BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Pengetahuan 1. Pengertian Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2012) pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau rana kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior), karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. 2. Tingkatan Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2012), pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu: a. Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan, menyatakan dan sebagainya. 7 8 b. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk memperjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar, orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan dan menyebutkan. c. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (kenyataan). Aplikasi ini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. d. Analisis (analisys) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. e. Sintesis (synthesis) Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru, dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. f. Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang telah ada. 9 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan Menurut Mubarak (2012), terdapat tujuh faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah: a. Pendidikan Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang lain agar dapat memahami suatu hal. Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya pengetahuan yang dimilikinya akan semakin banyak. Sebaliknya, jika seseorang memiliki tingkat pendidikan rendah, maka akan menghambat perkembangan sikap orang tersebut terhadap penerimaan informasi dan nilai-nilai yang baru diperkenalkan. b. Pekerjaan Lingkungan pekerjaan dapat membuat seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung. c. Umur Dengan bertambahnya umur seseorang akan mengalami perubahan aspek fisik dan psikologis. Secara garis besar, pertumbuhan fisik terdiri atas empat kategori perubahan ukuran, perubahan proporsi, hilangnya ciri-ciri lama, dan timbulnya ciri-ciri baru. Perubahan ini terjadi karena pematangan fungsi organ. Pada aspek psikologis atau mental, taraf berfikir seseorang menjadi semakin matang dan dewasa. d. Minat Minat sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni suatu hal sehingga seseorang memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam. 10 e. Pengalaman Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Orang cenderung berusaha melupakan pengalaman yang kurang baik. Sebaiknya, jika pengalaman tersebut menyenangkan, maka secara psikologis mampu menimbulkan kesan yang sangat mendalam dan membekas dalam emosi kejiwaan seseorang. Pengalaman ini akhirnya dapat membentuk sikap positif dalam kehidupannya. f. Kebudayaan Lingkungan Sekitar Lingkungan sangat berpengaruh dalam pembentukan sikap pribadi atau sikap seseorang. Kebudayaan lingkungan tempat kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Apabila dalam suatu wilayah mempunyai sikap menjaga kebersihan lingkungan, maka sangat mungkin masyarakat sekitarnya mempunyai sikap selalu menjaga kebersihan lingkungan. g. Informasi Kemudahan untuk memperoleh suatu informasi dapat mempercepat seseorang memperoleh pengetahuan yang baru. 4. Cara Mengukur Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2012) pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan pengetahuan. 11 B. Wanita Usia Subur Menurut Depkes RI (2009), wanita usia subur adalah semua wanita yang telah memasuki usia antara 15-49 tahun tanpa memperhitungkan status perkawinannya Wanita usia subur adalah wanita yang berusia 20-45 di mana organ reproduksinya sudah matang dalam segala hal, termasuk fungsi reproduksinya. C. Kanker Serviks 1. Pengertian Kanker Serviks Menurut Depkes RI (2010), kanker adalah pertumbuhan sel yang tidak normal/terus menerus dan tak terkendali, dapat merusak jaringan sekitarnya serta dapat menjalar ke tempat yang jauh dari asalnya yang disebut metastasis. Sel kanker bersifat ganas dan dapat menyebabkan kematian, dapat berasal/tumbuh dari setiap jenis sel di tubuh manusia. Leher rahim adalah bagian terendah dari rahim yang terdapat pada puncak liang senggama (vagina) yang hanya dapat dilihat dengan alat spekulum (berbentuk seperti mulut bebek). Kanker serviks atau kanker leher rahim adalah keganasan yang terjadi berasal dari sel leher rahim. Menurut Tilong A.D. (2012), kanker leher rahim atau yang disebut juga sebagai kanker serviks merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh HPV, mempunyai persentase yang cukup tinggi dalam menyebabkan kanker serviks, yaitu sekitar 99,7%. Kanker serviks adalah kanker pada serviks atau leher rahim, yaitu area bagian bawah rahim yang menghubungkan rahim dengan vagina (Emilia dkk, 2010). Kanker serviks adalah penyakit akibat tumor ganas pada daerah serviks (leher rahim) sebagai akibat adanya pertumbuhan jaringan yang tidak terkontrol dan merusak jaringan normal di sekitarnya (FKUI, 1990; FKKP, 1997 dalam Kumalasari dan Andhyantoro, 2012). 12 2. Penyebab Kanker Serviks Menurut Depkes RI (2009) hampir seluruh kanker leher rahim disebabkan oleh infeksi HPV / virus papiloma pada manusia. Virus ini relative kecil dan hanya dapat dilihat dengan alat mikroskop electron. Ada beberapa tipe HPV yang dapat menyebabkan kanker yaitu tipe 16 dan 18 (yang sering dijumpai di Indonesia) serta tipe lain 31, 33, 45, dan lain-lain. HPV ditularkan melalui hubungan seksual dan ditemukan pada 95% kasus kanker mulut rahim. Infeksi HPV dapat menetap menjadi displasia atau sembuh secara sempurna Kumalasari dan Andhyantoro, 2012). Menurut Kumalasari dan Andhyantoro (2012) tahapan perkembangan kanker serviks sebagi berikut: a. Displasia (ringan, sedang, berat). Lesi displasia sering disebut dengan “lesi prakanker” yaitu kelainan pertumbuhan sel yang perkembangannya sangat lambat. b. Displasia kemudian berkembang menjadi karsinoma in-situ (kanker yang belum menyebar). c. Akhirnya menjadi karsinoma invasive (kanker yang dapat menyebar). Perkembangan displasia menjadi kanker membutuhkan waktu bertahun-tahun (7-15 tahun). 3. Faktor Resiko Kanker Serviks a. Hubungan Seks pada Usia Muda Menurut Fitria (dalam Martini, 2013) usia menikah kurang dari 20 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami perubahan sel-sel mulut rahim. Hal ini disebabkan oleh karena pada saat usia muda sel-sel rahim masih belum matang. Maka sel-sel tersebut tidak rentan terhadap zat-zat kimia yang dibawa oleh sperma dan segala macam perubahannya. Jika belum matang, saat ada rangsangan sel yang tumbuh tidak seimbang dengan sel yang mati, sehingga kelebihan sel ini bisa berubah sifat menjadi sel kanker. 13 b. Multipartner Seks Perilaku berganti-ganti pasangan seksual akan meningkatkan penularan penyakit kanker leher rahim. Risiko terkena kanker leher rahim meningkat 10 kali lipat pada wanita mempunyai teman seksual 6 orang atau lebih. Bukan hanya ini saja, bila seorang suami juga berganti-ganti pasangan seksual dengan wanita lain misalnya Wanita Tuna Susila (WTS), maka suaminya dapat membawa virus HPV dan menularkan kepada istrinya (Sukaca, 2009). c. Jumlah Paritas Paritas merupakan keadaan dimana seorang wanita pernah melahirkan bayi yang dapat hidup atau viable. Paritas yang berbahaya adalah dengan memiliki jumlah anak lebih dari 2 orang atau jarak persalinan terlampau dekat. Hal ini dikarenakan persalinan yang demikian dapat menyebabkan timbulnya perubahan sel-sel abnormal pada mulut rahim. Jika jumlah anak yang dilahirkan melalui jalan normal banyak dapat menyebabkan terjadinya perubahan sel abnormal dari epitel pada mulut rahim, dan dapat berkembang menjadi keganasan (Sukaca, 2009). d. Pemakaian Alat Kontrasepsi Menurut Hidayat (2001) pemakaian kontrasepsi oral dalam waktu lama lebih dari 4 atau 5 tahun dapat meningkatkan risiko terkena kanker serviks 1,5-2,5 kali. Kontrasepsi oral menyebabkan wanita sensitif terhadap HPV yang dapat meyebabkan adanya peradangan pada genitalia sehingga berisiko untuk terjadi kanker serviks. Pil kontrasepsi oral diduga akan menyebabkan defisiensi folat yang mengurangi metabolisme mutagen sedangkan estrogen kemungkinan menjadi salah satu kofaktor yang membuat replikasi DNA HPV (Martini, 2013). 14 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Abdullah dkk (2013) tentang Hubungan Pemakaian Kontrasepsi Hormonal dan Non Hormonal dengan Kejadian Kanker Serviks di Ruang D atas BLU. RSUP. Prof. Dr. R. D Kandou Manado, diperoleh bahwa dari 21 pemakai kontrasepsi hormonal 18 orang kanker serviks dan 3 orang tidak kanker serviks (pemakaian kontrasepsi hormonal menunjukan paling banyak responden yang kanker serviks dimana responden berada pada pemakaian kontrasepsi pil, dan paling sedikit pemakaian kontrasepsi suntik dan implant), sedangkan dari 21 pemakai kontrasepsi non hormonal 2 kanker serviks dan 19 tidak kanker serviks (pemakaian kontrasepsi non hormonal menunjukan paling banyak responden berada pada pemakaian kontrasepsi IUD dan paling sedikit system kalender dan kondom). Kesimpulan dari penelitian ini bahwa pada umumnya responden yang menggunakan kontrasepsi hormonal lebih berisiko terkena kanker serviks. e. Riwayat Perokok Menurut Rasjidi (2009) tembakau mengandung bahan-bahan karsinogen baik yang dihisap sebagai rokok/sigaret atau dikunyah. Asap rokok menghasilkan polycyclic aromatic hydrocarbon heterocyclic nitrosamines. Pada wanita perokok konsentrasi nikotin pada getah serviks 56 kali lebih tinggi dibandingkan di dalam serum. Efek langsung bahan-bahan tersebut pada serviks adalah menurunkan status imun lokal sehingga dapat menjadi kokarsinogen infeksi virus. Wanita perokok mempunyai risiko 2 kali lipat terkena kanker leher rahim dibandingkan wanita yang tidak. Lendir serviks wanita perokok mengandung nikotin dan zat lainnya yang terdapat dalam rokok. Zat-zat tersebut menurunkan daya tahan serviks. Tembakau merusak sistem kekebalan dan mempengaruhi kemampuan tubuh untuk melawan infeksi HPV pada serviks (Sukaca, 2009). 15 f. Nutrisi Antioksidan dapat melindungi Deoxyribonucleic Acid (DNA) dan Ribonucleic Acid (RNA) terhadap pengaruh buruk radikal bebas yang terbentuk akibat oksidasi karsinogen bahan kimia. Banyak sayur dan buah mengandung bahanbahan antioksidan dan berkhasiat mencegah kanker misalnya advokat, brokoli, kol, wortel, jeruk, anggur, bawang, bayam, tomat. Dari beberapa penelitian ternyata defisiensi asam folat (folic acid), vitamin C, vitamin E, beta karoten / retinol dihubungkan dengan peningkatan risiko kanker serviks. Vitamin E, vitamin C dan beta karoten mempunyai khasiat antioksidan yang kuat. Vitamin E banyak terdapat dalam minyak nabati (kedelai, jagung, biji-bijian dan kacangkacangan). Vitamin C banyak terdapat dalam sayur-sayuran dan buahbuahan (Rasjidi, 2009). g. Hygiene yang Buruk Menurut Rozi M.F. (2013) posisi alat vital sangat rentan terkontaminasi bakteri penyebab infeksi. Oleh karena itu dalam membersihkan kedua jalan kotoran (vagina dan anus), lakukanlah pembilasan dari arah depan ke belakang setelah buang air. Jika sedang menstruasi, gantilah pembalut paling lama empat jam, dan disaat tidak dalam menstruasi hindari menggunakan pantyliner karena akan meningkatkan kelembaban. Keadaan yang lembab ini akan mempengaruhi pertumbuhan bakteri jahat pada organ intim sehingga memicu terjadinya infeksi. Selain itu ketika terdapat virus ini pada tangan, lalu menyentuh daerah genital, virus ini akan berpindah dan dapat menginfeksi daerah serviks atau leher rahim. Cara penularan lain adalah di closet pada WC umum yang sudah terkontaminasi virus ini. Seorang penderita kanker ini mungkin menggunakan closet, virus HPV yang terdapat pada penderita berpindah ke closet (Rasjidi, 2009). 16 h. Memakai Pembalut Berdioksin Pembalut yang bisa mendatangkan kanker adalah pembalut yang mengandung dioksin. Tidak semua tisu atau pembalut wanita mengandung dioksin, tapi jika tidak waspada, ini dapat berakibat fatal bagi kesehatan. Dioksin merupakan senyawa yang tergolong karsionogenik. Dampak keracunan dioksin untuk jangka panjang adalah kanker dan aterosklerosis sehingga menaikkan angka kematian sampai 46% pada beberapa kasus (Rozi, 2013). Dioksin merupakan senyawa yang dapat mengacaukan system hormone yaitu dengan cara bergabung dengan koseptor hormon sehingga mengubah fungsi dan mekanisme genetis dari sel mengakibatkan kanker, menurunkan daya tahan tubuh, mengacaukan sistem saraf, keguguran kandungan, dan dapat mengakibatkan cacat kelahiran (birth deformity). Umumnya dioksin dihasilkan dari pembakaran sampah, hasil sampingan produk pestisida, pembakaran dari produk baja atau proses kimia suatu produk yang menggunakan chlor sebagai pemutih seperti kertas, plastik, bahan T-shirt dan sebagainya (Rozi, 2013). Zat dioksin juga termasuk hasil sampingan dari proses pemutihan (bleaching) yang digunakan pada pabrik kertas, termasuk pabrik pembalut wanita, tissue, sanitary pad dan diaper (pembalut untuk anak-anak). Wanita lebih suka menggunakan pembalut yang biasa dijual dipasaran saat menstruasi karena lebih praktis dibandingkan menggunakan kain flanel yang bisa dicuci ulang atau pembalut herbal, padahal hal ini sangat berbahaya karena kita tidak ketahui apakah pembalut tersebut mengandung dioksin atau tidak (Rozi, 2013). i. Perubahan Sistem Imun Menurut Rasjidi (2009) perubahan sistem imun dihubungkan dengan meningkatnya risiko terjadinya karsinoma serviks dihubungkan dengan penderita yang terinfeksi invasive. Hal ini dengan Human 17 Immunodeficiency Virus (HIV) meningkatkan angka kejadian kanker serviks prainvasif dan invasive. j. Pendapatan atau Status Sosial Ekonomi Menurut Nurwijaya (2010) tingkat penghasilan secara langsung berhubungan dengan standar hidup, para wanita berpendapatan rendah hampir lima kali lebih tinggi beresiko terkena kanker serviks daripada kelompok wanita yang berpendapatan lebih tinggi. Kemiskinan yang mengakibat ketidakmampuan mereka untuk mendapat pelayanan kesehatan yang baik dan tidak dapat membayar biaya-biaya tes kesehatan yang cukup mahal. k. Pendidikan Tinggi rendahnya pendidikan berkaitan dengan tingkat sosio ekonomi, kehidupan seks dan kebersihan. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Surbakti E (2004) dalam Melva (2008). Pendidikan mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian kanker serviks dengan kata lain penderita kanker serviks yang berpendidikan rendah merupakan faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya kanker serviks. l. Pekerjaan Menurut Teheru dan Hidayati (dalam Melva, 2008) terdapat hubungan antara kanker serviks dengan pekerjaan, dimana wanita pekerja kasar, seperti buruh, petani memperlihatkan 4 kali lebih mungkin terkena kanker serviks dibandingkan wanita pekerja ringan atau bekerja di kantor. Dua kejadian yang terpisah memperlihatkan adanya hubungan antara kanker serviks dengan pekerjaan. 18 Para istri pekerja kasar 4 kali lebih mungkin terkena kanker serviks dibandingkan para istri pekerja kantor atau pekerja ringan, kebanyakan dari kelompok yang pertama ini dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok sosial ekomoni rendah, mungkin standar kebersihan yang tidak baik pada umumnya faktor sosial ekomoni rendah cenderung memulai aktifitas seksual pada usia lebih muda. m. Umur Menurut Wijaya (2010) perempuan yang rawan mengidap kanker serviks adalah mereka yang berusia 35-50 tahun dan masih aktif berhubungan seksual (pervalensi 5 - 10%). Meski infeksi HPV seiring pertambahan usia, namun sebaliknya resiko infeksi menetap/persisten justru meningkat. Hal ini diduga karena seiring pertambahan usia terjadi perubahan anatomi /retraksi dan histology/ metaplasia. 4. Gejala Klinis Menurut Kumalasari dan Andhyantoro (2012) kanker serviks pada stadium dini sering tidak menunjukkan gejala atau tanda-tanda yang khas, bahkan kadangkadang tidak ada gejala sama sekali. Gejala yang mungkin timbul antara lain sebagai berikut: a. Nyeri pada waktu senggama dan pendarahan sesudah senggama. b. Keluar keputihan atau cairan encer dari vagina. c. Pendarahan sesudah mati menstruasi. d. Pada tahap lanjut dapat keluar cairan kekuningan, berbau, dan dapat bercampur dengan darah. Apabila gejala tersebut sudah muncul, biasanya kanker sudah dalam stadium lanjut. Untuk itu perlu segera diperiksakan ke dokter karena makin dini penyakit didiagnosis dan diobati, makin besar kemungkinan untuk disembuhkan. 19 5. Perkembangan Penyakit Kanker Serviks Menurut Emilia dkk (2012) perkembangan dari infeksi HPV onkogenik menjadi kanker serviks dapat terjadi apabila terjadi infeksi yang menetap dari beberapa sel yang terdapat pada serviks (sel epitel pipih atau lonjong di zona transformasi serviks). Perkembangan sel yang tidak normal pada sel epitel serviks dapat berkembang menjadi prakanker yang disebut juga sebagai Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN). Menurut Emilia dkk (2012) tahapan perkembangan sel-sel abnormal hingga menjadi kanker serviks adalah sebagai berikut: 1. Cervical Intraepithelial Neoplasia I (CIN I) atau Low Grade Squamous Intraepithalial Lesions (LSILs). Dalam tahap ini terjadi perubahan yaitu sel yang terinfeksi HPV onkogenik akan membuat partikel-partikel virus baru. 2. Cervical Intraepithelial Neoplasia II (CIN II) atau High Grade Squamuos Intraepithelial Lesions (HSILs). Dalam tahap ini sel-sel semakin menunjukkan gejala abnormal prakanker. 3. Cervical Intraepithelial Neoplasia III (CIN III). Dalam tahap ini, lapisan permukaan serviks dipenuhi dengan sel-sel abnormal. 4. Infeksi persisten dengan HPV onkogenik dapat berkembang menjadi Carcinoma In Situ (CIS) yaitu keganasan yang masih terlokalisir dan belum menembus sel barier. 5. Kanker serviks yang semakin invasive berkembang dari CIS yang tidak diobati atau dibiarkan sehingga berkembang dan menyebar ke bagian tubuh yang lain. 6. Stadium Kanker Serviks Menurut Tilong A.D. (2012), kanker serviks terbagi atas beberapa tingkatan atau stadium yaitu: 20 a. Stadium 0: Kanker serviks hanya ditemukan pada lapisan atas dari sel-sel pada jaringan yang melapisi leher rahim. Tingkat 0 juga disebut carcinoma in situ. b. Stadium 1: Kanker telah menyerang leher rahim di bawah lapisan atas dari sel-sel. Kanker serviks hanya ditemukan pada leher rahim. c. Stadium 2: Kanker serviks meluas melewati leher rahim ke dalam jaringanjaringan yang berdekatan dan ke bagian atas dari vagina. Kanker serviks tidak menyerang ke bagian ketiga yang lebih rendah dari vagina atau dinding pelvis (lapisan dari bagian tubuh antara pinggul). d. Stadium 3: Kanker meluas ke bagian bawah vagina. Kemungkinan kanker juga telah menyebar ke dinding pelvis dan simpul-simpul getah bening yang berdekatan. e. Stadium 4: Kanker serviks telah menyebar ke kandung kemih, rectum, atau bagian-bagian lain tubuh. 7. Manajemen Kanker Serviks Menurut Emilia dkk (2010) manajemen kanker serviks bisa dilakukan dengan berbagai macam cara yang meliputi operasi, pemberian kemoterapi, dan radiasi (terapi penyinaran). Operasi pada kanker serviks bertujuan untuk mengambil jaringan kanker. Kemoterapi dan radiasi bertujuan untuk mematikan sel-sel kanker. Kanker serviks dengan stadium di bawah IIA disebut kanker serviks yang operable, artinya dapat dilakukan prosedur operatif yang bertujuan untuk mengangkat tumor beserta rahim dan jaringan sekitarnya. Pada stadium IA (mikroinvasif), bila pasien masih menginginkan untuk masih dapat hamil lagi, bias dilakukan trakhelektomi, yaitu mengangkat seluruh rahim, sedangkan badan rahimnya masih dopertahankan. Bila pasien sudah lanjut usia atau sudah merasa mempunyai cukup anak, lebih bagus kalau dilakukan histerektomi simple, yaitu mengangkat seluruh rahimbeserta serviksnya (Emilia dkk, 2010). 21 Pada stadium IB dan IIA, akan dilakukan operasi histerektomi radikal, yaitu mengangkat seluruh rahim, kedua saluran dan indung telur, kelenjar getah bening, dan jaringan disekitar serviks. Setelah dilakukan histerektomi radikal, akan dilanjutkan dengan pemberian kemoterapi dan terapi penyinaran. Untuk pasien kanker serviks dengan stadium lanjut (IIB ke atas) sudah digolongkan dalam kanker serviks yang inoperable, artinya tidak perlu dilakukan prosedur operasi, karna hasilnya tidak akan berbeda bila pasien tersebut dilakukan operasi terapi berupa pemberian kemoterapi dan radiasi, atau tanpa operasi dan dilanjutkan kemoterapi dan radiasi (Emilia dkk, 2010). D. Tindakan Pemeriksaan Kanker Serviks 1. Konsep Tindakan Menurut Notoatmodjo (2012) tindakan adalah mekanisme dari suatu pengamatan yang muncul dari persepsi sehingga ada respon untuk mewujudkan suatu tindakan. Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbedaan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Di samping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain, misalnya suami atau istri, orang tua atau mertua sangat penting untuk mendukung praktik. Praktik ini mempunyai beberapa tingkatan: a. Respon Terpimpin (Guided Respons) Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh merupakan indikator praktik tingkat pertama. b. Mekanisme (Mecanism) Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktik tingkat kedua. 22 c. Adopsi (Adoption) Adopsi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya, tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran tindakannya tersebut. 2. Pemeriksaan Kanker Serviks Menurut Kumalasari dan Andhyantoro (2012) walaupun kanker serviks menakutkan, namun dapat dilakukan banyak tindakan pencegahan sebelum terinfeksi HPV atau pun kanker serviks salah satunya adalah dengan dilakukannya pemeriksaan sedini mungkin. Beberapa cara yang dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari antara lain sebagai berikut: a. Pemberian Vaksinasi Human Papiloma Virus (HPV). Saat ini ada vaksin yang digunakan untuk mencegah infeksi HPV yang menyebabkan kebanyakan kasus kanker serviks dan genital warts/kutil kelamin. Cara kerja vaksin ini dengan merangsang antibodi respons kekebalan tubuh terhadap HPV dimana antibody ditangkap untuk membunuh HPV sehingga virus HPV tidak dapat masuk ke leher rahim (serviks). Vaksin ini diberikan dalam tiga kali suntikan intramuskuler (pada otot lengan, pantat, atau otot bagian tubuh lain), selama enam bulan ke 0, ke 1 dan ke 6. Vaksin ini bias didapat dengan harga eceran sekitar Rp600.000-1,3 juta per dosis (Rp 1,8-3,9 juta untuk seri 3 dosis) (Emilia dkk, 2010). Menurut Emilia dkk (2010) vaksin telah diuji secara luas pada wanita usia 9 sampai 26 tahun. Idealnya, wanita harus mendapatkan vaksin sebelum aktif melakukan kontak seksual, yaitu sebelum kemungkinan terpapar HPV. Meskipun demikian, wanita yang telah aktif secara seksual juga masih dapat mendapatkan manfaat vaksin, tetapi dengan keuntungan yang lebih sedikit, karena mereka mungkin sudah terpapar jenis HPV yang menjadi target vaksin (misal HPV tipe 16 dan 18). 23 Vaksin HPV tidak dianjurkan untuk wanita hamil. Untuk saat ini, sebaiknya ibu hamil menunggu sampai kelahiran sebelum mendapatkan vaksin. Vaksin ini kurang efektif untuk mencegah penyakit terkait HPV pada perempuan yang sebelumnya telah terpapar salah satu jenis HPV atau lebih. Hal ini disebabkan vaksin tidak dapat mengobati infeksi HPV yang sudah ada dalam tubuh. Dengan kata lain, vaksin tidak memiliki efek kuratif/penyembuhan. Vaksin hanya memiliki efek preventif/pencegahan infeksi HPV sebelum seseorang mendapatkannya (Emilia dkk, 2010). Bahwa perlindungan vaksin dapat berlangsung lebih dari 6 tahun. Penelitian lebih lanjut sedang dilakukan untuk mengetahui apakah dibutuhkan booster (suntikan ulang) beberapa tahun setelah pemberian vaksin HPV untuk meningkatkan perlindungan. Vaksin ini tidak melindungi terhadap semua jenis HPV sehingga tidak 100% dapat mencegah semua kasus kanker serviks. Sekitar 30% dari kanker serviks tidak dapat dicegah oleh vaksin sehingga sangatlah penting bagi wanita untuk tetap melakukan skrining rutin (pap smear rutin). Juga vaksin tidak mencegah Infeksi Menular Seksual lainnya (IMS) yang bukan disebabkan virus HPV (Emilia dkk, 2010). Belum dapat diketahui bagaimana tingkat efektifitasnya, jika hanya mendapatkan satu atau dua dosis vaksin (suntikan tidak lengkap tiga kali). Untuk itu, sangatlah penting bahwa anak perempuan atau wanita mendapatkan tiga dosis vaksin secara penuh dan dalam waktu yang ditentukan. Vaksin ini juga telah dilisensi oleh FDA (Badan Pengawasan Obat, Amerika Serikat) dan disetujui oleh DCC (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, Amerika Serikat) sebagai vaksin yang aman dan efektif . Efek samping yang dapat timbul yang paling umum hanyalah rasa nyeri pada tempat suntikan diberikan (Emilia dkk, 2010). 24 b. Melakukan Pap Smear Test Menurut Tilong A.D. (2012) pap smear test atau papanicolaou smear diambil dari nama dokter Yunani yang menemukan metode ini, yaitu Goerge N. Papanicolaou, yang merancang metode mewarnai pulasan sampel sel-sel untuk diperiksa sekitar 50 tahun yang lalu. Pap smear test merupakan pemeriksaan leher rahim (serviks) menggunakan alat yang dinamakan speculum dan dilakukan oleh bidan ataupun ahli kandungan. Pemeriksaan ini bermanfaat mengetahui adanya HPV ataupun sel karsinoma penyebab kanker serviks. Menurut Tilong A.D (2012) Pap smear test cenderung murah, cepat dan bisa dilakukan di unit pelayanan kesehatan terdekat, seperti puskesmas, rumah bersalin, rumah sakit, klinik, praktik dokter, dan lain sebagainya. Pap smear test biasa dilakukan kapan saja, kecuali sedang haid, atau sesuai petunjuk dokter. Pap smear test, sebaiknya dilakukan 1 x setahun oleh setiap wanita yang sudah melakukan hubungan seksual. Menurut American Cancer Society dalam Kumalasari, Intan dan Andhyantoro, Iwan (2012) merekomendasikan Pap Smear Test pertama sekitar 3 tahun setelah melakukan hubungan seksual pertama atau pada usia 21 tahun. Setelah usia 21 tahun dengan petunjuk sebagai berikut: usia 21-29 tahun frekuensi sekali setahun Pap smear regular atau setiap 2 tahun menggunakan Pap Smear Test berbasis cairan, usia 30-69 tahun frekuensi setiap 2-3 tahun jika hasil 3 x tes normal secara berurutan, usia > 70 tahun frekuensi Pap Smear Test dapat dihentikan jika hasil 3 x tes normal secara berurutan dan Pap Smear Test normal selama 10 tahun. Menurut Tilong A.D. (2012) disamping kelebihan, pemeriksaan pap smear juga ada kekurangannya, yakni sampel yang diambil tidak dari seluruh bagian serviks sehingga ada bagian yang bisa saja tidak terdeteksi. Selain itu, pada 25 pemeriksaan pap smear kemungkinan tidak memperlihatkan kondisi sel yang sebenarnya dan mempunyai akurasi antara 80-90 %. c. Melakukan IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat) Menurut Kumalasari, Intan dan Andhyantoro, Iwan (2012) IVA merupakan singkatan dari Inspeksi Visual dengan Asam Asetat yaitu suatu metode pemeriksaan dengan mengoles serviks atau leher rahim menggunakan lidi wotten yang telah dicelupkan ke dalam asam asetat atau asam cuka 3-5 % dengan mata telanjang. Bila terdapat lesi kanker maka akan terjadi perubahan warna agak keputihan pada leher rahim yang diperiksa. Menurut Tilong A.D (2012), jika tidak ada perubahan warna maka dapat dianggap tidak ada infeksi pada serviks. IVA dilakukan hanya untuk deteksi dini. Jika terlihat tanda yang mencurigakan, maka metode deteksi lainnya yang lebih lanjut harus dilakukan. Metode tersebut memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan pap smear test yang selama ini lebih popular. Menurut Tilong (2012), adapun beberapa keunggulan metode IVA dibandingkan pap smear adalah sebagai berikut: (a) Tidak memerlukan alat tes laboratorium yang canggih (alat pengambil sampel jaringan, preparat, regen, mikroskop, dan lain sebagainya), (b) Tidak memerlukan teknisi lab khusus untuk pembacaan hasil tes. (c) Hasilnya langsung diketahui, tidak memakan waktu berminggu-minggu. (d) Sensitivitas IVA dalam mendeteksi kelainan leher rahim lebih tinggi daripada pap smear test (sekitar 75 %), meskipun dari segi kepastian lebih rendah (sekitar 85%). (e) Biayanya sangat murah (bahkan gratis bila di puskesmas). 26 E. Hubungan Pengetahuan Wanita Usia Subur Tentang Kanker Serviks dengan Tindakan Pemeriksaan Kanker Serviks Berdasarkan penjabaran tinjauan pustaka diatas dapat dikatakan bahwa dengan adanya pengetahuan yang dimiliki oleh Wanita Usia Subur tentang kanker serviks akan membentuk kecenderungan sikap positif yang tercermin dalam perilaku untuk melakukan tindakan pemeriksaan kanker serviks. Hal ini didukung oleh pernyataan bahwa pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang dan perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2012). Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Pondaag, dkk. (2013) tentang pengaruh pendidikan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan siswi tentang pencegahan kanker serviks di SMA Negeri 1 Manado, kepada 100 siswi didapat kesimpulan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara pendidikan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan siswi tentang pencegahan kanker serviks dengan nilai signifikan (0,000). Penelitian yang ini juga sejalan dengan penelitian Dewi (2010) tentang hubungan pengetahuan tentang kanker serviks dengan partisipasi wanita dalam program deteksi dini kanker serviks di Kel. Joho Kec. Mojolaban Kab. Sukoharjo yang dilakukan pada 155 sampel wanita usia subur dengan teknik analisis chi-square dengan tingkat kepercayaan 95%, menunjukkan bahwa dari 155 sampel didapatkan pengetahuan tentang kanker serviks baik (23,9%), cukup (50,3%), kurang (25,8%). Sedangkan partisipasi wanita dalam program deteksi dini kanker serviks tergolong tinggi (9%) dan rendah (91,9%). Kesimpulan dari penelitian ini didapatkan hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang kanker serviks dengan partisipasi wanita dalam program deteksi dini kanker serviks di Kelurahan Joho, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo, dengan nilai signifikansi p=0,000 < p=0,05. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang akan semakin mudah untuk melakukan deteksi dini kanker serviks. Penelitian serupa telah dilakukan oleh 27 Samuel dalam Sugiarsi (2011) yang hasilnya menyatakan bahwa perempuan memiliki pengetahuan yang terbatas tentang kankers serviks dan payudara akan berdampak pada praktik deteksi dini yang rendah. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Apriyanti (2014) tentang hubungan pengetahuan wanita usia subur tentang Pap Smear Test dengan kejadian kanker serviks di Puskesmas Tasikmadu Karanganyar. Penelitian dilakukan kepada 37 responden dengan teknik pengambilan sampel accidental sampling. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan wanita usia subur tentang pap smear dengan kejadian kanker serviks di Puskesmas Tasikmadu Karanganyar, dengan nilai p = 0,000. Penelitian ini didukung oleh penelitian Dewi, dkk. (2013) tentang hubungan tingkat pengetahuan dan sikap wanita usia subur dengan pemeriksaan IVA di Puskesmas Buleleng I. Penelitian ini dilakukan kepada 40 orang responden, dengan pendekatan cross sectional. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat hubungan positif antara tingkat pengetahuan dan sikap Wanita Usia Subur dengan pemeriksaan IVA di Puskesmas Buleleng I, dengan nilai p = 0,007. Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Artiningsih Ninik (2011) tentang hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap wanita usia subur dengan pemeriksaan IVA dalam rangka deteksi dini kanker serviks, kepada 100 responden diperoleh kesimpulan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan sikap Wanita Usia Subur dengan pemeriksaan IVA dalam rangka deteksi dini kanker serviks dengan nilai p = 0,000. 28 F. Kerangka Konsep Penelitian Skema 2.1 Kerangka Konsep Penelitian Variabel Bebas (Variabel Independent) Pengetahuan Wanita Usia Subur: 1. 2. 3. 4. 5. Pengertian Kanker Serviks. Penyebab Kanker Serviks. Faktor Risiko Kanker Serviks. Gejala Klinis Kanker Serviks. Tindakan Pemeriksaan Kanker Serviks. Variabel Terikat (Variabel Dependent) Tindakan Pemeriksaan Kanker Serviks: Pemberian Vaksinasi Human Papiloma Virus (HPV). Pap Smear Test. Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA). G. Hipotesis Ha: Ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan wanita usia subur tentang kanker serviks dengan tindakan pemeriksaan kanker serviks di Dusun II B Desa Tanjung Gusta Kecamatan Medan Sunggal Tahun 2014.