan tingginya kepedulian masyarakat terhadap lingkungan dan akan terus meningkat. Dalam ilmu pemasaran dikatakan bahwa penawaran itu ada karena adanya permintaan (hukum penawaran dan permintaan). Begitupun dengan pemasaran hijau ada karena adanya konsumen hijau. Fox dan Kotler (1980) menyatakan bahwa periklanan sosial, seperti iklan hijau dan kampanye-kampanye yang meningkatkan sebab-sebab sosial, harus bergantung pada daya penarik (appeals) yang mengkomunikasikan pengurangan biaya bagi konsumen sebagai pertukaran atas keterlibatan dalam perilaku pro-sosial atau adanya niat untuk bertindak pro-lingkungan. Riset perilaku konsumen telah menyatakan bahwa tidak hanya memerlukan keinginan untuk terlibat dalam mengubah pola-pola perilaku, tetapi konsumen juga memerlukan kebutuhan dan preferensi produk-produk ramah lingkungan yang harus dipenuhi dalam hal ketersediaan dan dapat dibeli konsumen (Bhate, 2001). Hal yang lebih penting, pemasar dan pengiklan harus mengkomunikasikan secara jelas manfaat produk hijau terhadap lingkungan, performa produk, dan atribut-atribut lainnya (Polonsky et al., 1995). Periklanan hijau didefinisikan sebagai pesan-pesan promosi yang dapat menjadi daya penarik pada kebutuhan dan keinginan konsumen yang peduli lingkungan (Zinkhan dan Carlson, 1995). Banerjee et al. (1995) mendefinisikan periklanan hijau yaitu iklan yang memenuhi kriteria: secara eksplisit atau implisit membicarakan hubungan antara 3 produk atau jasa dan lingkungan biofisik, meningkatkan gaya hidup hijau, dan mempresentasikan citra perusahaan yang bertanggung jawab terhadap lingkungan. Sejak tahun 1970-an, periklanan hijau telah diteliti dan diberi perhatian untuk mengembangkan strategi-strategi komunikasi lingkungan yang efektif yang ditargetkan untuk konsumen hijau (Stafford et al., 1996 dalam Jimenez dan Yang, 2008). Beberapa penelitian yang dilakukan, meneliti strategi-strategi periklanan hijau untuk proses-proses manufaktur lingkungan, produk hijau dan konsumsi lingkungan (Teng et al., 2007). Carlson et al. (1993) meneliti tentang makna atau arti periklanan hijau dan upaya untuk mengidentifikasi kategori-kategori hijau pada efektivitas daya penarik pesan (message appeals) yang akan menarik perhatian konsumen. Penelitian-penelitian lain berfokus pada pemasaran sosial dan tanggung jawab sosial sebagai alat untuk mencapai sasaran dan tujuan kemasyarakatan (Wiener dan Doescher, 1991). Ellen et al. (1991) telah meneliti kepedulian terhadap lingkungan untuk mengidentifikasi isi pesan hijau. Beberapa penelitian telah menganalisis bagaimana para pemasar mengkomunikasikan manfaat produk melalui klaim-klaim produk umum terhadap lingkungan (Morris et al., 1995). Penelitan sekarang ini telah berfokus pada resistensi konsumen pada pesan-pesan iklan hijau (D’Souza dan Taghian, 2005). Kilbourne (1995) menyatakan kredibilitas periklanan hijau relatif rendah. Banyak konsumen Amerika yang kurang tertarik terhadap periklanan hijau dengan berbagai alasan, salah satu alasannya pesan yang ada pada periklanan hijau dianggap tidak jelas dan ambigu (Carlson et al., 1993). Konsumen hijau cenderung bersikap skeptis terhadap kegiatan-kegiatan pemasaran dan alasan perusahaan (Shrum et al., 1995). 4 Dalam kenyataanya, ada konsumen hijau yang anti kapitalis, yang menjadi penghambat dan sulit meyakinkan mereka (Zinkhan dan Carlson., 1995). Selain itu, konsumen hijau adalah segmen yang paling mungkin tidak mempercayai pengiklan dan mungkin juga konsumen hijau ini bisa dibujuk melalui iklan (Zinkhan dan Carlson, 1995). Hasilnya, penting untuk mengidentifikasi dan menilai strategi-strategi hijau yang efektif untuk menyampaikan pesan efektif yang lebih jelas untuk mencapai dan menyesuaikan kebutuhan-kebutuhan konsumen. Iklan tentu saja dapat lebih jelas dan singkat jika iklan dihubungkan dengan daya penarik yang diidentifikasi secara spesifik yang mengkomunikasikan pesan yang cukup tentang lingkungan pada segmen konsumen yang tepat (Leonidou et al., 2011). Ketika kepedulian terhadap lingkungan terus berkembang, para pengiklan tertarik untuk mengembangkan periklanan hijau yang berisi pesan-pesan lingkungan yang targetnya adalah segmen konsumen hijau. Akan tetapi, adanya ketidakpastian mengenai perilaku konsumen yang terus menerus mengalami perubahan yang membuat tantangan dalam komunikasi (Zinkhan dan Carlson, 1995). Dengan adanya tantangan ini, pemasaran sosial telah membuat kemajuan melalui komunikasi pada periklanan hijau yang membuat peningkatan kepedulian konsumen terhadap lingkungan (Carlson et al., 1993). D’Souza dan Taghian (2005) menyatakan bahwa penelitian tentang periklanan hijau dilakukan untuk menemukan apa yang dianggap penting bagi konsumen hijau dalam iklan hijau. D’Souza dan Taghian (2005) ingin membuktikan adanya perbedaan antara konsumen dengan keterlibatan tinggi dan rendah, sikap konsumen terhadap iklan, dan tema apa yang paling disukai konsumen. Dalam penelitiannya, D’Souza dan Taghian 5 (2005) menemukan perbedaan antara dua segmen konsumen ini. Konsumen dengan keterlibatan tinggi percaya terhadap iklan hijau, sedangkan konsumen dengan keterlibatan randah tidak percaya terhadap iklan hijau. Konsumen dengan keterlibatan rendah menilai merek yang diiklankan kurang bagus. Selanjutnya, konsumen hijau dengan keterlibatan tinggi menyukai tema-tema sebagai berikut: lambang atau simbol produk daur ulang, citra perusahaan, manfaat dan label-label lingkungan pada iklan produk hijau. Konsumen dengan keterlibatan rendah lebih menyukai tema-tema seperti perusahaan yang mempromosikan klaim-klaim lingkungan, manfaat serta label-label lingkungan pada iklan produk hijau (D’Souza dan Taghian, 2005). Menurut Rakhmat (2008, hal. 297) bila anda ingin mempengaruhi orang lain, rebutlah lebih dahulu perhatiannya, selanjutnya bangkitkan kebutuhannya, berikan petunjuk bagaimana cara memuaskan kebutuhan itu, gambarkan dalam pikiranpikirannya keuntungan dan kerugian apa yang akan diperolehnya bila ia menerapkan atau tidak menerapkan gagasan anda. Para peneliti psikologi komunikasi telah meneliti efektivitas imbauan pesan (message appeals), Rakhmat (2008, hal. 298) mengartikan appeals sebagai imbauan, sedangkan Kriyantono (2009, hal. 346) mengartikan appeals sebagai daya penarik. Mengenai efektivitas imbauan pesan: apakah orang akan lebih terpengaruh oleh imbauan emosional atau imbauan rasional (Rakhmat, 2008, hal. 298). Penelitian yang dilakukan oleh Banerjee et al. (1995); Wagner dan Hansen (2002) meneliti mengenai daya penarik iklan hijau. Penelitian menemukan bahwa iklan dikategorikan dalam dimensi hijau yang berbeda, yang berfokus pada struktur iklan dan bukan pada manfaat bagi lingkungan (Banerjee et al., 1995; Wagner dan Hansen, 2002). Banerjee et al. (1995) menggolongkan iklan hijau ke dalam tujuh dimensi: the zeitgeist, 6 the emotional appeal (daya penarik emosional: takut, bersalah, humor, penghargaan diri), the rational appeal (daya penarik rasional: premi, kupon, alasan subsidi), the organic appeal (daya penarik organik: alami), the corporate greeness appeal (daya penarik kehijauan korporasi: tanggung jawab sosial dan aksi hijau), the testimonial appeal (daya penarik testimonial: selebritas, para ahli, konsumen sehari-hari), dan the comparative benefit appeal (daya penarik manfaat komparatif: manfaat). Wagner dan Hansen (2002) mengkombinasikan beberapa daya penarik (argumenargumen rasional, moral, emosional dan zeitgeist) dengan penggerak yang berhubungan dengan kepedulian pada lingkungan (melindungi dan menjaga bumi, melindungi satwa, serta kesehatan diri) untuk membentuk daya penarik hijau. Karna et al. (2001) dalam Jimenez dan Yang (2008) membedakan tiga daya penarik hijau yaitu: daya penarik emosi, daya penarik rasional dan daya penarik moral. Jimenez dan Yang (2008) meneliti daya penarik emosi yaitu daya penarik rasa bersalah (tinggi dan rendah) terhadap sikap konsumen terhadap iklan hijau dan merek hijau dengan obyek penelitian iklan deterjen. Rasa bersalah merupakan emosi negatif (Soscia et al., 2008). Rasa Bersalah disebabkan dari perbuatan yang telah atau akan dilakukan, sesuatu yang kita hormati secara moral, rasa bersalah tersebut hanya dapat dikurangi melalui perintah moral (Lazarus, 1991, hal. 240). Rasa bersalah konsumen dimanfaatkan para pemasar untuk menawarkan produk melalui iklan (Basil et al., 2008). Pengiklan menggunakan rasa bersalah dalam iklan untuk mempengaruhi sikap dan niat konsumen (Soscia et al., 2008; Basil et al., 2008). Tingkat daya penarik rasa bersalah pada iklan hijau secara signifikan mempengaruhi sikap konsumen terhadap iklan hijau 7 dan sikap konsumen terhadap merek hijau (Jimenez dan Yang, 2008). Sikap konsumen terhadap iklan menentukan sikap konsumen terhadap merek (Rios et al., 2008). Oleh karena hal tersebut di atas, maka penelitian ini melanjutkan penelitian Jimenez dan Yang (2008). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Jimenez dan Yang (2008) adalah obyek penelitian dan model penelitian. Obyek penelitian ini adalah iklan kertas daur ulang dan peneliti memasukkan variabel niat beli konsumen terhadap merek hijau. Dalam theory of reasoned action yang diterapkan pada perilaku konsumen, perilaku beli dipengaruhi oleh niat beli yang selanjutnya dipengaruhi oleh sikap keperilakuan dan norma subyektif konsumen (Dharmmesta, 2000). Sikap konsumen terhadap iklan menentukan sikap konsumen terhadap niat beli dan sikap konsumen terhadap merek menentukan niat beli (Rios et al., 2008). Konsumen yang mempunyai sikap kepedulian terhadap lingkungan yang konsisten akan mempengaruhi niat beli terhadap merek hijau (Berger dan Kanetkar, 1995). 1.2. Rumusan Masalah Penelitian ini melanjutkan penelitian Jimenez dan Yang (2008) yang meneliti iklan hijau dengan variabel rasa bersalah, perasaan yang menyebabkan rasa bersalah, sikap terhadap iklan, sikap terhadap merek. Pada penelitian ini, peneliti menambahkan variabel niat beli. Berdasarkan penjelasan pada latar belakang, maka beberapa rumusan masalah utama yang dapat diidentifikasi dalam penelitian ini adalah: Berdasarkan penjelasan pada latar belakang, maka beberapa pertanyaan penelitian yang dapat diidentifikasi dalam penelitian ini adalah: 1) Apakah terdapat perbedaan pengaruh negatif tingkat daya penarik rasa bersalah tinggi dan rendah pada sikap konsumen terhadap iklan hijau? 8 2) Apakah terdapat perbedaan pengaruh negatif tingkat daya penarik rasa bersalah tinggi dan rendah pada sikap konsumen terhadap merek hijau? 3) Apakah terdapat perbedaan pengaruh positif tingkat daya penarik rasa bersalah tinggi dan rendah pada niat beli konsumen terhadap merek hijau? 4) Apakah sikap konsumen terhadap iklan hijau berpengaruh positif pada sikap konsumen terhadap merek hijau dengan menggunakan iklan daya penarik rasa bersalah? 5) Apakah sikap konsumen terhadap iklan hijau berpengaruh positif pada niat beli konsumen terhadap merek hijau dengan menggunakan iklan daya penarik rasa bersalah? 6) Apakah sikap konsumen terhadap merek hijau berpengaruh positif pada niat beli konsumen terhadap merek hijau dengan menggunakan iklan daya penarik rasa bersalah? 7) Apakah terdapat pengaruh negatif sikap konsumen terhadap iklan hijau yang disebabkan perasaan negatif pada iklan daya penarik rasa bersalah? 8) Apakah terdapat pengaruh negatif sikap konsumen terhadap merek hijau yang disebabkan perasaan negatif pada iklan daya penarik rasa bersalah? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini menganalisis sikap konsumen terhadap iklan hijau, sikap konsumen terhadap merek hijau, niat beli konsumen terhadap merek hijau dengan menggunakan daya penarik rasa bersalah tinggi dan rendah. Tujuan spesifik penelitian ini adalah sebagai berikut: 9 1) Menganalisis perbedaan tingkat daya penarik rasa bersalah tinggi dan rendah pada sikap konsumen terhadap iklan hijau. 2) Menganalisis perbedaan tingkat daya penarik rasa bersalah tinggi dan rendah pada sikap konsumen terhadap merek hijau. 3) Menganalisis perbedaan tingkat daya penarik rasa bersalah tinggi dan rendah pada niat beli konsumen terhadap merek hijau. 4) Menganalisis sikap konsumen terhadap iklan hijau ketika dihadapkan pada iklan daya penarik rasa bersalah tinggi dan rendah. 5) Menganalisis sikap konsumen terhadap merek hijau ketika dihadapkan pada iklan daya penarik rasa bersalah tinggi dan rendah. 6) Menganalisis niat beli konsumen terhadap merek hijau ketika dihadapkan pada iklan daya penarik rasa bersalah tinggi dan rendah. 7) Menganalisis sikap konsumen terhadap ikan hijau yang dipengaruhi perasaan negatif pada iklan daya penarik rasa bersalah tinggi dan rendah 8) Menganalisis sikap konsumen terhadap merek hijau yang dipengaruhi perasaan negatif pada iklan daya penarik rasa bersalah tinggi dan rendah. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberi manfaat yang dijelaskan sebagai berikut: 1) Manfaat teoritis a. Penelitian ini memberikan kontribusi terhadap teori dengan memberikan dukungan empiris mengenai model hubungan daya penarik rasa bersalah terhadap sikap konsumen terhadap iklan hijau, sikap konsumen terhadap merek hijau dan niat beli konsumen terhadap merek hijau. 10 b. Penelitian iklan hijau dengan memasukkan variabel emosi akan memberikan kontribusi baru dalam teori perilaku konsumen. 2) Manfaat praktis Penelitan ini akan menjadi masukan bagi pemerintah agar membuat regulasi yang mendukung pelestarian lingkungan. Selanjutnya, masukan bagi pelaku bisnis untuk melakukan modifikasi dan mengembangkan produk yang ada terutama produk daur ulang untuk menjaga kelestarian lingkungan. 1.5. Lingkup penelitian Dalam penelitian ini peneliti memberikan batasan-batasan sebagai berikut: 1) Penelitian dibatasi pada variabel rasa bersalah, sikap konsumen terhadap iklan hijau, sikap konsumen terhadap merek hijau, perasaan yang menyebabkan rasa bersalah dan niat beli konsumen terhadap merek hijau. 2) Penelitian dilakukan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. 3) Subyek penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah mahasiswamahasiswi di lingkungan Universitas Gadjah Mada. 11