BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) Menurut Anthony dan Govindarajan (2005) hubungan keagenan ada ketika salah satu pihak (prinsipal) menyewa pihak lain (agen) untuk melaksanakan suatu jasa. Teori keagenan juga disebut teori kontraktual yang memandang suatu perusahaan sebagai suatu perikatan kontrak antara anggota-anggota perusahaan (Jensen dan Meckling, 1986). Manajemen merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi kepentingan pemegang saham. Oleh karena itu manajemen diberikan sebagian kekuasaan untuk membuat keputusan bagi kepentingan pemegang saham (diskresi manajemen), sehingga manajemen wajib mempertanggungjawabkan semua kinerjanya kepada pemegang saham. Teori keagenan secara umum dibahas dua hal (Mahadwartha dan Jogiyanto, 2002) yaitu: (1) positive agency memfokuskan pembahasan mengenai hubungan antara pihak agen dengan prinsipal. (2) principal agent research membahas cakupan yang lebih luas yaitu mengenai semua hubungan atau konflik kepentingan antara satu pihak dengan pihak lainnya dimana pihak yang satu tidak melaksanakan instruksi atau perintah pihak kedua. Messier et al. (2006) menyatakan bahwa hubungan keagenan ini menimbulkan dua permasalahan, yaitu asimetri informasi dan konflik kepentingan. Asimetri informasi terjadi ketika manajemen mengetahui lebih banyak informasi serta keadaan di dalam perusahaan jika dibandingkan dengan 14 pemegang saham. Sedangkan konflik keagenan disebabkan oleh tindakan manajemen yang tidak selalu mementingkan kesejahteraan pemegang saham dan kedua belah pihak memiliki tujuan yang berbeda. Menurut Jensen dan Meckling (1976) ada dua jenis permasalahan yang ditimbulkan oleh asimetri informasi, yaitu: 1) adverse selection, adalah keadaan dimana pemegang saham tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen benar-benar didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai sebuah kelalaian dalam tugas. 2) moral hazard, yaitu permasalahan yang muncul jika manajemen tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja dan cenderung bertindak oportunis. Kontrak kerja akan menjadi optimal bila kontrak dapat fairness yaitu mampu menyeimbangkan antara prinsipal dan agen yang secara matematis memperlihatkan pelaksanaan kewajiban yang optimal oleh agen dan pemberian imbalan khusus yang memuaskan dari prinsipal kepada agen. Inti dari teori keagenan adalah pendesainan kontrak yang tepat untuk menyelaraskan kepentingan prinsipal dan agen dalam hal terjadi konflik kepentingan (Scott, 1997 dalam Purnami, 2011). Teori keagenan dilandasi oleh tiga buah asumsi (Eisenhardt, 1989) yaitu. 15 1) Asumsi tentang sifat manusia Manusia pada dasarnya memiliki karakteristik mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality), dan tidak menyukai risiko (risk aversion). 2) Asumsi tentang keorganisasian Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi sebagai kriteria produktivitas, dan adanya asumsi asimetris antara prinsipal dan agen. 3) Asumsi tentang informasi Sebuah informasi memiliki nilai yang dianggap dapat diperjualbelikan sehingga para pihak yang membutuhkan informasi perlu melakukan pengorbanan untuk memeroleh informasi tersebut. Teori keagenan memberikan landasan utama dalam kaitannya dengan penyediaan informasi mengenai aktivitas yang telah terjadi. Informasi merupakan salah satu cara untuk mengurangi ketidakpastian, sehingga sangat dibutuhkan pihak yang kompeten dalam menyediakan informasi berkaitan dengan risiko dan kemungkinan mengendalikan sifat opportunistic manajemen. 2.1.2 Mekanisme Untuk Mengurangi Masalah Keagenan Jensen dan Meckling (1976) mengidentifikasikan ada dua cara untuk mengurangi kesempatan manajemen melakukan tindakan yang merugikan pemegang saham, yaitu pemegang saham luar melakukan pengawasan (monitoring) dan manajemen sendiri melakukan pembatasan atas tindakantindakannya (bonding). Pada satu sisi, kedua kegiatan tersebut akan mengurangi 16 kesempatan penyimpangan oleh manajer sehingga nilai perusahaan akan meningkat sedangkan pada sisi yang lain keduanya akan memunculkan biaya sehingga akan mengurangi nilai perusahaan. Jensen dan Meckling juga menyatakan bahwa calon investor akan mengantisipasi adanya kedua biaya tersebut ditambah dengan kerugian yang masih muncul meskipun sudah ada monitoring dan bonding, yang disebut dengan residual loss. Beberapa mekanisme kontrol yang dapat digunakan untuk mengurangi masalah keagenan, meliputi: 1) mekanisme kontrol dengan monitoring Ada beberapa mekanisme untuk mengurangi kos keagenan. Berikut mekanisme-mekanisme kontrol dengan monitoring yang dapat dipakai untuk mengurangi masalah keagenan. (1) Pembentukan dewan komisaris Pembentukan dewan komisaris adalah salah satu mekanisme yang banyak dipakai untuk memonitor manajer. Dewan yang didominasi oleh anggota dari luar (independent board of director) akan dapat memonitoring manajemen lebih efektif. Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan direksi, anggota dewan komisaris lainnya serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat memengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen. (2) Pasar corporate control Manne (1967) menyatakan bahwa adanya pasar untuk corporate control dimana perusahaan yang menurun nilainya akibat adanya masalah 17 keagenan akan diambil alih oleh perusahaan lain. Hal ini merupakan mekanisme untuk mengurangi masalah keagenan. (3) Pemegang saham besar Model pengurangan masalah keagenan yang dibuat Jensen dan Meckling (1976) mengasumsikan bahwa pemegang saham terdiri dari investorinvestor kecil. Oleh karena itu biaya monitoring terhadap manajemen oleh para investor tersebut akan sangat besar sehingga mereka akan cenderung tidak melakukan monitoring. (4) Kepemilikan terkonsentrasi Mekanisme pengurangan kos keagenan yang agak mirip dengan mekanisme pemegang saham besar adalah mekanisme lewat kepemilikan yang lebih terkonsentrasi. Kepemilikan dikatakan lebih terkonsentrasi jika untuk mencapai kontrol dominasi atau mayoritas dibutuhkan penggabungan lebih sedikit investor. Dibandingkan dengan mekanisme pemegang saham besar, kepemilikan terkosentrasi memiliki kekuatan kontrol yang lebih rendah karena mereka tetap harus melakukan koordinasi untuk menjalankan hak kontrolnya. Namun pada sisi yang lain mekanisme kepemilikan terkosentrasi juga memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk memunculkan peluang bagi kelompok investor yang terkosentrasi untuk mengambil tindakan yang merugikan investor lain. (5) Pasar manajer Fama (1980) menyatakan bahwa masalah keagenan akan berkurang dengan sendirinya karena manajer akan dicatat kinerjanya oleh pasar 18 manajer, baik yang ada dalam perusahaan sendiri maupun yang berasal dari luar perusahaan. Persaingan di pasar manajer ini akan memaksa manajer bertindak sebaik mungkin untuk kemajuan perusahaan. 2) mekanisme kontrol dengan bonding Jensen (1986) melihat masalah keagenan dari sudut keterbatasan uang yang dapat digunakan manajer untuk kegiatan konsumtif. Jika kos keagenan ingin dikurangi maka free cash flow harus dikurangi terlebih dahulu. Dengan kata lain manajer harus menunjukkan kepada pemegang saham bahwa dia telah melakukan upaya menahan diri (bonding) dengan tindakan-tindakannya. 2.1.3 Kos Keagenan (Agency Cost) Adanya konflik kepentingan antara manajemen (agen) dan pemegang saham (prinsipal) mendasari adanya kos keagenan. Kos keagenan adalah biaya yang dikeluarkan untuk memonitor dan menjamin perilaku manajemen sesuai dengan tujuan dari pemegang saham. Teori keagenan mengatakan bahwa sulit untuk mempercayai bahwa manajemen akan selalu bertindak berdasarkan kepentingan pemegang saham, sehingga diperlukan monitoring dari pemegang saham (Copeland dan Weston, 1992:20). Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa terdapat tiga jenis kos keagenan. 1) Biaya Pengawasan (Monitoring Cost) Biaya ini merupakan biaya yang dikeluarkan oleh pemegang saham untuk mengawasi aktivitas dan perilaku manajer antara lain membayar auditor untuk mengaudit laporan keuangan perusahaan dan premi asuransi untuk 19 melindungi aset perusahaan, pembatasan anggaran, biaya untuk menetapkan rencana kompensasi manajer, dan aturan-aturan operasi 2) Biaya Ikatan (Bonding Cost) Biaya yang ditanggung oleh manajemen untuk menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa manajemen bertindak untuk kepentingan pemegang saham. Contohnya biaya untuk menyediakan laporan keuangan kepada pemegang saham, dan kelancaran dalam membayar bunga bank (Purnami,2011). 3) Residual Loss Biaya ini juga dikeluarkan oleh manajemen yang diakibatkan oleh pengambilan keputusan yang salah dan lolos dari pengawasan. Biaya ini didefinisikan sebagai kerugian atau penurunan tingkat kesejahteraan pemegang saham maupun manajemen setelah terjadinya hubungan keagenan. Contohnya adalah pengeluaran untuk perjalanan dinas dan akomodasi kelas satu (Purnami, 2011 ; Piramita, 2012). Menurut Crutchley and Hansen (1989) dalam Vivin (2005: 16) untuk mengurangi kos keagenan dapat dilakukan dengan cara, yaitu: 1) meningkatkan pembayaran dividen, yang akan meningkatkan jumlah modal eksternal. Pada saat jumlah modal eksternal meningkat, manajer akan diawasi oleh bursa, komisi bursa dan efek, dan investor luar. Lagi pula penggunaan dividen tersebut tidak memerlukan biaya. 2) meningkatkan penggunaan utang dalam pendanaan, karena utang mewajibkan perusahaan untuk membayarnya kembali, maka free cash flow yang tersedia 20 untuk manajer dalam melakukan tindakan-tindakan yang tidak semestinya menjadi terbatas. Berdasarkan beberapa studi empiris, pengukuran untuk kos keagenan dapat digunakan dengan proksi asset turnover (Ang et al. 2000; Faizal, 2004; Wang, 2010) dan selling and general administrative (Widanaputra dan Ratnadi, 2008; Purnami, 2011; Nanda, 2015). Dalam menjawab hipotesis pada penelitian ini digunakan dengan proksi selling and general administrative (SGA) untuk mereprensentasikan diskresi manajerial dalam menggunakan sumber daya perusahaan. SGA diukur menggunakan rasio antara beban operasional dengan penjualan, di mana beban operasional merupakan kebijakan manajemen yang dikeluarkan perusahaan. Peningkatan rasio SGA mencerminkan adanya pemborosan seperti jamuan serta fasilitas kantor yang digunakan untuk kepentingan pribadi. Semakin besar rasio SGA maka semakin besar pula kos keagenan perusahaan. Sedangkan untuk pengukuran kos keagenan dengan proksi asset turnover akan dilakukan analisis sensitivitas. 2.1.4 Struktur Kepemilikan (Ownership Structure) Menurut Iturragia dan Sanz (1998) struktur kepemilikan dapat dijelaskan dari dua sudut pandang yaitu pendekatan keagenan (agency approach) dan pendekatan ketidakseimbangan informasi (asymmetric information approach). Pendekatan keagenan menganggap struktur kepemilikan sebagai sebuah instrumen atau alat untuk mengurangi konflik kepentingan diantara berbagai pemegang klaim. Sedangkan pendekatan ketidakseimbangan informasi memandang mekanisme struktur kepemilikan sebagai suatu cara untuk 21 mengurangi ketidakseimbangan informasi antara insider dan outsider melalui pengungkapan informasi di pasar modal. Struktur kepemilikan saham mencerminkan distribusi kekuasaan dan pengaruh diantara pemegang saham atas kegiatan operasional perusahaan. Salah satu karakteristik struktur kepemilikan adalah konsentrasi kepemilikan yang terbagi dalam dua bentuk struktur kepemilikan yaitu kepemilikan terkonsentrasi dan kepemilikan menyebar. Kepemilikan terkonsentrasi merupakan fenomena yang lazim ditemukan di negara dengan ekonomi yang sedang bertumbuh seperti Indonesia dan di negara-negara continental Europe. Sebaliknya, kepemilikan yang menyebar (banyak pemilik dengan persentase kecil) hanya terjadi pada negara dengan perlindungan legal yang sangat baik terhadap pemegang saham yaitu di negara-negara Anglo Saxon seperti Inggris dan Amerika Serikat (La Porta dan Silanez, 1999). Dengan demikian, struktur kepemilikan perusahaan berbeda di setiap negara. Selain struktur kepemilikan terkonsentrasi dan menyebar, ada pula model struktur kepemilikan insider ownership dan outsider ownership. Insider ownership adalah saham yang dimiliki oleh pemilik perusahaan dan merupakan pengelola perusahaan yang bisa juga disebut dengan kepemilikan saham manajerial. Sedangkan outsider ownership adalah kepemilikan saham oleh pihak dari luar perusahaan, dalam penelitian ini diproksikan dengan kepemilikan saham oleh institusi dan kepemilikan saham oleh pihak asing. Struktur kepemilikan saham oleh pihak luar (outsider ownership) biasanya mempunyai persentase kepemilikan lebih 22 dari 50% sehingga mampu memengaruhi kondisi dan hasil kinerja serta memonitoring secara efektif. Adanya monitoring dari outsider ownership ini maka pihak manajemen dituntut harus mampu menunjukkan kinerja yang baik. Upaya manajemen untuk menunjukkan hasil kinerja yang optimal adalah dengan menyediakan informasi mengenai keuangan dan kinerja perusahaan. Outsider ownership memiliki kekuatan yang besar untuk menekan manajemen dalam menyajikan informasi secara tepat waktu, karena ketepatan waktu pelaporan akan memengaruhi pengambilan keputusan yang tepat. 1) Kepemilikan institusional Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan institusi lain (Tarjo, 2008). Mayoritas bentuk institusi adalah Perseroan Terbatas (PT). Perusahaan yang memiliki investor institusional mencerminkan bahwa perusahaan tersebut memiliki monitoring external sehingga dapat memonitor tindakan manajemen. Institutional shareholders dengan kepemilikan saham yang besar memiliki insentif untuk memantau pengambilan keputusan perusahaan (Barnae dan Rubin, 2005). Semakin besar kepemilikan institusi akan berdampak semakin besar pula kekuatan suara (votting) dan dorongan untuk memonitoring manajemen sehingga akan dapat mengoptimalkan nilai perusahaan. Curthley, et al (1999) menemukan bahwa monitoring yang dilakukan institusi mampu mensubstitusi kos keagenan, sehingga kos keagenan dapat diminimalisir. Gedajlovic dan Shapiro (2002) berpendapat bahwa kepemilikan saham oleh institusi akan mampu memberikan 23 pengendalian yang efektif bagi manajemen karena padatnya jaringan bisnis, utang, dan modal perusahaan. 2) Kepemilikan asing (foreign ownership) Kepemilikan asing adalah kepemilikan saham biasa (common stock) perusahaan yang yang dimiliki oleh perorangan, badan hukum, pemerintah, serta bagian-bagiannya yang berstatus luar negeri (Aryani, 2011). Menurut Anggraini (2011) kepemilikan asing merupakan kepemilikan saham yang dimiliki oleh perusahaan multinasional. Biasanya perusahaan yang sahamnya sebagian besar dimiliki oleh investor asing cenderung menghadapi masalah asimetri informasi yang disebabkan oleh hambatan geografis, budaya, dan bahasa. Investor asing menghadapi risiko yang cukup besar dalam berinvestasi di negara yang masih berkembang, termasuk risiko politik, risk bearing dan hukum di negara tersebut. La Porta, et al. (1999) mengungkapkan bahwa karena investor asing menghadapi risiko yang besar maka monitoring yang dilakukan oleh investor asing relatif lebih tinggi sehingga dapat memberikan tekanan terhadap perusahaan agar lebih efisien memanfaatkan sumber daya sehingga mampu mengurangi kos keagenan. Investor asing cenderung lebih pintar dan memiliki berbagai inovasi, sehingga perusahaan dengan kepemilikan asing akan memiliki pengetahuan lebih baik yang berdampak pada peningkatan nilai perusahaan. Menurut Almilia (2008), perusahaan yang memiliki investor asing dalam daftar shareholder-nya cenderung melakukan pengungkapan yang lebih luas, karena perusahaan tersebut memiliki teknologi yang cukup untuk menciptakan sistem informasi manajemen yang lebih efisien sehingga lebih mudah memberi akses dalam sistem 24 pengendalian intern. Perusahaan dengan kepemilikan asing juga akan memberikan pelatihan bagi tenaga kerjanya terkait dengan pekerjaan yang dilakukan dan berdampak pada efisiensi produktivitas perusahaan. 2.1.5 Free Cash Flow Free cash flow memberikan implikasi penting dalam konflik keagenan (Jensen, 1986). Manajemen bisa saja melakukan investasi dengan NPV negatif atau poor investment decision. Hal ini disebabkan karena ketika sebuah perusahaan dengan free cash flow yang besar dan tidak tersedia proyek yang menguntungkan, manajemen akan cenderung menyalahgunakan free cash flow dengan perilaku oportunistik. Contoh dari perilaku oportunistik adalah mengalokasikan sumber daya yang tidak efisien, perilaku konsumtif yang berlebihan, dan berinvestasi dengan NPV negatif sehingga akan membebankan pemegang saham (Piramita, 2012). Jensen (1986) mendefinisikan free cash flow sebagai arus kas bersih setelah dikurangi dengan kebutuhan untuk mendanai proyek dengan NPV positif. Sehingga perhitungan free cash flow dalam perusahaan adalah arus kas bebas dari aktivitas operasi dikurangi dengan pengeluaran modal dan pembayaran dividen. Menurut Metha dan Barbara (2011) free cash flow adalah adanya dana yang berlebih, yang seharusnya didistribusikan kepada pemegang saham dan keputusan tersebut dipengaruhi oleh kebijakan manajemen. Free cash flow inilah yang sering memicu timbulnya perbedaan kepentingan antara pemegang saham dan manajemen. Ross, et al., (1999) mendefinisikan free cash flow sebagai kas perusahaan yang dapat didistribusikan kepada kreditur atau pemegang saham 25 yang tidak digunakan untuk modal kerja (working capital) atau investasi pada aktiva tetap. Penggunaan free cash flow yang efisien adalah ketika perusahaan telah mendanai semua proyek dengan NPV positif dan kelebihan arus kas ini bisa didistribusikan kepada pemegang saham dengan pembelian kembali saham (treasury stock) dan pembayaran dividen (Crutchley dan Hansen, 1989). Dengan kata lain ketika kepentingan pemegang saham dan manajemen secara sempurna telah sejalan maka manajemen akan mendistribusikan semua free cash flow kepada pemegang saham (Mann dan Sicherman, 1991). 2.1.6 Leverage Sawir (2004:10) mengemukakan bahwa leverage keuangan adalah penggunaan sumber dana yang menimbulkan beban tetap keuangan. Beban tetap keuangan adalah bunga yang harus dibayar tanpa memerhatikan tingkat laba perusahaan. Perusahaan dinilai berisiko apabila memiliki porsi leverage yang besar dalam struktur modal, namun apabila perusahaan menggunakan leverage yang kecil atau tidak ada leverage maka perusahaan dinilai tidak dapat memanfaatkan tambahan modal eksternal yang dapat meningkatkan operasional perusahaan (Ozkan, 2001). Pendanaan melalui leverage dapat memberikan dampak dalam konflik dan kos keagenan. Dengan leverage, manajer akan mengoptimalkan penggunaan dana yang ada. Perusahaan yang memiliki jumlah leverage yang besar akan menimbulkan kesulitan keuangan serta risiko kebangkrutan. Leverage disini dapat 26 memberikan sinyal mengenai status kondisi keuangan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya. Adapun rasio pengelolaan utang dapat dikategorikan sebagai berikut (Sutrisno, 2001:217), yaitu: 1) rasio utang (debt to total asset ratio) adalah rasio total utang terhadap total aset. Rasio ini digunakan untuk menghitung persentase total dana yang disediakan oleh kreditur. 2) rasio utang dengan modal sendiri (debt to equity ratio) merupakan rasio yang membandingkan jumlah utang terhadap ekuitas. Rasio ini digunakan untuk melihat seberapa besar utang perusahaan jika dibandingkan ekuitasnya, sebaiknya besar utang tidak melebihi ekuitas. 3) rasio kemampuan membayar bunga (time interest earned) adalah rasio laba sebelum bunga dan pajak (EBIT) terhadap beban bunga. Rasio ini mengukur kemampuan untuk membayar beban bunga tahunan. 4) rasio kemampuan membayarkan beban tetap adalah rasio yang lebih luas cakupannya dari pada time interest earned karena mencakup kewajiban lease jangka panjang tahunan perusahaan. Leverage diukur menggunakan debt to total asset ratio (DAR) yang merefleksikan kemampuan perusahaan dengan menggunakan seluruh aset untuk membayar utangnya (Horngren et al. 1997). Semakin rendah debt maka semakin tinggi kemampuan perusahaan dalam membayar utang-utangnya. Rasio leverage bisa berarti buruk pada situasi ekonomi sulit dan suku bunga tinggi, karena perusahaan yang memiliki rasio utang yang tinggi dapat mengalami masalah 27 keuangan, akan tetapi selama perekonomian stabil dan suku bunga rendah maka dapat meningkatkan keuntungan perusahaan. Nilai rasio yang tinggi menunjukkan peningkatan risiko berupa ketidakmampuan perusahaan membayar semua kewajibannya. Rasio leverage yang besar dapat memengaruhi manajer dan menurunkan kos keagenan melalui ancaman likuiditas yang berdampak pada gaji personal dan reputasi manajemen (Yegon et al. 2014). Nilai DAR yang tinggi juga mengindikasikan, semakin besar jumlah aset yang dibiayai oleh utang, semakin kecil jumlah aset yang dibiayai oleh modal, semakin tinggi risiko perusahaan untuk menyelesaikan kewajiban jangka panjang, dan semakin tinggi beban bunga yang harus ditanggung perusahaan. Menurut Jurkus et al. (2011) melalui peningkatan utang atau leverage akan dapat meningkatkan monitoring eksternal oleh debtholder. Perusahaan dengan tingkat leverage rendah akan menanggung kos keagenan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki tingkat utang yang tinggi, sehingga antara leverage dengan kos keagenan memiliki hubungan terbalik (Byrd, 2010). 2.1.7 Kebijakan Dividen Kebijakan dividen adalah keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan (retairned earnings) guna pembiayaan investasi dimasa mendatang. Dividen diartikan sebagai pembayaran kepada pemegang saham oleh perusahaan atas laba yang dihasilkan. Kebijakan dividen merupakan keputusan yang sangat penting dalam perusahaan. Kebijakan ini akan melibatkan dua pihak 28 yang mempunyai kepentingan yang berbeda, yaitu pihak pertama para pemegang saham dan pihak kedua adalah manajemen. Kebijakan dividen menimbulkan kontroversi karena apabila pembayaran dividen ditingkatkan maka arus kas untuk pemegang saham akan meningkat dan menguntungkan pemegang saham, sedangkan alasan lainnya yaitu apabila pembayaran dividen ditingkatkan maka laba ditahan yang direinvestasi dan pertumbuhan masa depan akan menurun sehingga merugikan pemegang saham. Oleh karena itu, kebijakan dividen dikatakan optimal apabila mampu menyeimbangkan kedua hal tersebut. Pembayaran dividen dalam jumlah sekecil apapun masih lebih baik daripada tidak sama sekali. Menurut Crutchley dan Hansen (1989), peningkatan dividen diharapkan dapat mengurangi kos keagenan. Hal ini karena dividend payout ratio (DPR) yang besar sehingga menyebabkan rasio laba ditahan kecil. DPR yaitu perbandingan antara dividend per share (DPS) dengan earning per share (EPS). Terdapat beberapa teori mengenai kebijakan dividen menurut Brigham dan Houston (2011:211) sebagai berikut. 1) Dividend Irrelevance Theory (Teori Dividen Tidak Relevan) Teori ini menjelaskan tentang kebijakan dividen perusahaan tidak memiliki pengaruh terhadap nilai perusahaan maupun biaya modalnya yang dikemukakan oleh Merton Miller dan Franco Modiglani (MM). Teori MM menyatakan bahwa nilai perusahaan ditentukan pada kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba, bukan pada bagaimana laba tersebut didistribusikan dalam bentuk dividen maupun laba ditahan. Sehingga 29 kebijakan dividen tidak relevan untuk dipermasalahkan. Teori MM menjelaskan bahwa nilai perusahaan tidak dipengaruhi oleh besar kecilnya DPR, tetapi yang menentukan adalah profitabilitas dasar dan risiko usahanya. 2) Bird in the Hand Theory Teori ini mendukung hasil riset Gordon dan Lintner (1963) bahwa investor lebih menyukai dividen dibandingkan dengan capital gain. Dividen memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan dengan capital gain, sehingga investor akan merasa lebih aman untuk mengharapkan dividen saat ini dibandingkan menunggu capital gain di masa depan. 3) Tax Differential Theory Teori ini didasari atas perbedaan pajak antara dividen dengan capital gain. Pajak atas dividen diwajibkan pembayarannya pada tahun dividen tersebut diterima, sedangkan pajak atas capital gain tidak dibayarkan sampai saham dijual. Adanya keunggulan pajak dalam capital gain membuat investor lebih menyukai capital gain karena dapat menunda pembayaran pajak dibandingkan dengan pembagian dividen. 4) Clientele Effect Dinyatakan bahwa investor yang berbeda akan memiliki preferensi yang berbeda terhadap kebijakan dividen perusahaan. Kelompok investor yang membutuhkan penghasilan saat ini lebih menyukai DPR yang tinggi, begitupula sebaliknya kelompok investor yang tidak begitu membutuhkan 30 uang saat ini cenderung menyukai jika perusahaan menahan sebagian besar laba bersih perusahaan. Keputusan pembagian dividen ditentukan oleh pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Besar kecilnya dividen dapat dijadikan alat bagi pemegang saham untuk mengendalikan manajemen. Jumlah dividen yang dibayarkan akan meningkat seiring dengan meningkatnya kepemilikan (Wang et al. 2011) Dalam hal ini dividen berperan sebagai salah satu bentuk penawaran distribusi pendapatan, karena dengan pembayaran dividen pemegang saham melihat bahwa pengelola perusahaan sudah melakukan tindakan yang sesuai dengan keinginan pemegang saham sehingga dapat mengurangi konflik. Terdapat tiga jenis kebijakan dividen menurut Sundjaja dan Barlian (2003:387) yaitu: 1) kebijakan dividen rasio pembayaran konstan Kebijakan dividen yang didasarkan dengan persentase tertentu dari pendapatan yang dibayarkan kepada pemilik setiap periode. 2) kebijakan dividen yang teratur Kebijakan dividen yang didasarkan atas pembayaran dividen dengan rupiah yang tetap dalam setiap periode. Seringkali kebijakan dividen teratur digunakan dengan memakai target rasio pembayaran dividen. 3) kebijakan dividen yang rendah serta teratur dan ditambah ekstra Kebijakan dividen yang didasarkan pembayaran dividen rendah yang teratur, ditambah dengan dividen ekstra jika ada jaminan pendapatan. 31 Berikut berbagai faktor-faktor yang memengaruhi kebijakan dividen (Sundjaja dan Barlian, 2003:388). 1) Kebutuhan Dana Perusahaan Kebutuhan dana bagi perusahaan dalam kenyataanya merupakan faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan kebijakan dividen yang akan diambil. Arus kas perusahaan yang diharapkan, pengeluaran modal dimasa datang yang diharapkan, kebutuhan tambahan piutang dan persediaan, pola (skedul) pengurangan utang dan masih banyak faktor lain yang memengaruhi posisi kas perusahaan harus dipertimbangkan dalam analisis kebijakan dividen. 2) Likuiditas Likuiditas perusahaan merupakan pertimbangan utama dalam banyak kebijakan dividen. Karena dividen bagi perusahaan merupakan kas keluar, maka semakin besar posisi kas dan likuiditas perusahaan secara keseluruhan akan semakin besar kemampuan perusahaan untuk membayar dividen. 3) Kemampuan Meminjam Kemampuan meminjam dalam jangka pendek tersebut akan meningkatkan fleksibilitas likuiditas perusahaan. Selain itu fleksibilitas perusahaan juga dipengaruhi oleh kemampuan perusahaan untuk bergerak dipasar modal dengan mengeluarkan obligasi. Kemampuan meminjam yang lebih besar akan memperbesar kemampuan membayar dividen. 4) Keadaan Pemegang Saham 32 Jika perusahaan memiliki kepemilikan saham yang relatif tertutup, manajemen biasanya mengetahui dividen yang diharapkan oleh pemegang saham dan dapat bertindak dengan tepat. Jika hampir semua pemegang saham berada dalam golongan high tax (pajak yang lebih tinggi) dan lebih suka memeroleh capital gains, maka perusahaan dapat mempertahankan dividen payout ratio yang rendah. Untuk perusahaan yang jumlah pemegang sahamnya besar hanya dapat menilai dividen yang diharapkan pemegang saham dalam konteks pasar. 5) Stabilitas Dividen Bagi para investor faktor stabilitas dividen akan lebih menarik daripada dividend payout ratio yang tinggi. Stabilitas disini dalam arti tetap memperhatikan tingkat pertumbuhan perusahaan yang ditujukan oleh koefisien arah positif. Bagi investor pembayaran dividen yang stabil merupakan indikator prospek perusahaan yang stabil pula dengan demikian risiko perusahaan juga relatif lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang membayar dividen tidak stabil. 2.2 Hipotesis Penelitian 2.2.1 Pengaruh Free Cash Flow Terhadap Kos Keagenan Free cash flow dapat menimbulkan konflik kepentingan antara manajemen (agen) dan pemegang saham (prinsipal). Konflik keagenan dapat disebabkan oleh adanya free cash flow dalam jumlah yang besar sehingga memungkinkan manajemen untuk melakukan investasi yang tidak efisien serta menggunakannya untuk pengeluaran yang tidak perlu. Hal tersebut dikarenakan self-interest motive 33 dari manajemen. Richardson (2006) menyimpulkan bahwa free cash flow dapat meningkatkan kos keagenan. Manajemen yang berperilaku tidak mengutamakan kesejahteraan pemegang saham atau bertindak tidak sesuai dengan tujuan pemegang saham maka kos keagenan akan meningkat (Fosberg et al. 2003; Chu, 2011). Sesuai dengan pernyataan Jensen (1986) bahwa keberadaan free cash flow yang besar akan meningkatkan kos keagenan dikarenakan perilaku self-interest motive manajemen yang menyebabkan penurunan kesejahteraan pemegang saham. Dari uraian yang telah dijelaskan dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut. H1: Free cash flow berpengaruh positif terhadap kos keagenan. 2.2.2 Pengaruh Leverage Terhadap Kos Keagenan Afridian dan Yossi (2008) menyatakan bahwa dengan meningkatkan pendanaan melalui utang dapat mengurangi konflik keagenan. Perusahaan memiliki kewajiban untuk mengembalikan pinjaman dan membayar beban bunga secara periodik. Manajemen harus berusaha untuk meningkatkan labanya agar dapat memenuhi kewajibannya. Semakin besar utang yang dimiliki maka perusahaan harus memiliki jumlah kas yang lebih besar untuk membayar bunga serta pokok pinjaman yang menyebabkan jumlah dana menganggur di perusahaan menjadi kecil. Dari pihak pemegang saham, kebijakan peningkatan utang dapat mengurangi pengawasan terhadap manajemen karena debtholder sendiri akan melakukan pengawasan terhadap manajemen agar pinjamannya tidak disalahgunakan. Seperti yang dinyatakan oleh Jensen dan Meckling (1976) adalah 34 untuk menengahi konflik keagenan adalah dengan meningkatkan utang. Studi empiris sebelumnya dari Widanaputra dan Ratnadi (2008) mengenai pengaruh leverage terhadap kos keagenan memberikan hasil bahwa leverage mempunyai pengaruh negatif terhadap kos keagenan (agency cost). Dari penjelasan tersebut, maka penyusunan hipotesisnya sebagai berikut. H2: Leverage berpengaruh negatif terhadap kos keagenan. 2.2.3 Pengaruh Kepemilikan Institusional Terhadap Kos Keagenan Faizal (2004) menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki pemegang saham institusional yang besar mengindikasikan kemampuan perusahaan dalam memonitor kinerja manajemen, karena semakin besar kepemilikan institusional menyebabkan adanya efisiensi dalam penggunaan aset perusahaan, sehingga dapat mengurangi perilaku oportunistik manajemen. Sesuai dengan hasil riset Chrutcley, et al. (1999) bahwa kepemilikan intitusional dapat menurunkan kos keagenan dengan eksternal monitoring yang dilakukan oleh pihak institusional melalui votting. Dari penjelasan tersebut, maka hipotesis penelitiannya adalah. H3: Kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap kos keagenan. 2.2.4 Pengaruh Kepemilikan Asing Terhadap Kos Keagenan Perusahaan yang memiliki investor asing dianggap memiliki kinerja yang lebih baik. Investor asing juga lebih pintar dalam melakukan investasi. Menurut Porta, et al. (1999) karena investor asing menghadapi risiko yang besar dalam melakukan investasi lintas negara terutama 35 pada negara berkembang menyebabkan monitoring yang dilakukan oleh investor asing relatif lebih tinggi. Risiko yang dihadapi adalah risiko politik, risk bearing, dan hukum yang berlaku di negara tersebut. Perusahaan dengan kepemilikan asing yang besar akan terdorong untuk melaporkan atau mengungkapkan informasinya secara sukarela dan luas. Adanya keterbukaan informasi dapat mengurangi kos keagenan yang terjadi di perusahaan (Xiao et al. 2004). Dari uraian di atas dapat ditarik hipotesis penelitian yaitu sebagai berikut. H4: Kepemilikan asing berpengaruh negatif terhadap kos keagenan. 2.2.5 Pengaruh Kebijakan Dividen Terhadap Kos Keagenan Dalam pembagian dividen, penentuan besar kecilnya dividen merupakan salah satu indikator untuk mengendalikan jumlah kas yang dikelola manajemen. Semakin kecil jumlah kas yang ada di perusahaan akan dapat meminimalkan pengawasan yang dilakukan pemegang saham. Salah satu cara untuk mengurangi kos keagenan adalah dengan kebijakan dividen, hal ini sesuai dengan agency theory yang mengemukakan beberapa cara untuk mengurangi konflik keagenan (Afridian dan Yossi, 2008). Sependapat dengan Schooley et al. (1994) yang menyatakan kebijakan dividen dapat digunakan untuk menurunkan kos keagenan. Dari penjelasan di atas, maka penyusunan hipotesisnya sebagai berikut. H5: Kebijakan dividen berpengaruh negatif terhadap kos keagenan. 36