Diterbitkan: Unit Penerbitan Fakultas Sastra Unud I }>JI~ I Volume XJII I Nomorl I Halaman 1 - 128 Denpasar Februari 2013 ISSN 0215-9198 ----···--·--·-···--------·------- . r"'ID PUSTAKA Jurnal llmu-Ilmu Budaya ISSN 0215-9198 JS.212.13 Volume XIII, Nomor l · Februari 2013 Terbit dua kali setahun pada bulan Februari danAgustus. Berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian dan kaj ian analitis-kritis bidang kebudayaan. ISSN 0215-9198 Ketua Penyunting Made Jiwa Atmaja Sekretaris Penyunting I Ketut Sudewa Penyunting Pelaksana IB. Putra Yadnya I Nyoman Suarka I Ketut Kaler Maria Maltidis Banda Mitra Bestari I Wayan Cika (Unud) I Dewa Putu Wijana (UGM) Nengah Bawa Atmadja (UNDIKSHA) Henricus Supriyanto (IKIP Negeri Surabaya) I Ketut Subagir.sta (IHDN Denpasar) Pelaksana Tata Usaha I Gusti Bagus Ngurah Antara, SE.,MM Alamat Penyunting dan Tata Usaha: Fakultas Sastra Unud Jln. Nias 13, Denpasar-Bali, Telp (0361) 224121, [email protected] Pustaka Jumal Ilmu-ilmu Budaya terbit pertama kali dengan nama Widya Pustaka Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pemah diterbitkan dalam media lain. Naskah diketik di atas kerta HVS kuarto spasi ganda sepanjang lebih kurang 20 halaman, dengan format seperti tercantum pada Petunjuk Bagi (calon) Penulis Pustaka di bagian belakang jurnal ini. Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk keseragaman fonnat, istilah dan tata cara lainnya. PJIB PUSTAKA Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya ISSN 0215-9198 Volume XIII, Nomor 1 • Februari 2013 DAFTARISI Kata Pengantar ........................................................................................ • !· • . • • iii MELACAKJEJAK GERAKAN TRANSNASIONAL REVOLUSIONER BERMOTIFKAN AGAMA DI INDONESIA I Gusti Ketut Gde Arsana Jurusan Antrpologi Fakultas Sastra Unud ................................ 1-18 BALI DAI.AM GLOBALISASI ABAD XVI-XX: DALAM PERSPEKTIF SEJARAH I Gde Parimartha Fakultas Sastra Universitas Udayana ......................................... 19-28 DIASPORA RUANG GLOBAL DI KAWASAN TURISTIK: DOMINASI NEOKAPITALISTIK ATAS IDENTITAS DAN RUANG BUDAYA LOKAL IGN A Eka Darmadi Program Studi Magister Kajian Budaya .................................... 29-45 TINJAUAN TENTANG SEMIOTIKA Ni Wayan Sartini Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Airlangga ................................................................... 46-57 "AKU" SANG DIRI DI DEPAN CERMIN LACAN (Kajian Psikoanalisis Puisi '~ku" Chairil Anwar) JiwaAtmaja Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Unud ....................... 58-70 Volume XIII, No. 1 • Febr..iari 2013 • • . FRASA NOMINA BAHASA INGGRIS KAJIAN KATEGORI, FUNGSI DAN MAKNA I Nengah Sudipa Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra Unud .......................... 71 - 85 KESAHIHAN DALAM KALIMAT IMPERATIF (Kajian Pragmatik Bahasa Jepang) Ngurah Indra Pradhana Program Magister Linguistik Jepang Fakulta::; Sastra Universitas Padjadjaran .................................... 86 - 91 IRAWAN: MUJIZAT BAGI SANG ARJUNA I Made Wijana Sastta Jawa Kuno Fakultas Sastra Unud ................................... 92 - 103 • A GLlMPSE ON ENGLlSHES: AMERICAN, BRITISH AND AUSTRALIAN ENGLISH I Gede Budiasa English Department, Faculty of Letters Udayana University ...................................................................... 104-114 • ABREVIASI DALAM BAHASA BAU : CARA MEMBACA DAN MEMAHAMI 'SINGKATAN DALAM NASKAH BERAKSARA BAU I K.etut Ngurah Sulibra Jurusart · Sastra Bali Fakultas Sastta Unud ................................ 115 -126 Pedoman Bagi Penulis UntukJurnal Ilmu-ilmu Budaya PUSTAKA .............................................................. 127 - 128 11 KATA PENGANTAR Studi kebudayaan, lebih khusus lagi studi agama di Indonesia yang menggunakan skala makro akan berhadapan dengan. masalah-masalah yang berkaitan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk, pandangan keagamaan yang cenderung tertutup clan eksklusif, globalisasi clan berbagai dampak yang ditimbulkannya. Studi yang dilakukan J.S. Furnivaal dalam Netherlands India: A Study of Plural Economy (1944), misalnya telah menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia pada masa Hindia-Belanda · merupakan suatu masyarakat majemuk, yakni suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada perbauran satu sama lain terutama di dalam suatu kesatuan politik. Di dalam kehidupan politik masa itu, tanda paling jelas dari masyarakat Indonesia yang majemuk adalah tidak adanya kehendak bersama di antara berbagai kelompok masyarakat yang ada. Masyarakat Indonesia masa kolonial, bila dilihat sebagai keseluruhan. Terdiri atas elemen-elemen yang satu sarna lain saling terpisah, masing-masing lebih merupakan kumpulan individu daripada sebagai kesatuan politik yang orgarus. Dalam bagian lain dari studinya itu, Furnivall juga menyatakan bahwa di dalam setiap masyarakat senantiasa terdapat konflik kf':pentingan antarberbagai kelompok dan dalam masyarakat majemuk seperti itu, konflik kepentingan itu menemukan sifatnya yang lcbih tajam, karena perbedaan-perbedaan ekonomi jatuh bersamaan dengan perbedaan rasial. Clifford Geertz tampaknya juga setuju dengan konsep masyarakat majemuk yang diajukan Furnivall, dan kemajemukan ini dilihatnya masih terbawa sampai ke masa pasca-kemerdekaan Indonesia (Clifford Geetz, The Integrative Revolution, dalam Clifford Geetz (ed) Old Societies and New Nations, 1963). Han ya Geertz melihat pluralisme masyarakat tidak lagi bersifat vertikal, karena situasi clan kondisi politik telah berubah, kekuatan politik. koloriial yang· menjaga status quo kemajemukan masyarakat Indonesia atas dasar perbedaan ras, akses dan kontrol pada kekuasaan politik clan ekonomi itu bersamaan dengan berakhirnya Perang Dunia Kedua, telah mengalami kehancuran. Sejak Indonesia merdeka, negara bangs a ini telah dihadapkan pada 111 Volume Xlll, No. 1 • Februari 2013 pluralisme horizontal, yaitu pcngelompokan masyarakat Indonesia yang lebih banyak diikat oleh apa yang disebut Geertz, ikatan-ikatan primordial, seperti ikatan-ikatan kekerabatan, ras, bahasa, daerah asal, agama clan suku bangsa. Primordial inila.h sebenarnya merupakan pengikat asli masyarakat Indonesia, clan· atas dasar. ikatan itulah pengelompokan-pengelompokan masyarakat Indonesia tumbuh clan berkembang, baik dalam organisasi-organisasi sosial informal clan formal, asosiasi-asosiasi, organisasi massa, pemerintahan, partai politik, maupun pada organisasi-organisasi yang bertujuan ekonomi. Tidak ada yang salah dalam kondisi masyarakat yang demikian itu, persoalan kemudian adalah ketika proses-proses kemajemukan itu, dipandang sebagai sesuatu yang telah selesai, certutup clan tidak mungkin berubah. Kondisi ini kemudian c{iberi tatnbahan masalah krusial ketika sporadis itu berhadapan dengan kekuatan globalisasi dan modernisasi. Dalam Konteks inilah kemudian I Gusti Ketut Gde Arsana dalam tulisrui "MelacakJejak Gerakan Transnasional Revolusioner Bermotifkan Agama di Indonesia" melihat gerakan keagamaan berhadapan dengan gerakan kapitalisme yang mendorong ideologi Barat. Ideologi kapitalisme itu, telah menciptakan manusia-manusia semu yang telah kehilangan jati dirinya secara azali, manusia-manusia temporal yang lebih mengedepankan hawa nafsu libidal. Ideologi kapitalisme cenderung melahirkan manusia-manusia yang semakin tergantung pada produk-produk kapital yang nota-bene berasal dari Barat. Gangguap kapitalisme itu sendiri melahirkan gerakan-gerakan revolusioner keagamaan, yang antara. lain dalam bentuk pencarian otertsitas keagamaan dengan kecenderungan pandangan tertutup sehingga melihat hal lain sebagai sesuatu yang harus dilawan dan ditindak dengan kekerasan. Perlawanan terhadap globalisasi yang menyuburican kapitalisme itu, juga mendapat perlawanan dengan caranya sendiri juga tampak di kawasan turistik Kuta sebagaimana diungkapkan IGN A Eka Darmadi dalam tulisan "Diaspora Ruang Global di Kawasan Turistik: Dominasi Neokapitalisti.k atas Identitas dan Ruang Budaya". Gerakan ini tidak saja dalam bentuk persaingan akses ekonomi, tetapi juga memperkuat identitas diri. Proses pencarian identitas diri itu, juga dibicarakan Jiwa Atmaja dalam tulisan '~ku" Sang Diri di Depan Cermin Lll.can: Kajian Psikoanalisis Puisi '~ku" Chairil Anwar" sebagai proses individu menu ju tingkat kedewasaan yang ketika direpresenta·sikan secara verbal akan ·berhadapan dengan "sang liyan" dalam bentuk ayah, bahkan ideologi negara. Dalam kajian ini, juga ditemukan hubungan antara vitalitas kepenyairan Chairil Anwar dengan kepadatan katakata yang membangun larik-larik puisi bebas, yang individualistik. IV I I Soal globalisasi itu, juga diingatkan I Gde Parimartha bahwa globalisasi telah tampak di Bali pada abad ke- 16--ke-17, melalui perdagangan be bas, yang belum menunjukkan kekuatan macam apa yang dimiliki Bali dalam :nenghadapi globalisasi, kecuali kekuatan untuk mendorong orang asing datang ke Bali. Dengan sejumlah tulisan lain, yang menarik untuk dibaca juga disajikan dalam terbitan Pustaka kali ini. Semoga bermanfaat bagi pembaca, terutama para mahasiswa Fakultas Sastta Universitas Udayana. v MELACAK JEJAK GERAKAN TRANSNASIONAL REVOLUSIONER BERMOTIFKAN AGAMA DI INDONESIA I Gusti Ketut Gde Arsana f urusan Antrpologi Fakultas Sastra Unud Abstract: This paper describe< the revolutionary movements which have religious motive i.t1 Indonesia by showing its connection with similar movements elsewhere. This religious movements, there are only carry out enlightenment mission (dak'wah). However, they also tend to reflect resistance forms that generally appears as a sense of concern for the excesses brought about by the spread of modernization in all aspects. It was also found , sometimes also lead to violence. Keywords: Movement, Religious and modernization 1. Pendahuluan Dari semua realitas yang ada agama tampaknya mengundang daya tarik tersendiri untuk diperbincangkan, terlebih-lebih ketika simbol-simbolnya dihadirkan ke dalam pelaku tindak kekerasan, seperti yang marak terjadi dalam pertengahan dekade 90-an sampai menjelang akhir 2009 clan tampaknya juga belum berakhir sainpai belakangan ini, di Indonesia. Pada pertengahan dekade 90-an kita banyak terusik oleh berbagai tindak kekerasan yang berlatar belakang isu SARA, seperti kasus Ambon, Poso, Sampit, clan sebagainya. Kemudian, bersamaan itu pula menjelang akhir dekade 90-an negeri ini juga diusik oleh munculnya berbagai isu sektarian yang tampaknya masih menyisakan agenda sampai kini, seperti Pemurtadan ajaran agama yang dialamatkan terhadap Jamaat Ahmadiyah. Belum tuntasnya isu-isu tersebut, negeri ini masih harus dihadapkan kepada kemunculan kembali gerakan-gerakan bermotif agama seperti isu terorisme yang mengusung atribut-atribut yang lazimnya terdapat dalam institusi agama Islam. Belum lagi persoalan-persoalan tersebut tuntas, isu-isu gerakan separatis, Seperti RMS di Maluku clan GPK di Papua serta gerakan-gerakan yang mengaral1 kepada deideologi Negara turut menambah panjangnya agenda persoalan dalam negeri. Keterlibatan lembaga pendidikan yang berbasis agam_a (kasus _Jawa ~3arat clan Sumbawa) yang disinyalir juga menjadi sarang gerakan separatisme juga mewarnai problem kedudukan Negara clan agama di Indonesia yang masih dipersoalkan. Apa pun itu motifnya, tetapi yang pasti bahwa semua persoalan tersebut 1 berrnuara clari persoalan "tuntutan akan aclanya rasa keaclilan'', yang selama ini dirasakan sernakin mengalarni disparitas. Hal itu, utarnanya disebabkan oleh aclanya distribusi yang timpang clalam pemenuhan kebutuhan clasar hiclup manusia, baik secara material maupun inrnaterial. Keclua macarn kebutuhan clasar rnanusia tersebut menjadi sangat azali clan clengan clernikian, ia akan senantiasa hadir utamanya rnanakala salah satu di antaranya menghaclapi ketimpangan. lclealnya, di sarnping keclua-cluanya rnesti dipenuhi tetapi juga keclua-duanya harus beracla di clalarn hubungan yang bersirnbiosis pacla diri manusia. Wacana "rne-rnanusia-kan manusia", tidak lain aclalah sirnbiosa dari keclua kebutuhan itu. Pertanyaannya, mengapa manusia perlu di-manusia-kan lagi? Jawabannya yang paling urnum adalah karena manusia telah clan atau sedang kehilangan "jati diri"-nya yang azali (an authentic-self). Merajalelanya kemelaratan, peninclasan, perang, krisis moral, clan atau krisis kcmanusiaan di berbagai belahan clunia, mengindikasikan telah berlangsungnya apa yang sering disebut sebagai: gejala clehumanisasi, clemoralisasi clan istilah lainnya seputar bencana krisis kernanusiaan yang sangat serius. Kapitalisme dengan icleologi iklannya yang diintrocluksi Barat, sering dituding rnenjadi salah satu biang clari scrnua tragedi itu. Icleologi kapitalisme tersebut telah menciptakan manusia-manusia sernu yang telah kehilangan jati dirinya secara azali, manusia-manusia temporal yang lebih mengeclepankan hawa nafsu yang libiclal. lcleologi kapitalisrne cenderung melahirkan manusiamanusia yang semakin tergantung dari produk-produk kapital yang nota-bena berasal clari Barat; Moeslim Abdurrahman (2003) rnenyebutnya sebagai the consumer society. Kondisi semacarn itu biasanya sangat rentan mengusik munculnya motivasi gerakan moral pembebasan yang scringkali dimotori oleh tokoh-tokoh keagarnaan. Kehadiran gerakan-gerakan revolusioner berbasis agarna atau lebih dikenal dengan "teologi pembebasan" dengan mengarnbil bentuknya secara beragam, seringkali lahir terinspirasi dari persoalan-persoalan semacam itu. Misi yang diembannya utamanya adalah bertujuan untuk membebaskan manusia dari nafsu keangkaramurkaan dan menuntunnya menemukan kembali jati dirinya sebagai insan Tuhan. Di lain pihak gerakan-gerakan yang bermotif keagamaan yang mengarah kepada pertanyaan-pertanyaan seputur kesesuaian ideologi Negara yang -Sekalipun secata konstitusional telah dianggap final, tetapi bagi kalangan tertentu masih sering dipandang menjadi persoalan. Maraknya gerakan-gerakan terselubung ("Gerakan Bawah Tanah") yang bercita-cita menerapkaQ. Syariat Islam, sejak berdirinya Republik ini masih .l. terus menggulir sampai belakangan ini. Alih-alih bermaksud menegakkan kembali iman (kembali ke jalan Tuhan) aktualisasi clan atau program aksi clari gerakan-gerakan yang berbasis keagamaan itu seringkali terjebak ke clalam konflik; visi yang diusungnya tidal-:: selamanya menuntun manusia (umatnya) ke jalan fitrah tetapi justeru tergelincir ke jalan kekerasan. Ambivalensi sikap semacam ini akan menjadi pokok bahasan dalam memahami relasi antara agama dan politik kekerasan seperti yang marak clapat disaksikan di Tanah Air, sampai belakangan ini. 2. Sifat Ambivalensi pada Agama Di bandingkan dengan realitas lainnya, seperti politik clan ekonomi, agama menempati posisi yang unik dalam jantung kehiclupan manusia. Jika ekonomi secara langsung dan konkret bersentuhan dengan pemenuhan kebutuhan manusia secara fisik, maka agama ticlakiah clemikian. Agama adalah realitas langit, bersumber clari realitas ontologis yang mutlak, sehingga pembumian clan pemanusiaan agama melewati rentang antropologis, sosiologis clan historis yang berliku clan panjang. Dalam diri manusia memang terclapat potensi religious (fitrah majbulah), sehingga dipanclang dari suclut ini, agama yang dihadirkan melalui proses pewahyuan melalui utusan Tuhan "sekaclar" mengafirmasikan potensi tersebut. Meskipun clemikian, penerimaan seseorang kepada agama sampai pacla proses fungsionalisasinya ticlaklah seketika. Adanya jarak waktu, sejarah clan geografi, fungsionalisasi agama pertama-tama akan menghaclapi persoalan otentisitas. Beberapa ahli agama biasanya yakin, bahwa persoalan otentisitas ini clapat diatasi jika manusia (umat) kembali ke akar tradisi agama yang otoritatif, yaitu kitab suci. Namun, persoalannya ticlak clapat diselesaikan clengan sebuah retorika yang seseclerhana itu, sebab kanclungan bahasa dalam kitab suci memberi peluang seluas-luasnya bagi munculnya beragam panclangan (tafsir) yang sangat menyulitkan mana yang bisa dianggap paling otentik, kecuali sebatas pada truth claim saja yang dilakukan oleh masing-masing paham tersebut. Sejarah perkembangan ag~a ternyata cukup direpotkan oleh p!'!rsoalan ini, karena clemikian banyaknya paham keagamaan yang san:ia-sama bersikuknh terhaclap hasil pengembaraan hermeneutiknya guna menemukan apa yang dianggap paling otentik dari paham keagamaan yangdikembangkan. Meskipun jalan berliku pengetahtian (termasuk pengetahuan agama) clapat menjebak seorang pengembara ke clalam apa yang disebut sebagai "ilmu pengetahuan palsu" (pseudo-science) utamanya ketika telah menclapat rekonstruksi clan 3 menjadi ideologi; yang oleh Marx dikatakan sebagai ilmu tentang kesadaran palsu (false consciousness) (Piliang, 2003). Di samping persoalan otentisitas di atas yang memang melekat dalam agama itu sendiri, fungsionalisasi agama berhadapan dengan realitas yang ada di luar dirinya yang terlebih dahulu mempunyai struktur yang mapan. Dalam kajian sosiologi realitas ini disebut dengan realitas sosial agama (the social reality of religion). Bagaimana ::iengaruhnya terhadap agama? Jelas, agama tidak lagi dapat memposisikan clan menjalankan perannya secara monolitik, tetapi harus berbagi fungsi dengan instititusi sosial lainnya yang memang telah memiliki fungsi pokok (functional imperative) yang berbeda. Seperti dalam teori sistem-nya Talcott Parsons, agama berfungsi memberi makna clan orientasi yang eksistensial tcrhadap realitas yang paripurna. Sedang ekonomi menjalankan fungsi penyesuaian (adaptation) dengan dunia luar secara fisik maupun organik; Dan politik menjalankan fungsi untuk mencapai tujuan-tujuan kolektif. Idealnya, masing-masing institusi itu berada dalam keseimbangan dinamis-stasioner (homestatic equilibrium) sebagai prasarat terciptanya integrasi dan menghindari adanya dominasi antarinstitusi yang satu dengan yang lainnya (Parsons, dalam: Suwarsono, 1991). Namun, realitas empirik tidak selamanya menampilkan perkembangan yang demikian. Jika kita menapaktilasi kembali jejak-jejak realitas kebudayaan manusia, akan dijumpai adanya persaingan, pertentangan, bahkan adanya dominasi atau hegemoni, yang dapat memarginalkan salah satu atau mungkin beberapa institusi sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam konteks semua perkembangan itu, agama mempunyai catatan sejarah kelabu, yaitu pada saat episteme manusia dalam hegemoni rasio. Itu terjadi pada abad ke-19 dan ke-20 yang dikenal sebagai zaman modern. Padahal, pada abad sebelumnya, agama cukup mendominasi episteme manusia di mana pemaknaan terhadap semua realitas secara absolut merujuk kepada penjelasan agama. Namun, ketika zaman modern muncul, realitas berkembang secara terbalik. Agama, seperti dikatakan oleh Saint Simont, tidak lagi menjadi institutionalizing force (kekuatan yang mclembagakan semua kehidupan), tetapi secara sistematis dan . sistemik digantikan oleh akal-kecerdasan manusia (KJ. Veeger, 1990). Melihat perkembangan yang seperti itu, tidak saja Saint Simont, banyak juga kalangan ilmuwan sosial yang lain, terutama yang berpikir dalam kerangka paradigma positivis-sekulari::;tik, sampai pada .suatu keyakin~n, bahwa legitimasi agama dalam memberikan pemaknaan terhadap realitas berakhir, clan digantikan oleh ilmu pengetahuan yang nyata-nyata mampu membawa kemajuan kehidupan manusia secara konkret. Nictzxche bahkan menggambarkannya secara lebih 4 ij, ,, i•: ekstrim, bahwa gerak sejarah akan mengarah kepada bentuk nihilisme yang radikal yangditandai dengan "kematian Tuhan" (St. Sunardi, 1996). Terbuktikah keyakinan semacam itu? Agama ternyata tetap eksis dalam perkembangannya. Sebagai . bukti tetap eksisnya agama itu, justru belakangan ini kehidupan spiritualitas manusfa memperlihatkan antusiasme yang bisa dikatakan sebagai proses pembangkitan kemhaµ kehidupan spiritualitas manusia. Will Durant (dalam:Syamsul Arifin, 2005) menyebutnya agama itu memiliki seratus jiwa, sekalipQn harus tetap mempertimbangkan realitas clan tantangan eksternal yang sangat potensial memarginalkan agama. Hal itu dapat terjadi manakala agama gagal memberikan respon yang memuaskan clan meyakinkan manusia sesuai dengan perkembangan epistememanusia. Agama memang tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari, karena ia sendiri sebagai realitas sosial, yakni sebagai hasil konstruksi para pemeluknya. Meskipun secara ontologis bersuµiber dari realitas yang tunggal, maka yang terlihat pada perkembangan selanjutnya agama: menjadi. gejala psikologis, kultural dan pengelompokan sosial. Dalam konteks ini, Jo~kYoting (1999) memetakan ke dalam tiga kemungkinan yang akan mewarnai ruang sosial keagamaan di dalam masyarakat. Pertama, agama melakukan penetrasi terhadap kehidupan sosial clan kultural masyarakat yang berkecenderungan melahirkan pandangan-pandangan yang lebih mengedepankan "absolutisme identitas". Identitas dipandang sebagai sebuah kepastian yang sudah "given", yang sakral, tak boleh diubah clan tak boleh dicemari oleh unsurunsur luar. Kecenderungan semacam ini dapat saja mengembangkan sikapsikap eksklusivisme, yang menempatkan orang clan atau kelompok tertentu sebagai entitas berbeda clan terpisah secara absolut (contoh peng-kafir-an). Kedua, agama dipengaruhi oleh unsur-unsur eksternal · yang menekankan terjadinya pertukaran budaya (cultural exchange) secara terbuka; persilangan norma-norma clan nilai-nilai, peleburan batas-batas serta eklektisisme dalam berbagai bentuk ekspresi. Ketiga, terjadinya dialektika antara kedtianya yang berkecenderungan melahirkan pandangan inklusivisme yang bersikap kritis. Menurut Ahmed Gurnah (1997), setiap ·pertukaran budaya agama yang sehat itu h~iruslah disertai dengan sikap keterbukaan yang bersifat kritis (critical openness) sehingga memungkinkan berkembangnya mek-..anisme "saringan budaya" (cultural filtei) untuk menjaga identitas agama itu secara eksistensialnya. _ Dagaimanapun prosesnya, suatu hal yang sudah pasti ketika agama telah direkonstruksi oleh pemeluknya adalah terjadinya keragaman atau . kemajemukan pandangan. Dari sinilah awal munculnya konflik baik yang 5 Volume XIII, No. 1 • Februari 2013 bersifat internal maupun eksternal. Dengan mengatakan kemajemukan agama (pandangan beragama) potensial memendam benih-benih konflik bisa mengundang kontroversi. Karena meskipun secara eksoteris terjadi perbedaan pandangan beragama, secara esoterik semua agama mengajarkan hal yang sama, yakni tentang cinta kasih, rahmat, dharma. Tetapi memang begitulah ambivalensi yang akan terjadi pada agama ketika berhadapan dengan realitas kemajemukan. Di satu sisi, dengan ajaran cinta kasihnya itu, agama menjadi faktor perekat sosial (uniting !actoi). Namun, di sisi lain, agama juga seringkali menjadi faktor pemisah atau pemecah (deviding !actoi). Lalu kenapa agama bisa terjebak pada ambivalensi? Pertama, karena dalam agama terdapat kecenderungan absolutisme. Ini merupakan kecenderur1gan universal yang terdapat pada semua agama. Adanya keyakinan bahwa agama yang dipeluknya bersumber dari Tuhan, realitas yang absolut (absolute realitj), dengan sendirinya membawa implikasi epistemologis bahwa agama yang dipeluknya mengandung kebenaran mutlak, suatu kebenaran yang harus diterima dan dipercayai. Masalah muncul ketika -apa yang dianggap benar mutlak tersebut dihadapkan dengan apa yang dianggap benar mutlak pula yang berasal dari agama lain. Karena begitu yakin terhadap kebenaran agama yang dipeluknya, klaim kebenaran (truth claim), yang memunculkan klaim penyelamatan (salvation claim), menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindarkan. Dari sudut sosiologis, truth claim dan salvation claim telah menjadi sumber konflik sosial, politik, yang membawa berbagai macam ketegangan bahkan perang antaragama. Kecenderungan absolutisme di atas, seringkali dapat memunculkan kecenderungan ekspansionistik, yakni kecenderungan untuk menyebarluaskan agama kepada orang lain. Sedikitnya terdapat dua alasan mendasar yang mendorong munculnya sikap ekspansionistik. Pertama, adanya pandangan agama selain yang dipeluknya tidak benar, sesat, kafir, yang perlu diluruskan kembali. Tindakan pelurusan kembali dengan demikian dipandang sebagai tugas suci yang harus dilaksanakan bagi setiap pemeluk agama. Kedua, secara sosiologis penyebaran agama dalam rangka memperkokoh komunitas keagamaan yang telah ada. Dengan semakin banyaknya jumlah pemeluk agama, semakin kuat pula agama tersebut secara sosiologis. Apabila setiap agama memiliki kecenderungan semacam "itu, maka ketegangan hubungan antarkomunitas keagamaan- akan selalu mewarnai kehidupan masyarakat. Pemahaman arti tugas suci agama seperti itu seolah mendapat legitimasi agama; clan manakala dalam realitasnya memperoleh dukungan dari lembaga-lembaga 6 -'---- keagamaan, maka penghalalan berbgai tindakan kekerasan memperoleh jastifikasi, karena dipandang telah mendapat legalitas yang bersifat sacral (sacred canopj). Banyak contoh kasus kekerasan/ keberingasan massa yang berak::ir dari fondasi pemahaman bcragama semacam ini yang mewarnai kehidupan beragama di Indonesia. Praktik-praktik yang berdalih untuk melaksanakan agenda purifikasi (pemurnian) agama clan ataupun yang berdalih sebagai upaya penegakan moral yang terjadi di negeri ini clan seolah mendapat legalitas secara institusional misalnya, menunjukkan bahwa masih berkelanjutannya agenda-agenda puritanisasi maupun proselitanisasi di pelbagai tempatdi Tanah Air. Agenda ini secara gemilang telah berhasil memberangus ratusan aliran kepercayaan yang sebenarnya telah hidup ribuan tahun sebelum masuknya agama-ag~ma besar di Indonesia (Ahmad Baso, 2005). Adanya fatwa MUI, tampaknya sering dipahami sebagai seolah-olah "mandat'' untuk melegalisasi pembenaran berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan orang-orang tertentu terhadap sesamanya. Gejala semacam itu juga terlihat dalam kasus penyesatan terhadap sempalan agama yang dinamakan Jemaah Ahmadiyah. Fatwa MUI, seakan menjadi senjata ampuh dalam menyikapi keberadaannya di Tanah Air. Dampak dari caranya dalam menyikapi berkembangnya aliran tersebut telah menyebabkan terlantarnya warga Ahmadiyah di berbagai wilayah, sampai belakangan ini. Kasus kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah di sekitar Nusa Tenggara Barat khususnya di pulau Lombok dapat dirujuk di sini. Hampir 7 tahun lamanya, yakni sejak peristiwa Pancor di Lombok Timur (2002) sampai peristiwa Ketapang di Lombok Barat (2006) mengakibatkan tak kurang dari 300 warga Ahmadiyah di wilayah tersebut, sampai saat ini masih terisolasi dan hidup di pengungsian. Hal itu terjadi akibat gagalnya proses reunifikasi, lantaran kedua kubu tetap bersikukuh untuk mempertahankan keyakinannya masing-masing yang dianggapnya paling benar (Arsana, 2009). Begitu pula, kasus-kasus pencrtiban yang lebih dikenal dengan aksi 'swipping-nya", seperti yang sering terjadi di saat-saat menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan, dengan jelas juga menunjukkan adanya ambivalensi sikap beragama ketika agama dihadapkan pada realitas. Agama yang semestinya dapat menyantuni kejiwaan manusia yang haus akan hadirnya ruh ketuhanan · (rahmatan iii alamin)i, direkonstruksi menjadi klaim pembenar untuk melampiaskan berbagai tindakan kekerasan, yang sesungguhnya tidak pernah ada dalam ajaran agama itu; clan bah!:\.an sangat bertentangan dengan qaidahqaidah agama. 7 Volume Xlll, No. 1 • l:'ebruari L.U! 3. j. Gerakan Transnasional Revolusioner Bermotif Keagamaan Gerakan-gerakan revolusioner bermotif keagamaan atau populernya juga disebut "t~ologi pembebasan" baik yang sebatas hanya mengemban misi pencerahan (dakwah) maupun yang mengarah kepada bentuk-bentuk perlawanan (resistensi) yang umumnya muncul di seputaran abad ke- 20-an; didorongoleh adanya rasa keperihatinan terhadap ekses-ekses yang ditimbulkan oleh merebaknya modernisasi dalam segala aspek kehidupan manusia. Modernisasi yang porosnya berasal dari epistemologi Barat, di satu sisi memang telah gemilang mengantarkan manusia paC:.a kesejahteraan material tetapi pada saat yang bersamaan, bencana muncul di mana-mana. Perebutan sumber-sumber produksi yang berlanjut dengan munculnya perang di berbagai belahan, kelaparan, penindasan sampai pada tirik krusial terjadinya degradasi moral di mana-mana. Sekali lagi, semua itu dapat dirujuk sebagai apa yang disebut "tragedi kemanusiaan"yang sangat se~us; manusia menjadi semakin jauh dari hakikat dasar dirinya, yaimi sebagai insan Tuhan yang bertaqwa. Berkaitan dengan kondisi tersebut, banyak pihak menjadi prihatin. Agama sebagai salah satu benteng dalam penegakan moral manusia, dengan beragam bentuknya mengambil bagian untuk mengemban misi yang bertujuan untuk menyadarkan umatnya agar kembali ke jalan fitrah. Kegiatan-kegiatan misi semacam itu tampak menguat di sekitaran tahun 60-an dengan kemunculan dari organisasi-organisasi keagamaan, seperti di antaranya: gerakan teologi yang dimotori oleh Uskup Agung Rio de Janeiro yang bermarkas di Amerika Latin. Gerakan teologi tersebut secara aktif menentang kehadiran kapitalisme Barat di negeri itu, yakni yang menyasar pada munculnya perusahan-perusahan trans-nasional (fNE: transnational enterprise) yang dikenal mengusung etika protestan kalvinistiknya, yang selanjutnya banyak dipelajari Max Weber (2003). Perlawanan terhadap dominasi pemsahan-perusahan trans-nasional tersebut terus berlanjut, yakni ditandai dengan munculnya "gerakan Operasi Harapan" (Acao-esperanza) yang mengambil bentuk sebagai "gerakan teologi pembebasan". Di kawasan-kawasan lainnya, gerakan bermotif keagamaan semacam itu juga: muncul seperti di· Flipina, Korea Selatan, clan Hongkong; yang umumnya dimotori oleh gereja-gereja Katolik setempat. Di India, ada dua orgartisasi besar yang berpengaruh yang pada hakikatnya juga mengemban misi yang sama seperti: "gerakan spiritualnya Mahatma Gandhi" yang dikenal mengusung prinsip ahimsa clan satyagraha-nya clan, Vinoba Bhave dengan "revolusi spiritualnya" serta Swami Agnivesh dengan dengan "gerakan 8 keimanan clan land-reform-nya; yang selanjutnya, banyak dianut oleh sekte Hindu Aria Samaj (Abdurrahman Wahid, dalam: Muh.Shaleh Isre, 1999). Di bagian lainnya, Islam juga telah ban yak mengambil bagian dalam misimisi semacam itu yang biasanya bertujuan untuk "meng-Islam-kan Muslimin" atau menegakkan kembali "syari ah. Dalam perjalanannya, baik disebabkan oleh kondisi-kondisi geo-sosio clan politis, maka gerakan-gerakan penegakan "syariah" semacam itu seringkali berkembang secara beragam. Abdurrahman Wahid (dalam: Muh. Shaleh Isre, 1999) mensinyalir, gerakan-gerakan Islam di Indonesia secara umum meliputi spektrum yang membentang antara dua titik diametral: di satu pihak, ada motivasi untuk mewujudkan sebuah "kerajaan Tuhan" di muka bumi"; clan di pihak lain, penolakan sasaran perjuangan seperti itu. Sejalan dengan pemikiran Abdurrahman Wahid, dalam tulisan Koentowijoyo (1993) diuraikan pula arah perkembangan dari gerakan-gerakan Islam di tTnah Air meyempal ke dala..-n dua kelompok, yaitu: pertama, kelompok sempalan dalam arti agama, clan kedua kelompok sempalan dalam arti politik. Kelompok sempalan pertama dapat dikenal dalam gerakan-gerakan seperti Dari.JI Hadits, Islam Jama ah, clan sebagainya. Gerakan-gerakan ini juga muncul sebagai reaksi dari merebaknya ekses-ekses modernisasi di dalam kehidupan masyarakat yang sering tanpa disadari telah menyebabkan kaum muslimin semakin terpinggirkan, serta semakin kehilangan pegangan dalam mengahadapi proses sosial baru; atau istilahnya: "atomisasi Islam". Polarisasi yang semakin manajam yang dibawa oleh peradaban modern, mengakibatkan banyak orang merasa terlempar clari solidaritas komunalnya yang baru. Kemudian ketika dikondisikan lagi oleh sebab-sebab yang lainnya (ekonomi clan psikologis) mendorong mereka untuk mencoba menemukan bentuk soliclaritas baru. Itu sebabnya mereka terclorong untuk membentuk jamaah, yaitu semacam peguyuban sebagai wadah interaksi sosial alternatif dalam upaya menemukan kembali identitas kolektif mereka yang hilang. Waclah semacam ini clalam sosiologi disebut umwelt, yakni, tempat di mana orang biasanya berlindung clari adanya tekanan fsikologis. Dengan demikian, di clalam wadah ini pula mereka clapat berinteraksi clan atau berkomunikasi antarsesama berdasarkan keseragaman irama. Masjid, Musola, Pesantren clan atau tempat-tempat pengajian lainnya, biasanya merupakan waclah-wadah yang umum ditemukan clalam proses sosial semacam itu. \Valaupun wadah. itu dirasakan sebagal sarana · untuk menemukan keserasian sosial, tetapi sesungguhnya mereka juga akhirnya kehilangan diri mereka sendiri, kehilangan kebebasan pribadi yang dipengaruhi oleh hubungan 9 patronistik yang biasanya kuat dianut dalam tradisi umwelt semacam itu. Guru-guru (Kyai, atau Ustad) sering dipandang memiliki otoritas yang absolut sehingga dapat menyebabkan para peserta umwe/thanya dapat bertindak sesuai dengan perintah-perintah yang diintrodoknir oleh Sang Ulama terse but. Mereka harus taat kepada norma-norma setempat termasuk melaksanakan semua perint.ah pemimpinnya. Kehidupan dalam wadah semacam itu juga seringkali dapat mengembangkan sikap-sikap ekslusif untuk berupaya menjauhkan diri dari dunia sekitar. Mereka sering menafikan hubungan interaksi dengan orang-orang di luar kelompoknya, termasuk juga orang-orang Islam sendiri yang dipandangnya memiliki paham keaga~aan yang berbeda. Ada pula yang menetapkan larangan untuk tidak mengikuti siaran-siaran berita seperti televisi, radio, koran-koran tertentu, utamanya yang tidak berpihak kepada Islam. Kendatipun di masa-masa yang lalu ada sejumlah orang yang juga tergabung dalam gerakan Darul Hadits maupun Islam Jama'ah terlibat sebagai partisan partai-partai politik, seperti: di Lemkari milik Golkar, di Jamiatul Muslimin milik PNI, clan ataukah di Ikhwanul Muslimin milik PKI; namun hal itu hanya dilakukan selJatas untuk memperoleh perlindungan politik semata clan bukan kekuasaan. Dengan begitu, umumnya mereka menjadi tidak militan. Berbeda halnya clengan kelompok sempalan kedua, biasanya memiliki kecenderungan berkarakter politis sehingga memiliki kecenderungan menjadi militan. Di antara mereka yang tergabung clalarp. kelompok sempalan kedua ini masih dapat dibedakan lagi ke clalam dua karakternya secara khusus: kelompok militan yang tidak ekstrim terhadap Negara sekuler sekalipun mereka terus melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang dipandangnya tidak berpihak kepada kaum Muslimin yang tertinclas. Mereka tersebut, oleh Kuntowijoyo disebut sebagai kelompok yang cenderung bergerak "ke kirikirian" clan sekaligus tidak potensial menjadi ancaman bagi Negara. Sedangkan yang cenderung "ke kanan-kanan"yang umumnya adalah orang-orang yang frustrasi karena alasan-alasan keagamaan seperti rasa kecewa terhadap para ulama mereka yang dianggapnya tidak memiliki kepekaan terhadap eksistensi Islam yang semakin jauh dari qaidah-qaidahnya, serta kebencian terhadap mereka yang berselingkuh dengan penguasa yang dipandangnya sebagai kafir atau musuh Islam. Kemudian, mereka mencari guru-guru agama yang dipandangnya memiliki kesungguhan, komitmen, tekad serta keberanian ("jihad ) dalarp. membela Islam. Kelompok inilah menurut Kuntowijoyo berpotensi untuk berkembang menjadi gerakan radikalisme ekstrim yang dikenal mengusung metode gital -nya, yakni mengedepankan 'jihad Ashghar Gihad terkecil), yaitu jihad yang dilakukan dengan 10 mengangkat senjata, peperangan, clan kekerasan atau juga disebut gital' di dalam al-Qur'an. Kelompok ini biasanya memanfaatkan pemahaman agama tersebut sebagai pembenaran untuk berperang melawan bangsa atau Negara kafir, baik mereka diserang maupun tidak. Mereka sepertinya kurang terkesan menempuh ibadah pendakwaan Islam melalui jihad yang lainnya, seperri: jihad Kabir Gihad besar) yaitu menyebarkan ajaran Islam lewat pendidikan rohani bagi kaum Muslimin. Selain itu, mereka juga cenderung mengabaikan jihad Akbar Gihad terbesar) yaitu perjuangan melawan hawa nafsu untuk menciptakan tingkat kesempurnaan budhi pekerti umat Muslimin (Periksa dan bandingkan dengan: Asep Burhanudin, 2005: 105-162). Nama organisasi 'jamaah ai-Islamiyah"OI) terutama yang mengusung misi keagamaan melalm cara-cara kekerasan menjadi semakin populer di Indonesia, lataran banyak di antara pelaku pemboman yang tertangkap sejak Born Bali pertama sampai pada peristiwa-peristiwa yang berlangsung sampai belakangan ini, menyebut-nyebut dirinya sebagai bagian dari jaringan organisasi tersebut. Pertanyaannya, lalu apakah Jamaah al-Islamiyah itu memang didirikan berlandaskan pada perangai kekerasan semacam itu, atau dengan kata lain, apakah benar ia adalah organisasi "terorisme" khususnya sebelum berkembang di negeri ini. Untuk mengenali asal-usul maupun wajah aslinya, selanjutnya akan disajikan wajah azalijemaah al-Islamiyah itu menurut versiJohn L. Esposito danJohn O.Voll (2002). Sebagairnana di banyak dunia Muslim lain, tahun 1978-1979 tcrbukti menjadi suatu titik balik politik dalam kehidupan ·Rachid Ghannoushi sang pendiri Jamaahal-Islamiyah dan pelaku sejarah pergerakan Islam asal Tunisia. Buruknya kondisi rli Tunisia (Afrika) serta kenyataan bahwa pergerakan Islam sering terpinggirkan dalam arena politik meyakinkan Ghannoushi dan pemimpin-pemimpin pergerakan lain akan perlunya bergerak melampaui pernyataan ideologis pergerakan. Mereka merasa yakin akan perlunya menghubungkan Islam secara langsung dan khusus dengan masalah nyata yang dihadapi masyarakat sehari-hari (politik, ekonomi dan sosial). Islam harus dipandang sebagai suatu sumber bagi identitas dan juga sumber dari kebebasan yang sebenarnya bagi semua orang dan masyarakat. Arah baru ini menempatkan para aktivis Islam pada suatu arah yang akan mengakibatkan bentrokan dengan sikap non-politik Qur an Preservation Society, pada 1978 mereka dikeluarkan, dicela sebagai reaksioner yang tidak fleksibel. Transformasi pergerakan dari kekuatan religious kultural menjadi pergerakan sosial politik diresmikan dengan didirikannya "Islamic Association pada 1979, yakni cikal 11 Volume XIII, No. 1 • t'ebruan -'Vl.:> bakal dari ''Jemaah al-Islamiyah" itu. Organisasi tersebut'diresmikan bertepatan dengan bangkitnya revolusi Iran. Wadah organisasi pergerakan tersebut telah menjadi wadah baru bagi kelompok-kelompok yang biasanya secara informal mengkonsolidasi diri lewat per:temuan-pertemuan yang tak terorganisir. Organisasi pergerakan tersebut secara cepat berkembang menjadi sebuah organisasi aktivis partisipatoris yang terstruktur (memiliki aturan, arah clan komitmen) terhadap aksi-aksi sosial. Selain itu, mereka juga memiliki dewan pertimbangan yang terpilih (majlis al-shura). Pergerakan tersebut memiliki agenda pertemuan atau konfrensi serta aktif mempubiikasikan programprogramnya lewat terbitan yang bernama "al-marifa". Anggota pt>rgerakan tersebut umumnya adalah kaum perkotaan dengan strata ekonomi menengah clan menengah ke bawah. Perjuangan utama mereka adalah membela hak-hak kaum miskin clan tertindas; clan dengan demikian, mendapat simpati luas di kalangan masyarakat clan juga kalangan mahasiswa. Ghannoushi dalam kepemimpinannya di Jemaah al-Islamiyah selalu bicara soal-soal hak kaum pekerja, identi.tas Islam ymg otentik, serta partisipasi politik yang adiL Dalam era kepemimpinarinya itu, karakteristik Islam yang ia bangun adalah penegasan kembali keyakinan terhadap ke-esaan Tuhan yang absolute ( tauhid) clan juga sebagai sumher kebebasan. Pcrgerakan irii berjuang untuk membangun kembali, membangkitkan kembali, mengislamkan kembali masyarakat Muslim yang teiah lama terdistorsi oleh budaya Barat yang modernis yang diyakininya telah mengakibatkan berkembangnya orientasi Barat yang sekuler, di tengah kehidupan Muslimin. Ia mengemban misi utama: "pembenahan atau pendifinisian kembali identitas Arab/ IslamTunisia". Hal tersebut dilatari oleh adanya keprihatinannya yang mendalam berkenaan dengan merebatnya peradaban Barat modernis di Tunisia sehingga mengakibatkan orang-orang (Kaum Muslimin) ibarat menjadi wisatawan di negerinya sendiri. Walaupun cara berpikirnyademikian, ia sesungguhnya tidaksecara ekstrim menentang Barat apalagi hcl itu ditempuh melalui cara-cara konfrontatif/ kekerasan. Tetapi yang diinginkannya adalah upaya untuk menafsirkan kembali prinsip-prinsip clan nilai-nilai Islam clan lalu kemudian diimplementasi kembali untuk kehidupan Muslim modern. Ada sekitar 7 (tujuh) butir yang ditawarkan sebagai ideologi. alternatif yang dianggapnya paling sesuai dengan kehidupan Muslim di Tunisia, antara lain: (1) kesempurnaan clan kelengkapan Islam sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an clan Hadits Nabi Muhammad; (2) totalitas Islam, petunjuknya bagi kehidupan pribadi clan masyarakat, keyakinan dan politik, serta kehidupan ekonomi clan social; (3) sifat egaliter masyarakat Islam, yang merupakan pergerakan social massa yang bersifat populis bukan 12 i." pergerakan social golongan clan elit tertentu; (4) pencukupan diri Islam, yang meskipun tidak tergantung pada Barat, dapat terbuka terhadap Barat; (5) kesatuan clan kepaduan masyarakat Muslim, yang hanya dapat dicapai melalui pembentukan kembali Negara Islam, !iebuah tujuan yang harus dicapai; (6) penerimaan nasionalisme sebagai suatu komponen universalitas Islam, bukan sebagai anti-tesisnya, sebagaimana pendapat beberapa pemimpin Islam lain; clan [!) pengakuan kebebasan clan demokrasi sebagai prasarat susunan Islam baru. Di bagian lain, Channoushi juga sering melontarkan kritik terhadap pemimpin-pemimpin Islam lain yang dinilainya tidak mau instropektif terhadap kelemahan pergerakan Islam selama ini yang dianggapnya telah gagal memperjuangkanislam.Kecenderungan yangadadalam pergerakan-pergerakan Islam selama ini lebih memfokuskan perjuanganya untuk menegakkan citacita monolitik ketimbang mengapresiasi realita atau keragaman dunia Islam. Ia juga memandang perjuangan semacam itu menjadi kontra-produktif clan tanpa disadarinya bahwa hal itu dapat memerosotkan kekuatan clan kejayaan Islam itu sendiri. Untuk itu Channoushi mendeklarasikan bahwa Jemaah alIslamiyah itu sebagai "ussuliyah waqiyah clan atau suatu fundamentalisme realistis atau realisme yang otentik ( waqiyah muasalah ). 4. Kekerasan Berjubah Agama: Politisasi Pergerakan Islam di Indonesia Seperti telah disebutkan terdahulu, Abdurrahman Wahid (dalam Muh. Shaleh Isre, 1999) maupun Kuntowijoyo (2003) mensinyalir bahwa, pergerakan Islam di Indonesia memang sejak lama ada yang telah mengarah pada gerakan da1..-wah yang berbau politis. Gerakan-gerakan semacam ini biasanya berkembang disebabkan oleh adanya pengaruh berbagai faktor seperti: cara pemahaman ajaran Islam itu sendiri, geo-sosio maupun kondisi politik gelobal (Islam vs. Barat). Terutama di Indonesia, peluang untuk mengarahkan gerakan revolusi Islam seperti itu tampaknya relatif potensial. Hal ini terutama disebabkan oleh luasnya geografi wilayah, kondisi ekonomi serta terdapatnya kelompokkelompok yang memang secara historisnya memiliki tujuan-tujuan sejalan dengan pergerakan semacam itu. Kelompok sempalan Islam yang .disebut Kuntowijoyo beraliran "ke kanan-kananan" terutama yang menganut paham fundamentalisme radikal, memang telah berjuang di Indonesia sejak masa awal berdirinya republik ini. Sejarah perjuangan Kartosuwiryo misalnya, 13 vo1umc .l'U.1.1, l'IU. 1 • C"coi:uan -'VlJ dengan Tentara Nasional Indonesia-nya (fll) sejak lama bercita-cita untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (NII.). Hal tersebut menunjukkan bahwa memang terdapat benih-benih perjuangan Islam yang bersifat politis yang tampaknya masih hidup di Indonesia, sampai sekarang. Kendatipun secara kuantitatif jumlahnya sangat kecil, tetapi kelompok ini biasanya sangat militan. Hal itu terutama disebabkan oleh adanya etos agama yang diyakininya, yakni dikenal dengan metode "gital -nya yang memang terdapat dalam al-Qur'an seperti ajaran tentang jihad ashghar, yang mereka pahami secara simplistik dan dipandangnya sebagai satu-satunya bentuk pengamalan ibadah. Mereka umumnya adalah kelompok-kelompok kecil dengan sistem rekruitmen yang sangat tertutup dan in-breeding. Pemikirannya cenderung ke dalam, tak ada upaya membuka wawasan maupun cakrawala yang lebih meluas ke luar dan cenderung menolak input yang terbuka. Radikalisme sikapnya menyebabkan mereka mudah emosional; alhasil, tradisi berpikirnya cenderung politis. Mereka memandang Republik Indonesia ini dikuasai oleh "person", yaitu apa yang oleh mereka sebut Fir aun yang sekuler, kafir, murtad. Oleh karena itu, penguasa-penguasanya dipandangnya adalah musuh-musuhnya Islam. Dengan tcsisnya yang simplistik clan sangat mikro ini, tidaklah heran jika terapi yang ditawarkan pun menjadi sangat simplistik dan nai"f; dengan begitu mereka sangat mudah didoktrinir tanpa sikap kritis. Dengan demikian pula, mereka menjadi rentan dari bujukan-bujukan yang berdalih membela agama. Karena mati untuk membela agama diyakininya sebagai jalan menuju surga (sahid). Etos semacam inilah selanjutnya berpotensi dapat mendorong mereka untuk bertindak di luar batasan norma-norma hukum yang berlaku secara universal. Malahan justru mereka nilai bahwa tindakannya itu adalah cara yang paling benar untuk sebuah perjuangan dalam menegakkan ataupun membela agama (Islam). Potensinya yang semacam inilah tampaknya kemudian merelasikannya dengan pergerakan-pergerakan trannasional yang memiliki tujuan sejenis seperti Jemaah al-Islamiyah versi al-Qaidah yang kini bermarkas di Afganistan. Karena pada umumnya, langsung maupun tidak, kelompok-kelompok yang disebut "teroris" di lnd?nesia, disinyalir dimotori oleh para gembongnya yang memiliki hubungan dengan organisasi tersebut. Memang agaknya sulit untuk dipahami clan cenderung membingungkan apabila aktualisasi dari misi luhur yang diembannya itu kemudian ditunjukkan dengan cara-cara kekerasan dan atau dengan mengorbankan diri melalui cara "bunuh diri". Secara rasional, memang agaknya sulit untuk memperoleh pembenaran. Tetapi yang jelas bahwa fenomena semacam itu adalah merupakan hasil rekonstruksi ajaran agama yang oleh kelompoknya memperoleh 14 • ' ~t I. '· jastifikasi pembenaran sehingga tertanam sugesti, imitasi clan selanjutnya menggelorakan emosi clan sentimen yang imajiner. Moeslim Abdurrahman (2003) berpandangan bahwa, di balik karakter perbuatan seperti itu terdorong kuat oleh adanya rasa kebersamaan dalam ketersingkiran secara sosial atau politik, yang bisa diartikulasikan melalui ungk:lpan simbol yang tersedia, yakni "jihacl'dalam ajaran agama ·Islam, sehingga masuk akal menurut keyakinan mereka. Tampaknya benar apa yang dikatakan Roland Barthes (dalam: Yasraf Amir Piliang, 2003). bahwa sebuah teks bukanlah sebaris .kata-kata yang menan1pilkan scbuah makna teologis tunggal (sabda Tuhan) meiainkan sebuah ruang multidimensi yang di dalamnya beraneka ragam tulisan, tak satu pun darinya yang orisinal, bercampur aduk, clan sating berbenturan. Hal ini ditunjukkan dari pemaharnan tentang makna "jihad" sebagai teks agama menjadi sangat subyektif clan tergantung "untuk kepentingan apa": kemuclian memberikan makna terhadap teks tersebut. Jadi "jihad" sebagai jastifikasi telah menopengi realitas yang sesungguhnya tidak ada. Sebagai sebuah tanda, "jihad" yang telah digunakan untuk menjelaskan peris~wa-peristiwa masa lampau (dengan konteks ruang, waktu dan tempatnya yang khas), kini digunakan untuk menjelaskan peristiwa masa kini yang sesungguhnya berbeda atau tidak ada sama sekali. Terjadi semacam proses dekontekstualisasi tanda (decontextualisation), yaitu tanda-tanda masa lampau dicabut dari konteks ruang waktu aslinya (makna aslinya), lalu didaur u!ang (recycled signs) di dalam konteks ruang waktu yang baru untuk berbagai tujuan, kepentingan clan strategi tertentu. Satu ha! yang juga sruna sulitnya untuk dipahami; apa yang menjadi tujuan dari perbuatan semacam itu?; Para pelaku "born bunuh diri" misalnya, tujuan imajinernya adalah cara instan menuju surga. Mereka telah terobsesi oleh suatu keyakinan kuat bahwa apa yang dilakukannya itu adalah bagian dari dakwah agama yang berpahala tinggi. Dalam imajinasinya, mereka meyakini bahwa tindakannya itu akan disambut oleh para bidadari untuk diantarkan masuk surga. Para pelaku born bunuh diri yang terjadi belakangan ini di Indonesia, dengan demikian populer disebut para "calon pengantin surga". Hal itu hanyalah hasil introdiknasi dari para pemimpin mereka yang sangat dipercayainya. Potret semacam inilah tampaknya yang membuat para · penganut Marxis mendifinisikan "agama adalah madat bagi rakyat'' (Moeslim Abdurrahman, 2003). Terilusi ingin masuk surga tanpa menyadari.diri terseret ke jurang neraka. Namun yang memiliki tujuan yang agak realistis sesungguhnya ada pada para pemimpinnya, yakni tujuan politis. Walaupun begitu, mereka ini 15 Volume XIII, No. 1 • Februari. 2013 juga bisa disebut memiliki tujuan yang sifatnya imajiner. Apakah cita-cita ' mendirikan Negara Islam di Indonesia seinstan macam itu caranya? Apakah dianggapnya cukup hanya dengan berbekal born-born rakitan ataupun yang agak lebih canggih, sambil berpekik "allahu.akbbar", lalu kemudian bermimpi melakukan deidiologi Negara tanpa mendapatkan dukungan mayoritas Muslim lainnya di negeri foi. "ferlebih-lebih (kalau dapat dikatakan) mayoritas Muslim di Indonesia tampaknya mengutuk keras cara-cara dakwah semacam itu; terlebih-lebih para gembongnya banyak yang berasal dari luar Indonesia seperti Malaysia. Di samping imajiner sifatnya, cara-cara perjuangan seperti itu sangatlah merugikan citta Islam. Berkembangnya wacana yang berstigma Barat bahwa Islam menyebarkan agama dengan perang (a wal), tampaknya terkonsttuksi cl~ aksi-aksi semacam ini. Abdurrahman Wahid memandang aksi seperti itu sebagai bentuk petjuangan yang betlandaskan pemikiran "konyol" dan "nihilisme". Karena menurutnya, tak akan pernah ada yang namanya Negara ·Ishun Indonesia; Itu cukup menjadi mimpi dari Kartosuwiryo saja. Jikalau pun berhasil, Abdurrahman Wahidmenegaskan bahwa, di sampingangan-angannya hanyalah . sebatas retorika belaka, perjuangan yang mereka klaim sebagai revolusi Islam .:hanyalah dalih para elitenya untuk mencapai kekuasaan semata. Karena setelah .berkuasa wajah aslinya ternyata sama serakahnya dengan kekuatan lainnya yang tidak bermotifkan keagamaan, manakala harus mempertahankan nikmatnya kekuasaan itu (Abdurrahman Wahid, dalam: Muh. Shaleh Isre, 1999). Walalupun tidak adanya data-data yang akurat untuk mendukungnya, kelompok-~elompok sempalan semacam itu patut diwaspadai. Mereka • tampaknya dijadikan habitat dari. kaum teroris yang gembongnya banyak berasal dari Malaysia. Di samping bergerak di bawah tanah, adapula di antaranya yang diduga telah menyusupi ormas-ormas Islam maupun partai politik di Indonesia. Munculnya ormas-ormas Islam seperti FPI (Front Pei:nbela Islam), HTl (Hisbuttahir Indonesia), FUII (Front Ukkuwah Islamiyah Indonesia), _AO-AP (Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan), dan sejenisnya; menjadikan .. kelompok.,,kelompok Islam fanatik itu yang sebelumnya berse~akan sepertinya semaldnmenemukan salurannya yang tepat. Terlebih dengan doktrin yang kuat, organisasi-organisasi tersebut mampu membangun miliiansi para anggotanya yang memungkinkan para pemimpinnya mengarahkan organisasi ke jalur yang diinginkannya (M. Suhhi Azhari, 2005). 16 t1 i l If ~ i ~~ llL ;.~ ~: ~ ;;. .·~·. ~f . . 5. • Simpulan Sungguh memprihatinkan bahwa Indonesia masih terus menghadapi persoalan-persoalan yangdapat mengganggu stabilitas nasionalnya, khususnya seputar integritas bangsa yang secara formal telah menetapkan asas Negara berdasarkan ideologi Pancasila. Intrik-intrik sentimen agama tampaknya masih menjadi persoalan. Sentimen agama itu, kalau tidak dikelola secara arif dapat saja mengarah kepada berkembangnya gerakan-gerakan deideologisme yang sudah tentu dengan segala implikasi bahayanya bagi ketahanan integrasi bangs a. Sehubllngan dengan itu, khususnya Islam yang mayoritas kini masih dihadapkan pada persoalan internalnya, yakni semakin menguatnya disorientasi yang dapat meretakkan kesadaran sosiologis Islam tersebut. Hal ini tampak utamanya pada kemunculan kelompok-kelompok primordial Islam (semacam aliran) yang memainkan percaturan politik melalui cara-cara kekerasan d3larn mcnegakkan tujuan perjuangan Islam. Oleh karena itu, sdama kesadaran kelompok ini yang menonjol, Islam se!amanya akan diperjuangkan sebagai entitas politik yang eksklusif dan bukan sebagai n1oral politik yang obyekti£ Kemenangan Islam, dengan demikian dianggap identik dengan kemenangan kelornpoknya clan bukannya kemenangan nilai-nilai Islam itu sendiri sebagaimana yang dicita-citakan oleh mayoritas Umat Islam di Indonesia yang telah merintis terbentuknya ''Negara bangsa" ini. a Daftar Pustaka Abdurrahaman, Muslim. 2003. Islam sebagai Kritik Sosial Jakarta: Erlangga. Arsana, I Gusti Ketut Gde. 2009. Ambivalensi Sikap, Kala Mendirikan Surga di Bumi. Makalah Matrikulasi Program Magister (S2) Kajian Budaya. - - -. 2010. Idolatry. Politisasi Agama dalam Menyoal Keberadaan fem a at Ahmadiyah. Makalah Matrikulasi Program Magister (S2) Kajian Budaya Unud. - - -. 2011. Eksistcnsi Jemaah Ahmadiyah Pascatragedi Ketapang di Lombok Barat, NTB. Disertasi S3 Kajian Budaya, Unud. Azhari, M. Subhi, 2005. "Sesatkah Ahmadiyah", dal_am: M:ozaik Pesantren,_ Edisi 01/Tahunl/Oktober 2005. Baso, Ahmad. 2005. Islam Pasca Kolonia!: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme. Bandung: Mizan. 17 " _ ............ _ ............. , .. '"'-"* • ... - ..... · - - · · - " ' • - ' Burhanudin, Asep. 2005. Ghulam Ahmad:jihad Tan pa Kekerasan. Yogyakarta: LKiS. Esposito, John L-John 0. Voll, 2002. Tokoh-tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer. Jakarta: penerbit Raja Grapindo Persada. Geertz, Clifford. 1979. Tafsir Kebudayaan, Penerjemah: Budi Soesanto. Yogyakar~a: Penerbit Kanisius. Gurnah, Ahme.d. 1997. "Elvis in Zanzibar , dalam: Allan Scott, The Limits ofGlobalization; Case and A rgumens, Routledge. Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam, interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan. Mas'oed, M. dkk. 2000. Kekerasan KolektiE Kondisi dan Pemicu. Yogyakarta: P3PK. UGM. Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hiper Semiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Malena. Yogyakarta,Jalasutta. Syamsul Arifin. 2005. "Relavansi Gagasan Multikulturalisme dalam Masyarakat Berbeda Agama". Makalah disampaibn dalam Seminar Nasional Erika Multikulturalisme di Universitas Katolik \Vidya Mandala Surabaya, Sabtu 22 Oktober 2005. Suarsono clan Alvin So. 1991. Pembangunan dan perubahan Sosial Jakarta: LP3ES. Sunardi, St., 1996. Keselamatan, Kapitalisme, Kekerasan, Yogyakarta: LKIS. Shaleh Isre, Muh, 1999. Prisma Pemikiran Gus Dur. Yogyakarta: LKiS. Veeger, KJ. 1990. Realitas Sosial,Jakarta: Gramedia. Weber, Max. 2003. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, Penerjemah: Yusup Priyasudiarja, Penerbit Pustaka Promethea. Young, Jock. 1999. The Ecxlusive Society; Social Ecxlusion. Crime And Difference in Later Modernity, Sage Publication. '~fl )·,-: ' • • 18