Erma Tsania, 15213017 Teresa Zefanya, 15213035 Lia Veronica W., 15213083 Arsitektur vernakular adalah istilah yang digunakan untuk mengkategorikan metode konstruksi yang menggunkan sumber daya lokal yang tersedia di suatu lingkungan alam guna memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya dimana arsitektur vernakular mencerminkan konteks budaya, lingkungan, sosial, dan ekonomi, serta sejarah di mana dan pada masa tinggalan arsitektur itu dibangun. Pengetahuan membangun dibawa oleh tradisi lokal dan sebagian besar (tidak hanya) didasarkan pada pengetahuan yang dicapai oleh masyarakat adat saat itu. Konstruksi pengetahuan membangun itu terkait dengan keyakinan masyarakat akan geomancy, kosmologi, tata nilai kehidupan, hierarki, simbolisme, ornamen dan bentuk arsitektur, dan dinyatakan secara teknis sebagai dimensi. Pengetahuan membangun itu diperoleh dengan cara belajar dari pengalaman dan kesalahan para pendahulunya dan diturun-temurunkan ke generasi berikutnya. Penduduk Flores, menurut Koentjoroningrat (2002) mulai dari daerah Riung ke timur menunjukkan ciri-ciri Melanesia, sedangkan orang-orang Manggarai lebih banyak menunjukkan ciriciri Mongoloid-Melayu. Adapun suku bangsa Lamaholot berbeda dari yang lain-lain karena mereka terpengaruh unsur-unsur budaya lain, seperti : Belanda dan Portugis. Keutamaan masyarakat Flores, yaitu : percaya kepada wujud tertinggi, keadilan dan kejujuran, adat, upacara ritual, dan mitos, rasa kesatuan, dan berjiwa seni dan musikal. Kampung Bena, Flores. (Diambil dari www.google.com) Kampung Bena mempunyai pola yang khas, spesifik, dan unik yang dapat terlihat dari pola tapak kampungnya, karakter tata letak dan geografis lahannya, tipologi bangunan, struktur ruang dan fungsi bangunannya, hierarki, simbol, ornamen, dimensi perabot dan perangkat adat yang menjadi bagian penting nilai-nilai kehidupan tradisionalnya. ‘Rasa kesatuan budaya’ terlihat dari karakter pola kampung adat dan arsitektur adat di wilayah budaya Ngadha yang (hampir) sama, yakni : rumah adat (sa’o) yang berderet mengelilingi AR 2231 Sejarah & Tradisi Nusantara, Semester IV 2014, halaman # 1 Erma Tsania, 15213017 Teresa Zefanya, 15213035 Lia Veronica W., 15213083 halaman tengah (kisa nata atau kisa loka), dan keberadaan bangunan-bangunan adat, seperti : bhada, ngadhu, peo, watu pali wa’I, ture woe di halaman klan (loka woe), serta keberadaan batu Loyang (watu lanu) di kebun (uma). Ada 10 fenomena yang sangat berkait-erat dengan konsep ide, bentuk, norma, dan makna; berkait-erat dengan proses membangun rumah adat, bangunan adat, dan kampung Bena; serta berkait-erat dengan fenomena keberlanjutan arsitektur vernakular di kampung Bena – yaitu fenomena tata letak bangunan dan lingkungan, fenomena pencapaian dan sirkulasi, fenomena keprmilikan dan hak penghunian/pengelolaan lahan, fenomena pengembangan fasilitas wisata, fenomena bentuk dan tipologi, fenomena struktur dan konstruksi bangunan, fenomena hierarki ruang dan fungsi ruangan/ bangunan, fenomena dimensi tradisional dan material bahan bangunan, fenomena perabot dan perangkat ritual, serta fenomena simbol dan ornamen arsitektur. Kampung bena merupakan kampung vernakular yang didirikan oleh Kengi, Pati, dan Leki, dari anggota klan (ana Woe) Bena dan klan Ngadha, dengan tujuan untuk saling melindungi. Letak dan batas panjang kampung Bena secara tradisional dikatakan sebagai ulu Mangulewa – eko Bowoza / eko jo maze wolo, artinya ujung depan di padang Mangulewa, ujung belakang di bukit Bowoza. Struktur Ruangan Kampung Bena (Digambar ulang dari Buku Arsitektur Vernakular, Keberlanjutan Budaya di Kampung Bena Flores, 2013, hlm.24) Pola tata letak bangunan dan lingkungan kampung adat Bena merajuk pada konsep kosmis, yaitu: kisa loka sebagai himpunan dari Sembilan loka woe, menjadi dunia kecil bagi warga kampung Bena (isi nua Bena), tetapi menjadi dunia besar bagi anggota klan (ana woe) dari masing-masing klan yang ada di kampung Bena. Pola pencapaian dan sirkulasi orang-orang adat, tamu, dan wisatawan dari luar menuju ke kampung Bena, atau sebaliknya adalah pola linear dengan gerbang utama menuju ke kisa loka adalah tangga batu yang disusun bertingkat merupakan jalan utama menuju AR 2231 Sejarah & Tradisi Nusantara, Semester IV 2014, halaman # 2 Erma Tsania, 15213017 Teresa Zefanya, 15213035 Lia Veronica W., 15213083 ruang terbuka kampung Bena. Selain itu, ada pencapaian lain melalui ramp di samping kanan dan kiri ture Ebu Patj hingga ke depan halaman kapela. Pola sirkulasi gerak berpindah yang dilakukan individu, atau kelompok orang adat adalah pola sirkulasi melingkar dengan arah putar melawan arah putar jarum jam. Arah kanan (kago wana) adalah arah yang baik, membawa keberuntungan, sebaliknya untuk arah kiri disebut kago leu, dikatakan sebagai arah kurang abik, pembawa celaka. Secara prinsip adat kampung Bena, hak menghuni rumah adat, memelihara, dan merawatnya diberikan kepada anak perempuan, atau saudara kandung perempuan keturunan dari klan yang bersangkutan. Selain sa’o. Mereka juga diberi hak merawat bhaga, ngadhu, dan uma bersama-sama dengan para kerabat dari satu klan. Fungsi rumah adat pada saat ini ada tiga, yakni : (1) rumah tinggal untuk keluarga yang memiliki hubungan kekerabatan, (2) tempat segala aktifitas kehidupan sehari-hari maupun aktifitas ritual adat, dan (3) rumah produksi tenun dan obyek kunjungan pariwisata dan penelitian. Rumah adat terdiri dari dua bagian utama, yakni rumah tinggal atau disebut one, dan bangunan , serambi, beranda, atau disebut teda. Jika keberadaan beranda itu di dekat one, maka disebut teda one. Jika keberadaan teda itu di dekat wewa, maka disebut teda wewa atau padha. Rumah tinggal di Kampung Bena (Diambil dari www.google.com) Rumah tinggal (one) merupakan kamar multi guna, dengan lantai kamar berbentuk bujur sangkar, dengan dimensi tradisional satu depa nenek moyang, ±3.50 – 4.00 meter. Dinding kamar dibuat dari 7 lembar papan kayu fa’I berjajar rapat dan pada sisi depan dinding terdapat pintu sorong (pene pere) di tengah-tengah. Jajaran papan kayu fa’i tersebut memiliki ukuran yang berbeda-beda, dan ukuran terlebar diletakkan di posisi tengah (ube kedu). One memiliki ventilasi udara (mata pate) yang berupa spasi jarak antara papan susunan pertama dan kedua, atau susunan keenam dan ketujuh, dengan ukuran ± 5 – 6 cm. AR 2231 Sejarah & Tradisi Nusantara, Semester IV 2014, halaman # 3 Erma Tsania, 15213017 Teresa Zefanya, 15213035 Lia Veronica W., 15213083 Menna Dhiri (Diambil dari www.google.com) Daerah di pojok sebelah kanan pintu rumah tinggal bagian dalam dibuat tempat perapian. Dihadapan tempat perapian arah jam dua belas ada daerah perempuan (papa bhoko ana fa’i). Di antara papa bhoko dan tolo lapu terdapat ruang antara yang disebut menna dhiri, tempat duduk ibu bekerja di dapur. Daerah arah jam Sembilan, disebut sebagai papa lewa ana saki, zona laki-laki (ana saki). Bagian pojok depan papa lewa, atau di pojokan di sisi sebelah kiri pintu disebut roro, tempat menyimpan air bersih. Orang terhormat, Mosalaki, kepala suku, atau ketua adat, memiliki keistimewaan tempat duduk, yaitu di depan papan kayu utama (ube kedu) di bawah simbol adat mata naga, tempat perletakan benda-benda adat. Bentuk dan tipologi arsitektur vernakular di kampung Bena adalah (1) sa’o saka pu’u; (2) Sa’o saka lobo; (3) Sa’o kaka, dibagi menjadi dua tipe, yang menyimbolkan anak laki-laki disebut dengan sa’o kaka lobo, dan yang menyimbolkan anak perempuan disebut sa’o kaka pu’u; (4) Ture Ago-Ngadha; (5) Peo; (6) Ngadhu: (7) Bhaga; (8) Ture; (9) Kapela; (10) Gua Maria; (11) Pos Polisi; (12) WC Umum dan reservoir; (13) Home stay; (14) Jalan raya dan jalan lingkungan; (15) Sumber air panas; (16) Kandang babi; (17) Drainase; dan (18) Sumber air bersih. Loka merupakan wilayah yang dimiliki klan untuk mendirikan rumah adat dan bangunan-bangunan adat. Tetapi, pemahaman loka saat ini hanyalah sebagai halaman depan yang ada di depan sa’o. Sedangkan, kisa loka yang merupakan himpunan dari Sembilan loka ini berfungsi sebagai ruangan terbuka yang bresifat public dan menjadi pusat orientasi rumah-rumah adat. AR 2231 Sejarah & Tradisi Nusantara, Semester IV 2014, halaman # 4 Erma Tsania, 15213017 Teresa Zefanya, 15213035 Lia Veronica W., 15213083 Konstruksi rumah adat (sa’o) (Digambar ulang dari Buku Arsitektur Vernakular, Keberlanjutan Budaya di Kampung Bena Flores, 2013, hlm.30) Struktur bangunan tunggal one terdiri dari e,pat tiang pendukung (leke) yang ditancap ke dalam tanah, atau diletakkan dai atas umpak batu (tere). Struktur atap melingkupi ruangan one dan teda one menjadi satu atap keri, dan struktur atap bangunan teda wewa dari belahan bambu bulat (lenga) yang dipasang secara bolak-balik. Ada tiga perabot penting di dalam rumah adat (1) tempat perapian berikut rak diatasnya (lapu lika ne’e kae), (2) tempat perletakan perangkat adar (su’a uwi) dan tempat air minum (bhoko), serta parang adat (sau ga’e) disimpan, (3) tangga dari teda one menuju one (kawa pere atau kata bewa). Ketiga perabot merupakan simbolisasi selasainya pembangunan rumah adat. AR 2231 Sejarah & Tradisi Nusantara, Semester IV 2014, halaman # 5 Erma Tsania, 15213017 Teresa Zefanya, 15213035 Lia Veronica W., 15213083 Ruang one, teda one, dan teda wewa (Digambar ulang dari Buku Arsitektur Vernakular, Keberlanjutan Budaya di Kampung Bena Flores, 2013, hlm.32) Zona kegiatan perempuan papa bhoko, yang bersebelahan dengan zona perapian (lapu lika), dan pada sisi yang berlawanan dijumpai papa lewa, zona laki-laki, yang ada di sebelah kiri lantai one. Di antara kedua zona terdapat batas pemisah sumbu imajinernya ‘ube kedupene pere’. Konsep zona perempuan dan zona laki-laki adalah dua fenomena yang berbeda untuk saling melengkapi, dan saling menyatu (one). Ruang one adalah ruang multi fungsi. Fungsi ruang one yang kurang berjalan baik, seperti: fungsi sirkulasi udara alami, fungsi pencahayaan ruang, fungsi service, dan lain-lain. Manfaat ruang one yang dirasakan adalah rasa aman, damai, nyaman, dan saling melindungi. Karakter ruang one adalah sangat personifikatif, simbolisasi dari satu keluarga/klan ibu, ayaj, anak-anak, dan menempatkan kehadiran nenek moyang secara terhomat di mata raga dalam ruang one. Material bahan bangunan yang digunakan untuk membuat one di kampung Bena dan di wilayah Jerebu’u pada umumnya adalah kayu perempuan/surian (fa’i). Kayu laki-laki (oja) digunakan untuk membuat ruang teda wewa dan teda one. Sistem struktur ruang one adalah sistem struktur bangunan tunggal,konstruksi kotak kubus kayu tanpa memakai paku dan engsel besi,tetapi menggunakan sistem sambungan pasak kayu (ketilo). Ruang serambi dalam (teda one) merupakan ruang tambahan,karena ruang one dirasa sudah tidak cukup. Digunakan untuk tidur di malam hari dan menjadi ruang pertemuan anggota klan yang hidup bersama dalam satu kesatuan sa’o. teda one lebih rendah lantainya dari lantai one (±45Cm). AR 2231 Sejarah & Tradisi Nusantara, Semester IV 2014, halaman # 6 Erma Tsania, 15213017 Teresa Zefanya, 15213035 Lia Veronica W., 15213083 Ruang serambi luar (teda wewa) merupakan ruang tambahan berikutnya yang lebih dekat dengan wewa sa’o. Ketinggian lantai ruang teda wewa pada umumnya ±45 Cm lebih tinggi daripada ture pembatas loka di wewa sa’o. Fungsi teda wewa untuk menikmati udara sore, duduk-duduk sambal minum moke, dan sambal menyandarkan badan di papan setengah tinggi dinding. Loka merupakan ruangan yang dimiliki oleh klan (woe) untuk dimanfaatkan bagi pembangunan rumah adat (sa’o). Ada Sembilan loka yang ada di kampung Bena, di mana loka di bagian depan yang bersifat halaman umum (loka seu) dan memiliki ketinggian permukaan tanah paling rendah (loka tau). Sedangkan, loka yang tertinggi berada di bagian belakang kampung Bena, yang disebut loka zele – eko Bowoza. Kesembilan ruangan loka terhimpun satu-kesatuan bentuk biomorfik dinamai kisa loka nua Bena artinya halaman tengah kampung Bena. Loka dan kisa loka merupakan daerah pemakaman adat. Keberadaan loka di depan sa’o mengingatkan adanya perjalanan kehidupan baru setelah kematian. Pengelolaan loka menjadi tanggung jawab anggota klan (ana woe). Kisa loka menjadi tanggungjawab warga kampung Bena (isi nua Bena). Dalam setiap loka woe berdiri paling tidak empat tipe rumah adat,yaitu sa’o saka pu’u, sa’o saka lobo, sa’o kaka pu’u, dan sa’o kaka lobo. Disamping itu, juga berdiri sepasang bhaga dan ngadhum, serta peo. Wujud loka dan kisa loka pada saat ini merupakan hasil pengolahan lima pade yang jenius , vernakularis, sehingga menghasilkan karakter susunan loka yang berterap-terap, dengan dinding penahan tanah turap ture dari batu pipih. Ruangan uma adalah lahan kebun, atau lading untuk bercocok tanam tahunan. Uma dimiliki oleh keluarga tetapi bisa dimanfaatkan oleh anggota klan lainnya dengan persetujuan musyawarah keluarga di dalam satu klan, Keberadaan ruangan uma ditandai demgan ‘watu lanu’. Tonggak batu yang dililit tali ijuk di bagian atasnya. Uma memberi nama keluarga untuk uma memberi nama sa’o dengan nama leluhur pediri sa’o tersebut. Arsitektur vernakular Bena menjadi fungsional dan sangat bermakna di dalam membangun kebersamaan intern anggota keluarga, warga klan (ana woe), dan kesatuan ekstern warga kampung adat Bena (isi nua Bena), dan masyarakat budaya Ngadha pada umumunya. Fungsi rumah adat (sa’o) pada saat ini adalah (1) rumah tinggal untuk keluarga-keluarga yang memiliki hubungan kekerabatan, baik kekerabatan karena hubungan saudara sedarah maupun hubungan saudara akibat perkawinan; (2) tempat aktifitas kehidupan sehari-hari dan kehidupan ritual adat; (3) rumah produksi tenun dan obyek kunjungan wisasta dan penelitian. AR 2231 Sejarah & Tradisi Nusantara, Semester IV 2014, halaman # 7 Erma Tsania, 15213017 Teresa Zefanya, 15213035 Lia Veronica W., 15213083 Konsep utama arsitektur vernakular rumah adat pada awal mulanya adalah rumah besar yang tidak memiliki serambi. Hakekat rumah adat di kampung Bena adalah satu kamar multi fungsi, yaitu ruang besar untuk bersatu, atau untuk tinggal bersama. One dipahami sebagai ruang tinggal dan bersatu. Bangunan serambi yang ada sebenarnya adalah ruang tambahan untuk menampung warga klan yang semakin bertambah, serta untuk mewadahi kegiatan-kegiatan lain. Fungsi rumah adat (sa’o) pada saat ini adalah (1) rumah tinggal untuk keluarga- keluarga yang memiliki hubungan kekerabatan, baik saudara akibat perkawinan; (2) tempat aktivitas kehidupan sehari- hari dan kehidupan ritual adat; (3) rumah produksi tenun dan obyek kunjungan wisata dan penelitian. Konsep utama arsitektur vernakular rumah adat di kampung Bena, wilayah budaya Ngadha, atau di wilayah budaya lain di Flores pada awal mulanya adalah rumah besar yang tidak memiliki serambi. Hakekat rumah adat di kampung Bena adalah satu kamar multi fungsi, yaitu ruang besar untuk bersatu, atau untuk tinggal bersama. One dipahami sebagai ruang tinggal dan bersatu. Bangunan serambi yang ada sebenarnya adalah ruang tambahan untuk menampung warga klan yang semakin bertambah, serta untuk mewadahi kegiatan- kegiatan lain yang tidak pernah direncanakan sebelumnya. Sa’o saka pu’u adalah salah satu tipe bangunan vernakular rumah adat di kampung Benan yang pada bubungan atapnya (ghubu) memiliki karakteristik mahkota atap berupa anaie, sebuah miniature rumah adat kampung Bena. Sa’o saka pu’u ada kaitannya dengan bhaga, yaitu sebuah rumah para dewa, roh nenek moyang, yang selalu terbuka pintunya. Saka pu’u adalah simbol rumah perempuan. Dimensi one pada sa’o saka pu’u adalah +- 4.00 meter, paling besar dibandingkan dengan dimensi one pada tipe rumah adat yang lainnya. Sa’o saka lobo adalah salah satu tipe bangunan vernakular rumah adat di kampung Bena yang memiliki mahkota atap ‘ata’, sebuah boneka laki-laki adat kampung Bena. Sa’o saka lobo ada kaitannya dengan bangunan ngadhu atau madhu , yang berarti tiang korban. Sa’o saka lobo adalah simbol rumah laki- laki. Dimensi one pada Sa’o saka lobo adalah +- 3.98 meter, sedikit lebih kecil dibandingkan dengan one pada tipe rumah adat saka pu’u. Sa’o kaka adalah bangunan vernakular rumah adat yang tidak memiliki mahkota pada bubungan atapnya. Sa’o kaka merupakan rumah pendukung. Ada dua tipe arsitektur sa’o kaka, yang satu menyimbolkan rumah pendukung perempuan, disebut dengan Sa’o kaka pu’u , dan yang lain menyimbolkan rumah pendukung laki- laki, disebut dengan Sa’o kaka lobo. Dimensi one pada sa’o AR 2231 Sejarah & Tradisi Nusantara, Semester IV 2014, halaman # 8 Erma Tsania, 15213017 Teresa Zefanya, 15213035 Lia Veronica W., 15213083 kaka pu’u lebih besar daripada one pada sa’o kaka lobo. Tetapi, dimensi sa’o kaka lebih kecil daripada dimensi sa’o saka lobo. Bhaga Milo Zia, Woe Ngadha (Buku Arsitektur Vernakular, Keberlanjutan Budaya di Kampung Bena Flores, 2013, hlm.38) Bhaga adalah bangunan tempat bersemayam roh leluhur (ebu musi) dengan ciri- ciri pintu selalu terbuka, tidak seperti pintu one yang selalu tertutup. Dimensi bangunan +-4 meter persegi. Bhaga disebut sebagai simbol nenek moyang perempuan (ebut musi ana fa’i) karena di dalam budaya kampung Bena kepemilikan hak berada pada garis keturunan perempuan. Konsepsinya adalah bahwa hidup manusia ini berasal dari rahim perempuan dan semua akan kembali pada ibu bumi. Pembangunan bhaga selalu terkait dengan woe, karena bangunan ini menyimbolkan kehadiran nenek moyang perempuan di ruang keabadian yaitu loka. Berdirinya bhaga selalu berpasangan dengan ngadhu simbol kekuatan laki- laki di kampung, kehadiran nenek moyang lakilaki (ebu musi ana saki), yang selalu siap menjaga bhaga dan semua sa’o yang ada. Ngadhu merupakan bangunan adat bertiang tunggal, berkarakter phallis (alat kelamin lakilaki) dan beratap setengah bola atau berbentuk kerucut. Bentuk bangunan adat ini mirip paying terbuka dengan dua senjata (sau ne’e gala) pada atapnya. Peo merupakan tonggak batu megalitikum AR 2231 Sejarah & Tradisi Nusantara, Semester IV 2014, halaman # 9 Erma Tsania, 15213017 Teresa Zefanya, 15213035 Lia Veronica W., 15213083 yang dimiliki setiap klan. Peo berfungsi sebagai tempat mengikat tali kerbau hewan korban pada saat upacara ritual adat. Ture merupakan dinding batu yang mengelilingi loka, atau pembatas antar loka. Ture Ebu Pati adalah satu ture di gerbang utama kampung Bena yang sangat spesifik karena merupakan bangunan turap dinding penahan tanah loka Wato yang memiliki konstruksi sipil sederhana yaitu susunan batu pipih yang memiliki kemampuan menahan tanah, tetapi masih memberi peluang untuk merembesnya air tanah melalui sela- sela ture. Ture sebagai pembatas loka dibangun menyesuaikan kontur tanah yang berterap- terap, dengan perbedaan ketinggian permukaan tanah antar loka yang berbeda- beda. Perilaku warga dan komunitas adat dipahami dari kebiasaan hidup yang dijalani warga kampung Bena sebagai anak dari kedua orang tuanya (ana ine ema), anak dari klan (ana woe), dan anak dari komunitas adat kampung Bena (ana isi nua Bena). Komunitas adat di kampung Bena terdiri dari warga dari Sembilan klan, yaitu: klan Bena, klan Ngadha, klan Wato, klan Deru Kae, klan Deru Azi, klan Dizi Kae, klan Dizi Azi,klan Kopa,dan klan Ago. Kekompakan klan di kampung Bena ditunjukkan dengan loka/kisa loka sebagai ruang interaksi sosial bersama dalam konteks pemahaman ‘interaksi dengan leluhur’. Kekompakan komunitas adat kampung Bena dipertahankan melalui ketentuan dan aturan-aturan adat, seperti sistem endogamy di dalam perkawinan sebagai sistem pertahanan diri sendiri (self-defences) di dalam relasi kehidupan dengan warga klan lain, dan masyarkat umum di luar klan Keindahan panorama dan saujana kampung Bena selalu terkait dengan sistem ‘dunia kecildunia agung’ (one – ota ola) menurut pemahaman adat Bena , atau sistem kosmis. Tindakan nyata menanam pohon oja dan pohon fa’i pohon kepala (balonio), pohon nira yang menghasilkan ijuk (nao), atau pohon sebu untuk tiang ngadhu, sejak warga muda di kampung Bena membangun dunia kehidupan rumah tangga. Keberlanjutan lingkungan hidup dipahami secara mudah oleh masyarakat adat, jika ingin melihat dunia yang akan dating dalam perjalanan hidup keluarga/klan di masa depan, maka alam raya sebagai dunia kehidupan yang lebih besar harus dipelihara Konsep – konsep teoritis mengenai arsitektur vernakular dan kampung Bena disimpulkan`dari pemahaman terhadap (1) sumbu imajiner dan kosmos; (2) struktur ruang sa’o dan AR 2231 Sejarah & Tradisi Nusantara, Semester IV 2014, halaman # 10 Erma Tsania, 15213017 Teresa Zefanya, 15213035 Lia Veronica W., 15213083 struktur ruangan nua Bena; (3) tata nilai arsitektur vernakular Bena; (4) gagasan, bentuk, norma, dan makna; serta (5) hierarki, simbol, skala, dan dimensi tradisional. Sumbu imajiner yang dimaksud adalah aksis imajinatif ke arah tempat yang rendah dan ke arah tempat yang tinggi (loka lau-loka zele), atau lazim dikenal sebagai ‘ulu Mangulewa – eko Bowoza.’ Artinya pangkal kampung Bena berada di padang Mangulewa dan ujungnya ada di bukit Bowoza Persepsi nilai keutamaan di kampung Bena pada, hakekatnya ada di one. Ruang one menjadi ‘dunia terkecil’ (micro cosmos) kehidupan setiap ana woe, yang memiliki makna mendalam bagi kehidupan woe. Pandangan warga kampung Bena, bahwa rentang kehidupan manusia di dunia ini tersusun secara horisontal atas tiga tahapan waktu, yakni: masa depan, masa kini, dan masa lalu. Sedangkan secara vertikal, tersusun sebagai ‘dunia atas’; ‘dunia tengah,’ yaitu daerah yang dihuni manusia saat ini; dan ‘dunia bawah.’ Sumbu imajiner horisontal bersilangan dengan sumbu imajiner vertikal di titik pusat di dunia tengah, yaitu: tempat tinggal manusia pada waktu kini Struktur ruang sa’o, secara hierarki horisontal ialah one, teda one, dan teda wena. Secara hierarki vertikal, struktur ruang sa’o ialah atap (zeta ulu ), dinding(zeta weki), lantai panggung (zale weki), dan pondasi umpak tiang kayu (zale wa’i). Di dalam ruang sa’o, terdapat perabot dan perangkat adat, yang memperjelas peran dan fungsi ruang-ruang di dalam sa’o, dan dikuatkan oleh pemahaman holistic simbol, skala, dan dimensi dalam konteks arsitektur vernakular. Struktur ruangan nua Bena ialah loka, sa’o, da nota ola. Loka merupakan identitas dari klan (woe). Sa’o menjadi identitas keluarga (ana woe) da nota ola adalah jagat raya di sekeliling kampung Bena. Konsep tata nilai arsitektur rumah adat (sa’o) dan bangunan adat di kampung Bena (bhaga, ngadhu, peo, dan ture woe) pada awalnya adalah konsep nilai arsitektur “shelter and settlement.” (Varanda,F.,1994:59-63). Konsep berteduh dan bermukim yang dicita-citakan oleh para pendiri kampungBena sebenarnya adalah hunian bagi keluarga yang harmonis, dan dinyatakan secara personifikatif simbol sebagai rumah perempuan (sa’o saka pu’u). Rumah laki-laki (sa’o saka lobo), rumah pendukung perempuan (sa’o kaka pu’u), dan pendukung laki-laki (sa’o kaka lobo). Konsep berteduh dan bermukim tersebut memiliki kedalaman nilai-nilai kemanusiawaan (humane values) yang sangat luhur dan berkelanjutan. Mereka melihat one dan teda sebagai sesuatu hal yang menambah kekuatan, dan melengkapi kebesaran one. AR 2231 Sejarah & Tradisi Nusantara, Semester IV 2014, halaman # 11 Erma Tsania, 15213017 Teresa Zefanya, 15213035 Lia Veronica W., 15213083 Pendaerahan ruangan one untuk perempuan (papa bhoko) berada di sebelah kanan, bersebelahan dengan tempat perapian (lapu lika), dan pada posisi yang berlawanan dijumpai daerah laki-laki (papa lewa), semata-mata hanyalah cara bijak untuk lebih menempatkan perempuan (ana fa’i) pada posisi utama, atau posisi keselamatan. Istilah ‘seni membangun’ lebih dikenali oleh masyarakat adat kampung Bena dalam kaitan pengertian dengan “tau” atau prosesi upacara adat membangun. Sesungguhnya, adalah tata laksana di dalam membangun yang didasarkan kepada ketentuan adat, penugasan dari ketua suku/klan, kerja Mosalaki, penghuni rumah, serta dilandasi oleh rasa seni yang tinggi dari budaya Ngadha. Prosesi upacara adat tersebut melibatkan seluruh warga klan dalam hal bergotong royong membangun rumah adat dan bangunan adat. Prosesi ritual adat Bena yang penting ada lima , yaitu: (1) prosesi, membangun rumah adat (tau sa’o), (2) prosesi membangun, bangunan adat (tau bhaga), (3) prosesi membangun bangunan ritual ngdahu (tau ghubu ngdahu), (4) prosesi membangun batu, pembatas/turap sebuah loke woe (ka ture), dan (5) prosesi syukuran tahun baru, kalender adat (reba). Pada setiap prosesi tersebut, diselenggarakan serangkaian upacara ritual adat, dengan memotong hewan korban dan tarian adat serta music gong gendang. Prosesi Membangun Rumah Adat (Tau Sa’o) (Digambar ulang dari Buku Arsitektur Vernakular, Keberlanjutan Budaya di Kampung Bena Flores, 2013, hlm.48) Konsep dasar kampung vernakular Bena yang dihasilkan meliputi (1) struktur kampung Bena, yang terdiri atas tiga komponen ruangan, yaitu: loka, sa’o, dan ota ola. (2) hierarki ruangan kampung Bena, yang mengutarakan mengenai tiga tingkatan ruangan, yaitu: zeta loka, kisa loka, dan zele loka. (3) simbol kampung Bena, yang mengutarakan mengenai beberapa AR 2231 Sejarah & Tradisi Nusantara, Semester IV 2014, halaman # 12 Erma Tsania, 15213017 Teresa Zefanya, 15213035 Lia Veronica W., 15213083 simbol kampung Bena, seperti: sa’o, bhaga, ngadhu, ture, peo, watu lanu, sobhi. (4) dimensi kampung Bena, yang mengutarakan batas kampung secara tradisional, seperti: ulu Mangulewa- eko Bowoza. 1. Struktur Kampung Bena Struktur ruangan kampung Bena terdiri atas (1) halaman klan (loka woe) yang dimiliki oleh setiap klan (woe) di mana bangunan- bangunan adat berdiri dan memiliki batas fisik berupa batu (ture) berjajar. Ada Sembilan loka woe yang membentuk halaman tengah (kisa loka) kampung Bena, yaitu loka Seu, loka Dizi Ka’e, loka Wato, loka Deru, loka Dizi Azi, loka Kopa, loka Ngadha, loka Ago, loka Bena. (2) halaman rumah- rumah adat. (3) ruangan hijau tepian kampung Bena, yang menjadi sabuk hijau pengaman kampung Bena. Ruangan hijau ini tidak berbatas tegas di lokasi kampung Bena, diyakini sebagai alam raya (ota ola) yang merupakan makro kosmos kampung Bena. 2. Hierarki Ruangan Kampung Bena Hierarki ruangan kampung Bena diindikasikan dengan pola tata letak rumah adat pada loka woe yang memiliki kondisi tanah berkontur, seperti: zeta loka (atas), kisa loka (tengah), dan zele loka (bawah). Hal itu tidak berarti bahwa klan yang tinggal di atas lebih tinggi status sosial ekonominya daripada klan yang tinggal di loka yang lebih rendah, atau sebaliknya. Hierarki ruangan kampung Bena terjadi karena kondisi geografis dan karakter topografis halaman kampung Bena. Hierarki ruangan kampung Bena tidak memiliki relevansi dengan lapisan sosial di masyarakat, bahwa yang menempati loka di lebih atas adalah klan- klan dari rang ga’e meze, loka lebih bawah adalah rang ga’e kisa, dan loka terbawah adalah rang azi ana. Klan Ago dan klan Ngadha adalah warga masyarakat lapisan sosial (rang) atas, disebut ga’e meze, yang memang secara faktual lokasi rumah adatnya berada di zeta loka. Namun demikian, ada pula anggota woe Ago- Ngadha yang tinggal di rumah adat bagian bawah. 3. Simbol Kampung Bena Simbol kampung Bena adalah pertanda yang dibuat oleh para lima pade, atau para pendiri kampung Bena untuk menyatakan kearifan kepada orang- orang keturunan dari nenek moyang klan, seperti anggota keluarga klan (ana woe), anggota masyarakat adat (isi sa’o), dan warga kampung Bena (isi nua Bena). Kata ‘menyatakan sesuatu pesan kearifan’ yang dimaksud adalah bahwa sebenarnya kampung Bena dengan keunikan pola kampung dan arsitektur vernakularnya merupakan salah satu simbol budaya Ngadha. Beberapa simbol kampung Bena yang dijelaskan adalah (1) rumah adat (sa’o) yang mempunyai makna rumah AR 2231 Sejarah & Tradisi Nusantara, Semester IV 2014, halaman # 13 Erma Tsania, 15213017 Teresa Zefanya, 15213035 Lia Veronica W., 15213083 besar, (2) rumah persemayaman roh nenek moyang (bhaga) yang mempunyai makna rumah bersyukur, terbuka untuk semua masalah, (3) tiang ngadhu yang mempunyai makna kekuatan laki- laki di kampung Bena, penjaga loka woe dan seluruh isi sa’o, (4) batu menhir milik klan (ture woe) yang mempunyai makna kehadiran leluhur di loka woe, (5) tonggak batu (peo) yang mempunyai makna kekuatan ikatan batin antara warga kampung yang memberi hewan korban pada leluhur, (6) tonggak batu yang dililit tali ijuk (watu lanu), yaitu pertanda kepemilikan uma oleh keluarga / klan tertentu yang mempunyai makna penjaga kebun, (7) bambu kalender adat, penanda datangnya pesta reba di kampung Bena (sobhi reba) yang mempunyai makna tahun baru menurut kalender adat kampung Bena sudah tiba. 4. Dimensi Kampung Bena Dimensi kampung adalah ukuran, atau mantra yang dipakai pada kegiatan membangun kampung Bena, dan menjadi aspek pengetahuan teknis di dalam arsitektur vernakular kampung Bena. Dimensi dipahami oleh wrga kampung Bena sebagai ukuran, atau mantra rujukan yang diwarisi para leluhur untuk mempertahankan luas ruangan kampung Bena. Luas kampung Bena diperkirakan 3 hektar dengan panjang 175 meter dan lebar 80 meter. Tetapi jika diukur dari Ulu Mangulewa hingga ke Eko Bowoza, dan dari loka zili hingga loka menna, dengan dimensi tradisional ‘zepa’, maka luasannya akan lebih dari 3 hektar. Konsep dasar keberlanjutan budaya merupakan konsep kunci, yang dapat menjelaskan tentang mengapa arsitektur dan kampung bernakular Bena dapat bertahan, lestari, dan mempu mempertemukan kebutuhan masyarakat adat kini di dalam ruang sa’o dan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri dari lingkungan dan alam raya di sekelilingnya. Keberlanjutan budaya adalah peristiwa budaya yang mensinergikan lima faktor pendukung keberlanjutan secara terus menerus hingga terjadi momentum keberlanjutan di tengah kondisi sinergis tersebut. Kelima faktor dimaksud adalah (1) lingkungan, (2) komunitas, (3) arsitektur vernakular Bena, (4) ekonomi dan (5) budaya Ngadha. Keberlanjutan budaya ini terjadi di dalam makro kosmos (ota ola) wilayah budaya Ngadha yang saat ini sangat terbuka untuk saling mempengaruhi, saling melengkapi dengan budayabudaya lain dari seluruh dunia. Selanjutnya, temuan konsep dasar tersebut diverifikasi pada beberapa lokasi kampung vernakular yang setara dan sewilayah budaya Ngadha. Sebagai suatu embrio teori arsitektur vernakular, konsep dasar ini dicobaterapkan untuk memprediksi keberlanjutan arsiterktur veernakular Bena itu sendiri di masa yang akan datang. AR 2231 Sejarah & Tradisi Nusantara, Semester IV 2014, halaman # 14 Erma Tsania, 15213017 Teresa Zefanya, 15213035 Lia Veronica W., 15213083 Dengan demikian, arsitektur vernakular dipahami oleh warga adat kampung Bena secara sederhana sebagai karya seni membangun rumah adat, bandungan adat, dan kampung adat, yang dilaksanakan dari dan oleh warga kampung Bena, dengan memanfaatkan material sumber daya lokal, untuk memenuhi kebutuhan keluarga, klan, dan masyarakat adat kampung Bena di masa kini dan masa yang akan datang. Struktur Kampung Bena (Digambar ulang dari Buku Arsitektur Vernakular, Keberlanjutan Budaya di Kampung Bena Flores, 2013, hlm.59) Arsitektur vernakular di kampung Bena pada masa awalnya merupakan ‘dunia kehidupan budaya’ yang tertutup, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri akan rasa aman, saling melindungi dan saling melengkapi. Tersirat di dalam ajaran-ajaran tradisional masyarakat adat kampung Bena dan ‘buku teles,’ yang memiliki nilai otentisitas tinggi. ‘Soka’ yakni lanturan syair untuk memandu proses membangun rumah adat dan bangunan adat, hingga terwujud artefak arsitektur yang estetis dan bermakna, ruang berdimensi tradisional, memiliki hierarki, simbol, dan ornamen, sesuai tata nilai adat kampung Bena dan budaya Ngadha. Konsep dasar arsitektur dan kampung vernakular Bena yang ditemukan bersifat pluralistic, membuka diri bagi koreksi, tidak bersifat reduksionis, tidak mengutamakan kontinuitas, serta tidak berpretensi untuk meraih suatu identitas atau label untuk masa tertentu. Konsep dasar arsitektur vernakular kampung Bena lebih diyakini sebagai embrio teori (baru) arsitektur vernakular yang bersifat lokal, dan memiliki konteks regionalism budaya Ngadha, khusunya dalam hal konsep dasar keberlanjutan budaya (tuku nunga lo’a ghera adha Ngadha). AR 2231 Sejarah & Tradisi Nusantara, Semester IV 2014, halaman # 15 Erma Tsania, 15213017 Teresa Zefanya, 15213035 Lia Veronica W., 15213083 DAFTAR PUSTAKA Sustyarto, Martinus Bambang. 2013. Arsitektur Vernakular, Keberlanjutan Budaya di Kampung Bena Flores. Bekasi : Presisi Graphic Design. AR 2231 Sejarah & Tradisi Nusantara, Semester IV 2014, halaman # 16