Pengelolaan Lingkungan Pasca-Amdal, Ukl/Upl

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Enteric Septicemia of Catfish (ESC)
Penyakit Enteric Septicemia of Catfish (ESC) pertama kali dikenal pada
tahun 1976 menyebabkan kematian pada benih channel catfish (Ictalurus
punctatus) di Alabama dan Georgia, USA (Hawke et al. 1998). Penyakit ESC
pertama kali diinformasikan pada tahun 1979 (Hawke et al. 1981; Hawke et al.
1998). Penyakit ESC disebabkan oleh infeksi E. ictaluri umumnya menyerang
jenis-jenis ikan lele terutama channel catfish (I. punctatus) (Hawke et al. 1998;
Inglis et al. 1993).
E. ictaluri menimbulkan penyakit yang menyebabkan kerugian ekonomi
cukup besar pada industri budidaya lele. Di daerah Mississippi, penyakit ESC ini
dilaporkan telah menyebabkan kematian sampai 47 % dari total produksi setahun
ikan channel catfish dan mengakibatkan kerugian ekonomi dalam jutaan dolar
(Hawke et al. 1998).
Semua isolat E. ictaluri yang berasal dari ikan channel
catfish delta Mississippi mempunyai profil plasmid yang sama (homolog),
sehingga bisa digunakan sebagai probe asam nukleat untuk menentukan
keberadaan bakteri pada ikan (Reid and Boyle 1989).
E. ictaluri ini juga berhasil diisolasi dari ikan hias air tawar termasuk
kelompok ikan Barbus.
E. ictaluri secara eksperimental pernah diinfeksikan
pada ikan Rainbow Trout, Salmon, dan beberapa jenis ikan Tilapia, tetapi secara
alami belum pernah dilaporkan terjadi wabah penyakit ESC pada ketiga jenis ikan
tersebut (Hawke et al. 1998).
Etiologi
Bakteri penyebab penyakit ESC diidentifikasi sebagai spesies baru, E.
ictaluri, dilaporkan pada tahun 1981 (Hawke et al. 1981; Hawke et al. 1998).
Dua dari tiga spesies yang termasuk genus Edwardsiella berkaitan dengan proses
infeksi pada manusia dan hewan. E. ictaluri merupakan agen penyebab enteric
septicemia pada channel catfish, sementara E. tarda merupakan patogen pada
hewan (ikan) dan manusia (Wong et al. 1989). Identifikasi E. ictaluri didasarkan
pada isolasi agen penyebab dan karakterisasi tes biokimia. E. ictaluri dengan
21
mudah dapat dibedakan dari E. tarda dari ketidakmampuannya untuk
memproduksi indol dan H2S (E. tarda mampu memproduksi keduanya).
Kedua spesies tersebut tidak saling bereaksi silang secara serologis (Shotts and
Plumb 1987).
Sistematika bakteri E. ictaluri menurut Holt et al. (1994) adalah sebagai
berikut :
Kingdom
Subkingdom
Phylum
Divisi
Kelas
Ordo
Subord
Famili
Genus
Spesies
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Eubacteria
Prokaryota
Proteobacteria
Protophyta
Schizomycetes
Pseudomonadales
Thiorhodaceae
Enterobacteriaceae
Edwardsiella
Edwardsiella ictaluri
E. ictaluri adalah bakteri fakultatif anaerob, batang Gram negatif (Gambar
1) termasuk famili Enterobacteriaceae (Holt et al. 1994). Karakteristik biokimia
E. ictaluri pertama kali digambarkan oleh Hawke et al. (1981), dan dipelajari
lebih lanjut oleh Waltman et al. (1986) dengan menguji 119 isolat E. ictaluri, dan
ditemukan 100% positif dalam pengujian metil red, nitrat reduktase, lisin
dekarbosilase, ornithin dekarbosilase dan katalase. Selain itu, hasil pengujian
menyatakan 100% negatif dalam pengujian sitrat, malonat, Voges-Proskauer,
phenylalanin, indol, arginin dihidrolase, sitokrom oksidase, β - galactosidase dan
hydrolyzing urea.
Gambar 1. E. ictaluri dengan pewarnaan Gram, berbentuk batang berwarna
merah (Sumber : Panigoro et al. 2005).
22
Karakteristik dari E. ictaluri adalah bergerak dengan flagella, tidak
berspora dan tidak berkapsul, batang, pleomorfik, Gram -, berukuran 0,75 – 2,5
µm, koloni kecil, bulat transparan, tidak berwarna, suhu optimum 28-30oC,
oksidase -, katalase +, H2S -, Indol - (dari tryptophan), fermentatif, 0/129 resistan,
lysin dekarboksilase +, arginin dihidrolase -, ornithin +, Gelatin -, Urea -, Citrate , VP -, Glukosa +, Inositol -, Sorbitol -, Rhamnose -, Mannitol -, Arabinose -,
Sukrose -, fakultatif anaerob (Austin and Austin 1987; Crumlish et al. 2002;
Anonim 2006a; Holt et al. 1994).
Masa inkubasi E. ictaluri adalah 36 - 48 jam, tampak sebagai koloni
nonpigmen yang halus, bundar (diameter 1-2 mm), cembung ramping sampai
keseluruhan tepi. Bakteri ini tumbuh lambat atau tidak sama sekali pada suhu
37oC (Anonim 2006a). Media yang lengkap untuk pertumbuhan E. ictaluri terdiri
dari 46 komponen, termasuk di dalamnya larutan garam basal, glukosa,
magnesium sulfat, iron sulfate, 6 trace metal, 4 nukleotida, 10 vitamin, dan 19
asam amino. Pertumbuhan optimal pada suhu 30oC dan pH 7,0 (Collins and
Ronald 1996)
E. ictaluri termasuk famili Enterobacteriaceae dengan karakterisik Gram
negatif, batang, sitokrom oksidase negatif, bergerak kuat pada suhu 25-30oC dan
tidak bergerak pada suhu tinggi.
Bakteri ini dapat memfermentasi dan
mengoksidase glukosa dengan memproduksi gas pada suhu 20-30oC. Terdapat
satu dari tiga plasmid yang berhubungan dengan E. ictaluri, fungsi plasmid ini
belum jelas tetapi penting dalam peningkatan resistensi antibiotika. Bakteri ini
akan tumbuh lambat di dalam kultur media, memerlukan 36 – 48 jam untuk
membentuk koloni pada BHI agar dengan suhu 28-30oC dan akan tumbuh lambat
atau bahkan tidak sama sekali pada suhu 37oC (Inglis et al. 1993).
Gejala Klinis
Ikan yang terinfeksi E. ictaluri seringkali terlihat berenang berputar-putar,
kepala ikan tersebut mengejar ekornya. Keadaan tingkah laku berputar (whirling
/kepala mengejar ekor) tersebut merupakan tanda adanya E. ictaluri pada otak
ikan. Ikan yang terinfeksi akan berenang menggantung dengan kepala di atas dan
ekor di bawah (Hawke et al. 1998).
23
Gejala klinis dari serangan bakteri ini adalah adanya ptekhie hemoragik
(Gambar 2) atau peradangan pada kulit di bawah mulut, operkulum (tutup insang)
dan perut ikan.
Lesio seringkali menjadi banyak pada kulit ikan dan berwarna
merah terang. Peradangan dan hemoragik juga terjadi pada dasar sirip, luka-luka
fokal merah pada bagian kutan berukuran kecil berdiameter 1-3 mm, luka tersebut
berada di posteriolateral badan. Pada ikan yang terinfeksi kronis, lesio terbuka
akan berkembang diantara tulang tengkorak bagian depan, belakang atau diantara
mata.
Ikan ini juga mengalami eksoptalmia, insang pucat dan pembesaran
abdomen (Inglis et al. 1993).
Gambar 2. Ptekhie hemoragik (tanda panah) pada permukaan tubuh channel
catfish (Ictalurus punctatus) yang terinfeksi E. ictaluri (Sumber :
Inglis et al. 1993)
Perubahan makroskopis PA akibat penyakit ESC ini diantaranya adalah
adanya timbunan cairan atau perdarahan pada rongga tubuh (Hawke et al. 1998;
Inglis et al. 1993). Hati terlihat berwarna pucat pada jaringan yang nekrosis atau
nampak burik berwarna merah dan putih (Gambar 3). Ptekhie hemoragik dapat
dijumpai pada jaringan otot, usus, dan lemak pada ikan. Usus terkadang berisi
cairan yang mengandung darah (Hawke et al. 1998). Ginjal dan limpa membesar,
limpa berwarna merah gelap.
Peradangan terjadi pada jaringan adipose,
24
peritoneum dan usus (Inglis et al. 1993).
Gambar 3. Hati channel catfish yang terinfeksi E. ictaluri nampak warna belang
putih (tanda kepala anak panah) (Sumber : Hawke et al. 1998).
Patogenesis
E. ictaluri dapat menginfeksi inangnya melalui hidung, saluran
gastrointestinal dan insang, kemudian akan menyebar ke organ tubuh melalui
bakteriemia akut. Sel bakteri akan difagositosis lebih efisien jika terdapat serum
antibodi anti-E. ictaluri (Nusbaum and Morrison 2002). Masuknya E. ictaluri ke
dalam channel catfish terjadi melalui jaringan epitel, termasuk saluran
gastrointestinal dan mukosa olfaktorius (Skirpstunas and Baldwin 2002).
Dua bentuk gejala klinis ESC pada channel catfish adalah ensefalitis
kronis dan septicemia akut (Anonim 2006a). Pada bentuk kronis, bakteri tersebut
setelah menginfeksi kantung olfaktorius akan menyebar sepanjang syaraf
olfaktorius
menuju
otak,
menyebabkan
peradangan
granulomatosa.
Meningoencephalitis ini menyebabkan tingkah laku ikan abnormal, berenang
lemah dan tidak beraturan. Pada tahap akhir penyakit ini, pembengkakan pada
dorsum kepala akibat proses peradangan mengikis jaringan ikat pada bagian ini.
Luka di kulit yang menembus tulang kranium menyebabkan terbentuknya lubang
pada tulang kranium sehingga penyakit ini disebut hole in the head disease
(Gambar 4) (Anonim 2006a; Inglis et al.1993; Noga 2000).
25
Pada bentuk akut, bakteri ini diduga menginfeksi melalui mukosa usus dan
menyebabkan bakteremia. Ikan yang terinfeksi memperlihatkan ptekhie
hemoragik pada sekitar mulut, kerongkongan dan bagian dasar dari sirip. Tandatanda umum adalah luka multifokal berdiameter 2 mm, lesio-lesio kutan
hemoragik berkembang menjadi luka tidak berpigmen, pucat, peradangan insang
tingkat sedang dan eksoptalmia. Hemoragik dan nekrosis fokal tersebar pada hati
dan semua organ internal lainnya.
Enteritis hemoragik, edema sistemik,
akumulasi cairan asites pada rongga tubuh, dan pembesaran limpa adalah tandatanda non-spesifik (Anonim 2006a).
Gambar 4. Channel catfish dengan lesio hole in the head yang disebabkan oleh
erosi pada tengkorak (tanda panah) (Sumber : Noga 2000).
Pada bentuk akut ini, kematian ikan terlihat pada hari 4 – 12 hari (Keskin
et al. 2004). Organ channel catfish yang terinfeksi berat E. ictaluri adalah ginjal
dan limpa yang mengalami nekrosis, hati mengalami edema dan nekrosis.
Karakteristik darah yang terinfeksi E. ictaluri adalah berkurangnya konsentrasi
hematokrit, hemoglobin, glukosa plasma dan protein plasma. Jaringan insang
interlamella mengalami proliferasi, kulit epidermis hilang, infiltrasi mononuklear
multifokal di antara serabut ototnya. Ikan lele yang terpapar E. ictaluri melalui
infeksi oral akan menyebabkan enteritis, hepatitis, nephritis interstitialis dan
26
miositis selama 2 (dua) minggu sejak infeksi.
gastrointestinal,
termasuk
ptekhie
atau
Ikan lele menunjukkan lesio
ekimosa
pada
mukosa
saluran
gastrointestinal dan distensi intestinal yang berhubungan dengan produksi gas.
Sel E. ictaluri dapat dijumpai dalam makrofag (Inglis et al. 1993 ; Noga 2000).
Enteritis, hepatitis, miositis dan nefritis interstitialis mulai timbul sebagai lesio
akut yang kemudian akan berkembang menjadi kronis aktif dan akhirnya menjadi
kronis (Noga 2000).
Epizootologi
E. ictaluri dapat bertahan hidup pada kolam berlumpur selama lebih dari
90 hari pada suhu 25oC. Bakteri ini mungkin bersifat karier dalam usus ikan
terinfeksi. E. ictaluri dapat dideteksi dengan fluorescent antibody dalam usus
burung pemakan ikan. Penyakit ESC merupakan penyakit musiman, terutama
terjadi pada akhir musin semi sampai awal musim panas dan mulai pada musim
gugur. Pola ini sesuai dengan suhu udara 20 – 27oC. Penyakit ini telah dapat
dideteksi setiap bulan. Pada penelitian channel catfish yang terinfeksi terjadi
mortalitas tertinggi pada suhu 25oC, terendah pada suhu 23oC dan 28oC, dan tidak
ada kematian pada suhu 17oC, 21oC atau 32oC (Inglis et al. 1993).
Penyakit ESC terjadi antara suhu 22 – 28 oC dengan puncak wabah terjadi
pada bulan Mei, Juni, September dan Oktober, dan menyebabkan kematian ikan
500 – 2.000 ekor per hari pada kolam yang berisi 80.000 – 1.000.000 ikan
(Francis-Floyd et al. 1987). Setelah beberapa tahun awal penemuan penyakit
ESC, telah dideteksi beberapa kasus penyakit. Dimulai awal tahun 1980, jumlah
isolat E. ictaluri mulai banyak ditemui. Sebagai contoh, pada tahun 1981 telah
dilaporkan terjadi 47 kasus di Southeastern USA, dan tahun 1985 terdapat 1042
kasus dimana 28 % di
Southeastern USA. Tingkat mortalitas populasi ikan
terinfeksi E. ictaluri bervariasi kurang dari 10 % sampai dengan lebih dari 50 %,
mulai dari benih sampai ukuran dewasa yang dipelihara di kolam air tergenang,
kolam air deras, kolam sistem resirkulasi dan karamba (Inglis et al. 1993).
27
Pengendalian
Penyakit ESC dapat dikontrol melalui kemoterapi dan/atau tindakan
profilaktik. Perawatan anti mikrobial yang paling sering digunakan adalah aplikasi
oral
dengan potentiated sulfonamide sulfadimethoxine ormethoprim atau
oksitetrasiklin, tetapi plasmid-mediated akan melawan antibiotik ini. Manajemen
untuk mengurangi stress pada ikan, penghentian makanan pada saat penyebaran
penyakit ESC terdeteksi dan vaksinasi merupakan cara pencegahan (Anonim
2006a). Copper sulphate dengan konsentrasi 2 mg/l juga dapat digunakan untuk
mencegah serangan E. ictaluri (Griffin and Mitchell 2207). Hasil penelitian dari
McGinnis et al. (2003) menunjukkan E. ictaluri sensitif terhadap florfenicol
(FFC) secara in vitro.
Saeed and Plumb (1986) telah melakukan penelitian vaksin untuk
serangan E. ictaluri, ternyata vaksin yang terbuat dari LPS (lipopolysaccharide)
E. ictaluri mampu meningkatkan imunitas inang terhadap serangan E. ictaluri.
Channel catfish mempunyai antibodi protektif setelah ikan-ikan tersebut terpapar
E. ictaluri (Vinitnantharat and Plumb 1993).
Diagnosis
Diagnosis definitif penyakit ESC memerlukan isolasi dan identifikasi E.
ictaluri di dalam target jaringan dengan gejala klinis yang menyertai.
Pada
bentuk akut, ginjal merupakan organ target, sementara pada bentuk kronis otak
merupakan target organ untuk isolasi (Noga 2000).
Untuk
mendeteksi
penyakit
ESC,
Shotts
and
Waltman
telah
mengembangkan media selektif untuk E. ictaluri, yaitu Edwardsiella Ictaluri
Agar (EIA), dapat digunakan untuk isolasi primer dan identifikasi presumtif
(Inglis et al. 1993).
Identifikasi penyakit ESC menggunakan pengujian
karakteristik biokimia, atau serologi dengan aglutinasi serum spesifik, fluorescent
antibody (FA), atau ELISA (Inglis et al. 1993; Hawke et al. 1998; Anonim 2006a)
atau PCR (Anonim 2006a). E. ictaluri juga dapat diidentifikasi dengan
menggunakan sistem miniatur test biokimia seperti Sistem Minitek (BBL
Microbiology System) dan sistem API 20E (Hawke et al. 1998).
28
Untuk menentukan intra dan interspesifik E. ictaluri dapat dianalisa
dengan menggunakan gel elektroforesis protein,
fatty acid methyl esters
(FAMEs) dan immunoblotting (Panangala et al. 2006).
Ikan Lele (Clarias sp.)
Sistematika ikan lele menurut Saanin (1968) adalah sebagai berikut :
Kelas
Subklas
Ordo
Subordo
Famili
Genus
Spesies
:
:
:
:
:
:
:
Pisces
Teleostei
Ostariophysi
Siluroidea
Clariidae
Clarias
Clarias sp.
Bentuk umum ikan lele adalah bulat memanjang dengan kepala pipih.
Mulut terminal dilengkapi dengan empat pasang sungut sekelilingnya, tubuh tidak
bersisik, kulit licin berwarna gelap atau coklat dengan bagian ventral yang lebih
terang. Sepanjang dorsal dan anal dilengkapi sirip lunak, sirip punggung hampir
bersambungan dengan sirip ekor (Saanin 1968).
Jenis ikan ini bersifat nokturnal yaitu aktif di malam hari, lebih suka
bersembunyi di balik batu atau tanaman air, mencari makanan di dasar perairan.
Sekalipun demikian ikan ini sekali kali harus keluar ke permukaan air untuk
mengambil oksigen. Ikan lele termasuk ikan karnivor atau juga omnivor yang
memangsa jenis ikan kecil, larva serangga atau hewan dasar lainnya. Ikan ini lebih
banyak menggunakan penciumannya daripada penglihatannya untuk mencari
makan (Saanin 1968). Ikan lele lebih menyukai tempat terbuka dengan suhu
berkisar antara 20-25ºC. Ikan lele disebut ‘Scavenger’ karena senang memakan
bangkai. Makanan tambahan seperti pelet juga di sukai lele (Lingga dan Susanto
1989).
Dari segi biologi ikan lele mempunyai daya tahan hidup yang tinggi,
sehingga dapat hidup dalam lumpur dan air dengan kandungan oksigen rendah,
asalkan tidak mengandung racun. Hal ini disebabkan karena ikan lele memiliki
alat pernafasan tambahan yang terdapat dalam ruang udara sebelah atas insang,
sehingga mampu mengambil udara secara langsung dari udara (Arsyad dan
Hadirini 1989). Alat pernafasan tambahan pada ikan lele bukan labirin seperti
29
yang dipunyai ikan gurame, sepat dan tambakan melainkan hanya berupa
beberapa lipatan kulit tipis yang menyerupai spons (arborescent) yang terdapat
dalam rongga diatas rongga insang serta melekat padanya (Soetomo 1987).
Kualitas Air
Air merupakan faktor yang paling penting dalam budidaya ikan. Bukan
hanya ikan lele, ikan-ikan lainpun untuk hidup dan berkembang biak memerlukan
air.
Karenanya, kualitas dan kuantitas air harus diperhatikan agar kegiatan
budidaya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Kualitas air adalah variabel
yang dapat mempengaruhi kehidupan lele. Variabel tersebut dapat berupa sifat
fisika, kimia dan biologi air. Sifat fisika air meliputi suhu, kekeruhan dan warna
air. Sifat kimia air adalah kandungan oksigen, karbondioksida, pH, amoniak dan
alkalinitas.
Sifat biologi meliputi jenis dan jumlah binatang renik. Beberapa
persyaratan sifat air untuk budidaya lele adalah suhu berkisar antara 20 – 30oC,
pH antara 6,5 – 8, DO sebesar 3 ppm, CO2 sebesar 15 ppm, N2 sebesar 102 %,
NH3 sebesar 0,05 ppm, NH4+ sebesar 8,80 ppm, NO2 sebesar 0,25 ppm, dan NO3
sebesar 250 ppm (Khairuman dan Amri 2005).
30
Download