Tinjauan Pustaka Emboli Durante Operasi Pradana Bayu R, Jati Listiyanto P Bagian / SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran UNDIP / RSUP Dr. Kariadi Semarang A. PENDAHULUAN Emboli adalah hambatan pada aliran pembuluh darah, hambatan yang dimaksud di sini bisa berupa gelembung udara, lemak, air ketuban atau darah yang menggumpal. Emboli yang muncul pada tubuh manusia dapat mengganggu organ tubuh karena kekurangan oksigen. Organ-organ vital tubuh manusia, seperti otak, jantung dan paru-paru, tidak bisa berfungsi dengan baik ketika pasokan oksigen terhambat. Pada otak, emboli menyebabkan stroke. Sedangkan pada paru-paru, emboli menyebabkan embolisme paru. Bukan hanya fungsi organ saja yang terganggu, namun terlalu lama kekurangan oksigen bisa membuat jaringan organ tersebut rusak secara permanen. Pulmonary Embolism atau emboli paru adalah peristiwa infark jaringan paru akibat tersumbatnya pembuluh darah arteri pulmonalis oleh peristiwa emboli. Keadaan ini dapat memberikan gambaran klinis dengan spectrum luas, mulai dari suatu gambaran klinis yang asimptomatik sampai keadaan yang mengancam nyawa berupa hipotensi, shock kardiogenik dan keadaan henti jantung yang tiba-tiba (sudden cardiac death) Penyebab utama dari suatu emboli paru adalah tromboemboli vena (venous thromboembolism), namun demikian penyebab lain dapat berupa emboli udara, emboli lemak, cairam amnion, fragmen tumor dan sepsis. Diagnosis utama suatu emboli paru dapat ditegakan dari penilaian gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang berupa foto thoraks, D-Dimer test, pencintraan ventilasi perfusi, CT angiografi toraks dengan kontras, angiografi paru, Magnetic Resonance Angiography, Duplx Ultrasound ekstremitas dan ekokardigrafi transtorakal. 1. Emboli Lemak Emboli lemak adalah sebuah proses dimana jaringan lemak masuk ke dalam aliran darah, yang ditandai dengan gejala klinis berupa sesak napas, demam, ruam ptekie, gangguan neurologis, gangguan pada ginjal. Emboli lemak terjadi ketika makroglobulin emboli lemak masuk ke dalam pembuluh darah kecil paru-paru dan organ lainnya, sehingga menghasilkan kerusakan endotel dan mengakibatkan kegagalan pernapasan, disfungsi otak, dan ruam ptekie. Penyebab tersering terjadinya sindrom emboli lemak yaitu fraktur tertutup dari tulang panjang Etiologi : Sindrom emboli lemak paling sering terjadi pada fraktur tertutup dari tulang panjang. Tetapi ada banyak penyebab lain, yaitu : Fraktur tertutup menyebabkan lebih banyak emboli dibandinngkan dengan fraktur terbuka. Tulang panjang, pelvis dan tulang rusuk lebih menyebabkan emboli dibandingkan sternum dan klavikula. Fraktur multiple menyebabkan lebih banyak terjadinya emboli. Prosedur ortopedi.4 Cedera jaringan lunak yang besar. Luka bakar yang parah. Biopsi sumsum tulang. Sedot lemak.5 fatty liver. Terapi kortikosteroid berkepanjangan. Pankreatitis akut. Osteomyelitis. Kondisi menyebabkan infark tulang, terutama penyakit sel sabit. Faktor Risiko : Usia muda Fraktur tertutup Fraktur multiple Terapi konservatif untuk fraktur tulang panjang Patogenesis : Emboli berasal dari lemak sumsum tulang dan jaringan lemak, kemudian melalui robekan vena masuk ke sirkulasi dan paru-paru, bersama gelembung-gelembung lemak melewati kapiler paru masuk ke sirkulasi sistemik dan menuju ke otak, ginjal, jantung dan kulit. Menurut penelitian menyatakan bahwa lemak netral merupakan sumber emboli kecil, yang merupakan penyebab utama gangguan metabolisme lemak. Pada trauma yang luas terjadi penurunan karbohidrat dan lemak secara cepat, berupa lipolisis pada jaringan lemak dan sejumlah besar asam lemak bebas. Akibatnya sejumlah besar asam lemak bebas ditranspor ke sirkulasi hati dimana terjadi sintesis dan sekresi lipoprotein dengan densitas rendah. Lipoprotein hati mengalami agregasi/ konjugasi dengan kalsium dan kolesterol, menarik trombosit dan menyebabkan perlambatan aliran darah dan terbentuk emboli. Proses ini menunjukkan asidosis dan respirasi metabolik. Emboli pada arteri paru tidak hanya menyebabkan obstruksi aliran darah, tetapi juga merusak dinding pembuluh darah, yang menyebabkan hemoragik multiple dengan fokus kecil yang menimbulkan hemoptisis, edema paru dan dispnea. Emboli lemak kemudian masuk ke sirkulasi sistemik. Patogenesis sindrom emboli lemak melibatkan obstruksi mekanik pada pulmo dan vaskular sistemik. Pada obstruksi mekanik pada paru terjadi diakibatkan oleh peningkatan tekanan intramedular setelah trauma sehingga sumsum lemak keluar melalui sinusoid menuju pulmo dan membentuk sumbatan pada kapiler pulmo. Teori biokimia menyatakan bahwa asam lemak bebas yang ada di sirkulasi akibat fraktur mengandung toksin dan menyerang pneumosit dan sel endotel pulmo yang mengakibatkan perdarahan interstisial, edema, dan pneumonitis kimiawi yang dapat disertai dengan syok, hipovolemi dan sepsis yang mengakibatkan pengurangan lairan darah ke hepar, hal ini memperburuk efek toksik asam lemak bebas. Gejala Klinis : Terdapat periode laten `dari 24 sampai 72 jam antara cedera dan onset gejala. Kemudian akan timbul :4 Sesak napas dan nyeri dada. Tergantung pada tingkat keparahan dan dapat berkembang menjadi kegagalan pernapasan dengan takipnea, peningkatan sesak napas dan hipoksia. Demam ( suhu lebih dari 38,3°C) dengan denyut nadi irregular Ruam ptekie biasanya di bagian anterior lengan, leher, mukosa mulut dan konjungtiva. Ruam bersifat sementara dan menghilang setelah 24 jam. Ruam ptekie pada tubuh bagian atas anterior, karakteristik sindrom emboli lemak. Gejala sistem saraf pusat ( mulai dari sakit kepala ringan sampai dengan disfungsi serebral yang signifikan seperti gelisah, disorientasi, kejang, pingsan atau koma) Renal ( oliguria, hematuria atau anuria) 2. Emboli Air Ketuban Emboli air ketuban atau Amniotic Fluid Embolism (AFE) merupakan suatu sindroma katrastrofik yang terjadi saat hamil maupun saat proses persalinan, atau segera setelah persalinan (Moore and Baldisseri, 2005; Toy, 2009). Emboli air ketuban adalah suatu gangguan kompleks yang secara klasik ditandai oleh terjadinya hipotensi akut atau henti jantung, hipoksia akut, dan koagulopati konsumtif atau pendarahan berat yang terjadi secara mendadak selama kehamilan, proses persalinan maupun segera setelah proses persalinan tanpa ada penyebab yang jelas (Toy, 2009). Pathogenesis AFE sampai saat ini masih belum jelas. AFE terjadi karena rusaknya barrier antara sirkulasi maternal dengan cairan amion. Mekanisme masuknya cairan amnion ke aliran darah sistemik ibu dapat terjadi melalui pecahnya selaput ketuban, rupture uteri, atau pecahnya pembuluh darah serviks. Cairan ketuban tersebut terdiri dari sel-sel kulit, lanugo dan rambut kepala, prostaglandin, zinc coproporphyrin, dan metabolit asam arakhidonat. Menurut Clark, manifestasi klinis dari AFE timbul akibat adanya antigen dari fetus yang menstimulasi terjadinya reaksi imun yang hamper mirip dengan reaksi anafilaksis (Toy, 2009; Moore and Baldisseri, 2005). Clark menyatakan tiga fase pathogenesis AFE yaitu : 1. Fase 1: Air ketuban dan sel-sel janin memasuki sirkulasi maternal dan menginduksi reaksi imun yang menyebabkan spasme arteri pulmonalis dan diikuti terjadinya hipertensi pulmonal. Akibatnya terjadi peningkatan tekanan di ventrikel kanan dan disfungsi ventrikel kanan, dan pada akhirnya dapat menyebabkan hipoksemia dan hipotensi yang berhubungan dengan kerusakan miokard dan disfungsi kapiler. Terpaparnya arteri pulmonalis oleh cairan amnion mengakibatkan terjadinya bronkospasme sehingga mengganggu pernafasan dan dapat menyebabkan sianosis. Hipotensi yang terjadi juga dapat menyebabkan syok. Fase ini terjadi dalam 30 menit. 2. Fase 2: fase ini terjadi jika fase 1 tidak ditangani, terjadi kegagalan jantung kiri dan edema paru. Adanya mediator inflamasi memicu terjadinya DIC sehingga terjadi perdarahan massif dan atonia uteri. Proses koagulopati ini dicetuskan oleh beberapa komponen procoagulan dari air ketuban, yaitu tromboplastin yang menginisiasi jalur ekstrinsik dari cascade pembekuan darah dan mengakibatkan aktivitas fibrinolitik yang berlebihan. 3. Fase 3: terjadi gangguan neurologis. Proses ini bila terus berlanjut dapat menyebabkan terjadinya kejang, penurunan kesadaran hingga koma. (Dedhia and Mushambi, 2007; Moore and Baldisseri, 2005; Mieczyslaw, 2011) Namun, pada tahun 2012, Mieczyslaw dan Waldemar melakukan penelitian dan menyatakan teori yang berbeda mengenai pathogenesis AFE. Mieczyslaw dan Waldemar menyatakan terdapat 4 teori yang menggambarkan proses terjadinya AFE, yaitu : 1. Teori mekanis Beberapa ahli berpendapat bahwa kolaps kardiopulmonal disebebkan karena emboli komponen dari cairan amnion di paru-paru, bukan diakibatkan karena reaksi imunologis seperti teori yang diungkapkan sebelumnya. Teori ini didapatkan berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan dasar pemeriksaan patomorfologi wanita melahirkan yang mati mendadak, dan penelitian eksperiment. Peneliti mendapatkan adanya fenomena emboli pada hewan dengan memberikan cairan amnion secara intravena pada hewan coba, namun fenomena emboli tidak tampak pada pemberian cairan amnion yang sudah difiltrasi. 2. Teori tromboplastic Reid, Weiner dan Roby 1953 mengungkapkan bahwa di dalam cairan amnion terdapat Tissue factor dalam konsentrasi yang tinggi. Ketika cairan amnion masuk ke dalam arteriol pulmonalis maka akan terjadi koagulasi intravascular, hipofibrinogenemia, dan perdarahan obstetric. Namun, penjelasan ini masih diragukan, sebab penelitian yang dilakukan ulang selama 20 tahun menunjukan bahwa kadar tissue factor dalam cairan amnion terlalu rendah untuk menginduksi terjadinya koagulopati. Sehingga sampai saat ini proses pasti terjadinya koagulopati masih belum diketahui. Walaupun demikian, timbulnya DIC pada pasien AFE memang dipengaruhi oleh tissue factor. 3. Teori leukotrien Dalam percobaan yang dilakukan pada binatang coba, menunjukan bahwa leukotrien mengakibatkan hipertensi pulmonal berat yang diikuti terjadinya hipotensi sistemik akibat efek inotropik negative, dan penurunan cardia output. 4. Teori integrasi Berdasarkan teori ini, emboli amnion akan memberikan efek melalui dua jalur : a. Jalur 1: jalur koagulasi intravascular dengan pembentukan microtrombi dan macrotrombi yang menyebabkan gangguan hemodinamik dan koagulopati konsumtif. b. Jalur 2: jalur leukotrien dan kaskade asam arakhidonat serta hasil metabolitnya meenyababkan vasokinstriksi pulmonal. Gangguan fungsi cardiopulmonal dapat disebabkan melalui jalur ini ataupun kedua jalur (Mieczyslaw and Waldemar, 2012). Gambar 2.1. pathogenesis AFE Perjalanan klinis AFE tidak dapat diprediksi. Meskipun sebagian besar kasus terjadi saat onset persalinan, beberapa insiden terjadi di luar persalinan. Beberapa kasus telah dilaporkan terjadi pada periode post-partum lambat, setelah kelahiran seksio cesarean, amniocentesis, abruptio plasenta, atau dengan aborsi terapeutik. Beberapa kasus juga berhubungan dengan trauma abdominal, cervical suture removal, ruptur uterus, atau intrapartum amnioinfusion (Moore and Baldisseri, 2005) . Manifestasi klasik AFE digambarkan sebagai dyspnea yang tiba-tiba, dan tidak terduga, kegagalan respiratorik, hipotensi yang diikuti oleh kolaps kardiovaskular, DIC dan kematian. Menurut Morgan, gejala klinik distress pernafasan terjadi pada 51% pasien, hipotensi 27%, abnormalitas koagulopati 12%, dan kejang 10%. Analisis Clarke’s national registry (1995) menunjukkan gejala klinik AFE yang terjadi sebelum persalinan adalah kejang (30%), dyspnea (27%), bradikardi fetal (17%), dan hipotensi (13%). Gejala klinik AFE yang terjadi setelah persalinan, 54% menunjukkan koagulopati yang mengakibatkan perdarahan postpartum (Dedhia and Mushambi, 2007; Gei et.al, 2003). Jika pasien bertahan hidup melewati fase kardiorespiratorik, 40%-50% akan masuk ke dalam fase kedua, yang dikarakteristik oleh koagulopati, perdarahan, dan syok. Pada fase kedua, gagal jantung kiri merupakan tanda yang jelas dan yang paling sering dilaporkan. Peningkatan tekanan kapiler pulmonal dan central venous pressure merupakan karakteristik edema pulmonal. Pada fase ketiga, gejala akut telah dilewati dan kerusakan terhadap sistim otak, paru-paru, dan ginjal telah terjadi. Pasien meninggal akibat kerusakan otak dan paruparu berat. Infeksi dan kegagalan multi organ dapat menyebabkan kematian (Toy, 2009; Dedhia and Mushambi, 2007) . Namun, sebelum onset tanda dan gejala maternal, perubahan inisial pada pola denyut jantung janin lebih dulu terlihat. Perubahan ini terjadi karena penurunan perfusi uterus yang mengakibatkan penurunan aliran darah plasenta akibat hipotensi maternal. Cadangan fetal yang diperlukan untuk menngkompensasi penurunan perfusi ini dengan cepat akan hilang dan janin akan menunjukkan tanda-tanda hypoxia-induced stress. Denyut jantung janin yang normal berkisar antara 110-160/menit dengan variabilitas 6-25/menit. Penurunan oksigenasi fetal akibat hipotensi dan hipoksia maternal akan menyebabkan non- reassuring pattern pada denyut jantung janin (Moore and Baldisseri, 2005; Toy, 2009) Kriteria cardinal emboli air ketuban dapat dilihat dalam table 2.1 (Toy,2009). Tabel 2.1. Kriteria kardinal emboli air ketuban 3. Emboli Udara Emboli udara adalah gelembung udara yang terperangkap dalam pembuluh darah dan mengakibatkan penyumbatan pada pembuluh darah. Emboli udara merupakan emboli yang paling sering terjadi pada prosedur pembedahan. Akan tetapi, gejala klinis yang ditimbulkan akibat emboli udara tersebut tidak spesifik, sehingga sulit mendokumentasikan insiden diagnosis emboli udara secara pasti.3 Insiden terjadinya emboli udara pada pasien bedah saraf berbedabeda, dimulai dari 10% sampai 80%. Sedangkan insiden pada pasien obstetri ginekologi yang dilakukan tindakan pembedahan mencapai 11% hingga 97%. Pada pasien yang menjalani laparoskopi insiden yang terjadi dilaporkan mencapai lebih dari 69%. Pada pasien bedah ortopedi sebanyak 57%, pada pemasangan kateter kurang dari 2%, dan pada pasien dengan trauma penetrasi ke dada diperkirakan insidennya mencapai 7%. Beberapa kasus emboli udara dilaporkan terjadi akibat barotrauma dan penggunaan alat penekan kantong infus. Pada penyelam yang menggunakan alat skuba, emboli udara adalah kecelakaan fatal kedua yang paling sering terjadi, insidennya adalah 7/100.000.2 Emboli udara terjadi setelah gelembung udara masuk ke dalam sistem vaskular, mengikuti aliran darah dan menyumbat pembuluh darah kecil. Emboli udara sebagian besar disebabkan oleh masalah iatrogenik yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas. 4 Emboli udara dapat terjadi pada sistem vena maupun arteri bergantung dimana udara masuk ke dalam sirkulasi sistemik.3 Emboli udara vena terjadi ketika udara memasuki struktur pembuluh vena dan berjalan melalui jantung kanan menuju ke sirkulasi pulmonal. Keadaan dimana udara masuk ke dalam sistem vena, seperti pada akses ke vena selama yang terdapat tekanan negatif pada pembuluh darah tersebut. Hal ini sering terjadi pada pemasangan kateter vena sentral, dimana menyebabkan tekanan negatif pada pembuluh darah thoracic yang disebabkan oleh respirasi. Emboli udara arteri terjadi ketika udara memasuki arteri dan berjalan hingga terjebak. Syarat udara yang memasuki sirkulasi tertutup, harus terdapat hubungan antara udara dan pembuluh darah dan terdapat gradien tekanan yang menyebabkan aliran udara masuk ke dalam pembuluh darah. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh gradien tekanan negatif, tetapi insuflasi tekanan positif juga dapat menyebabkan terjadinya emboli udara.3 Emboli udara vena memiliki potensi menjadi emboli udara arteri jika terdapat hubungan antara kedua sistem tersebut. Jika terdapat gradien tekanan dari kanan ke kiri, udara dapat mengalir dari sirkulasi vena menuju sirkulasi arteri. Sebagai contoh, jika pasien memiliki patent foramen ovale, dimana terdapat pada 30% populasi, hal ini menyebabkan udara mengalir dari atrium kanan bertekanan rendah menuju ke sistem arterial bila terdapat gradien tekanan.3 Emboli udara paling sering berupa ambient air, tetapi juga dilaporkan dapat berupa beberapa jenis gas, seperti helium, nitrogen, dan karbon dioksida. 3 Etiologi pertama dan utama adalah prosedur pembedahan yang lokasinya terletak di atas jantung, seperti prosedur bedah saraf. 4,5 Insidensi emboli udara sekitar 10% untuk tindakan laminektomi servikal dan 80% untuk tindakan bedah fossa posterior, prosedur obstetri, dan bedah ortopedi. Kedua adalah faktor iatrogenik yang menimbulkan perbedaan tekanan, sehingga udara bisa masuk ke dalam pembuluh darah, seperti pada pemasangan kateter vena sentral, kateter arteri pulmoner, kateter hemodialisis, dan penggunaan kateter sentral jangka panjang, seperti kateter Hickman. Ketiga adalah insuflasi mekanik atau sistem infus bertekanan, seperti pada bedah laparoskopi dan endoskopi gastrointestinal. Selain itu, udara dapat masuk melalui akses intravena (IV), seperti infus. Selang infus yang tidak terisi penuh oleh cairan infus akan meningkatkan risiko emboli udara. Jumlah udara yang masuk dipengaruhi oleh posisi pasien dan tinggi vena terhadap sisi kanan jantung.6 Infus paralel, dimana gravity infusions dan infusion pumps terhubung satu sama lain dan berinteraksi melalui infusion lines. Risiko terjadinya emboli udara meningkat ketika gravity infusion kering.7 (Gambar 1 dan 2) Keempat adalah penyelaman skuba, penerbangan, astronot (karena adanya disbarisme atau perubahan tekanan barometrik ambien) dan ventilasi tekanan positif.8,9,10 Gambar 1. Infus Paralel. Kombinasi gravity infusion dan infusion pumps meningkatkan risiko terjadinya emboli udara, ketika gravity infusion kering.6 Gambar 2. Beading (cairan-udara-cairan) pada Infus Paralel.6 Terdapat dua kondisi dimana emboli udara dapat terjadi, yaitu:11 1) Terdapat jalur komunikasi pada sistem pembuluh darah sehingga udara dapat masuk. 2) Gradien tekanan membantu jalur udara masuk ke dalam sirkulasi. Dua kondisi tersebut sering ditemukan pada prosedur dan penanganan pasien Intensive Care Unit (ICU).11 Penanganan khusus harus dilakukan untuk mencegah terjadinya emboli udara tersebut, yakni melalui kateter intravena dan arterial, kateter arteri pulmonal, dan kateter balon intratorakal.9,10 Faktor etiologi lain dari emboli udara, seperti trauma tumpul dan trauma penetrasi pada kepala dan dada.8 Tabel 1. Kondisi yang Berkaitan dengan Emboli Udara11 2.4. Patofisiologi Emboli udara dapat terjadi ketika pembuluh darah terbuka dan terdapat gradien tekanan yang mendukung masuknya gas. Tekanan sirkulasi di arteri dan vena lebih besar dari tekanan atmosfer sehingga embolus udara tidak selalu terjadi. Pada pembuluh darah di atas jantung, seperti di kepala dan leher, tekanannya kurang dari tekanan atmosfer sehingga risiko udara masuk lebih besar. Hal ini merupakan alasan seorang dokter bedah harus sangat berhati-hati ketika melakukan operasi pada otak, dan mengapa kepala tempat tidur dimiringkan ke bawah saat melepas kateter vena sentral dari vena jugularis atau subklavia.3 Ketika udara masuk pembuluh darah vena, udara bergerak ke sisi kanan jantung, dan kemudian ke paru-paru. Hal ini dapat menyebabkan pembuluh paru-paru konstriksi, meningkatkan tekanan di sisi kanan jantung. Jika tekanan naik cukup tinggi pada pasien dengan foramen ovale paten, gelembung gas dapat bergerak ke sisi kiri jantung, kemudian ke otak atau arteri koroner. Gelembung tersebut paling sering menyebabkan emboli udara.3 Trauma paru-paru juga dapat menyebabkan emboli udara. Hal ini dapat terjadi setelah pasien ditempatkan pada ventilator dan udara masuk ke vena atau arteri yang terluka, menyebabkan kematian mendadak. Tahan nafas ketika naik ke permukaan terlalu cepat pada keadaan scuba diving juga dapat menyebabkan udara paru-paru masuk ke dalam arteri paru atau vena dalam cara yang sama dikarenakan perbedaan tekanan.2 Udara dapat dimasukkan langsung ke pembuluh darah baik sengaja maupun tidak disengaja. Contohnya termasuk penyalahgunaan jarum suntik, kegagalan untuk mengeluarkan udara dari tabung pembuluh darah dari sirkuit hemodialisis, dan cedera industri yang disebabkan dari penggunaan udara terkompresi. Namun, jumlah udara yang akan diberikan oleh jarum suntik kecil tunggal, dalam banyak kasus, tidak cukup untuk tiba-tiba menghentikan jantung secara tiba-tiba, atau menyebabkan kematian tiba-tiba. Namun, gelembung tersebut terkadang mencapai sistem arteri melalui foramen ovale paten, seperti disebutkan di atas dapat menyebabkan kerusakan iskemik.3 Pada kasus yang jarang terjadi, emboli udara dapat disebabkan oleh udara yang masuk ke dalam aliran darah dari uterus atau robekan pada genitalia perempuan. Risiko ini lebih besar selama kehamilan. Kasus yang telah dilaporkan dihasilkan dari upaya untuk melakukan aborsi dengan penyuntikan. Selain pada kehamilan, emboli udara dapat juga terjadi pada kasus memasukkan benda ke dalam vagina selama masturbasi.3 Pada kasus gelembung udara di pembuluh darah serebral, gelembung udara mengobstruksi aliran pembuluh darah menyebabkan terjadinya iskemik distal. Obstruksi menyebabkan kegagalan dari proses metabolik. Natrium dan air memasuki pembuluh darah, menyebabkan edema sitotoksik. Permukaan dari gelembung udara menyebabkan tubuh mengaktifkan mekanisme respon imun selular dan hormonal. Secara mekanik, gelembung udara juga mengiritasi dinding endotel arteri. Kedua proses ini mengakibatkan edema vasogenik dan kegagalan perfusi. Kerusakan saraf tersebar melewati area obstruksi. 2 Faktor yang paling penting dalam menentukan mortalitas adalah jumlah udara yang memasuki aliran darah, kecepatan aliran udara saat memasuki aliran darah, dan posisi tubuh saat terjadinya embolisme. Masuknya udara secara cepat ke dalam sirkulasi dapat menyebabkan instabilitas hemodinamik. Dosis yang dianggap fatal adalah 300-500 ml udara atau 3-5 ml/kg dalam kecepatan 100 ml/detik, suatu kecepatan yang dapat diberikan dengan jarum kaliber 14 dan perbedaan tekanan antara udara dan darah vena yang hanya 5 cm H2O. Selain itu, pada pasien sakit berat, maupun pasien yang tidak stabil, dengan volume udara yang lebih kecil dapat berakibat fatal.2 Jika udara dalam dosis besar memasuki sistem vena dalam waktu yang cepat, maka hal tersebut dapat menyebabkan terperangkapnya udara di atrium dan ventrikel kanan sehingga dapat menimbulkan obstruksi aliran darah keluar dan akhirnya menyebabkan kematian. Jika udara masuk secara lambat pada ventrikel kanan, maka obstruksi terjadi di tingkat vaskularisasi pulmoner, sehingga terjadi vasokonstriksi dan hipertensi pulmoner.2 Udara dalam jumlah minimal masih dapat ditoleransi, karena udara dapat terserap dari sirkulasi. Namun, jika jumlah udara sudah berlebihan, maka ventrikel kanan tidak mampu lagi mengkompensasi, sehingga menurunkan curah jantung, terjadi syok, dan kematian.3 Efek fisiologis dari emboli udara vena mirip dengan emboli paru yaitu peningkatan tekanan arteri pulmonalis dan tekanan ventrikel kanan, peningkatan ventilasi atau perfusi, dan peningkatan dead space di alveolar.3 Akumulasi udara di ventrikel kiri menghambat pengisian diastolik, dan selama sistole dipompa ke dalam arteri koroner, mengganggu perfusi koroner. Udara yang masuk ke pembuluh darah dapat menyebabkan hipoksemia akut dan hiperkapnia. Perubahan akut pada tekanan ventrikel kanan adalah tegangan ventrikel, yang dapat menyebabkan gagal jantung kanan, penurunan curah jantung, ventrikel kanan iskemia, dan aritmia. Hal ini dapat diikuti oleh kolapsnya sirkulasi sistemik, dan bahkan kematian.3 Emboli tidak hanya menyebabkan penurunan perfusi daerah distal yang ,engalami obstruksi, tapi kerusakan tambahan hasil dari respon inflamasi bahwa inisiasi gelembung udara. Perubahan inflamasi ini dapat mengakibatkan edema paru, bronkospasme, dan meningkatkan resistensi saluran napas.3 Gambar 3. Emboli udara dalam pembuluh darah Gambar 3. Emboli Udara Dalam Pembuluh Darah Gejala yang dialami pasien emboli udara mulai dari asimtomatik sampai kerusakan kardiovaskular hingga kematian. Gejala yang paling sering adalah nyeri dada, dispnea, lightheadedness, nyeri bahu, nyeri dada, dan mual. Dispnea menyebabkan pasien melakukan inspirasi pendek dan paksa yang semakin meningkatkan tekanan negatif toraks dan menarik udara melalui sistem terbuka sehingga memperbesar emboli udara. Gejala lainnya yang lebih jarang terjadi adalah agitasi, iritabilitas, dan ansietas. Tanda-tanda emboli udara antara lain takipnea, takikardi, dan hipotensi. Manifestasi neurologis dari emboli udara dapat menyebabkan stroke.3 Diperkirakan bila udara lebih dari 5 ml/kg masuk ke dalam ruang intravena dapat menyebabkan kerusakan yang signifikan seperti syok dan cardiac arrest. Namun udara sebanyak 20 ml sudah dapat menimbulkan komplikasi. Injeksi 2-3 ml udara pada sirkulasi serebral dapat fatal, injeksi 0,5 ml udara pada arteri koroner LAD dapat menyebabkan ventikular fibrilasi. Pada dasarnya, semakin dekat suatu vena dengan ventrikel kanan, semakin kecil batas volume letalnya.3 Efek emboli udara bervariasi tergantung pembuluh darah yang terkena, oklusi pada sirkulasi otak dan jantung lebih signifikan karena kedua sistem ini sangat rentan terhadap hipoksia. Komplikasi kardiovaskular dapat terjadi akibat emboli arterial atau emboli vena, perubahan EKG yang terjadi adalah depresi ST dan peregangan jantung kanan akibat obstruksi arteri pulmoner. Gejala klinis gagal jantung kanan dan penurunan pengisian jantung dapat mengakibatkan distensi vena jugular dan edema paru. Emboli yang besar dapat mengakibatkan iskemi jantung, aritmia, hipotrnsi, dan henti jantung. Embolisasi pada arteri serebral dapat menimbulkan gejala konfusi, kejang, transient ischemic attack, dan stroke. Jika udara masuk ke ventrikel kiri dan aorta, udara dapat menyumbat arteri perifer dan menyebabkan iskemi.3 Penatalaksanaan : Penatalaksanaan sindrom emboli lemak untuk memastikan oksigenasi arteri yang baik. Laju aliran tinggi oksigen diberikan untuk mempertahankan tekanan oksigen arteri dalam batas normal. Pembatasan asupan cairan dan penggunaan diuretik dapat meminimalkan akumulasi cairan di paru-paru selama sirkulasi dipertahankan. Di sisi lain, pemeliharaan volume intravaskular sangat penting karena syok dapat memperburuk cedera paru yang disebabkan oleh sindrom emboli lemak. Albumin telah direkomendasikan untuk resusitasi volume di smping larutan elektrolit, karena tidak hanya mengembalikan volume darah, tetapi juga mengikat asam lemak dan dapat menurunkan tingkat cedera paru. Ventilasi mekanis dan tekanan ekspirasi akhir positif (PEEP) mungkin diperlukan untuk mempertahankan oksigenasi arteri. Terapi medikasi : Kortikosteroid dosis tinggi efektif dalam mencegah perkembangan sindrom emboli lemak. Dosis yang lebih rendah mungkin juga efektif.11 Terapi bedah : Stabilisasi bedah Prompt patah tulang panjang mengurangi risiko sindrom emboli lemak.12 Terapi untuk AFE tidak bersifat kausatif, tetapi suportif dan terfokus pada stabilisasi jantung dan paru ibu. Kebanyakan pasien akan dirawat di Intensive Care Unit (ICU) setelah dilakukan stabilisasi inisial. Tujuan utama terapi adalah menghindari terjadinya hipoksia berkelanjutan dan kegagalan organ. Prinsip utama dalam menangani kegawatdaruratan obstetric sama dengan gawatdarurat lainnya, yaitu prinsip ABC (Airway, Breathing, and Circulation). Perbedaan utamanya adalah perlunya untuk menangani ibu dan janin. Fetus harus dimonitor secara kontinyu untuk mendeteksi tandatanda adanya gangguan (Toy, 2009). Tujuan dari pemberian terapi pada AFE adalah mengembalikan hemodinamik normal maternal. Strategi penanganannya adalah meningkatkan oksigenasi, mendukung sirkulasi, dan mengoreksi koagulopati (Toy, 2009). Oksigenasi maternal dengan tekanan oksigen arterial > 60 mmHg harus dicapai dengan memberikan oksigen melalui face mask kepada seluruh pasien yang sadar. Intubasi trakea dan ventilasi mekanik menggunakan oksigen 100% harus dilakukan pada pasien dengan kejang atau koma (Dedhia and Mushambi, 2007; Toy, 2009). Resusitasi cairan penting untuk memperbaiki hemodinamik dan menangani hipotensi. Sedangkan untuk meningkatkan cardiac output dan menyokong tekanan darah, dapat diberikan dopamine, namun pada keadaan syok berat lebih baik diberikan epinefrin atau norepinefrin. Obat-obatan lain yang mungkin dapat berguna untuk hipertensi pulmonal berat antara lain nitric oxide (sebagai vasodilator pulmonal selektif), prostacyclin, dan sildenafil. Bila secara klinis memungkinkan, pemasangan iv line dan kateter arteri pulmonal dapat dilakukan untuk menyediakan akses sample darah untuk analisis sitologi air ketuban dan fetal debris (Toy, 2009; Moore and Baldisseri, 2005). Dalam kurang dari 4 jam, 50% pasien yang bertahan hidup melewati fase pertama akan mengalami DIC dengan perdarahan massif. Dengan demikian, produk-produk darah harus disiapkan sebelumnya, seperti packed red blood cells atau darah O-negative. Penanganan DIC memerlukan transfusi packed red blood cells dan produk-produk darah lainnya. Akses intravena diperlukan karena mungkin diperlukan transfusi massif. Platelets, cryoprecipitate, dan fresh frozen plasma harus diberikan sesuai prosedur berdasarkan hasil laboratorium prothrombin time, fibrinogen, fibrin dan fibrin degradation product (FDP). Karena terdapat hubungan antara kejadian koagulopati dan DIC dengan atoni uteri pada AFE maka terapi standar untuk menangani atoni uteri juga harus disiapkan, seperti obat-obatan uterotinika ataupun persiapan histerektomi jika perdarahan tidak dapat dihentikan (Moore and Baldisseri, 2005). Apabila AFE terjadi sebelum ibu melahirkan dan terjadi henti jantung, maka harus dilakukan resusitasi kardiopulmonal dan kompresi dada dengan memposisikan uterus ke sisi kiri untuk menghindari kompresi pada aorta dan vena cava inferior, agar tidak mengganggu aliran darah vena ke jantung. Pada kondisi ini fetus dalam bahaya sejak onset AFE terjadi akibat krisis kardiopulmonal maternal. Dengan demikian, segera setelah kondisi ibu stabil, kelahiran bayi harus segera dilakukan. Jika resusitasi ibu tidak berhasil, emergency bedside seksio cesarea diperlukan untuk menyelamatkan janin. Semakin segera fetus dilahirkan setelah maternal cardiopulmonary arrest maka semakin baik prognosis fetus. Kelahiran fetus meningkatkan kesempatan akan prognosis yang baik untuk ibu karena beban uterus gravid pada vena cava inferior berkurang sehingga dapat mengurangi penurunan tekanan darah sistemik (Dedhia and Mushambi, 2007). Namun, bagi ibu yang hemodinamikanya tidak stabil, tetapi belum mengalami henti jantung, pelaksanaan seksio caesaria justru dapat membahayakan kondisi ibu (Dedhia and Mushambi, 2007). Jika pasien dapat bertahan, beberapa organ tubuh lainnya mungkin telah mengalami gangguan fungsi sehingga harus dilakukan penatalaksanaa terhadap gejala sisa untuk mengurangi angka kecacatan pada sindrom ini (Moore and Baldisseri, 2005).