B.67.3.04 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Air merupakan material primer yang sangat penting dalam domestik maupun
industri. Kebutuhan terhadap air yang bersih, memenuhi persyaratan standar, serta
terjamin ketersediaannya (Peraturan Pemerintah nomor 82, 2001) bertambah
cukup signifikan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan area
perindustrian. Penyediaan air bersih tersebut saat ini tak dapat digantungkan pada
ketersediaan alami. Laporan organisasi lingkungan dunia yang bermarkas di
Swiss, World Wide Fund, menyebutkan sungai-sungai besar di setiap benua
mengering dan terancam kekurangan pasokan air. Perubahan iklim, polusi, serta
pengambilan air berlebihan untuk pertanian dan bendungan adalah sejumlah
alasan mengapa sumber air berharga itu tak dapat diandalkan lebih lama lagi
(www.kompas.com).
Pada kenyataannya air adalah elemen melimpah di atas bumi, meliputi 70%
permukaan dan berjumlah ±1,4.109 km3. Meskipun demikian, hanya sebagian
kecil dari jumlah ini yang benar-benar dimanfaatkan yaitu ±0,003%. Sebagian
besar air (± 97%) berada dalam samudera atau laut, dan kadar garamnya terlalu
tinggi untuk berbagai keperluan. Dari 3% sisanya, hampir semuanya (±87%)
tersimpan dalam lapisan kutub atau sangat dalam di bawah tanah. Dalam setahun,
rata-rata jumlah tersebut tersisa 40.000 km3 air. Bila dibandingkan dengan jumlah
penyedotan yang kini di atas 3.000 km3/tahun, ketersediaan ini (±7.000 m3/orang)
sekilas cukup menjamin persediaan bagi setiap penduduk, namun sumbernya
seringkali berada pada tempat yang jauh dari permukiman (Middleton, 2005).
Sementara itu, kebutuhan air baik bagi industri maupun domestik sangat besar.
Menurut WHO, jumlah air minum yang harus dipenuhi agar mencapai syarat
kesehatan adalah 86,4 L/kapita/hari, sedangkan kondisi di Indonesia ditentukan 60
B.67.3.04
1
L/kapita/hari. Direktorat Jenderal Departemen Pekerjaan Umum membagi standar
kebutuhan air minum berdasarkan lokasi wilayah :
Tabel 1.1 Kebutuhan Rata-rata Air Minum Wilayah di Indonesia
Wilayah
Kebutuhan Air Minum
Pedesaan
60 L/kapita/hari
Kota kecil
90 L/kapita/hari
Kota sedang
110 L/kapita/hari
Kota besar
130 L/kapita/hari
Kota metropolitan
150 L/kapita/hari
Sumber : (www.pontianakpost.com)
Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan air baik secara
alami maupun rekayasa untuk memenuhi kebutuhan yang sangat besar tersebut.
Pengolahan air secara alami bersifat terbatas dengan melibatkan komunitas lokal,
lembaga swadaya, dan pemerintah. Hal ini umumnya bersifat konservasi dan
preservasi (Middleton, 2005). Sedangkan pengolahan air dalam skala besar
berpijak pada terutama teknologi filtrasi dan reverse osmosis. Teknologi ini
digunakan dalam 3 jenis pengolahan air secara rekayasa, yakni pengolahan air laut
(desalinasi), pengolahan air limbah industri / rumah tangga (reklamasi), serta
pengolahan air permukaan (regenerasi). Teknologi RO menggunakan membran
sebagai material utama, sedangkan teknologi filtrasi ada yang menggunakan
material membran, dan ada pula yang tetap konvensional seperti koagulasi,
flokulasi, dan sedimentasi. Teknologi membran filtrasi dapat dikategori
berdasarkan ukuran partikel yang hendak dipisahkan yakni: mikrofiltrasi,
ultrafiltrasi, dan nanofiltrasi.
B.67.3.04
2
Gambar 1.1 Ukuran Partikel
P
Padaa Proses Pem
misahan Mennggunakan Membran
M
P
Produksi
airr bersih den
ngan mengggunakan meembran (Gaambar 1.2) merupakan
m
m
metode
yanng paling berkembanng di duniia dalam dekade terrakhir ini.
P
Penggunaan
nnya terus meningkat
m
seccara tajam seeperti yang ditunjukkan pada tabel
1.2 (Wentenn, 2003).
Gambar 1..2 Penjualann Tahunan M
Membran dan
n Membran M
Modul pada Berbagai
Variasi Proses Pem
misahan
Tabel 1.22 Metode Prooses Pemisaahan dengan Membran paada Pengolaahan Air
Sektorr Industri
Airr Minum
Airr Demineralisasi
B
B.67.3.04
Proses Meembran
NF, UF, RO
RO, ED, EDI
3
Pengolahan Air Limbah
Langsung (fisik)
MBR
MF, NF, RO, ED
MF, UF
Keutamaan teknologi proses membran ini secara umum adalah konsumsi energi
yang rendah, simpel, kompak, mudah digunakan, dan ramah lingkungan (Wenten,
2003). Karakter yang menguntungkan tersebut menjadikan teknologi membran
dapat berkembang dengan pesat. Salah satu teknologi yang termasuk baru dalam
ranah membran adalah membran distilasi-kristalisasi dan membran kristalisator.
Membran distilasi-kristalisasi (MDC) adalah metode pemisahan pada membran
tak terbasahi berpori mikro dengan umpan fasa cair pada satu sisi dan permeat uap
terkondensasi pada sisi lain (Curtin, 1984), yang digabungkan dengan proses
kristalisasi pada sisi retentat (Drioli, 2001). Sedangkan membran kristalisator
(MCr) adalah proses MDC itu sendiri (Curcio, 2001) atau kombinasi MDC
dengan proses membran lain berbasis tekanan (Macedonio, 2007). Kata MDC
pertama kali diperkenalkan oleh Wu dkk (1989), sedangkan kata MCr pertama
kali diperkenalkan oleh Curcio dkk. (2001). Distilasi dengan membran pertama
kali dilakukan menggunakan karet silikon pada proses desalinasi (Bodell, 1963).
Namun perkembangannya sangat lambat karena produksi fluks membran distilasi
jauh di bawah produksi fluks RO. Baru pada pertengahan 1980-an, membran
distilasi dengan karakteristik yang lebih baik berkembang secara meluas.
Membran distilasi (MD) mampu memanfaatkan panas buang rendah dan/atau
energi alternatif seperti energi geotermal, energi matahari, dan energi nuklir (ElBourawi, dkk., 2006). Sehingga membran distilasi tidak hanya mampu
menggantikan teknologi tradisional seperti Multi Effect Distillation (MED), Multi
Stage Flash (MSF), dan Vapour Compression (VC), namun juga teknologi masa
depan yang menempati pasar tersendiri yang prospektif (Bruggen, 2003).
Dalam perkembangannya, MD dapat dikombinasikan dengan berbagai proses lain
sebagai pretreatment ataupun posttreatment. Hal ini diketahui dapat memperbesar
B.67.3.04
4
efisiensi pemisahan pada keseluruhan sistem. Beberapa penelitian telah
melaporkan hal tersebut, diantaranya bahwa gabungan RO-MD memiliki recovery
factor sampai 88%, naik cukup signifikan dibandingkan RO tunggal dengan
recovery factor sampai 40% (Drioli dkk., 2002). Proses pretreatment dapat
berupa kombinasi RO, UF, MF, NF, MED, DO, dan OD. Sedangkan proses
posttreatment dapat berupa crystallizer atau fermentor. Integrasi MCr dapat
mengeliminasi permasalahan mengenai terbentuknya kristal yang sangat kecil dan
lambat akibat level tinggi lewat jenuh yang terjadi pada permukaan evaporatif
kristalisasi. Hal ini disebabkan MCr memisahkan proses fundamental pada
pembentukan kristalisasi, yakni (a) penguapan pelarut terjadi dalam modul
membran sampai kondisi larutan mendekati kondisi metastabil dan/atau lewat
jenuh kemudian (b) dialirkan ke kristalisator hingga terbentuk kristal (Drioli dkk.,
2001).
Berbeda dengan RO yang menyisakan larutan garam sebagai effluent proses, MCr
dapat menghasilkan kristal garam yang dapat diatur ukuran dan homogenitasnya
sebagai produk bagi rumah tangga maupun industri serta air bersih dengan
kualitas air baku, bahkan dapat pula ditingkatkan sampai kualitas air minum. Hal
ini dapat dilakukan karena MCr memproduksi air bersih dari kondensasi uap air
pada sisi permeat dan kristalisasi garam pada sisi retentatnya.
Penelitian tentang MCr harus terus dilakukan hingga teknologi tersebut mencapai
bentuknya yang paling ideal serta berkomponen biaya sangat bersaing, karena
teknologi ini memiliki masa depan yang cukup menjanjikan (Drioli, 1985).
Wilayah Indonesia yang sangat luas garis pantai dan lautnya sampai saat ini
belum terberdayakan dan dikelola dengan baik, sementara jumlah penduduknya
yang besar menguras sumber daya air permukaan secara tak terkendali. Suatu hal
yang dapat dimaklumi jikalau banyak wilayah Indonesia kekurangan air, bahkan
hal tersebut terjadi di sekitar tepi pantai. Indonesia juga harus mengimpor garam
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yakni sekitar 60% (www.depdagri.co.id,
2006) atau sekitar 400.000 ton tiap tahunnya (www.tempointeraktif.com, 2004),
B.67.3.04
5
oleh sebab produktivitas tahunan garam Indonesia yang kalah jauh dibanding
Perancis, Amerika, dan juga Australia (Soerawidjaja, 2002).
Sesuai dengan penjelasan pada bagian atas, Indonesia tak dapat mengandalkan
sumber air alami lebih lama lagi. Ketimpangan antara kebutuhan dengan
ketersediaan air harusnya menjadikan Indonesia lebih giat dalam mencari dan
mengembangkan teknologi yang dapat mengatasi masalah tersebut dengan sangat
baik. Teknologi MCr adalah alternatif yang dapat dikembangkan dengan sejumlah
keunggulannya yang mampu diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan di
Indonesia.
1.2.Rumusan Masalah
Kelemahan penting teknologi membran distilasi adalah produktivitas fluksnya
yang relatif lebih rendah dibanding reverse osmosis. Jikalau membran
dikombinasikan dengan kristalisator maka teknologinya menjadi lebih kompleks
untuk dioptimasi karena harus memperhatikan kondisi lewat jenuh dari garam laut
serta kemungkinan terbentuknya kristal pada permukaan membran.
MCr (dalam bahasan ini dapat pula diartikan MDC) sebagai teknologi desalinasi
terus diteliti dan dikembangkan sampai saat ini. Berbagai publikasi, jurnal, dan
paten diterbitkan, pun pilot plant MCr telah didirikan di negara-negara maju,
meskipun demikian MCr memang belum terimplementasikan dalam dunia
perindustrian. El-Bourawi (2006) melaporkan dalam review-nya bahwa faktor
utama hambatan komersial MCr adalah :
a. Fluks permeat yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan proses
pemisahan dengan membran lain seperti reverse osmosis.
b. Penurunan fluks permeat oleh sebab polarisasi konsentrasi dan temperatur,
serta pembasahan parsial / total membran.
B.67.3.04
6
c. Membran dan modul desain membran yang belum komprehensif dan
terstandarisasi.
d. Biaya ekonomi dan energi yang yang belum terkuantifikasi pada setiap
konfigurasi MD, terutama dalam sistem kombinasi dengan proses lain.
Desalinasi reverse osmosis adalah teknologi yang diterapkan paling besar di
seluruh dunia (Drioli, 2007). Memiliki standar industri yang lengkap serta makin
kompetitif dengan biaya yang makin rendah tiap tahun (Wenten, 2004). MCr
memiliki keunggulan tersendiri dibanding dengan RO stand-alone, namun belum
memiliki karakteristik dasar yang dibutuhkan dalam desalinasi, yakni fluks
permeat yang tinggi. Produktivitas ini dapat dicapai pada temperatur yang lebih
tinggi namun pencapaian temperatur feed yang mendekati titik didih air tidaklah
efisien bagi MCr.
Penurunan fluks akibat double polarization menyebabkan kinerja MCr tidak dapat
bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama. Polarisasi konsentrasi dapat diatasi
dengan backflushing secara cukup efektif untuk mencegah reversible fouling,
namun hal ini berlaku pada konsentrasi solut yang rendah. Pada konsentrasi feed
brine, solut malah dapat membentuk deposisi yang cukup besar, baik itu berasal
ion monovalen maupun bivalen. Polarisasi temperatur merupakan komponen
resistansi berupa boundary layer terbesar pada MCr. Nilainya semakin besar
dengan peningkatan temperatur umpan (pada sisi lain hal tersebut merupakan
usaha untuk memperbesar fluks) (Alklaibi dkk., 2006).
Sementara itu, proses kristalisasi dengan membran memiliki dua alternatif proses.
Pertama, kristalisasi dilakukan dalam membran, dan kedua, kristalisasi dilakukan
di luar membran. Pilihan pertama merupakan hal yang termudah karena membran
dapat menghasilkan garam pada umpan brine, namun hal ini tidak terlalu
diinginkan karena deposisi dalam membran selain menurunkan fluks total juga
memperpendek umur membran (Gryta, 2006). Pilihan terbaik adalah kristal
membran terbentuk di luar modul, dengan membran mampu menghasilkan
retentat dalam kondisi hampir jenuh. Hal ini semakin baik jika fluks yang
B.67.3.04
7
diproduksi tetap tinggi setara dengan produksi fluks rata-rata reverse osmosis
stand-alone. Permasalahannya adalah, pada kondisi hampir jenuh ternyata
membran distilasi menunjukkan hasil yang kurang baik. Sehingga membran
distilasi akan bekerja pada kisaran konsentrasi hampir jenuh. Membran juga akan
bekerja dengan baik jika umpan yang masuk berada dalam kondisi steady state,
hal ini dapat dilakukan jika terdapat salt management yang cukup baik juga.
1.3. Tujuan
1. Menyelidiki kinerja membran distilasi vakum (VMD) pada temperatur
moderat.
2. Mengamati kondisi operasi membran kristalisator untuk mendapatkan kondisi
supersatured brine pada retentat.
3. Memperoleh gambaran integrasi modul VMD dengan Reverse Osmosis.
4. Memperoleh kinerja vacuum reverse osmosis (VRO) sebagai sistem
pendukung VMD.
1.4. Ruang Lingkup
Umpan yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan 3% w/w NaCl untuk
VMD dan 3-20% untuk VRO. Bahan yang digunakan hanya NaCl karena
komposisi bahan terhadap total garam di laut adalah 78%. Untuk memisahkan
garam dengan air, digunakan 2 macam membran yaitu membran hidrofobik dan
hidrofilik (dense). Jenis modul hidrofobik yang digunakan adalah hollow fibre
dengan luas efektif 0.5 m2 dan modul hidrofilik yang digunakan adalah spiral
wound dengan luas efektif 0.25 m2. Kondisi proses yang divariasikan adalah
temperatur umpan untuk VMD dan konsentrasi umpan untuk VRO.
B.67.3.04
8
Download