Laporan Nusantara Edisi Agustus 2015

advertisement
Agustus 2015
Laporan Nusantara
VOLUME 10 NOMOR 3
|1
Halaman ini sengaja dikosongkan
Laporan Nusantara
Daftar Isi
Kata Pengantar
Bagian I
Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah
Bagian II
Perekonomian Sumatera
Boks: Peningkatan Konektivitas Untuk Mengatasi Kesenjangan Ekonomi
Antar Daerah di Sumatera
Bagian III
Perekonomian Jawa
Boks: Dampak El Nino Terhadap Kinerja Sektor Pertanian
Bagian IV
Perekonomian Kalimantan
Boks: Transformasi Perekonomian Kalimantan - Pengembangan Hilirisasi di
Kalimantan
Bagian V
Perekonomian Kawasan Timur Indonesia
Boks: Perkembangan Hilirisasi Berbasis SDA di Kawasan Timur Indonesia
Bagian VI
Isu Khusus Daerah
Isu Khusus 1: Peran Fiskal Daerah Dalam Mengakselerasi Pertumbuhan
Ekonomi
Isu Khusus 2: Mempercepat Pembangunan Infrastruktur Energi untuk
Mendukung Pembangunan Ekonomi yang Berkelanjutan
Boks: Growth Diagnostic
Lampiran
Informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
Bank Indonesia
Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
Grup Asesmen Ekonomi
Divisi Asesmen Ekonomi Regional
Ph. 021-29818119, 29818868
Fax. 021-3452489, 2310553
Laporan Nusantara
Halaman ini sengaja dikosongkan
Laporan Nusantara
Kata Pengantar
Dalam proses perumusan kebijakan, Bank Indonesia mempertimbangkan berbagai dinamika perekonomian
dan isu terkini dalam perspektif kewilayahan. Secara periodik, pembahasan menyeluruh terkait perkembangan
perekonomian terkini dan berbagai isu strategis yang mengemuka didaerah dilakukan antara Dewan Gubernur
1
dengan Kepala Departemen Regional yang mewakili 4 (empat) wilayah di seluruh Indonesia . Pembahasan
tersebut memberikan pemahaman mendalam terkait kondisi makroekonomi disertai berbagai aspek risiko
spasial yang berkembang dan menjadi bagian penting dalam proses perumusan kebijakan.
Pada triwulan II 2015 indikator ekonomi di berbagai daerah mengindikasikan perekonomian Indonesia masih
menghadapi tantangan yang cukup berat. Kondisi ini terkait dengan perkembangan perekonomian global yang
tumbuh melambat disertai ketidakpastian yang tinggi, menyebabkan harga komoditas dunia masih dalam tren
menurun. Lemahnya permintaan global dan koreksi harga mempengaruhi kinerja ekonomi Indonesia dari sisi
eksternal yang ditandai oleh terbatasnya perbaikan ekspor, terutama di daerah-daerah yang selama ini
mengandalkan sumber daya alam. Di sisi domestik, perekonomian nasional tumbuh sebesar 4,67%, sedikit
melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh 4,70%. Perlambatan ekonomi pada
triwulan II 2015 terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, kecuali Kawasan Timur Indonesia (KTI).
Perlambatan kegiatan ekonomi secara umum terutama dipengaruhi oleh melemahnya investasi dan masih
rendahnya belanja fiskal. Kondisi tersebut mengakibatkan melemahnya kegiatan sektor-sektor utama di
daerah, sehingga berdampak pada menurunnya pendapatan yang menyebabkan melemahnya daya beli.
Sejalan dengan perlambatan perekonomian, penyaluran kredit perbankan tumbuh melambat disertai dengan
adanya kecenderungan peningkatan rasio non performing loans (NPL) meskipun masih di bawah 5%.
Memasuki triwulan III 2015, berbagai indikator perekonomian daerah mengindikasikan adanya perbaikan
kinerja ditopang oleh potensi peningkatan investasi khususnya terkait dengan pembangunan infrastruktur dan
penyerapan belanja daerah. Konsumsi RT diperkirakan akan membaik seiring dengan adanya hari besar
keagamaan. Kinerja ekspor manufaktur juga diprakirakan membaik, khususnya di Jawa, sedangkan kinerja
ekspor pertambangan KTI diprakirakan terbatas. Sementara itu, perbaikan kinerja ekonomi Kalimantan masih
akan terbatas, seiring dengan menurunnya kinerja pertambangan.
Pertumbuhan perekonomian diperkirakan mulai membaik di semester II 2015, meski masih cenderung
terbatas. Kondisi ini dipengaruhi perkembangan pemulihan ekonomi global yang masih terbatas dan
penurunan harga komoditas, sehingga berdampak pada kinerja ekspor di seluruh wilayah. Secara keseluruhan,
permintaan domestik akan masih kuat, salah satunya ditopang oleh upaya pemerintah dalam mengakselerasi
penyerapan belanja anggaran di tingkat pusat dan daerah untuk pembangunan berbagai proyek infrastruktur
strategis. Kondisi ini diperkirakan dapat menahan melambatnya laju perekonomian lebih lanjut di berbagai
daerah.
Sementara itu, inflasi pada Triwulan II 2015 di berbagai daerah masih cukup terkendali, meski secara tahunan
masih berada pada level yang tinggi karena base effect kenaikan BBM tahun lalu. Terkendalinya inflasi terlihat
dari laju kumulatif inflasi (year to date) Januari hingga Juni 2015 yang berada di bawah inflasi kumulatif
periode yang sama selama 4 (empat) tahun terakhir. Tekanan inflasi yang relatif minimal pada periode ini
didukung oleh terjaganya pasokan dan minimalnya kendala distribusi di tengah peningkatan tekanan
permintaan di periode puasa Ramadhan di Juni 2015.
Laju inflasi pada Juli 2015 tetap terkendali bahkan secara bulanan juga lebih rendah dibandingkan rata-rata
historis inflasi bulan Juli pada 4 tahun terakhir. Inflasi Juli 2015 tercatat sebesar 0,93% (mtm) atau 7,26% (yoy),
stabil dibandingkan inflasi pada akhir triwulan II 2015. Terkendalinya tekanan inflasi di berbagai daerah
dipengaruhi oleh peran aktif TPID dalam menjaga pasokan pangan serta minimalnya gangguan distribusi
1
Terhitung sejak 2015, bahasan ekonomi dan keuangan daerah dibagi menjadi 4 (empat) wilayah yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan dan
Kawasan Timur Indonesia (KTI-mencakup Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur).
Laporan Nusantara|i
ditengah meningkatnya tekanan permintaan pada periode Ramadhan. Tekanan inflasi berasal dari peningkatan
harga komoditas bahan makanan seperti daging ayam ras dan cabai merah serta peningkatan tarif berbagai
angkutan (darat, laut dan udara).
Kondisi terkendalinya inflasi diperkirakan terus berlanjut hingga pada akhir Triwulan III 2015 ditengah
meningkatnya beberapa risiko inflasi terutama terkait meluasnya kekeringan akibat El Nino. Hingga akhir tahun
2015, prakiraan inflasi di berbagai daerah secara agregat masih sejalan dengan kisaran sasaran inflasi nasional
sebesar 4%±1%. Optimisme ini didukung oleh perkiraan surplus produksi pangan dan perbaikan berbagai
infrastruktur konektivitas untuk meningkatkan efisiensi distribusi barang. Meski demikian, terdapat beberapa
risiko yang dapat meningkatkan tekanan inflasi pada tahun 2015 yaitu kendala kesinambungan produksi
pangan karena faktor iklim (El Nino) atau sebab lainnya dan pelemahan nilai tukar.
Dengan mempertimbangkan risiko tekanan inflasi tersebut, upaya pengendalian inflasi di daerah perlu
difokuskan pada berbagai langkah untuk menjamin ketersediaan pasokan, keterjangkauan harga, serta
kelancaran distribusi barang dari sentra produksi hingga ke konsumen. Upaya pengendalian inflasi ditempuh
melalui perluasan cakupan komoditas pangan untuk operasi pasar yang disesuaikan dengan karakteristik
konsumsi daerah, secara intensif melakukan kegiatan monitoring kondisi pasokan di gudang-gudang,
pemberian subsidi ongkos angkut dan program komunikasi untuk mengelola ekspektasi inflasi masyarakat.
Asesmen lengkap mengenai dinamika terkini dan prospek ekonomi daerah diuraikan secara lengkap dalam
buku Laporan Nusantara. Pada edisi kali ini, Laporan Nusantara mengangkat isu khusus mengenai peran fiskal
dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi daerah dan isu mengenai kedaulatan energi yang merupakan
salah satu agenda prioritas pembangunan pada era Kabinet Kerja.
Penyusunan buku Laporan Nusantara ini dilakukan secara bersama antara Departemen Kebijakan Ekonomi dan
Moneter (DKEM) dan Departemen Regional I–IV yang masing-masing membawahi regional Sumatera, Jawa,
Kalimantan, dan Kawasan Timur Indonesia. Akhir kata, kami berharap buku Laporan Nusantara ini dapat
menjadi referensi para pemangku kepentingan dan pemerhati ekonomi daerah, serta menjadi salah satu
kontribusi Bank Indonesia dalam pembangunan ekonomi daerah.
Jakarta, 20 Agustus 2015
Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
Juda Agung
Direktur Eksekutif
L a p o r a n N u s a n t a r a | ii
PERKEMBANGAN TERKINI EKONOMI DAERAH
Perkembangan berbagai indkator ekonomi pada triwulan II 2015 mengindikasikan perekonomian di
berbagai daerah masih menghadapi tantangan yang cukup besar. Realisasi pertumbuhan ekonomi triwulan II
2015 tercatat sebesar 4,67% (yoy), sedikit melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai 4,72%
(yoy). Dinamika lingkungan global yang masih diwarnai oleh tingginya ketidakpastian diikuti oleh masih
rendahnya harga komoditas di pasar ekspor memberikan implikasi yang kurang menguntungkan bagi kinerja
perekonomian domestik. Kondisi ini berdampak pada masih terbatasnya perbaikan kinerja ekspor di berbagai
daerah. Di samping itu, investasi tumbuh melambat karena realisasi proyek infrastruktur pemerintah yang
belum secepat perkiraan serta investasi dari sektor swasta yang terbatas terkait dengan kondisi permintaan
domestik dan global yang cenderung melemah. Kondisi ini juga dipengaruhi oleh belanja fiskal, baik di tingkat
pusat dan daerah, yang masih terbatas. Terbatasnya belanja fiskal daerah terjadi justru ditengah meningkatnya
alokasi dana transfer daerah yang juga disertai adanya alokasi dana desa. Selain itu, imbas dari penurunan
harga komoditas menyebabkan beberapa daerah yang selama ini mengandalkan pada pendapatan bagi hasil
sumber daya alam (SDA) harus melakukan penyesuaian belanja daerah (Lihat Isu Strategis 1: Mempercepat
Penyerapan Belanja Fiskal Daerah). Demikian halnya dengan pertumbuhan konsumsi RT yang sedikit melambat
karena dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang menurun.
Sumber: BPS (diolah)
Gambar I.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan II 2015
Melambatnya pertumbuhan ekonomi terjadi di sebagian besar daerah di wilayah Kalimantan, Sumatera,
dan Jawa. Pertumbuhan ekonomi berbagai daerah di Kalimantan secara agregat bahkan masih berada pada
level yang rendah yakni sebesar 1,48% (yoy), melambat dibanding periode triwulan sebelumnya yang sebesar
1,69% (yoy). Kondisi ini terutama dipengaruhi oleh kinerja ekspor batubara yang masih terbatas karena
rendahnya harga di pasar global dan melemahnya permintaan Tiongkok, serta masih terbatasnya penyerapan
belanja fiskal daerah. Produksi minyak bumi yang masih cenderung turun bahkan menyebabkan pertumbuhan
ekonomi Kalimantan Timur kembali mengalami kontraksi. Demikian halnya dengan perekonomian di sebagian
besar daerah di Sumatera yang secara agregat tumbuh 2,85% (yoy) lebih rendah dibanding periode triwulan
sebelumnya (3,56%,yoy) karena dipengaruhi terbatasnya peningkatan kinerja ekspor terkait masih rendahnya
harga komoditas sehingga berdampak pada melemahnya konsumsi RT. Selain itu, berlanjutnya kontraksi
Laporan Nusantara|1
pertumbuhan di Aceh dan Riau akibat turunnya produksi migas turut memengaruhi perekonomian Sumatera
secara keseluruhan. Perkembangan ekonomi di hampir seluruh daerah di Jawa secara agregat juga tumbuh
sedikit melambat pada triwulan II 2015 yakni menjadi 5,07% dari 5,13% di triwulan sebelumnya. Perlambatan
ekonomi Jawa bersumber terutama dari terbatasnya kinerja ekspor manufaktur dan investasi. Sementara itu,
perekonomian berbagai daerah di Kawasan Timur Indonesia (KTI) secara keseluruhan tumbuh dari 6,84% (yoy)
ke 9,01% (yoy) di triwulan II 2015. Namun, perbaikan ekonomi di KTI lebih dipengaruhi oleh faktor base effect
2
dari ekspor mineral . Semakin besarya pengaruh dari penurunan harga komoditas terhadap kinerja ekspor
daerah, terutama daerah-daerah yang selama ini mengandalkan pada ekspor barang mentah, menunjukkan
langkah untuk mendorong hilirisasi menjadi semakin penting. Hal ini perlu didukung upaya lanjutan untuk
membenahi iklim yang diperlukan untuk berkembangnya hilirisasi terutama pada faktor jaminan ketersediaan
energi yang merata di seluruh nusantara (Lihat Isu Strategis 2: Mempercepat Pembangunan Infrastruktur
Energi untuk Mendukung Ekonomi yang Berkelanjutan).
Sejalan dengan kinerja ekonomi yang masih cenderung tumbuh melambat, penyaluran kredit perbankan
juga masih terbatas. Hingga akhir triwulan II 2015, penyaluran kredit tercatat tumbuh melambat, baik pada
penyaluran kredit ke korporasi (sektor utama) maupun ke sektor rumah tangga. Melambatnya penyaluran
kredit ke sektor korporasi terjadi di hampir seluruh wilayah kecuali di KTI yang masih dapat mencatat adanya
peningkatan ke beberapa sektor seperti industri pengolahan dan pertanian. Peningkatan penyaluran kredit di
KTI terutama untuk pembiayaan kegiatan prapanen dan kebutuhan bibit baru pascapanen, serta pembiayaan
ekspansi beberapa industri berbasis SDA. Namun, di sisi lain, non performing loans (NPL) menunjukkan
kecenderungan yang sedikit meningkat di seluruh wilayah meski masih di bawah 5%. Penyaluran kredit ke
sektor rumah tangga juga mengalami perlambatan di seluruh wilayah dengan disertai NPL yang sedikit
meningkat, meski masih berada di bawah ambang batas yang dianggap aman.
Pertumbuhan ekonomi yang melambat juga tercermin dari aktivitas transaksi keuangan di sistem
pembayaran. Secara agregat, nilai transaksi melalui real-time gross settlement (RTGS) pada triwulan II 2015
tumbuh melambat pada level 17,66% (yoy) setelah pada triwulan sebelumnya tumbuh di kisaran 21,27%. Nilai
transaksi melalui kliring bahkan tumbuh negatif 25,91% (yoy), setelah pada triwulan sebelumnya masih
tumbuh di kisaran 10,53%. Adapun dari segi volume transaksi, baik RTGS maupun kliring, mengalami
pertumbuhan negatif masing-masing sebesar 34,67% dan 25,74% (yoy). Perlambatan kegiatan transaksi
keuangan melalui RTGS dan kliring ini terjadi di hampir seluruh daerah, terutama di Jawa.
Memasuki triwulan III 2015, perkembangan indikator ekonomi di berbagai daerah secara agregat
mengindikasikan arah pertumbuhan ekonomi yang relatif membaik meski masih terbatas. Di Sumatera,
membaiknya kinerja perekonomian bersumber dari meningkatnya realisasi belanja pemerintah dan investasi
terutama terkait pembangunan proyek infrastruktur berskala besar di beberapa daerah di Sumatera. Namun,
perkembangan ekspor hasil perkebunan yang masih terbatas menahan perbaikan ekonomi Sumatera lebih
lanjut. Demikian halnya dengan perkembangan ekspor batubara di Kalimantan yang cenderung masih tumbuh
melambat sehingga diperkirakan menahan perbaikan kinerja ekonomi Kalimantan. Perbaikan ekonomi
Kalimantan ditopang oleh investasi seiring dengan realisasi proyek infrastruktur pemerintah. Perekonomian
Jawa diperkirakan membaik bersumber dari kinerja ekspor manufaktur yang membaik disertai meningkatnya
realisasi pembangunan infrastruktur pemerintah dan penyerapan belanja daerah yang lebih baik, serta masih
kuatnya konsumsi RT. Di sisi lain, perekonomian KTI diprakirakan tumbuh melambat meski masih berada pada
level yang cukup tinggi. Melambatnya pertumbuhan ekonomi KTI terutama dipengaruhi oleh kinerja ekspor
tambang yang masih terbatas seiring dengan pembatasan volume ekspor mineral dan berakhirnya masa panen
di sektor pertanian.
2
Ekspor mineral kembali dapat dilakukan secara terbatas pada Triwulan III 2015 setelah implementasi larangan kebijakan ekspor mineral
yang mulai berlaku pada Januari 2014.
Laporan Nusantara|2
Tabel I.1. Tendensi Arah Perekonomian Daerah Triwulan III 2015*
SUMATERA
Tendensi
Kawasan
Asesmen
JAWA (Termasuk JAKARTA)
Tendensi
Kawasan
Asesmen
KALIMANTAN
Tendensi
Kawasan
Asesmen
TIMUR INDONESIA
Tendensi
Kawasan
Asesmen
Pertumbuhan
Ekonomi
Didorong oleh investasi dan konsumsi rumah
tangga.
Peningkatan belanja konsumsi RT (Lebaran &
tahun ajaran baru) dan optimisme pelaku
usaha atas permintaan ekspor.
Konsumsi RT
Pola musiman, peningkatan ekspektasi
konsumen, dampak pelonggaran kebijakan
LTV.
Pencairan gaji ke-13, kenaikan gaji PNS dan
momen menjelang Lebaran dan Tahun Ajaran
Baru.
Peningkatan optimisme konsumen.
Peningkatan permintaan di musim peak
season tertahan oleh adanya indikasi
pelemahan keyakinan konsumen.
Konsumsi
Pemerintah
Peningkatan penyerapan dana desa,
peningkatan realisasi anggaran, persiapan
pilkada serentak, DPK Pemda menurun hingga
Juni 2015.
Percepatan belanja infrastruktur pemerintah,
Pencairan gaji ke-13, kenaikan gaji PNS dan
momen menjelang Lebaran dan Tahun Ajaran
Baru.
Program baru di daerah seperti Dana Desa dan
Upsus.
Percepatan realisasi anggaran sesuai pola
siklikal setelah penyerapan yang belum
optimal di awal tahun.
Investasi
(PMTB)
Implementasi proyek pemerintah (jalan tol &
rel KA), persiapan Asian Games di Sumsel,
perbaikan investasi swasta, kredit investasi
masih tumbuh.
Upaya percepatan belanja infrastruktur
pemerintah, peningkatan realisasi investasi
swasta (industri pengolahan) sesuai dengan
rencananya di tahun 2014
Pembangunan IPP dan infrastruktur.
Perlambatan dari sisi investasi bangunan
maupun non-bangunan milik swasta serta
adanya keengganan pelaku usaha untuk
berinvestasi.
Ekspor LN
Harga karet, CPO, karet, batubara internasional
yang masih rendah hingga Juli, kebijakan CSF.
Optimisme perbaikan pada permintaan ekspor
ke AS & Jepang, meskipun tidak setinggi
perkiraan sebelumnya. Jg tambahan rilis
kendaraan baru di bbrp pabrikan otomotif
Jabar untuk negara di Kawasan ASEAN.
Masih lesunya permintaan energi.
Perlambatan kinerja ekspor mineral karena
diperolehnya izin ekspor pada triwulan yang
sama tahun sebelumnya.
Impor LN
Impor guna mendukung realisasi proyek
Pemerintah.
Optimisme perbaikan kinerja industri
pengolahan, khususnya tekstil di Jateng.
Turunnya permintaan alat berat.
Penurunan konten impor untuk kegiatan
ekspor pertambangan dan investasi.
Peningkatan produksi industri pengolahan.
Perlambatan kinerja ekspor hasil tambang dan
pertanian.
* Prakiraan arah kondisi ekonomi secara tahunan (year-on-year)
Dari sisi perkembangan harga, inflasi pada Triwulan II 2015 di berbagai daerah masih cukup terkendali,
meski secara tahunan berada pada level yang tinggi. Terkendalinya inflasi terlihat dari laju kumulatif (year-todate) inflasi sepanjang periode hingga akhir Triwulan II 2015 di berbagai daerah yang cenderung rendah dan
berada di bawah kumulatif periode yang sama dalam empat tahun terakhir. Secara umum, tekanan inflasi yang
relatif minimal pada periode ini didukung oleh terjaganya pasokan dan minimalnya kendala distribusi di tengah
mulai meningkatnya tekanan permintaan terkait masuknya periode Ramadhan di Juni 2015. Inflasi yang lebih
tinggi terjadi di sebagian daerah di Sumatera dan Kalimantan yang dipicu oleh kenaikan harga aneka cabai,
daging ayam, dan ikan segar. Meski demikian, secara tahunan (year-on-year) inflasi masih berada pada level
yang tinggi terkait faktor base effect dari kenaikan harga BBM pada November 2014 dengan yang tertinggi di
Sumatera (7,74%) diikuti KTI (7,43%), Kalimantan (7,33%), dan Jawa (7,06%).
Memasuki triwulan III 2015, secara umum laju inflasi pada Juli 2015 tetap terkendali, bahkan secara bulanan
lebih rendah dibandingkan rata-rata historis inflasi bulan Juli pada 4 tahun terakhir. Terkendalinya tekanan
inflasi di berbagai daerah dipengaruhi oleh terjaganya pasokan pangan, yang didukung oleh adanya panen
komoditas pangan strategis seperti bawang merah di beberapa daerah sentra (Brebes dan Bima), serta
minimalnya gangguan distribusi ditengah meningkatnya tekanan permintaan pada periode Ramadhan.
Tekanan kenaikan inflasi yang lebih tinggi masih terjadi di beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan yang
dipicu oleh meningkatnya harga beberapa komoditas bahan makanan dan juga kenaikan tarif angkutan udara.
Kondisi terkendalinya inflasi diperkirakan terus berlanjut hingga pada akhir Triwulan III 2015 ditengah
meningkatnya beberapa risiko inflasi terutama terkait meluasnya kekeringan akibat El Nino.
Terkendalinya inflasi pada periode ini tidak terlepas dari menguatnya upaya yang ditempuh oleh Pemerintah
ditingkat pusat dan daerah dalam menjaga stabilitas harga sebagai komitmen tindaklanjut arahan Presiden RI
3
pada Rakornas VI TPID . Di tingkat pusat, beberapa program kebijakan dilakukan seperti program gerai
maritim, pasar murah dan operasi pasar bahan makanan, serta pemberian potongan tarif tol selama masa
Ramadhan. Sementara di tingkat daerah, upaya pengendalian harga ditempuh melalui perluasan cakupan
komoditas pangan untuk operasi pasar yang disesuaikan dengan karakteristik konsumsi daerah, secara intensif
melakukan kegiatan monitoring kondisi pasokan di gudang-gudang, pemberian subsidi ongkos angkut dan
3
Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) VI TPID diselenggarakan pada 27 Mei 2015 yang dipimpin langsung oleh Presiden RI
Laporan Nusantara|3
program komunikasi untuk mengelola ekspektasi inflasi masyarakat. Meski demikian, secara spasial tekanan
inflasi di wilayah Kalimantan dan Sumatera masih lebih tinggi dari pola historisnya akibat kenaikan harga
pangan dan kenaikan tarif angkutan udara yang masih cukup tinggi.
Gambar I.2. Peta Inflasi Daerah
PROSPEK, RISIKO DAN TANTANGAN EKONOMI DAERAH
Prospek Ekonomi Daerah
Perkembangan perekonomian daerah terkini secara agregat mengindikasikan pertumbuhan ekonomi akan
mulai membaik di semester II 2015 meski masih relatif terbatas. Hal ini terutama dipengaruhi oleh
perkembangan pemulihan ekonomi global yang masih terbatas disertai harga komoditas yang cenderung
menurun sehingga berdampak pada kinerja ekspor di berbagai daerah. Perkembangan ekonomi Tiongkok yang
masih cenderung melambat memengaruhi kinerja ekspor komoditas tambang di Sumatera dan Kalimantan.
Melemahnya perekonomian Tiongkok juga berimbas pada kinerja ekspor manufaktur Jawa yang tumbuh
melambat, meski perlambatan lebih lanjut relatif tertahan oleh masih cukup kuatnya permintaan dari Amerika
Serikat dan beberapa negara di Eropa. Secara keseluruhan, permintaan domestik terkait dengan konsumsi
rumah tangga yang masih kuat, serta upaya yang ditempuh oleh pemerintah untuk mendorong penyerapan
belanja anggaran di tingkat pusat dan daerah untuk pembangunan berbagai proyek infrastruktur strategis
diperkirakan dapat menahan melambatnya laju perekonomian lebih lanjut di berbagai daerah. Selain itu,
penyelenggaraan pilkada serentak di akhir tahun 2015 diperkirakan dapat memberikan dampak positif
terhadap kinerja perekonomian di berbagai daerah.
Pertumbuhan ekonomi yang melambat terutama dialami oleh daerah-daerah di Jawa, Sumatera, dan
Kalimantan. Melambatnya pertumbuhan ekonomi Jawa terutama disebabkan oleh kinerja ekspor manufaktur
yang cenderung tumbuh lebih rendah. Kondisi ini berdampak negatif pada kinerja industri pengolahan di Jawa.
Di Sumatera, pertumbuhan ekonomi yang melambat terutama dipengaruhi kinerja ekspor yang masih
cenderung lemah disertai harga komoditas yang cenderung rendah sehingga berdampak pada kinerja di sektor
perkebunan dan industri pengolahan berbasis SDA yang cukup dominan di Sumatera. Selain itu, terus
menurunnya produksi migas di Aceh dan Riau turut menyebabkan kinerja Sumatera yang lebih rendah secara
keseluruhan. Di Kalimantan, perlambatan ekonomi bersumber dari kinerja ekspor tambang yang terbatas
disertai produksi (lifting) minyak bumi yang juga menurun. Kondisi ini selanjutnya berdampak pada
menurunnya pendapatan ekspor sehingga memengaruhi konsumsi RT. Sementara itu, perekonomian KTI dapat
tumbuh lebih tinggi karena kembali dapat dilakukannya ekspor mineral secara terbatas di beberapa daerah,
setelah pada periode Januari-Agustus tahun 2014 sempat terhenti sebagai bagian dari langkah pemerintah
untuk mendorong hilirisasi di sektor pertambangan. Langkah kebijakan pemerintah ini diikuti dengan adanya
beberapa smelter besar yang mulai beroperasi di wilayah KTI, meski masih relatif terbatas.
Laporan Nusantara|4
Di sisi harga, perkembangan inflasi di berbagai daerah hingga akhir tahun 2015 diperkirakan tetap terkendali
dan secara agregat di dalam kisaran sasaran inflasi nasional sebesar 4%±1%. Hal ini didukung oleh
perkembangan inflasi terkini yang masih relatif terkendali terutama pada masa Ramadhan. Di beberapa daerah
di Jawa dan KTI, perkembangan inflasi pada periode Ramadhan bahkan tercatat lebih rendah dibanding pola
historisnya dalam empat tahun terakhir. Prakiraan terkendalinya tekanan inflasi hingga akhir tahun ini sejalan
dengan prospek pertumbuhan ekonomi nasional yang cenderung berada di bawah tingkat potensialnya
sehingga tekanan dari sisi permintaan diperkirakan masih rendah. Produksi pangan, khususnya beras,
diperkirakan masih meningkat dibanding periode tahun sebelumnya meski tidak sebesar yang diprakiraan
sebelumnya terkait dengan menguatnya intensitas El-Nino. Intensifnya upaya pemerintah untuk
mengamankan capaian produksi pangan domestik diharapkan mampu meminimalkan tekanan inflasi pangan.
Selain itu, minimalnya tekanan inflasi didukung prakiraan masih rendahnya tekanan harga komoditas di pasar
global, khususnya harga minyak. Sementara itu, dampak imported inflation dari melemahnya nilai tukar relatif
dapat diminimalisir oleh harga komoditas global yang masih cenderung menurun. Terkendalinya inflasi juga
didukung oleh terjaganya ekspektasi inflasi baik ditingkat konsumen maupun pedagang.
Risiko dan Tantangan Ke Depan
Kondisi pasar global masih menjadi faktor risiko yang perlu terus dicermati. Terkait dengan pertumbuhan
ekonomi, risiko pertama bersumber dari besarnya ketidakpastian pemulihan ekonomi global yang diikuti oleh
harga komoditas di pasar ekspor yang masih cenderung menurun sehingga berpotensi terus menekan kinerja
ekspor daerah. Kondisi ini pada gilirannya berpotensi memengaruhi pendapatan ekspor sehingga berimbas
pada daya beli masyarakat yang menurun. Risiko kedua terkait dengan penyerapan belanja daerah yang
berpotensi masih belum optimal pada semester II 2015, termasuk belum teratasinya kendala penyerapan dana
desa. Bilamana risiko ini termaterialisasi maka akan berimbas pada terbatasnya daya dukung fiskal daerah
untuk menopang pertumbuhan ekonomi yang tengah melambat. Hal ketiga yang menjadi risiko menekan
kinerja perekonomian daerah adalah kekhawatiran semakin kuatnya intensitas El Nino yang menyebabkan
meluasnya kekeringan di berbagai daerah. Kemungkinan dampak El Nino yang lebih kuat dialami oleh daerahdaerah di Jawa, yang merupakan basis produksi pertanian nasional, dapat berimplikasi pada menurunnya
kinerja produksi sektor pertanian nasional secara signifikan.
Sementara itu, risiko terkait inflasi yang perlu diwaspadai terutama terkait dengan dampak menguatnya
intensitas El Nino. Perkembangan terkini mengindikasikan intensitas El Nino yang menguat dan berada pada
tingkat yang sama dengan kondisi El Nino pada tahun 1997-1998. Dampak menguatnya intensitas El Nino ini
telah menyebabkan kekeringan yang meluas hingga di daerah yang merupakan basis produksi pangan
4
nasional . Pada kondisi El Nino di tahun 1997, terjadi penurunan produksi padi dibandingkan dengan tahun
1996 hingga sekitar 3,37%. Berdasarkan pengalaman empiris tersebut, maka kondisi El Nino dengan intensitas
yang menguat pada tahun ini diperkirakan berimbas pada lebih rendahnya kenaikan produksi pangan,
khususnya beras, dibanding perkiraan sebelumnya yang sebesar 75,5 juta ton Gabah Kering Giling (GKG). Di
samping itu, permasalahan kenaikan harga komoditas daging yang terjadi pada awal Triwulan III 2015 di
sejumlah daerah serta masih rentannya kestabilan pasokan beberapa komoditas pangan lainnya seperti aneka
cabai, ikan segar, dan bawang, turut menjadi risiko yang dapat memberikan tekanan kenaikan inflasi pangan.
Selain itu, risiko terkait inflasi yang juga perlu diwaspadai bersumber dari rencana penerapan mekanisme
distribusi baru untuk LPG 3 Kg dengan uji coba awal rencananya akan dilakukan di beberapa daerah (Batam,
Bali dan Tarakan).
4
BMKG merilis indeks El-Nino pada 24 Juli 2015 berada pada besaran yang sama dengan kondisi di Juli 1997 yakni sebesar 1,49. Indeks El
Nino pada tahun 1997 mencapai angka tertinggi 2,38 pada Desember 1997.
Laporan Nusantara|5
Menghadapi dinamika perekonomian yang masih cenderung melambat dan meminimalkan potensi risiko
inflasi yang masih ada, setidaknya terdapat empat hal yang perlu menjadi perhatian:
Pertama, masih terbatasnya penyerapan belanja daerah hingga semester I 2015 ditengah meningkatnya
alokasi transfer ke daerah pada APBN-P 2015 yang juga disertai adanya alokasi dana desa sebagai amanat UU
No.6 tahun 2014 tentang Desa. Kondisi ini menyebabkan dana idle milik pemerintah daerah di perbankan
meningkat cukup besar. Hal ini menunjukan perlu adanya extra efforts untuk dapat mengatasi berbagai
permasalahan yang menghambat pemanfaatan anggaran yang meningkat di daerah sehingga anggaran yang
besar tersebut dapat secara optimal memberikan stimulasi bagi aktivitas perekonomian. Upaya yang dapat
ditempuh diarahkan untuk mendorong percepatan penyerapan belanja daerah khususnya untuk
merealisasikan proyek infrastruktur daerah, termasuk mempercepat APBD Desa (APBDes) Perubahan sebagai
prasyarat pencairan dana desa serta penyusunan petunjuk teknis penggunaan dana dan adanya
pendampingan, serta upaya meningkatkan kapasitas desa dalam pengelolaan dana desa.
Kedua, harga komoditas di pasar global yang cenderung menurun berimbas pada pendapatan daerah-daerah
yang selama ini mengandalkan pada hasil dari sumber daya alam, khususnya minyak bumi dan gas. Hal ini
berimplikasi pada kemampuan belanja pembangunan di daerah tersebut yang cenderung semakin terbatas.
Mengatasi hal ini diperlukan penerapan strategi pembangunan yang diprioritaskan pada peningkatan nilai
tambah produksi di daerah melalui percepatan industrialisasi/hilirisasi dengan tahapan yang jelas dan
komitmen yang kuat. Beberapa hal yang telah ditempuh untuk mendorong berkembangnya industrialisasi
seperti pemberian insentif fiskal (tax holiday bagi pengembangan industri sumber daya terbarukan dan
industri pengilangan minyak bumi, tax allowance) dan upaya mendorong skema pembiayaan public-private
partnership (PPP) dalam proses akuisisi lahan, pengembangan proyek, termasuk penjaminan pemerintah
melalui PT Penjamin Infrastruktur Indonesia. Langkah kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah pusat
tersebut perlu disertai dukungan dan koordinasi yang kuat dari pemerintah daerah antara lain melalui
penyederhanaan regulasi dan perizinan, serta kejelasan tata ruang di daerah.
Ketiga, kemajuan realisasi proyek infrastruktur, khususnya terkait penyediaan energi listrik, masih menghadapi
tantangan di dalam pelaksanaannya antara lain terkait persoalan lahan, pembiayaan, dan perizinan. Selain itu,
pembangunan pembangkit listrik baru perlu lebih diarahkan untuk mendukung berkembangnya
industri/hilirisasi di luar Jawa. Untuk itu, dalam implementasi pelaksanaan pembangunan pembangkit listrik
diperlukan koordinasi yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah, dukungan komitmen yang kuat daerah
pada arah pengembangan hilirisasi, serta perubahan paradigma penyediaan infrastruktur energi dari demand
driven ke arah demand creation sehingga pengembangannya dapat lebih tersebar merata ke luar Jawa. Untuk
mendukung percepatan pembangunan infrastruktur energi ini, beberapa langkah kebijakan yang telah
dilakukan oleh pemerintah seperti pemberian prioritas khusus penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan
untuk pembangunan proyek infrastruktur strategis, percepatan pemberian izin prinsip terhadap proyek
pengembangan listrik 35 GW, serta relaksasi dan penyederhanaan perizinan.
Keempat, mengantisipasi potensi risiko inflasi diperlukan penguatan koordinasi pengendalian inflasi di tingkat
pusat maupun daerah melalui TPI dan TPID perlu difokuskan pada lima hal yakni:
1) mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk meminimalkan dampak kekeringan akibat El-Nino
terutama di daerah-daerah yang merupakan lumbung pangan nasional antara lain melalui penyediaan air
melalui pompa, bibit di lahan kering, pengaturan pola tanam.
2) mengelola ekspektasi inflasi masyarakat melalui program komunikasi yang intensif dan terarah, serta
meningkatkan kualitas akses informasi harga bagi masyarakat luas.
3) memperkuat stok pangan BULOG sebagai penyangga untuk menjamin stabilisasi harga pangan.
Laporan Nusantara|6
4) melakukan pengawasan yang intensif terhadap distribusi komoditas strategis di daerah untuk memastikan
kesinambungan pasokannya bagi masyarakat.
5) melakukan penajaman terhadap agenda pengendalian inflasi di daerah dengan mengacu pada tahapan
jangka menengah atau roadmap pengendalian inflasi.
Laporan Nusantara ini disarikan dari hasil pertemuan Dewan Gubernur Bank Indonesia dengan para Kepala
Departemen Regional pada 10 Agustus 2015 di Balikpapan. Pertemuan tersebut dilakukan secara periodik
untuk membahas perkembangan terkini dan berbagai isu strategis yang menjadi perhatian di daerah
sebagai bahan pertimbangan penting dalam perumusan kebijakan di Bank Indonesia
Laporan Nusantara|7
Halaman ini sengaja dikosongkan
Laporan Nusantara|8
PERTUMBUHAN EKONOMI
Pertumbuhan ekonomi Sumatera pada triwulan II 2015 melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Ekonomi Sumatera tumbuh sebesar 2,85% (yoy), lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang tumbuh 3,56%
(yoy). Kondisi ini terutama dipengaruhi oleh terbatasnya kinerja ekspor seiring dengan masih rendahnya harga
komoditas yang selanjutnya berdampak melemahnya konsumsi rumah tangga (RT). Perlambatan konsumsi
rumah tangga ini juga turut memengaruhi kinerja sektor perdagangan. Perlambatan ekonomi terjadi di hampir
semua provinsi di Sumatera dan bahkan terdapat dua provinsi yang masih mengalami kontraksi pertumbuhan
yakni Aceh dan Riau. Pada triwulan II 2015 hanya Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Lampung yang
mencatat kenaikan angka pertumbuhan ekonomi.
Perekonomian Sumatera pada triwulan III 2015 diprakirakan mengalami perbaikan, walaupun masih relatif
terbatas. Perbaikan kondisi ekonomi terutama ditopang oleh peningkatan realisasi anggaran pemerintah dan
investasi, ditengah masih terbatasnya kinerja ekspor. Realisasi proyek infrastruktur berskala besar di beberapa
daerah di Sumatera, seperti pembangunan jalan tol dan double track kereta api, serta infrastruktur pendukung
Asian Games 2018 diperkirakan akan mampu mendorong kinerja investasi Pemerintah. Perbaikan ekonomi
juga diperkirakan didukung oleh menguatnya konsumsi rumah tangga karena pengaruh faktor musiman.
Secara spasial, perbaikan ekonomi diperkirakan akan terjadi di hampir seluruh Sumatera, kecuali Aceh dan
Riau karena kinerja migas yang diperkirakan masih akan mengalami kontraksi pertumbuhan.
Secara keseluruhan, berbagai perkembangan terkini mengindikasikan perekonomian Sumatera pada 2015
diperkirakan tumbuh lebih rendah dibanding prakiraan sebelumnya. Perekonomian Sumatera untuk
keseluruhan tahun 2015 diprakirakan tumbuh sebesar 3,40-3,90% (yoy). Perlambatan ini terutama disebabkan
oleh kontraksi kinerja migas, serta rendahnya harga komoditas sebagai dampak permintaan global yang belum
membaik sehingga menekan kinerja ekspor daerah. Kondisi tersebut diperkirakan menahan kinerja sektorsektor utama di Sumatera seperti pertanian, pertambangan, dan industri pengolahan. Kinerja sektor pertanian
juga dihadapkan pada risiko kekeringan akibat fenomena El Nino yang diperkirakan terjadi di semester II 2015.
Perlambatan perekonomian akan terjadi di hampir seluruh Sumatera kecuali Sumatera Selatan dan Lampung
seiring dengan pelaksanaan pembangunan megaproyek infrastruktur di kedua provinsi tersebut.
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi rumah tangga (RT) di Sumatera tercatat tumbuh melambat pada triwulan II 2015 dibanding triwulan
sebelumnya. Konsumsi RT pada triwulan II 2015 tumbuh 5,19% (yoy), melambat dibanding triwulan I 2015
sebesar 5,24% (yoy). Melambatnya kinerja konsumsi RT dipengaruhi oleh pendapatan ekspor yang menurun
seiring dengan masih rendahnya harga komoditas di pasar global. Sejalan dengan perlambatan konsumsi RT
ini, penyaluran kredit konsumsi juga cenderung tumbuh melambat (Grafik II.1) khususnya pada kredit
kepemilikan rumah dan kredit kendaraan bermotor. Selain itu, optimisme masyarakat terhadap kondisi
perekonomian pada hasil Survei Konsumen juga lebih rendah pada triwulan II 2015 (Grafik II.2).
Konsumsi swasta pada triwulan III diperkirakan membaik, didukung oleh perbaikan ekspektasi konsumen.
Membaiknya ekspektasi tersebut dipengaruhi oleh ekspektasi terhadap perbaikan pendapatan seiring
pencairan gaji ke-13 dan adanya Tunjangan Hari Raya (THR) Lebaran. Pendapatan petani juga menunjukkan
perbaikan yang ditunjukkan oleh perbaikan Nilai Tukar Petani (NTP) di bulan Juli. Selain itu, adanya kebijakan
Laporan Nusantara|9
pelonggaran rasio Loan To Value (LTV) diperkirakan mampu mendorong penjualan kendaraan bermotor,
khususnya kendaraan roda dua.
Grafik II.1. Perkembangan Kredit Konsumsi
Grafik II.2. Indeks Keyakinan Konsumen
Konsumsi Pemerintah
Pertumbuhan konsumsi pemerintah pada triwulan II 2015 mengalami perbaikan dibandingkan triwulan I 2015.
Konsumsi pemerintah tumbuh sebesar 3,94% (yoy), lebih tinggi dari triwulan sebelumnya yang sebesar 0,64%
(yoy). Perbaikan konsumsi pemerintah terkait dengan adanya peningkatan penyerapan belanja fiskal di
Sumatera. Meski demikian, kenaikan penyerapan anggaran daerah tersebut relatif masih terbatas ditengah
transfer daerah yang meningkat. Secara rata-rata, penyerapan belanja fiskal daerah di seluruh daerah
Sumatera pada akhir Triwulan II 2015 adalah sebesar 20% dengan penyerapan terendah tercatat terjadi di
Riau. Masih terbatasnya penyerapan anggaran tersebut diikuti oleh meningkatnya dana milik Pemerintah
Daerah diperbankan (Grafik II.3).
Grafik II.3. Perkembangan Posisi Simpanan Pemerintah
Daerah
Sumatera di Bank Umum
Grafik II.4. Perkembangan Giro dan Deposito Pemerintah
Daerah
Sumatera di Bank Umum
Konsumsi pemerintah diperkirakan masih tumbuh meningkat pada triwulan III 2015. Pertumbuhan tersebut
diantaranya didorong oleh pencairan gaji ke-13 PNS serta adanya berbagai upaya khusus yang ditempuh oleh
pemerintah untuk mempercepat penyerapan belanja, khususnya untuk pembangunan infrastruktur. Selain itu,
penyerapan Dana Desa juga diperkirakan masih akan terus diakselerasi, mengingat terbatasnya realisasi di
semester I 2015. Kondisi simpanan Pemerintah Daerah yang masih terus meningkat hingga triwulan II 2015
ditengah pelemahan kondisi ekonomi regional, memerlukan perubahan paradigma Pemerintah Daerah agar
dapat merumuskan langkah strategis dan memanfaatkan dana yang ada sebagai stimulus perekonomian
daerah (Grafik II.4).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 10
Investasi
Kinerja investasi tumbuh membaik pada triwulan II 2015 dibanding triwulan sebelumnya, baik investasi
pemerintah maupun investasi swasta. Investasi pada triwulan II 2015 tumbuh 1,66% (yoy), sedikit meningkat
dibandingkan triwulan I 2015 yang tumbuh 1,22% (yoy). Peningkatan investasi pemerintah didorong oleh
realisasi proyek infrastruktur pemerintah yang mulai berjalan setelah sempat tertunda pada triwulan
sebelumnya. Beberapa proyek infrastruktur yang telah berlangsung antara lain pembangunan tol Sumatera di
Ruas Inderalaya-Sumsel dan Ruas Bakauheni-Lampung. Selain itu, terdapat program pencetakan sawah baru
melalui pembebasan lahan baru atau alih fungsi lahan oleh pemerintah khususnya di Provinsi Sumatera
Selatan, Lampung, Jambi, dan Bangka Belitung. Dari sisi investasi swasta, Penanaman Modal Asing (PMA) di
Sumatera meningkat terutama terkait dengan pembangunan kelistrikan (Grafik II.5) dan investasi replanting
komoditas perkebunan (karet dan kelapa sawit).
Investasi diprediksikan masih akan tumbuh pada triwulan III 2015, ditopang oleh target Pemerintah dalam
rangka mengejar pencapaian belanja modal. Beberapa pembangunan infrastruktur yang turut mendorong
pertumbuhan investasi pada triwulan III 2015 diantaranya berlanjutnya pembangunan tol Sumatera, investasi
bangunan hotel dalam rangka persiapan Asian Games di Sumatera Selatan, progress pembangunan double
track kereta api, serta proyek pencetakan sawah baru. Selain itu, target pencapaian realisasi Dana Desa yang
digunakan untuk pembangunan infrastruktur desa juga menjadi faktor pendorong peningkatan investasi
pemerintah. Sementara itu, investasi swasta terkait proses replanting karet dan peningkatan kapasitas pabrik
CPO terutama di Sumatera Utara dan Sumatera Selatan turut mendorong pertumbuhan investasi swasta di
Sumatera. Potensi peningkatan investasi swasta terindikasi dari peningkatan kredit investasi pada triwulan II
2015 dari 8,57% (yoy) menjadi sebesar 10,11% (yoy). Kondisi tersebut juga terkonfirmasi dari indikator
penjualan semen yang mulai meningkat (Grafik II.6) serta meningkatnya proyeksi investasi di triwulan III 2015
berdasarkan hasil liaison.
Grafik II.5. Perkembangan PMA Sumatera
Grafik II.6. Konsumsi Semen Sumatera
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Kinerja ekspor luar negeri Sumatera menunjukkan perbaikan pada triwulan II 2015, dibandingkan triwulan
sebelumnya. Ekspor Sumatera meningkat dari 4,63% (yoy) pada triwulan I 2015 menjadi 11,21% (yoy) pada
triwulan II 2015. Pertumbuhan ekspor didorong oleh peningkatan kinerja komoditas CPO dan kopi. Perbaikan
ekspor CPO terkait dengan langkah pelaku industri pengolahan CPO yang mendorong produksinya sebelum
implementasi kebijakan CPO Supporting Fund yang rencananya diberlakukan pada Juli 2015. Peningkatan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 11
kinerja CPO tersebut mampu menjadi penopang kinerja ekspor secara keseluruhan ditengah kontraksi yang
terjadi pada kinerja karet, batubara, dan timah Sumatera (Grafik II.7).
Namun, perbaikan kinerja pertumbuhan ekspor diperkirakan masih terbatas (Grafik II.8). Prospek
pertumbuhan ekonomi global yang masih berjalan lambat disertai masih rendahnya harga komoditas
diperkirakan menekan ekspor Sumatera. Hal itu mengindikasikan demand dunia yang diperkirakan masih akan
terbatas dan harga komoditas yang diperkirakan masih belum akan membaik. Kebijakan compound rubber di
China yang berlaku per 1 Juli 2015 juga turut memberikan tekanan pada ekspor karet Sumatera ke negara
5
tersebut .
Grafik II.7. Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas
Sumatera
Grafik II.8. Perkembangan Ekspor Impor
Impor
Aktivitas impor luar negeri Sumatera juga masih mengalami kontraksi, terutama untuk jenis impor bahan baku.
Impor Sumatera tercatat turun sebesar -14,94% (yoy), lebih dalam dibandingkan impor triwulan I 2015 yang
turun sebesar -5,72% (yoy). Penurunan terjadi pada seluruh jenis barang impor, terutama bahan baku seperti
besi dan baja (Grafik II.9). Selain itu, impor pupuk dan gandum Sumatera juga mengalami kontraksi dibanding
periode sebelumnya (Grafik II.10). Penurunan impor juga terjadi dari sisi volume impor. Hal ini diperkirakan
sebagai dampak melemahnya nilai tukar rupiah.
Pertumbuhan impor diperkirakan kembali meningkat pada triwulan III 2015. Hal tersebut dipengaruhi
kebutuhan impor barang modal untuk pembangunan infrastruktur dan impor barang konsumsi untuk
memenuhi peningkatan permintaan masyarakat saat perayaan hari besar keagamaan. Perbaikan kinerja
industri pengolahan diperkirakan juga akan mendorong peningkatan impor bahan baku untuk industri.
Grafik II.9. Perkembangan Nilai Kelompok Impor
Sumatera
Grafik II.10. Perkembangan Nilai Komoditas Impor
Sumatera
5
Mulai 1 Juli 2015, Tiongkok memberlakukan pengenaan bea masuk karet sebesar 20% untuk compound rubber yang memiliki kandungan
karet alam lebih dari 88%. Hal tersebut bertentangan dengan Standard Indonesia Rubber (SIR) yang memiliki kandungan karet alam
hampir 100%.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 12
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Pertanian
Sektor pertanian pada triwulan II 2015 mengalami perlambatan pertumbuhan yang cukup dalam. Sektor
pertanian tercatat hanya tumbuh sebesar 2,29% (yoy), lebih rendah dibanding triwulan I 2015 yang tumbuh
mencapai 5,69%. Melambatnya pertumbuhan ini terutama disebabkan oleh menurunnya kinerja pertanian di
beberapa provinsi antara lain Riau, khususnya terjadi pada sub-sektor perkebunan kelapa sawit. Penurunan
kinerja sub-sektor perkebunan disebabkan oleh faktor cuaca dan faktor masih rendahnya harga CPO (Provinsi
Riau dan Sumatera Utara). Harga CPO internasional yang turun dari USD 625 per metrik ton pada triwulan I
2015 menjadi USD 600 per metrik ton pada triwulan II 2015 menjadi disinsentif bagi perkebunan (Grafik II.11).
Kinerja sektor pertanian diperkirakan belum akan mengalami perbaikan yang berarti pada triwulan III 2015.
Sejumlah indikator menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor pertanian masih akan tertahan, antara lain
terindikasi dari penyaluran kredit sektor pertanian masih relatif rendah hingga pertengahan tahun (Grafik
II.12). Selain itu, kekeringan dan kebakaran hutan di sejumlah wilayah seperti Riau dan Jambi diperkirakan
menghambat produksi komoditas pertanian. Namun, pelaku usaha masih optimis bahwa penjualan sektor
pertanian akan meningkat (hasil liaison).
Sumber: Bloomberg
Grafik II.11. Harga CPO Internasional
Grafik II.12. Penyaluran Kredit Sektor Pertanian
Sektor Pertambangan
Sektor pertambangan masih mengalami kontraksi dan menahan laju pertumbuhan ekonomi Sumatera. Kinerja
sektor pertambangan pada triwulan II 2015 turun sebesar -2,62% (yoy), meski tidak sedalam dibandingkan
penurunan pada triwulan I 2015 yang sebesar -3,66% (yoy). Kondisi ini terutama dipengaruhi oleh masih terus
menurunnya kinerja produksi minyak di Provinsi Riau. Beberapa upaya yang ditempuh untuk menahan laju
penurunan produksi minyak bumi seperti penerapan teknologi injeksi uap belum dapat menahan laju penurun
produksi lebih lanjut. Sementara itu, produksi batubara masih menghadapi tekanan dari rendahnya harga
komoditas di pasar ekspor (Grafik II.13).
Kinerja sektor pertambangan dan penggalian diperkirakan relatif membaik pada triwulan III 2015 meski masih
menghadapi tekanan dari harga komoditas tambang yang rendah. Faktor yang menjadi pendorong perbaikan
adalah perkiraan peningkatan lifting perusahaan minyak di Riau setelah penerapan teknologi injeksi gas, yang
dikonfirmasi oleh data lifting hingga Agustus 2015 (Grafik II-14). Pemanfaatan double track di Sumatera
Selatan diperkirakan dapat mendorong perbaikan ekspor batubara. Di sisi lain, terdapat base effect pencatatan
produksi emas Martabe di Sumatera Utara sejak bulan Juni 2015 yang turut mendorong peningkatan kinerja
sektor ini.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 13
Sumber : Bloomberg
Grafik II.13. Harga Batubara Internasional
Sumber : Kementerian ESDM
Grafik II.14. Perkembangan dan Proyeksi Lifting
Minyak di Riau
Sektor Industri Pengolahan
Pada triwulan II 2015, kinerja industri pengolahan mengalami perbaikan kinerja dan tumbuh lebih baik
dibandingkan triwulan I 2015. Sektor industri pengolahan ini tercatat tumbuh sebesar 3,09% (yoy), lebih tinggi
dari pertumbuhan triwulan lalu yang sebesar 2,24% (yoy). Peningkatan kinerja sektor ini dipengaruhi oleh
pertumbuhan kinerja industri makanan dan minuman, seperti yang terjadi di Lampung dan Riau. Hal tersebut
dipengaruhi oleh antisipasi peningkatan permintaan domestik menjelang hari besar keagamaan. Impor antar
daerah di Sumatera menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan yang diperkirakan merupakan bahan
baku industri pengolahan. Selain itu, peningkatan kinerja sektor industri pengolahan CPO diperkirakan terkait
dengan upaya pelaku untuk mendorong produksi sebelum pemberlakuan kebijakan CPO supporting fund pada
Juli 2015 meski perbaikan harga CPO domestik masih terbatas (Grafik II.15).
Sumber : Dinas Perkebunan
Grafik II.15. Perkembangan Harga CPO Domestik Sumatera
Grafik II.16. Indeks Kegiatan Dunia Usaha Sektor Industri
Pengolahan
Peningkatan kinerja sektor industri pengolahan diperkirakan berlanjut di triwulan III 2015. Hal ini sejalan
dengan peningkatan ekspektasi masyarakat dan pelaku usaha terhadap kondisi ekonomi kedepan. Indeks
ekspektasi kegiatan usaha hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) sektor industri pengolahan juga
mengalami peningkatan dari -6,6 menjadi 0,2 (Grafik II.16). Hasil liaison menunjukkan peningkatan likert scale
industri pengolahan untuk penjualan domestik dan ekspor. Telah beroperasinya PUSRI 2B di Palembang dan
Pabrik Unilever di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangke, Sumatera Utara juga diharapkan akan
meningkatkan pertumbuhan sektor industri pengolahan di Sumatera.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 14
PERKEMBANGAN INFLASI
Inflasi Sumatera pada triwulan II 2015 masih cukup terkendali ditengah mulai meningkatnya tekanan
permintaan dan adanya beberapa kendala pasokan di beberapa daerah. Terkendalinya inflasi terlihat dari laju
kumulatif (Januari–Juni) yang masih rendah yakni 0,46% (ytd), lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata
empat tahun terakhir yang mencapai 1,89% (ytd). Relatif terkendalinya inflasi didukung oleh semakin
intensifnya upaya pemerintah dalam menjaga stabilitas inflasi. Meski demikian, secara tahunan (year on year)
inflasi masih berada pada level yang tinggi sebagai dampak base effect kenaikan harga BBM pada November
2014 lalu (Grafik II.17). Provinsi Bengkulu mencatat inflasi yang paling tinggi yakni sebesar 9,90% (yoy), diikuti
Kepulauan Riau sebesar 8,21% (yoy), sementara inflasi terendah terjadi di Provinsi Aceh sebesar 6,24% (yoy).
Tekanan inflasi pada Triwulan II 2015 terutama bersumber dari kenaikan beberapa komoditas pangan seperti
cabe merah, daging ayam ras, telur ayam ras dan bawang merah (Grafik II.18). Sepanjang bulan April–Juni
2015, harga cabai merah mengalami kenaikan mencapai 69%. Adanya erupsi gunung Sinabung menyebabkan
kenaikan harga bahan pangan di wilayah utara Sumatera seperti Aceh dan Sumatera Utara (Grafik II.19).
Sementara itu, terbatasnya produksi bahan pangan dari Pulau Jawa, seperti cabai merah dan bawang merah,
ketika menjelang hari besar keagamaan lalu menyebabkan peningkatan harga pada bulan Juni 2015 terutama
di wilayah selatan seperti di Lampung, Sumatera Selatan dan Jambi. Kenaikan harga juga terjadi pada
komoditas daging ayam ras dan telur ayam ras, akibat terbatasnya jumlah Day Old Chicken (DOC). Beberapa
komponen lain yang turut memengaruhi inflasi di Sumatera pada periode Triwulan II 2015 adalah kenaikan
harga BBM pada akhir Maret 2015 dan meningkatnya biaya sekolah.
Sumber: BPS, diolah
Grafik II.17. Inflasi Tahunan Sumatera (%)
Sumber: BPS, diolah
Grafik II.18. Disagregasi inflasi Sumatera
Sumber: BPS, diolah
Grafik II.19. Inflasi Per Provinsi Sumatera
Pada triwulan III 2015, tekanan inflasi diperkirakan meningkat dibandingkan triwulan II 2015. Hal ini terlihat
dari realisasi inflasi Juli 2015 yang menunjukkan peningkatan harga terutama untuk komoditas volatile food
serta angkutan udara (Tabel II.1). Tekanan inflasi pangan pada periode awal triwulan III 2015 ini terutama
L a p o r a n N u s a n t a r a | 15
berasal dari kelompok volatile food yakni cabai rawit, cabai merah dan beras. Sementara itu, peningkatan tarif
angkutan udara pada bulan Juli 2015 yang disebabkan oleh peningkatan permintaan sebelum dan setelah
Lebaran yang diperkirakan hanya bersifat sesaat. Tekanan inflasi pangan diperkirakan cenderung meningkat
hingga akhir Triwulan III 2015 seiring dengan menguatnya intensitas El Nino yang melanda sejumlah daerah di
Sumatera. Di samping itu, terdapat risiko kenaikan harga daging dan telur ayam akibat melonjaknya harga
pakan yang disebabkan kebijakan penghentian impor jagung pada awal Agustus 2015.
Tabel II.1. Komoditas Penyumbang Inflasi Tertinggi Triwulan April – Juli 2015
SUMBANGAN INFLASI (%)
KOMODITAS
Cabai Merah
Bensin
Daging Ayam Ras
Angkutan Udara
Telur Ayam Ras
Rokok Kretek Filter
Bahan Bakar Rumah
Tangga
Gula Pasir
Bawang Merah
Daging Sapi
Apr15
0.02
0.26
0.03
0.01
May15
0.32
0.01
0.09
0.01
Jun15
0.19
0.01
0.04
-0.04
Jul15
0.24
0.00
0.03
0.20
April
- Juli
0.78
0.27
0.20
0.18
-0.01
0.02
0.04
0.02
0.05
0.01
-0.01
0.02
0.08
0.07
0.04
0.02
0.10
0.00
0.01
0.01
0.03
0.00
0.00
0.02
0.01
0.01
0.00
0.01
-0.09
0.04
0.05
0.05
0.05
0.05
Sumber: BPS, diolah
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Dalam rangka pengendalian inflasi menjelang bulan puasa dan hari raya Idul Fitri lalu, TPID di Sumatera telah
melaksanakan beberapa kegiatan, sebagai berikut:
1. Pengelolaan ekspektasi masyrakat
a. Himbauan kepada masyarakat untuk berkonsumsi dengan bijak.
Kegiatan ini bertujuan untuk menghimbau dan mengedukasi masyarakat untuk bijak dan tidak
berlebihan dalam berbelanja di bulan Ramadhan. Di beberapa provinsi, himbauan ini dilaksanakan
bekerjasama dengan MUI ataupun pemuka agama untuk memperluas jangkauan sosialisasi. Kegiatan
ini dilaksanakan oleh beberapa provinsi seperti Aceh, Sumut, Sumbar, Bengkulu, Riau, dan Jambi.
b. Konferensi pers terkait kesiapan Pemerintah menjelang hari besar keagamaan.
Kegiatan ini bertujuan untuk meyakinkan masyarakat bahwa pasokan bahan makanan mencukupi
selama bulan Ramadhan. Beberapa kegiatan yang mendukung program ini adalah:
1) Pemantauan harga secara regular yang dilaksanakan oleh Disperindag Provinsi/Kabupaten Kota
maupun Survei Pemantauan Harga yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia.
2) Publikasi harga baik melalui website PIHPS maupun surat kabar.
3) Inspeksi mendadak yang dilaksanakan oleh kepala daerah di pasar-pasar tradisional serta
gudang/distributor untuk mengingatkan pedagang dan distributor untuk tidak menimbun dan
menaikkan harga secara berlebihan.
4) Pemantauan kesiapan distributor akan pasokan sampai dengan beberapa bulan ke depan yang
dilaksanakan oleh seluruh provinsi.
5) Komunikasi kepada masyarakat mengenai berbagai kesiapan yang telah dilakukan sehingga
masyarakat tidak perlu resah serta menghindari panic buying menjelang bulan Ramadhan dan Hari
Raya Idul Fitri.
2. Kegiatan pengendalian harga dan menjaga daya beli masyarakat.
Dalam rangka menjaga kestabilan harga dan daya beli masyarakat yang kurang mampu, dilaksanakan
beberapa kegiatan seperti:
L a p o r a n N u s a n t a r a | 16
a.
3.
Penyusunan data kalender pangan dan kerjasama antar daerah.
Kegiatan ini bertujuan untuk memproyeksi kebutuhan dan ketersediaan komoditas dalam beberapa
bulan ke depan. Untuk Provinsi yang mengalami defisit komoditas tertentu merespon dengan
melaksanakan kerjasama perdagangan dengan distributor (Sumatera Utara dan Sumatera Barat)
b. Operasi pasar dan pasar murah.
Operasi pasar dilaksanakan apabila kenaikan harga bahan makanan telah mencapai level tertentu
(10% dalam setahun terakhir). Adapun penyelenggaraan pasar murah dilaksanakan bekerjasama
dengan instansi terkait termasuk BUMN, TNI, Polri, dsb. Dari sisi pengendalian harga, kegiatan ini
bermanfaat untuk membentuk ekspektasi masyarakat bahwa akan terdapat respon dari pemerintah
apabila terdapat kenaikan harga di pasar. Sementara itu, penyelenggaraan pasar murah bersubsidi di
daerah-daerah terpencil diharapkan dapat menjaga daya beli masyarakat yang kurang mampu.
c. Percepatan distribusi raskin.
Kegiatan ini bertujuan untuk meyakinkan kecukupan ketersediaan beras bagi masyarakat yang kurang
mampu. Di samping itu, dalam hal pengendalian harga, kegiatan ini cukup bermanfaat untuk
meningkatkan pasokan bahan makanan dengan harga yang terjangkau.
Kelancaran distribusi.
Beberapa kegiatan yang dilakukan untuk menjaga kelancaran distribusi bahan makanan adalah:
a. Prioritas transportasi yang membawa bahan makanan
b. Pembatasan kapasitas muat kendaraan untuk mengurangi traffic lalu lintas dan menjaga kualitas
jalan, serta pengaktifan jembatan timbang.
c. Pengendalian tarif batas atas dan bawah angkutan
d. Pengembangan infrastruktur transportasi
Selain itu, menindaklanjuti arahan Presiden dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Tim Pengendalian
Inflasi Daerah (TPID), TPID se-Sumatera telah melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
Arahan dalam Rakornas
Progress
1
Pembentukan TPID Kab/Kota
2
Identifikasi
inflasi
3
Percepatan Pembangunan Infrastruktur
Pangan
Penanaman cabai merah di pekarangan
Masih 6 Kabupaten di Prov. Lampung dan 6 Kabupaten di
Prov. Aceh belum memiliki TPID
Semua TPID Provinsi telah memiliki PIHPS dan menyusun
mapping komoditas utama penyumbang inflasi ke dalam
Roadmap Pengendalian Inflasi Provinsi
Rencana pembangunan Lumbung Pangan Masyarakat (LPM)
dan Lembaga Distribusi Pangan (LDP).
Optimalisasi program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL)
5
Alokasi anggaran untuk stabilisasi harga
(pasar murah, subsidi ongkos angkut)
Telah dilakukan pasar murah Ramadhan bekerja sama
dengan anggaran APBD
6
Pengawasan pasokan dan distribusi
bahan makanan bersama aparat penegak
hukum
Revitalisasi peran BULOG sebagai
penyangga yang juga meliputi komoditas
selain beras
Kerjasama dengan kepolisian dan
kejaksaan dalam melakukan pengawasan
dan mencegah aksi-aksi penimbunan
Pengembangan pasar lelang komoditas
Telah dilakukan sidak TPID bersama aparat hukum di pasar,
gudang distribusi dan sentra produksi.
4
7
8
9
komoditas
penyumbang
Operasi pasar cabai merah
Inspeksi mendadak ke gudang-gudang distributor bahan
pokok
Berencana mengikutsertakan lelang komoditas penyumbang
inflasi dalam pasar lelang
L a p o r a n N u s a n t a r a | 17
STABILITAS SISTEM KEUANGAN, PENGELOLAAN
PENGELOLAAN UANG TUNAI RUPIAH
SISTEM
PEMBAYARAN,
DAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Kinerja penyaluran kredit korporasi tumbuh melambat sejalan dengan perlambatan ekonomi di Sumatera.
Pada triwulan II 2015, kredit korporasi tumbuh 9,36% (yoy), lebih rendah jika dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya yang sebesar 9,63% (yoy) (Grafik II.20). Secara sektoral, melambatnya penyaluran kredit terutama
disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan penyaluran kredit di sektor industri (Grafik II.21). Perlambatan
kredit korporasi di sektor industri diduga terkait dengan kondisi ekonomi global dan regional.
Grafik II.20. Perkembangan Kredit Korporasi Sumatera
Grafik II.21. Perkembangan Kredit Sektor Utama Sumatera
Ketahanan keuangan korporasi di wilayah Sumatera masih terjaga, tercermin dari kualitas kredit korporasi
yang masih berada dalam batas aman (Grafik II.22). Namun demikian, tren peningkatan non performing loan
(NPL) yang terjadi perlu diwaspadai. Kenaikan NPL terutama terjadi pada debitur industri minerba dan debitur
sektor perdagangan. Sementara itu, penghimpunan dana korporasi mengalami peningkatan dari 6,42% (yoy)
menjadi 8,56% (yoy) pada triwulan II 2015 (Grafik II.23). Peningkatan terutama terjadi pada rekening giro.
Kondisi ini juga masih merupakan dampak dari perlambatan ekonomi domestik dan global, yang mendorong
pelaku usaha membatasi ekspansi usaha sehingga simpanan giro masih mengalami peningkatan. Di sisi lain,
simpanan deposito mengalami perlambatan yaitu dari 6,51% (yoy) jadi 3,42% (yoy).
Grafik II.22. Perkembangan NPL Kredit Korporasi Sumatera
Grafik II.23. Perkembangan DPK Korporasi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 18
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
6
Kredit konsumsi yang disalurkan dari Bank Umum kepada sektor rumah tangga di Sumatera mengalami
perlambatan. Kredit konsumsi melambat dari 21,54% (yoy) di triwulan I 2015 menjadi 14,14% (yoy) di triwulan
II 2015. (Grafik II.24). Perlambatan terjadi pada seluruh jenis kredit baik kredit multiguna, kredit properti
maupun kredit kendaraan bermotor. Namun demikian, perlambatan kredit rumah tangga tersebut tidak
disertai dengan perbaikan kualitas kredit yang ditunjukkan dengan peningkatan NPL dari 1,94% pada triwulan I
2015 menjadi 2,04% pada triwulan II 2015 (Grafik II.25). Peningkatan NPL terjadi baik pada kredit kendaraan
bermootor, Kredit Pemilikan Rumah (KPR) maupun multiguna. Penurunan pendapatan sebagai dampak dari
kondisi ekonomi yang belum membaik diperkirakan memberikan andil terhadap kenaikan NPL di sektor rumah
tangga.
Grafik II.24. Perkembangan Kredit Rumah Tangga Sumatera
Grafik II.25. Perkembangan NPL Kredit Rumah Tangga
Sumatera
7
Pada triwulan II 2015 penghimpunan dana sektor rumah tangga mengalami perlambatan (Grafik II.26).
Penghimpunan dana tumbuh sebesar 8,92% pada triwulan II 2015, lebih rendah dibanding triwulan
sebelumnya yang sebesar 10,72%. Perlambatan terjadi pada seluruh jenis simpanan terutama jenis deposito.
Hal ini juga sejalan debt service ratio yang menunjukkan peningkatan pengeluaran masyarakat untuk konsumsi
dan cicilan pinjaman pada triwulan II 2015. Namun, angka persentase cicilan pinjaman masih di bawah batas
yang dianggap aman (30%) (Grafik II.27).
Grafik II.26. DPK Rumah Tangga
Grafik II.27. Debt Service Ratio
6
Definisi kredit rumah tangga yaitu kredit sektor Penerima Kredit Bukan Lapangan Usaha dengan mengecualikan Sektor Bukan Lapangan
Usaha Lainnya
7
Definisi dana rumah tangga yaitu dana yang dihimpun dari nasabah perseorangan (bukan korporasi, Pemerintah, dan Bank).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 19
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Kredit UMKM di Sumatera mengalami perlambatan, disertai dengan penurunan pangsa kredit UMKM terhadap
total kredit. Penyaluran kredit UMKM pada triwulan II 2015 tumbuh sebesar 3,78% (yoy), jauh lebih rendah
dibandingkan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya yang sebesar 11,10% (yoy). Perlambatan disebabkan
oleh adanya kebijakan Pemerintah dalam mengubah plafon Kredit Usaha Rakyat (KUR) menjadi lebih rendah.
Selain itu, suku bunga juga rencananya akan diturunkan menjadi lebih rendah. Namun belum disahkannya
keputusan tersebut membuat pelaku usaha UMKM menahan pinjaman kreditnya.
Jumlah kepemilikan rekening kredit UMKM turut mengalami perlambatan dibandingkan triwulan I 2015 dari
24,57% (yoy) menjadi 12,37% (yoy) pada triwulan II 2015. Perlambatan penyaluran kredit UMKM disertai
dengan menurunnya kualitas kredit, ditandai dengan kenaikan rasio non-perfoming loan (NPL) dari 5,89% di
triwulan sebelumnya, menjadi 6,10%. Adapun penyaluran kredit UMKM mayoritas disalurkan kepada sektor
perdagangan besar dan eceran sebesar 51,75%, selanjutnya diikuti sektor pertanian, perburuan, dan
kehutanan sebesar 16,90%, dan sektor industri pengolahan sebesar 7,64%. Komposisi ini relatif sama dengan
komposisi debitur UMKM pada triwulan I 2015.
Grafik II.28. Perkembangan Kredit UMKM Sumatera
Grafik II.29. Pangsa Sektor Utama Kredit UMKM Sumatera
Pengelolaan Sistem Pembayaran
Perlambatan perekonomian Sumatera juga tercermin dari kegiatan sistem pembayaran non tunai yang
melambat. Transaksi perbankan di wilayah Sumatera melalui Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BIRTGS) pada Triwulan II 2015 tumbuh 23,25% (yoy), lebih rendah dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh
sebesar 26,88% (yoy). Kegiatan kliring perbankan di wilayah Sumatera juga mengalami penurunan sebesar
13,05% (yoy) menjadi Rp56,05 triliun, lebih dalam dibandingkan triwulan I 2015.
Tabel II.2. Perkembangan RTGS Sumatera
Perkembangan RTGS
Sumatera
Nilai (Rp Milliar)
Volume (ribu lembar)
Pertumbuhan (%yoy)
Nilai
Volume
I
618,755
604
22.8
5.0
2013
II
III
744,812 755,021
641
610
8.9
(1.0)
17.4
(8.1)
IV
831,991
663
I
637,643
564
22.1
(5.9)
3.1
(6.5)
2014
II
III
805,284 865,027
600
590
8.1
(6.5)
IV
963,619
602
14.6
(3.2)
15.8
(9.2)
2014
II
III
64,464
63,734
1,698
1,569
IV
63,711
1,577
2015
I
II
809,031 992,512
348
358
26.9
(38.4)
23.2
(40.4)
Tabel II.3. Perkembangan Kliring Sumatera
Perkembangan Kliring
Sumatera
Nilai (Rp Milliar)
Volume (lembar)
Pertumbuhan (%yoy)
Nilai
Volume
I
65,587
1,649
6.5
7.7
2013
II
III
63,249
67,636
1,628
1,569
(2.3)
1.8
4.7
1.5
IV
62,921
1,617
I
61,632
1,598
(3.5)
2.0
(6.0)
(3.1)
1.9
4.3
(5.8)
-
1.3
(2.5)
2015
I
II
57,629
56,051
1,435
1,421
(6.5)
(10.2)
(13.1)
(16.3)
L a p o r a n N u s a n t a r a | 20
Pengelolaan Uang Tunai Rupiah
Transaksi keuangan tunai di Triwulan II 2015 menunjukkan peningkatan sejalan dengan masuknya bulan
Ramadhan. Aliran uang kartal di Sumatera menunjukkan kondisi net outflow sejalan dengan tingginya
kebutuhan akan uang tunai di musim liburan sekolah serta hari besar keagamaan, berbeda dengan triwulan
sebelumnya yang menunjukkan net inflow. Kondisi net outflow ini dialami hampir seluruh provinsi di Sumatera
kecuali Sumatera Barat. Secara total, net outflow Sumatera di Triwulan II 2015 mencapai Rp13,82 triliun
meningkat 85,99% (yoy). Berdasarkan provinsinya, aliran uang keluar (outflow) terbesar berasal dari provinsi
Sumatera Utara yang mencapai Rp7,05 triliun. Sementara itu, perkembangan uang palsu pada triwulan II 2015
ini menunjukkan penurunan dari 3.619 lembar menjadi 2.618 lembar dengan temuan uang palsu terbanyak
berada di Lampung dan Sumatera Utara.
Grafik II.30. Perkembangan Inflow-outflow Sumatera
Tabel II.4. Perkembangan Inflow-Outflow Provinsi di Sumatera
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Sumatera untuk tahun 2015 diprakirakan melambat dibandingkan tahun 2014 dan
cenderung berada dibawah prakiraan sebelumnya. Perkembangan kondisi terkini mendorong perkiraan
ekonomi Sumatera di tahun 2015 mengalami koreksi ke bawah atau menjadi berada pada kisaran 3,40-3,90%
(yoy). Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh rendahnya kinerja pertambangan minyak bumi dan gas
Sumatera. Selain itu, kinerja ekspor komoditas perkebunan dan industri pengolahan juga diperkirakan
melambat. Indikasi permintaan dunia yang belum menguat masih akan membatasi prospek perbaikan harga
komoditas global ke depan.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 21
Kondisi harga komoditas yang belum membaik memberikan tekanan terhadap kinerja sektor pertanian dan
pertambangan Sumatera. Berbagai hasil liaison mengkonfirmasi bahwa tekanan harga sangat terasa di pelaku
usaha perkebunan kelapa sawit dan karet. Tekanan pada sektor pertanian juga ditambah oleh potensi
kekeringan yang dialami beberapa wilayah di Sumatera akibat fenomena El Nino. Sementara itu, kinerja sektor
pertambangan masih terbatas seiring dengan tekanan harga jual yang masih terjadi pada komoditas batubara,
meskipun terdapat optimisme terhadap produksi minyak bumi ke depan. Perlambatan kinerja beberapa sektor
utama di Sumatera diperkirakan mengakibatkan kinerja konsumsi rumah tangga Sumatera dan ekspor juga
turut mengalami perlambatan.
Berdasarkan berbagai risiko tersebut, Pemerintah dan berbagai pihak perlu menyusun rencana bagi
pertumbuhan ekonomi Sumatera agar lepas dari ketergantungan kondisi komoditas utama. Dukungan fiskal
dalam realisasi berbagai proyek menjadi penentu untuk menekan biaya logistik Sumatera yang masih relatif
besar. Berbagai proyek yang tengah dilakukan di Sumatera seperti mega proyek jalan tol Sumatera di ruas
Lampung-Sumatera Selatan, serta jaringan kereta api perlu terus dipantau agar dapat berjalan lancar. Selain
dukungan fiskal, berbagai proyek infrastruktur perlu mendapatkan dukungan khususnya terkait kejelasan
Pemerintah Daerah mengenai pembebasan lahan. Berbagai proyek perlu terus didorong agar segera berlanjut
dari fase groundbreaking. Penyelesaian berbagai proyek infrastruktur dasar ini, diharapkan dapat mengurangi
kesenjangan ekonomi di Sumatera serta menarik minat investor untuk mengembangkan sumber pertumbuhan
baru lainnya seperti hilirisasi industri, kegiatan perdagangan, dan potensi kegiatan ekonomi lainnya (Lihat
Boks).
Prospek Inflasi
Inflasi Sumatera pada akhir tahun 2015 diperkirakan masih berada dalam kisaran yang sejalan dengan sasaran
inflasi nasional sebesar 4%±1%. Hal ini didukung dengan pencapaian inflasi tahun kalender hingga Juli yang
baru mencapai 1,56%, lebih rendah dari nasional 1,90%. Perbaikan produksi pangan di awal tahun dan realisasi
program pemerintah dalam peningkatan produktivitas lahan pertanian diperkirakan cukup berkontribusi
dalam peningkatan produksi pertanian, sehingga mendukung terjaganya inflasi Sumatera selama tahun 2015.
Dari sisi permintaan, masih belum membaiknya harga komoditas menyebabkan terbatasnya pendapatan
masyarakat sehingga konsumsi relatif lebih tertahan.
Meskipun demikian, terdapat beberapa potensi risiko inflasi karena El Nino ke depan yang perlu diwaspadai,
terutama yang berasal dari komoditas volatile food. Risiko kekeringan di sentra produksi dapat berdampak
pada penurunan volume produksi yang berpotensi akan diikuti dengan gejolak kenaikan harga bahan
makanan. Selanjutnya, risiko inflasi administered price berasal dari rencana penyesuaian tarif Listrik, LPG 3 kg
serta harga BBM. Dari kelompok inti, tekanan inflasi ke depan diperkirakan masih berasal dari pelemahan nilai
tukar rupiah meskipun diminimalisir dampaknya oleh harga komoditas yang menurun. Di samping itu,
tingginya alokasi infrastruktur di tahun 2015 dapat berdampak pada meningkatnya permintaan dan harga
bahan bangunan terutama menjelang akhir tahun.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 22
Secara umum, kondisi perekonomian kabupaten/kota di wilayah timur Sumatera relatif lebih baik
8
dibandingkan di wilayah barat Sumatera. Hal ini tercermin dari beberapa indikator perekonomian seperti
PDRB per kapita dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) per kapita yang lebih tinggi di pantai timur Sumatera.
PDRB per kapita mengindikasikan tingkat kesejahteraan dan potensi perekonomian. Sementara itu, PAD
mengindikasikan kapasitas ekonomi daerah terkait dengan pembayaran pajak hasil usaha. PAD juga
mengindikasikan kemampuan fiskal pemerintah daerah untuk berperan dalam pembiayaan pembangunan.
Adanya perbedaan atau kesenjangan ekonomi antara wilayah timur dan barat Sumatera ini disebabkan antara
lain oleh sejumlah faktor berikut : (1) perbedaan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) terutama migas yang
terletak di pantai timur (Provinsi Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan);(2) risiko rawan gempa
geografis di wilayah barat, serta (3) keuntungan geografis wilayah timur yang dekat dengan negara-negara
ASEAN.
Gambar II.1. PDRB Per Kapita dan Kapasitas Fiskal Daerah di Sumatera
Dari aspek investasi, baik yang dilakukan baik oleh asing (PMA) maupun domestik (PMDN) menunjukkan
adanya perbedaan antara investasi di wilayah barat dan timur Sumatera. Secara nilai, investasi terbesar PMA
dan PMDN terdapat di Provinsi Riau, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan, sementara investasi terendah di
Sumatera adalah di provinsi Bengkulu. Kondisi yang sama juga ditunjukkan oleh rasio realisasi investasi
terhadap PDRB yang menunjukkan angka lebih tinggi di Provinsi Sumatera Selatan, Aceh dan Riau. Sementara
itu, Bengkulu, Jambi dan Sumatera Barat menjadi provinsi dengan rasio realisasi investasi terhadap PDRB
terendah.
Sementara itu, terdapat pula perbedaan pada aspek kualitas sumber daya manusia dan tingkat kemiskinan
antara daerah di pantai barat Sumatera dengan pantai timur Sumatera. Hal ini tercermin dari angka Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) yang cenderung lebih tinggi untuk daerah-daerah seperti di Riau, Kepri, dan
Sumut. Gambaran saya sama juga terlihat pada tingkat kemiskinan yang cenderung lebih besar di daerahdaerah barat Sumatera seperti Aceh dan Bengkulu.
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kesenjangan wilayah timur dan barat Sumatera ini adalah terkait
dengan akses terhadap daerah lain yang salah satunya melalui konektivitas udara. Studi menunjukkan bahwa
adanya hub dalam penerbangan merupakan kunci untuk memaksimalkan konektivitas dalam meningkatkan
8
Wilayah timur meliputi Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Lampung. Sementara wilayah barat
meliputi Aceh, Sumatera Barat, dan Bengkulu.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 23
9
perdagangan serta investasi yang pada akhirnya berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Saat ini,
konektivitas udara antar provinsi di Sumatera terhubungkan melalui 3 (tiga) hub yakni Provinsi Kepulauan Riau,
Sumatera Utara dan Sumatera Selatan. Provinsi Kepulauan Riau (Batam) merupakan pintu gerbang ke negaranegara ASEAN yang saat ini sudah hampir seluruhnya terkoneksi melalui angkutan udara keseluruh provinsi di
Sumatera kecuali Aceh. Di wilayah utara, konektivitas udara terhubung melalui kota Medan di Sumatera Utara
sementara di wilayah selatan terhubung melalui kota Palembang di Sumatera Selatan. Adapun hub
konektivitas udara melalui ketiga kota tersebut masih berpusat di wilayah timur. Di sisi lain, konektivitas di
wilayah barat masih relatif terbatas seperti kota Padang yang baru terhubung dengan tiga kota dan Bengkulu
dengan dua kota.
Sumsel
4.20
Riau
3.53
Kep. Babel
3.30
Kepri
2.56
Lampung
2.32
Sumut
2.06
Sumbar
1.05
Jambi
0.99
Bengkulu
0.52
679.69
523.77
308.41
231.01
182.92
167.04
153.86
130.45
56.39
45.24
Grafik II.31. Nominal PMA dan PMDN Tahun 2014 (Rp triliun) Grafik II.32. Rasio PMA dan PMDN terhadap PDRB Tahun 2014
P JUTA)
.9
Riau
Sumut
Sumsel
Lampung
Kepri
Sumbar
Jambi
Aceh
Kep. Babel
Bengkulu
6.35
Aceh
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) 2013
77.3
76.6
75.6
75.0
74.9
74.4
74.4
74.4
73.1
29.0
bar Lampung
26.7
24.8
Aceh
Bengkulu
Riau
Kepri
Sumut
Sumbar
Babel
Bengkulu Sumsel
Jambi
Aceh
72.9
Lampung
Sumber: BPS
Grafik II.33. Indeks Pembangunan Sumatera (2013)
Bengkulu
0.39
Aceh0.37
0.38
Lampung
Sumsel
Sumut
Jambi
Riau
Sumbar
Kepri
Bengkulu Sumsel
Babel Riau
GINI RATIO (2013)
0.36
0.36
Sumbar
0.36
17.1
17.0
0.35
9.9
8.4
8.0
6.9
6.4
Kepri5.0
Lampung Sumut
0.35
Jambi
0.34
14.2
13.6
Aceh
0.31
Babel
Sumber: BPS, diolah
Grafik II.34. Tingkat Kemiskinan di Sumatera (%)
Hasil simulasi dengan menggunakan teknik minimum spanning tree menunjukkan gambaran optimal untuk
10
pengembangan konektivitas udara (Gambar 3) . Untuk meningkatkan konektivitas di wilayah barat, Provinsi
Aceh memerlukan tambahan konektivitas ke Provinsi Sumatera Barat serta konektivitas antara Sumatera Barat
dan Bengkulu. Sementara itu, untuk menghubungkan wilayah barat dan timur diperlukan konektivitas
tambahan antara provinsi Sumatera Barat dan Riau. Selain itu, untuk mengembangkan pusat pertumbuhan
ekonomi baru, diperlukan konektivitas tambahan yang dapat menghubungkan Jambi dengan wilayah utara
yakni Sumatera Utara dan wilayah selatan yakni Lampung. Adapun Kepulauan Bangka Belitung yang terpisah
9
Banno & Redondi (2014). Air connectivity and foreign direct investments : Economic effects of the introduction of new routes. European
Transport Research Review. Springer.
10
Penggunaan teknik ini bertujuan untuk mendapatkan solusi konektivitas terbaik (efisien) yang dapat memberikan dampak ekonomi
signifikan. Sebagai asumsi dasar, daerah yang paling banyak terhubung dengan daerah lain diyakini akan memiliki potensi pertumbuhan
lebih tinggi. Konektivitas dalam studi ini diterjemahkan dalam bentuk analisa jarak secara geografi, proksi demand dan kapasitas ekonomi
dengan pembobotan pada jarak ekonomi. Hal ini sejalan dengan harapan bahwa adanya konektivitas akan membuat pusat pertumbuhan
baru dan memberikan dampak positif (spillover effect) kepada daerah sekitarnya. Simulasi menggunakan jarak secara geografi yang
dihitung berdasarkan jarak antar pelabuhan udara di masing-masing daerah yang terkoneksi dengan daerah lainnya. Sementara frekuensi
penerbangan langsung dari suatu daerah ke daerah lainnya di Sumatera menjadi proksi demand. serta. Adapun jarak secara ekonomi
didekati dengan menggunakan korelasi pertumbuhan ekonomi antar daerah yang ditransformasikan menjadi pseudodistance.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 24
dengan daratan Sumatera juga terindikasi memerlukan adanya konektivitas baru yakni menuju Bengkulu dan
Jambi. Keberadaan konektivitas langsung ke provinsi di wilayah barat tersebut diharapkan dapat memberikan
spillover effect positif kepada kinerja ekonomi di daerah tersebut dan wilayah di sekitarnya sehingga secara
tidak langsung akan dapat mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah barat dan timur Sumatera.
Gambar II.2. Kondisi Eksisting Konektivitas Udara di Sumatera
Gambar II.3. Hasil Simulasi Gambaran Optimal Konektivitas
Udara di Sumatera
Perluasan konektivitas udara perlu diselaraskan dengan upaya menyeimbangkan pusat pertumbuhan di
Sumatera sebagai salah satu strategi untuk mengurangi kesenjangan wilayah timur dan barat. Kebijakan yang
mendorong pengembangan pusat pertumbuhan di wilayah barat perlu didukung antara lain melalui perluasan
akses konektivitas udara. Agar kebijakan yang dikeluarkan dapat efektif, perlu adanya pemetaan yang
menggabungkan konektivitas udara dan kapasitas ekonomi di Sumatera.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 25
Halaman ini sengaja dikosongkan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 26
PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian berbagai daerah di Jawa pada triwulan II 2015 tumbuh melambat. Pertumbuhan ekonomi Jawa
secara agregat berada pada level 5,07% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan I 2015 yang sebesar 5,13%
(yoy). Provinsi Yogyakarta tercatat tumbuh lebih rendah dibanding daerah lainnya di Jawa yakni sebesar 4,72%
(yoy), diikuti oleh Jawa Tengah (4,84%, yoy) dan Jawa Barat (4,88%,yoy). Secara umum, melambatnya
pertumbuhan ekonomi Jawa dipengaruhi oleh melambatnya realisasi investasi dan ekspor. Realisasi investasi
PMA yang minim dan belum optimalnya realisasi proyek infrastruktur pemerintah menekan pertumbuhan
investasi pada periode ini. Perlambatan kinerja ekspor disebabkan oleh lemahnya permintaan ekspor ke
Jepang dan Tiongkok sejalan dengan masih terbatasnya perbaikan kondisi ekonomi di negara tersebut.
Melemahnya kinerja ekspor tersebut berimbas pada kinerja sektor industri pengolahan ditengah konsumsi
domestik yang masih terbatas. Selain itu, rendahnya investasi bangunan sektor swasta dan masih belum
optimalnya serapan belanja infrastruktur pemerintah mendorong perlambatan sektor konstruksi. Dari ketiga
sektor utama, hanya sektor pertanian yang dapat tumbuh meningkat seiring panen raya padi, bawang dan
cabe merah di awal triwulan II 2015.
Memasuki triwulan III 2015, beberapa indikator perekonomian cenderung mengindikasikan arah pertumbuhan
ekonomi yang membaik. Pertumbuhan ekonomi Jawa diperkirakan berada pada level 5,32%, didukung
perkembangan kinerja industri pengolahan dan perdagangan besar. Kinerja ekspor diperkirakan juga membaik
seiring dengan potensi berlanjutnya pemulihan ekonomi Amerika Serikat dan Jepang. Sementara, komitmen
pemerintah pusat dalam menggenjot realisasi belanja APBN-P di bidang infrastruktur, pertanian dan
kemaritiman dapat menjadi pendorong perbaikan investasi. Secara sektoral, perbaikan ekonomi didorong oleh
peningkatan kapasitas produksi sektor industri pengolahan dan peningkatan kinerja sektor perdagangan besar,
disertai konsumsi RT yang masih relatif kuat. Namun, kinerja pertanian dihadapkan pada downside risk
fenomena El Nino yang puncaknya diprakirakan terjadi pada Agustus dan Oktober 2015 yang berpotensi dapat
menekan kinerja sektor pertanian.
Untuk keseluruhan tahun 2015, berbagai indikator ekonomi mengindikasikan perekonomian Jawa berpotensi
tumbuh dibawah rentang prakiraan sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi Jawa diprakirakan berada di kisaran
5,30%-5,50% dengan kecenderungan yang masih bias ke bawah. Melambatnya pertumbuhan ekonomi Jawa
dipengaruhi oleh melemahnya konsumsi rumah tangga, relatif lebih lambatnya kinerja investasi dan
perdagangan luar negeri. Sementara itu, berbagai upaya khusus yang ditempuh oleh pemerintah untuk
mendorong peningkatan belanja infrastruktur diperkirakan dapat menopang kinerja perekonomian Jawa
secara keseluruhan. Selain itu, optimisme perbaikan pertumbuhan juga bersumber dari sektor pertanian,
seiring meningkatnya produksi pangan tahun ini yang didukung oleh meningkatnya ketersediaan sarana irigasi
dan waduk meski juga dibayangi oleh potensi meluasnya dampak kekeringan akibat El Nino.
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi rumah tangga (RT) di triwulan II 2015 masih tumbuh melambat dibanding periode triwulan
sebelumnya. Konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 4,72% (yoy) di triwulan II 2015, lebih rendah dibanding
realisasi di triwulan I 2015 yang tumbuh sebesar 4,96% (yoy). Kondisi ini dipengaruhi oleh meningkatnya harga
BBM pada akhir triwulan I dan cenderung melemahnya daya beli masyarakat sebagaimana terindikasi dari hasil
Survei Konsumen (SK). Selain itu, perkembangan beberapa indikator konsumsi lainnya seperti impor barang
konsumsi, penyaluran kredit konsumsi, dan penjualan eceran menunjukkan hal yang sejalan dengan
perlambatan konsumsi RT. Penyaluran kredit konsumsi bahkan tercatat melambat hingga di titik terendahnya
L a p o r a n N u s a n t a r a | 27
selama 3 tahun terakhir yakni 9,95% (yoy). Pertumbuhan kredit kendaraan bermotor juga melambat cukup
dalam hingga 5,78% (yoy), sejalan dengan rendahnya penjualan sepeda motor dan kendaraan roda 4 yang
hanya tumbuh -18% dan -25% secara tahunan.
Grafik III.1. Indeks Penjualan Eceran (SPE)
Grafik III.2. Kinerja Kredit Konsumsi
Grafik III.3. Indeks Keyakinan Konsumen
Grafik III.4. Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini
Momentum Idul Fitri, Idul Adha dan tahun ajaran baru yang terjadi di triwulan III 2015 diperkirakan dapat
mendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Perkiraan ini didasari oleh adanya persepsi positif terhadap
membaiknya ekonomi domestik yang tercermin dari indeks pengeluaran dan pendapatan bulanan rumah
11
tangga serta ekspektasi peningkatan omset penjualan eceran dalam 3 bulan yang akan datang . Pencairan gaji
ke-13 dan adanya peningkatan gaji PNS di beberapa provinsi diharapkan mampu mendorong daya beli
masyarakat pada triwulan ini. Namun, masih terdapat risiko yang dapat menahan pertumbuhan konsumsi
rumah tangga, yaitu potensi penyesuaian harga BBM dan Tarif Tenaga Listrik (TTL) serta dampak El Nino
terhadap sumber pendapatan kelompok rumah tangga tani di Jawa.
Konsumsi Pemerintah
Pertumbuhan konsumsi pemerintah triwulan II relatif masih terbatas. Pertumbuhan konsumsi pemerintah di
triwulan II 2015 tercatat sebesar 1,29%, sedikit berada di atas realisasi triwulan sebelumnya yang sebesar
0,58%. Penyerapan belanja APBD yang masih cenderung rendah berdampak pada rendahnya kontribusi
konsumsi pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Di tingkat pusat, adanya perubahan
nomenklatur yang terjadi ditingkat Kementerian/Lembaga menjadi kendala utama dalam realisasi belanja
Pemerintah Pusat. Sementara itu, masih terbatasnya belanja pemerintah di tingkat daerah terkait dengan
beberapa kendala seperti keterlambatan pengesahan APBD, keterbatasan jumlah sumber daya manusia, serta
kendala dalam pengadaan proyek. Data sementara mengindikasikan hingga akhir Triwulan II 2015, penyerapan
anggaran belanja daerah di Jawa hanya sebesar 22% dan sebagian besar merupakan belanja operasional.
11
Survei Konsumen (SK) dan Survei Penjualan Eceran Kawasan Jawa
L a p o r a n N u s a n t a r a | 28
Penyerapan belanja APBD di DKI Jakarta bahkan tercatat hanya 19%, merupakan kedua yang terendah setelah
Riau.
Tracking realisasi belanja Pemerintah di triwulan III menunjukkan adanya perbaikan pertumbuhan konsumsi
pemerintah. Perbaikan khususnya terjadi pada APBD DKI Jakarta melalui optimalisasi sistem e-budgeting yang
diharapkan mampu mempercepat proses pengadaan barang dan jasa. Dengan tertahannya konsumsi
pemerintah di semester I 2015, diharapkan pemerintah baik pusat maupun daerah mampu meningkatkan
realisasi belanja operasionalnya di triwulan III dan IV 2015, khususnya pada belanja infrastruktur. Penyesuaian
ketentuan mengenai larangan penyelenggaraan rapat di hotel oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS), pencairan gaji
12
ke-13 serta kenaikan gaji PNS diharapkan dapat mendorong belanja operasional pemerintah pada triwulan
ini.
Investasi
Investasi di triwulan II 2015 tercatat melambat karena terbatasnya investasi swasta maupun pemerintah.
Investasi triwulan II 2015 tercatat sebesar 4,70%, melambat dari 5,07% di triwulan I 2015. Data BKPM
menunjukkan terjadinya penurunan realisasi investasi swasta domestik hingga 7,40% (yoy), sementara
peningkatan realisasi investasi swasta asing masih terbatas. Demikian halnya dengan impor barang modal
yang tercatat menurun cukup dalam hingga 21% (yoy) pada Juni 2015. Masih rendahnya anggaran belanja
modal pemerintah baik pusat maupun daerah turut berdampak pada kinerja investasi Jawa.
Grafik III.5. Kinerja Investasi PMA
Grafik III.6. Kinerja Investasi PMDN
Perkembangan terkini mengindikasikan investasi di Jawa Barat pada triwulan III 2015 berpotensi tumbuh
membaik. Perbaikan investasi lebih ditopang oleh realisasi proyek infrastruktur berskala besar seperti
pembangunan jalan tol, pembangkit listrik, dan waduk. Hal ini juga didukung oleh berbagai upaya khusus yang
akan ditempuh oleh pemerintah untuk merealisasikan penyerapan belanja pemerintah terutama untuk
pembangunan infrastruktur. Namun, di sisi lain perkembangan investasi di sektor swasta diperkirakan masih
relatif terbatas terkait dengan preferensi pelaku usaha yang memandang masih tingginya ketidakpastian
kondisi perekonomian. Hal ini tercermin dari likert score hasil liaison di berbagai daerah di Jawa yang
mengindikasikan kecenderungan investasi yang masih tumbuh terbatas. Perkembangan positif investasi
terlihat pada investasi pada industri galangan kapal sebagaimana terindikasi dari peningkatan impor barang
modal pada bulan Mei 2015. Peningkatan investasi diharapkan terus berlangsung seiring komitmen
pemerintah dalam mendorong pemanfaatan hasil produksi dalam negeri untuk memperkuat sistem
13
kemaritiman nasional.
12
13
Liaison Pemerintah Daerah, KPw DN Kawasan Jawa
Liaison KPw Jawa Timur
L a p o r a n N u s a n t a r a | 29
Grafik III.7. Likert Scale Investasi dan perkiraannya
Grafik III.8 Indikator Perekonomian Mitra Dagang (PMI)
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Kinerja ekspor kawasan Jawa di triwulan II 2015 tercatat melambat terutama dipengaruhi oleh masih
lemahnya permintaan global. Ekspor Jawa pada triwulan II 2015 tumbuh sebesar 1,77%, melambat
dibandingkan triwulan I 2015 yang tumbuh 4,83%. Ekspor ke beberapa negara tujuan utama masih tumbuh
negatif, antara lain Jepang (-12,0%) dan Tiongkok (-8,8%). Sementara ekspor ke Amerika Serikat dan Uni Eropa
tumbuh cukup rendah, yakni 2,9% dan 2,4%. Penurunan ekspor antara lain terjadi pada komoditas besi baja
dari Banten tujuan Tiongkok (-96,8%), produk elektronik dari Jawa Barat tujuan Jepang (-11,09%) dan ekspor
pakaian dari DKI Jakarta ke Amerika Serikat (-7,5%). Penurunan ekspor di Jawa Timur terutama pada
komoditas perikanan (-3,0%) meski sedikit membaik dibanding triwulan sebelumnya (-15,9%). Hasil liaison ke
beberapa perusahaan di Jawa mengindikasikan melemahnya permintaan ekspor dari Amerika Serikat berimbas
14
pada kinerja perusahaan produk kulit di Yogyakarta . Selain itu, lemahnya permintaan ekspor dari negara
mitra dagang utama daerah-daerah di Jawa dipengaruhi juga oleh adanya implementasi pengetatan aturan
pajak impor di negara mitra dagang seperti yang dilakukan di negara Korea.
Pada triwulan III diperkirakan ekspor luar negeri akan tumbuh membaik. Meski perbaikan perekonomian
Amerika Serikat maupun Jepang lebih terbatas, namun diperkirakan mampu mendorong perbaikan kinerja
ekspor. Selain itu, rilis beberapa jenis kendaraan baru dari industri otomotif Jawa Barat diharapkan mampu
mendorong kinerja ekspor menuju kawasan ASEAN. Pelemahan nilai tukar rupiah di satu sisi akan mendorong
peningkatan margin sejumlah pengusaha eksportir yang bahan bakunya dari domestik, khususnya untuk
produk mebel, makanan minuman dan alas kaki. Namun, di sisi lain, pelemahan nilai tukar menjadi tantangan
bagi para pelaku usaha manufaktur guna memprioritaskan upaya pada pengembangan substitusi impor bahan
baku.
Impor
Pada triwulan II 2015, impor turun cukup signifikan dibandingkan triwulan sebelumnya, khususnya impor
barang antara, barang konsumsi dan barang modal. Impor mengalami penurunan hingga -4,85% (yoy), setelah
tumbuh 0,23% pada triwulan sebelumnya. Sejalan dengan perlambatan pertumbuhan PMTB, impor barang
modal melambat sangat dalam hingga -21% pada triwulan ini. Impor barang antara juga menurun hingga 15%
dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Kondisi ini sejalan dengan perlambatan kinerja
industri pengolahan di Pulau Jawa yang masih memiliki ketergantungan terhadap bahan baku impor. Stagnasi
pertumbuhan konsumsi juga relatif sejalan dengan menurunnya impor barang konsumsi di Jawa.
14
Liaison KPw Daerah Istimewa Yogyakarta
L a p o r a n N u s a n t a r a | 30
Grafik III.9. Kinerja Ekspor Jawa
Grafik III.10. Kinerja Impor Jawa
Grafik III.11. Likert Scale Ekspor
Impor pada triwulan III 2015 diperkirakan kembali tumbuh meningkat seiring dengan perbaikan kinerja sektor
industri pengolahan. Peningkatan konsumsi yang diperkirakan terjadi di triwulan III 2015 serta peningkatan
ekspor diperkirakan berdampak pada peningkatan impor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan produksi
dalam negeri. Industri tekstil di DIY dan Jawa Tengah merupakan salah satu sub sektor yang diperkirakan akan
meningkatkan ekspor di triwulan III 2015 dan membutuhkan bahan baku impor yang cukup tinggi.
Kinerja Produksi Sektor Utama
Sektor Industri Pengolahan
Perkembangan kinerja sektor industri pengolahan di Jawa secara agregat mengalami perlambatan
dibandingkan triwulan I 2015. Sektor industri pengolahan pada triwulan II 2015 tumbuh 3,78% (yoy),
melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh 4,69% (yoy). Secara umum, perlambatan pada
industri pengolahan terjadi di hampir seluruh daerah di Jawa, kecuali Jawa Timur yang masih cukup stabil dan
DKI Jakarta yang mencatat kenaikan pertumbuhan dari 2,88% (yoy) di triwulan I 2015 menjadi 3,25% (yoy) di
triwulan II-2015. Industri manufaktur di DKI Jakarta yang mengalami kenaikan tertinggi merupakan industri
makanan 20,04% (yoy) diikuti industri kendaraan bermotor, trailer dan semi trailer 14,92% (yoy). Hasil likert
Scale juga menunjukkan penurunan penjualan domestik yang cukup dalam di triwulan II 2015. Selain itu,
menurunnya kinerja industri pengolahan juga dipengaruhi oleh melemahnya ekspor dan impor. Penurunan
kinerja ekspor menunjukan dampak dari melemahnya ekonomi negara mitra dagang khususnya Amerika
Serikat dan Tiongkok. Salah satunya adalah pada kinerja industri kimia yang pada triwulan II 2015 mengalami
tekanan akibat berkurangnya permintaan dari Tiongkok namun dapat ditopang oleh relatif stabilnya
15
permintaan domestik . Kondisi lain yang memicu terjadinya perlambatan pada industri pengolahan adalah
meningkatnya biaya produksi yang salah satunya disebabkan oleh kenaikan biaya energi, terutama tarif listrik.
15
Hasil liaison Banten
L a p o r a n N u s a n t a r a | 31
Grafik III.12. Realisasi dan Ekspektasi Kegiatan Usaha (SKDU)
serta Likert Scale Penjualan Ekspor
Grafik III.13. Produksi Industri Kendaraan Bermotor
Pada triwulan III 2015, kinerja industri pengolahan diperkirakan kembali membaik. Industri pengolahan pada
triwulan III 2015 diprakirakan tumbuh sebesar 4,22%, lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan II 2015. Hal ini
dikonfirmasi oleh hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang menunjukkan peningkatan optimisme
kegiatan usaha di triwulan III 2015. Beberapa industri seperti otomotif dan baja telah menunjukkan
16
peningkatan penjualan di bulan Mei dan Juni 2015 . Subsektor industri pengolahan seperti semen dan logam
juga diperkirakan meningkat seiring dengan realisasi proyek infrastruktur pemerintah. Sementara subsektor
makanan minuman diperkirakan meningkat didorong oleh konsumsi saat menjelang hari raya keagamaan.
Subsektor industri tekstil, barang kulit dan alas kaki juga diperkirakan meningkat pada triwulan III 2015. Salah
satu perusahaan tekstil besar di Jawa Tengah hingga bulan Juli 2015 telah mencatatkan peningkatan ekspor
17
yang signifikan . Salah satu perusahaan alas kaki yang menghasilkan sepatu merk ternama dunia juga telah
melakukan ekspansi pada tahun 2015 ke daerah Jawa Barat dan akan mulai berproduksi.
Sektor Konstruksi
Kinerja sektor konstruksi di Jawa pada triwulan II 2015 mengalami perlambatan seiring terbatasnya realisasi
pembangunan swasta maupun pemerintah. Sektor konstruksi tumbuh melambat dari 4,74% (yoy) pada
triwulan I 2015, menjadi 3,69% pada triwulan II 2015. Perlambatan di sektor konstruksi sejalan dengan masih
rendahnya penyerapan belanja infrastruktur pemerintah pusat dan daerah. Berdasarkan hasil FGD dengan
dinas PU Bina Marga yang dilakukan di beberapa provinsi di Jawa, realisasi proyek pemerintah banyak
terkendala oleh perubahan nomenklatur Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Kondisi melemahnya kinerja
sektor konstruksi ini juga tercermin dari turunnya konsumsi semen di Jawa sebesar -8,34% (yoy).
Grafik III.14. Pertumbuhan Konsumsi Semen Pulau Jawa
16
17
Grafik III.15. Kinerja Penjualan Properti Residensial
Survei Properti Harga Residensial
Liaison di Jawa Timur, Jawa Barat dan Banten
Liaison di Jawa Tengah
L a p o r a n N u s a n t a r a | 32
Kinerja sektor konstruksi di triwulan III 2015 diprediksi akan mengalami peningkatan menjadi 5,70% (yoy). Hal
ini didukung oleh optimisme dan fokus pemerintah untuk meningkatkan realisasi belanja modal melalui
pembangunan berbagai infrastruktur di triwulan III 2015. Peningkatan belanja modal ini nantinya diharapkan
secara langsung menjadi pendorong kinerja sektor konstruksi. Sementara itu, investasi swasta didominasi oleh
realisasi rencana di tahun 2014, meski dalam skala yang lebih rendah. Khusus terkait realisasi pembangunan
industri smelter di Jawa Timur, masih terdapat kendala pada pembebasan lahan dan perizinan.
Sektor Pertanian
Sektor pertanian pada triwulan II 2015 tumbuh lebih tinggi dibandingkan triwulan I 2015 di hampir seluruh
daerah di Jawa, kecuali DIY. Sektor pertanian tumbuh sebesar 6,04% (yoy) di triwulan II 2015, meningkat
dibandingkan triwulan I-2015 yang tumbuh sebesar 2,06%. Meningkatnya sektor pertanian didukung oleh
panen raya yang terjadi di beberapa daerah seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Banten. Utilisasi
18
lahan pertanian padi hingga triwulan II 2015 tercatat mencapai 100%. Kondisi pertanian sepanjang triwulan
cukup baik dengan minimnya serangan hama dan didukung oleh kecukupan air dan irigasi. Sementara pada
19
peternakan, sejalan dengan hasil liaison, penjualan domba hingga triwulan II 2015 mengalami peningkatan
hampir 10%. Peningkatan juga terjadi pada produksi sapi potong seiring dengan meningkatnya konsumsi
menjelang hari besar keagamaan, bulan Ramadhan. Permintaan telur pada triwulan II mengalami peningkatan
khususnya bulan Mei-Juni 2015, meskipun demikian produksi telur masih belum optimal sehingga
menyebabkan kurangnya pasokan di triwulan II 2015. Berdasarkan SKDU, kapasitas utilisasi peternakan
mengalami kenaikan di triwulan II 2015. Pertumbuhan yang terjadi pada sektor pertanian belum disertai
perbaikan pada pertumbuhan penyaluran kredit maupun NPL di sektor ini. Kondisi berbeda terjadi pada sub
sektor perkebunan yang justru mengalami sedikit perlambatan disebabkan oleh menurunnya kinerja penjualan
20
komoditas perkebunan seperti teh, karet, kelapa sawit, dan kina yang dipengaruhi terutama oleh
melambatnya permintaan domestik dan penurunan harga komoditas global.
Grafik III.16. Perkembangan Kredit Pertanian
Grafik III.17. Kinerja Sektor Pertanian
Pada triwulan III 2015, sektor pertanian diperkirakan mengalami perlambatan yang disebabkan oleh
menguatnya dampak El Nino. Menurut BMKG, dampak El Nino diperkirakan mencapai puncaknya pada bulan
Agustus–Oktober 2015. Dampak lanjutan El Nino diprediksi akan menyebabkan mundurnya musim hujan dari
Oktober menjadi pertengahan November. Hal ini berpotensi menyebabkan penurunan produksi padi sekitar 1,63%. Namun, pemerintah telah menyiagakan pompa air khususnya di kawasan lumbung pertanian, agar
produksi tabama khususnya padi tidak menurun secara signifikan. El Nino diprakirakan berpotensi mendorong
inflasi di Jawa sebesar 0,07% s.d 0,14% (lihat Boks). Sementara itu, kinerja peternakan diperkirakan mengalami
peningkatan menjelang hari besar keagamaan Idul Adha.
18
19
20
Hasil liaison Jawa Timur
Hasil liaison Banten
Hasil liaison Jawa Barat
L a p o r a n N u s a n t a r a | 33
PERKEMBANGAN INFLASI
Inflasi berbagai daerah di Jawa sepanjang triwulan II 2015 relatif terjaga dan merupakan yang terendah
dibandingkan wilayah lainnya. Hal ini terutama tercermin dari tingkat inflasi kumulatif (year to date) Januari
hingga Juni Jawa secara agregat yang tercatat 0,94%, lebih rendah dibanding periode yang sama dalam 4 tahun
terakhir. Terjaganya inflasi di berbagai daerah di Jawa didukung oleh melimpahnya pasokan produksi pertanian
di sentra produksi Jatim, Jateng dan Jabar serta kesiagaan pemerintah dalam menjaga harga pangan menjelang
bulan Ramadhan. Namun demikian, inflasi secara tahunan (year on year) masih berada pada level yang tinggi
yakni 7,07% terkait base effect kenaikan harga BBM pada November 2014.
Tekanan inflasi pada triwulan II lebih bersumber dari kelompok komoditas administered prices terkait dengan
penyesuaian tarif listrik per 1 Juni 2015 terhadap beberapa golongan subsidi maupun non-subsidi serta
penyesuaian harga bensin (pertamax dan pertamax plus) dengan kisaran Rp150–Rp500 per liternya.
Sumbangan inflasi kelompok volatile food pada triwulan II 2015 cukup rendah, antara lain pada komoditas
cabai dan daging ayam ras. Sementara, harga beras dan bawang merah relatif stabil dengan adanya tambahan
pasokan pada akhir Juni 2015 sehingga dapat menahan tekanan inflasi yang lebih tinggi. Sementara, inflasi inti
(core inflation) sedikit melambat sejalan dengan melemahnya permintaan domestik dan karena tekanan dari
fluktasi harga emas tidak terlalu besar.
Grafik III.18. Perkembangan Inflasi
Grafik III.19. Disagregasi Kelompok Inflasi
Grafik III.20. Perkembangan Inflasi Spasial
Grafik III.21. Inflasi dengan Perkiraan Harga 3 bulan Survei
Konsumen
Tekanan inflasi di triwulan III 2015 diprakirakan masih terkendali, tercermin dari inflasi bulan Juli (bertepatan
dengan Idul Fitri) yang lebih rendah dibandingkan pola historisnya selama 5 (lima) tahun terakhir. Berdasarkan
rilis dari BPS, inflasi Jawa pada bulan Juli yang bertepatan dengan Idul Fitri sebesar 0,82% (mtm) atau 1,77%
(ytd), lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata 5 tahun terakhir yang sebesar 0,92% (mtm).
Penyumbang inflasi terbesar pada Juli 2015 berasal dari kelompok administered prices dan volatile food.
Komoditas penyumbang inflasi terbesar dari kelompok administered prices adalah angkutan antar kota dan
angkutan udara dengan sumbangan inflasi mencapai 0,15% (mtm), seiring dengan mobilisasi masyarakat di
dalam wilayah Jawa sendiri maupun keluar Jawa yang meningkat. Sementara, sumbangan inflasi terbesar dari
L a p o r a n N u s a n t a r a | 34
kelompok volatile food berasal dari komoditas daging ayam ras, cabai merah dan cabai rawit akibat
peningkatan permintaan. Inflasi inti cukup stabil dimana kenaikan harga hanya terjadi pada beberapa
komoditas sandang seperti baju kaos, celana panjang jeans dan baju muslim. Meskipun demikian, perlu
diwaspadai beberapa risiko pada triwulan III 2015 seperti dampak El Nino terhadap produksi pertanian,
kenaikan cukai dan PPN rokok sebesar 10% dan adanya tahun ajaran baru pada bulan Agustus 2015 ini.
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Selama triwulan II 2015, TPID di seluruh provinsi wilayah Jawa telah melaksanakan beberapa kegiatan dalam
rangka pengendalian inflasi, terutama dalam menghadapi Idul Fitri pada Juni-Juli 2015. Tingkat inflasi bulanan
pada masa Idul Fitri tahun 2015 ini lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata inflasi dalam 5 tahun
terakhir. Terkendalinya tingkat inflasi Jawa pada hari raya Lebaran tahun ini tidak terlepas dari efektivitas
beberapa program TPID yang telah dilaksanakan. Sesuai dengan 10 instruksi Menteri Dalam Negeri dalam
strategi pengendalian inflasi menghadapi Idul Fitri, berbagai upaya yang telah dilakukan oleh TPID di wilayah
Jawa antara lain sebagai berikut:
1) Pemantauan harga langsung atau inspeksi mendadak ke pasar-pasar utama, yang dipimpin langsung oleh
kepala daerah setempat.
2) Pelaksanaan operasi pasar murah untuk komoditas utama seperti daging sapi dan daging ayam yang
bekerjasama dengan instansi terkait.
3) Terlaksananya rapat koordinasi TPID baik dalam level tim teknis maupun high level meeting dalam
mempersiapkan rencana pengendalian inflasi dan kerjasama antar daerah menghadapi bulan Ramadhan.
4) Pemantauan terhadap tarif angkutan dalam rangka mengantisipasi kenaikan tarif angkutan yang memiliki
kecenderungan untuk meningkat saat Idul Fitri.
5) Sosialisasi kepada tokoh agama setempat maupun press conference kepada pihak media dalam rangka
pengendalian ekspektasi masyarakat.
6) Pemanfaatan situs/website PIHPS yang telah dimiliki oleh beberapa provinsi dalam menyediakan informasi
terkait harga komoditas terkini.
Tabel III.1. Upaya Pengendalian Inflasi Menjelang Lebaran (Instruksi Mendagri)
Sebagian besar TPID Provinsi di wilayah Jawa telah melaksanakan upaya pengendalian inflasi berdasarkan
instruksi Menteri Dalam Negeri yang membutuhkan effort (usaha yang dibutuhkan dalam menyelesaikan suatu
strategi pengendalian inflasi) tinggi serta memiki magnitude (dampak dari terlaksananya strategi pengendalian
inflasi) yang besar terhadap pencapaian inflasi yang rendah, terutama saat menjelang Idul Fitri. Beberapa
upaya TPID yang dapat memberikan magnitude yang besar terhadap pengendalian inflasi adalah 1) Menjaga
ketersediaan pasokan dan mempercepat distribusi barang; 2) Mengendalikan tarif angkutan darat; 4)
Meningkatkan kerjasama antar daerah yang surplus dengan yang defisit; dan 9) Mempercepat pelaksanaan
APBD 2015, khususnya program yang mendukung 1 s.d. 9.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 35
STABILITAS SISTEM KEUANGAN, PENGELOLAAN
PENGELOLAAN UANG TUNAI RUPIAH
SISTEM
PEMBAYARAN,
DAN
Penyaluran pinjaman oleh sektor perbankan di wilayah Jawa pada triwulan II 2015 berdasarkan lokasi proyek
masih mengalami perlambatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Penyaluran kredit pada triwulan II 2015
hanya tumbuh sebesar 10,67% (yoy), lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya sebesar 11,70% (yoy).
Total penyaluran kredit dengan lokasi proyek di wilayah Jawa mencapai Rp 2.664 triliun dengan share terhadap
nasional mencapai 69%. Perlambatan penyaluran kredit secara umum didorong oleh melambatnya kredit
investasi dan kredit konsumsi yang cukup signifikan, meskipun untuk kredit modal kerja masih mengalami
pertumbuhan kredit yang positif. Di sisi lain, penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) di wilayah Jawa juga
tumbuh melambat ke level 13,40% (yoy) atau setara Rp 3.304 triliun, lebih rendah bila dibandingkan triwulan
sebelumnya yang dapat tumbuh 16,98% (yoy).
Dengan perlambatan pertumbuhan DPK yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlambatan pertumbuhan
kredit, maka Loan to Deposit Ratio (LDR) naik ke level 80,62%, meningkat dari triwulan sebelumnya yang
berada pada level 79,01%. Perlambatan penyaluran kredit pada sektor rumah tangga lebih besar dibandingkan
pada sektor korporasi, meskipun share kredit rumah tangga hanya sebesar 39%. Pertumbuhan kredit rumah
tangga pada triwulan ini melambat dari 12,24% menjadi 10,44% pada triwulan II 2015. Sementara, penyaluran
kredit untuk korporasi melambat menjadi 10,30% dari triwulan II 2015 yaitu sebesar 11,74%.
Grafik III.22. Perkembangan Kredit & Dana Pihak Ketiga
Grafik III.23. Perkembangan Kredit Korporasi & RT
Ketahanan Sektor Korporasi
Perlambatan ekonomi domestik dan Jawa, menjadi disinsentif perbankan dalam penyaluran kredit sektor riil
baik korporasi maupun UMKM. Penyaluran kredit korporasi melambat menjadi 10,30% dari triwulan
sebelumnya sebesar 11,74%, dengan tingkat NPL yang terus meningkat meskipun masih berada pada level
aman 2,23%. Berdasarkan sektornya, penyaluran kredit terbesar disalurkan kepada sektor industri pengolahan
(share 33%) dan sektor perdagangan (share 17%). Pertumbuhan kredit untuk kedua sektor tersebut melambat
pada triwulan II 2015 menjadi 16,02% untuk sektor industri pengolahan dan 6,43% untuk sektor perdagangan.
Melambatnya pertumbuhan kredit untuk sektor pengolahan turut membawa turun kualitas kredit yang
disalurkan dengan tingkat NPL sebesar 2,18% dari sebelumnya 1,90%. Sementara, kualitas kredit sektor
perdagangan justru membaik di tengah perlambatan penyaluran kredit menjadi sebesar 3,09%, dari 3,40%
pada triwulan I 2015. Penyaluran kredit salah satu sektor utama di wilayah Jawa lainnya yaitu sektor pertanian,
melambat cukup dalam dari 33,11% pada triwulan I 2015 menjadi 23,89% pada triwulan II 2015. Melambatnya
sektor korporasi dikonfirmasi oleh menurunnya indeks harga korporasi manufaktur pada triwulan II 2015 yang
merupakan gabungan harga-harga saham perusahaan manufaktur yang terdaftar dalam Indonesia Stock
Exchange (IDX).
Sementara itu, bila dilihat berdasarkan per provinsi di wilayah Jawa, provinsi Jawa Barat dengan share sebesar
14% mengalami perlambatan yang terdalam menjadi 7,94% dari triwulan sebelumnya 15,84%. Perlambatan
yang cukup dalam tersebut disebabkan oleh pertumbuhan negatif untuk kredit investasi di provinsi Jawa Barat.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 36
Sedangkan provinsi Jawa Timur yang memiliki share sebesar 13%, mengalami sedikit perlambatan sebesar 2%
menjadi 14,85% pada triwulan II 2015. Pertumbuhan kredit provinsi DKI Jakarta yang memiliki porsi
pembiayaan terbesar 60% cukup stabil, sehingga masih dapat menahan perlambatan pertumbuhan kredit
korporasi yang lebih dalam.
Grafik III.24. Pertumbuhan & NPL Kredit Korporasi
Grafik III.25. Kredit Korporasi Sektor Utama
Grafik III.26. Pertumbuhan Kredit Korporasi Spasial
Grafik III.27. Perkembangan Indeks Harga Korporasi
Manufaktur
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Sejalan dengan perlambatan perekonomian, sektor rumah tangga juga mengalami perlambatan pada triwulan
II 2015. Pertumbuhan kredit rumah tangga pada triwulan II 2015 berada pada level 10,44% (yoy). Jenis kredit
rumah tangga yang paling merasakan dampak dari terbatasnya daya beli masyarakat adalah Kredit
Kepemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB). KPR dan KPA yang saat ini memiliki
outstanding kredit sebesar Rp 240 triliun melambat cukup tinggi dari 12,85% (yoy) pada triwulan I 2015
menjadi 4,81% (yoy) pada triwulan II 2015. Perlambatan KPR di wilayah Jawa terjadi untuk semua tipe rumah,
2
dengan perlambatan terdalam dialami oleh KPR untuk rumah tipe di bawah 21 m . Dengan kondisi
perlambatan pertumbuhan KPR dan KPA, maka kualitas kredit dari KPR juga sedikit memburuk menjadi 2,15%
dari sebelumnya 2,08% di triwulan I 2015.
Sejalan dengan penjualan kendaraan roda 4 yang turun hingga 22,46% (yoy) serta kendaraan roda 2 yang
turun sebesar 29,26% (yoy), permintaan akan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) juga mengalami perlambatan
dari 11,73% (yoy) pada triwulan I 2015 menjadi 5,78% (yoy) pada triwulan II 2015. Mulai masuknya bulan
Ramadhan pada akhir triwulan II 2015 belum mampu untuk mengangkat permintaan kredit dari kendaraan
bermotor. Meski demikian, tingkat NPL dari KKB masih cukup baik dan hanya naik tipis ke level 1,10% dari
sebelumnya 0,96%. Sementara itu, pertumbuhan dari kredit multiguna masih cukup baik, hanya sedikit
melambat ke angka 27,26% (yoy) dari 30,38% (yoy) pada triwulan I 2015. Kualitas dari kredit multiguna masih
cukup terjaga aman dan stabil di level 1,16%.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 37
Grafik III.28. Penyaluran Kredit Sektor Rumah Tangga
Grafik III.29. NPL Kredit Sektor Rumah Tangga
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Perlambatan pertumbuhan kredit sektor UMKM pada triwulan II 2015 cukup signifikan, disertai dengan
kualitas kredit yang memburuk. Penyaluran kredit UMKM tumbuh melambat dari 16,93% (yoy) pada trwiulan I
2015, menjadi 7,14% (yoy) pada triwulan II 2015. Perlambatan pada triwulan II 2015 ini merupakan yang
terdalam dalam beberapa tahun terakhir. Tingkat NPL kredit UMKM saat ini meningkat menjadi sebesar 4,01%,
dari 3,81% pada triwulan sebelumnya. Menurunnya kinerja sektor UMKM perlu mendapatkan perhatian dari
Pemerintah Daerah karena sektor UMKM menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat setempat. Apabila
dilihat per provinsi, kredit UMKM dari provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta mengalami pertumbuhan terendah,
yaitu sebesar 1,20% untuk Jawa Barat dan 9,68% untuk DKI Jakarta, jauh lebih rendah dibandingkan triwulan
sebelumnya yang masing-masing sebesar 15,42% dan 23,16%. Porsi pembiayaan UMKM yang berasal dari Jawa
Barat dan DKI Jakarta mencapai 50% dari total pembiayaan UMKM di wilayah Jawa, sehingga menarik turun
pertumbuhan kredit UMKM secara keseluruhan. Perlambatan pertumbuhan kredit UMKM yang cukup dalam
dari kedua provinsi di atas disertai dengan menurunnya kualitas kredit yang cukup besar. Sementara itu, share
dari kredit UMKM terhadap total kredit yang outstanding di wilayah Jawa menurun tipis dari 16,78% pada
triwulan I 2015 menjadi 16,57% pada triwulan II 2015.
Grafik III.30. Pertumbuhan & NPL Kredit UMKM
Grafik III.31. Penyaluran Kredit UMKM Spasial
Pengelolaan Sistem Pembayaran
Pada triwulan II 2015, nilai transaksi non-tunai BI RTGS tercatat tumbuh melambat sejalan dengan kondisi
perekonomian regional saat ini. Nilai transaksi BI RTGS tumbuh melambat sebesar 3,86 % (yoy) lebih rendah
dibandingkan dengan periode lalu, berada pada nominal Rp5.977 triliun. Transaksi RTGS masih ditopang oleh
transaksi dari Provinsi DKI Jakarta dengan kontribusi sebesar 75,83% dari total transaksi wilayah Jawa. Secara
volume, transaksi RTGS pada triwulan II 2015 di kawasan Jawa mengalami penurunan atau tumbuh negatif
sebesar 35,21% (yoy) dengan jumlah transaksi tercatat sebesar 1,3 juta lembar. Faktor lain yang
memperlambat pertumbuhan RTGS adalah berpindahnya transaksi dengan nominal di bawah 100 juta rupiah
yang saat ini tidak diperkenankan lagi menggunakan RTGS.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 38
Sementara itu, kegiatan transaksi yang menggunakan SKNBI pada triwulan II 2015 juga menunjukkan
perlambatan. Nilai transasksi SKNBI tercatat sebesar Rp606,2 triliun atau hanya tumbuh sebesar 5,88% (yoy),
lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelumnya. Sedangkan secara volume, transaksi SKNBI tercatat
sebesar 23,7 juta lembar, tumbuh melambat sebesar 5,10% (yoy). Meskipun penerapan aturan transfer di
bawah Rp100 juta tidak dapat melalui RTGS telah dilakukan, namun jumlah nominal transaksi SKNBI masih
lebih rendah bila dibandingkan dengan jumlah nominal transaksi yang menggunakan BI RTGS.
Grafik III.32. Transaksi RTGS
Grafik III.33. Transaksi Kliring
Pengelolaan Uang Tunai Rupiah
Berdasarkan data pengelolaan uang tunai yang diperoleh hingga triwulan II 2015, kawasan Jawa mengalami
net-outflow dimana lebih banyak uang yang keluar (cash outflow) dibandingkan dengan uang (cash inflow).
Pada triwulan II 2015, seluruh provinsi di wilayah Jawa kecuali Jawa Barat dan Jawa Jawa Tengah, mengalami
net outflow. Bagi perekonomian regional, cash outflow menunjukkan peningkatan kebutuhan uang kartal di
masyarakat. Kondisi ini dipengaruhi oleh adanya momen seasonal (Ramadhan) pada akhir triwulan laporan
yang meningkatkan kebutuhan uang kartal di masyarakat, sesuai dengan pola historisnya. Secara keseluruhan,
wilayah Jawa mengalami net outflow sebesar Rp 19,27 triliun pada triwulan II 2015, lebih tinggi jika
dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2014 yang mengalami net outflow sebesar Rp3,3 triliun.
Grafik III.34. Temuan UPAL
Grafik III.35. Perkembangan Netflow
Penemuan Uang Palsu (UPAL) pada triwulan II 2015 berdasarkan laporan penemuan uang palsu kepada Bank
Indonesia mengalami penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya, yaitu hanya sejumlah 24.797 lembar
UPAL. Penemuan UPAL ini didorong oleh meningkatnya awareness masyarakat dan perbankan terhadap uang
palsu serta peran aktif kepolisian yang bekerja sama dengan instansi-instansi terkait dalam menindak
pemalsuan uang. Peningkatan pemahaman terkait ciri-ciri keaslian uang masih perlu ditingkatkan agar
masyarakat semakin jeli dalam membedakan uang yang asli dengan uang yang diragukan keasliannya.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 39
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Untuk keseluruhan tahun 2015, realisasi pertumbuhan ekonomi Jawa terkini mengindikasikan perekonomian
Jawa berpotensi tumbuh dibawah rentang prakiraan sebelumnya. Mempertimbangkan perkembangan
berbagai dinamika perekonomian terkini dan prospek ke depannya, maka pertumbuhan ekonomi Jawa
diprakirakan berada di kisaran 5,10%-5,50% dengan kecenderungan yang masih bias ke bawah. Dari sisi
permintaan, perlambatan ini dipicu oleh melemahnya permintaan ekspor, seiring masih terbatasnya
pemulihan ekonomi global dan tren penurunan harga komoditas industri internasional antara lain tekstil dan
komoditas kimia, meski perlambatan lebih lanjut dapat tertahan oleh menguatnya permintaan dari Amerika
Serikat dan beberapa negara Eropa. Di sisi lain, realisasi belanja investasi sektor swasta tumbuh terbatas,
seiring dengan kecenderungan pelaku usaha untuk menurunkan tingkat kapasitas produksi dari perencanaan
sebelumnya di tahun 2014. Sementara itu, belanja konsumsi rumah tangga diperkirakan stabil yang ditopang
oleh terjaganya pendapatan khususnya di kelompok fixed employment. Harapan pendorong ekonomi Jawa
tahun ini bertumpu pada komitmen percepatan belanja infrastruktur pemerintah yang cukup besar untuk
tahun 2015.
Dari sisi sektoral, ketiga sektor utama diperkirakan mengalami perkembangan yang beragam. Kinerja industri
pengolahan dan perdagangan besar diperkirakan tertahan oleh masih lemahnya prakiraan kinerja ekonomi
domestik (Kalimantan dan Sumatera) yang menjadi mitra perdagangan antar pulau serta beberapa downside
risk terkait kenaikan biaya produksi (upah minimum, biaya energi dan bahan baku). Selain itu, target
peningkatan produksi pangan pada tahun 2015 dibayangi oleh menguatnya intensitas El Nino yang berpotensi
menyebabkan kekeringan di berbagai daerah. Kondisi ini perlu diwaspadai karena dapat berimplikasi pada
penurunan kinerja produksi hasil pertanian. Optimisme sumber pertumbuhan pada tahun ini bertumpu pada
sektor konstruksi dan industri pengolahan (sub sektor logam dan bahan bangunan), seiring komitmen
percepatan belanja infrastruktur pemerintah. Perbaikan infrastruktur ini diharapkan dapat mendorong daya
saing produk domestik, khususnya dalam pengembangan produk substitusi impor dan mendorong minat
investasi asing dalam menjadikan industri Jawa sebagai part of global chain.
Prospek Inflasi
Inflasi Jawa pada tahun 2015 diprakirakan terkendali dan lebih rendah dibandingkan inflasi tahun 2014. Untuk
keseluruhan tahun 2015, inflasi Jawa diperkirakan berada pada rentang 3,90-4,30% (yoy). Tekanan inflasi pada
tahun 2015 diprakirakan akan bias ke atas didorong risiko inflasi pada kelompok volatile food yang meningkat
seiring dengan risiko El Nino. El Nino yang diperkirakan menguat oleh BMKG hingga awal tahun 2016 dengan
puncak musim kemarau diperkirakan pada Agustus-Oktober 2015 sehingga mengakibatkan mundurnya awal
musim hujan ke pertengahan November. Pilkada serentak yang rencananya akan diselenggarakan di beberapa
daerah di Jawa pada akhir tahun dan penguatan US Dollar juga berpotensi mendorong kenaikan harga
komoditas dari kelompok inflasi inti. Dari sisi kelompok administered prices, risiko tekanan inflasi diprakirakan
masih berpotensi meningkat jika terjadi kenaikan harga BBM pada Tw IV 2015. Jika transmisi ini berlanjut
pada kenaikan tarif angkutan baik dalam kota maupun luar kota, maka akan mendorong kenaikan IHK.
Sementara itu faktor penahan inflasi diperkirakan bersumber dari upaya optimalisasi alokasi dan realisasi
anggaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mendukung peningkatan produksi pangan dan
perbaikan kualitas infrastruktur. Dengan adanya dukungan pemerintah pusat dan daerah, diyakini juga dapat
mengendalikan risiko peningkatan inflasi khususnya dalam meminimalisir risiko kekeringan akibat El Nino yang
cukup kuat. Perhatian pemerintah terkait inflasi dapat dilihat melalui berbagai upaya yang akan dilakukan,
antara lain melalui peningkatan luas areal tanam maupun panen, program GTCK (Gerakan Tanam Cabai
Kemarau), bantuan pupuk bersubsidi dan peralatan pertanian. Diharapkan berbagai program ini dapat
mengendalikan harga pada kelompok volatile food. Sedangkan perbaikan konektivitas jalur darat dan
monitoring tarif angkutan kota diharapkan dapat menjaga harga pada kelompok administered price.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 40
Sebagai lumbung pangan dengan sebaran sentra produksi di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan Jawa
Timur, Kawasan Jawa menyumbang 60% dari produksi nasional. Hingga semester I 2015, kinerja pertanian
Jawa berada di atas 4% (yoy), tertinggi secara historis selama 5 tahun terakhir, seiring dengan minimnya
gangguan iklim dan keberhasilan panen raya serentak. Namun, target pencapaian sebesar 37,54 juta ton di
tahun 2015 dihadapkan pada risiko El Nino yang berpotensi menyebabkan kekeringan panjang sehingga dapat
berimplikasi pada penurunan produksi pangan. Indeks Southern Oscillation Index (SOI) (Grafik III.36) telah
melebihi angka -8, mengindikasikan risiko El Nino yang semakin meningkat. El Nino terjadi karena peningkatan
o
suhu permukaan laut yang terjadi di perairan Pasifik Tengah dan Timur. Kenaikan suhu dari 25 C menjadi di
o
atas 28 C ini menimbulkan efek penurunan curah hujan atau musim kemarau yang lebih panjang di wilayah
Indonesia. Fenomena El Nino pada 2015 diperkirakan akan menyebabkan pergeseran musim hujan yang
semula akan dimulai pada akhir Oktober bergeser menjadi pertengahan November. Hasil pemetaan BMKG
mengindikasikan dampak kekeringan terbesar diperkirakan terjadi pada Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur,
(Grafik III.37). Indeks intensitas El Nino yang dirilis oleh BMK mengindikasikan besaran indeks yang mulai
berada pada besaran yang hampir sama dengan dengan intensitas El Nino pada 1997 (Grafik III.38).
Sumber: BoM Australia
Grafik III.36. Southern Oscillation Index (SOI)
Sumber: BMKG
Grafik III.37. Prakiraan Kemarau Jawa 2015
Sumber: BMKG
Sumber: Kementerian Pertanian (diolah)
Grafik III.39. Produksi Padi Jawa
Grafik III.38. Indeks El Nino
Risiko kekeringan sebagai dampak dari El Nino berpotensi untuk mengganggu produksi padi di wilayah Jawa.
Berdasarkan simulasi dengan menggunakan data historis serta informasi potensi El Nino tahun 2015,
diperkirakan produksi padi akan menurun sebesar 1,63% (Grafik III.39). Produksi padi yang terganggu akan
berdampak pada kenaikan inflasi pangan, khususnya beras, pada tahun 2015 dengan memberikan risiko
tambahan inflasi tahunan sebesar 0,07%-0,14% terhadap inflasi Jawa. Dalam menghadapi besarnya potensi El
L a p o r a n N u s a n t a r a | 41
Nino, perlu ditempuh langkah-langkah yang terkooordinasi dengan baik untuk mengantisipasi risiko kekeringan
akibat El Nino dan menjaga tingkat inflasi 2015 sesuai sasaran inflasi 4±1%, antara lain melalui penguatan
lumbung pangan, penyediaan air melalui pompa dan mempercepat proses pembuatan embung, bantuan bibit
di lahan kering, dan pengaturan pola tanam.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 42
Perekonomian Kalimanta
PERTUMBUHAN EKONOMI
Pada triwulan II 2015, pertumbuhan ekonomi berbagai daerah di Kalimantan cenderung melambat dan
berada pada level yang cukup rendah. Secara agregat, perekonomian Kalimantan pada triwulan II 2015
tercatat sebesar 1,48% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan periode triwulan sebelumnya yang tumbuh
sebesar 1,69% (yoy). Secara umum, melambatnya perekonomian berbagai daerah di Kalimantan dipengaruhi
oleh faktor melemahnya kinerja ekspor pertambangan khususnya batubara terkait masih lemahnya
permintaan global yang juga diikuti oleh penurunan harga komoditas tersebut di pasar internasional. Kondisi
pasar ekspor yang kurang menguntungkan tersebut pada gilirannya berimbas pada menurunnya kinerja di
sektor pertambangan. Selain itu, produksi minyak yang mengalami penurunan turut menekan kinerja di sektor
pertambangan dan industri migas. Penurunan produksi minyak bumi tersebut kembali menyebabkan
terkontraksinya pertumbuhan ekonomi di Kalimantan Timur. Selain itu, penyerapan belanja fiskal daerah yang
relatif masih terbatas hingga akhir triwulan II 2015 turut menahan kinerja perekonomian Kalimantan.
Memasuki triwulan III 2015, perkembangan berbagai indikator ekonomi mengindikasikan perekonomian
Kalimantan masih akan tumbuh terbatas. Pergerakan harga komoditas batubara yang masih berada pada level
yang rendah di pasar global dan masih berlanjutnya pelemahan ekonomi Tiongkok berimbas pada kinerja
ekspor batubara yang masih menurun. Selain itu, penurunan produksi minyak bumi yang berlanjut akan
berdampak pada menurunnya pendapatan ekspor sehingga memengaruhi konsumsi RT, dan pada akhirnya
menekan kinerja perekonomian Kalimantan secara keseluruhan. Namun, peningkatan produksi pertanian,
terutama perkebunan, diperkirakan dapat menopang kinerja ekonomi Kalimantan triwulan III 2015 hingga
triwulan IV 2015. Untuk keseluruhan tahun 2015, perkembangan kategori pertambangan yang cenderung
tumbuh rendah akibat pengaruh penurunan ekspor disertai dengan masih rendahnya tingkat harga
internasional menyebabkan perekonomian Kalimantan tumbuh lebih rendah dibandingkan capaian di tahun
sebelumnya.
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga (RT)
Pertumbuhan konsumsi RT di berbagai daerah Kalimantan mengalami sedikit perbaikan pada triwulan II 2015.
Hal ini ditopang oleh terutama oleh meningkatnya aktivitas masyarakat menghadapi periode Ramadhan dan
libur sekolah yang memberikan dampak positif terhadap konsumsi rumah tangga. Namun, perbaikan lebih
lanjut tertahan oleh melemahnya pendapatan ekspor karena masih rendahnya harga komoditas tambang di
pasar global. Sejalan dengan hal tersebut, pertumbuhan penyaluran kredit konsumsi di berbagai daerah di
Kalimantan juga cenderung melambat (Grafik IV.2).
Memasuki triwulan III 2015, berbagai indikator konsumsi rumah tangga mulai menunjukkan perbaikan meski
masih cenderung terbatas. Hal tersebut tercermin pada optimisme konsumen dalam memandang
perekonomian ke depan meningkat pada Indeks Tendensi Konsumen yang meningkat di triwulan III (Grafik
IV.1). Adanya pencairan gaji ke-13 dan tunjangan hari raya pada awal triwulan III 2015 diperkirakan turut
memengaruhi ekspektasi masyarakat terhadap pendapatan yang diterimanya. Meski demikian, prospek harga
komoditas yang masih diperkirakan masih cenderung lemah akan menahan perbaikan pendapatan masyarakat
secara keseluruhan.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 43
Grafik IV.1. Indeks Tendensi Konsumen (ITK)
Grafik IV.2. Kredit Konsumen
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi pemerintah di sebagian besar provinsi Kalimantan tumbuh melambat pada triwulan II 2015. Hal ini
terutama dipengaruhi oleh masih rendahnya penyerapan belanja APBD di hampir seluruh daerah. Persentase
realisasi belanja hingga akhir triwulan II 2015 secara umum berada di kisaran 30% dan hanya Kalimantan
Tengah yang dapat mencatat penyerapan belanja hingga 43,6%. Sementara itu, realisasi belanja Kalimantan
Timur dan Kalimantan Selatan yang masih cenderung rendah terkait dengan pendapatan daerah yang
cenderung menurun. Penurunan ini utamanya disebabkan pagu belanja yang tidak setinggi tahun 2014. Dari
sisi penggunaan, baik belanja operasional maupun modal tercatat lebih rendah dibandingkan tahun 2014
(Grafik IV.3). Sejalan dengan hal tersebut, pergerakan kenaikan pertumbuhan realisasi anggaran pemerintah di
beberapa provinsi tidak setinggi periode yang sama tahun sebelumnya (Grafik IV.4).
Sumber : DJPK
Grafik IV.3. Anggaran Belanja Provinsi di Kalimantan
Sumber : DJPK
Grafik IV.4. Realisasi Belanja Provinsi di Kalimantan
Pada triwulan III 2015, diperkirakan pertumbuhan konsumsi pemerintah meningkat seiring upaya yang
ditempuh oleh pemerintah untuk mempercepat realisasi pembangunan proyek-proyek infrastruktur. Selain itu,
pembagian tunjangan hari raya (THR) kepada pegawai negeri yang dilakukan di awal triwulan juga ikut
mendorong peningkatan konsumsi pemerintah. Ditambah lagi dengan mulai terealisasinya penggunaan Dana
Desa pada semester II 2015, yang diperkirakan akan berkontribusi pada peningkatan realisasi belanja pada
triwulan III 2015, meski diperkirakan tidak terlalu signifikan.
Investasi
Secara agregat, kegiatan investasi berbagai daerah di Kalimantan mengalami perlambatan pada triwulan II
2015. Melambatnya investasi terutama disebabkan oleh mundurnya pelaksanaan beberapa proyek investasi
seperti transmisi di kawasan utara, terminal mini LNG dan beberapa investasi lainnya dengan total 45% dari
nilai investasi. Hal ini tercermin pada realisasi pertumbuhan tahunan Penanaman Modal Asing (PMA) dan
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelumnya (Grafik
IV.5 dan Grafik IV.6). Melemahnya kinerja investasi terkonfirmasi dari hasil liaison, utamanya pada sektor
L a p o r a n N u s a n t a r a | 44
pertambangan sehubungan dengan lesunya prospek batubara ke depan akibat menurunnya permintaan
Tiongkok yang menyebabkan harga masih rendah. Indikator lain yang mengkonfirmasi perlambatan investasi
tercermin pada impor barang modal periode laporan yang terkontraksi lebih dalam dibandingkan triwulan lalu.
Sumber: BKPM, diolah
Grafik IV.5. Pertumbuhan Tahunan Realisasi PMA di
Kalimantan
Sumber: BKPM, diolah
Grafik IV.6. Pertumbuhan Tahunan Realisasi PMDN di
Kalimantan
Memasuki triwulan III 2015, kinerja investasi diperkirakan membaik sejalan dengan membaiknya realisasi
proyek konstruksi. Peningkatan kinerja investasi didorong oleh prakiraan perbaikan investasi yang terindikasi
oleh peningkatan likert scale investasi ke depan (Grafik IV.8). Perbaikan kinerja investasi diperkirakan terutama
terjadi di Kalimantan Barat terkait pembangunan smelter (Grafik IV.7). Pada triwulan III 2015, diperkirakan
sebanyak 65% total nilai investasi akan terlaksana sesuai jadwal, relatif lebih tinggi dibandingkan periode
sebelumnya yang mencapai 55%. Mulai naiknya investasi di Kalimantan didorong oleh pembangunan
infrastruktur pemerintah, seperti jalan Kapuas-Tanjung Kelanis, jalan Pelabuhan Trisakti serta Pelabuhan
Samarinda dan Sampit. Berdasarkan hasil liaison, investasi sektor pertanian diperkirakan meningkat (Grafik
IV.8) utamanya didukung oleh rencana pelaku usaha yang akan membuat pabrik CPO. Meski demikian,
investasi di Kalimantan Timur belum menunjukkan indikasi perbaikan yang cukup signifikan, khususnya
investasi pada sektor pertambangan. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab terbatasnya perbaikan
investasi di Kalimantan.
Grafik IV.7. Pertumbuhan Investasi PDRB di Kalimantan
Grafik IV.8. Perkiraan Investasi Hasil Liaison
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Kinerja ekspor luar negeri Kalimantan masih terkontraksi pada triwulan II 2015. Kontraksi ekspor yang terjadi
terutama disebabkan oleh menurunnya ekspor batubara (Grafik IV.9). Penurunan ekspor terjadi untuk
pengiriman ke sebagian besar negara tujuan ekspor Kalimantan, kecuali Eropa dan Amerika Serikat (Grafik
IV.10). Selain itu, ekspor batubara ke Tiongkok dan India juga belum menunjukan adanya perbaikan.
Perekonomian Tiongkok yang menyentuh angka pertumbuhan terendah sejak 2009, yaitu sebesar 7%
L a p o r a n N u s a n t a r a | 45
mengakibatkan turunnya permintaan batubara. Kinerja ekspor Kalimantan lebih ditopang oleh perbaikan
ekspor crude palm oil (CPO) dan karet seiring dengan peningkatan produktivitas Tandan Buah Segar (TBS) sawit
di Kalimantan (Grafik IV.9).
Grafik IV.9. Pertumbuhan Ekspor Berdasar Komoditas
Grafik IV.10. Pertumbuhan Tahunan Ekspor Berdasar Negara
Tujuan Utama
Memasuki triwulan III 2015, berbagai indikator kinerja ekspor luar negeri Kalimantan belum menunjukkan
perbaikan. Hampir semua provinsi diprakirakan masih tumbuh melambat. Perlambatan terjadi akibat belum
membaiknya sektor pertambangan, baik batubara maupun minyak bumi. Perlambatan masih terjadi pada
komoditas batubara akibat masih lesunya permintaan gobal yang tercermin dari tren harga batubara acuan
yang semakin turun. Kinerja minyak bumi juga diperkirakan akan turun sejalan dengan belum adanya
penambahan sumur baru dengan kapasitas yang signifikan. Di sisi lain, kenaikan ekspor CPO dan bahan olahan
mineral menjadi faktor penahan terjadinya penurunan ekspor lebih besar. Selain itu, ekspor bahan olahan
mineral diperkirakan akan membaik, didukung oleh mulai beroperasinya smelter bauksit di Kalimantan Barat
meski belum optimal.
Impor
Pertumbuhan impor dari luar negeri ke berbagai daerah di Kalimantan pada triwulan II 2015 meneruskan tren
menurun, hampir untuk semua jenis barang. Perlambatan terjadi untuk jenis barang modal yang juga
terkorfirmasi oleh kegiatan liaison kepada pelaku usaha di bidang pertambangan dan pengangkutan batubara,
yang menyatakan perusahaan cenderung menahan pembelian barang modal karena faktor harga jual batubara
di pasar internasional yang masih rendah. Penurunan impor barang modal tersebut sejalan dengan
perlambatan investasi. Di samping barang modal, penurunan juga terjadi pada impor bahan baku.
Grafik IV.11. Pertumbuhan Impor Tahunan
Grafik IV.12. Perkiraan Pertumbuhan Tahunan Impor PDRB
Untuk triwulan III 2015, impor luar negeri diprakirakan meningkat sejalan dengan dorongan peningkatan impor
dari Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Peningkatan kebutuhan impor terutama terjadi pada jenis
barang modal dan bahan baku. Peningkatan impor barang modal, terkait dengan pembangunan smelter di
L a p o r a n N u s a n t a r a | 46
Kalimantan Barat. Sementara itu, impor bahan baku yang meningkat didorong oleh besarnya kebutuhan pupuk
untuk perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Timur, seiring usia tanaman yang relatif masih muda.
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Pertambangan
Pada triwulan II 2015 kinerja sektor pertambangan di Kalimantan mengalami penurunan. Secara agregat,
pertumbuhan sektor pertambangan terkontrakasi lebih dalam dari sebelumnya terkontraksi 0,51% menjadi
2,61% pada periode laporan. Penurunan kinerja pertambangan tersebut terjadi di semua provinsi. Secara
spasial, sektor pertambangan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah memberikan sumbangan yang
cukup besar pada penurunan kinerja sektor pertambangan di Kalimantan. Sektor pertambangan Kalimantan
Timur mengalami kontraksi lebih besar pada periode laporan dari 1,16% menjadi 2,99%. Selain itu, penurunan
yang sangat signifikan juga terjadi di Kalimantan Tengah yang terkontraksi sebesar 1,30% (yoy) dari
sebelumnya tumbuh sangat tinggi 10,9% (yoy).
Sumber : Mc Closkey
Grafik IV.13. Produksi Batubara Kalimantan
Grafik IV.14. Pertumbuhan tahunan Ekspor Tambang Batubara
Berdasarkan Negara Tujuan, %
Melemahnya kinerja pertambangan terutama dipicu oleh masih terkontraksinya produksi batubara dan minyak
di Kalimantan. Pada triwulan II 2015 produksi batubara terkontraksi menjadi sebesar 13,23% (yoy) (Grafik
IV.13). Berkurangnya produksi batubara antara lain disebabkan oleh turunnya permintaan dari Tiongkok, India
dan Jepang yang masing-masing sebesar 50% (yoy), 16% (yoy) dan 28% (yoy). Kondisi ini berbeda dengan
perkiraan semula, yang memperkirakan terjadi peningkatan permintaan batubara dari India, sehubungan
dengan masih tingginya kebutuhan batubara untuk pembangkit listrik di India. Untuk migas, penurunan
produksi minyak sebesar 9,41% (yoy) disebabkan oleh kondisi sumur-sumur tambang yang sudah tua dan tidak
lagi produktif (Grafik IV. 16). Meski demikian, lifting gas diprakirakan naik terbatas sehingga menahan laju
kontraksi sektor pertambangan pada tingkat yang lebih dalam.
Grafik IV.15. Lifting Gas Kalimantan
Grafik IV.16. Lifting Minyak Kalimantan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 47
Pada triwulan III 2015, pertumbuhan sektor pertambangan diprakirakan masih mengalami kontraksi pada level
yang lebih besar, akibat belum membaiknya kondisi pertambangan batubara. Lesunya perekonomian Tiongkok
disertai dengan kebijakan Pemerintah Tiongkok untuk mengutamakan produksi dalam negeri, serta
dikenakannya kenaikan pajak impor batubara di Korea Selatan mulai 1 Juli 2015, menjadi faktor penahan
kinerja produksi batubara. IMF memprakirakan harga batubara pada triwulan III masih dalam tren menurun
yaitu sebesar 24,2% (yoy). Pada pertambangan minyak bumi, penurunan lifting juga masih akan terus terjadi,
mengingat umur sumur-sumur migas di Kalimantan yang sudah tua dan belum ada investasi yang signifikan
dalam waktu dekat.
Sektor Industri Pengolahan
Industri pengolahan Kalimantan pada triwulan II 2015 masih kontraksi, khususnya akibat masih belum dapat
berkembangnya industri di Kalimantan Timur. Pertumbuhan industri pengolahan di Kalimantan Timur masih
terkontraksi, sehubungan dengan penurunan lifting minyak olahan yang kemudian berpengaruh pada
penurunan industri olahan minyak. Di sisi lain, kenaikan kinerja industri gas sedikit menahan industri olahan
terkontraksi lebih dalam. Kinerja industri nonmigas juga mengalami peningkatan, yang terindikasi pada
peningkatan produksi CPO dan pupuk.
Memasuki triwulan III 2015, industri pengolahan tetap terkontraksi meski tidak sebesar periode sebelumnya.
Industri nonmigas diperkirakan akan menjadi pendorong pertumbuhan sektor industri secara umum,
sementara pertumbuhan industri migas masih akan tumbuh terbatas. Hal tersebut sejalan dengan hasil liasion,
yang memperkirakan terjadinya peningkatan penjualan pada industri non migas. Hal tersebut sejalan dengan
perbaikan industri CPO yang ditandai dengan membaiknya proyeksi harga CPO oleh IMF, serta peningkatan
produksi tandan buah segar (TBS) sawit.
Sektor Pertanian
Pertumbuhan sektor pertanian Kalimantan pada triwulan II 2015 meningkat dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Pada triwulan II 2015, sektor pertanian tumbuh 5,10% (yoy) dari sebelumnya yang tercatat
sebesar 3,93% (yoy). Peningkatan kinerja tersebut terjadi hampir di seluruh provinsi di Kalimantan.
Peningkatan didukung oleh naiknya produksi perkebunan dan tanaman bahan makanan (tabama). Sesuai
perkiraan sebelumnya adanya banjir di Kalimantan Selatan, membuat panen bergeser ke triwulan II 2015
sehingga mendorong kinerja sektor dimaksud pada periode berjalan. Hal tersebut sejalan dengan hasil panen
padi di Kalimantan Barat yang menunjukan peningkatan dibandingkan periode sebelumnya dari 1,68% (yoy)
menjadi 2,99% (yoy).
Sumber: Dinas Pertanian Kalimantan Barat dan Kalimantan
Sekatan, diolah
Grafik IV.17. Pertumbuhan Tahunan Luas Tanam dan Luas
Panen di Kalimantan
Sumber: IMF, diolah
Grafik IV.18. Perkiraan Harga Minyak Mentah dan CPO di
Pasar Internasional
Perkembangan berbagai indikator pertanian di Kalimantan mengindikasikan adanya perbaikan kinerja sektor
pertanian pada triwulan III 2015, antara lain tercermin pada peningkatan produksi tabama dan perkebunan.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 48
Kenaikan produksi tabama tersebut dipengaruhi oleh upaya khusus yang ditempuh oleh pemerintah untuk
mendorong peningkatan produksi pangan di Kalimantan. Luas panen padi diperkirakan meningkat sejalan
dengan peningkatan luas tanam pada triwulan II 2015. Pada triwulan II 2015, luas tanam padi meningkat
sebesar 49,8%(yoy) lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan I yang hanya tumbuh 1% (yoy), hal ini akan
mendorong kenaikan luas panen padi pada triwulan III 2015. Selain itu berdasar liaison, perluasan lahan pada
tahun 2010 yang dilakukan oleh para pelaku usaha sawit di Kalimantan mulai menghasilkan sehingga turut
berkontribusi positif bagi perbaikan kinerja sektor pertanian.
PERKEMBANGAN INFLASI
Perkembangan inflasi di berbagai daerah Kalimantan sepanjang triwulan II 2015 relatif terjaga walaupun
cenderung lebih tinggi dibanding daerah lainnya. Hal ini tercermin dari laju kumulatif inflasi (year-to-date)
periode Januari-Juni 2015 yang tercatat sebesar 2,15% (ytd), lebih rendah dibanding rata-rata periode yang
sama dalam empat tahun terakhir yaitu sebesar 2,86% (ytd). Terjaganya inflasi terutama didukung oleh
terkendalinya kenaikan harga pangan seiring dengan musim panen yang berlangsung pada triwulan II 2015 di
beberapa daerah sentra produksi lokal seperti di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan. Selain itu, pasokan
ikan segar cukup berlimpah sejalan dengan peningkatan hasil produksi ikan tangkap. Meningkatnya tekanan
inflasi di wilayah ini terjadi pada akhir Juni 2015 disebabkan terjadinya peningkatan permintaan memasuki
masa Ramadhan. Beberapa komoditas yang menunjukkan peningkatan di akhir periode triwulan II 2015 antara
lain daging ayam ras, telur, dan bawang merah. Secara tahunan (year-on-year), inflasi di Kalimantan masih
berada pada level yang tinggi karena faktor base effect kenaikan harga BBM pada November 2015. Inflasi
Kalimantan pada Juni 2015 tercatat sebesar 7,33% (yoy), dengan inflasi tertinggi terjadi di Provinsi Kalimantan
Barat (9,04%) dan Kalimantan Timur (7,55%).
Sumber: BPS, diolah
Sumber: BPS, diolah
Grafik IV.19. Perkembangan Inflasi Kalimantan dan Indonesia
Grafik IV.20. Disagregasi Inflasi Kalimantan
Memasuki awal triwulan III 2015, berbagai daerah di Kalimantan mengalami tekanan inflasi yang lebih tinggi.
Pada Juli 2015, inflasi Kalimantan tercatat sebesar 1,51% (mtm) dan secara tahunan menjadi 7,99% (yoy), lebih
tinggi dibanding wilayah lainnya. Kenaikan inflasi terjadi pada semua kelompok barang terutama akibat
meningkatnya permintaan pada masa Ramadhan. Kenaikan tekanan harga yang cukup signifikan terutama
terjadi pada tarif angkutan udara sehingga menyebabkan Kalimantan Barat mengalami inflasi tertinggi secara
nasional. Berbagai upaya yang cukup intensif ditempuh oleh pemerintah daerah melalui forum TPID seperti
penyelenggaraan program pasar murah menjadi penyeimbang untuk mengefisienkan biaya distribusi dan
program peningkatan produksi antara lain melalui metode Hazton, relatif dapat menahan tekanan kenaikan
harga-harga lebih lanjut. Meski demikian, tekanan inflasi diperkirakan akan mereda di akhir triwulan III pasca
berakhirnya aktivitas perayaan Idul Fitri masih dibayangi risiko akan meluasnya kekeringan di sejumlah daerah
di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Hal tersebut diperkirakan akan berdampak pada penurunan
produksi pertanian.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 49
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Dalam rangka pengendalian inflasi di Wilayah Kalimantan, berbagai upaya koordinasi dan kegiatan melalui
TPID diarahkan untuk mencapai inflasi yang rendah dan stabil, khususnya masa Idul Fitri. Pengendalian
ekspektasi inflasi dari masyarakat dilakukan melalui diseminasi kegiatan TPID melalui media massa, baik cetak
maupun elektronik. Selain itu, untuk memperkuat koordinasi, dilakukan berbagai kegiatan antara lain rapat
koordinasi TPID bersama dinas dan instansi di daerah. Dalam menjaga suplai komoditas pangan, TPID secara
aktif melakukan operasi pasar, menyelenggarakan pasar murah, mempercepat penyaluran raskin, mendirikan
pasar penyeimbang, mendorong penerbitan SK Gubernur terkait tarif angkutan pada masa Idul Fitri,
melakukan inspeksi mendadak (sidak) pasar induk dan distributor, melakukan sidak ketersediaan BBM dan
LPG, dan berbagai kegiatan lainnya.
Dalam rangka memperkuat fungsi TPID, Kemendagri memberikan surat penugasan kepada TPID untuk
melakukan melakukan pengawasan dan pemantauan penerapan kebijakan penetapan harga khusus saat puasa
dan Idul Fitri tahun 2015. TPID diminta melaksanakan sepuluh kegiatan dalam menjaga stabilnya harga pada
bulan puasa dan Idul Fitri. Secara umum, instruksi dari Kemendagri tersebut telah dilaksanakan dengan cukup
baik di Kalimantan. Namun demikian, instruksi pembentukan pos pengaduan yang menampung keluhan
masyarakat terkait kelangkaan dan ketidakpastian harga pangan masih belum dapat direalisasikan oleh TPID di
Kalimantan.
Tabel IV.1. Tindak Lanjut Surat Kemendagri
No
Upaya Pengendalian Inflasi
Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim
1
Menjaga ketersediaan pasokan dan mempercepat distribusi barang khususnya kebutuhan pokok masyarakat (C, VF)
2
Mengendalikan tarif angkutan darat (AD)
3
Menyediakan informasi terkait produksi, ketersediaan dan harga komoditas bahan pangan pokok (VF)
4
Meningkatkan kerjasama antar daerah yang surplus komoditas dengan daerah yang defisit komoditas (VF)
5
6
Mengefektifkan TPID untuk memantau ketersediaan, kelancaran distribusi dan perkembangan harga (VF, C)
Menghimbau masyarakat agar lebih bijaksana dalam pola konsumsi (VF, C)
7
Membentuk pos pengaduan yg menampung keluhan masyarakat terkait kelangkaan dan ketidakstabilan harga pangan (VF)
8
Bersama-sama dengan seluruh anggota Forum Koordinasi Pimpinan Daerah untuk melakukan pengawasan (VF, C)
9
10
Mempercepat pelaksanaan APBD 2015, khususnya program yang mendukung angka 1 s.d. 8 (AD, C, VF)
Melaporkan upaya-upaya secara berjenjang ke Pimpinan Daerah
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
Keterangan kelompok inflasi : C (core/inti); VF (volatile food); AP (administered prices)
STABILITAS SISTEM KEUANGAN, PENGELOLAAN
PENGELOLAAN UANG TUNAI RUPIAH
SISTEM
PEMBAYARAN,
DAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Pembiayaan ke sektor korporasi di Kalimantan pada triwulan II 2015 didominasi oleh sektor pertanian,
terutama disalurkan untuk perkebunan sawit dengan pangsa 32%. Selain sektor pertanian, sektor
pertambangan, industri dan perdagangan juga memiliki peran yang cukup dominan dalam pembiayaan oleh
sektor korporasi Kalimantan dengan pangsa masing-masing 16%, 14% dan 12%. Masih lesunya perekonomian
Kalimantan yang dipengaruhi oleh koreksi harga dan turunnya permintaan komoditas global membuat kinerja
kredit sektor korporasi melambat dari 6,19 % menjadi 5,84%. Walaupun melambat, risiko kredit korporasi
mengalami sedikit perbaikan yang tercermin dengan penurunan NPL dari 4,35% menjadi 4,29%. Penurunan
NPL didorong oleh sektor pertanian, konstruksi serta transportasi dan komunikasi, sementara untuk sektor
pertambangan dan industri mengalami peningkatan dan berada pada level yang cukup tinggi. Secara spasial,
tingkat NPL tertinggi berada di Kalimantan Timur yang mencapai 6,29%, sedangkan di provinsi lainnya masih
pada level yang aman yakni di bawah 5%. Tekanan NPL di Kalimantan Timur merupakan dampak langsung dari
kontraksi pertumbuhan ekonomi di sektor pertambangan batubara dan migas serta sektor-sektor
pendukungnya yang mengalami perlambatan.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 50
Grafik IV.25. Pertumbuhan Kredit Sektoral
Grafik IV.26. NPL Sektoral
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Sejalan dengan melambatnya kondisi perekonomian, pada triwulan II-2015 penyaluran kredit sektor rumah
tangga di Kalimantan tumbuh melambat. Pada akhir triwulan II 2015, pertumbuhan kredit ke sektor rumah
tangga tercatat sebesar level 14,67% (yoy), lebih rendah dibanding posisi akhir triwulan sebelumnya yang
mencapai 18,97% (yoy). Melambatnya pertumbuhan terjadi pada hampir setiap jenis penggunaan kredit.
Meskipun melambat, risiko kredit rumah tangga masih tetap terjaga yang tercermin dari rendahnya tingkat
NPL yakni 1,96%. Tingginya ketahanan stabilitas sistem keuangan sektor rumah tangga juga terindikasi pada
rendahnya level debt-to-service ratio Kalimantan pada triwulan II 2015 yakni 14,70%. Sementara itu, DPK
perseorangan di Kalimantan tumbuh cukup stabil meskipun terjadi tren perlambatan selama setahun terakhir.
Pada triwulan II 2015, DPK Perseorangan di Kalimantan tumbuh sedikit meningkat dari 7,05% (yoy) menjadi
7,25% (yoy).
Grafik IV.27. Pertumbuhan Kredit RT
Grafik IV.28. Pertumbuhan NPL
Grafik IV.29. Debt-to-Service Ratio Per Provinsi
Grafik IV.30. Pertumbuhan DPK Perseorangan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 51
Pembiayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)
Pada triwulan II 2015, pembiayaan terhadap UMKM juga mengalami perlambatan dari 13,41% (yoy) menjadi
4,78% (yoy). Perlambatan pembiayaan UMKM disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan sektor
perdagangan dan penurunan dari sektor konstruksi serta transportasi dan komunikasi. Namun demikian,
penyaluran kredit UMKM pada sektor pertanian mengalami pertumbuhan yang meningkat dibanding triwulan
sebelumnya. Risiko kredit UMKM di Kalimantan juga perlu diwaspadai karena tingkat NPL yang sudah berada
di atas 5% selama dua triwulan berturut-turut, dengan kecenderungan yang meningkat dari 5,3% menjadi
5,8%. Peningkatan risiko tersebut terjadi utamanya di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan yang
perekonomiannya didominasi oleh sektor pertambangan. Secara sektoral, risiko kredit tertinggi terdapat pada
sektor sekunder dan tersier seperti konstruksi (13,40%), transportasi (9,71%) dan jasa (9,10%).
Grafik IV.31. Pertumbuhan Kredit UMKM
Grafik IV.32. NPL Kredit UMKM
Sementara itu, perkembangan indikator keuangan inklusif di Kalimantan masih belum sebaik di wilayah
lainnya. Hal ini terlihat dari rendahnya rasio rekening per penduduk di Kalimantan dibandingkan dengan
nasional. Selain itu, rasio kredit dan DPK terhadap PDRB cenderung tidak setinggi nasional yang
mengindikasikan dukungan keuangan dalam perekonomian relatif masih terbatas. Di sisi lain, ketersediaan
dukungan sektor keuangan terhadap UMKM di Kalimantan cukup baik meskipun rasio rekening kredit UMKM
terhadap total rekening kredit di Kalimantan sedikit di bawah nasional.
Tabel IV.2. Indikator Keuangan Inklusif
Sumber: BPS, Bank Indonesia, diolah
Pengelolaan Sistem Pembayaran
Masih sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif melambat pada triwulan II 2015, transaksi non tunai
khususnya kliring masih terus terkontraksi. Transaksi kliring cenderung masih terkontraksi dari sebesar 0,36%
(yoy) menjadi terkontrakasi lebih dalam lagi sebesar 1,43% (yoy) dengan nominal Rp 18,65 triliun. Meski
demikian, secara keseluruhan transaksi nontunai di Kalimantan pada triwulan II 2015 mengalami peningkatan
dengan total nominal tercatat Rp382,60 triliun, atau tumbuh 48,99% (yoy). Kenaikan tersebut terutama
didorong oleh kebijakan kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah NKRI, yang tertangkap pada transaksi RTGS,
yang tumbuh dari 9,60% (yoy) menjadi 48,99% (yoy) dengan total nominal Rp364,02 triliun.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 52
Tabel IV.3. Perkembangan RTGS Kalimantan
Nilai (Rp triliun)
g. Nilai (% yoy)
Volume (ribu lembar)
g. Volume (% yoy)
I
214.74
34.96
237.94
14.46
2013
II
256.79
28.11
249.87
4.90
III
247.44
31.04
233.33
-3.01
IV
250.74
15.97
252.31
-5.86
I
219.07
2.02
221.51
-6.90
2014
II
III
244.32
249.40
-4.86
0.79
226.37
224.19
-9.41
-3.92
IV
276.05
10.09
226.10
-10.39
2015
I
240.09
9.60
111.48
-49.67
IV
19.97
-1.99
555.10
-3.06
2015
I
II
18.65
18.58
-0.36
-1.43
539.17
540.27
2.55
-1.28
II
364.02
48.99
116.24
-48.65
Tabel IV.4. Perkembangan Kliring Kalimantan
Nilai (Rp triliun)
g. Nilai (% yoy)
Volume (ribu lembar)
g. Volume (% yoy)
I
18.18
6.06
549.61
1.48
2013
II
18.42
2.61
570.82
1.12
III
19.34
10.71
558.50
0.60
IV
20.37
11.81
572.65
1.79
I
18.72
2.99
525.76
-4.34
2014
II
III
18.85
18.33
2.33
-5.24
547.28
519.99
-4.12
-6.90
Pengelolaan Uang Tunai Rupiah
Transaksi tunai Bank Indonesia se-Kalimantan pada triwulan II 2015 tercatat mengalami net outflow Rp5,1
triliun. Net outflow ini merupakan dampak kenaikan kebutuhan uang tunai menjelang Idul Fitri dan libur
sekolah. Secara spasial, outflow terjadi di hampir semua provinsi kecuali Kalimantan Tengah yang mengalami
net inflow. Pada triwulan II pertumbuhan outflow meningkat tajam dari kontraksi -1,52% (yoy) menjadi
tumbuh 29,30% (yoy). Di sisi lain terjadi perlambatan inflow dari tumbuh 20,96% (yoy) menjadi hanya tumbuh
9,67% (yoy). Sementara itu, perkembangan uang palsu pada triwulan II 2015 ini menunjukkan penurunan dari
3.619 lembar menjadi 2.618 lembar dengan temuan terbesar di Kalbar dan Kalsel.
Grafik IV.33. Perkembangan Inflow-outflow Kalimantan
Tabel IV.5. Perkembangan Inflow-Outflow Provinsi di Kalimantan
Provinsi
Kalbar
Kalsel
Kalteng
Kaltim
Kalimantan
Inflow
Outflow Net Outflow
1,072,654 2,077,780
1,005,126
682,023 2,773,266
2,091,244
2,027,610 1,680,597
-347,013
1,838,940 4,169,232
2,330,292
5,621,227 10,700,875
5,079,649
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Secara umum, pemulihan kinerja perekonomian berbagai daerah di Kalimantan diperkirakan masih tumbuh
terbatas pada tahun 2015. Pertumbuhan ekonomi tahun 2015 diperkirakan berada pada kisaran 1,40-1,90%
(yoy), lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2014 sebesar 3,19% (yoy). Faktor utama perlambatan tersebut
karena pemulihan ekonomi global yang masih terbatas sehingga menghambat kinerja sektor pertambangan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 53
khususnya batubara sehingga ekspor masih tertahan. Selain itu, penurunan lifting minyak bumi juga turut
menahan laju pertumbuhan ekonomi Kalimantan.
Melambatnya ekonomi Kalimantan untuk keseluruhan tahun 2015, terutama dipengaruhi oleh perkembangan
pemulihan ekonomi global yang masih terbatas, yang disertai harga komoditas yang cenderung menurun
sehingga berdampak pada kinerja ekspor di berbagai daerah Kalimantan. Perkembangan ekonomi Tiongkok
yang cenderung melambat diperkirakan akan memengaruhi kinerja ekspor batubara. Meski demikian,
permintaan domestik terutama konsumsi rumah tangga masih cukup kuat. Selain itu, upaya yang ditempuh
oleh pemerintah untuk mendorong penyerapan belanja anggaran di tingkat pusat dan daerah untuk
pembangunan berbagai proyek infrastruktur strategis diperkirakan dapat menahan melambatnya laju
perekonomian lebih lanjut. Kemudian, penyelenggaraan Pilkada serentak di akhir tahun 2015 diperkirakan
dapat memberikan dampak positif terhadap kinerja perekonomian.
Pada sisi penggunaan, perlambatan ekonomi yang diakibatkan penurunan kinerja ekspor tambang yang
disertai produksi (lifting) minyak bumi selanjutnya akan berdampak pada menurunnya pendapatan ekspor
sehingga memengaruhi konsumsi RT. Oleh karena itu, konsumsi dan ekspor diperkirakan tumbuh terbatas.
Prospek pemulihan perekonomian Tiongkok yang berjalan lambat akan berdampak pada pemulihan kinerja
ekspor batubara Kalimantan. Hal ini tercermin pada harga batubara yang diproyeksikan turun hingga sebesar
20% (yoy) pada tahun 2015 oleh IMF. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah kenaikan royalti di saat
harga batubara rendah dapat membuat pelaku usaha yang berhenti beroperasi. Terbatasnya konsumsi rumah
tangga sejalan dengan belum membaiknya perekonomian Kalimantan khususnya sektor pertambangan.
Investasi diperkirakan tumbuh membaik, didukung oleh investasi yang dilakukan oleh pemerintah. Sementara
kinerja ekspor diperkirakan ditopang oleh prospek kinerja ekspor CPO yang diperkirakan mengalami perbaikan
dan ekspor mineral olahan yang dimulai tahun 2015.
Dari sisi sektoral, sumber utama melambatnya pertumbuhan ekonomi Kalimantan diprakirakan berasal dari
pertambangan yang kinerjanya memburuk. Selain itu, industri pengolahan juga diproyeksikan akan mengalami
kontraksi sebesar 0,3% (yoy). Industi hilir migas yang memiliki share 45% terhadap total industri di Kalimantan,
mengalami penurunan seiring dengan rendahnya lifting minyak bumi di sisi hulu dan harga LNG yang
diproyeksikan terkontraksi. Namun masih terdapat potensi industri CPO, pupuk dan kayu olahan yang dapat
menahan laju penurunan industri olahan. Selain itu, kinerja sektor pertanian dan industri pengolahan
merupakan pendorong utama perbaikan di tahun 2015. Sektor pertanian, diperkirakan akan mengalami
peningkatan produksi sejalan dengan semakin tingginya produktivitas sawit memasuki usia produktifnya.
Kinerja subsektor tanaman bahan makanan juga diperkirakan meningkat didukung oleh program swasembada
pangan secara Nasional. Pemerintah menetapkan target produksi beras pada tahun 2015 di Kalimantan
sebesar 5,82 juta ton atau naik 21,89% (yoy) dibandingkan dengan tahun 2014. Target peningkatan produksi
beras ini sangat tinggi dibandingkan dengan historis, dengan rata-rata kenaikan produksi beras hanya 1,67%.
Secara spasial, perlambatan perekonomian Kalimantan pada 2015 diprakirakan terutama terjadi di daerah
yang bergantung pada komoditas batubara. Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur diproyeksikan akan
melambat cukup dalam, akibat menurunnya kinerja sektor pertambangan. Sementara itu, pertumbuhan
Kalimantan Tengah akan tetap meningkat, didukung oleh perbaikan kinerja pertanian dan pertambangan
mineral. Perbaikan di sektor pertambangan mineral juga terjadi di Kalimantan Barat, sehingga dapat menahan
penurunan perekonomian Kalimantan Barat. Diperkirakan pada tahun 2015, perekonomian Kalimantan Barat
tumbuh stabil.
Prospek Inflasi
Perkembangan inflasi di Kalimantan hingga akhir tahun 2015 diperkirakan tetap terkendali dan masih sejalan
dengan sasaran inflasi nasional yang berada pada kisaran 4%±1%. Prakiraan terkendalinya tekanan inflasi
hingga akhir tahun ini sejalan dengan perlambatan ekonomi Kalimantan, yang berdampak pada melemahnya
tekanan inflasi pada sisi permintaan, terutama di Kalimantan Timur yang pertumbuhan ekonominya
L a p o r a n N u s a n t a r a | 54
mengalami kontraksi sepanjang semester I 2015. Pada sisi penawaran, produksi pangan di Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, khususnya untuk komoditas beras, diperkirakan masih meningkat
dibanding periode tahun sebelumnya sebagai dampak penerapan program swasembada pangan.
Risiko inflasi yang perlu diwaspadai terutama berasal dari kelompok volatile foods. Menguatnya intensitas El
Nino, berisiko untuk menurunkan produksi beras di Kalimantan Barat. Disamping itu, permasalahan kenaikan
harga komoditas daging yang terjadi pada awal triwulan III 2015 serta masih rentannya kestabilan pasokan
beberapa komoditas pangan strategis lainnya seperti aneka cabai, ikan segar, dan bawang, turut menjadi risiko
yang dapat memberikan tekanan kenaikan inflasi pangan. Pada sisi distribusi, mulai tingginya gelombang juga
menjadi risiko bagi kestabilan harga di Kalimantan, khususnya di Kota Tarakan yang berada terpisah dari pulau
Kalimantan dan hampir seluruh barang konsumsinya didatangkan dengan transportasi laut dari kota lain
seperti Balikpapan, Surabaya dan Makasar.
Risiko lain yang perlu diwaspadai berasal dari kelompok administered prices. Risiko inflasi administered prices
berasal dari rencana penyesuaian tarif Listrik, LPG 3 kg serta harga BBM. Selain itu risiko lain berasal dari
kenaikan tarif angkutan udara pada masa Sembayang Kubur II bulan Agustus. Secara historis, tekanan inflasi
angkutan udara yang cukup signifikan selalu terjadi pada masa Sembayang Kubur karena tingginya arus keluar
masuk penumpang di Kalimantan Barat, baik Kota Pontianak maupun Singkawang. Selain itu, risiko lainnya
yang perlu diwaspadai berasal dari kelompok inti adalah kenaikan harga sewa rumah pada masa ajaran kuliah
baru di bulan Agustus dan September.
Mengantisipasi potensi meningkatnya risiko inflasi, akan dilakukan melalui penguatan koordinasi pengendalian
inflasi melalui TPID, diantaranya melalui (i) program minimalisir dampak kekeringan akibat El-Nino, (ii)
mengelola ekspektasi masyarakat salah satunya melalui PIHPS yang sudah terbentuk. Selain itu juga dilakukan
pengawasan yang intensif terhadap distribusi komoditas strategis untuk memastikan kesinambungan
pasokannya bagi masyarakat serta menjaga stok bahan makanan sepanjang waktu, hal ini dilakukan melalui
kandang penyangga dan pasar penyeimbang.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 55
Perekonomian Kalimantan yang secara umum lebih mengandalkan pada komoditas sumber daya alam (SDA)
menyebabkan pertumbuhan ekonomi Kalimantan cenderung tidak sustainable. Struktur ekspor Kalimantan
selama 10 tahun terakhir sangat bergantung pada ekspor SDA mentah. Pada tahun 2000, ekspor bergantung
pada komoditas kayu, dan semenjak tahun 2010 beralih ke batubara. Sebagian besar produksi batubara yang
dihasilkan di Kalimantan ditujukan untuk ekspor, dan hanya sebagian kecil yang digunakan untuk kepentingan
domestik. Ketergantungan ini membuat perekonomian Kalimantan sangat rentan dipengaruhi dinamika harga
komoditas di pasar global, terutama terkait dengan harga komoditas SDA ekspor. Melihat kondisi
perekonomian Kalimantan ini, diperlukan transformasi ekonomi berbasis SDA ke berbasis industri atau melalui
hilirisasi. Dalam konteks tersebut, hilirisasi memiliki peran sentral dalam mendukung transformasi
perekonomian Kalimantan guna tercapainya pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Gambar IV.1. Pentingnya Transformasi Ekonomi Kalimantan
Upaya untuk hilirisasi di Kalimantan akan memberikan nilai tambah yang besar bagi perekonomian. Potensi
SDA yang sangat besar di Kalimantan menjadi modal dasar untuk hilirisasi, diantaranya adalah bauksit, bijih
besi, karet, sawit, gas, minyak dan batubara. Produksi bauksit Kalimantan merupakan yang terbesar di
Indonesia, mencapai 60% dari total produksi Indonesia. Sama halnya dengan bijih besi dan batubara yang
sekitar 90% produksi Indonesia berasal dari Kalimantan. Potensi migas Kalimantan juga sangat besar, dimana
27% produksi minyak dan 12% gas Indonesia dari Kalimantan.
Sebagai upaya untuk mempercepat hilirisasi di sektor tambang, pemerintah mulai menetapkan larangan
ekspor mineral dalam bentuk mentah sejak awal tahun 2014 yang juga merupakan amanat dari UU No. 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Saat ini telah beroperasi masing-masing satu
industri alumina dan sponge iron, serta tujuh pabrik pemurnian Zircon. Selain itu akan dibangun sebelas
smelter untuk memproduksi bauksit dan bijih besi. Berdasar simulasi perhitungan ESDM, hilirisasi
meningkatkan nilai tambah bauksit sebesar 21 kali (alumina) dan 8 kali untuk bijih besi (sponge iron).
Pengembangan Kawasan Industri dan Kawasan Ekonomi Khusus juga dilakukan untuk mendorong
berkembangnya hilirisasi di Kalimantan. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 20152019, pemerintah berencana membangun 4 kawasan industri prioritas di Kalimantan Selatan (Batulicin dan
Jorong) dan 2 kawasan di Kalimantan Barat (Ketapang dan Landak). Selain itu juga akan dibangun satu kawasan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 56
ekonomi khusus (KEK Maloy) dan satu pengilangan minyak di Kalimantan Timur. Komoditas utama yang akan
dikembangkan adalah karet, sawit, batubara, besibaja, migas, bauksit, dan zircon.
SAAT INI
PERTAMBANGAN
ENERGI
KE DEPAN
INFRASTRUKTUR
Batubara
Minyak Bumi
Gas
Air
Bijih Besi
Bauksit
ELEKTRONIK
OTOMOTIF
ENERGI
1
BAHAN BAKU
INDUSTRI
TEKNOLOGI
TINGGI
2
EKSPOR
1
BARANG ½
JADI
Batubara,
EKSPOR
Minyak Bumi
Gas, Air
BAHAN BAKU
ALUMINA, BESI BAJA
Bijih Besi
Bauksit
EKSPOR
2
IMPOR
4
INDUSTRI
TEKNOLOGI
TINGGI
DOMESTIK
BARANG ½
JADI
3
ELEKTRONIK
OTOMOTIF
ALUMINA, BESI BAJA
Gambar IV.2. Skema Hilirisasi Kalimantan
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah adanya kandungan cadangan gas bumi yang besar di Kalimantan yang
mencapai 24% dari total cadangan gas bumi nasional yang saat ini belum dapat diolah dan dimanfaatkan
secara optimal. Potensi yang besar ini dapat menjadi modal dasar pengembangan industri hilir di Kalimantan.
Salah satunya adalah industri petrokimia yang dapat menghasilkan produk-produk metanol, amoniak dan
bahan lainnya yang selanjutnya dapat diproses menjadi bahan baku produk manufaktur yang dibutuhkan di
industri hilir seperti industri tekstil, plastik, karet sintetik, serat sintetik, pelarut, bahan pelembut, kosmetik,
pestisida, bahan pembersih, bahan farmasi, bahan peledak, bahan bakar dan kulit.
Tabel IV.6. Struktur Industri Petrokimia Menurut Pohon Industri
Sumber : BPPMD Kalimantan Timur
Belum berkembangnya industri petrokimia di secara nasional merupakan peluang bagi Kalimantan yang
memiliki potensi besar dari kandungan gas yang dimilikinya. Sampai saat ini, kebutuhan impor produk antara
industri kimia terus meningkat untuk memenuhi permintaan bahan baku industri hilir terutama pada
kelompok produk olefin dan aromatik. Potensi gas alam di Kalimantan membuka peluang yang besar bagi
untuk memacu pengembangan industri hilir petrokimia lebih besar Saat ini di Kalimantan terdapat satu
L a p o r a n N u s a n t a r a | 57
kawasan industri petrokimia di Bontang, Kalimantan Timur yang merupakan 1 dari 4 klaster prioritas
21
Kemenperin. Peran industri pengolahan petrokimia di Bontang ini cukup dominan, dilihat dari pangsa
produksi pupuk PT. Pupuk Kaltim yang mencapai sekitar 40% dari total nasional. Selain itu, di kawasan industri
petrokimia Kalimantan Timur juga terdapat pabrik methanol satu-satunya di Indonesia.
Gambar IV.3. Klaster Industri Petrokimia dan Peta Cadangan Minyak
Namun, upaya mendorong hilirisasi di Kalimantan menghadapi beberapa tantangan yang perlu untuk dapat
segera diatasi. Tantangan pertama berasal dari minimnya kondisi infrastruktur di Kalimantan. Baik dari kondisi
jalan, pelabuhan, dan bandara. Tantangan kedua berasal dari penyediaan lahan dan tumpang tindih perizinan
lahan. Tantangan lain yang harus dihadapi adalah masih rendahnya kualitas sumber daya manusia serta
konsistensi aturan yang ada.
Di samping itu, tantangan dari kesinambungan ketersediaan energi di Kalimantan juga menjadi hal yang
penting untuk mendukung berkembangnya industri petrokimia dan hilirisasi secara keseluruhan. Gambaran
ketersediaan energi listrik di Kalimantan masih merupakan salah satu faktor yang perlu menjadi perhatian
untuk segera diatasi. Permasalahan ketersediaan listrik terlihat dari kondisi cadangan listrik di sebagian besar
daerah di Kalimantan seperti di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah serta status
22
defisit di Kalimantan Barat . Hal ini turut menyebabkan Kalimantan menjadi daerah dengan persentase
23
penggunaan genset terbesar kedua setelah Riau .
Secara umum, pengembangan hilirisasi merupakan bagian penting dari transformasi Kalimantan guna melepas
tingginya ketergantungan terhadap ekspor SDA mentah. Upaya untuk mendorong pengembangan hilirisasi di
Kalimantan memerlukan komitmen serta koordinasi yang kuat antara antara pemerintah pusat dan daerah.
Dengan komitmen dan sinergi antara pusat dan daerah, diharapkan berbagai tantangan dalam pengembangan
hilirisasi dapat diatasi.
21
Tiga klaster prioritas petrokimia lainnya adalah : (1) Berbasis minyak bumi (crude oil) di Cilegon dan Balongan; (2) Berbasis gas bumi di
Bontang, Kalimantan Timur; (3) Berbasis minyak bumi aromatik di Tuban, JawaTimur
22
Statistik PLN 2014
23
KPPOD, 2007
L a p o r a n N u s a n t a r a | 58
PERTUMBUHAN EKONOMI
24
Pertumbuhan ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada triwulan II 2015, secara agregat tumbuh lebih
tinggi dari triwulan sebelumnya. Perekonomian KTI pada triwulan II 2015 tercatat tumbuh mencapai 9,01%
(yoy), setelah tumbuh sebesar 6,84% (yoy) pada triwulan I 2015. Meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi di
KTI terutama dikontribusikan oleh beberapa provinsi yang berbasis Sumber Daya Alam (SDA) dan hasil
olahannya, antara lain Provinsi Sulawesi Selatan (padi, nikel matte), Sulawesi Tenggara (bijih nikel), Maluku
Utara (bijih nikel), Papua Barat (LNG), Papua (tembaga), dan NTB (tembaga). Perkembangan sektor pertanian,
khususnya untuk komoditas tanaman bahan makanan (tabama) yang mengalami pergeseran panen dari
triwulan I 2015 ke triwulan II 2015, berdampak positif bagi meningkatnya pertumbuhan ekonomi beberapa
daerah di KTI seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Papua, Bali, dan NTB.
Meski demikian, secara keseluruhan, kenaikan laju pertumbuhan ekonomi KTI lebih dipengaruhi oleh faktor
base effect dari diperkenankankannya kembali ekspor mineral secara terbatas dari Papua Barat dan NTB.
Memasuki triwulan III 2015, perkembangan beberapa indikator ekonomi di berbagai daerah mengindikasikan
arah pertumbuhan ekonomi KTI yang cenderung tumbuh melambat. Hal ini juga terlihat dari hasil survei dan
pendalaman informasi (FGD dan liaison) yang mengindikasikan adanya tendensi perlambatan. Melambatnya
perekonomian KTI terutama dipengaruhi oleh base effect ekspor mineral tembaga dan berakhirnya musim
panen tabama. Pada triwulan III 2014, kegiatan ekspor mineral tembaga telah dapat dilakukan kembali oleh
produsen utama dari Papua setelah tercatat nihil sejak awal tahun 2014. Oleh karena itu, laju pertumbuhan
ekspor luar negeri diperkirakan akan tumbuh melambat pada triwulan III 2015 sehubungan dengan
terdorongnya tingkat produksi dengan signifikan pada periode sama tahun sebelumnya. Selain itu, lebih
lambatnya laju pertumbuhan ekonomi diperkirakan terkait dengan berakhirnya puncak panen pada triwulan II
2015. Untuk keseluruhan tahun 2015, adanya perpanjangan izin ekspor mineral serta beroperasinya pabrik
pengolahan nikel dan gas alam yang baru, dapat menopang pertumbuhan ekonomi KTI berada di kisaran
7,70% - 8,10% (yoy), atau lebih tinggi dari tahun 2014 (6,03%, yoy).
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Kinerja konsumsi rumah tangga pada triwulan II 2015 masih cukup kuat, meski tumbuh melambat
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Konsumsi rumah tangga tumbuh melambat dari 6,02% (yoy) pada
triwulan I 2015 menjadi 5,88% (yoy) pada triwulan laporan. Pada awal triwulan II 2015, dorongan permintaan
rumah tangga masih cukup baik sehubungan dengan terdapat beberapa hari libur nasional dan keagamaan
yang jatuh dipenghujung pekan sehingga mendorong aktivitas konsumsi rumah tangga, khususnya untuk
wisatawan domestik. Meski demikian, terdapat beberapa faktor yang menjadi penahan pertumbuhan
konsumsi rumah tangga tersebut. Masih cenderung rendahnya harga komoditas ekspor menyebabkan
pendapatan ekspor yang relatif terbatas. Pelemahan keyakinan konsumen rumah tangga tercermin pada
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) di beberapa kota besar di KTI cenderung menurun, khususnya penurunan
ketepatan waktu pembelian barang tahan lama, terutama pada akhir triwulan II 2015 (Grafik V.1). Di samping
itu, kinerja pariwisata juga menunjukan tren perlambatan sebagaimana tercermin dari jumlah kunjungan
wisatawan mancanegara (wisman) yang masih dalam tren menurun (Grafik V.2).
24
Kawasan Timur Indonesia (KTI) terdiri dari 13 provinsi di Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, Pulau Papua, Bali, dan Kepulauan Nusa
Tenggara, yaitu: Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Maluku,
Papua Barat, Papua, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 59
Memasuki triwulan III 2015, perkembangan berbagai indikator terkini mengindikasikan konsumsi rumah
tangga cenderung tumbuh relatif stabil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Hal ini terindikasi dari
pergerakan IKK masih menunjukkan kecenderungan penurunan di tengah adanya faktor musiman liburan
sekolah dan perayaan hari besar keagamaan (Idul Fitri dan Idul Adha), yang menjadi pemicu kegiatan
konsumsi. Hingga awal triwulan III 2015, IKK di hampir seluruh kota di KTI cenderung melemah seiring persepsi
terhadap kondisi perekonomian di masa depan yang menurun. Selain itu, indikator kredit yang disalurkan
untuk keperluan konsumsi juga masih berada dalam tren yang menurun. Namun, datangnya musim peak
season (liburan sekolah, Idul Fitri, Idul Adha, dsb) dinilai akan menjadi penopang konsumsi rumah tangga baik
dari sisi perdagangan maupun pariwisata. Hal tersebut tercermin pada omset penjualan eceran yang masih
bertumbuh positif dan terus meningkat hingga pertengahan triwulan III 2015 (Grafik V.3).
Grafik V.1. Indeks Keyakinan Konsumen, Survei Konsumen
Bank Indonesia
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik V.2. Jumlah Wisatawan Mancanegara
Konsumsi Pemerintah
Pada triwulan II 2015, penyerapan anggaran KTI meningkat sesuai pola siklikalnya, namun laju
pertumbuhannya tidak terakselerasi karena adanya beberapa kendala realisasi anggaran. Pertumbuhan
konsumsi pemerintah pada triwulan II 2015 mengalami perlambatan dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya dari 6,42% (yoy) menjadi 4,93% (yoy). Salah satu permasalahan terkendalanya realisasi anggaran
dimaksud yaitu terkait lambatnya proses pengesahan APBD dan administrasi dokumen pendukung APBD di
beberapa daerah seperti di Maluku Utara, Papua Barat, dan Bali. Di samping itu, penyaluran dana desa di
beberapa daerah juga masih terbatas. Pelaksanaan lelang proyek APBD juga dinilai tidak berjalan sesuai
harapan dan lebih lama dari yang diharapkan. Perubahan nomenklatur dan mutasi kepegawaian dalam
struktur kuasa anggaran di beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) juga menjadi kendala realisasi
anggaran. Hal tersebut tertangkap pada pergerakan rekening giro Pemerintah Daerah di perbankan yang
tercatat meningkat pada triwulan II 2015 (Grafik V.4).
Grafik V.3. Omset Penjualan Eceran, Survei Penjualan Eceran
Bank Indonesia
Grafik V.4. Simpanan Giro Pemerintah Daerah
L a p o r a n N u s a n t a r a | 60
Pada triwulan III 2015, pertumbuhan konsumsi pemerintah diperkirakan relatif lebih tinggi dari triwulan
sebelumnya. Realisasi anggaran yang masih cukup rendah hingga paruh pertama tahun 2015 karena berbagai
kendala, diprediksi akan teratasi dan akan mendorong intensitas penyerapan anggaran belanja di daerah pada
triwulan berjalan. Selain itu, faktor pendorong realisasi juga datang baik dari komponen belanja operasional
rutin maupun belanja operasional lainnya. Untuk komponen belanja operasional yang bersifat rutin, adanya
pembayaran gaji ke-13, pelaksanaan kegiatan festival kedaerahan, serta kegiatan halal bihalal pasca Idul Fitri
akan meningkatkan realisasi anggaran Pemerintah Daerah. Untuk belanja operasional lainnya, peningkatan
realisasi diperkirakan akan didorong oleh pengadaan untuk kebutuhan operasional kantor sebagai persiapan
Pilkada.
Investasi
Pada triwulan II 2015, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) mencatat pertumbuhan yang meningkat dari
triwulan sebelumnya. Penguatan kinerja investasi yang tumbuh sebesar 10,46% (yoy), lebih tinggi dari
pertumbuhan sebelumnya yang tercatat 9,72% (yoy), didukung baik oleh investasi yang bersifat non-bangunan
maupun bangunan. Dari komponen investasi non-bangunan, percepatan pertumbuhan PMTB terutama
didorong oleh aktivitas ekspansi sektor riil, khususnya dari sektor pertambangan dan industri pengolahan, di
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, NTB, dan Papua Barat. Sementara itu, dari sisi investasi bangunan,
proyek pembangunan yang bersifat multiyears masih terus berlanjut antara lain pembangunan pusat
perbelanjaan, hotel, kompleks perumahan, pabrik, serta infrastruktur transportasi (pelabuhan laut, bandar
25
udara, jalan). Indikator penanaman modal, baik asing (PMA) maupun dalam negeri (PMDN), mengkonfirmasi
akselerasi pertumbuhan yang terjadi (Grafik V.5). Selain itu, dukungan dari sisi perbankan untuk investasi juga
tercatat mengalami peningkatan pada triwulan II 2015 (Grafik V.6).
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal, diolah
Grafik V.5. Realisasi Penanaman Modal
Grafik V.6. Penyaluran Kredit Investasi
Pada triwulan III 2015, komponen PMTB diperkirakan tumbuh melambat terutama karena perlambatan
investasi dari pihak swasta. Selesainya proyek pembangunan smelter nikel dan pabrik LNG di Sulawesi Tengah
dan Sulawesi Tenggara diperkirakan memberi dampak penurunan pada investasi swasta. Meski ekspansi
kapasitas produksi masih terus akan dilakukan oleh pemilik pabrik dan belanja modal pemerintah diperkirakan
membaik pada triwulan berjalan, hal tersebut dinilai tidak dapat mendorong pertumbuhan investasi menjadi
lebih tinggi dari capaian triwulan sebelumnya. Berdasarkan hasil SKDU, indikator realisasi investasi pada sektor
industri pengolahan juga diperkirakan mengalami penurunan sehingga memperkuat dugaan pelemahan
investasi.
25
Beberapa contoh proyek infrastruktur antara lain adalah proyek di Pelabuhan Gili Mas (NTB), Pelabuhan Perikanan Nusantara Teluk
Awang (NTB), Gorontalo Outer Ring Road (Gorontalo), Jalan Nasional Wilayah I Provinsi Papua (Papua), pengembangan Bandara
Internasional Sultan Hasanuddin (Sulawesi Selatan), dan proyek pembangunan Bandara Buntu Kunik Tana Toraja (Sulawesi Selatan).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 61
Perdagangan Luar Negeri
Ekspor
Pada triwulan II 2015, kinerja ekspor luar negeri tercatat tumbuh meningkat dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya yang bersumber dari ekspor pertambangan dan hasil industri. Tingginya pertumbuhan ekspor
pertambangan (Grafik V.7) didorong oleh perbaikan kinerja ekspor konsentrat tembaga. Kenaikan
pertumbuhan tersebut pada dasarnya lebih dipengaruhi oleh faktor base effect. Setelah adanya larangan
ekspor mineral mentah yang membuat ekspor tembaga tercatat nihil selama triwulan II 2014, izin ekspor telah
diberikan kembali kepada produsen di Papua dan NTB sehingga ekspor tembaga ke luar negeri dapat dilakukan
sejak akhir triwulan III 2014. Akselerasi pertumbuhan untuk produk industri didorong oleh ekspor olahan nikel
dan gas alam. Hal ini didukung oleh aktivitas smelter dan pabrik LNG baru di Sulawesi. Di samping itu,
permintaan negara mitra dagang masih meningkat untuk beberapa komoditas lain seperti kakao olahan dan
kayu olahan. Perkembangan tersebut mendorong pertumbuhan ekspor luar negeri dari 29,09% (yoy) pada
triwulan sebelumnya menjadi 56,32% (yoy).
Memasuki triwulan III 2015, ekspor luar negeri diperkirakan tumbuh melambat sebagai akibat terjadinya
perlambatan kinerja ekspor pertambangan. Faktor base effect masih memberikan pengaruh yang kuat pada
perlambatan ekspor mineral jenis tembaga selama triwulan berjalan. Pada triwulan III tahun 2014, produsen
tembaga utama di KTI telah memperoleh izin untuk kembali menjual konsentrat tembaganya ke negara
importir. Oleh karena itu, pertumbuhan ekspor pertambangan pada triwulan III 2015 relatif akan lebih kecil
dari triwulan sebelumnya. Selain itu, dukungan dari ekspor pertanian juga diperkirakan masih terbatas seiring
dengan berakhirnya puncak panen komoditas tabama dan kakao. Meski demikian, ekspor hasil industri
pengolahan diperkirakan masih akan menopang kinerja ekspor luar negeri yang didukung oleh perbaikan
ekspor nikel olahan (faktor permintaan) dan LNG (insentif harga). Perkembangan ekspor luar negeri yang
fluktuatif menggambarkan pertumbuhan ekonomi KTI yang tidak sustainable karena masih bergantung pada
sektor tertentu, khususnya pertambangan dan industri pengolahan hasil tambang. Oleh karena itu, upaya
26
untuk mendorong sumber pertumbuhan yang baru perlu disegerakan, khususnya melalui hilirisasi SDA.
Impor
Pada triwulan II 2015, impor luar negeri KTI tercatat tumbuh positif setelah terkontraksi pada triwulan I 2015.
Pertumbuhan komponen impor luar negeri terutama didorong oleh perbaikan pada kontraksi impor sektor
barang modal dan bahan baku (Grafik V.8). Kebutuhan produksi dari industri existing dan industri baru menjadi
sumber utama perbaikan impor barang modal selama triwulan II 2015. Selain itu, pelaku usaha juga
meningkatkan persediaan bahan bakunya sebagai persiapan dalam menghadapi periode peak season. Dengan
perkembangan tersebut, impor luar negeri mampu tumbuh sebesar 0,10% (yoy) setelah sebelumnya
terkontraksi sebesar -12,89% (yoy).
Sumber: Bea Cukai, diolah
Grafik V.7. Ekspor Luar Negeri Menurut Komoditas
26
Sumber: Bea Cukai, diolah
Grafik V.8. Impor Luar Negeri Menurut Sektor Barang
Isu terkait hilirisasi diperdalam pada Boks.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 62
Pada triwulan III 2015, komponen impor luar negeri diproyeksikan tumbuh meningkat. Pergerakan impor yang
meningkat tersebut diperkirakan sebagai dampak dari masih cukup stabilnya kinerja konsumsi rumah tangga
dan meningkatnya konsumsi pemerintah. Hal ini akan berdampak pada menguatnya permintaan untuk barang
sektor konsumsi. Sementara itu, kinerja investasi yang masih bertumbuh di level yang tinggi juga menopang
kebutuhan impor barang modal sehingga tidak mengalami kontraksi. Adapun kinerja impor bahan baku dinilai
masih bertumbuh positif karena adanya kebutuhan dari sektor industri pengolahan yang diproyeksikan masih
meningkat pada triwulan III 2015.
Kinerja Sektor Utama Daerah
Sektor Pertambangan dan Penggalian
Sektor pertambangan dan penggalian KTI kembali mengalami akselerasi pada triwulan II 2015 yang didukung
oleh peningkatan pertumbuhan dari provinsi berbasis mineral nikel dan tembaga. Permintaan bijih nikel untuk
industri olahan nikel masih cukup kuat seiring dengan kebutuhan produksi dari smelter baru di Sulawesi
Tengah dan Sulawesi Tenggara. Di Sulawesi Selatan, produsen nikel matte mampu mencatat akselerasi
pertumbuhan karena adanya efisiensi dari sisi biaya dan proses produksi (Grafik V.9). Kemudian, setelah
mencatat tingkat produksi yang terbatas pada triwulan II 2014, produsen tembaga di NTB mendorong produksi
untuk mencapai kuota yang diperoleh untuk tahun 2015. Hal yang sama juga dilakukan oleh produsen
tembaga dan emas di Papua (Grafik V.10). Dengan perkembangan tersebut, sektor ini tercatat tumbuh dari
10,52% (yoy) menjadi 21,81% (yoy) pada triwulan II 2015.
Memasuki triwulan III 2015, pertumbuhan sektor tambang diperkirakan mengalami perlambatan, terutama
disebabkan oleh pengaruh base effect produksi tembaga. Pada triwulan III 2014, produsen tembaga terbesar di
KTI kembali memperoleh izin ekspor setelah sebelumnya dilarang untuk mengirimkan produknya pasca
implementasi UU Minerba di awal 2014. Oleh karena itu, meski perpanjangan izin ekspor untuk triwulan III
2015 telah diperoleh, pertumbuhan sektor tambang dinilai tidak akan sebaik capaian triwulan sebelumnya. Di
sisi lain, produsen tembaga dari NTB akan mengoptimalkan kapasitas produksinya dan menghabiskan kuota
produksi pada triwulan III 2015 sehubungan dengan izin ekspornya yang akan berakhir pada September 2015.
Hal ini dinilai dapat menopang kinerja sektor pertambangan KTI sehingga masih dapat bertumbuh di level yang
tinggi meski mengalami perlambatan.
Sumber: Produsen, diolah
Grafik V.9. Produksi Nikel Matte
Sumber: Produsen, diolah
Grafik V.10. Produksi Tembaga dan Emas
Sektor Industri Pengolahan
Pada triwulan II 2015, sektor industri pengolahan KTI tumbuh meningkat dan mendukung penguatan ekonomi
secara keseluruhan. Pertumbuhan sektor industri meningkat cukup tinggi hingga mencapai 9,98% (yoy),
setelah sebelumnya tercatat tumbuh 4,78% (yoy). Sumber utama penguatan pertumbuhan tersebut berasal
dari hasil produksi smelter nikel yang belum lama beroperasi di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, serta
pabrik LNG yang juga belum lama berproduksi di Sulawesi Tengah. Berjalannya hilirisasi tersebut meningkatkan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 63
nilai tambah industri pengolahan KTI sejak triwulan sebelumnya. Di samping itu, beberapa industri juga
menunjukkan perkembangan yang positif, salah satunya adalah produksi LNG di Papua Barat yang mengalami
percepatan seiring insentif dari sisi harga jual di pasar global. Kemudian, produksi industri kakao olahan, kayu
olahan, serta semen mencatat kenaikan pertumbuhan akibat dorongan dari sisi permintaan. Adapun kinerja
industri mikro dan kecil juga masih menunjukkan perbaikan (Grafik V.11).
Pada triwulan III 2015, kinerja sektor industri pengolahan diperkirakan kembali meningkat seiring dengan
permintaan importir yang masih cukup kuat dan pasokan bahan baku yang terjaga. Perbaikan permintaan
ekspor diperkirakan berasal dari beberapa negara mitra dagang KTI seperti Jepang, Amerika Serikat, dan
beberapa negara Eropa, serta Tiongkok. Hal tersebut diperkirakan dapat mendorong produksi beberapa
komoditas ekspor dari KTI seperti feronikel dan makanan olahan. Di samping itu, ketersediaan bahan baku
industri perikanan dan CPO diperkirakan akan berada dalam kondisi yang lebih baik pada triwulan III 2015
sehingga dapat mendukung akselerasi produksi di industri tersebut. Adapun produksi smelter nikel dan pabrik
LNG baru di KTI masih akan terus meningkat seiring adanya optimisme dari sisi produsen. Hal tersebut sejalan
dengan hasil SKDU yang memperkirakan terjadinya peningkatan kegiatan usaha dan harga jual sektor industri
pengolahan pada triwulan III 2015 (Grafik V.12).
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik V.11. Pertumbuhan Indeks Produksi Industri Mikro dan
Kecil
Grafik V.12. Saldo Bersih Tertimbang Sektor Industri
Pengolahan, Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia
Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
Laju pertumbuhan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan pada triwulan II 2015 mengalami percepatan
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya seiring produksi tabama yang mengalami akselerasi. Periode
triwulan II 2015 merupakan periode terjadinya puncak panen tabama di beberapa daerah sentra produksi KTI,
khususnya untuk komoditas padi. Hal ini kemudian diperkuat dengan adanya pergeseran musim panen dari
triwulan I 2015 ke triwulan II 2015 yang terjadi secara menyeluruh di tingkat nasional. Meningkatnya produksi
padi tersebut membuat pertumbuhan sektor pertanian tercatat meningkat dari sebelumnya sebesar 4,16%
(yoy) menjadi 6,46% (yoy). Perkembangan kinerja tabama yang positif tercermin pada indikator Nilai Tukar
Petani (NTP) di beberapa daerah yang menunjukkan tren peningkatan selama periode triwulan II 2015 (Grafik
V.13).
Pada triwulan III 2015, sektor pertanian diperkirakan tumbuh melambat terutama karena berakhirnya puncak
panen tabama dan kakao serta masih terkontraksinya produksi ikan tangkap. Secara historis, meski masih
berada dalam periode panen, nilai tambah produksi pertanian yang dihasilkan tidak akan setinggi triwulan
sebelumnya. Harga internasional kakao yang sedikit meningkat juga tidak akan memberikan insentif yang
besar karena panen kakao terjadi di akhir triwulan II 2015 dan di awal triwulan berjalan saja. Subsektor
perikanan juga diperkirakan belum akan mengalami perbaikan. Meski hasil tangkapan nelayan di daerah sentra
meningkat karena dukungan cuaca yang cukup kondusif, tingkat produksinya diperkirakan masih berada jauh
di bawah kinerja historisnya sebagaimana tercermin pada indikator produksi ikan tangkap yang menunjukan
tren penurunan (Grafik V.14).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 64
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Grafik V.13. Nilai Tukar Petani
Sumber: Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan, diolah
Grafik V.14. Produksi Ikan Tangkap
Sektor Konstruksi
Pada triwulan II 2015, pertumbuhan sektor konstruksi tercatat mengalami sedikit peningkatan. Sektor ini
tumbuh sebesar 9,22% (yoy) pada triwulan I 2015 menjadi 9,25% (yoy) pada triwulan II 2015 seiring dukungan
dari proyek-proyek pembangunan pihak swasta. Berbagai proyek multiyears di sektor industri pengolahan,
pengadaan listrik dan gas, perdagangan, transportasi dan pergudangan, penyediaan akomodasi, serta jasa
kesehatan terus berlangsung selama triwulan II 2015. Hal tersebut sejalan dengan pergerakan indikator
pengadaan semen yang tumbuh meningkat di KTI karena kebutuhan dari proyek pembangunan tersebut
(Grafik V.15). Di samping itu, proyek baru yang bernilai besar (lebih dari US$200 juta) dengan tahap konstruksi
yang dimulai pada triwulan II 2015 juga tercatat meningkat hingga mencapai 169 proyek, lebih tinggi dari
periode triwulan sebelumnya yang tercatat sebanyak 99 proyek (Grafik V.16).
Sumber: Asosiasi Semen Indonesia, diolah
Grafik V.15. Pengadaan Semen
Sumber: BCI Asia, diolah
Grafik V.16. Jumlah Proyek Baru Dalam Tahap Konstruksi
Pada triwulan III 2015, pertumbuhan sektor konstruksi diperkirakan melambat sehubungan dengan selesainya
pembangunan tahap pertama beberapa proyek hilirisasi di KTI oleh pihak swasta. Kegiatan ekspansi kapasitas
dari fasilitas hilirisasi yang baru memang masih akan dilakukan oleh investor namun diperkirakan tidak sebesar
investasi pada periode sebelumnya. Di samping itu, aktivitas konstruksi diperkirakan tertahan oleh sikap
pelaku usaha yang cenderung pesimis dan belum berencana untuk menambah investasi bangunan hingga akhir
tahun terkait dengan ekspektasi terhadap belum kondusifnya perkembangan kondisi global seperti harga
komoditas dan perkembangan ekonomi dunia yang moderat.
PERKEMBANGAN INFLASI
Laju inflasi KTI pada triwulan II 2015 masih cukup terkendali, meski secara tahunan berada dalam level yang
lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya. Apabila dilihat laju inflasi kumulatif (year-to-date) KTI pada
dasarnya relatif terkendali karena bergerak di bawah angka inflasi kumulatif selama empat tahun terakhir. Hal
tersebut terutama terjadi di Provinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Maluku Utara, Bali, NTB,
dan NTT. Tekanan inflasi yang masih terjaga didukung oleh pasokan pangan yang memadai sehingga dapat
L a p o r a n N u s a n t a r a | 65
memenuhi kebutuhan masyarakat serta relatif lancarnya arus distribusi barang selama periode triwulan II
2015. Namun secara tahunan, laju iInflasi pada periode laporan tercatat meningkat dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya yaitu dari 6,83% (yoy) menjadi 7,43% (yoy). Peningkatan inflasi terutama lebih
disebabkan oleh adanya penyesuaian harga BBM dan TDL serta faktor permintaan yang cenderung meningkat
menjelang perayaan Idul Fitri. Hal ini tercermin pada indikator ekspektasi konsumen terhadap harga barang
yang secara historis mengalami peningkatan menjelang hari besar keagamaan (Grafik V.17).
Mengawali triwulan III 2015, inflasi pada Juli 2015 tercatat sebesar 0,99% (mtm) atau berada di bawah ratarata inflasi bulan Lebaran selama empat tahun terakhir (1,19%, mtm). Inflasi yang lebih rendah dari rata-rata
historisnya dipengaruhi oleh ekspektasi masyarakat yang relatif terkendali sehingga kenaikan harga komoditas
pangan tercatat lebih rendah dari kenaikan yang terjadi di masa lalu. Seluruh komponen disagregasi
(administered prices, core inflation, dan volatile food) mengalami inflasi pada Juli 2015. Peningkatan harga
secara umum disebabkan oleh naiknya permintaan untuk komoditas terkait transportasi dan pangan, antara
lain angkutan udara, beberapa jenis ikan tangkap, daging ayam ras, beras, serta angkutan antarkota. Meski
demikian, inflasi tertahan oleh penurunan harga komoditas aneka bumbu. Hal ini didukung oleh panen
komoditas bawang di daerah sentra, yaitu Brebes (Jawa Tengah) dan Bima (NTB).
Dengan perkembangan inflasi di bulan Juli 2015 tersebut, laju inflasi tahunan KTI pada triwulan III 2015
diperkirakan hanya akan mengalami sedikit peningkatan. Faktor pendorong inflasi pada periode tersebut
terutama tekanan permintaan yang masih cukup kuat sehubungan dengan datangnya peak season (liburan dan
hari besar keagamaan). Namun demikian, tekanan harga pada komoditas transportasi diperkirakan akan
menurun sebagai koreksi pasca arus balik Idul Fitri. Hasil Survei Pemantauan Harga (SPH) di KTI hingga minggu
ke-II Agustus 2015 menunjukkan terjadinya penurunan harga beberapa komoditas berbobot tinggi seperti
bawang merah, emas perhiasan, dan aneka ikan tangkap. Adapun harga beras tercatat sedikit meningkat
sehubungan dengan berakhirnya puncak musim panen padi (Grafik V.18). Peningkatan harga beras tersebut
perlu mendapat perhatian karena adanya risiko kekeringan yang meluas akibat fenomena El Nino yang terjadi
lebih awal dari yang diperkirakan sebelumnya.
Grafik V.17. Ekspektasi Harga Konsumen Jangka Pendek,
Survei Konsumen Bank Indonesia
Grafik V.18. Perkembangan Harga Komoditas, Survei
Pemantauan Harga Bank Indonesia
Koordinasi Pengendalian Inflasi
Periode triwulan II 2015 yang bertepatan dengan dimulainya pola musiman perayaan hari besar keagamaan
merupakan tantangan pengendalian inflasi yang tidak mudah. Akumulasi dampak dari kenaikan permintaan di
tengah gejolak harga administered prices mendorong perlunya langkah affirmative untuk mengantisipasi dan
mengendalikan ekspektasi masyarakat. Oleh karena itu, Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di KTI, baik
TPID di tingkat provinsi maupun kabupaten atau kota, telah menyusun roadmap pengendalian inflasi untuk
beberapa komoditas strategis penggerak inflasi di daerah masing-masing. Tindak lanjut terhadap roadmap
tersebut telah dilakukan antara lain dengan melakukan komunikasi dengan Pemerintah Daerah serta dengan
pemangku kepentingan lain seperti perusahaan distribusi barang, asosiasi pedagang, maskapai penerbangan,
serta otoritas data terkait harga.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 66
Dalam menjawab tantangan pengendalian inflasi terkait tekanan dari sisi permintaan, TPID di masing-masing
provinsi telah berupaya untuk menstabilkan harga yang disesuaikan dengan karakteristik inflasi musimannya.
Evaluasi kondisi stok pangan melalui inspeksi langsung ke pasar menjelang bulan puasa dan Idul Fitri menjadi
salah satu langkah strategis yang dilaksanakan di seluruh provinsi. Langkah ini diharapkan dapat mencegah
penimbunan bahan makanan sebagai aksi spekulasi untuk menaikkan harga lebih tinggi. Pelaksanaan operasi
pasar murah serta pasar penyeimbang juga turut dilakukan di hampir seluruh provinsi untuk mengurangi risiko
kenaikan harga. Selain langkah-langkah tersebut, beberapa provinsi juga telah melakukan kegiatan talk show
dan sosialisasi untuk menghimbau pengendalian ekspektasi dan perilaku konsumtif menjelang hari besar
keagamaan. Langkah ini diambil untuk membangun awareness masyarakat akan besarnya peran pola
konsumtif masyarakat dalam pengendalian inflasi pada periode musiman.
Ke depan, karena kerentanan dari sisi supply di KTI, upaya koordinasi yang terintegrasi dari semua lini yang
berperan dalam pembentukan harga menjadi hal yang krusial untuk ditempuh secara berkesinambungan.
Koordinasi dimaksud akan diperkuat untuk mengurangi ketergantungan pangan dari daerah lain terutama
melalui penyediaan stok pangan hingga akhir tahun. Penyediaan stok pangan yang lebih memadai ditempuh
oleh TPID di berbagai daerah melalui beberapa langkah, antara lain: (1) memantau stok beras Bulog dan
melakukan koordinasi dengan SKPD terkait target produksi pangan dalam upaya melihat ancaman kurangnya
stok pangan; (2) mendukung program peningkatan produksi pangan lokal seperti urban farming (Bali) serta
memperkuat kerjasama antardaerah (Gorontalo); (3) membentuk pasar penyeimbang untuk komoditas
pangan strategis (Maluku); (4) melakukan roadshow untuk mempertemukan produsen dengan pedagang
(Maluku Utara); serta (5) memastikan kelancaran distribusi, memperbaiki infrastruktur distribusi, dan
berkoordinasi dengan Satuan Kerja Perangkat Desa (SKPD) setempat, khususnya bidang transportasi.
Terkait dengan gejolak harga administered prices, TPID juga telah melakukan berbagai upaya untuk
meminimalkan dampak penyesuaian yang dilakukan Pemerintah Pusat. Upaya dimaksud menjadi sangat
penting karena penyesuaian harga administered prices memberikan dampak lanjutan atau second round effect
pada komoditas lain. Upaya-upaya yang telah dilakukan, antara lain: (1) melakukan koordinasi dengan
produsen serta pihak berwenang untuk memastikan kelancaran distribusi komoditas energi dan memastikan
tidak adanya penimbunan yang dilakukan oleh pihak tertentu demi keuntungan sendiri; (2) membangun
awareness Pemerintah Daerah terkait dampak langsung dan tidak langsung dari penyesuaian harga
administered prices terhadap inflasi; (3) melakukan pemantauan harga BBM dan LPG di lapangan secara rutin
untuk memastikan tidak adanya penyimpangan harga; serta (4) membentuk posko pengaduan adanya
kelangkaan dan ketidakstabilan harga komoditas administered prices strategis (Sulawesi Utara).
STABILITAS SISTEM KEUANGAN, PENGELOLAAN
PENGELOLAAN UANG TUNAI RUPIAH
SISTEM
PEMBAYARAN,
DAN
Ketahanan Sektor Korporasi
Meski pertumbuhan kredit korporasi di KTI relatif meningkat, kualitas kredit mengalami penurunan
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Penyaluran kredit korporasi pada periode laporan tercatat
meningkat dengan pertumbuhan sebesar 20,59% (yoy) atau cenderung mengalami peningkatan dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh 19,44% (yoy) (Grafik V.19). Faktor yang mendorong penguatan
pada kredit korporasi adalah perkembangan pada sektor pertanian dan sektor industri. Pada sektor pertanian,
kegiatan prapanen dan kebutuhan bibit pasca panen mendorong peningkatan kebutuhan pembiayaan di
sektor pertanian. Sementara itu, ekspansi investasi subsektor industri semen, pengilangan migas, mesin
pertambangan, dan minuman menjadi faktor pendorong kredit untuk sektor industri.
Meski demikian, akselerasi pertumbuhan kredit korporasi disertai meningkatnya rasio non performing loans
(NPL). Rasio NPL pada akhir triwulan I 2015 tercatat 4,08% dan sedikit meningkat menjadi 4,56% pada triwulan
lI 2015 (Grafik V.20). Peningkatan NPL kredit korporasi secara keseluruhan, terutama dipengaruhi oleh kualitas
kredit pada sektor konstruksi dan industri yang sedikit mengalami penurunan. Lebih lanjut, peningkatan NPL
L a p o r a n N u s a n t a r a | 67
pada sektor konstruksi dipicu oleh munculnya kenaikan risiko kredit bermasalah di Papua dan Bali, Sulawesi
Selatan, dan Maluku Utara, serta Sulawesi Selatan.
Grafik V.19. Pertumbuhan Kredit Korporasi
Grafik V.20. NPL Kredit Korporasi
Ketahanan Sektor Rumah Tangga
Penyaluran kredit ke sektor rumah tangga tercatat juga mengalami perlambatan. Kredit ke sektor rumah
tangga tercatat mengalami perlambatan pertumbuhan dari 13,08% (yoy) pada triwulan I 2015 menjadi 11,91%
(yoy) pada triwulan II 2015 (Grafik V.21). Perlambatan pada kredit rumah tangga terutama dipengaruhi oleh
melambatnya kredit rumah tangga yang digunakan untuk pembelian tempat tinggal dan bangunan toko (KPR),
pembelian kendaraan bermotor (KKB), serta pembelian perlengkapan rumah tangga. Kondisi ini relatif sejalan
dengan kondisi perekonomian nasional yang belum pulih secara merata sehingga memberikan pengaruh pada
kegiatan konsumsi.
Sementara itu, rasio NPL ke sektor rumah tangga menunjukkan kenaikan meskipun masih berada dalam batas
aman. NPL sektor rumah tangga tercatat mengalami peningkatan dari 1,45% pada triwulan l 2015 menjadi
1,56% pada triwulan laporan (Grafik V.22). Peningkatan rasio NPL tersebut dipengaruhi oleh peningkatan NPL
pada jenis kredit KPR (terutama apartemen atau KPA) dan jenis kredit KKB (terutama roda dua).
Perkembangan pertumbuhan kredit rumah tangga yang melambat serta NPL yang meningkat sangat terkait
dengan kondisi suku bunga kredit rumah tangga yang cenderung naik. Peningkatan suku bunga kredit,
berdasarkan hasil pengumpulan informasi dari perbankan di KTI, dipengaruhi oleh kondisi persaingan suku
bunga antara bank penyalur serta adanya tren peningkatan cost of fund yang harus ditanggung perbankan.
Grafik V.21. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga
Grafik V.22. NPL Kredit Rumah Tangga
Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di KTI masih terus menunjukan
kecenderungan melambat. Perlambatan tersebut telah terjadi sejak akhir tahun 2013 (Grafik V.23). Pada
triwulan II 2015, pertumbuhan kredit UMKM tercatat sebesar 10,04% (yoy), atau lebih rendah dibandingkan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 68
dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya (12,62%, yoy). Perlambatan dinilai disebabkan oleh pergerakan
NPL kredit UMKM yang terus berada dalam tren meningkat sejak triwulan IV 2013 sehingga perbankan
cenderung membatasi ekspansi kredit UMKM. Bank di KTI dinilai cenderung melakukan pemilihan debitur
secara lebih selektif. Di sisi lain, suku bunga kredit UMKM tercatat relatif stabil di kisaran yang cukup tinggi,
yakni sekitar 14,00% sejak dua tahun terakhir. Suku bunga yang cukup tinggi tersebut juga memengaruhi NPL
kredit UMKM yang tercatat meningkat dari 4,47% menjadi 4,56%. Jika diamati secara spasial, pertumbuhan
kredit UMKM tertinggi terjadi di Provinsi NTT dengan pertumbuhan tahunan mencapai 18,00% (yoy) pada
triwulan II 2015. Pertumbuhan tertinggi berikutnya terjadi di Provinsi Bali (15,89%, yoy) dan Maluku (15,10%,
yoy). Di sisi lain, NPL tertinggi terjadi di Provinsi Gorontalo (10,00%), Provinsi Papua Barat (8,90%), dan Provinsi
Papua (7,93%).
Upaya pengembangan UMKM terus ditempuh Bank Indonesia di KTI selama triwulan II 2015 untuk mendukung
program pemberdayaan ekonomi daerah. Hal ini dilakukan melalui penguatan kapasitas UMKM serta
peningkatan kinerja klaster komoditas unggulan di daerah. Di Sulawesi Utara, berbagai kegiatan dalam
pengembangan klaster, terutama untuk replikasi klaster komoditas pemicu inflasi yakni cabai terus
digencarkan. Selama triwulan II 2015, replikasi klaster cabai telah diimplementasikan di dua kabupaten
perbatasan yaitu Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Sitaro yang disertai dengan
penguatan kapasitas bagi para petani terkait teknologi budidaya. Hal serupa juga dilaksanakan di NTT melalui
pelaksanaan pelatihan dan praktek pengelolaan pakan limbah pertanian sebagai langkah antisipasi musim
kemarau untuk pengembangan klaster sapi. Peningkatan kapasitas dan kinerja klaster pada akhirnya
diharapkan dapat meningkatkan kelayakan UMKM yang belum memperoleh akses pembiayaan maupun
memperbesar repayment capacity bagi UMKM yang sudah menerima layanan perbankan.
Grafik V.23. Pertumbuhan Kredit UMKM
Grafik V.24. NPL Kredit UMKM
Pengelolaan Sistem Pembayaran
Kegiatan sistem pembayaran nontunai di KTI dilihat dari indikator transaksi kliring dan transaksi real time gross
settlement (RTGS) tercatat mengalami peningkatan yang terbatas. Transaksi dengan RTGS tercatat tumbuh
sebesar 8,13% (yoy) pada triwulan II 2015 setelah tumbuh sebesar 5,31% (yoy) pada triwulan I 2015 (Grafik
V.25). Sementara itu, transaksi dengan kliring, hingga pertengahan triwulan II 2015, tercatat tumbuh sebesar
3,30% (yoy) setelah membukukan pertumbuhan sebesar 2,92% (yoy) pada triwulan sebelumnya (Grafik V.26).
Secara historis, peningkatan transaksi keuangan memang terjadi pada triwulan II 2015 dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya seiring dengan selesainya konsolidasi keuangan pelaku usaha di awal tahun. Dari sisi
masyarakat, faktor pendorong transaksi keuangan lebih dipengaruhi oleh kebutuhan transaksi menjelang hari
raya besar keagamaan dan peak season liburan.
Peningkatan intensitas penggunaan instrumen sistem pembayaran nontunai terus dilakukan oleh Bank
Indonesia di KTI. Bank Indonesia senantiasa meningkatkan layanan sistem pembayaran yang prima dengan
tentunya mengedepankan perlindungan konsumen. Salah satu program yang terus didorong oleh Bank
Indonesia adalah Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang telah dicanangkan dan telah mulai
dimplementasikan di berbagai daerah di KTI. Pada triwulan II 2015, salah satu bukti komitmen tersebut
L a p o r a n N u s a n t a r a | 69
diwujudkan dengan adanya penandatanganan MoU antara Bank Indonesia dengan Pemerintah Provinsi
Sulawesi Utara, Pemerintah Kota Manado, serta DPRD Sulawesi Utara dalam hal penggunaan instrumen
nontunai untuk pembayaran gaji pegawai.
Grafik V.25. Perkembangan Total Transaksi RTGS
Grafik V.26. Perkembangan Total Transaksi Kliring
Pengelolaan Uang Tunai Rupiah
Pengedaran uang kartal (pengelolaan uang tunai) di KTI mencatat peningkatan pada sisi outflow selama
triwulan II 2015. Hal tersebut sesuai dengan pola historisnya yaitu terjadinya peningkatan kebutuhan uang
yang beredar menjelang periode liburan di tengah tahun yang pada tahun 2015 juga bertepatan dengan bulan
Ramadhan (Grafik V.28). Hal ini mendorong masyarakat untuk melakukan penarikan dananya dari perbankan
dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan. Sementara itu, temuan uang palsu mengalami pertumbuhan
yang cukup tinggi pada awal triwulan II 2015 namun kembali menurun mendekati akhir triwulan II 2015 (Grafik
V.28). Upaya untuk meningkatkan kehati-hatian masyarakat terhadap penipuan dengan uang palsu terus
digiatkan oleh Bank Indonesia di daerah. Ke depan, kegiatan komunikasi dan sosialiasi tersebut akan
ditingkatkan intensitas maupun luas cakupan materi dan pesertanya.
Grafik V.27. Perkembangan Pengedaran Uang
Grafik V.28. Perkembangan Temuan Uang Palsu
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Berdasarkan perkembangan terkini, untuk keseluruhan tahun 2015, perekonomian KTI diperkirakan akan
tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2014. Angka pertumbuhan ekonomi KTI untuk tahun 2015
diprakirakan berada pada kisaran 7,70%-8,10% (yoy) atau lebih tinggi dari tahun sebelumnya (6,0%, yoy).
Secara spasial, penyumbang akselerasi di KTI adalah Provinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Utara, Maluku Utara, Papua, NTB, serta NTT. Sektor pertambangan dan industri pengolahan menjadi motor
utama pertumbuhan di tahun 2015. Pada sektor pertambangan, percepatan pertumbuhan disumbangkan oleh
kinerja produsen tembaga (Papua, NTB) yang meningkat karena diperpanjangnya izin ekspor mineral meski
L a p o r a n N u s a n t a r a | 70
dengan kuota yang dibatasi. Di samping itu, kinerja nikel juga diperkirakan meningkat seiring dengan adanya
peningkatan demand bijih nikel terkait dengan telah beroperasinya pabrik pengolahan baru yang ada di
Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Kehadiran fasilitas hilirisasi yang baru tersebut sekaligus menjadi
faktor pendorong penguatan pertumbuhan sektor industri pengolahan. Hal ini masih ditambah dengan adanya
pabrik baru lainnya untuk pengolahan gas alam menjadi LNG yang beroperasi di Sulawesi Tengah. Tren
perbaikan kondisi ekonomi KTI secara keseluruhan tercermin dari indikator ekspektasi penghasilan dan kondisi
ekonomi yang akan meningkat menuju penghujung tahun 2015 (Grafik V.29). Hasil liaison juga mengkonfirmasi
optimisme pelaku usaha yang menilai masih adanya perbaikan pada sisi penjualan, tingkat upah, harga jual,
dan investasi di KTI pada tahun 2015.
Faktor risiko yang dapat memengaruhi dinamika pertumbuhan ekonomi KTI selama 2015 berasal baik dari sisi
eksternal maupun internal. Pada sisi eksternal, harga komoditas global yang diekspor oleh KTI cenderung
masih dalam tren yang menurun. Hal ini berpotensi menjadi faktor penghambat akselerasi untuk sektor
tradable, khususnya komoditas non-pertambangan seperti minyak kelapa, minyak kelapa sawit, kakao, ikan
segar maupun olahan, serta kayu lapis. Selain itu, ekonomi Tiongkok yang menjadi salah satu importir utama
KTI masih diwarnai perlambatan yang dapat menekan pertumbuhan dari sisi demand. Terkait aspek internal,
terdapat tiga risiko utama yang perlu diperhatikan. Pertama, adanya tendensi konsumsi yang melambat secara
nasional yang dapat melemahkan ekspektasi di tingkat regional. Kedua, risiko dari sisi kebijakan pemerintah
terkait hilirisasi mineral dan morotarium perikanan yang harus dipantau secara berkesinambungan agar
komitmen dari para pelaku usaha dapat dijaga. Terakhir, risiko ketepatan waktu realisasi proyek
pembangunan, khususnya dari sisi APBD. Keterlambatan dalam realisasi penyerapan belanja modal
diperkirakan dapat menekan pertumbuhan konsumsi pemerintah. Oleh karena itu, upaya-upaya untuk
menghindari risiko-risiko tersebut harus segera dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh pemangku
kepentingan.
Prospek Inflasi
Meski inflasi tahunan masih berada pada level yang cukup tinggi, inflasi KTI hingga akhir tahun 2015
diperkirakan berada dalam tren yang menurun dan masih dalam kisaran pencapaian sasaran nasional 4% + 1%
(yoy). Penurunan inflasi terutama akan dipengaruhi oleh menurunnya tekanan inflasi administered prices
sehingga inflasi dapat berada pada kisaran 4,40% - 4,80% (yoy). Selama harga BBM tidak disesuaikan ke tingkat
yang lebih tinggi dari harganya di akhir tahun 2014, tekanan inflasi administered prices dinilai akan berkurang
cukup besar dan mengantarkan inflasi KTI ke sasaran inflasi nasional. Di samping itu, penurunan inflasi juga
akan didukung oleh beberapa faktor yang lain, salah satunya adalah ekspektasi masyarakat yang diperkirakan
terkendali dan wajar terkait dengan perkembangan harga yang terjadi. Hal ini didukung oleh proses
komunikasi secara intensif yang dilakukan TPID dengan masyarakat terkait penyediaan stok pangan dan
pengendalian dampak penyesuaian harga BBM dan TDL secara berkala. Efektivitas kegiatan tersebut
tertangkap pada pergerakan ekspektasi harga jangka panjang menurut konsumen di KTI yang cenderung
menurun pada triwulan IV 2015 (Grafik V.30). Meski ekspektasi kemudian meningkat pada Desember 2015,
besaran indeks tercatat tidak setinggi besaran historis selama tiga tahun terakhir. TPID di daerah juga terus
mendorong kegiatan peningkatan produksi pangan lokal serta menindaklanjuti arahan Presiden dari Rapat
Koordinasi Nasional (Rakornas) TPID melalui penyesuaian dan penguatan program kerja hingga tahun 2017.
Selain risiko faktor musiman terkait cuaca dan momen hari raya, beberapa faktor risiko non-musiman yang
dapat meningkatkan laju inflasi di KTI juga harus tetap diwaspadai. Fenomena El Nino yang diperkirakan terjadi
Indonesia pada tahun 2015 menjadi salah satu risiko utama karena intensitasnya yang semakin menguat.
Dampak dari penguatan intensitas El Nino adalah kekeringan yang meluas sehingga dapat memengaruhi
pencapaian target produksi pangan nasional dan pada akhirnya memberi tekanan inflasi dari komponen
volatile food. Faktor risiko utama lain yang menjadi perhatian adalah penyesuaian harga komoditas yang diatur
oleh pemerintah, khususnya BBM dan TDL. Kebijakan penyesuaian harga BBM dan TDL secara berkala, apabila
tidak diantisipasi, dapat menciptakan ekspektasi yang berlebihan sehingga direspon dengan kenaikan harga
L a p o r a n N u s a n t a r a | 71
komoditas pada komponen disagregasi yang lain (second round effect). Kedua risiko tersebut patut dicermati
oleh pemangku kepentingan, khususnya oleh TPID. Berbagai langkah yang bersifat preventif dan antisipatif
kemudian perlu dirumuskan dan dilaksanakan untuk meminimalkan dampak kekeringan akibat El Nino
maupun risiko lainnya dalam pengendalian inflasi di KTI.
Grafik V.29. Ekspektasi Kondisi Ekonomi, Survei Konsumen
Bank Indonesia
Grafik V.30. Ekspektasi Harga Jangka Panjang,
Survei dari Bank Indonesia
L a p o r a n N u s a n t a r a | 72
Perkembangan dinamika global yang diwarnai tingginya ketidakpastian disertai terus menurunnya harga
komoditas global telah berdampak negatif pada kinerja perekonomian berbagai daerah di KTI. Hal ini terutama
disebabkan oleh besarnya ketergantungan KTI terhadap pendapatan ekspor komoditas sumber daya alam
(SDA). Ketergantungan pada hasil ekspor SDA tambang ini terbukti berpengaruh pada perekonomian KTI baik
pada saat era harga komoditas tinggi (boom) maupun era harga komoditas menurun (bust). Pada kondisi saat
ini dengan harga komoditas yang cenderung terus menurun berimbas negatif melemahnya ekonomi KTI yang
selanjutnya memengaruhi capaian kinerja perekonomian secara nasional. Kondisi ini menunjukkan bahwa
ketergantungan yang besar pada pendapatan ekspor hasil sumber daya alam dalam jangka panjang tidak akan
sustain, selain juga sifat komoditas SDA yang habis pakai.
Dalam kaitan ini, upaya untuk mengurangi potensi dampak dari ketergantungan ekonomi pada SDA tersebut
merupakan hal yang sangat penting. Untuk itu, perlu dilakukan policy shifting dengan transformasi
(diversifikasi) ekonomi. Hal ini dilakukan melalui hilirisasi SDA tambang dan pengembangan sumber
pertumbuhan baru di luar pertambangan. Peluang hilirisasi masih cukup besar khususnya pada sektor
pertambangan dan pertanian yang memiliki potensi besar di KTI. Langkah pemerintah untuk mendorong
berkembangnya hilirisasi di sektor tambang yang juga merupakan amanat UU No. 4 Tahun 2009 tentang
Mineral dan Batubara merupakan hal yang perlu terus dilakukan secara berkelanjutan dengan komitmen
bersama yang kuat. Komitmen ini sangat penting karena dalam jangka pendek kebijakan tersebut berdampak
pada kinerja perekonomian KTI akibat penyesuaian dan konsolidasi yang harus dilakukan oleh pelaku usaha.
Hilirisasi Pertambangan
Potensi pertambangan di KTI tercatat cukup tinggi khususnya pada dua komoditas utama bijih nikel dan
tembaga. Berdasarkan hasil penelitian Kementerian ESDM, kandungan nikel di KTI mencapai 1,4 milyar Ton,
jika dikonversi dengan menggunakan harga ore saat ini maka cadangan tersebut bernilai US$ 87 Milyar yang
tersebar di Sulawesi (47%) dan Maluku (30%). Sementara itu, cadangan tembaga di KTI tercatat sebanyak 3,1
milyar ton, jika dikonversi dengan harga ore saat ini maka cadangan tersebut bernilai US$ 240,8 Milyar.
Sebaran tembaga di KTI terutama berada di Papua dan Nusa Tenggara Barat.
Upaya untuk mendorong hilirisasi barang tambang ini menunjukkan beberapa perkembangan. Perkembangan
hilirisasi untuk bijih nikel terlihat dari mulai beroperasinya dua smelter baru pengolahan bijih nikel pada akhir
2014, sehingga saat ini di KTI telah memiliki empat smelter bijih nikel. Ke depan, direncanakan penambahan 34
smelter pengolahan nikel di KTI yang terpusat di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan
Maluku Utara. Jika seluruh smelter sudah beroperasi hingga tahun 2018 diperkirakan pengolahan bijih nikel
27
akan dapat mencapai 36.57 Juta ton per tahun atau meningkat 50% dibandingkan tahun 2013 . Produksi
Nickel Pig Iron diperkirakan yang terbesar mencapai 2.7 juta ton, dengan peningkatan nilai tambah hingga 30
kali. Disusul oleh produksi Ferronickel sebesar 2,7 juta ton dengan peningkatan nilai tambah mencapai 103 kali.
Selain itu, juga terdapat produksi Sponge Nickel dan Nickel Matte meski relatif kecil namun memiliki nilai
tambah besar >20 kali (Tabel Target Produksi Olahan Bijih Nikel Tahun 2018 & Nilai Tambahnya).
Namun pencapaian target produksi tersebut pada tahun 2018 dinilai akan lebih rendah dari rencana,
mengingat kemajuan pembangunan 34 smelter hingga triwulan II-2015 yang relatif terbatas. Hingga Juni 2015,
28
hanya lima proyek yang mampu mencapai progress >50% dan akan beroperasi penuh di tahun 2017.
27
28
Produksi 2013 merupakan produksi normal sebelum diberlakukannya UU Minerba larangan ekspor mineral.
Sumber: Kementerian ESDM
L a p o r a n N u s a n t a r a | 73
Sementara 28 proyek smelter baru menunjukkan progress >10%. Hingga akhir tahun 2015 diperkirakan
realisasi pembangunan smelter tidak jauh berbeda dibandingkan dengan capaian pada triwulan II-2015.
Tabel V.1. Target Produksi Olahan Bijih Nikel Tahun 2018 & Nilai Tambahnya
No
Jenis Produk
1
Nickel Pig Iron
2
Ferronickel
3
Sponge Nickel
4
Nickel Matte
Sumber : ESDM
Hasil Produk
Nilai Tambah
dibanding ore
2.709.140
1.404.080
52.000
75.000
30x
103x
30x
23x
Masih relatif terbatasnya pembangunan smelter tersebut di atas terkendala oleh beberapa hal, yakni (1)
pasokan energi listrik yang terbatas sehingga investor harus mengalokasikan investasi yang lebih tinggi untuk
pembangunan pembangkit. Jaminan suplai listrik sangat kritikal pada pengoperasian smelter, terkait dengan
besarnya penggunaan listrik untuk peleburan bijih nikel. Adapun kebutuhan tambahan investasi apabila
29
perusahaan harus membangun pembangkit sendiri adalah minimal sebesar US$ 45 Juta ; (2) Banyaknya
terjadi konflik alih fungsi lahan, karena sebagian besar daerah dengan cadangan nikel cukup besar merupakan
wilayah konservasi hutan, sehingga proses izin alih fungsi lahan harus melewati proses perizinan dan analisa
dampak lingkungan yang cukup panjang; dan (3) Proses perizinan pembangunan dan operasional hilirisasi yang
melibatkan lebih dari satu instansi pemerintah juga turut menjadi permasalahan utama dalam realisasi
investasi pembangunan smelter. Pembangunan smelter minimal membutuhkan izin dari Kementerian
Perindustrian, Kementerian ESDM, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang membutuhkan waktu
cukup panjang.
Grafik V.31. Perkembangan Pembangunan Smelter
Berbeda dengan komoditas nikel yang proses hilirisasinya sudah berjalan meski terbatas, proses hilirisasi
tembaga baru memasuki tahap awal pencapaian kesepakatan dengan pemerintah. Pengembangan hilirisasi
tembaga masih bergantung pada kesepakatan pemerintah dengan pelaku usaha utama pertambangan
tembaga. Kapasitas smelter yang akan dibangun direncanakan sebesar 3 juta ton dengan total investasi US$
2.16 Milyar. Smelter tersebut akan menggunakan input bahan baku dari Papua dan Nusa Tenggara Barat.
Target operasi smelter yang semula di awal tahun 2015, diperkirakan akan mundur hingga awal tahun 2016
disebabkan oleh proses pemilihan lokasi serta perizinan ekspor bahan mentah. Preferensi pemerintah daerah
untuk pembangunan smelter yang dekat dengan lokasi pertambangan masih belum dapat dipenuhi pelaku
usaha karena adanya kendala ketersediaan listrik yang terbatas. Hal ini akan berimplikasi pada peningkatan
biaya investasi bagi pelaku usaha. Operasional smelter tembaga diperkirakan membutuhkan pasokan listrik
sebesar 300 – 400 MW atau setara dengan US$ 450 juta – US$ 600 juta tambahan investasi.
29
Dengan menggunakan asumsi rata-rata investasi listrik sebesar US$ 1,5 Juta, dan dengan asumsi minimal kebutuhan listrik untuk
operasional smelter bijih nikel dengan kapasitas 300 ribu ton per tahun sebesar 30 MW (Sumber : http://kip.esdm.go.id/pelayananpublik).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 74
Hilirisasi Pertanian
Pengembangan hilirisasi juga perlu dilakukan untuk komoditas berbasis pertanian yang memiliki potensi
besar di KTI. Tiga komoditas utama di KTI yang memiliki pangsa produksi >40% terhadap nasional adalah
kelapa, kakao, dan perikanan. Ketiga komoditas tersebut berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk
bernilai tambah tinggi. Masing-masing komoditas jika dikembangkan menjadi produk olahan akan memberikan
nilai tambah yang cukup besar antara 30% - 600%.
Sebagai gambaran tingginya potensi ekspor produk olahan ketiga komoditas tersebut, Malaysia sebagai salah
satu importir Kakao terbesar Indonesia, mengolahnya menjadi coklat batangan, yang kemudian di ekspor ke
sejumlah negara termasuk Indonesia. Demikian pula, Filipina yang juga sebagai negara importir kelapa, telah
berhasil memanfaatkan kelapa sebagai bio-cocofuel. Selanjutnya, untuk komoditas perikanan, Thailand
menjadi salah satu contoh sukses dengan keberhasilannya mendominasi pasar ekspor ikan kaleng, meski
sebagian besar bahan bakunya masih diimpor dari Indonesia.
Tabel V.2. Potensi Hilirisasi Pertanian
No.
Pangsa Komoditas
Nasional
Sebaran
Produksi (ribu
ton)
Produktivitas
Produksi
Ekspor
Nilai Tambah Produk Turunan
1
Kelapa
Pangsa terhadap
nasional : 41.7%
Nasional = 0.8 ton/ha
KTI = 0.86 ton/ha
Prod. KTI = 1.3 Jt ton
Ekspor KTI = 15.7 rb ton
2
Perikanan
Pangsa terhadap
nasional : 59.3%
Kopra = 66%
Tepung kopra = 78%
Minyak Mentah = 76%
SVO – Biodiesel = 30%
Minyak goreng = 120%
Ikan beku : 100%
Ikan asap, bumbu, dll = 200%
Ikan fillet, pembungkusan = 300%
Ikan kaleng = 600%
3
Kakao
Pangsa terhadap
nasional : 74.9%
Sulut = 283
Malut = 249
Sulteng =185
Maluku = 95
Sulsel = 79
Sulsel = 2.888
NTT = 1.955
Sulteng = 1.590
Maluku = 1.146
Sultra = 1.140
Sulsel = 150
Sulteng = 149
Sultra = 133
Sulbar = 84
Maluku = 13
Nasional = 7.4 ton/ha
KTI = 1.43 ton/ha
Prod. KTI = 11.6 Jt ton
Ekspor KTI = 5 rb ton
Nasional = 0.42 ton/ha
KTI = 0.49 ton/ha
Prod. KTI = 582 rb ton
Ekspor KTI = 68.3 rb ton
Serbuk kako = 40%
Kosmetik = 230%
Makanan = 170%
Sumber : Kementerian Pertanian & Cognos, diolah
Keberhasilan negara-negara tersebut dalam melakukan hilirisasi disebabkan oleh terpenuhinya faktor
pendukung antara lain suplai listrik yang mencukupi, sistem perizinan yang lebih sederhana dan jelas, serta
jaminan kontinuitas bahan baku baik melalui impor maupun produksi lokal. Belum terpenuhinya faktor-faktor
tersebut khususnya listrik dan kontinuitas bahan baku menyebabkan rendahnya preferensi pelaku usaha untuk
melakukan hilirisasi. Alokasi listrik yang masih dominan untuk rumah tangga, menyebabkan pemenuhan listrik
industri relatif terbatas.
Namun, ditengah berbagai kendala tersebut, hilirisasi pada ketiga komoditas telah dilakukan meski masih
terbatas dalam bentuk barang setengah jadi dan dengan skala relatif kecil. Kondisi ini terlihat dari share ekspor
produk olahan komoditas tersebut baik terhadap total produksi maupun terhadap ekspor nasional yang masih
rendah. Sebagai contoh, dari produksi kakao sebesar 582,3 ribu ton hanya 34 ribu ton yang diekspor dari KTI
dalam bentuk barang setengah jadi yakni serbuk, butter, shell, liquor, dan cacao cake. Jumlah ini hanya 15%
dari ekspor nasional untuk jenis produk serupa. Demikian pula dengan komoditas perikanan, dari produksi 11,6
juta ton hanya 180 ton yang diekspor dalam bentuk ikan yang diawetkan (diasinkan, asap, dan sejenisnya) atau
0,46% ekspor nasional untuk produk serupa dan hanya 10 ribu ton yang diekspor dalam bentuk olahan ikan
atau 0,13% ekspor nasional untuk produk serupa. Berbeda dengan komoditas lainnya, ekspor olahan dari
L a p o r a n N u s a n t a r a | 75
komoditas kelapa sudah mencapai 100% dari total produksi, namun nilai tambah produk tersebut masih relatif
rendah jika dibandingkan dengan produk yang mampu dihasilkan oleh Filipina.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 76
Bagian VI
Meningkatnya anggaran transfer daerah pada APBN-P 2015 disertai adanya alokasi dana desa sebagai
amanat UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan peluang besar bagi daerah untuk dapat mempercepat
pembangunan di daerah. Peluang ini menjadi semakin penting ditengah dinamika perekonomian domestik
yang cenderung tumbuh melambat sehingga belanja daerah dapat berperan menjadi stimulus bagi tetap
berkembangnya aktivitas perekonomian. Di samping itu, alokasi anggaran yang besar di daerah memberikan
harapan akan lebih cepatnya upaya pembenahan struktural di daerah untuk memperkuat fundamental
perekonomian yang dapat lebih menjamin pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif. Namun,
perkembangan penyerapan belanja fiskal daerah pada Semester I 2015 yang justru diikuti oleh adanya
peningkatan penempatan dana milik Pemerintah Daerah di perbankan menunjukkan tantangan yang cukup
besar dalam penyerapan belanja daerah. Selain itu, kondisi fiskal di beberapa daerah dihadapkan pada kondisi
penurunan alokasi DBH, khususnya bagi daerah yang berbasis migas, sehingga berimplikasi pada perlu
dilakukannya penyesuaian pada belanja daerah. Kecenderungan penurunan DBH ini, khususnya DBH sumber
daya alam, tidak terlepas dari perkembangan harga komoditas di pasar global yang terus mengalami
penurunan sejalan dengan masih lemahnya ekonomi global. Untuk itu, daerah-daerah yang selama ini banyak
mengandalkan pada DBH sumber daya alam sebagai sumber pendapatan perlu memprioritaskan upaya
hilirisasi untuk berperan sebagai sumber pendapatan baru sekaligus sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi
daerah.
Sebagaimana tertuang dalam RPJMN 2015-2019, target pembangunan yang ditetapkan pemerintah dalam
jangka 5 tahun kedepan difokuskan pada percepatan pembangunan kewilayahan. Hal ini sesuai dengan Nawa
Cita ketiga mengenai membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa
dalam kerangka negara kesatuan. Dengan pembangunan yang lebih merata, diharapkan ketimpangan antar
wilayah dapat diminimalisir sehingga daerah mampu berkonstribusi lebih bagi perekonomian nasional.
Peningkatan alokasi transfer pusat ke daerah dan penambahan alokasi dana desa sebagaimana amanat UU No.
6 Tahun 2014 tentang Desa pada APBN-P tahun 2015 merupakan salah satu upaya dan bentuk komitmen
pemerintah pusat untuk mendorong percepatan pembangunan di daerah.
Tabel VI.1. Transfer Daerah
miliar Rp
Transfer ke Daerah & Dana Desa
A. Transfer ke Daerah
a. Dana Perimbangan
1) DBH
- Pajak
- SDA
2) DAU
3) DAK
b. Dana Otonomi Khusus
c. Dana Keistimewaan DIY
d. Dana Transfer Lainnya
B. Dana Desa
Jumlah
2013
APBNP
529.363
445.531
102.695
49.751
52.944
311.139
31.697
13.446
70.386
-
2014
APBNP
596.504
491.883
103.399
41.938
62.001
341.219
31.895
16.149
524
87.949
-
2015
% Pe ruba ha n
2014-2015
APBN
APBNP
637.975 648.835
8,8
516.401 521.761
6,1
127.693 110.052
6,4
50.569
54.217
29,3
77.124
55.835
(9,9)
352.888 352.888
3,4
35.821
58.821
84,4
16.616
17.116
6,0
547
548
4,5
104.411 104.411
18,7
9.066
20.766
-
529.363
596.504
647.041
664.601
11,4
Peningkatan dana transfer ke daerah terutama terjadi pada Dana Alokasi Khusus (DAK) yang ditujukan bagi
pembangunan infrastruktur fisik daerah. Dalam APBN-P 2015, secara total dana transfer daerah meningkat
sebesar 8,8% dibandingkan tahun 2014 atau menjadi senilai Rp648,8 triliun. DAK yang pada APBN 2015
dialokasikan sebesar Rp35,8 triliun, pada APBN-P 2015 ditambah hingga mencapai Rp58,8 triilun atau
Laporan Nusantara| 77
meningkat 84,4% dibandingkan tahun sebelumnya. Penambahan DAK pada APBN-P 2015 dialokasikan untuk
mendukung program prioritas pemerintah yang sebagian besar berkaitan dengan infrastruktur. Kedepan, dana
transfer ke daerah akan terus ditingkatkan, sehingga anggaran belanja daerah akan memiliki porsi yang lebih
besar dibandingkan pusat.
Alokasi anggaran dalam jumlah besar yang diberikan kepada daerah memberikan ruang bagi daerah untuk
mempercepat berbagai pembenahan struktural di daerah, khususnya terkait dengan infrastruktur.
Pembangunan infrastruktur daerah merupakan pra-syarat penting bagi daerah untuk dapat mengejar
ketertinggalan ekonominya. Pemanfaatan anggaran dengan tepat menjadi semakin penting ditengah dinamika
perekonomian yang tumbuh melambat, dimana belanja daerah diharapkan dapat berperan sebagai stimulus
bagi perekonomian daerah.
Sumber : TEPRA, diolah (data base Kab/Kota di sistem TEPRA masih terbatas)
Gambar VI.1. Indikasi Penyerapan Belanja APBD Provinsi s.d. Triwulan II 2015
Namun, tampaknya hal tersebut masih menghadapi tantangan seiring dengan terbatasnya realisasi belanja
pemerintah pada semester I 2015. Penyerapan belanja daerah hingga akhir semester I-2015 secara rata-rata
lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Penyerapan belanja daerah tercatat
30
sebesar 25,9% pada semester I 2015, lebih rendah dibandingkan periode yang sama pada 2014 (31,1%) .
Penyerapan belanja yang lebih rendah terjadi di sebagian Jawa, Sumatera, dan KTI. Provinsi DKI Jakarta dan
Riau merupakan dua daerah yang mencatatkan penyerapan belanja terendah yakni dibawah 20%. Rendahnya
penyerapan belanja di DKI Jakarta merupakan dampak dari permasalahan yang berlarut dalam proses
pengesahan APBD DKI Jakarta. Sementara, rendahnya penyerapan belanja Riau disebabkan oleh
keterlambatan pengesahan panitia pelaksana anggaran. Realisasi belanja yang lebih rendah terindikasi pada
belanja pemerintah di tingkat provinsi pada akhir Semester I 2015 sebesar 24,2%, sementara di tingkat
kabupaten/kota sebesar 24,6%.
Penyerapan belanja daerah yang rendah diikuti oleh peningkatan penempatan dana Pemerintah Daerah di
perbankan. Hingga data Juni 2015, penempatan dana pemerintah daerah di perbankan berada dalam tren
meningkat sehingga mencapai Rp279,8 triliun, merupakan jumlah yang tertinggi dalam 3 tahun terakhir. Dana
perbankan milik Pemerintah Daerah di wilayah Jawa mengambil porsi 37% dari total dana milik Pemerintah
Daerah di perbankan. Tingginya dana perbankan milik Pemerintah Daerah juga didorong oleh adanya
peningkatan transfer APBN ke daerah dan transfer Dana Desa secara signifikan. Anggaran transfer ke daerah
pada APBN-P 2015 meningkat 11,4% dengan pangsa mencapai 33,3% dari total belanja APBN di 2015.
Kenaikan transfer daerah terbesar terdapat pada komponen Dana Alokasi Khusus (DAK) yang ditujukan untuk
30
Tim Evaluasi Percepatan Realisasi Anggaran, Kemendagri, dan Laporan Monitoring Realisasi APBD & Dana Idle Tw III-2014, DJPK,
Kemenkeu.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 78
31
mendukung program prioritas pemerintah . Kenaikan Dana Bagi Hasil (DBH) ditopang oleh kenaikan DBH
Pajak, ditengah penurunan DBH SDA. Sementara itu, alokasi Dana Desa meningkat menjadi Rp20,8 T dari
sebelumnya hanya Rp9,1 T.
300,000
Tertinggi dlm 3 th terakhir
Rp Milyar
250,000
200,000
150,000
2014
100,000
2013
50,000
0
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
2013 138516 160871 175009 196876 192794 201365 183672 186551 214364 197429 192230 94116.9
2014 138364 150803 162806 182913 206213 231144 172228 197846 244109 234505 222761 114873
2015 172290 184121 230856 257933 259818 279817
Sumber: DJPK, Kemenkeu
Grafik VI.1. Tren Penempatan Dana Daerah di Perbankan
Grafik VI.2. Tren Perkembangan SILPA Wilayah
Kurang optimalnya penyerapan fiskal daerah pada semester I 2015, menyebabkan terbatasnya dukungan fiskal
untuk mendorong peningkatan aktivitas perekonomian di tengah perlambatan ekonomi yang sedang terjadi.
Penyerapan belanja daerah yang tepat sasaran perlu menjadi concern Pemerintah Daerah agar belanja yang
dilakukan mampu memberikan kontribusi dan multiplier effects bagi perekonomian daerah. Alokasi anggaran
yang besar, tanpa disertai belanja daerah yang tepat guna berpotensi menyebabkan tidak optimalnya
peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah. Kondisi ini terindikasi terjadi di wilayah KTI digambarkan oleh
32
Kurva Rahn (Grafik VI.4), dimana pada beberapa daerah semakin besarnya porsi pengeluaran pemerintah
terhadap PDRB tidak dapat secara optimal meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerahnya. Kondisi fiskal
daerah dapat dibagi menjadi 4 kategori yaitu (i) daerah dengan share pengeluaran terhadap PDRB yang cukup
tinggi namun dampak pengeluaran pemerintah masih rendah seperti Gorontalo; (ii) daerah dengan share
pengeluaran Pemerintah Daerah terhadap PDRB yang rendah dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi
seperti di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Bali; (iii) daerah dengan share
pengeluaran terhadap PDRB yang cukup tinggi dengan dampak pengeluaran pemerintah masih rendah namun
pertumbuhan ekonominya relatif rendah seperti di NTT, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Maluku, dan Papua
Barat; (iv) daerah dengan share pengeluaran terhadap PDRB yang cukup tinggi dengan dampak fiskal yang
rendah dan pertumbuhan ekonomi yang rendah seperti di NTB dan Papua.
Grafik VI.3. Kurva Rahn Perbandingan Pengeluaran Pemerintah Dengan Pertumbuhan Ekonomi
31
Kedaulatan pangan, revitalisasi pasar tradisional, konektivitas, dan layanan kesehatan.
32
Rahn, R. and Fox, H. (1996). What Is the Optimum Size of Government. Dalam Kurva Rahn, pada awalnya semakin besar pengeluaran
pemerintah akan mendorong perekonomian namun hanya sampai dengan level tertentu pengeluaran pemerintah tersebut dapat
pertumbuhan ekonomi yang maksimal dan akan terus menurun jika pengeluaran pemerintah diperbesar. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah yang optimal adalah sekitar 20% dari GDP.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 79
Berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan, kendala dalam penyerapan anggaran terutama disebabkan
faktor teknis dan administrasi, antara lain keterlambatan juknis, penundaan lelang, peralihan sistem akuntansi
33
dari berbasis kas ke akrual. Dari hasil rekap permasalahan yang dikumpulkan oleh Kantor Perwakilan Bank
Indonesia di daerah, faktor teknis dan administrasi mewakili lebih dari 55% kendala yang ditemui dalam
penyerapan APBD. Hanya di wilayah Kalimantan faktor teknis tidak menjadi kendala yang dominan, namun
faktor keterbatasan SDM dari sisi jumlah maupun kapasitas dinilai lebih berpengaruh terhadap lambatnya
penyerapan belanja APBD. Selain itu, juga terdapat pertimbangan aspek hukum terkait dengan tanggung
jawab Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan konsekuensi risikonya. Adapun belum tersalurkannya Dana Desa
dari Pemerintah Kabupaten/Kota ke rekening Desa terkendala oleh permasalahan administratif terutama
terkait belum adanya pengesahan APBDesa-Perubahan yang mencakup alokasi tambahan Dana Desa dari
APBN-P. Jika keterbatasan penyerapan anggaran ini terus berlanjut, maka akan terjadi penumpukan dana
“idle” di perbankan dan berdampak pada tingginya SILPA di akhir tahun anggaran.
Selain terbatasnya penyerapan belanja, fiskal daerah juga dihadapkan pada tantangan terkait dengan transfer
DBH, khususnya bagi daerah yang basis ekonominya adalah Sumber Daya Alam (SDA). Penurunan jumlah
alokasi DBH SDA sebesar 9,9% pada 2015 terkait dengan harga minyak dan gas bumi yang lebih rendah disertai
kinerja lifting migas yang menurun. Sementara, DBH Pertambangan Umum masih meningkat sehingga dapat
menahan penurunan DBH SDA lebih besar. Penurunan DBH migas antara lain terjadi di Provinsi Kaltim, Riau,
dan Kepri. Namun demikian, terdapat daerah yang mengalami peningkatan alokasi DBH migas yaitu Provinsi
Jatim, seiring dengan beroperasinya blok Cepu (Banyu Urip).
Beberapa daerah memiliki porsi sumber pendapatan DBH yang cukup dominan dalam APBD sehingga
penurunan alokasi besaran DBH yang diterima berimplikasi pada perlunya penyesuaian belanja. Kondisi ini
ditengarai terjadi pada Provinsi Kaltim, Riau, dan Jambi yang APBD-nya telah mengalami defisit anggaran
selama beberapa waktu terakhir. Alokasi DBH yang lebih rendah dari ekspektasi pada APBD 2015
menyebabkan dilakukannya penyesuaian anggaran belanja. Di Kalimantan, penyesuaian belanja terutama
dilakukan pada anggaran belanja barang modal dan belanja barang dan Jasa, dengan penurunan belanja modal
paling dalam terjadi di Kaltim.
Tabel VI.2. Struktur APBD Beberapa Provinsi
Provinsi
Pendapatan (triliun Rp)
2011
Riau
Jambi
Sumsel
Kaltim
Papua Barat
5,4
2,1
4,0
9,8
3,7
2013
7,0
2,9
5,5
11,6
5,6
%PAD
%DAU
%DBH
Belanja (triliun Rp)
2015* 2011 2013 2015* 2011 2013 2015* 2011 2013 2015* 2011 2013 2015*
8,7
3,3
7,2
8,5
6,1
40,6
47,3
46,6
45,9
4,1
39,0
37,0
37,0
50,6
4,2
41,9 7,0 10,4 7,5
37,0 28,1 29,1 30,2
38,7 16,3 15,9 13,7
65,0 0,5 0,5 0,7
4,8 18,9 18,9 21,0
51,3
22,4
33,1
53,0
20,1
40,7
20,8
32,1
45,3
33,0
39,7
20,2
30,7
30,0
27,4
4,3
1,8
3,8
8,1
3,6
7,5
3,3
5,7
13,8
4,5
10,7
3,5
6,6
9,3
6,8
Sumber: DJPK, Kemenkeu
*) Anggaran
Berbagai inisiatif telah dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk mendorong percepatan penyerapan
belanja APBD. Langkah yang dilakukan pemerintah pusat secara umum mencakup pengetatan monitoring
(sistem pelaporan realisasi APBD), revisi aturan pengadaan, optimalisasi teknologi untuk mempercepat
pengadaan (e-catalog/LKPP) serta pemberlakukan sistem insentif (reward) dan punishment dalam rangka
mendorong penyerapan anggaran (Dana Insentif Daerah). Kemendagri juga telah secara khusus membentuk
tim pemantuan realisasi anggaran di daerah. Sementara itu, langkah mendorong penyerapan belanja yang
33
Penerapan sistem akuntansi berbasis akrual untuk pencatatan keuangan negara mulai dilakukan pada tahun anggaran 2015. Standar
Akuntansi Pemerintahan (SAP) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 sebagai pengganti Peraturan Pemerintah No.
24 Tahun 2005. Sistem akuntansi akrual seperti yang lazim dilakukan korporasi dipandang lebih menjamin transparansi yang akan
meningkatkan kepercayaan publik.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 80
dilakukan pemerintah daerah lebih bersifat persuasif dan monitoring intensif terhadap realisasi anggaran oleh
SKPD (koordinasi internal). Hanya sebagian kecil Pemerintah Daerah yang cukup aktif melakukan koordinasi
dengan pihak eksternal antara lain terkait pengadaan lahan (koordinasi dengan BPN atau Kementerian LHK)
serta melakukan pembenahan sistem pengadaan dengan penerapan aplikasi IT (e-procurement). Selain itu,
upaya untuk mengoptimalkan penyerapan belanja juga menghadapi kendala aspek non teknis seperti politik
anggaran dan pengadaan lahan serta kekuatiran atas jeratan tindak pidana korupsi.
Pengetatan monitoring kinerja fiskal daerah (APBD) dilakukan secara simultan oleh Kemenkeu dan
Kemendagri. Monitoring secara triwulanan dilakukan oleh Kemenkeu dan Kemendagri yang mencakup pula
34
penilaian kinerja pengelolaan pemerintahan daerah . Berdasarkan ketentuan, terdapat sanksi yang
dikoordinasikan antara Kemenkeu dan Kemendagri berupa penundaan penyaluran DAU sebesar 25% pada
setiap bulannya apabila laporan monitoring tidak disampaikan. Bagi daerah yang tidak mendapatkan DAU,
penetapan sanksi dikenakan sebesar 25% dari jumlah DBH Pajak Penghasilan yg akan disalurkan pada tahun
anggaran berjalan. Meski Kemendagri tidak memberikan sanksi finansial atas keterlambatan penyampaian
laporan realisasi triwulanan, namun terdapat pertimbangan dalam hal penilaian/pemeringkatan kinerja
pengelolaan pemerintah daerah. Selain itu, diimplementasikan pula sistem monitoring di bawah koordinasi
Kantor Staf Presiden sebagai upaya penguatan intensitas dan mekanisme pelaporan keuangan APBN/APBD.
Sumber: Departemen Regional I-IV dan KPwDN, Bank Indonesia, diolah
Gambar VI.2. Upaya Percepatan Penyerapam Anggaran di Daerah
Upaya mendorong percepatan penyerapan belanja daerah maupun daerah juga diwujudkan dalam kebijakan
35
revisi ketentuan pengadaan barang dan jasa pemerintah Perpres 172/2014 dengan Perpres 4/2015 . Perpress
4/2015 bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses pengadaan barang dan jasa antara lain
melalui percepatan proses tender (3-10 hari kerja) dan ketentuan pengadaan secara elektronis (e-catalogue, epurchasing, e-procurement). Percepatan tender dimungkinkan apabila menggunakan mekanisme e-tendering
(LKPP) dan pemanfaatan informasi terkait penyediaan barang dan jasa (pra-kualifikasi). Perpres 4/2015 juga
secara spesifik mengatur pengadaan barang dan jasa oleh Pemerintah Daerah, yakni dengan kewajiban bagi
Pemerintah Daerah mengumumkan Rencana Umum Pengadaan Barang/Jasa secara terbuka kepada
masyarakat luas pasca disetujuinya rancangan Perda APBD oleh DPRD. Hal ini diharapkan akan mempercepat
proses pencarian vendor yang sesuai kualifikasi. Adapun ketentuan pengadaan barang dan jasa di tingkat Desa
diatur melalui Peraturan Bupati/Walikota mengacu pada pedoman yang ditetapkan LKPP sebagai payung
34
Terdapat dua sistem aplikasi pelaporan realisasi APBD, yakni Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) yang dikelola DJPK (Laporan
semesteran realisasi APBD H+30 dari triwulan yang dilaporkan : http://www.djpk.kemenkeu.go.id/sikd sejak 2006) dan Sistem Informasi
Pengelolaan Keuangan Daerah (SIPKD) yang dikelola Ditjen Keuda (Laporan semesteran realisasi APBD (H+30 dari triwulan yang
dilaporkan) : http://keuda.kemendagri.go.id/sipkd sejak 2010)
35
Perubahan ke-4 dari Perpres 54/2010.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 81
hukum proses pengadaan menggunakan Dana Desa. Meski belum tercakup dalam Perpres dimaksud, telah
terdapat wacana untuk membuat ketentuan pemberian pelayanan hukum kepada pejabat pengadaan yang
menghadapi permasalahan hukum dalam lingkup pengadaan barang dan jasa.
Ke depan, perlu diupayakan kebijakan yang lebih bersifat struktural untuk mengakselerasi penyerapan belanja
daerah dan mengatasi ketergantungan pendapatan daerah terhadap komoditas SDA. Forum koordinasi lintas
sektor/wilayah/pusat-daerah sebagai jembatan dalam mencari penyelesaian kendala penyerapan belanja
daerah perlu ditingkatkan, seperti forum daerah dengan BPN untuk masalah pertanahan. Selain itu, perlu
diupayakan peningkatan kapasitas SDM terkait dengan public finance management serta penyusunan langkah
konkrit untuk mengatasi kekuatiran terkait potensi jeratan tindak pidana korupsi akibat kesalahan prosedural
administrasi pengadaan. Terkait dengan penurunan pendapatan daerah di beberapa provinsi, khususnya
pendapatan DBH migas, daerah dipandang perlu untuk segera merumuskan strategi pentahapan percepatan
hilirisasi SDA.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 82
Bagian VI
Gambaran ketersediaan energi saat ini menunjukkan masih rentannya dukungan ketersediaan energi untuk
berkembangan perekonomian nasional. Hal ini dicerminkan oleh (i) tingginya ketergantungan terhadap energi
primer, khususnya migas, yang sebagian bersumber dari impor; (ii) terbatasnya pengembangan Energi Baru
dan Terbarukan (EBT), serta (iii) ketersediaan listrik yang masih terbatas dan belum merata sebagaimana
tercermin dari kondisi cadangan listrik dan rasio elektrifikasi yang masih rendah. Di tengah kondisi
perekonomian domestik yang masih cenderung dibayangi risiko perlambatan karena tingginya ketidakpastian
perekonomian global, upaya pemerintah untuk juga memprioritaskan penyediaan energi, khususnya energi
listrik, memberikan peluang untuk mempercepat berkembangnya perekonomian ke depan. Selain itu, jaminan
ketersediaan energi akan memacu berkembangnya aktivitas produksi yang memberikan nilai tambah besar
melalui industrialisasi/hilirisasi. Namun, di sisi lain, upaya meningkatkan ketersediaan energi listrik melalui
pembangunan proyek 35 GW menghadapi sejumlah kendala baik di tingkat pusat maupun di daerah terutama
terkait dengan proses pengadaan lahan dan perizinan proyek. Upaya mendorong kesinambungan ketersediaan
energi juga menuntut perubahan paradigma penyediaan infrastruktur energi dari demand driven ke arah
demand creation sehingga pengembangannya dapat lebih tersebar merata ke luar Jawa.
Sejalan dengan visi kedaulatan energi dalam Nawa Cita untuk mewujudkan kemandirian ekonomi berbasis
sektor strategis domestik, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019
ketahanan energi dan kelistrikan menjadi salah satu sasaran strategis dalam rangka mendukung pembangunan
ekonomi yang berkelanjutan. Ketahanan energi secara umum mencakup tiga aspek utama, yakni (1)
Ketersediaan pasokan baik melalui eksplorasi maupun optimalisasi produksi; (2) Keterjangkauan harga
terutama dari sisi harga keekonomian; serta (3) Manajemen permintaan yang mengarah pada diversifikasi dan
konservasi (efisiensi) energi. Adapun kebijakan pencapaian sasaran ketahanan energi dalam RPJMN 2015-2019
diarahkan pada upaya peningkatan produksi dan optimalisasi penggunaan energi domestik, peningkatan
cadangan penyangga dan operasional energi, peningkatan peran Energi Baru Terbarukan (EBT), serta
36
peningkatan aksesibilitas dan efisiensi energi. Dalam kaitan tersebut, pembangunan infrastruktur energi
menjadi kunci suksesnya pencapaian sasaran dimaksud.
Secara umum, potensi ketersediaan energi primer yang cukup melimpah baik minyak bumi dan gas alam
(migas), batubara, serta sumber energi baru terbarukan belum dimanfaatkan secara optimal. Utilisasi
pemanfaatan saat ini masih relatif terbatas untuk pemenuhan pendapatan ekspor. Untuk minyak bumi, meski
memiliki cadangan yang termasuk salah satu terbesar di dunia, terbatasnya eksplorasi baru menyebabkan
produksi migas secara nasional terus mengalami penurunan. Sementara di sisi lain kebutuhannya meningkat
37
lebih cepat . Untuk memenuhi kebutuhan domestik yang terus meningkat yang tidak dapat diimbangi oleh
kemampuan pemenuhan hasil produksi domestik berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan terhadap impor.
Hal yang sama juga terjadi pada komoditas batubara. Sebagai salah satu negara dari 10 negara produsen
batubara terbesar di dunia, hanya kurang dari 20% yang diperuntukan bagi pemenuhan kebutuhan domestik
36
Adanya perubahan paradigma dengan memprioritaskan energi sebagai aset nasional untuk mendukung pembangunan nasional yang
berkelanjutan.
37
Konsumsi energi primer meningkat 4,9% per tahun yang didominasi oleh sektor industri dan rumah tangga. Sementara pasokan energi
primer yang mayoritas berbentuk migas dan batubara hanya tumbuh 4,3% per tahun. Sebagian dari pasokan energi juga masih bersumber
dari impor khususnya minyak bumi.
Laporan Nusantara| 83
38
dan selebihnya ditujukan untuk ekspor . Sementara itu, shifting penggunaan energi primer dari sumber fosil
ke energi baru terbarukan (EBT) masih sangat minim sebagaimana tercermin dari peringkat energy
sustainability Indonesia yang jauh berada dibawah negara peer (peringkat 106 dari 129 negara pada 2014 dan
39
berada di bawah Singapura, Malaysia dan Filipina) . Sementara itu, ketersediaan energi listrik juga masih
relatif belum optimal dan belum merata antar satu daerah dengan daerah lainnya. Kondisi ini tercermin dari
kondisi cadangan listrik dan rasio elektrifikasi yang masih rendah.
POTENSI
FAKTA
Batubara
Minyak
& Gas
Listrik
Target RPJMN 2015-2019:
Ketahanan Energi
& Kelistrikan
 Kondisi kerentanan
energi
 Belum optimalnya
dukungan pada
pembangunan
perekonomian
berkelanjutan
Geothermal
Batubara
Minyak
& Gas
Listrik
Geothermal
Sumber : Kementerian ESDM, Laporan McKinsey
Gambar VI.3. Diagram Gambaran dan Tantangan Sektor Energi
Masih rentannya kesinambungan pasokan energi merupakan isu krusial yang perlu segera diatasi untuk
pencapaian target pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Langkah pemerintah untuk mendorong
percepatan penyediaan energi listrik melalui proyek pembangunan pembangkit listrik 35 GW merupakan
langkah strategis yang diharapkan dapat memacu lebih berkembangnya aktivitas perekonomian. Semakin
besarnya tantangan perekonomian ke depan, terutama ditengah dinamika pemulihan ekonomi global yang
masih diwarnai tingginya ketidakpastian, pembangunan pembangkit listrik 35 GW merupakan bagian penting
dari langkah pembenahan struktural guna mendorong meningkatnya nilai tambah perekonomian dan sekaligus
memperkuat fundamental perekonomian nasional.
Tantangan Penyediaan Energi Kelistrikan
Ketersediaan listrik merupakan prasayarat utama berkembangnya industrialisasi yang diperlukan untuk
mendorong peningkatan nilai tambah perekonomian. Namun, energi listrik diidentifikasi sebagai kendala
utama bagi berkembangnya perekonomian, khususnya sektor industri. Hasil kajian growth diagnostic yang
dilakukan oleh Bank Indonesia di seluruh daerah mengindikasikan ketersediaan listrik sebagai salah satu hal
utama (most binding constraint) yang menghambat pembangunan di daerah. Di sisi lain, penyediaan energi
listrik yang memadai akan memacu peningkatan output perekonomian secara signifikan terutama pada sektor
industri (Lihat Boks Growth Diagnostic).
38
Data Kementerian ESDM menunjukkan pada tahun 2014 produksi batubara nasional tercatat sebesar 435 juta ton dengan 359 juta ton
di ekspor dan sisanya untuk pasar domestik.
39
World Energy Council, 2014
L a p o r a n N u s a n t a r a | 84
Sumber : PLN
Gambar VI.4. Peta Kondisi Kelistrikan Nasional 2014
Isu keterbatasan energi listrik tidak terlepas dari kemampuan pembangkit listrik yang belum sebanding dengan
kebutuhan berkembangnya aktivitas perekonomian. Gambaran peta ketersediaan listrik menunjukkan bahwa
kemampuan kapasitas terpasang pembangkit listrik terhadap beban puncak di sebagian besar daerah masih
berada di bawah 30% atau dalam status siaga. Dari 24 sistem kelistrikan nasional yang ada, hanya 5 sistem
dalam keadaan normal sementara 14 sistem dalam status siaga dan 5 sistem mengalami krisis (defisit) yang
berdampak pada rentannya dilakukan pemadaman bergilir. Daerah dengan kondisi listrik defisit tertinggi
berada di KTI, yakni di Sulawesi dan Papua.
10.5
8.1
7.2
3.7
0.4
0.7
Philippines
0.8
India
2
0.8
Pakistan
90
1.3
Indonesia
Thailand
China
Malaysia
Hongkong
Japan
2.3
Vietnam
4.4
Singapore
95,8%
93,6%
95
5.8
South
Korea
97,4%
100
91,3%
87,7%
85
Sumber : Business Monitor International, 2014
Grafik VI.4. Konsumsi Listrik per Kapita di ASEAN (MWh)
80
2015
2016
2017
2018
2019
Sumber : RUPTL PLN 2015-2024
Grafik VI.5. Target Elektrifikasi
Kondisi kerentanan energi listrik juga terindikasi dari rasio elektrifikasi yang secara nasional sekitar 88% pada
40
2015 dengan mayoritas daerah memiliki rasio elektrifikasi di bawah 90%. . Rasio elektrifikasi tertinggi di
wilayah Jawa, sementara yang terendah di KTI. Dibandingkan dengan sejumlah negara di Asia, konsumsi listrik
per kapita Indonesia pada 2014 juga menjadi salah satu yang terendah. Selain kurangnya pembangkit, sistem
kelistrikan nasional dengan total kapasitas sekitar 47 GW hanya didukung oleh 7 sistem interkoneksi,
sementara 500 sistem kelistrikan lainnya terisolasi dan tersebar dalam skala yang lebih kecil.
Terbatasnya cadangan listrik berpengaruh pada indeks daya saing Indonesia, khususnya pada aspek
kemudahan memperoleh layanan listrik. Indeks Doing Bussiness 2014 yang dikeluarkan Bank Dunia mencatat
Indonesia di peringkat 78 untuk indikator kemudahan mendapatkan listrik (getting electricity) khususnya pada
40
Rasio elektrifikasi Negara peer di ASEAN yang telah mencapai hamper 100%, termasuk di Vietnam.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 85
usaha kecil-menengah. Peringkat tersebut jauh di bawah negara peer di ASEAN. Selain itu, kualitas listrik juga
menjadi faktor daya saing yang menjadi pertimbangan dalam investasi. Berdasarkan World Economic Forum
(WEF), kualitas infrastruktur kelistrikan Indonesia berada pada ranking 84 dari 144 negara, juga lebih rendah
dibandingkan dengan negara peer di ASEAN.
Tabel VI.3. Kualitas Listrik
Sumber : Global Competitiveness Report, WEF
Tabel VI.4. Peringkat Doing Business
41
Sumber : Indeks Doing Business, 2015, Bank Dunia
Di sisi lain, kebutuhan terhadap energi listrik terus mengalami akselerasi yang tidak sebanding dengan
pertumbuhan produksi listrik. Rata-rata pertumbuhan konsumsi listrik dalam 10 tahun terakhir sekitar 7,4%,
lebih rendah dibanding tingkat produksi listrik yang sebesar 6,9% per tahun. Dalam 10 tahun mendatang,
pertumbuhan konsumsi listrik rata-rata setiap tahunnya diproyeksi akan semakin meningkat mencapai 8,8%.
Hal ini dengan memperhitungkan target pertumbuhan ekonomi sejalan dengan rencana pembangunan industri
serta target rasio elektrifikasi yang mencapai 97,4%. Saat ini, konsumsi listrik terbesar masih berasal dari
golongan rumah tangga dan industri yang mencapai 76% dari total konsumsi.
Sumber: Kementerian ESDM, RUPTL PLN 2015-2024
Grafik VI.6. Perkembangan Produksi & Konsumsi Listrik
Sumber: Dewan Energi Nasional
Grafik VI.7. Konsumsi Listrik Per Sektor 2015
Untuk memenuhi kebutuhan energi listrik nasional, pemerintah menginisiasi proyek pembangunan listrik 35
GW yang tersebar di seluruh nusantara. Secara umum, pembangunan pembangkit proyek 35 GW sebagian
besar berada di wilayah Jawa dan Sumatera. Diluar proyek 35 GW, pemerintah juga masih melanjutkan
penyelesaian konstruksi pembangkit listrik yang merupakan bagian dari Fast Track Program (FTP) I & FTP II
42
sebesar 7,4 GW . Pada tahun 2019 ditargetkan terdapat penambahan kapasitas listrik ditargetkan sebesar
42,9 GW dengan commercial on date (COD) sebesar 19 GW.
Sebagian besar dari proyek listrik 35 GW merupakan proyek dengan pengembang listrik swasta. Secara
wilayah, pengembang listrik swasta mendominasi proyek pembangunan di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
Sementara, PLN lebih berperan dalam pembangunan proyek di KTI yang mencakup Sulawesi, Maluku, dan
Papua. Dari total 4632 MW yang direncanakan dibangun di KTI, 68% proyek akan dilaksanakan oleh PLN. Hal
41
Doing Business (World Bank) mengukur dan membandingkan regulasi yang berkaitan dengan siklus bisnis usaha kecil hingga menengah
di 189 wilayah.
42
Fast Track Program (FTP) Tahap I dan Tahap II dimulai pada tahun 2004.
43
Selengkapnya lihat Hausmann, R, Rodrik, D & Velasco, A 2005, 'Growth Diagnostic ', John F. Kennedy School of Government, Harvard
University, pp. 1-26.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 86
yang berkebalikan di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan yang mana keterlibatan swasta hampir mencapai 78%
dari seluruh proyek. Berdasarkan jenis pembangkit yang akan dibangun, sebagian besar dari proyek listrik 35
GW merupakan pembangkit dengan menggunakan batubara, disusul dengan tenaga air.
Sumatera
Kalimantan
Juta USD
11.327 MW
76 Pembangkit 14.281,5
19.305 kms
210 Transmisi 3.839,5
2.852 MW
Sulawesi &
Nusa Tenggara
68 Transmisi
1.122
4.159 MW
83 Pembangkit 5.433,7
324,3
7.207 kms
90 Transmisi 1.168,6
5.620 MVA 165 Gardu Induk
Total Indonesia
42.940 MW
46.597 kms
108.789 MVA
Juta USD
3.910 MVA 115 Gardu Induk
7.883 kms
32.406 MVA 398 Gardu Induk 2.475,2
Juta USD
40 Pembangkit 4.000,5
412,1
Juta USD
291 Pembangkit 53.663,1
732 Transmisi 10.893,1
1.375 Gardu Induk 8.386,4
Total
72.942,6*
*Belum termasuk kebutuhan dana untuk
tanah, Interest During Construction (IDC)
dan pajak-pajak
Catatan: Data per Juli 2015
Jawa-Bali
Juta USD
Maluku & Papua
Juta USD
23.863 MW
49 Pembangkit
28.955
739 MW
43 Pembangkit
11.185 kms
349 Transmisi
4.615
1.017 kms
15 Transmisi
148
66.083 MVA 672 Gardu Induk
5.114
770 MVA
25 Gardu Induk
60,8
Legenda:
MW: Megawatt
kms: Kilometer-sirkuit
992,4
MVA: Mega-volt ampere
Sumber: PLN
Gambar VI.5. Sebaran Proyek Listrik 35 GW
Hingga akhir semester I 2015, sebagian besar proyek 35 GW sudah dalam tahap pengadaan dan masih
sebagian kecil yang sudah memasuki tahap konstruksi. Hal ini tidak terlepas dari adanya sejumlah kendala
terutama terkait pengadaan lahan dan perijinan. Berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan di berbagai
daerah, kendala yang dihadapi dalam implementasi proyek 35 GW antara lain terkait dengan permasalahan
perijinan khususnya dalam hal ijin eksplorasi dan penetapan lokasi, serta ijin penggunaan kawasan hutan
lindung.
Rencana 35 GW
Sumber: PLN, diolah
Grafik VI.8. Sebaran Proyek 35 GW Berdasarkan Wilayah
Sumber: PLN
Grafik VI.9. Jenis Pembangkit Rencana
Untuk mengatasi berbagai kendala tersebut, berbagai langkah telah ditempuh oleh Pemerintah baik dalam
kerangka penyederhanaan perijinan maupun prioritas penggunaan lahan untuk infrastruktur strategis. Dalam
hal perizinan, Kementerian ESDM telah melakukan penyederhanaan perizinan ketenagalistrikan dari 52 izin
menjadi 29 izin dan waktu pengurusannya dari 923 hari menjadi 256 hari. Sejak awal tahun 2015, Kementerian
ESDM telah mendelegasikan perizinan ketenagalistrikan (termasuk EBT), diantaranya izin operasi, izin panas
L a p o r a n N u s a n t a r a | 87
bumi, penugasan survei pendahuluan panas bumi, penetapan wilayah usaha, dan izin usaha jasa penunjang
tenaga listrik. Sementara terkait dengan penyediaan lahan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
telah memproses berbagai perijinan yang menjadi kewenangannya, termasuk berbagai persetujuan prinsip
kepada PT. PLN. Namun, berbagai hal yang telah ditempuh di tingkat pusat memerlukan dukungan pemerintah
daerah yakni dengan mengoptimalkan fungsi Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan dengan mempercepat
proses penetapan peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW).
Sumber: PLN dan Kementerian ESDM, diolah
Grafik VI.10. Progress Pembangunan Proyek Listrik 35 GW Semester I 2015
Ke depan, upaya untuk mendorong penyediaan energi di daerah perlu dilakukan dengan mengubah demand
driven menjadi demand creation. Hal ini sangat penting guna mengarahkan pembangunan infrastruktur energi
yang lebih merata di seluruh nusantara. Untuk itu, diperlukan juga komitmen yang kuat dari pemerintah
daerah dalam pengembangan industrialisasi atau hilirisasi dengan tahapan yang jelas dan tertuang dalam
rencana pembangunannya.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 88
BOKS:
Growth diagnostic (GD) merupakan metode analisis yang mendiagnosa penyebab rendahnya pertumbuhan
ekonomi suatu negara atau wilayah yang difokuskan pada investasi. Metode ini dikembangkan oleh Hausman,
Rodrik, dan Velasco (HRV) pada tahun 2005. Metode GD berbasis decision tree yang ditujukan untuk
melakukan analisa hambatan-hambatan dalam berinvestasi di suatu negara (Grafik 1). Cabang utama dari
decision tree yaitu menganalisa kemungkinan rendahnya return dari aktivitas ekonomi dan kemungkinan
tingginya ongkos pembiayaan. Selanjutnya kedua cabang tersebut masing-masing memiliki beberapa cabang
tambahan, misalnya analisa kemungkinan faktor makro dan mikro yang dapat mempengaruhi tingkat
43
investasi. Pendekatan GD ini pada akhirnya bertujuan untuk memperoleh binding constraint yang
menghambat investasi.
kt
c
 t   (ct )(rt (at , t , xt , kt )(1   )   )
kt
ct
Low return to economic
activity
Low social returns
Poor
geography
Low
human
capital
High cost of finance
Inadequate
international finance
Low appropriability
Inadequate local
finance
Poor natural
resource
management
Infrastructure
bottlenecks
Micro risks:
property rights,
corruption,
taxes
Government
failures
Macro risks:
financial,
monetary,
fiscal instability
Market
failures
Information
externalities:
“self-discovery”
Low domestic
saving
Poor
intermediation
Need for
better
coordination
Gambar VI.6. Decision Tree HRV (2005)
Pada awal penelitiannya, HRV melakukan kajian GD pada Brasil, El Salvador, dan Republik Dominika. Mereka
menemukan bahwa saving menjadi masalah utama disamping human capital atau tingkat pendidikan labor di
Brasil. Sedangkan di El Salvador, investasi yang rendah disebabkan oleh rendahnya returns to capital, bukan
masalah ketersediaan saving. Permasalahan yang utama di El Salvador yaitu terkait dengan penerimaan pajak
yang rendah, kestabilan makro, birokrasi dan infrastruktur yang kurang memadai. Sementara itu, Republik
Dominika memiliki permasalahan terkait lemahnya institusional atau birokrasi, sistem keuangan yang kurang
kuat, dan juga permasalahan terkait fiskal.
Pada perkembangannya, metode decision tree digunakan dalam beberapa kajian GD di beberapa negara,
termasuk di Indonesia. Penelitian oleh ADB, ILO, dan IDB (2010) dengan pendekatan GD menunjukkan bahwa
permasalahan infrastruktur seperti jaringan transportasi dan listrik perlu menjadi perhatian. Hal yang sama
ditemukan oleh Anderson et al (2013) yang menemukan bahwa infrastruktur pelabuhan dan jalan merupakan
salah satu binding constraint di Indonesia. Pada tingkat Provinsi, World Bank telah melakukan kajian GD di
Provinsi Banda Aceh (2009) dan Provinsi Jawa Timur (2011). Hasil temuan di kedua Provinsi tersebut juga
terkait dengan masalah infrastruktur, namun dengan penekanan yang berbeda mengingat Provinsi Jawa Timur
43
Selengkapnya lihat Hausmann, R, Rodrik, D & Velasco, A 2005, 'Growth Diagnostic ', John F. Kennedy School of Government, Harvard
University, pp. 1-26.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 89
didominasi oleh sektor industri. Sehingga iklim investasi dan infrastruktur, masalah ketidakefisienan di
pelabuhan dan pasokan listrik untuk industri merupakan hambatan terbesar di Jawa Timur.
Tabel VI.5. The Most Binding Constraint di 24 Provinsi
Sumatera
Jawa
Kalimantan
KTI
Aceh:
1. Listrik
2. Pungutan liar
3. Kurangnya fasilitas pendukung
pasar
DKI Jakarta:
1. Kemacetan lalu lintas
2. Kondisi geografi
(banjir)
Kalsel:
1. Listrik
2. Kualitas jalan
3. Human capital
Sulut:
1. Listrik
2. Masalah upah
3. Human capital
Sumut:
1. Kualitas jalan
2. Listrik
3. Korupsi
4. Kriminalitas
Banten:
1. Listrik
2. Human capital
3. Kemudahan berbisnis
4. Pengagguran
Kaltim:
1. Listrik
2. Ketersediaan air bersih
3. Human capital
Sulsel:
1. Human capital
2. Masalah pergudangan
3. Irigasi
4. Listrik
Sumbar:
1. Kurangnya jalur kereta api
2. Listrik
3. Masalah tanah ulayat
4. Minimnya dukungan Pemda thd
investasi
Jabar:
1. Listrik
2. Ketersediaan
pelabuhan
3. Human capital
4. Teknologi
Kalteng:
1. Listrik
2. Human capital
3. Keterbatasan sarana angkutan
batubara
Maluku:
1. Listrik
2. Kapasitas pelabuhan
3. Human capital
Sumsel:
1. Human capital
2. Kualitas jalan
3. Listrik
4. Korupsi
Jateng:
1. Bandara
2. Irigasi
3. Kapasitas pelabuhan
4. Kualitas jalan
Kalbar:
1. Human capital
2. Listrik
3. Kualitas jalan
4. Keterbatasan pelabuhan sungai
Malut:
1. Kualitas jalan
2. Listrik
3. Kurangnya keragaman industri
Kepri:
1. Kapasitas pelabuhan
2. Listrik
3. Kemudahan berbisnis
4. Birokrasi
Yogyakarta:
1. Bandara
2. Masalah Pembiayaan
3. Masalah lahan
Bali
1. Human capital
2. Listrik
3. Kualitas jalan
4. Kapasitas bandara
Riau:
1. Listrik
2. Kapasitas pelabuhan
3. Korupsi
4. Birokrasi
Jatim:
1. Kapasitas pelabuhan
2. Kemudahan berbisnis
3. Kualitas jalan
4. Listrik
NTB
1. Human capital
2. Listrik
3. Kapasitas pelabuhan
4. Irigasi
Bengkulu:
1. Irigasi
2. Kualitas jalan
3. Masalah pembiayaan
Lampung:
1. Kualitas jalan
2. Listrik
3. Human capital
Kajian GD terkini dilakukan oleh Bank Indonesia di 24 Provinsi dari total 34 Provinsi yang ada pada tahun 2015.
Hasil kajian tersebut menemukan bahwa ketersediaan listrik menjadi the most binding constraint hampir di
44
semua Provinsi yang menjadi obyek studi (lihat Tabel 1). Hasil ini menunjukan bahwa kebutuhan energi listrik
sudah sangat mendesak. Tidak hanya untuk kebutuhan rumah tangga, listrik juga sangat dibutuhkan untuk
industri. Untuk mengembangkan industri di wilayah luar Jawa, seperti Kalimantan, ketersediaan pasokan listrik
menjadi salah satu syarat utama. Sehingga, hasil kajian GD mengkonfirmasi bahwa kebutuhan listrik
merupakan salah satu the most binding constraint. Adapun hambatan utama lainnya seperti masalah kualitas
jalan, kapasitas pelabuhan, birokrasi yang terkait dengan proses perijinan dan rendahnya kualitas sumber daya
manusia juga dirasakan mendesak untuk diperbaiki di beberapa Provinsi.
Dari hasil temuan the most binding constraint dalam berinvestasi, maka dilakukan simulasi Reform Impact
Assessment. Model yang digunakan untuk melakukan simulasi dimaksud yaitu model INDOTERM yang berbasis
45
Computable General Equilibrium (CGE). Hasil simulasi Reform Impact Assessment menggambarkan bahwa
kebijakan pembangunan listrik nasional berpotensi memberikan dampak positif ke pertumbuhan ekonomi di
46
seluruh wilayah Indonesia, terutama daerah luar Jawa. Bila dibandingkan dengan kondisi baseline tanpa
kebijakan struktural, rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional berpotensi meningkat 0.26% (Grafik 2) dan
penyerapan tenaga kerja berpotensi meningkat 0.62% (Grafik 3) di atas kondisi baseline. Dampak
44
Temuan ini juga telah diperkuat oleh hasil Focus Group Discussion (FGD) yang telah dilaksanakan di 10 Provinsi yaitu Sumatera Selatan,
DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Maluku, Maluku Utara, dan NTB.
45
Model CGE dimaksud menggunakan Tabel IRIO sehingga dapat meilhat link antar Provinsi di Indonesia.
46
Simulasi dilakukan oleh Staf DKEM-BI, dengan menggunakan model INDOTERM Multiregional Computable General Equilibrium© yang
dibangun oleh Bappenas, CoPS Australia, CEDS UNPAD, ADB dan USAID. Implementasi simulasi menggunakan software GEMPACK. Angka
estimasi yang disampaikan adalah hasil sementara penelitian GD oleh Bank Indonesia di tahun 2015.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 90
perekonomian terbesar akan dirasakan oleh Kalimantan dan KTI. Hal ini menggambarkan bahwa ketersediaan
listrik di luar Jawa sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja yang
lebih tinggi. Sementara itu, dampak yang kecil di daerah Jawa menggambarkan bahwa kebutuhan listrik dalam
kondisi business as usual sudah cukup besar, sehingga apabila target penyediaan tenaga listrik tidak tercapai,
maka pertumbuhan ekonomi berpotensi menjadi lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya.
Grafik VI.11. Dampak pada rata-rata gPDRB (2015-2020)*
*Selisih terhadap “baseline no policy” (poin persentase)
Grafik VI.12. Dampak pada Agregate Employment (20152020)**
**Selisih Kumulatif terhadap “baseline no policy” (poin
persentase)
Simulasi pembangunan listrik nasional dimodelkan dengan melalui dua skenario: (1) Terjadi peningkatan
investasi dalam membangun tambahan kapasitas listrik, dan (2) Terjadi peningkatan produktivitas di sektor
manufaktur akibat berkurangnya defisit listrik. Mengacu pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
(RUPTL) 2015-2024, pembangunan kapasitas listrik lebih diutamakan untuk daerah luar Jawa, sehingga
kapasitas listrik diasumsikan meningkat pada tahun 2019 dibandingkan kondisi saat ini sebesar (a) Jawa 35%,
(b) Sumatera dan Kalimantan 40%, dan (c) KTI 50%. Disamping itu, berkaitan dengan peningkatan
produktivitas, berdasarkan Worldbank Entreprise Surveys (2009), perusahaan manufaktur dan jasa di beberapa
wilayah Indonesia, telah mengalami kerugian sebesar 0,4-1,6% dari penjualan tahunan akibat terjadinya
pemadaman listrik. Kerugian terbesar dialami oleh sektor tekstil, karet dan barang yang terbuat dari karet,
serta pengolahan makanan.
Grafik VI.13. Dampak terhadap pertumbuhan output sektor
non jasa Kalimantan***
***persen kontribusi kenaikan total output non jasa di
Kalimantan)
Grafik VI.14. Dampak terhadap pertumbuhan ekspor
Kalimantan****
****persen kontribusikenaikan ekspor Kalimantan
terhadap nasional)
Di beberapa daerah, peningkatan kapasitas listrik juga perlu di dorong dengan transformasi perekonomian.
Hasil analisis sektoral pada spesifik regional Kalimantan sebagai daerah yang memperoleh benefit tertinggi,
menggambarkan bahwa pembangunan listrik nasional berpotensi mempertahankan pertumbuhan dan
kontribusi ekspor Kalimantan, terutama pada sektor-sektor yang merupakan pada modal (capital intensive),
L a p o r a n N u s a n t a r a | 91
seperti produk hasil olahan kilang minyak, LNG, dan kimia (Grafik VI.13). Untuk menopang pertumbuhan
ekonomi Kalimantan yang lebih terdiversifikasi dengan dampak penyerapan tenaga kerja formal yang lebih
besar dan beragam, diperlukan reformasi dibidang-bidang lain untuk melengkapi reformasi di sektor
kelistrikan. Kebijakan-kebijakan reformasi tersebut perlu ditujukan dalam upaya mendorong perbaikan daya
saing Kalimantan sebagai lokasi investasi sektor manufaktur padat karya, berbasis SDA dan berorientasi
ekspor. Hasil simulasi menunjukan terdapat peningkatan ekspor pada beberapa produk di Kalimantan (Grafik
VI.14). Simpul-simpul kebijakan yang perlu disegerakan antara lain adalah penyediaan lahan untuk industri
dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan hidup, penguatan iklim kemudahan berusaha dan
layanan birokrasi, penguatan infrastruktur konektivitas dan digital, penguatan fasilitasi perdagangan untuk
ekspor, dan penyediaan layanan dasar yang layak bagi penduduk dalam rangka menarik tenaga kerja ke
Kalimantan.
Dari hasil kajian GD dan simulasi tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan kapasitas listrik secara
bertahap dalam 5 tahun ke depan akan mendukung pertumbuhan ekonomi. Secara khusus dengan studi kasus
di Kalimantan, peningkatan kapasitas listrik dapat meningkatkan output maupun ekspor di industri petrokimia,
LNG, dan kimia. Mengingat ketiga industri tersebut tergolong dalam padat modal (capital intensive) yang
membutuhkan investasi dalam jumlah besar, maka dirasa perlu adanya reformasi dalam penyediaan enablers
industri, seperti pengadaan lahan untuk industri, penguatan iklim kemudahan berusaha dan layanan birokrasi
serta fasilitasi perdagangan untuk ekspor, penguatan infrastruktur, dan penyediaan layanan dasar publik
dalam rangka menarik tenaga kerja berkualitas ke Kalimantan.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 92
Lampiran
Tahun Dasar 2010
Indikator Makroekonomi Daerah
2014
2015
f
2015f
I
II
III
4.64
3.56
2.85
3.44
3.40 - 3.90
Kons ums i Ruma h Ta ngga
5.42
5.24
5.19
5.40
4.99 - 5.49
Kons ums i LNPRT
11.19 (3.10) (2.92) (9.75) (7.26) - (6.76)
Kons ums i Pemeri nta h
3.03
0.64
3.94
6.12
3.27 - 3.77
Pembentuka n Moda l Teta p Bruto
3.98
1.22
1.66
3.94
2.85 - 3.35
-
-
-
-
-
-
-
-
-
PDRB (%,yoy)
Sisi Permintaan
Eks por
Impor
Net Eks por
4.89
17.82 12.15 (2.16) 10.23 - 10.73
Perta ni a n, Kehuta na n, da n Peri ka na n
5.32
5.69
Perta mba nga n da n Pengga l i a n
(1.36) (3.66) (2.62) (1.34) (2.46) - (1.96)
Indus tri Pengol a ha n
4.69
2.24
3.09
3.25
2.73 - 3.23
Penga da a n Li s tri k da n Ga s
5.92
7.21
3.22
5.32
4.37 - 4.87
Penga da a n Ai r, Pengel ol a a n Sa mpa h, Li mba h da n Da ur Ul a ng
4.90
5.38
5.85
4.82
5.33 - 5.83
Kons truks i
7.03
3.56
2.43
5.07
3.96 - 4.46
Perda ga nga n Bes a r da n Ecera n, da n Repa ra s i Mobi l da n Sepeda Motor
5.73
4.88
4.16
4.90
4.50 - 5.00
Tra ns porta s i da n Perguda nga n
6.41
7.82
7.02
7.38
6.68 - 7.18
Penyedi a a n Akomoda s i da n Ma ka n Mi num
7.82
8.06
6.77
8.41
7.53 - 8.03
Informa s i da n Komuni ka s i
7.59
8.26
9.22
9.55
8.55 - 9.05
Ja s a Keua nga n da n As ura ns i
3.79
4.67
0.69
4.51
3.08 - 3.58
Rea l Es ta te
6.60
5.59
5.47
5.33
5.26 - 5.76
Ja s a Perus a ha a n
6.65
6.65
6.15
6.28
6.00 - 6.50
Admi ni s tra s i Pemeri nta ha n, Perta ha na n da n Ja mi na n Sos i a l Wa ji b
6.12
5.82
8.29
5.03
5.80 - 6.30
Ja s a Pendi di ka n
7.86
8.99
7.13
6.39
6.62 - 7.12
Ja s a Kes eha ta n da n Kegi a ta n Sos i a l
7.38
6.76
7.39
7.89
7.10 - 7.60
Ja s a l a i nnya
6.73
7.23
7.65
7.52
7.35 - 7.85
Provi ns i Aceh
1.65
(2.12) (1.72) (1.84)
(1.6) - (1.1)
Provi ns i Suma tera Uta ra
5.23
4.83
5.11
5.20
4.77 - 5.27
Provi ns i Suma tera Ba ra t
5.85
5.49
5.27
5.69
5.19 - 5.69
Provi ns i Ri a u
2.62
(0.03) (2.64) (1.08) (0.90) - (0.40)
Provi ns i Ja mbi
7.76
5.96
5.18
5.38
5.26 - 5.76
Provi ns i Kepul a ua n Ri a u
7.32
7.14
5.57
6.23
6.03 - 6.53
Provi ns i Suma tera Sel a ta n
4.68
4.74
4.87
5.64
4.96 - 5.46
Provi ns i Bengkul u
5.49
5.43
5.33
5.45
5.09 - 5.59
Provi ns i La mpung
5.08
4.93
5.07
5.17
4.78 - 5.28
Provi ns i Kep. Ba ngka Bel i tung
4.68
4.11
3.93
4.25
3.83 - 4.33
Sisi Produksi
2.29
2.30
3.50 - 4.00
PDRB (%,yoy)
L a p o r a n N u s a n t a r a | 93
Tahun Dasar 2010
Indikator Makroekonomi Daerah
2014
2015
I
II
IIIf
2015f
Inflasi IHK (%,yoy)
8.62
6.12
7.74
7.85
4.22 - 4.72
Provi ns i Aceh
8.08
5.45
6.24
6.16
4.22 - 4.72
Provi ns i Suma tera Utara
8.17
6.14
7.81
8.13
4.51 - 5.01
Provi ns i Suma tera Ba ra t
11.57
6.28
8.17
8.16
3.88 - 4.38
Provi ns i Ri a u
8.64
6.17
7.39
6.58
3.31 - 3.81
Provi ns i Kepul a ua n Ri a u
7.59
5.66
8.21
8.57
4.75 - 5.25
Provi ns i Ja mbi
8.75
4.88
6.42
7.17
3.81 - 4.31
Provi ns i Suma tera Sel a tan
8.48
6.26
7.49
7.69
3.64 - 4.14
Provi ns i Bengkul u
10.85
7.65
9.90
9.02
4.23 - 4.73
Provi ns i La mpung
8.09
6.64
8.17
8.69
4.49 - 4.99
Provi ns i Kep. Ba ngka Bel i tung
9.04
6.74
6.90
6.50
4.75 - 5.25
Kredit Perbankan (%, yoy)
9.43
10.12
8.60
DPK (%, yoy)
12.12 13.76 10.70
L a p o r a n N u s a n t a r a | 94
Tahun Dasar 2010
Indikator Makroekonomi Daerah
PDRB (%,yoy)
2014
5.59
2015
2015f
I
II
IIIf
Ivf
5.13
5.07
5.3
5.5
4.96
4.72
4.9
4.9
4.7 - 5.1
0.8
2.0
(5.9) - (5.5)
5.1 - 5.5
Sisi Permintaan
Konsumsi Rumah Tangga
4.81
Konsumsi LNPRT
12.79
Konsumsi Pemerintah
2.86
0.58
1.29
3.7
4.8
2.7 - 3.1
Pembentukan Modal Tetap Bruto
4.82
5.07
4.70
5.1
5.1
5.4 - 5.8
Ekspor
6.53
4.83
1.77
2.7
4.1
4.2 - 4.6
(11.80) (12.23)
Impor
2.28
0.23
(4.85)
-1.0
3.8
4.1 - 4.5
Net Ekspor Antar Daerah
(1.69)
(1.88)
(6.91)
-2.1
-2.2
(0.6) - (0.2)
Sisi Produksi
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
0.80
2.06
6.04
4.4
3.6
3.9 - 4.3
Pertambangan dan Penggalian
3.54
(0.37)
5.99
1.7
3.5
2.5 - 2.9
Industri Pengolahan
5.87
4.69
3.78
4.2
4.5
4.1 - 4.5
Pengadaan Listrik dan Gas
4.09
(4.23)
(3.41)
0.0
2.9
(1.4) - (1.0)
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang
3.32
4.73
4.33
5.3
4.4
4.5 - 4.9
Konstruksi
5.45
4.74
3.69
5.7
6.7
5.0 - 5.4
Perdagangan Besar, Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor
4.44
4.36
4.34
4.5
4.8
4.3 - 4.7
Transportasi dan Pergudangan
6.70
8.41
8.57
8.7
8.0
8.2 - 8.6
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum
9.41
6.21
6.45
6.3
6.6
6.2 - 6.6
Informasi dan Komunikasi
11.14
9.98
10.05
10.7
9.3
9.8 - 10.2
Jasa Keuangan dan Asuransi
4.82
7.64
3.13
4.0
4.3
4.5 - 4.9
Real Estate
6.07
5.64
4.98
5.7
5.7
5.3 - 5.7
Jasa Perusahaan
8.91
7.19
7.65
7.8
7.6
7.4 - 7.8
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib
2.29
2.87
4.00
3.8
4.1
3.5 - 3.9
Jasa Pendidikan
7.39
6.80
8.43
8.2
6.8
7.4 - 7.8
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial
8.88
8.69
7.67
8.6
7.3
7.9 - 8.3
Jasa lainnya
8.19
7.75
6.44
6.6
9.0
7.3 - 7.7
PDRB (%,yoy)
5.59
5.10
5.07
5.3
5.5
5.1 - 5.5
DKI Jakarta
5.95
5.08
5.15
5.2
5.5
5.0 - 5.4
Jawa Barat
5.07
4.93
4.88
5.0
5.1
4.8 - 5.2
Banten
5.47
5.69
5.26
5.4
5.4
5.2 - 5.6
Jawa Tengah
5.42
5.55
4.84
5.4
5.7
5.1 - 5.5
DI Yogyakarta
5.18
4.20
4.72
5.1
5.2
4.6 - 5.0
Jawa Timur
5.86
5.18
5.25
5.7
5.8
5.3 - 5.7
Inflasi IHK (%,yoy)
8.35
6.31
7.07
7.14
4.07
3.9 - 4.3
DKI Jakarta
8.95
7.10
7.59
7.48
4.38
4.2 - 4.6
Jawa Barat
7.60
5.46
6.51
6.51
3.47
3.3 - 3.7
Banten
10.20
7.46
8.91
9.13
5.16
5.0 - 5.4
Jawa Tengah
8.21
5.64
6.15
6.85
3.94
3.7 - 4.1
DI Yogyakarta
6.59
5.12
5.68
5.25
3.83
3.6 - 4.0
Jawa Timur
Kredit Perbankan (%, yoy)
7.77
12.14
6.17
11.70
6.77
10.67
6.92
4.02
3.8 - 4.2
DPK (%, yoy)
12.84
16.95
13.40
L a p o r a n N u s a n t a r a | 95
Tahun Dasar 2010
Indikator Makroekonomi Daerah
PDRB (%,yoy)
2014
3.2
2015
IIIf
I
1.7
II
1.5
1.7
2015f
1.40 - 1.90
Sisi Permintaan
Konsumsi Rumah Tangga
4.68
3.31
3.40
3.66
3.17 -3.67
Konsumsi LNPRT
8.70
-4.58
3.64
5.36
2.53 - 3.03
Konsumsi Pemerintah
4.19
9.75
8.84
9.70
4.39 - 4.89
Pembentukan Modal Tetap Bruto
6.07
5.91
3.96
4.50
7.08 - 7.58
Ekspor
-1.79
2.82
1.07
-
0.73 - 1.23
Impor
-3.24
9.55
8.29
-
5.57 - 6.07
Sisi Produksi
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
4.25
3.93
5.10
5.73
4.51 - 5.01
Pertambangan dan Penggalian
0.08
-0.51
-2.61
-2.99
(2.61) - (2.11)
Industri Pengolahan
2.19
-3.05
-0.63
-0.09
(0.81) - (0.31)
Pengadaan Listrik dan Gas
15.81
44.76
33.30
40.60
30.03 - 30.53
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang
6.65
3.40
5.57
5.60
5.14 - 5.64
Konstruksi
7.50
5.18
3.61
5.52
4.73 - 5.23
Perdagangan Besar, Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor
5.43
3.54
3.62
3.12
3.55 - 4.05
Transportasi dan Pergudangan
6.73
6.65
7.10
4.67
5.62 - 6.12
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum
5.93
5.21
6.68
6.73
6.36 - 6.86
Informasi dan Komunikasi
10.47
11.57
10.24
9.39
9.74 - 10.24
Jasa Keuangan dan Asuransi
5.24
4.84
-0.48
3.79
2.87 - 3.37
Real Estate
6.86
5.61
4.41
4.49
4.70 - 5.20
Jasa Perusahaan
8.18
3.20
2.18
5.29
3.86 - 4.36
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib
7.95
7.82
13.48
12.23
11.29 -11.79
Jasa Pendidikan
9.88
9.84
10.25
10.93
9.41 - 9.91
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial
7.43
7.17
10.36
9.70
9.27 - 9.77
7.22
6.38
7.91
8.57
7.78 - 8.28
Jasa lainnya
PDRB Per Provinsi (%,yoy)
Kalimantan Selatan
4.85
3.92
3.18
3.68
3.21 - 3.71
Kalimantan Timur & Utara
2.02
-0.32
-0.25
-0.17
(0.38) - 0.12
Kalimantan Barat
5.02
4.79
4.01
4.61
4.26 - 4.76
Kalimantan Tengah
Inflasi IHK (%,yoy)
6.21
7.70
7.30
6.98
7.33
6.47
7.66
6.53 - 7.03
7.87
Kalimantan Selatan
7.28
7.00
6.07
6.53
4.51 - 4.91
Kalimantan Timur & Utara
7.67
7.08
7.55
8.06
4.72 - 5.12
Kalimantan Barat
4.83 - 5.23
9.43
8.94
9.04
9.17
5.82 - 6.22
Kalimantan Tengah
Kredit Perbankan (%, yoy)
7.07
9.69
5.90
7.59
5.85
7.44
5.52
4.06 - 4.46
DPK (%, yoy)
5.25
8.03
6.46
L a p o r a n N u s a n t a r a | 96
Tahun Dasar 2010
Indikator Makroekonomi Daerah
PDRB (%,yoy)
Sisi Permintaan
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi Lembaga Nonprofit Rumah Tangga
Konsumsi Pemerintah
Pembentukan Modal Tetap Bruto
Ekspor Luar Negeri
Impor Luar Negeri
Net Ekspor Antardaerah
Sisi Produksi
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
Pertambangan dan Penggalian
Industri Pengolahan
Pengadaan Listrik dan Gas
Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang
Konstruksi
Perdagangan Besar, Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor
Transportasi dan Pergudangan
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum
Informasi dan Komunikasi
Jasa Keuangan dan Asuransi
Real Estate
Jasa Perusahaan
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib
Jasa Pendidikan
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial
Jasa lainnya
PDRB Per Provinsi (%, yoy)
Provinsi Sulawesi Selatan
Provinsi Sulawesi Barat
Provinsi Sulawesi Tenggara
Provinsi Sulawesi Tengah
Provinsi Gorontalo
Provinsi Sulawesi Utara
Provinsi Maluku Utara
Provinsi Maluku
Provinsi Papua Barat
Provinsi Papua
Provinsi Bali
Provinsi Nusa Tenggara Barat
Provinsi Nusa Tenggara Timur
2014
2015
2015f
6.03
I
6.84
II
9.01
IIIf
8.64
7.7 - 8.1
6.03
10.05
4.59
8.75
-9.79
9.86
-10.68
6.02
-3.95
6.42
9.72
29.09
-12.89
49.52
5.88
-1.42
4.93
10.46
56.32
0.10
38.81
5.95
4.15
9.55
9.34
20.55
16.70
15.20
5.8 - 6.2
0.9 - 1.3
5.9 - 6.3
8.7 - 9.1
27.7 - 28.1
5.0 - 5.4
23.4 - 23.8
6.60
-2.99
7.94
9.66
5.57
8.39
7.56
6.84
7.04
7.26
6.77
7.70
7.68
8.09
7.38
8.74
7.58
4.16
10.52
4.78
11.86
2.42
9.22
6.04
6.46
6.89
7.34
9.99
6.91
4.00
6.27
8.92
7.86
7.12
6.46
21.81
9.98
1.74
3.54
9.25
6.67
7.21
5.40
7.38
3.11
6.60
5.20
7.17
8.33
8.12
6.89
4.35
20.16
12.18
6.97
4.87
7.16
7.94
7.53
7.07
7.73
6.36
6.61
6.20
6.86
7.31
7.88
6.62
4.9 - 5.3
13.5 - 13.9
10.4 - 10.8
6.9 - 6.3
3.9 - 4.3
8.0 - 8.4
7.2 - 7.6
6.8 - 7.2
6.6 - 7.0
7.5 - 7.9
6.3 - 6.7
6.8 - 7.2
5.7 - 6.1
6.8 - 7.2
7.3 - 7.7
7.4 - 7.8
6.9 - 7.3
7.57
8.73
6.26
5.11
7.29
6.31
5.49
6.70
5.38
3.25
6.72
5.06
5.04
5.36
5.85
5.79
16.81
4.72
6.41
5.26
4.06
-1.78
5.79
6.21
16.52
4.64
7.62
8.40
7.45
15.72
6.37
6.27
6.54
5.80
7.39
12.77
6.02
16.51
5.03
7.29
6.52
7.63
13.85
7.05
6.46
6.61
6.81
6.08
3.25
6.12
31.30
5.43
7.1 - 7.5
7.1 - 7.5
7.1 - 7.5
14.8 - 15.2
6.3 - 6.7
6.3 - 6.7
6.1 - 6.5
5.9 - 6.3
4.8 - 5.2
7.5 - 7.9
6.0 - 6.4
14.1 - 14.5
5.0 - 5.4
L a p o r a n N u s a n t a r a | 97
Tahun Dasar 2010
Indikator Makroekonomi Daerah
Inflasi IHK (%,yoy)
Provinsi Sulawesi Selatan
Provinsi Sulawesi Barat
Provinsi Sulawesi Tenggara
Provinsi Sulawesi Tengah
Provinsi Gorontalo
Provinsi Sulawesi Utara
Provinsi Maluku
Provinsi Maluku Utara
Provinsi Papua
Provinsi Papua Barat
Provinsi Bali
Provinsi Nusa Tenggara Barat
Provinsi Nusa Tenggara Timur
Kredit Perbankan (%, yoy)
DPK (%, yoy)
2014
8.31
8.61
7.89
8.45
8.84
6.14
9.67
7.19
9.35
9.11
6.56
8.43
7.22
7.76
11.20
13.28
2015
I
6.83
7.13
6.68
7.80
5.28
5.28
7.99
9.07
7.92
6.84
7.00
6.42
5.98
5.39
14.57
13.51
II
7.21
7.20
6.28
7.72
5.87
5.82
7.97
8.73
8.92
9.10
7.45
6.95
6.73
5.60
12.38
13.43
IIIf
7.41
8.09
7.75
6.43
5.78
6.06
8.93
9.50
6.47
7.85
8.28
7.44
5.56
6.11
2015f
4.4 - 4.8
4.7 - 5.1
4.5 - 4.9
2.6 - 3.0
3.2 - 3.6
3.9 - 4.3
4.2 - 4.6
7.6 - 8.0
5.1 - 5.5
4.9 - 5.3
6.1 - 6.5
4.1 - 4.5
3.9 - 4.3
3.9 - 4.3
L a p o r a n N u s a n t a r a | 98
Penanggung Jawab dan Editor
Arief Hartawan
Koordinator Penyusun
Handri Adiwilaga
Tim Penulis
Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
Grup Asesmen Ekonomi
:
Grup Riset Ekonomi
:
Departemen Regional I
(Sumatera)
Departemen Regional II
(Jawa)
Departemen Regional III
(Kalimantan)
Departemen Regional IV
(Kawasan Timur Indonesia)
:
:
:
:
Darius Tirtosuharto
Neva Andina
Puput Kurniati
Maximilian T. Tutuarima
Nurul Pratiwi Andi Parenrengi
Anggi Adiprasetio
Donni Fajar Anugrah
Yenny Fridayanti
Febby Leorisa
Septine Wulandini
Komalia Rahmayani
Rizki Fitrama
Adela Putri Rizkia
Bernad Hasiholan
Evy Marya Deswita Siburian
Andree Breitner Makahinda
Laporan Nusantara
Laporan Nusantara
Download