TINJAUAN PUSTAKA Pisang Barangan Suhadirman (1997) menyebutkan bahwa Musa acuminata ini berdasarkan klasifikasi tumbuhan ini sebagai berikut : Kingdom : Plantae; Filum : Magnoliophyta; Kelas : Magnoliopsida; Ordo : Zingiberales; Famili : Zingiberraceae; Genus : Musa; Spesies :Musa acuminata L. Tanaman pisang termasuk kedalam family Zingiberraceae dan golongan herba. Pisang yang dapat dimakan berasal dari dua spesies yaitu Musa acuminata dan musa balbisiana, dengan jumlah kromosom dasar n= 11. Pada umumnya kultivar- kultivar pisang bersifat diploid dengan jumlah kromosom 22 (Satuhu dan Supriadi, 2000). Batang pisang berakar rimpang dan tidak mempunyai akar tunggang. Akar ini berpangkal pada umbi batang. Akar terbanyak berada dibagian bawah sampai kedalaman 75-150 cm. Sedangkan akar yang bearada dibagian samping umbi batang tumbuh kesamping dan mendatar, panjangnya dapat mencapai 4-5 meter. Ada dua macam perakaran yaitu perakaran utama, akar batang yang menempel pada bonggol batang dan perakaran sekunder, akar tumbuh dari perakaran utama sepanjang 5 cm dari pangkal akar (Satuhu dan Supriadi, 2000). Batang pisang sebenarnya terletak dalam tanah berupa umbi batang. Dibagian atas umbi batang terdapat titik tumbuh yang menghasilkan daun dan pada suatu saat akan tumbuh bunga pisang ( jantung) . Sedang yang berdiri tegak diatas tanah yang biasanya dianggap batang itu adalah batang semu. Batang semu Universitas Sumatera Utara 5 ini terbentuk dari pelepah daun pisang yang saling menelungkup dan menutupi dengan kuat dan kompak sehingga bisa berdiri tegak seperti batang tanaman. Tinggi batang semu ini berkisar 3,5 – 7,5 meter tergantung jenisnya (Cahyono, 1995). Bonggol adalah batang pisang yang terdapat didalam tanah. Pada sepertiga bagian bonggol sebelah atas terdapat mata calon tumbuh tunas anakan (Gunawan, 1987; Smith, 1992) Lembaran daun (lamina) pisang lebar dengan urat daun utama menonjol berukuran besar sebagai pengembangan morfologis lapisan batang semu (gedebong). Urat daun utama ini sering disebut sebagai pelepah daun. Lembaran daun yang lebar berurat sejajar dan tegak lurus pada pelepah daun. Urat daun ini tidak ada ikatan daun yang kuat ditepinya sehingga daun mudah sobek akibat terkena angin kencang (Suhardiman, 1997). Bunga pisang berupa tongkol yang sering disebut jantung. Bunga ini muncul dari primodia yang terbentuk pada bonggolnya. Perkembangan primodia bunga memanjang keatas hingga menembus inti batang semu dan keluar inti batang semu. Bunga jantan dan bunga betina terjalin dalam satu rangkaian yang terdiri dari 5-20 bunga. Rangkaian bunga ini nantinya membentuk buah, yang disebut satu sisir. Satu bunga jantung dapat pula terdiri dari 1-2 rangkaian bunga sehingga deretan sisirnya sangat panjang, misalnya pisang seribu (Gunawan, 1987; Smith, 1992) Kulit buah kuning kemerahan dengan bintik- bintik coklat. Daging buah agak orange. Satu tandan terdiri dari 8-12 sisir. Dalam setiap sisir terdiri dari 12-20 buah. Bentuk, warna dan rasa buah digunakan untuk menentukan klon / 5 Universitas Sumatera Utara 6 jenis tanaman pisang. Adapun pembentukan buah pisang sesudah keluar, maka akan terbentuk sisir pertama, kemudian memanjang lagi dan terbentuk sisir kedua dan ketiga dan seterusnya. Jantungnya perlu dipotong sebab sudah tidak bisa menghasilkan sisir lagi (Wattimena, 1992). Wahyudi (2000) dari penelitiannya melaporkan bahwa dengan penggunaan konsentrasi NAA 0,5 mg/l memberikan hasil terbaik untuk persentase pertumbuhan yaitu 100%, jumlah tunas 3,35 buah, panjang tunas yaitu 4,7 mm dan jumlah eksplan yang membentuk tunas yaitu 80%. Amri (1998) dari hasil penelitian melaporkan bahwa perlakuan tingkat konsentrasi arang aktif dengan taraf 0,02 gram berpengaruh nyata terhadap peubah amatan panjang tunas pada 9 MSt, jumlah akar serta panjang akar. Sedangkan terhadap peubah amatan : saat muncul tunas 6,7 dan 8 MST, jumlah tunas serta saat muncul akar 6 MST, 7MST, dan 8 MST berpengaruh tidak nyata. Kultur Jaringan Kultur jaringan itu sendiri dapat diartikan suatu metode untuk mengisolasi bagian tanaman serta menumbuhkannya dalam kondisi yang aseptik secara in-vitro Sehingga bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap (Hartman, dkk, 2002). Berbeda dengan teknik perbanyakan vegetatif konvensional, kultur jaringan melibatkan pemisahan komponen-komponen biologis dan tingkat pengendalian yang tinggi dalam memacu proses regenerasi dan perkembangan jaringan. Setiap urutan proses dapat dimanipulasi melalui seleksi bahan tanaman, medium kultur dan faktor-faktor lingkungan, termasuk eliminasi mikroorganisme 6 Universitas Sumatera Utara 7 seperti jamur dan bakteri. Semua itu dimaksudkan untuk memaksimalkan produk akhir dalam bentuk kuantitas dan kualitas propagula berdasarkan prinsip totipotensi sel (Zulkarnain, 2009). Menurut Yusnita (2003) dibanding dengan perbanyakan tanaman secara konvensional, perbanyakan tanaman secara kultur jaringan mempunyai beberapa kelebihan sebagai berikut: 1. Untuk memperbanyak tanaman tertentu yang sulit atau sangat lambat diperbanyak secara konvensional. Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan menawarkan peluang besar untuk menghasilkan jumlah bibit tanaman yang banyak dalam waktu relatif singkat sehingga lebih ekonomis. 2. Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan tidak memerlukan tempat yang luas. 3. Teknik perbanyakan tanaman secara kultur jaringan dapat dilakukan sepanjang tahun tanpa bergantung pada musim. 4. Bibit yang dihasilkan lebih sehat. 5. Memungkinkan dilakukannya manipulasi genetik. Kultur jaringan akan lebih besar persentase keberhasilannya bila menggunakan jaringan meristem. Jaringan meristem adalah jaringan muda, yaitu jaringan yang terdiri dari sel-el yang selalu membelah, dindingnya tipis, belum mempunyai penebalan dari zat pektin, plasmanya penuh, dan vakuolanya kecilkecil. Kebanyakan orang menggunakan jaringan ini untuk tissue culture. Sebab, jaringan diperkirakan meristem mempunyai keadaannya zat hormone selalu yang membelah, mengatur sehingga pembelahan (Hendaryono dan Wijayani, 1994). 7 Universitas Sumatera Utara 8 Eksplan Eksplan artinya jaringan tanaman yang digunakan sebagai bahan tanam di dalam botol. Eksplan dipilih dari jaringan yang masih muda karena jaringan tersebut tersusun atas sel-sel yang masih muda dan selalu membelah. Dengan demikian diharapkan nantinya bisa menghasilkan tanaman yang sempurna. Sebagai eksplan (Purwanto, 2007). Ukuran eksplan juga menentukan keberhasilan kultur jaringan. Eksplan yang berukuran besar sangat dikhawatirkan bannyak mengan dung kontaminan, tetapi ukuran eksplan yang terlalu kecilpun dianggap kurang efektif karena kemampuan perkembangannya dalam media sangat lambat. Ukuran eksplan yang paling baik adalah 0,5-1 cm, namun ukuran ini dapat bervariasi tergantung materialtanaman yang dipakai dan jenis tanamannya (Gunawan, 1995) Nisa (2009) melaporkandari hasil penelitiannnya bahwa campuran NAA dan Kinetin dengan kultivar pisang berpengaruh nyata terhadap semua peubah -1 -1 pengamatan. Perlakuan NAA 0,4 mg l + kinetin 6 mg l kultivar pisang mauli memberikan hasil yang tertinggi terhadap persentase hidup eksplan yaitu 87,5% dan persentase kontaminasi terendah yaitu < 5% sedangkan pemberian NAA 0,8 -1 -1 mg l + kinetin 9 mg l kultivar pisang kepok memberikan saat pertumbuhan kalus yang tercepat yaitu 11 hari. 8 Universitas Sumatera Utara 9 Media Kultur Media kultur merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan perbanyakan tanaman secara kultur jaringan. Berbagai komposisi media kultur telah diformulasikan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dikulturkan (Yusnita, 2003). Sebelum membuat medium, maka terlebih dahulu kita harus menentukan medium apa yang akan kita buat. Jenis medium dengan komposisi unsur kimia yang berbeda dapat digunakan untuk media tumbuh dari jaringan tanaman yang berbeda pula (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Medium yang digunakan untuk kultur in vitro tanaman dapat berupa medium padat atau cair. Medium padat digunakan untuk menghasilkan kalus yang selanjutnya diinduksi membentuk tanaman yang lengkap (disebut sebagai planlet), sedangkan medium cair biasanya digunakan untuk kultur sel. Medium yang digunakan mengandung lima komponen utama yaitu senyawa anorganik, sumber karbon, vitamin, zat pengatur tumbuh dan suplemen organik (Yuwono, 2008). Media yang digunakan secara luas adalah media MS yang dikembangkan pada tahun 1962. Dari berbagai komposisi dasar ini kadang-kadang dibuat modifikasi, misalnya hanya menggunakan ½ dari konsentrasi dari garam-garam makro yang digunakan (1/2 MS) atau menggunakan komposisi garam makro berdasarkan MS tetapi mikro dan vitamin berdasarkan komposisi Heller. Zat 9 Universitas Sumatera Utara 10 pengatur tumbuh yang akan digunakan disesuaikan dengan tujuan inisiasi kultur (Gunawan, 1995). Lingkungan In Vitro Lingkungan kultur merupakan hasil interaksi antara bahan tanaman, wadah kultur, dan lingkungan eksternal ruang kultur, memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap suatu sistem kultur jaringan. Secara teoritis, semua variabel di dalam setiap wadah kultur pada ruang kultur yang sama adalah seragam. Sebagai konsekuensinya, hal yang sama terjadi pula di wadah-wadah kultur pada ruang kultur yang lain. Agar pertumbuhan kultur seragam maka keseragaman faktor lingkungan harus diupayakan, tidak hanya di dalam ruang kultur, tetapi juga di dalam semua wadah kultur dengan cara menggunakan wadah yang seragam (Zulkarnain, 2009). Menurut Gunawan (1995) lingkungan tumbuh yang dapat mempengaruhi regenerasi tanaman meliputi: Temperatur Penyinaran: panjang penyinaran, intensitas penyinaran, dan kualitas sinar, serta Ukuran wadah kultur Dalam teknik kultur jaringan tanaman, cahaya dinyatakan dengan dimensi lama penyinaran, intensitas dan kualitasnya. Prof. Murashige menyarankan untuk mengasumsikan kebutuhan lama penyinaran pada kultur jaringan tanaman 10 Universitas Sumatera Utara 11 merupakan pencerminan dari kebutuhan periodisitas tanaman yang bersangkutan dilapangan. Kualitas cahaya mempengaruhi arah diferensiasi jaringan (Yusnita, 2003). Pengaruh intensitas cahaya terhadap pembentukan akar bergantung pada cara pemberian cahaya tersebut. Protokorm Cymbidium yang berwarna hijau akan membentuk akar dan tunas bila diberi intensitas cahaya 2200 sampai 2500 lux. Namun, bila disimpan dalam gelap hanya membentuk tunas. Pembentukan akar disini diduga ada kaitannya dengan metabolisme nitrogen yang terjadi dengan adanya cahaya. Untuk keperluan kultur jaringan cahaya putih dari lampu flourscent dengan intensitas 1000 lux untuk fase inisiasi dan subkultur, sedangkan untuk fase pengakaran dan persiapan planlet sebelum dilakukan aklimatisasi menggunakan intensitas 5000 sampai 6000 lux. Intensitas yang lebih rendah akan menghasilkan planlet yang mengalami etiolasi dengan daun yang berwarna pucuk. Lama penyinaran yang dianjurkan adalah 16 jam per hari (Wattimena, dkk, 1992). Zat Pengatur Tumbuh Zat pengatur tumbuh memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan kultur. Faktor yang perlu mendapat perhatian dalam penggunaan zat pengatur tumbuh antara lain jenis zat pengatur tumbuh yang akan digunakan, konsentrasi, urutan penggunaan, dan periode masa induksi dalam kultur tertentu (Gunawan, 1995). Terdapat kisaran interaksi yang luas antara kelompok auksin dengan pula dengan senyawa-senyawa kimia lainnya dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti cahaya dan suhu. Pada kondisi tertentu, auksin dapat bereaksi 11 Universitas Sumatera Utara 12 menyerupai sitokinin atau sebaliknya. Meskipun demikian, baik auksin maupun sitokinin, keduanya seringkali diberikan secara bersamaan pada medium kultur untuk menginduksi pola morfogenesis tertentu, walaupun rasio yang dibutuhkan untuk induksi perakaran maupun pucuk tidak selalu sama. Terdapat keragaman yang tinggi antargenus, antarspesies, bahkan antar kultivar dalam hal jenis serta takaran auksin dan sitokinin yang dibutuhkan untuk menginduksi terjadinya morfogenesis (Wilkins, 1989). Benzil aminopurin (BAP) Sifat paling karakteristik yang berkaitan dengan sitokinin adalah perangsangan mereka terhadap pembelahan sel pada kultur jaringan tanaman. Satu dari reaksi yang benar-benar dramatis terhadap sitokinin adalah pembentukan organ-organ yang terjadi di bawah kondisi yang tepat dalam berbagai kultur jaringan. Heide (1965) menemukan bahwa sitokinin-sitokinin tertentu beberapa kali lebih efektif daripada kinetin itu sendiri pada penginduksian pembentukan tunas dan lebih jauh bahwa spesies atau kultivar tertentu Begonia yang biasanya tidak membentuk tunas-tunas kebetulan didaun atau berbuat demikian hanya kadang-kadang saja, dengan pemprosesan sitokinin mengeluarkan pembentukan tunas yang melimpah (Wilkins, 1989). Sitokinin biasanya tidak digunakan untuk tahap pengakaran pada mikropropogasi karena aktivitasnya yang dapat menghambat pembentukan akar, menghalangi pertumbuhan akar, dan menghambat pengaruh auksin terhadap inisiasi akar pada kultur jaringan sejumlah spesies tertentu. apabila ketersediaan sitokinin di dalam medium kultur sangat terbatas maka pembelahan sel pada 12 Universitas Sumatera Utara 13 jaringan yang dikulturkan akan terhambat. Akan tetapi, apabila jaringan tersebut disubkulturkan pada medium dengan kandungan sitokinin yang memadai maka pembelahan sel akan berlangung secara sinkron (George dan Sherrington, 1984). Zat pengatur tumbuh yang diberikan harus dapat diabsorbsi dan ditranslokasikan ke jaringan target. Hal ini tentu tergantung dari formulasi dan konsentrasi zat pengatur tumbuh sehingga dapat dikatakan bahwa pada konsentrasi tersebut belum dapat diabsorbsi dan ditranslokasikan oleh tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangan (Wattimena, dkk, 1992). Catrina (2009) melaporkan dari hasil penelitiannya melaporkan bahwa BAP dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap peubah waktu munculnya tunas pertama. Tunas pertama muncul pada minggu ke-1 dan ke-2. Semua eksplan mampu bertunas 100% dalam waktu empat minggu, namun tunas yang tercepat muncul diperoleh dari media MS + BAP 13.32 μM yaitu pada 6.6 HST. Media yang optimum untuk multiplikasi anthurium wave of love adalah MS + BAP 6.66 μM dan ½MS + BAP 13.32 μM. Komposisi media MS + BAP 6.66 μM menghasilkan tunas yang banyak dengan menggunakan BAP yang lebih sedikit, sedangkan ½MS + BAP 13.32 μM menghasilkan tunas yang sama banyak dengan hanya menggunakan media setengah MS, namun BAP yang digunakan harus lebih banyak. Sedangkan menurut Andriana (2005) melaporkan hasil penelitiannya bahwa multiplikasi menunjukkan bahwa perlakuan BAP (1, 2, 3, 4 ppm) tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah jumlah tunas besar, jumlah tunas kecil, jumlah primordia, jumlah nodul, total jumlah tunas, dan panjang tunas pisang FHIA-17. Rata-rata total jumlah tunas yang dihasilkan berkisar antara 3-5 tunas per eksplan dan tidak jauh berbeda 13 Universitas Sumatera Utara 14 antara beberapa periode subkultur. Perlakuan BAP memberikan pengaruh yang nyata pada peubah jumlah akar, panjang akar dan panjang daun. Rata-rata jumlah akar pisang FHIA-17 terbanyak didapatkan pada perlakuan BAP 1 ppm pada subkultur 7, yaitu 11.8. Sedangkan untuk peubah ratarata panjang akar, BAP memberikan pengaruh yang nyata pada subkultur 5 dan subkultur 7. Pada subkultur 5, akar pisang terpanjang didapatkan dengan perlakuan BAP 1 ppm, yaitu sebesar 8 cm. Sedangkan pada subkultur 7, akar pisang terpanjang didapatkan dengan perlakuan BAP 2 ppm, yaitu sebesar 4.4 cm. Perlakuan BAP memberikan pengaruh nyata terhadap peubah rata-rata panjang daun pisang FHIA-17 pada subkultur 5 dan subkultur 7. Pada subkultur 5, daun pisang terpanjang didapatkan dengan perlakuan BAP 1 ppm, yaitu sebesar 4.8 cm. Sedangkan pada subkultur 7, daun pisang terpanjang didapatkan dengan perlakuan BAP 2 ppm, yaitu sebesar 3.8 cm. Hasil percobaan perlakuan giberelin terhadap kualitas tunas didapatkan bahwa tinggi tanaman, panjang batang semu, panjang pelepah, lebar daun dan panjang akar dipengaruhi oleh jenis tunas. Perlakuan giberelin berpengaruh nyata pada tinggi tanaman, jumlah akar, panjang batang semu dan lebar daun. Sedangkan konsentrasi BAP pada media asal berpengaruh nyata hanya pada peubah panjang pelepah pada minggu keempat. Pertambahan tinggi tanaman terbesar, jumlah akar terbanyak, batang semu, pelepah, dan akar terpanjang, serta daun terlebar dihasilkan pada perlakuan asal media BAP 3 ppm dan pada jenis tunas tinggi. Pemberian giberelin 20 ppm dapat menghasilkan panjang batang semu dan panjang pelepah terpanjang. Sedangkan pertambahan tinggi terbesar, 14 Universitas Sumatera Utara 15 jumlah akar terbanyak, daun terlebar dan akar terpanjang dihasilkan oleh giberelin 0 ppm. 15 Universitas Sumatera Utara