Bab VI: Kesimpulan dan Rekomendasi 6.1. Kesimpulan Melalui berbagai serangkaian aktivitas pelacakan data dan kemudian menganalisisnya dari berbagai perspektif, beberapa pernyataan ditawarkan dalam uraian kesimpulan ini. Pernyataan-pernyataan itu merupakan abstraksi atas fenomena di seputar wacana Pancasila, dan sekaligus merupakan jawaban atas pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini. Tentu saja beberapa tesis yang diajukan dalam penelitian masih bersifat terbuka, dalam arti tidak mengklaim kebenaran mutlak, sehingga masih mengandung beberapa kekurangan. Namun demikian abstraksi atas berbagai fenomena di seputar isu Pancasila pada era reformasi tetap menyediakan potensi untuk ditarik sebagai sebuah teori, terutama yang berkaitan dengan ideologi. Terkait dengan pertanyaan bagaimana pasang-surut wacana Pancasila dalam kontestasi di kalangan kekuatan sosial politik dalam dinamika politik pada era reformasi, ternyata pasang-surut tersebut berhubungan dengan dinamika tarik-menarik kepentingan di antara kekuatan-kekuatan politik yang bermain. Wacana Pancasila mengalami kondisi pasang justru ketika muncul permasalahan konflik antaragama dan antaretnis berada dalam tensi tinggi. Tetapi tidak hanya berkait dengan isu konflik saja, isu ekses modernisasi juga menyebabkan pasangnya wacana Pancasila. Oleh karena itu setidaknya ada dua faktor penting yang membuat wacana Pancasila pada era reformasi mengalami pasang-surut, yaitu pertama munculnya peristiwa intoleransi baik berbasis perbedaan agama maupun etnis, dan kedua menguatnya gaya hidup modern yang dieksploitasi konsumsi. 184 Ketika kehidupan berbangsa sedang dihadapkan pada munculnya berbagai tindak intoleransi yang bersumber pada keyakinan agama, maka wacana Pancasila menguat. Pada saat terjadi konflik antaragama di Ambon Maluku, dan kemudian meluas hingga Poso Sulawesi, produksi wacana Pancasila sebagai dasar kehidupan kerukunan umat beragama mengalami pasang. Demikian pula jika terjadi konflik-konflik antaretnis juga berbanding lurus dengan peningkatan produksi wacana Pancasila. Ketika terjadi konflik antaretnis di beberapa titik konflik di Kalimantan pada awal milinium 2000, antara suku Dayak dan Madura, wacana yang diproduksi oleh segenap tokoh juga meningkat. Isu persatuan dan kesatuan sebagai bangsa Indonesia terangkat kembali, dan diskusi tentang NKRI pun menyebar di berbagai forum dan pemberitaan media massa. Negara yang terasa lemah, dan kurang berdaya menghadapi permasalahan konflik etnis pun diingatkan agar menggunakan Pancasila sebagai instrumen pemersatu. Pada situasi semacam itu, wacana Pancasila menguat, dan orang pun ingat bahwa bangsa Indonesia memiliki Pancasila yang menekankan pentingnya persatuan sebagaimana tercantum pada sila tiga yaitu Persatuan Indonesia. Namun demikian, ketika Indonesia menghadapi persoalan di seputar isu kesejahteraan, tidak diikuti oleh menguatkan produksi wacana Pancasila. Ketika dihadapkan pada masalah kemiskinan misalnya, tidak mengaitkannya dengan nilai keadilan sosial sebagaimana tercantum dalam sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dan sila kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Jarang sekali wacana penanggulangan kemiskinan yang menawarkan konsep yang bersumber dari nilai-nilai Pancasila. Konsep ekonomi Pancasila sebagaimana yang digagas oleh Mubyarto misalnya, tidak menjadi wacana dominan dalam pembahasan konseptual. 185 Tesis yang diajukan adalah wacana Pancasila mengalami pasang berhubungan secara signifikan dengan munculnya konflik dan meningkatnya ekses modernisasi yaitu masyarakat yang cenderung konsumtif. Akan tetapi pasangnya wacana Pancasila tidak berhubungan signifikan dengan munculnya fenomena kesenjangan sosial dan tuntutan akan hidup layak dari elemen masyarakat bawah. Dengan demikian, wacana Pancasila mengalami pasang berbanding lurus dengan meningkatnya isu persatuan dan kesatuan bangsa, tetapi berbanding terbalik dengan meningkatnya isu kesejahteraan dan keadilan sosial. Berkaitan dengan pertanyaan bagaimana terjadinya pewacanaan Pancasila sebagai ideologi negara menjadi suatu ironi dalam praktek kehidupan sosial politik dan kebudayaan pada era reformasi, ternyata ironi itu sudah terlihat pada awal terjadi era reformasi. Pada era reformasi wacana Pancasila begitu minim mewarnai atmosfir kehidupan sosial politik dalam masyarakat. Salah satu sebab minimnya wacana Pancasila, karena sebagian kelompok pro demokrasi mengklaim alasan eksistensinya (rison de etre) adalah respons atas dominasi Orde Baru, sehingga setiap bentuk rekayasa Orde Baru dinafikan. Pancasila pun kemudian identik dengan Orde Baru, sehingga kemudian wacana Pancasila menjadi surut. Kondisi dan situasi itulah yang kemudian menjadi titik awal, mengapa wacana Pancasila menjadi begitu pada era reformasi. Dari sini pula kemudian berimplikasi pada munculnya ironi di seputar ideologi Pancasila. Eforia demokrasi yang melanda segenap organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan, LSM dan kelompok-kelompok strategis lainnya menyebabkan hampir setiap saat dan kesempatan senantiasa berwacana atas nama demokrasi. Akan tetapi ironinya, semua elemen masyarakat tersebut tidak dan 186 bahkan sama sekali tidak menyebut-nyebut Pancasila ketika membicarakan demokrasi, meskipun Pancasila sarat nilai demokrasi sebagaimana tercantum dalam sila keempat. Hiruk-pikuk demokrasi di era reformasi justru menekan surut wacana Pancasila. Ironi kemudian berlanjut sebagaimana tampak pada berbagai produk peraturan perundangan negara yang jarang sekali mencantumkan Pancasila sebagai sumber hukum. Sebagai contoh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dalam teksnya sama sekali tidak menyebut Pancasila. Contoh lain adalah maraknya pemberlakuan Perda Syariah yang di era Otonomi Daerah. Fakta ini menjadi ironis karena pemberlakuan Perda Syariah menjungkirbalikan hierarki hukum. Bagaimana sebuah negara yang beridologi Pancasila, tetapi dalam praktik pemerintahan di tingkat daerah dikalahkan oleh Perda yang posisi dalam hierarki sumber hukum jauh di bawah Pancasila. Tesis yang diajukan atas fenomena tersebut antara lain, bahwa atmosfir politik demokratis tidak cukup memberikan ruang leluasa bagi berkembangnya wacana Pancasila. Wacana Pancasila berlangsung intensif dan eksptensif justru pada sistem politik yang otoriter seperti era Orde Baru. Tesis ini mempunyai dasar argument bahwa karakter sebuah ideologi yang digunakan sebagai daya gerak terhadap dinamika sosial politik, memang lebih efektif ditopang sebuah sistem politik otoriter. Ini sebuah ironi ideologi Pancasila yang sarat kandungn nilai demokrasi, tetapi justru tidak beroperasi efektif pada era demokrasi. Terkait dengan pertanyaan bagaimana ideologi keagamaan beroperasi meminggirkan wacana Pancasila, berhubungan dengan meningkatnya peran tokoh politik Islam dalam pengelolaan negara. Sejak reformasi bergulir, beberapa tokoh Islam politik 187 baik melalui Parpol maupun Ormas keagamaan, dan juga jalur akademik, semakin banyak muncul tokoh agama menduduki posisi strategis dalam struktur lembaga pemerintahan. Fakta ini membawa implikasi bahwa pada era yang penuh nuansa demokrasi ini, wacana Pancasila justru mengalami marginalisasi. Beroperasinya wacana keagamaan meminggirkan wacana Pancasila melalui jalur birokrasi, lembaga-lembaga sekolah, dan media massa. Adanya kenyataan bahwa elite politik Islam mengendalikan sejumlah kementerian, mendorong terjadinya kecenderungan penguatan keagamaan pada level birokrasi. Indikatornya antara lain maraknya penggunaan busana muslim bagi pegawai negeri sipil (PNS) perempuan, dan bahkan busana muslim telah menjadi semacam pakaian resmi bagi PNS. Dalam sepuluh tahun terakhir jumlah PNS yang menuaikan ibadah haji meningkat cukup signifikan, dan apalagi yang menjalankan ibadah umrah. Sementara itu jumlah pembangunan masjid dan mushola di instansi pemerintah juga mengalami peningkatan jumlah cukup signifikan. Ini berarti peran kelas menengah terdidik, yang menduduki posisi kunci dalam jabatan birokrasi ikut ambil bagian dalam mengintensifkan nilai-nilai agama dengan menggunakan instrumen birokrasi. Manifestasinya adalah anjuran menggunakan busana muslim, melapangan jalan atau setidaknya membiarkan pemberlakuan Perda Syariah, dan semacam mewajibkan setiap kantor harus memiliki masjid, atau setidaknya mushola. Kecenderungan semacam itu juga berlangsung secara intensif dan ekstensif di lembagalembaga sekolah negeri. Akan tetapi, bersamaan dengan kecenderungan tersebut, justru birokrasi cenderung mengesampingkan, atau setidaknya tidak memproduksi wacana Pancasila. Jika di era Orde Baru dan juga era Soekarno, birokrasi yang dihuni oleh kaum priyayi, adalah 188 aktor utama dalam memproduksi wacana Pancasila, tetapi di era reformasi sekarang ini justru menjadi aktor utama dalam menyebarkan wacana keagamaan. Akibatnya, wacana Pancasila di jajaran birokrasi tidak begitu bergaung atau bahkan gaungnya makin pudar seiring dengan menguatnya gaung wacana keagamaan, khususnya Islam. Pada level masyarakat juga memiliki kecenderungan yang sama. Warga negara lebih sering mendapat terpaan ideologi agama, terutama Islam yang menyebar secara intensif dan masif melalui media massa. Sementara tidak satu pun media massa elektronika, terutama televisi, yang secara tetap membuat program tayangan yang mengupas nilai-nilai Pancasila. Kecuali TVRI yang sekali-kali mengangkat wacana Pancasila yang dikaitkan dengan Hari Kelahiran Pancasila dan Hari TNI. Fenomena semakin intensif dan ekspansifnya wacana agama dalam era reformasi sekarang ini merupakan sebuah fakta sosial politik tak terbantahkan. Bersamaan dengan itu membawa implikasi terhadap semakin terpinggirkannya wacana Pancasila. Di dalam media massa sendiri, wacana Pancasila hanya menempati porsi kecil, dan bersifat incidental. Wacana Pancasila menguat hanya pada momen seperti hari kelahirannya atau momen ketika ada peristiwa yang mengancam disintegrasi bangsa. Hampir tidak ada media massa yang membuka rubrik atau membuat program yang khusus menyebarkan wacana Pancasila. Lemahnya wacana Pancasila sebagai sebuah ideologi negara, mengindikasikan tidak seiring dengan konsep ideologi Althuserian yang ada dalam praktik apparatus seperti keluarga, lembaga pendidikan, lembaga agama, dan media massa. Oleh karena itu Pancasila sebagai sebuah ideologi, dalam era reformasi tidak ikut andil dalam reproduksi formasi-formasi sosial dan kekuasaan sebagaimana yang diyakini Althuser. Implikasi lebih lanjut ideologi pancasila tidak terlibat dalam peneguhan dan pemapanan kekuasaan 189 kelas. Jika di era Orde Baru fungsi-fungsi ideologi Pancasila sebagaimana diungkapkan oleh Althuser tersebut berjalan efektif, tetapi pada era reformasi kurang berfungsi secara signifikan. Bahkan yang terjadi, justru Pancasila kehilangan fungsinya sebagai sebuah ideologi, dank arena itu mengalami peminggiran. Apabila dilihat dari perspektif Gramscian juga mengindikasikan gejala yang sama, di mana Pancasila tidak terasa terlibat dalam suatu proses hegemonik. Pancasila tidak melakukan proses penanaman ideologi yang beroperasi melalui hegemoni, sehingga tidak ada persetujuan atas dasar kesadaran yang dibentuk oleh kekuatan blok hegemonik. Oleh karena itu wacana Pancasila kurang merasuk ke dalam struktur kesadaran rakyat Indonesia, tiak seperti era Orde Baru. Pada waktu Orde Baru Pancasila menjadi instrumen blok hegemonik, dan meskipun Pancasila mengklaim sebagai kebenaran universal, tetapi dalam praktiknya merupakan peta makna yang sebenarnya menopang kekuasaan kelompok sosial tertentu, yaitu kelompok yang berkuasa sebagaimana dikatakan oleh Gramci. Sebaliknya, dalam era reformasi justru agama yang menjalankan fungsi ideologi baik dalam perspektif Althuserian maupun Gramscian. Wacana keagamaan, terutama Islam, terdapat dalam praktik apparatus serperti keluarga, lembaga pendidikan, media massa, dan lembaga agama itu sendiri. Wacana keagamaan beroperasi secara intensif dalam institusi keluarga dan lembaga sekolah, yang berimplikasi pada peningkatan ketebalan identitas berbasis agama. Meskipun hanya pada tataran simbolik, perilaku warga masyarakat lebih dikontrol oleh ideologi agama, daripada ideologi Pancasila. Agama pun beroperasi secara intensif dalam institusi sosial melalui proses hegemonisasi 190 kesadaran warga. Proses ini terus berlangsung bersamaan dengan terpingirkannya Pancasila. Sebuah ironi di negeri yang berideologi Pancasila. 6.2. Rekomendasi Studi yang mengambil topik Pancasila dari perspektif kritis masih jarang dilakukan, terutama dalam sistem pemerintahan demokrasi seperti era reformasi sekarang ini. Penelitian ini merupakan salah satu dari sejumlah penelitian yang melihat Pancasila dari sudut pandang kritis. Akan tetapi penelitian ini mempunyai keterbatasan, terutama data yang dianalisis lebih banyak dari teks surat kabar. Akarena itu penelitian ini merekomendasikan agar ada penelitian lebih lanjut dari perspektif kritis, tetapi menggunakan data empirik yang langsung berkaitan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. 191