23 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Ikan Balashark Ikan Balashark atau silver shark mempunyai nama lokal di kalimantan Barat disebut Ketutung, di Kalimantan Tengah disebut ridik angus dan di Sumatra selatan (Banyu Asin) disebut Puntung Anyut. Ikan ini bergerak dengan lincah dan dalam kondisi stres dapat loncat mencapai 2 m. Sirip punggung yang lancip hampir menyerupai ikan hiu (shark). Sistematik ikan balashark menurut Saanin (1980) adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces Sub Kelas : Teleostei Ordo : Ostariophysi Sub Ordo : Cyprinidea Famili : Cyprinidae Sub Famili : Cyprinidae Genus : Balantiocheilus Spesies : Balantiocheilus melanopterus, Blkr Bentuk tubuh ikan balashark seperti ikan bandeng atau tawes, yang jantan mempunyai bentuk tubuh yang ramping. Tubuhnya berwarna silver dan setiap sirip ada garis berwarna hitam. Ukuran tubuh di alam dapat mencapai 24 inci ( 50 cm), sedangkan yang dibudidayakan hanya mencapai sekitar 14 inci (35 cm). Ikan balashark di Kalimantan Barat tepatnya di Sungai Kapuas sekarang sudah jarang ditemukan atau hampir punah sebaliknya di Musi Banyuasin Palembang Sumatra Selatan ikan balashark banyak ditemukan tepatnya di danau, rawa dan sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut dan pernah ditemukan di muara sungai. Induk balashark banyak ditemukan di hulu sungai dan akan memijah di perairan di sekitar sungai baik danau, hutan, rawa, dan anak sungai. Ikan balashark termasuk ikan omnivora yang merupakan pemakan cacing dan alga (pytoplankton dan zooplankton). Ikan balashark di alam melakukan pemijahan pada musim penghujan yaitu pada saat permukaan air naik menggenangi daerah sekitarnya. Induk balashark 24 memijah pada umur ± 3 tahun, dengan panjang standar 22 – 25 cm untuk betina dan 15 – 20 cm untuk jantan, dalam hal ini tergantung pada pakan dan lingkungan. Perbandingan pemijahan induk jantan dan betina 1 : 1. Pemijahan ikan balashark masih secara buatan dan dapat dilakukan bila diameter telur mencapai lebih dari 1,0 mm. Untuk merangsang pemijahan dengan penyuntikan 2 kali yaitu hormon ovaprin dan HCG . Penyuntikan pertama 1/3 dosis yang terdiri dari 0,15 ml ovaprin dan 50 iu HCG per kg bobot ikan dan dalam waktu 5 jam berikutnya penyuntikan kedua 2/3 dosis yang terdiri 0,35 ml ovaprin dan 250 iu HCG. Setelah 9 – 11 jam ikan yang disuntik akan ovulasi. Pematangan gonad ditandai dengan perubahan inti telur dari posisi tengah ke tepi dinding telur dalam hal ini telur siap untuk distriping (pengurutan) dan siap dibuahi oleh sperma, dalam waktu 13-16 jam setelah pembuahan maka telur akan menetas dan menjadi larva. Awal mulai makan dari umur sekitar 3 hari setelah menetas , yang sebelumnya sumber makanan dari kantong kuning telur. Benih balasahark memiliki bentuk tubuh sudah menyerupai dewasa dan dibutuhkan waktu sekitar 25 hari . Pada pemeliharaan benih balashark dengan ukuran lebih dari 1 inci dalam skala laboratorium dengan kondisi air stagnan (tidak mengalir) mortalitas dapat mencapai lebih dari 50 % selama pemeliharaan 2 – 3 bulan dengan kepadatan 1-2 ekor/liter. Tingginya mortalitas pada pemeliharaan benih diakarenakan ikan balashark mudah stres terhadap tingginya fluktuasi lingkungan. (Chumaidi et al 2007). Salinitas dan Osmoregulasi Salinitas didefinisikan sebagai konsentrasi total semua ion yang terlarut dalam air (Boyd, 1982). Salinitas menggambarkan padatan total di dalam air setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida telah digantikan dengan klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi (Effendi 2003). Salinitas dinyatakan dalam satuan gram/kg atau promil. Salinitas berhubungan erat dengan tekanan osmotik dan ionik air, baik air sebagai media internal maupun eksternal. Perubahan salinitas akan menyebabkan perubahan tekanan osmotik maupun tekanan ionik air. 25 Sifat osmotik air bergantung pada seluruh ion yang terlarut dalam air tersebut, dengan semakin besar jumlah ion yang terlarut di dalam air maka osmotik larutan akan semakin tinggi pula. Pada air laut yang semakin tinggi tingkat salinitas maka osmotik semakin tinggi. Kandungan air laut ion Na+ (30,61 %) dan (Cl- 55,04 %) dari total seluruh ion-ion yang terlarut di dalam air laut (Nybakken 1988). Salinitas (tekanan osmotik) media selain menentukan keseimbangan pengaturan tekanan osmose cairan tubuh, juga mempunyai pengaruh pada metabolisme, tingkah laku, kelangsungan hidup, pertumbuhan dan kemampuan reproduksi. Ikan-ikan air tawar mempunyai tekanan osmotik cairan internal (dalam tubuh) lebih besar dari tekanan osmotik eksternalnya (lingkungan), sehingga garam-garam dalam tubuh cenderung keluar sedangkan air cenderung masuk ke dalam tubuh. Hal sebaliknya terjadi pada ikan-ikan laut. Oleh sebab itu dibutuhkan proses pengaturan tekanan osmotik untuk mengontrol keseimbangan air dan ion-ion antara tubuh dan lingkungannya. Proses tersebut dinamakan osmoregulasi (Fujaya 1999). Tekanan osmotik cairan tubuh ikan atau organisme akuatik lainnya ditentukan oleh tingkat salinitas media sehingga ikan akan melakukan penyesuaian terhadap salinitas melalui proses osmoregulasi tersebut. Daya tahan hidup organisme dipengaruhi oleh keseimbangan osmotik antara cairan tubuh dengan air (media) lingkungan hidupnya. Pengaturan osmotik itu dilakukan melalui mekanisme osmoregulasi (Affandi & Tang 2002). Selanjutnya dikatakan bahwa organisme yang dipelihara pada media buatan mempunyai masalah karena tekanan osmotik air media hidupnya belum tentu seimbang dengan tekanan osmotik cairan tubuhnya. Organisme dituntut untuk menjaga keseimbangan osmotik dengan cara melakukan pengaturan tekanan osmotik cairan tubuhnya melalui regulasi osmotik. Sehubungan dengan mekanisme osmoregulasiya, organisme akuaik dibagi menjadi dua golongan (Nybakken 1988), yaitu : 1. Osmoconformer: adalah organisme yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengatur kandungan garam serta osmolaritas cairan internalnya. Osmoralitas cairan tubuh selalu berubah mengikuti kondisi osmolaritas medianya. 26 2. Osmoregulator : adalah organisme yang mempunyai mekanisme faali untuk menjaga kemantapan meillieu interleurnya dengan cara mengatur osmolaritas cairan tubuhnya (kandungan garam dan air) atau mengatur keseimbangan konsentrasi osmotik antara cairan intrasel dan cairan ekstrasel. Organisme dituntut untuk menjaga keseimbangan osmotiknya, dengan cara mempertahankan pengaturan tekanan osmotik cairan tubuhnya melalaui mekanisme regulasi osmotik. Regulasi adalah suatu homeostasis dari organisme untuk mengatur keseimbangan meillieu interleurnya yaitu antara volume air dan konsentrasi elektrolit yang terlarut dalam air media hidupnya. Tiga pola regulasi yaitu regulasi hipertonik (hiperosmotik), hipotonik (hipoosmotik) dan isotonik (isoosmotik). Ikan teleostei (bertulang sejati) air tawar mempunyai cairan yang bersifat hiperosmotik terhadap lingkunganya, sehingga air cenderung masuk ke dalam tubuh secara difusi melaui permukaan tubuh yang semipermiabel. Bila hal ini tidak dikendalikan maka menyebabkan hilangnya garam-garam dalam tubuh dan mengencernya cairan tubuh, sehingga cairan tubuh tidak dapat menyokong fungsi-fungsi fisiologik secara normal. Untuk mengatasi keseimbanagn tersebut dengan mengeluarkan air tersebut dengan berbagai cara. Ginjal akan mempompakan keluar kelebihan air tersebut sebagai air seni dan menahan garam-garam tubuh. Garam akan hilang bersama air seni (jumlah sedikit) dan difusi dari tubuh. Kehilangan garam ini dimbangi oleh garam-garam yang terdapat dalam makanan dan penyerapan aktif melalui insang dari media. Famili Ciprinidae mempunyai kemampuan yang kuat dalam mengatur osmoregulasinya pada lingkungan air tawar ataupun salinitas rendah, namun akan kehilangan kemampuannya pada salinitas tinggi. Pada umumnya organisme akuatik di laut mempunyai osmolaritas darah (tekanan osmotik cairan internal) berkisar antara 380 – 450 mosm/kg, sedangkan tekanan osmotik di media luar berkisar antara 800 – 1200 mosm/kg, sehingga air dalam tubuh akan senantiasa berdiffusi keluar (Boyd 1979). Ikan nila merah merespon tingkat kerja osmotik, pertumbuhan dan efisiensi pemanfaatan pakan terhadap perubahan tekanan osmotik (salinitas) media optimum berkisar antara 355,88 – 374,66 mosm/l H2O atau setara dengan salinitas antara 12,31 – 12,95 ppt (Syakirin 1999). 27 Peran Salinitas pada Sintasan Sintasan adalah daya hidup untuk bertahan, tumbuh dan berperan dalam habitatnya. Ikan akan hidup, tumbuh dan berkembangbiak pada habitat atau lingkungan dalam batas yang dapat ditolerir oleh ikan. Ikan-ikan air tawar mempunyai tekanan osmotik cairan internal (dalam tubuh) lebih besar dari tekanan osmotik eksternalnya (lingkungan), sehingga garam-garam dalam tubuh cenderung keluar sedangkan air cenderung masuk ke dalam tubuh. Oleh sebab itu dibutuhkan proses pengaturan tekanan osmotik untuk mengontrol keseimbangan air dan ion-ion antara tubuh dan lingkungannya. Proses tersebut dinamakan osmoregulasi (Fujaya 1999). Tekanan osmotik cairan tubuh ikan ditentukan oleh tingkat salinitas media sehingga ikan akan melakukan penyesuaian terhadap salinitas melalui proses osmoregulasi tersebut. Daya tahan hidup organisme dipengaruhi oleh keseimbangan osmotik antara cairan tubuh dengan air (media) lingkungan hidupnya. Apabila pada salinitas media rendah atau tinggi maka keseimbangan osmotik akan terganggu menyebabkan ikan stres yang pada akhirnya mengalami kematian. Hasil penelitian Damayanti (2003) menunjukkan bahwa benih gurame ukuran 0,3 gram yang dipelihara pada salintas 4 ppt (perlakuan 0, 4, 8 dan 12 ppt) menghasilkan tingkat kelangsungan hidup yang tertinggi 98,89 % sedangkan pada media air tawar adalah 70 % Peran Salinitas pada Pertumbuhan Pertumbuhan merupakan perubahan ukuran baik bobot, panjang dan organ dalam waktu tertentu. (Wootton 1995). Sedangkan menurut Watherlay (1972) pertumbuhan adalah pertambahan ukuran baik panjang, berat maupun volume sehubungan dengan perubahan waktu. Pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, faktor internal seperti genetik dan fisiologis misal kesehatan sedangkan faktor eksternal seperti pakan dan fisika-kimia air (suhu, oksigen terlarut, amonia dan kesadahan). Salinitas salah satu parameter kimia air dan hubungannya dengan pertumbuhan akan dijelaskan berikut ini. 28 Apabila salinitas media sama dengan tekanan osmotik cairan tubuh ikan atau mendekati isoosmotik maka fungsi sel akan berjalan normal termasuk laju metabolisme (katabolisme dan anabolisme). Katabolisme merupakan sintesa dan degradasi protein, lemak, dan karbohidrat dari pakan yang dikonsumsi. Dari proses katabolisme selanjutnya melalui sederet reaksi lain dalam siklus Kreb yang berlangsung di dalam mitokondria sel. Melalui fosforilasi aksi didalam sistem sitochrom merubah ADP menjadi ATP yang kaya akan energi. Sebagian energi akan dibelanjakan untuk perawatan ikan dan apabila kondisi mendekati isoosmotik maka energi tersebut bisa dialihkan untuk pertumbuhan. Apabila salinitas media sama dengan tekanan osmotik cairan tubuh ikan atau mendekati isoosmotik maka konsumsi pakan akan meningkat. Makanan yang dikonsumsi akan mengalami proses pencernakan dan penyerapan. Bagian makanan yang tidak dapat dicerna akan dibuang sebagai feses. Sedangkan zat makanan yang diserap akan mengalami proses katabolisme sehingga dapat dihasilkan energi bebas dan sebagian akan dijadikan bahan untuk menyusun sel-sel baru (pertumbuhan). Dengan meningkatnya konsumsi pakan maka metabolit dalam darah akan diambil kembali oleh sel untuk digunakan dalam proses metabolisme, akibatnya kadar metabolit darah menjadi berkurang. Kondisi ini merupakan sinyal yang akan ditangkap oleh reseptor yang memonitor kadar metabolik darah dan informasinya akan sampai ke pusat lapar pada hypothalmus, sehingga menyebabkan munculnya kembali rasa lapar. Dengan meningkat derajat lapar maka tingkat konsumsi pakan meningkat dimana pakan merupakan sumber energi guna pertumbuhan, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2. 29 Gambar 2. Alternatif alur pengaruh salinitas media terhadap pertumbuhan ikan (Affandi 2002). Hasil penelitian Hendaryani (2000) menunjukkan bahwa larva pangasius jambal umur 3 hari tumbuh media optimal pada salinitas 4 ppt (perlakuan 0, 4, 8 dan 12). Selanjutnya pada salinitas dan perlakuan yang sama benih gurame dengan bobot 0,3 g dan panjang rata 2,3 cm, laju pertumbuhan bobot maksimal sebesar 2,76 % dan panjang mutlak sebesar 2,47 cm (Damayanti 2003) Mineral Kalsium Mineral merupakan komponen dari eksoskeleton dan kofaktor beberapa jenis enzim, serta berperan dalam osmoregulasi dan aktivitas saraf. Ikan dapat memanfaatkan mineral terlarut dalam air (Wickins & Lee 2002). Kebutuhan kuantitas mineral adalah tidak tetap diantara individu suatu spesies dan kondisi lingkungan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan karakteristik kandungan konsentrasi 30 mineral yang terdapat pada air tawar dan air laut. Perbedaan kandungan konsentrasi ion yang terdapat pada air tawar dan air laut disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Perbedaan kandungan konsentrasi ion air tawar dan air laut Konsentrasi (ppm) Air Tawar* Air Laut# Ion ClNa 3-50 18.800 + 2-100 10.770 2- 1-100 2.715 1-70 1.290 4-100 412 0,2-10 380 2-300 - 180 67 - 26 - 8 0,1-3 - SO4 Mg2+ Ca 2+ + K HCO3 Br- - H3BO3Sr 2+ Fe2+ Sumber : * = Rump dan Krist (1992) dalam Effendi (2003) # = Gunter (1977) dalam Soewardi (2006) Kalsium tidak terdapat dalam bentuk bebas, namun berupa kation yang bermuatan dua ion positif (Piliang 2005). Kalsium mempunyai peranan penting dalam pembentukan jaringan tubuh terutama tulang atau eksoskeleton. Hal ini disebabkan 99% kalsium dalam tubuh terdapat dalam jaringan eksoskeleton atau tulang. Pengapuran pada kolam budidaya bertujuan untuk menetralkan ion Al, Fe, H, dan Mn, serta menambah unsur Ca dan Mg ke dalam perairan. Penetral utama dalam kapur yaitu karbonat (CO32-) yang menghasilkan OH-, sehingga akan merangsang perombakan bahan organik menjadi dipercepat. Wickins dan Lee (2002) mengemukakan bahwa adanya kandungan kapur yang tinggi di perairan dapat mempengaruhi pertumbuhan ikan. Menurut Wedemeyer (1996) perairan kolam budidaya intensif sebaiknya memiliki kesadahan pada kisaran 50-200 ppm setara CaCO3. Jumlah kalsium yang diperlukan tiap ikan berbeda Menurut Grizzie et al. (1985) dalam Boyd (1990) penambahan kalsium chloride akan meningkatkan 31 konsentrasi kalsium dikolam dari 20 mg/l hingga 40 atau 100 mg CaCO3/l kemudian meningkatkan kelangsungan hidup larva Stripped bass (Osteochilus hasselti) dari 16 % menjadi 80 % atau lebih. Kelangsungan hidup tertinggi pada pemeliharaan ikan nilem (Osteochils hasselti) dicapai pada konsentrasi kalsium 61,11 mg CaCO3/l (Sjafei et al 1998). Pada larva patin nilai pertumbuhan tertinggi pada tingkat kesadahan 75 mg/l CaCO3 (Nurhidayati 2000). Dalam osmoregulasi, keseimbangan osmotik antara cairan tubuh dan air media sangat penting bagi kehidupan hewan air. Fungsi biokimia mineral seperti ion Ca, Na dan Cl, pada spesies perairan sama dengan hewan daratan. Ion-ion secara aktif diserap tubuh melalui insang ketika terjadi proses penyerapan air. Kebutuhan energetik untuk pengaturan ion secara umum akan lebih rendah pada lingkungan yang mendekati isoosmotik, dengan demikian energi yang disimpan dapat cukup substansial untuk meningkatkan pertumbuhan (Imsland et al. 2003). Glukosa Darah sebagai Indikator Stres Stres didefinisikan sebagai sejumlah respons fisiologis yang terjadi pada saat hewan berusaha mempertahankan homeostasis. Homeostasis adalah keadaan stabil yang dipertahankan melalui proses aktif yang melawan perubahan. Homeostatis ini terjadi pada tingkat sel yaitu dengan pengaturan metabolisme sel, pengontrolan permeabilitas membran sel, pembuangan sisa metabolisme. Respon stres ini dapat berupa penurunan volume darah, penurunan jumlah leukosit, penurunan glikogen hati dan peningkatan glukosa darah(Affandi & Tang 2000). Perubahan lingkungan (enviromental changes) akibat perubahan salinitas dan kalsium perairan dapat mengakibatkan stres pada ikan. Bila ikan mengalami stres, ikan tersebut menanggapinya dengan mengembangkan suatu kondisi homeostatis yang baru dengan mengubah metabolismenya. Respons terhadap stres ini dikontrol oleh sistem endokrin melalui pelepasan hormon kortisol (Barton et al. 1980) dan katekolamin (Woodward 1982). Sandnes dan Wagbo (1991), diacu dalam Marzuqi et al. (1997) menyatakan bahwa akan terjadi peningkatan metabolisme glukosa pada tubuh yang dipicu oleh hormon kortisol dan katekolamin tersebut. 32 Menurut Baratawidjaja (2006) bahwa stres akut oleh saraf simpatis akan melepaskan katekolamin dan merupakan repons mayor sekresi glukokortikoid (GKS) atau kortisol. Lebih lanjut dikatakan bahwa stres dapat mempengaruhi sistem imum dan meningkatkan kerentanan terhadap penyakit dan infeksi. Stres menyebabkan peningkatan sekresi kortisol (glukokortikoid). Dengan demikian, stres dapat meningkatkan glukosa darah. Beberapa mekanisme yang berperan dalam mempertahankan kestabilan glukosa darah adalah glukoneogenesis, lipolisis, glikogenesis, dan lipogenesis. Homeostatis kadar glukosa dalam darah dipertahankan oleh beberapa mekanisme, yaitu mekanisme yang mengatur kecepatan konversi glukosa menjadi glikogen atau lemak yang disimpan, dan mekanisme yang mengatur pelepasan kembali dari bentuk simpanan untuk dikonversi menjadi glukosa yang masuk ke dalam darah. Oleh karena itu, dengan banyaknya mekanisme yang berperan dalam mempertahankan homeostatis glukosa darah, kestabilan glukosa darah menjadi sangat penting bagi kesehatan bahkan kehidupan (Piliang & Djojosoebagio 2000). Fisika Kimia Air Kelangsungan hidup ikan sangat dipengaruhi oleh nilai parameter fisika kimia air media tempat hidupnya. Bila kondisi fisika kimia air tidak sesuai dengan yang dibutuhkan, maka kelangsungan hidup ikan akan terganggu. Kualitas air dapat dinyatakan dalam berbagai parameter, yaitu parameter fisika seperti suhu dan parameter kimia seperti oksigen, amonia, kesadahan dan pH. Suhu air sangat mempengaruhi laju metabolisme dan pertumbuhan organisme perairan (Effendi 2003). Menurut Boyd (1982) bahwa laju biokimia akan meningkat 2 kali lipat setiap peningkatan suhu 100C. Suhu optimal bagi pertumbuhan ikan berkisar 28-320C. Nilai pH merupakan logaritma negatif dari aktivitas ion hidrogen. Ikan dapat hidup baik pada pH 6-9 (Boyd 1991). PH air akan berpengaruh terhadap nafsu makan ikan dan reaksi kimiawi di dalam air. 33 Stickney (1979) menyatakan bahwa kekurangan oksigen terlarut akan membahayakan organisme air karena dapat menyebabkan stres, mudah terkena penyakit dan bahkan kematian. Boyd (1982) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut sangat mempengaruhi metabolisme tubuh ikan. Konsentrasi oksigen yang dapat mendukung kehidupan organisme dalam perairan adalah mendekati atau diatas 3 ppm (Pescod 1973). Kadar oksigen yang terlarut bervariasi tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer. Kesadahan (hardness) adalah kation logam bivalen (valensi dua), kation-kation ini dapat bereaksi dengan anion-anion yang terdapat di dalam air membentuk endapan atau karat pada peralatan logam. Pada perairan tawar kation bivalen yang paling berlimpah adalah kalsium dan magnesium. Kalsium dan magnesium ini berikatan dengan anion penyusun alkalinitas yaitu bikarbonat dan karbonat. Kesadahan yang baik untuk menunjang kehidupan organisme perairan berkisar 20150 mg/l CaCO3 equivalen (Stickney 1979). Menurut Effendi (2000) dalam budidaya ikan parameter kesadahan bisa mencapai hingga 500 mg/L. Alkalinitas merupakan kemampuan perairan untuk menyangga asam atau kapasitas perairan untuk menerima proton pada perairan alami, berhubungan dengan konsentrasi karbonat (CO32-), bikarbonat (HCO3-) dan hidroksida (OH-) (Effendi 2003). Amonia merupakan produk hasil metabolisme ikan dan pembusukan senyawa organik oleh bakteri (Boyd 1982). Kandungan amonia sangat terkait dengan tingkat oksidasi di dalam air. Kandungan oksigen yang tinggi akan menyebabkan kandungan amonia menjadi rendah karena dioksidasi menjadi NO3 yang dapat dimanfaatkan oleh fitoplankton dalam proses fotosintesis. Konsentrasi amonia dalam air sangat tergantung pada pH, suhu dan salinitas. Jika pH atau suhu meningkat maka kandungan amonia akan meningkat relatif lebih tinggi daripada kandungan amonium, serta meningkatkan daya racunnya terhadap ikan. NO2 relatif lebih rendah daripada NH4+ pada perairan yang bersalinitas dan sadah (Stickney 1979). Toksisitas amonia meningkat dengan menurunnya kadar oksigen terlarut. Konsentrasi NH3 yang relatif aman untuk ikan adalah di bawah 0,1 mg/l (Effendi 2003).